• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bioekologi, Etnobotani Dan Konservasi Ketimunan/Timonius Timon (Spreng.) Merr. Pada Masyarakat Lokal Suku Kanume Di Taman Nasional Wasur Papua.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Bioekologi, Etnobotani Dan Konservasi Ketimunan/Timonius Timon (Spreng.) Merr. Pada Masyarakat Lokal Suku Kanume Di Taman Nasional Wasur Papua."

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

BIOEKOLOGI, ETNOBOTANI DAN KONSERVASI KETIMUNAN/

Timonius timon

(Spreng.) Merr. PADA MASYARAKAT LOKAL

SUKU KANUME DI TAMAN NASIONAL WASUR PAPUA

Y. AGUNG WIDYA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul “Bioekologi, Etnobotani dan Konservasi Ketimunan/Timonius timon (Spreng.) Merr. pada Masyarakat Lokal Suku Kanume di Taman Nasional Wasur Papua“ adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2015

Y. Agung Widya

(4)

RINGKASAN

Y. AGUNG WIDYA. Bioekologi, Etnobotani dan Konservasi Ketimunan/Timonius timon (Spreng.) Merr. pada Masyarakat Lokal Suku Kanume di Taman Nasional Wasur Papua. dibimbing oleh AGUS HIKMAT dan AGUS PRIYONO KARTONO.

Ketimunan/Timonius timon (Spreng.) Merr. merupakan salah satu spesies tumbuhan pada famili Rubiaceae yang sangat berguna bagi masyarakat lokal Suku Kanume sebagai tumbuhan obat tradisional. Data dan informasi tentang bioekologi, etnobotani maupun konservasinya ketimunan belum tersedia dan terdokumentasi. Habitatnya pada kawasan hutan jarang Melaleuca mengalami gangguan sebagai akibat adanya kegiatan perambahan kawasan, pengambilan kayu bakar dan pembakaran yang berdampak pada ketersediaannya di alam, mengingat tumbuhan ini termasuk dalam katagori langka dan pohon yang dilindungi. Pemanfaatan bahan baku tumbuhan ini masih diambil dari alam dan sampai saat ini belum ada kegiatan pembudidayaan dan konservasi oleh masyarakat. Tujuan dari penelitian ini adalah mengidentifikasi bioekologi tumbuhan ketimunan, meliputi kondisi struktur dan komposisi vegetasi habitat ketimunan, tingkat keanekaragaman spesies tumbuhan, asosiasi ketimunan dengan jenis yang lain, menyajikan faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi keberadaan ketimunan. Mengidentifikasi pengetahuan dan pemanfaatan ketimunan pada masyarakat lokal Suku Kanume serta merumuskan upaya-upaya konservasi yang dilakukan pada tumbuhan ini.

Pengumpulan data dilakukan dari bulan Desember 2014 s/d Pebruari 2015 di Kampung Yanggandur Resort Sota SPTN Wilayah III Wasur TN Wasur. Metode pengukuran vegetasi dilakukan dengan metode kombinasi antara jalur dan garis berpetak. Responden dalam penelitian ini adalah masyarakat lokal Suku Kanume, dengan jumlah responden 40 orang, dibedakan atas perbedaan jenis kelamin dan kelas umur. Metode pengumpulan data responden dilakukan dengan wawancara dengan kuisioner. Analisis struktur dan komposisi vegetasi dilakukan perhitungan Indeks Nilai Penting (INP) masing-masing tingkat pertumbuhan vegetasi. Indeks keanekaragaman spesies digunakan pendekatan indeks keragaman (Shannon-Wiener), indeks kekayaan jenis (Margalef) dan indeks kemerataan (Pielou). Asosiasi antara spesies tumbuhan menggunakan tabel kontigensi dengan uji persamaan uji Chi-Square dan indeks Jaccard. Analisis data persepsi masyarakat menggunakan distribusi frekuensi dan uji Chi-Square.

(5)

2.3503–2.4730. Identifikasi nilai indeks kekayaan spesies termasuk katagori sedang pada tingkat pertumbuhan tiang sejumlah 3.8146 dan pohon sejumlah 4.1011 dan nilai indeks kekayaan rendah terdapat pada tingkat pertumbuhan semai sejumlah 3.1919 dan pancang sejumlah 3.0076. Identifikasi nilai indeks kemerataan termasuk tertinggi pada semua tingkat pertumbuhan dengan nilai kisaran indeks sejumlah 0.6871–0.7631. Hasil identifikasi menunjukkan adanya asosiasi ketimunan dengan beberapa spesies lain pada semua tingkat pertumbuhan, dengan kekuatan asosiasinya sangat rendah (<0.22). Adanya beberapa faktor lingkungan yang termuat dalam komponen utama pertama (KU1) memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kerapatan ketimunan di TN Wasur, seperti kelembaban udara, ketersediaan unsur hara Natrium (N) dan Posfor (P).

Ketimunan digunakan oleh masyarakat lokal suku Kanume sebagai tumbuhan obat (sakit perut, demam, menghentikan pendarahan) dan kegunaan lain (bahan pengganti pinang, bahan minuman). Pengetahuan dan pemanfaatan ketimunan lebih banyak dilakukan pada kelas umur 25-69 tahun dan pada kelompok laki-laki.

Pendokumentasian potensi dan manfaat ketimunan, pembudidayaan, perlindungan potensi dan budaya lokal masyarakat serta kebijakan pengelolaan yang berpihak kepada masyarakat lokal merupakan salah satu upaya-upaya konservasi yang dilakukan untuk menjaga keberlangsung ketimunan.

(6)

SUMMARY

Y. AGUNG WIDYA. Bio-ecology, Ethnobotany and Conservation of Ketimunan/Timonius timon (Spreng.) Merr. on Local Society of Kanume Tribe in Wasur National Park, Papua. Supervised by AGUS HIKMAT and AGUS PRIYONO KARTONO.

Ketimunan/Timonius Timon (Spreng.) Merr. is one of plant species including Rubiaceae family which is very useful for Kanume tribe society as traditional medicinal plant. Data and information about bioekologi, ethnobotany and conservation are not yet available and documented. Its habitat in Melaleuca rare forests disturbed as a result of encroachment activities, taking firewood and burning that have impact on its availability in nature, consider this plant is included in the rare and protected category. The utilizations of plant raw materials are still taken from nature and until now there has been no cultivation by the society. The purpose of this study is to identify ketimunan bio-ecology, comprise the structure and composition of ketimunan vegetation habitat, the level of plant species diversity, the association with others species, environmental factors that affect the existence of ketimunan. Identify the utilization and knowledge of ketimunan in local society of Kanume tribe and the conservation efforts for this plant.

Data was collected in December 2014 until February 2015 in Yanggandur village, Sota Resort, National Park Management Section in area III Wasur, Wasur National Park. Methods of vegetation measurement was conducted by a combination of lines and line terraced. Respondents in this study are 40 people the local society of Kanume tribe, distinguished by differences of gender and age classes. Data was collected by interviewing respondents by questionnaire. Vegetation structures and compositions were analyzed by calculating the Importance Value Index for each level of vegetation growth. Species diversity index used diversity index (Shannon-Wiener), species richness index (Margalef) and evenness index (Pielou) approach. The associations of ketimunan with others plants species used contingency tables with test equation Chi-Square test and Jaccard index. Public perception data were analyzed using frequency distribution and Chi-Square test.

(7)

index is 0.6871-0.7631. The identification results showed ketimunan association with several other species at all stages of growth, with the strength of association is very low (<0.22). The existence of several environmental factors contained in the first principal component (KU1) have a significant influence on the density ketimunan in TN Wasur, such as humidity, availability of nutrient elements Natrium (N) and Posfor (P).

Ketimunan used by the local societyof Kanume tribe as a medicinal plant (abdominal pain, fever, stop bleeding) and other uses (substitutes nut and beverage ingredients). The knowledge and utilizations of ketimunan were mostly done in the 25-69 years and male group.

Documenting the potential and benefits of ketimunan, cultivation, protection of potency and cultural of local society also management policies that side to local society is one of the conservation efforts under taken to maintain sustainability of ketimunan.

(8)

Hak cipta milik IPB, Tahun 2015 Hak cipta dilindungi Undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tampa mencantumkan atau menyebut sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan masalah; dan Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(9)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi konservasi Biodiversitas Tropika

Y. AGUNG WIDYA

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

BIOEKOLOGI, ETNOBOTANI DAN KONSERVASI KETIMUNAN/

Timonius timon

(Spreng.) Merr. PADA MASYARAKAT LOKAL

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, atas rahmatNya penulis dapat menyusun tesis dengan judul “Bioekologi, Etnobotani dan Konservasi Ketimunan/Timonius timon (Spreng.) Merr. pada Masyarakat Lokal Suku Kanume di Taman Nasional Wasur Papua” ini dapat diselesaikan dengan baik. Tesis ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Kampung Yanggandur Resort Sota SPTN Wilayah III Wasur Taman Nasional Wasur Papua.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Dr Ir Agus Hikmat MScF dan Bapak Dr Ir Agus Priyono Kartono MSi selaku pembimbing, Bapak Prof Dr Ir Ervizal AM Zuhud MS selaku dosen penguji, Dr Ir Burhanuddin Masy‟ud MS selaku pimpinan sidang dan ketua program studi yang telah memberikan masukan dan saran. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Kementerian Kehutanan cq. Pusat Diklat Kehutanan beserta staf yang telah memberikan beasiswa untuk mengikuti pendidikan pascasarjana. Terima kasih juga kepada Kepala Balai TN Wasur beserta staf, Kepala Kampung Yanggandur beserta masyarakat yang telah banyak membantu dalam penelitian. Penghargaan kepada Bapak Vitalis Yanggandur, Petrus Wasur, Aprianto PEH Wasur yang mendampingi selama penelitian serta teman-teman seangkatan Progam Studi Konservasi Biodiversitas Tropika (KVT) yang saling membantu baik suka maupun duka selama menempuh pendidikan. Ungkapan terima kasih pula kepada istriku tercinta Imelda Yulianti dan anakku terkasih Nathania Callysta yang selalu memberikan dukungan doa dan kasih sayangnya selama penulis belajar di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Semoga tesis ini bermanfaat.

Bogor, Desember 2015

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xi

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR LAMPIRAN xii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan 5

Manfaat 5

Kerangka Pemikiran 5

METODE 7 Lokasi dan Waktu 7

Alat dan Bahan 8

Jenis Data Yang Dikumpulkan 8

Metode Pengumpulan Data 9

Pengolahan dan Analisis Data 12

HASIL DAN PEMBAHASAN 16 Kondisi Umum Lokasi Penelitian 16

Klasifikasi, Morfologi dan Penyebaran Ketimunan 20

Struktur dan Komposisi Vegetasi 22

Keanekaragaman Spesies Tumbuhan 29

Asosiasi Antar Dua Spesies 31

Faktor Lingkungan Yang Mempengaruhi Keberadaan Ketimunan 33

Etnobotani Ketimunan 36

Ancaman Ketimunan 50

Upaya Konservasi Ketimunan 52

SIMPULAN DAN SARAN 57 Simpulan 57

Saran 58

DAFTAR PUSTAKA 58

(14)

DAFTAR TABEL

1 Jenis dan metode pengumpulan data 9

2 Jenis kelamin dan kelas umur 12

3 Kontigensi berpasangan 2x2 untuk asosiasi spesies 14

4 Sejarah lahirnya TN Wasur 17

5 Suhu udara dan kelembaban udara di Kab. Merauke 19

6 Data curah hujan di Kab. Merauke 19

7 Data jumlah penduduk Distrik Sota 20

8 INP > 10% berdasarkan tingkat pertumbuhan semai 22 9 INP > 10% berdasarkan tingkat pertumbuhan pancang 23 10 INP > 10% berdasarkan tingkat pertumbuhan tiang 23 11 INP > 10% berdasarkan tingkat pertumbuhan pohon 23 12 INP ketimunan berdasarkan tingkat pertumbuhan 24

13 Keanekaragaman spesies tumbuhan 29

14 Asosiasi ketimunan dengan spesies lain pada tingkat pertumbuhan tiang 31 15 Asosiasi ketimunan dengan spesies lain pada tingkat pertumbuhan

pohon 32

16 Nilai eigenvalue dan nilai faktor masing-masing variabel lingkungan

tempat tumbuh ketimunan 34

17 Responden yang mengetahui dan memanfaatkan ketimunan sebagai

tumbuhan obat berdasarkan jenis kelas umur 37

18 Responden yang mengetahui dan memanfaatkan ketimunan sebagai

tumbuhan obat berdasarkan jenis kelamin 37

19 Responden yang mengetahui dan memanfaatkan ketimunan untuk

kegunaan lain berdasarkan kelas umur 40

20 Responden yang mengetahui dan memanfaatkan ketimunan untuk

kegunaan lain berdasarkan jenis kelamin 40

21 Komposisi dan pemanfaatan ketimunan 43

22 Responden yang mengetahui dan melakukan kegiatan budidaya

ketimunan berdasarkan kelas umur 45

23 Responden yang mengetahui dan melakukan kegiatan budidaya

ketimunan berdasarkan jenis kelamin 46

24 Responden yang mengetahui dan melakukan kegiatan konservasi

ketimunan berdasarkan kelas umur 48

25 Responden yang mengetahui dan melakukan kegiatan konservasi

ketimunan berdasarkan jenis kelamin 49

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pemikiran penelitian 7

2 Kawasan TN Wasur 8

3 Petak ukur garis berpetak 10

4 Profil tanah vertisol di TN Wasur 18

5 Tutupan vegetasi diatas permukaan tanah vertisol 18

(15)

7 Bunga ketimunan 21

8 Buah ketimunan 21

9 Batang ketimunan 21

10 Kerapatan ketimunan berdasarakan tingkat pertumbuhan 25

11 Famili berdasarkan tingkat pertumbuhan 26

12 Persebaran anakkan spesies bush butih (Melaleuca cajuputi) di savana 27 13 Persebaran spesies bush putih (Melaleuca cajuputi) yang mendominasi

hutan jarang 27

14 Hasil analisis komponen utama terhadap variabel lingkungan tempat

tumbuh ketimunan di TN Wasur 35

15 Dusun sebagai tempat interaksi antara anggota suku maupun suku lain 39 16 Dusun sebagai tempat pengumpulan bahan makanan 39

17 Kulit ketimunan 41

18 Pemanfaatan ketimunan oleh Suku Kanume 44

19 Anakkan ketimunan 47

20 Hutan yang disakralkan 50

21 Sasi yang dilakukan masyarakat 50

DAFTAR LAMPIRAN

1 INP berdasarkan tingkat pertumbuhan semai 63 2 INP berdasarkan tingkat pertumbuhan pancang 64 3 INP berdasarkan tingkat pertumbuhan tiang 65 4 INP berdasarkan tingkat pertumbuhan pohon 66 5 Asosiasi ketimunan dengan spesies lain pada tingkat pertumbuhan tiang 67 6 Asosiasi ketimunan dengan spesies lain pada tingkat pertumbuhan

pohon 68

(16)
(17)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Keanekaragaman tumbuhan obat yang terhimpun dalam berbagai tipe ekosistem hutan merupakan kekayaan alam yang belum dimanfaatkan secara optimal. Di hutan tropika Indonesia tumbuh sekitar 30,000 spesies tumbuhan berbunga dan diperkirakan sekitar 3,689 spesies diantaranya merupakan tumbuhan obat (Djauhariya dan Hernani 2004). Menurut Zuhud dan Haryanto (1990), pemanfaatan tumbuhan sebagai bahan baku obat, terutama obat tradisional mencapai lebih dari 1,000 spesies, 74% diantaranya merupakan tumbuhan liar yang hidup di hutan. Zuhud et al. (2011) menyatakan bahwa hutan tropika Indonesia yang terdiri dari berbagai tipe ekosistem merupakan gudang keanekaragaman hayati yang memiliki lebih dari 2,039 spesies tumbuhan obat yang berguna bagi kesehatan dan mengobati berbagai macam penyakit. Sebagai sumber daya alam, hutan mempunyai fungsi sangat penting bagi kehidupan, diantaranya sebagai mata pencaharian masyarakat dan memenuhi kehidupan manusia. Menurut Soendjoto dan Wahyu (2007), sumberdaya alam yang ada saat ini merupakan modal potensial bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat dan perlu dikelola dengan baik agar bermanfaat secara optimal.

Spesies ketimunan/Timonius timon (Spreng.) Merr. dari famili Rubiaceae (suku kopi-kopian) merupakan suatu spesies tumbuhan yang menarik untuk diteliti dan dipelajari. Hal tersebut dikarenakan spesies tumbuhan ini mempunyai peranan penting sebagai sumber obat tradisional bagi masyarakat, yaitu obat sakit perut, obat deman (malaria) dan lain-lain. Secara ekologis ketimunan berfungsi sebagai habitat beberapa spesies satwa seperti burung dan kelelawar. Ketimunan juga berfungsi sebagai pengatur suhu karena dengan tajuknya yang lebar mampu menciptakan iklim mikro yang berada disekitarnya.

Permasalahan saat ini, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu di Indonesia dirasakan masih sangat kurang dikarenakan masih minimnya informasi dan data sehingga diperlukan suatu langkah dan usaha penggalian informasi yang ada di masyarakat mengenai sumberdaya yang digunakan. Dewasa ini etnobotani mendapat perhatian yang khusus dikarenakan penelitian-penelitian ini sangat kurang ditambah dengan cepatnya laju erosi sumberdaya. Banyak sumberdaya tumbuhan belum diketahui manfaatnya sehingga belum dianggap bernilai ekonomi. Selain itu pengetahuan tradisional pemanfaatan tumbuhan oleh suku-suku tertentu sudah mulai hilang sebelum informasi itu dicatat dan diketahui serta dimanfaatkan secara luas. Setiap suku (etnis) memiliki pengetahuan lokal serta tradisional dalam memanfaatkan tumbuhan obat, yaitu mulai dari spesies tumbuhannnya, bagian yang digunakan, cara pengobatan, sampai penyakit yang dapat disembuhkan. Sebagian besar merupakan kekayaan pengetahuan yang diwariskan secara turun temurun (Muktiningsih et al. 2001).

(18)

Kanume belum tersedia dan terdokumentasi. Masyarakat umumnya menurunkan pengetahuan dari mulut ke mulut atau tradisi lisan (oral tradition). Hal ini mendatangkan kekhawatiran akan punahnya pengetahuan tradisional dalam pemanfaatan tumbuhan. Setyowati (2010) menyatakan bahwa erosi pengetahuan tradisional terjadi karena kurangnya kesadaran akan pentingnya aset karya intelektual, sehingga kebanyakan informasi pengetahuan tradisional belum terdokumentasi dengan baik. Perubahan zaman yang menyebabkan tergerusnya nilai-nilai budaya kearifan masyarakat telah menyebabkan kurangnya perhatian/pengetahuan generasi saat ini terhadap alam lingkungan yang menjadi tumpuan kehidupan nenek moyang dahulu. Penelitian dan informasi mengenai potensi, penyebaran, bio-ekologi dan teknik penangkaran tumbuhan obat masih sangat terbatas. Di lain pihak publikasi dan informasi mengenai hal ini sangat diperlukan guna mendasari upaya pelestarian pemanfaatan dan pengembangan usaha pemanfaatan tumbuhan obat (Zuhud dan Haryanto 1990).

Ketersediaan data dan informasi potensi dan habitat dari tumbuhan ketimunan masih terbatas. Menurut Zuhud dan Haryanto (1994), lemahnya penelitian aspek ekologi menyebabkan rendahnya perhatian terhadap kelestarian tumbuhan obat. Tentu saja jika hal ini dibiarkan akan berimplikasi kepada kepunahan potensi dari tumbuhan ini. Habitat ketimunan di Taman Nasional Wasur juga mengalami gangguan sebagai akibat adanya kegiatan perambahan kawasan, pengambilan kayu bakar dan pembakaran yang secara tidak langsung akan mengancam keberadaan spesies yang ada di dalamnya termasuk tumbuhan ketimunan ini. Meningkatnya kebutuhan manusia telah mengarahkan tingkat kepedulian mereka terhadap lingkungan yang semakin terbatas dan akan mendorong terjadinya perambahan dan perusakan hutan (Krismawati dan Sabran 2004). Menurut Rifai (1986) dalam Hamid et al. (1990), gangguan habitat yang disebabkan oleh eksploitasi hutan, intensifikasi pertanian, perluasan pemukiman dan sebagainya secara langsung dan tidak langsung telah ikut berperan dalam memerosotkan keanekaragaman plasma nutfah tumbuhan obat. Kegiatan eksplorasi hutan, konversi hutan dan pemanfaatan lahan hutan oleh masyarakat dan keperluan pembangunan serta pengambilan tumbuhan obat yang tidak mempertimbangkan aspek kelestariannnya dapat dipandang sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi kelestarian populasi tumbuhan obat.

(19)

ketimunan oleh masyarakat lokal Suku Kanume dengan kearifannya. Informasi yang diperoleh nantinya dapat digunakan sebagai bahan masukan dan pertimbangan didalam pengambilan keputusan dan upaya konservasi tumbuhan ketimunan di masa yang akan datang.

Perumusan Masalah

Salah satu spesies tumbuhan yang memerlukan upaya pelestarian dan pengembangan adalah ketimunan. Sebaran dari tumbuhan ini sangat terbatas, salah satunya terdapat di PNG termasuk wilayah Papua bagian selatan, Australia bagian utara, kepulauan Timor dan Solomon. Tumbuhan ketimunan merupakan salah satu spesies tumbuhan yang mempunyai peranan yang cukup potensial bagi masyarakat lokal Suku Kanume karena manfaat yang dirasakan dari tumbuhan ini dalam kehidupan keseharian masyarakat.

Data dan informasi pengetahuan dan pemanfaatan masyarakat Suku Kanume mengenai sumber daya alam hayati khususnya tumbuhan obat ketimunan belum tersedia dan terdokumentasi. Kelestarian pengetahuan dan pemanfaatan tumbuhan obat ini mengalami penurunan sebagai akibat dari minimalnya pengetahuan tradisional masyarakat Suku Kanume dalam memanfaatkan tumbuhan obat tersebut. Menurut Walujo (1990), terjadinya pergeseran nilai dan menipisnya pengetahuan tentang tumbuhan obat oleh suku-suku di luar pulau jawa memang tak terhindarkan lagi sebagai akibat majunya teknologi komunikasi dan pembangunan jalur-jalur transportasi. Dalam kondisi semacam ini pola berpikir sedikit demi sedikit mengalami perubahan tidak terkecuali sikap dan budaya mereka dalam memanfaatkan tumbuhan obat. Pengetahuan lokal masyarakat tentang tumbuhan obat semakin terancam punah dengan adanya proses modernisasi yang menyebabkan maraknya penggunaan obat-obatan sintetik sehingga masyarakat beralih pada pengobatan modern (Takoy et al. 2013).

(20)

Keberadaan habitat ketimunan di Taman Nasional Wasur juga mengalami gangguan sebagai akibat adanya kegiatan perambahan kawasan, pengambilan kayu bakar dan pembakaran yang secara tidak langsung akan mengancam keberadaan spesies yang ada di dalamnya termasuk tumbuhan ketimunan ini. Adanya peningkatan laju populasi manusia dan konsumsi sumber daya alam yang tidak berkelanjutan telah mengarahkan tingkat kepedulian terhadap lingkungan yang semakin diabaikan dan mendorong terjadinya perambahan dan perusakan hutan. Dengan demikian secara langsung dan tidak langsung telah ikut berperan dalam memerosotkan bahkan menghilangkan keanekaragaman plasma nutfah tumbuhan obat. Hal ini jika dibiarkan terus tampa adanya suatu perhatian yang berarti akan berdampak pada ketersediaannya di alam (struktur dan komposisinya).

Kegiatan pelestarian atau konservasi biodiversitas mutlak membutuhkan peran serta masyarakat. Pelibatan dan peran serta masyarakat akan hanya terwujud jika ada kerelaan dan kepedulian masyarakat untuk melakukan pelestariannya. Kondisi bioekologi dan manfaat (pangan, obat, kegunaan lainnya dan lain-lain) menjadi modal dalam membangun kepedulian masyarakat Kabupaten Merauke terhadap ketimunan ini. Berdasarkan hal-hal tersebut diatas, maka secara umum permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut:

1. Kondisi struktur dan komposisi vegetasi habitat ketimunan di Taman Nasional Wasur belum diketahui. Adanya gangguan pada habitatnya memberikan pengaruh terhadap keberadaan vegetasi didalamnya. Bagaimana kondisi struktur dan komposisi vegetasi habitat ketimunan?

2. Tingkat keanekaragaman spesies tumbuhan di Taman Nasional Wasur belum diketahui, mengingat peranannya yang sangat penting dalam suatu komunitas. Variasi nilai indeks keanekaragaman pada berbagai tingkatan spesies tumbuhan (semai, pancang, tiang, pohon) yang terjadi merupakan sesuatu yang berhubungan dengan karakteristik tempat tumbuh dan aktivitas yang berhubungan di dalam komunitas. Bagimana tingkat keanekaragaman spesies tumbuhan pada berbagai tingkat pertumbuhan?

3. Asosiasi ketimunan dengan spesies yang lain di Taman Nasional Wasur belum diketahui. Apakah dua spesies memilih atau menghindari habitat yang sama, mempunyai daya penolakan atau tarik bahkan tidak berinteraksi? 4. Data faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi keberadaan ketimunan di

Taman Nasional Wasur belum tersedia. Perubahan dan variasi kondisi lingkungan tertentu akan memberikan dampak bagi struktur dan komposisi spesies tumbuhan. Faktor-faktor lingkungan apa saja yang mempengaruhi keberadaan ketimunan?

5. Pengetahuan dan pemanfaatan ketimunan yang dilakukan oleh masyarakat lokal Suku Kanume di Taman Nasional Wasur belum banyak diketahui dan didokumentasikan. Sampai saat ini, kajian etnobotani ketimunan oleh Suku Kanume di TN Wasur belum dilakukan. Bagaimana pengetahuan dan pemanfaatan ketimunan oleh Suku Kanume?

(21)

Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi kondisi struktur dan komposisi vegetasi habitat ketimunan di Taman Nasional Wasur.

2. Mengidentifikasi tingkat keanekaragaman spesies tumbuhan menjadi habitat di Taman Nasional Wasur.

3. Mengidentifikasi asosiasi ketimunan dengan spesies yang lain di Taman Nasional Wasur.

4. Menyajikan faktor lingkungan yang mempengaruhi keberadaan ketimunan di Taman Nasional Wasur

5. Mengidentifikasi pengetahuan dan pemanfaatan tentang ketimunan pada masyarakat Suku Kanume.

6. Merumuskan upaya-upaya konservasi ketimunan yang ada di TN Wasur.

Manfaat

Manfaat dilakukan penelitian ini diharapkan menjadi sarana publikasi dan sosialisasi serta penyadartahuan pada semua pihak tentang pentingnya serta upaya konservasi tumbuhan khususnya ketimunan. Selain itu, dengan penelitian ini diharapkan menjadi acuan untuk membangun upaya konservasi spesies-spesies tumbuhan terancam punah lainnya yang ada di Indonesia.

Kerangka Pemikiran

Ketimunan merupakan salah satu spesies tumbuhan yang penyebarannya sangat terbatas, secara geografi tumbuhan ini terdapat di daerah tropis asia tenggara. Menurut Simsons (2011), tumbuhan ini terdapat pada beberapa lokasi, diantaranya Australia bagian utara, New Guinea, beberapa pulau-pulau terdekat termasuk Timor dan kepulauan Solomon. Potensi dari tumbuhan ini memberikan banyak manfaat yang dapat dirasakan oleh banyak orang. Hal ini dapat ditunjukkan dari beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan, baik masyarakat lokal (etnik) yang berada di Indonesia tetapi juga masyarakat lokal negara-negara lain di dunia.

Ketimunan bagi masyarakat lokal Suku Kanume memberikan arti penting bagi masyarakat karena manfaat yang dirasakan dari spesies tumbuhan ini, tidak hanya sebagai tumbuhan obat berkhasiat namun dapat digunakan untuk keperluan yang lain. Salah satunya adalah tumbuhan ini digunakan untuk menyebuhkan obat sakit peut (diare), demam (malaria), bahan pengganti pinang dan lain-lain. Bagi masyarakat lokal Aborigin di Australia, tumbuhan ini digunakan oleh masyarakat lokal asli sebagai obat untuk menyembuhkan penyakit mata, pilek dan demam (Webb 1969). Begitu pula tumbuhan ini digunakan oleh beberapa masyarakat lokal yang berada di PNG.

(22)

berbagai lokasi yang berbeda. Pemanfaatan ketimunan oleh kelompok masyarakat lokal tidak hanya di Indonesia tetapi juga di dunia menunjukkan adanya hubungan kearifan lokal masyarakat (budaya) yang erat kaitannya terhadap sumberdaya nabati lingkungannya (Ashar 1994). Setiap masyarakat lokal mempunyai kearifan lokal tersendiri didalam memanfaatkan sumber daya alam, baik spesies tumbuhannnya, bagian yang digunakan, cara pengolahan dan manfaat yang dirasakan dari tumbuhan tersebut untuk menyembuhkan beberapa penyakit.

Keberadaan ketimunan di Indonesia termasuk tumbuhan langka (Mogea et al. 2001) dan persebarannya terbatas. Dengan demikian, populasi tumbuhan ini di alam terus mengalami pengurangan sehingga rentan terhadap kepunahan. Data keberadaannya di alam juga belum diketahui, tentu saja memberikan perhatian bagi kita bagaimana untuk dapat menyelamatkan, mempelajari dan memanfaatkan tumbuhan ini agar tetap terjaga kelestariannya. Sampai saat ini, data informasi mengenai ketimunan ini masih terbatas. Belum lagi ditambah dengan adanya gangguan-gangguan yang terjadi pada habitatnya di alam akan berdampak pada kondisi dan ketersediaan populasi di dalamnya. Tampa adanya kepedulian dan perhatian yang cukup berarti terhadap keberadaan ketimunan di alam, potensi sumber daya alam hayati akan terus mengalami penurunan yang tidak hanya berakibat kepada punahnya atau hilangnya potensi sumber daya alam spesies tetapi juga kearifan lokal masyarakat didalam memanfaatkan sumberdaya alam ketimunan ini.

Kondisi bioekologi, etnobotani dan konservasi dari tumbuhan ketimunan masih banyak belum banyak diketahui, dipublikasikan dan disebarluaskan. Menggunakan ketimunan sebagai sarana dalam upaya mengkonservasi tumbuhan, akan memberikan perhatian kepada masyarakat untuk dapat peduli didalam menjaga dan menyelamatkan spesies ini sehingga kelestariannya dapat terjaga. Dengan mengetahui kondisi bioekologi, etnobotani dan konservasi sumber daya alam khususnya ketimunan, menjadi salah satu modal yang besar di dalam membangun sikap masyarakat secara luas khususnya masyarakat yang ada di Kabupaten Merauke untuk dapat mengkonservasi ketimunan agar kelestariannya dapat terjaga.

(23)

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

2 METODE

Lokasi dan Waktu

(24)

Gambar 2 Kawasan TN Wasur Merauke Papua

Alat dan Bahan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Pengambilan data: kamera, alat tulis, GPS, pita meter, kuisioner, tally sheet,

tape recorder, termohigrograf dan soil tester.

b. Pembuatan herbarium: alkohol 70%, label nama, benang, pisau, sampel herbarium dan kertas koran.

c. Identifikasi tumbuhan: buku identifikasi tumbuhan

Jenis Data Yang Dikumpulkan

(25)
(26)

Metode Pengumpulan Data Struktur dan komposisi vegetasi

Penentuan sampel wilayah studi untuk kajian keadaan populasi ketimunan dan aspek ekologisnya, didasarkan pada kondisi habitat dari tumbuhan ketimunan yaitu pada hutan jarang Melaleuca yang merupakan tempat tumbuh dari spesies tumbuhan ini.

Adapun luas hutan jarang Melaleuca berdasarkan hasil pemetaan di lokasi penelitian seluas 156.47 ha. Intensitas sampling (IS) yang digunakan sebesar 20%. Plot contoh yang digunakan dalam penelitian ini berukuran 1 ha berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran lebar 20 m dan panjang 500 m menggunakan metode kombinasi antara jalur dan garis berpetak. Menurut Boon dan Tideman (1950) dalam Soerianegara dan Indrawan (1998), di Indonesia digunakan jalur-jalur yang lebarnya 10 m atau 20 m, dengan panjang antara 200 m – 1,000 m. Pengambilan sampling dilakukan sebanyak 31 jalur, dengan jarak antar jalur sebesar 100 m. Plot contoh dibuat tegak lurus terhadap sungai, selokan atau saluran drainase alam lainnya agar jalur contoh tersebut dapat mencakup perubahan komposisi vegetasi mulai dari sungai sampai pedalaman (Kusmana 1997). Penentuan plot contoh pertama diletakkan dimana diketemukannya ketimunan dan selanjutnya dilakukan secara sistematik.

Untuk memudahkan perisalahan pohon dan tegakannnya, jalur tersebut dapat dibagi menjadi petak-petak kontinyu berukuran 20 m x 20 m dengan metode garis berpetak. Adapun yang diamati pada petak kontinyu ini adalah pengamatan tingkat semai (A = 2 m x 2 m), pancang (B = 5 m x 5 m), tiang (C = 10 m x 10 m) dan pohon (D = 20 m x 20 m). Adapun tingkat pertumbuhan yang diukur adalah: a) Semai: anakan pohon dengan tinggi <1.5 m, b) Pancang: pohon muda dengan dengan tinggi >1.5 m diameter <10 cm, c) Tiang: pohon muda dengan diameter 10 cm hingga 20 cm, dan d) Pohon: diameter batang >20 cm (Kusmana 1997).

Gambar 3 Petak ukur kombinasi antara jalur dan garis berpetak

20 m

20 m

10 m

10 m

Arah rintis

D C

B A

A B

(27)

Faktor lingkungan

Karakteristik habitat yang diukur di lapangan meliputi faktor topografis, klimatik, edafis dan biotis. Data klimatik (iklim) yang dicatat meliputi kelembaban udara dan suhu udara menggunakan termohigrograf. Faktor edafis yang dicatat suhu tanah dan pH tanah menggunakan soil tester dan faktor biotis yang diukur menggunakan hasil pengukuran vegetasi. Pengukuran faktor klimatik dan edafis dilakukan pada pagi hari jam 07.00 dan sore hari jam 16.00 pada setiap petak ukur dimana diketemukannya ketimunan. Pengukuran kesuburan tanah, contoh tanah yang diambil merupakan contoh tanah komposit yaitu contoh tanah campuran dari contoh-contoh tanah individu sebanyak 15 contoh tanah individu yang dipilih secara acak dimana diketemukan ketimunan.

Pembuatan herbarium

Pembuatan herbarium dilakukan untuk mempermudah proses identifikasi spesies tumbuhan yang belum diketahui spesiesnya. Herbarium merupakan koleksi spesimen tumbuhan yang terdiri dari bagian-bagian tumbuhan (ranting lengkap dengan daun dan kuncup yang utuh, serta lebih baik jika ada bunga dan buahnya).

Tahapan dalam pembuatan herbarium antara lain:

a. Pengambilan sampel herbarium yang terdiri dari ranting lengkap dengan daunnya, serta bunga dan buahnya jika ada.

b. Sampel herbarium dipotong dengan panjang sekitar 40 cm.

c. Sampel herbarium diberi label gantung berukuran 3 cm x 5 cm. Label gantung berisi keterangan nomor koleksi, tanggal pengambilan spesimen, nama lokal dan lokasi spesimen, serta nama pengumpul/kolektor.

d. Sampel herbarium yang telah diberi label gantung kemudian dirapikan dan dimasukkan kedalam lipatan kertas koran yang dilipat dua. Satu lipatan kertas koran, untuk satu spesimen.

e. Lipatan kertas koran yang berisi spesimen ditumpuk menjadi satu dalam kantong plastik bening berukuran 40 cm x 60 cm.

f. Tumpukan spesimen disiram dengan alkohol 70% hingga seluruh bagian tumpukan tersiram rata, selanjutnya kantong plastik ditutup rata agar cairan alkohol tidak menguap.

g. Tumpukan contoh herbarium dipress dalam sasak, kemudian dikeringkan dalam oven.

h. Setelah kering, sampel herbarium diidentifikasi nama ilmiahnya.

Identifikasi data dilakukan untuk mengetahui nama ilmiah spesies tumbuhan hasil pengamatan lapang. Identifikasi tumbuhan dilakukan di Herbarium Bogoriense LIPI di Cibinong.

Pengetahuan etnobotani

(28)

peneliti (Purwanto 2007). Pengetahuan dan pemanfaatan ketimunan oleh responden dalam penelitian ini dibedakan atas perbedaan jenis kelamin dan kelas umur, yaitu umur 10-24 tahun, umur 25-39 tahun, umur 40-54 tahun, umur 55-69 tahun dan 70-84 tahun. Penilaian kelas umur didasarkan pada sebagian besar pengetahuan khusus atau kemampuan untuk melakukan keterampilan subsisten sepenuhnya dilakukan oleh remaja akhir atau awal masa dewasa. Oleh karena itu sampel diambil dari fraksi penduduk lokal yang telah mencapai dewasa (15 tahun). Fraksi dibagi dalam kelompok umur 15 tahun masing-masing sehingga menghasilkan empat atau lima kelas umur (Zent 2009). Jumlah responden berdasarkan jenis kelamin dan interval kelas umur disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Jenis kelamin dan kelas umur Jenis

Kelamin

Kelas Umur

Jumlah 10-24 25–39 40-54 55-69 70-84

Laki-laki 4 4 4 4 4 20

Perempuan 4 4 4 4 4 20

Jumlah 40

Metode pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah wawancara dengan kuisioner. Wawancara dilakukan sebagai salah satu cara untuk mempelajari kajian pemanfaatan dan pengetahuan masyarakat lokal Suku Kanume terhadap ketimunan di Taman Nasional Wasur. Selain menanyakan langsung kepada responden tentang hal-hal yang berkaitan dengan etnobotani ketimunan, juga diberikan kuisioner yang dapat diisi untuk menerangkan bagaimanan pemanfaatan dan pengetahuan masyarakat selama ini tentang ketimunan.

Dalam wawancara ini, informasi yang dikumpulkan terutama yang berkaitan dengan etnobotani tumbuhan ketimunan sebagai berikut:

a. Pengetahuan dan pemanfaatan ketimunan oleh masyarakat sebagai tumbuhan obat.

b. Penggunaan lain dari tumbuhan ketimuan oleh masyarakat.

c. Bagian yang digunakan dari tumbuhan ini, misalnya batang akar dan daunnya. d. Cara pengolahan tumbuhan ketimunan dan penyimpanannya.

e. Budidaya tumbuhan ini oleh masyarakat.

f. Praktek konservasi yang dilakukan oleh masyarakat terhadap tumbuhan ini.

Pengolahan dan Analisis Data Struktur dan komposisi vegetasi

(29)

Kerapatan suatu spesies (K) = Jumlah individu suatu spesies

Luas petak contoh

Kerapatan relatif suatu spesies

(KR) =

Kerapatan suatu spesies

X 100% Kerapatan seluruh spesies

Frekuensi suatu spesies (F) = Jumlah sub-petak ditemukan suatu spesies

Total seluruh sub-petak contoh

Frekuensi relatif suatu spesies (FR) = Frekuensi suatu spesies X 100% Total frekuensi seluruh spesies

Dominansi suatu spesies (D) = Luas bidang dasar suatu spesies

Luas petak contoh

Dominansi relatif suatu spesies

(DR) =

Dominansi suatu spesies

x 100% Dominansi seluruh spesies

Luas bidang dasar (lbds) suatu spesies merupakan total luas bidang dasar setiap individu spesies tertentu yang dihitung dengan menggunakan persamaan:

Lbds = . 2

4 1

D atau Ldbs =

4

2

K

Keterangan: D = diameter, K = keliling

Indeks nilai penting (INP) dihitung dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:

INP untuk tingkat tiang dan pohon = KR + FR + DR INP untuk tingkat semai dan pancang = KR + FR

Keanekaragaman spesies tumbuhan

Untuk menentukan ukuran keanekaragaman spesies tumbuhan pada habitat ketimunan, digunakan pendekatan indeks keragaman, indeks kekayaan spesies dan indeks kemerataan (Evenness).

Kekayaan spesies (species richness)

Untuk mengukur kekayaan spesies dalam unit pengamatan, pendekatan yang digunakan adalah indeks Margalef (1958) dalam Ludwig dan Reynold (1988):

Dmg = S-1 / ln (N)

Keterangan: Dmg = Indeks kekayaan Margalef, S = Jumlah spesies, dan N =

(30)

Keragaman spesies

Untuk mengukur keragaman spesies di areal plot pengamatan digunakan indeks keragaman Shannon-Wiener (Ludwig dan Reynold 1988) yang dihitung menggunakan persamaan sebagai berikut:

H‟ = - Σ pi. ln pi

Keterangan: pi = Proporsi jumlah individu ke-i (n/N), dan H‟ = Indeks Diversitas Shannon

Indeks kemerataan (evennes)

Untuk mengukur derajat kemerataan kelimpahan individu antara setiap spesies digunakan indeks kemerataan spesies tumbuhan pada habitat ketimunan dihitung menggunakan persamaan (Pielou 1975) dalam Ludwig dan Reynold (1988):

E = H‟ / ln (S)

Keterangan: E = Nilai evenness, H‟ = Keanekaragaman spesies, dan ln S = logaritma natural jumlah spesies.

Asosiasi antar dua spesies

Adapun asosiasi antara spesies tumbuhan ketimunan dengan spesies lain dilakukan secara berpasangan untuk setiap tingkat pertumbuhan dengan menggunakan kontigensi untuk setiap pasangan spesies ditunjukkan pada Tabel 3.

Tabel 3 Kontigensi berpasangan 2 x 2 untuk asosiasi spesies Spesies A

Spesies Ketimunan

Ada Tidak ada

Ada a b m = a + b

Tidak ada c d n = c + d

r = a + c s = b + d

Keterangan: a = Jumlah plot pengamatan ditemukannya spesies ketimunan dan spesies A, b = Jumlah plot pengamatan ditemukannya spesies ketimunan, namun tidak spesies A, c = Jumlah plot pengamatan ditemukannya spesies A, namun tidak spesies ketimunan, dan d = Jumlah plot pengamatan tidak ditemukannya kedua spesies

Hipotesis uji yang digunakan untuk menguji asosiasi antara spesies tumbuhan ketimunan dengan spesies A adalah:

H0 = keberadaan spesies tumbuhan ketimunan dengan spesies A adalah saling bebas

H1 = terdapat asosiasi antara spesies tumbuhan ketimunan dengan spesies A Hipotesa tersebut diuji dengan menggunakan persamaan uji Chi-Square (Ludwig dan Reynolds 1988) yaitu:

(31)

X2 hitung =

Keterangan : Oi = Nilai pengamatan, Ei = Nilai harapan

Nilai X² hitung dibandingkan nilai X² tabel pada selang kepercayaan 95%. Jika X² hitung < X²0.05 pada selang kepercayaan 95%, maka kesimpulannya terima

H0, artinya tidak terdapat asosiasi antara spesies tumbuhan ketimunan dengan spesies A. Jika X² hitung > X²0.05 maka kesimpulannya terima H1, artinya terdapat

asosiasi antara spesies tumbuhan ketimunan dengan spesies A.

Selanjutnya tingkat asosiasinya dapat diukur dengan menggunakan Indeks Jaccard (Ludwig dan Reynold 1988).

Keterangan: a = kedua spesies yang diketemukan ada (ketimunan dan A), b = spesies ketimunan tidak diketemukan dan spesies A diketemukan, dan c = spesies ketimunan diketemukan dan spesies A tidak diketemukan

Faktor lingkungan yang mempengaruhi keberadaan ketimunan

Analisis ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh faktor ekologis terhadap keberadaan ketimunan. Faktor ekologis yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah suhu udara, kelembaban udara, suhu tanah, pH tanah, kerapatan total semai, kerapatan total pancang, kearapatan total tiang, kerapatan total pohon dan unsur hara NPK. Data dianalisis menggunakan PCA (Principal Componen Analysis) atau analisis komponen utama dengan menggunakan software Minitab 16. Analisis PCA merupakan salah satu analisis multivariate yang bertujuan mengkaji struktur matriks ragam-peragam melalui linier variable-variabel, dengan tujuan untuk mengubah dari sebagian besar variabel asli yang digunakan yang saling berkorelasi dengan yang lainnya menjadi satu set variabel yang lebih kecil dan saling bebas.

Analisis regresi linier berganda dilakukan dengan menggunakan prosedur regresi Stepwise. Hal ini dilakukan untuk mengetahui variabel bebas yang memiliki pengaruh paling determinan terhadap variabel tidak bebasnya. Pada model ini jumlah kerapatan ketimunan berlaku sebagai variabel tak bebas (Y) yang akan diramalkan berdasarkan hasil pengukuran beberapa variabel bebas (X). Variabel bebas yang digunakan adalah beberapa parameter ekologis bagi keberadaan ketimunan. Persamaan regresi linear yang digunakan adalah sebagai berikut :

Yi = ß0 + ß1X1 + ß2X2 + ß3X3+ … + ß11X11 + Ɛ

Keterangan: Y = kerapatan ketimunan, X1= suhu udara (˚C), X2= kelembaban udara (%), X3= kerapatan total semai, X4 = kerapatan total pancang, X5 = kerapatan total tiang, X6 = kerapatan total pohon X7 = suhu tanah (˚C), X8 = pH tanah, X9 = Unsur hara N, X10 = unsur hara P, X11 = unsur hara K, ß0 =

nilai intersep, ß1, ß2, ß3 … ß11 = Koefisien regresi masing-masing variabel bebas,

dan Ɛ = kesalahan

(32)

(uji F) digunakan untuk mengetahui besarnya pengaruh secara bersama-sama dari parameter lingkungan yang diamati terhadap parameter kerapatan ketimunan. Uji lanjutan diperlukan jika berdasarkan uji F, H0 ditolak dan memiliki makna

sedikitnya terdapat satu parameter lingkungan yang berpengaruh nyata terhadap kerapatan ketimunan. Uji lanjutan ini berupa uji parsial atau uji t. Uji t dilakukan untuk mengidentifikasi parameter lingkungan yang berpengaruh nyata terhadap parameter kerapatan ketimunan.

Pengetahuan etnobotani

Data kualitatif yang diperoleh dari kegiatan diolah dan dianalisis dengan melakukan peringkasan data, penggolongan, penyederhanaan, penelusuran dan pengaitan antar tema. Selanjutnya data yang telah diperoleh disajikan secara deskriptif sesuai dengan tema pembahasan yang ada. Analisis data persepsi masyarakat dilakukan melalui distribusi frekuensi. Selain itu digunakan uji Chi-square untuk mengetahui apakah ada perbedaan persepsi pemanfaatan dan pengetahuan ketimunan oleh responden Suku Kanume berdasarkan perbedaaan tingkatan umur dan jenis kelamin.

Persamaan uji Chi-square adalah sebagai berikut: X2 hitung =

Keterangan: X² = Chi-square, Oi = Frekuensi pengamatan, dan Ei = Frekuensi harapan. Hipotesis pada uji statistik Chi-Square:

H0 : tidak ada perbedaan pengetahuan dalam pemanfaatan ketimunan

H1 : ada perbedaan pengetahuan dalam pemanfaatan ketimunan

Kriteria uji: luasnya adalah 413,810 ha. Kawasan ini terletak di bagian tenggara pulau Papua dalam wilayah administratif Kabupaten Merauke Propinsi Papua dan secara geografis TN Wasur berada antara koordinat 140°27‟ - 141°02‟ Bujur Timur dan 08°05‟ - 09°07‟ Lintang Selatan.

Batas-batas kawasan TN Wasur adalah sebagai berikut: Sebelah Barat

Kota Merauke yang berjarak kurang lebih 2 km Sungai Maro sepanjang 182.5 km sampai Sungai Wanggo

Batas negara antara Republik Indonesia dan Papua New-Guinea

(33)

Sejarah dan proses pengukuhan kawasan

Taman Nasional Wasur merupakan kawasan pelestaria alam yang ditunjuk berdasarkan SK menteri Kehutanan Nomor: 282/Kpts-VI/1997. Adapun sejarah lahirnya Taman Nasional Wasur dan unit pengelolaannya sesuai dengan keputusan yang telah ditetapkan sebelumnya ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4 Sejarah lahirnya Taman Nasional Wasur

Tanggal/Tahun Keputusan Isi Keputusan

2 Mei 1978 Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 252/Kpts/Um/5/1978

Kelompok hutan Wasur ditunjuk sebagai Kawasan suaka alam, yaitu Suaka Margasatwa Wasur dengan luas 206,000 hektar dan Cagar Alam Rawa Biru dengan luas 4,000 hektar (total luasan 210,000 ha).

10 Maret 1981 Gubernur Propinsi Irian Jaya (sekarang Papua) melalui surat No. 1125/DJ/I/1981

Pengusulan perluasan kawasan yang dilindungi tersebut sebesar 15,000 ha menjadi 225,000 ha, tetapi belum ditetapkan dalam SK Menteri.

4 Januari 1982 Keputusan Menteri Pertanian Nomor 15/Kpts/Um/1/1982

Perluasan kelompok hutan Wasur sebanyak 98,000 hektar, sehingga menjadi 323,000 ha (225,000 + 98,000 ha).

06 Maret 1990 Pernyataan Menteri Kehutanan RI Nomor: Pelestarian alam) yaitu Kedua kawasan tersebut (CA. Rawa Biru dan Suaka Margasatwa Wasur) dideklarasikan sebagai Taman Nasional Wasur Propinsi Irian Jaya dengan luas keseluruhan 308,000 hektar 23 Mei 1997 Keputusan Menteri

Kehutanan Nomor: 282/Kpts-VI/1997

Penunjukkan kawasan Taman Nasional Wasur di Kabupaten Merauke Irian Jaya seluas 413,810 ha.

Tanah

(34)

Pada tipe hutan dominan Melaleuca ditemukan jenis tanah vertisol. Berdasarkan karakteristik tanahnya, jenis tanah vertisol merupakan tanah yang memiliki daya kembang kerut yang tinggi, yaitu ketika musim basah memiliki kadar liat yang tinggi dan ketika musim kering mengalami kondisi pecah-pecah

dan mengeras. Pada tipe hutan dominan Melaleuca kedalaman horizon O (Organik) berkisar 30–40 cm dengan perubahan horison kurang jelas. Adapun

gambar jenis tanah dan spesies vegetasi pada hutan dominan Melaleuca ditunjukkan pada Gambar 4 dan Gambar 5.

Iklim

Kawasan TN Wasur memiliki iklim musiman (Monsoon) yaitu musim kering dan musim basah yang relatif. Musim kering terjadi pada bulan Juni sampai dengan November/Desember, sedangkan musim basah pada bulan Januari hingga bulan Mei.

Berdasarkan data BMG Merauke tahun 2014, temperatur bulanan maksimum terendah terjadi pada bulan Juni dan temperatur tertinggi terjadi pada bulan Desember, sedangkan temperatur bulanan minimum terendah terjadi pada bulan September dan tertinggi terjadi pada bulan Desember. Kelembaban udara tertinggi terjadi pada bulan Pebruari sebesar 88% dan kelembaban udara terendah terjadi pada bulan Oktober sebesar 76%. Adapun data curah hujan di kawasan Kabupaten Merauke ditujukkan pada Tabel 5.

Berdasarkan data sekunder dari stasiun BMG Merauke hingga tahun 2014, curah hujan bulanan mengalami peningkatan pada bulan Januari sampai dengan April, berkisar antara 105.2 mm sampai dengan 482.7 mm. Curah hujan yang sangat rendah terjadi pada bulan-bulan Juni sampai dengan Desember, berkisar antara 2.6 mm sampai dengan 59.3 mm. Jumlah hari hujan lebih banyak terjadi pada bulan Januari dan terendah terjadi pada bulan Oktober yang ditujukkan pada Tabel 6.

Gambar 5 Tutupan vegetasi diatas permukaan tanah vertisol

(35)

Tabel 5 Suhu udara rata-rata dan kelembaban udara rata-rata di kawasan kota Merauke

Bulan

Suhu Udara (˚C) dan Kelembaban Rata- Rata (%) 2014

Maks (˚C) Min (˚C) Rata-rata (˚C) RH (%)

Januari 31.6 24.4 27.3 87

Februari 31.2 24.3 27.0 88

Maret 31.7 24.4 27.3 86

April 31.6 24.5 27.1 87

Mei 31.4 24.1 26.9 86

Juni 28.6 23.3 25.8 86

Juli 28.9 22.0 24.8 83

Agustus 29.0 22.6 25.2 83

September 29.8 21.0 25.3 80

Oktober 31.8 22.5 26.7 76

Nopember 32.7 24.3 28.0 78

Desember 32.8 24.9 28.4 81

Sumber : Data BMG Merauke Tahun 2014

Tabel 6 Data curah hujan rata-rata di kawasan kota Merauke

Bulan Curah Hujan Rata- Rata (Bulan)

Mm Hari Hujan

Januari 271.0 26

Februari 407.0 18

Maret 105.2 18

April 482.7 20

Mei 79.4 18

Juni 31.1 19

Juli 15.0 14

Agustus 22.0 18

September 8.1 7

Oktober 2.6 1

Nopember 59.3 6

Desember 47.7 9

(36)

Kependudukan

Taman Nasional Wasur merupakan kawasan pelestarian alam dimana masyarakat lokal sudah ada berda di dalamnya sebelum taman nasional terbentuk. Jumlah kampung yang ada di TN Wasur berjumlah 8 (delapan) kampung, yang terdiri atas 3 (tiga) distrik yaitu Distrik Merauke, Distrik Naukenjerai dan Distrik Sota. Distrik Sota merupakan salah satu distrik tempat dimana penelitian ini dilakukan. Jumlah penduduk Distrik Sota kawasan TN Wasur pada Tahun 2013 berdasarkan data yang dikumpulkan di Distrik Sota tercatat sebanyak 2,852 jiwa. Kampung Yanggandur yang berada dalam Distrik Sota yang merupakan fokus wilayah kajian dalam penelitian ini memiliki jumlah penduduk sebanyak 620 jiwa, yang ditunjukkan pada Tabel 7.

Tabel 7 Data jumlah penduduk di Distrik Sota

Kampung KK Laki-laki Perempuan Total

Kampung Rawa Biru 74 162 162 324

Kampung Yanggandur 90 402 218 620

Kampung Sota* 115 315 471 786

Kampung Erambu 150 382 330 712

Kampung Toray 155 210 200 410

Jumlah 584 1,471 1,381 2,852

Sumber : Kantor Kampung & Dinas Catatan Sipil 2013 dalam BPS Merauke 2014 Keterangan : * enclave

Bioekologi Ketimunan Klasifikasi, morfologi dan penyebaran ketimunan

Ketimunan merupakan suatu jenis tumbuhan termasuk golongan pohon dalam famili Rubiaceae, berdasarkan identifikasi yang dilakukan, maka secara taksonomi dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

Kingdom : Plantae (tumbuhan)

Subkingdom : Tracheobionta (tumbuhan berpembuluh) Super Divisi : Spermatophyta (menghasilkan biji) Divisi : Magnoliophyta (tumbuhan berbunga) Kelas : Magnoliopsida (berkeping dua / dikotil) Sub Kelas : Asteridae

Ordo : Rubiales

Famili : Rubiaceae (suku kopi-kopian) Genus : Timonius

Spesies : Timonius timon (Spreng.) Merr.

Adapun sinonim dari tumbuhan ini adalah Nelitris timon (Spreng.) Britten. Bagi masyarakat umum, tumbuhan ini dikenal dengan nama ketimunan (timon) dan bagi masyarakat lokal Suku Kanume tumbuhan ini disebut dengan Mpingku

(37)

Adapun ciri-ciri dari tumbuhan ini adalah pohon berukuran kecil dengan ketinggian mencapai 6-10 m. Batang silindris, kulit batang luar berwarna coklat kehitaman sampai hitam keputihan, retak-retak kecil, tebalnya 1-1.5 cm, kayu batang dalam lunak sampai keras, bewarna putih kemerahan. Daun tunggal, berhadapan bersilangan, bentuknya jorong memanjang, berukuran 7-19 x 2-6 cm, panjang tangkai daun 1-2 cm, ujung daun runcing, pangkal daun membaji, tepi daun rata, permukaan atas daun bewarna hijau tua dan bewarna hijau kelabu pada bagian bawahnya, perutan daun tegas pada permukaan bawah, urat daun sekunder menyirip berseling, urat daun tersier berbentuk jala, stipula berbentuk tudung di ujung ranting 1.5-5 cm, gugurnya stipula meninggalkan tanda berbentuk cincin pada ranting, ranting muda umumnya dipadati bulu-bulu halus, bulu-bulu haus di sepanjang tangkai daun hingga di urat daun lateral. Bunga dalam susunan berkas di ketiak daun, mahkota mekar pada bagian ujung bewarna putih berbentuk tabung atau terumpet, panjangnya sekitar 6-12 mm, tangkai bunga 1-1.5 cm. Buah bentuknya bulat berdiameter 10-13 mm, umumnya tunggal atau berpasangan di ketiak daun, kelopak bertahan pada puncaknya (Hisa et al. 2012). Adapun bagian-bagian tumbuhan ketimunan ditunjukkan pada Gambar 6 sampai dengan Gambar 9.

Penyebaran dari tumbuhan ini terbatas pada beberapa lokasi. Menurut Simsons (2011), tumbuhan ini terdapat di PNG termasuk Papua, Australia bagian utara, Kepulauan Timor dan Maluku serta kepulauan Solomon. Di TN Wasur,

Gambar 6 Daun ketimunan Gambar 7 Bunga ketimunan

(38)

tumbuhan ini banyak terdapat pada kawasan hutan terbuka seperti kawasan hutan jarang Melaleuca. Di Australia, tumbuhan ini terdapat pada daerah-daerah pesisir dan pulau-pulau lepas pantai Queensland, berada sering dekat pantai dan selalu di daerah terlindung, misalnya di hutan eucalyptus atau hutan pesisir. Ketimunan adalah pohon lebat yang tumbuh di daerah pesisir provinsi bagian tengah dari negara Papua New Guinea (Erdelmeier et al. 1994).

Tumbuhan ini dapat ditemukan pada ketinggian + 850 mdpl, pada daerah-daerah terbuka dengan kondisi tanah aluvial dengan sedikit berpasir dan pH tanahnya <6.5. Hal ini sesuai dengan hasil pengamatan dan pengukuran di lapangan yang menunjukkan bahwa tumbuhan ini di TN Wasur hidup pada dataran rendah (+ 5-30 mdpl), menyukai daerah-daerah terbuka seperti hutan jarang Melaleuca dan savanna, tanah aluvial berasal dari proses endapan lumpur dengan sedikit berpasir, kondisi tanah liat pada waktu hujan dan mengeras pada musim kemarau serta miliki pH tanah berkisar antara 4.5-5.0.

Struktur dan komposisi vegetasi habitat ketimunan

Struktur vegetasi dapat didefinisikan sebagai organisasi individu-individu tumbuhan dalam ruang yang membentuk tegakan dan secara lebih luas membentuk tipe vegetasi atau asosiasi tumbuhan (Muller-Dumbois dan Ellemberg 1974). Analisa vegetasi merupakan salah satu cara untuk mempelajari susunan (komposisi jenis) dan bentuk (struktur) vegetasi atau masyarakat tumbuh-tumbuhan. Berdasarkan hasil perhitungan Indeks Nilai Penting pada kawasan hutan jarang Melaleucadi Resort Sota SPTN Wilayah III Wasur Taman Nasional Wasur menunjukkan hasil analisis struktur vegetasi tingkat semai, teridentifikasi sebanyak 27 spesies tumbuhan dengan 13 famili. Spesies Melaleuca cajuputi

merupakan spesies yang mendominasi tingkat semai dengan INP sebesar 39.98%,

Asteromyrtus symphyocarpa sebesar 30.67%, Eucalyptus papuana sebesar 23.84%, diikuti oleh spesies-spesies yang memiliki INP >10% yang ditunjukkan pada Tabel 8.

Tabel 8 INP >10% berdasarkan tingkat pertumbuhan semai

Jenis Famili INP (%)

Melaleuca cajuputi Myrtaceae 39.98

Asteromyrtus symphyocarpa Myrtaceae 30.67

Eucalyptus papuana Myrtaceae 23.84

Acacia auriculiformis Fabaceae 20.46

Planchonia careya Lecythidaceae 18.79

Melaleuca viridiflora Myrtaceae 17.07

Antidesma ghaesembilla Phyllanthaceae 16.17

(39)

Tabel 9 INP >10% berdasarkan tingkat pertumbuhan pancang

Jenis Famili INP (%)

Melaleuca cajuputi Myrtaceae 39.83

Eucalyptus papuana Myrtaceae 30.49

Acacia auriculiformis Fabaceae 27.43

Planchonia careya Lecythidaceae 26.91

Melaleuca viridiflora Myrtaceae 11.33

Banksia dentate Proteaceae 11.10

Pada tingkat tiang diidentifikasi sebanyak 30 spesies dan 14 famili. Spesies Buah hijau (Planchonia careya) memiliki INP yang tertinggi sebesar 66.45%, M. cajuputi sebesar 44.94%, A. auriculiformis sebesar 38.27%, diikuti oleh spesies-spesies yang memiliki INP >10% yang ditunjukkan pada Tabel 10.

Tabel 10 INP >10% berdasarkan tingkat pertumbuhan tiang

Jenis Famili INP (%)

Planchonia careya Lecythidaceae 66.45

Melaleuca cajuputi Myrtaceae 44.94

Acacia auriculiformis Fabaceae 38.27

Eucalyptus pellita Myrtaceae 30.90

Eucalyptus papuana Myrtaceae 20.99

Banksia dentate

Pada tingkat pertumbuhan pohon diidentifikasi sebanyak 34 spesies dan 16 famili. Spesies Bush putih (M. cajuputi) memiliki INP yang tertinggi sebesar 85.46% dan ikuti spesies-species yang memiliki INP >10% yang ditunjukkan pada Tabel 11.

Tabel 11 INP >10% berdasarkan tingkat pertumbuhan pohon

Jenis Famili INP (%)

Melaleuca cajuputi Myrtaceae 85.46

Eucalyptus pellita Myrtaceae 54.62

Planchonia careya Lecythidaceae 33.83

Eucalyptus papuana Myrtaceae 25.31

Asteromytus symphyocarpa

(40)

terendah terdapat pada tingkat pertumbuhan pohon. Dengan demikian struktur tegakan hutan yang terbentuk membentuk pola huruf “J” terbalik. Ketersediaan jumlah pohon muda lebih banyak jika dibandingkan jumlah pohon tua sehingga kelestrian dapat terjaga.

Hasil analisa vegetasi menunjukkan untuk spesies ketimunan pada setiap tingkat pertumbuhan memiliki kerapatan, frekuensi dan dominansi yang kecil. Hal ini dapat dilihat dari nilai INP dari tumbuhan ini tidak mencapai 10%. Adapun tabel INP ketimunan berdasarkan tingkat pertumbuhan ditunjukkan pada Tabel 12. Data tersebut menunjukkan bahwa untuk kerapatan relatifnya ketimunan pada tingkat pertumbuhan pancang memiliki nilai kerapatan relatif terbesar 4.39%, diikuti tingkat pertumbuhan tiang 3.25%, tingkat pertumbuhan semai 1.22% dan tingkat pertumbuhan pohon sebesar 1.12%. Potensi yang cukup besar pada hutan jarang Melaleuca antara lain karena faktor-faktor lingkungan yang dibutuhkan ketimunan untuk perkembangan hidupnya cukup tersedia.

Tabel 12 INP ketimunan berdasarkan tingkat pertumbuhan Tingkat

Menurut Gardner et al. (1991), kerapatan tanaman sangat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, yaitu penyinaran, kelembaban dan kesuburan tanah. Keterbatasan faktor-faktor lingkungan tersebut merendahkan kerapatan tanaman. Untuk tingkat pertumbuhan semai, nilai kerapatan relatif tumbuhan ketimunan lebih kecil jika dibandingkan dengan tingkat pertumbuhan pancang dan tiang. Hal ini disebabkan karena adanya bekas kebakaran permukaan yang menyebakan jumlah individu ketimunan yang ditemukan relatif sedikit. Ada kebiasaan yang dilakukan masyarakat lokal melakukan pembakaran dengan tujuan tertentu, diantaranya merangsang pertumbuhan rumput muda agar memudahkan di dalam perburuan dan membersihkan dusun dari tumbuhan penganggu lainnya.

(41)

Berdasarkan inventarisasi, ketimunan memiliki diameter batang yang rata-rata tidak terlalu besar, hal ini dapat dilihat dari hasil analisa menunjukkan untuk tingkat pertumbuhan pohon sebesar 0.52% dan tingkat pertumbuhan tiang sebesar 2.84%. Hal ini diduga disebabkan oleh komunitas yang terbentuk tergolong masih muda. Rata-rata ukuran diameter ketimunan yang diketemukan sebagian besar diketemukan pada golongan muda, artinya terjadi regenerasi ketimunan yang cukup baik di habitatnya. Secara keseluruhan, ketimunan memiliki INP tertinggi diketemukan pada tingkat pertumbuhan tiang sebesar 9.31% dan terendah pada tingkat pertumbuhan pohon sebesar 3.03%.

Nilai kerapatan setiap spesies menunjukkan bahwa terdapat variasi atau perbedaan mengenai kerapatan individu/ha. Perbedaan nilai kerapatan masing-masing spesies disebabkan karena adanya perbedaan kemampuan reproduksi, penyebaran dan daya adaptasi terhadap lingkungan (Arrijani 2005). Selain itu, ada banyak faktor yang menyebabkan terjadinya perubahan suatu spesies dalam suatu habitat baik dari segi kerapatan, frekuensi dan dominansinya. Kondisi iklim mikro suatu tempat akan berpengaruh terhadap pertumbuhan suatu spesies tumbuhan (Barbour et al. 1987). Keberhasilan setiap spesies untuk mengokupasi suatu area dipengaruhui oleh kemampuan beradaptasi secara optimal terhadap seluruh faktor lingkungan fisik (temperatur, cahaya, struktur tanah, kelembaban dan lain-lain), faktor biotik (interaksi antar spesies, kompetisi, parasitisme dan lain-lain) dan faktor kimia yang meliputi ketersediaan air, oksigen, pH, nutrisi dalam tanah dan lain-lain (Krebs 1994).

Gambar 10 Kerapatan ketimunan berdasarkan tingkat pertumbuhan

(42)

dibandingkan tingkat pertumbuhan lainnya sehingga dapat disimpulkan keberadaan ketimunan di alam kelestariannya masih terjaga karena jumlah individu/ha ketimunan muda lebih banyak daripada yang tua.

Data tersebut umumnya terdapat pada tegakan hutan alam yang proses regenerasi pohonnya berjalan dengan baik. Tegakan hutan berdasarkan regenerasi tersebut, terutama regenerasi pohon, secara alamiah pasti memiliki struktur umur yang serasi dengan penampakan struktur tegakan hutannya. Dengan kata lain, bahwa pada tegakan hutan seperti itu terdapat pepohonan fase muda yang jumlahnya paling banyak, kemudian pohon pada fase lebih tua jumlahnya menurun sebanding dengan bertambahnya umur dan meningkatnya fase pertumbuhan pohon (Indriyanto 2005 dalam Indriyanto 2008).

Berdasarkan data diatas menunjukkan bahwa keberadaan ketimunan individu/ha pada habitat hutan jarang Melaleuca termasuk dalam katagori regenerasi yang baik (good). Menurut Shankar (2001), membagi status regenerasi menjadi beberapa bagian, yaitu baik (good) apabila jumlah anakan > pancang > dewasa; Cukup (fair) apabila jumlah anakan > pancang < dewasa; Rendah (poor) apabila spesies yang mampu hidup hanya pada tingkat pertumbuhan pancang, tetapi tidak pada tingkat pertumbuhan semai; Tidak ada regenerasi (none) apabila tidak ada spesies baik pada tingkat pancang maupun anakan; Baru regenerasi (new) bila tidak terdapat dewasa tetapi hanya pada tingkat pertumbuhan anakan dan tingkat pertumbuhan pancang.

Gambar 11 Famili berdasarkan tingkat pertumbuhan

(43)

yang ditunjukan pada Gambar 11. Laporan penelitian sebelumnya yang terkait dengan penelitian ini, Soerinegara dan Indrawan (1988) menyatakan bahwa zona vegetasi hutan untuk zona timur berada dibawah pengaruh vegetasi Australia meliputi pulau-pulau Maluku, Nusa Tenggara dan Irian Jaya, dimana jenis dominan adalah dari famili Araucariaceae dan Myrtaceae. Menurut Kartikasari et al. (2013), di Nugini spesies dari famili Myrtaceae terdapat di banyak habitat, termasuk zona pasang surut, padang savanna, hutan rawa, hutan dataran rendah dan hutan basah pegunungan dan semak serta perdu subalpin. Parinding (2007) menyatakan bahwa spesies pada famili Myrtaceae merupakan spesies yang mendominasi semua habitat yang ada di TN Wasur yaitu hutan dataran rendah, savanna dan rawa. Kartikasari et al. (2013) menyatakan bahwa jauh di Tenggara pulau Papua terdapat hutan monsoon yang hebat, yang semakin ke selatan berangsur berubah menjadi hutan Melaleucadan savanna eucalyptus.

Hasil analisa vegetasi juga menunjukkan di kawasan hutan jarang Melaleuca yang merupakan habitat ketimunan, semua tingkatan pertumbuhan vegetasi didominasi oleh spesies bush putih (M. cajuputi). Parinding (2007) menyatakan bahwa spesies M. cajuputi merupakan spesies yang mendominasi semua habitat, meliputi hutan dataran rendah, savanna dan rawa yang ada di TN Wasur. Suprajitno (2007) menyatakan bahwa habitat hutan jarang terdiri dari hutan yang didominasi oleh vegetasi Melaleuca spp dan co-dominan Melaleuca spp

Eucalyptus spp. Dengan demikian bush putih dapat dikatakan sebagai spesies yang dominan, yaitu spesies yang dapat memanfaatkan lingkungan yang ditempatinya secara efisien daripada spesies lain dalam tempat yang sama.

Di dalam suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan, seperti hutan terjadi persaingan antara individu-individu dari suatu spesies atau berbagai spesies jika mempunyai kebutuhan-kebutuhan yang sama misalnya hara mineral tanah, air, cahaya dan ruang. Persaingan menyebabkan terbentuknya susunan masyarakat tumbuh-tumbuhan yang tertentu bentuknya, macam dan banyaknya spesies dan

Gambar 12 Persebaran anakkan spesies bush putih (Melaleuca cajuputi) yang menginvasi savanna

Gambar 13 Persebaran spesies

bush putih

(Melaleuca

cajuputi) yang

(44)

jumlah individu-individunya sesuai dengan keadaan tempat tumbuhnya (Soerianegara dan Indrawan 1988). Menurut Sorianegara dan Indrawan (1988), dominansi suatu spesies terhadap spesies yang lain di dalam tegakan dapat dinyatakan dalam beberapa hal, diantaranya banyaknya individu dan kerapatan, persen penutupan (cover percentage) dan luas bidang dasar (basal area), volume, biomass serta indeks nilai penting (importance value index). Dominasi dari suatu spesies pada tiap tingkatan spesies tumbuhan dapat memberikan petunjuk daya survival suatu spesies dalam suatu komunitas hutan. Odum (1959) dalam Soerianegara dan Indrawan (1998) menyatakan bahwa spesies yang dominan adalah spesies yang mempunyai jumlah biomas yang terbesar. Menurut Curtis dan Intose (1951) dalam Soerianegara dan Indrawan (1998), indeks nilai penting yang diintrodusir adalah jumlah dari kerapatan relatif, bidang dasar relatif dan frekuensi relatif dengan nilai maksimum dari INP adalah 300%.

Indeks Nilai Penting (INP) merupakan suatu bentuk gambaran struktur tegakan secara horizontal (Husch et al. 1982 dalam Kissinger 2002). Suatu spesies dikatakan berperan jika INP tingkat pancang dan anakan lebih dari 10% dan untuk tingkat pohon dan tiang sebesar 15%. INP suatu spesies merupakan nilai yang menggambarkan peranan keberadaan suatu spesies dalam komunitas. Makin besar INP suatu spesies makin besar pula peranan spesies tersebut dalam komunitas. INP dengan nilai yang tersebar merata pada banyak spesies lebih baik daripada bertumpuk atau menonjol pada sedikit spesies karena menunjukkan terciptanya relung (niche) yang lebih banyak dan tersebar merata, spesifik dan bervariasi. INP yang merata pada banyak spesies juga sebagai indikator semakin tingginya keanekaragaman hayati pada suatu ekosistem dan perkembangan ekosistem yang baik untuk mencapai kestabilan pada tahap klimaks.

Berdasarkan data-data tersebut diatas menunjukkan bahwa M. cajuputi

merupakan spesies yang sangat mendominasi di kawasan TN Wasur. Hal ini dapat dilihat dari nilai INP yang tertinggi pada setiap tingkat pertumbuhan. Besaran indeks nilai penting menunjukkan peranan spesies yang bersangkutan dalam komunitasnya atau pada lokasi penelitian. Kemampuan dari spesies ini untuk dapat beradaptasi dengan kondisi lingkungan pada seluruh wilayah penelitian menyebabkan tumbuhan ini menginvasi beberapa habitat di dalam kawasan. Ketimunan menunjukkan nilai kerapatan, frekuensi dan dominansinya sangat kecil sehingga di dalam pengelolaannnya perlu mendapatkan perhatian. Menurut Marsono (1977), ada beberapa faktor yang mempengaruhi komposisi dan struktur vegetasi, yaitu flora, habitat (iklim, tanah dan lain-lain), waktu dan kesempatan sehingga vegetasi di suatu tempat merupakan hasil resultan dari banyak faktor baik sekarang maupun yang lampau.

Gambar

Gambar 1  Kerangka pemikiran penelitian
Gambar 2  Kawasan TN Wasur Merauke Papua
Tabel 1  Jenis dan metode pengumpulan data
Gambar 3  Petak ukur kombinasi antara jalur dan garis berpetak
+7

Referensi

Dokumen terkait

Pada praktik pembelajaran yang dilaksanakan, praktikan mengajar mata pelajaran sesuai dengan kelas dan waktu yang telah ditentukan dan disepakati dengan guru

Seluruh teman-teman S1 Keperawatan Angkatan 2016 Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Surakarta atas ilmu dan rasa kekeluargaan yang

Sehingga dapat diinterpretasikan bahwa ada hubungan antara vertigo dengan riwayat jatuh pada lanjut usia di Kota Surakarta. Kesimpulan: Terdapat hubungan antara vertigo dengan

AUDIT, FINANCIAL DISTRESS , PERTUMBUHAN PERUSAHAAN KLIEN DAN UKURAN KAP TERHADAP AUDITOR SWITCHING (Studi Empiris pada Perusahaan Manufaktur yang Terdaftar di Bursa

Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa Penelitian Tindakan Kelas adalah penelitian yang dilakukan guru secara sistematis dalam kegiatan belajar berupa sebuah

Rerata semua butir variabel status penggunaan informasi sebesar 2,80; menunjukkan rendahnya keterpakaian statistik Sipus V3 untuk pengambilan keputusan yaitu penyusunan

Sulitnya proses pembuatan, lamanya waktu pengurusan, lambatnya kinerja petugas pelayanan, kondisi tempat yang kurang nyaman dan aman, suasana yang tidak teratur, dan

Menurut teori ini konsumen media memiliki kebebasan untuk memutuskan bagaimana mereka menggunakan media dan bebas memilih media mana yang mampu memuaskan kebutuhan