• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan Aspergillus flavus BIO 2237 dan BCC F0213 pada Jagung dan Kedelai serta Pengendaliannya oleh Saccharomyces cerevisiae ATCC 9376

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pertumbuhan Aspergillus flavus BIO 2237 dan BCC F0213 pada Jagung dan Kedelai serta Pengendaliannya oleh Saccharomyces cerevisiae ATCC 9376"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

PERTUMBUHAN

Aspergillus flavus

BIO 2237 DAN BCC F0213

PADA JAGUNG DAN KEDELAI SERTA PENGENDALIANNYA

OLEH

Saccharomyces cerevisiae

ATCC 9376

CACA PRATIWI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa

tesis berjudul

Pertumbuhan

Aspergillus flavus

BIO 2237 dan BCC F0213 pada Jagung dan Kedelai serta

Pengendaliannya oleh

Saccharomyces cerevisiae

ATCC 9376

adalah benar karya

saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa

pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip

dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan

dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2014

Caca Pratiwi

(3)

RINGKASAN

CACA PRATIWI. Pertumbuhan

Aspergillus flavus

BIO 2237 dan BCC F0213 pada

Jagung dan Kedelai serta Pengendaliannya oleh

Saccharomyces cerevisiae

ATCC

9376. Dibimbing oleh WINIATI P. RAHAYU dan HANIFAH NURYANI LIOE.

Kapang

Aspergillus flavus

(

A. flavus

) penghasil aflatoksin seringkali

mengontaminasi jagung dan kedelai. Suhu dan kelembaban relatif (RH) merupakan

faktor yang mempengaruhi pertumbuhan

A. flavus

. Tujuan dari penelitian ini adalah

untuk mengukur pertumbuhan

A. flavus

BIO 2237 dan BCC F0213 serta produksi

aflatoksin pada suhu dan RH yang berbeda. Selain itu dilakukan juga pengendalian

pertumbuhan kapang

A. flavus

BIO 2237 dan BCC F0213 oleh

Saccharomyces

cerevisiae

ATCC 9376.

Aspergillus flavus

BIO 2237 atau BCC F0213 ditumbuhkan

pada media

Czapek Dox Agar

(CDA), jagung, dan kedelai selama 10 hari pada suhu

20, 30, dan 40 ºC dengan RH 70, 80, dan 90%, sedangkan pengendalian pertumbuhan

A. flavus

BIO 2237 dan BCC F0213 dilakukan dengan cara menumbuhkan

S. cerevisiae

ATCC 9376 secara bersamaan dengan kapang

A. flavus

BIO 2237 atau

BCC F0213 pada media

Potato Dextrose Agar

(PDA), jagung, dan kedelai yang

kemudian diinkubasi pada suhu ruang (30 ºC) selama 10 hari. Pertumbuhan maksimal

A. flavus

BIO 2237 dan BCC F0213 pada media CDA dicapai pada suhu 30 ºC dengan

RH 90%. Sementara itu, pada jagung

Aspergillus flavus

BIO 2237 tumbuh maksimal

pada suhu 20 ºC dengan RH 90%, sedangkan pada kedelai tumbuh maksimal pada

suhu 30 ºC dengan RH 90%. Pertumbuhan maksimal

A. flavus

BCC F0213 pada

jagung dan kedelai dicapai pada suhu 20 ºC dengan RH 90%, sementara pada suhu

40 ºC dengan RH 70% kedua strain

A. flavus

ini tidak dapat tumbuh pada jagung

maupun pada kedelai.

Analisis aflatoksin dilakukan dengan menggunakan RP-HPLC yang dilengkapi

dengan detektor fluoresen dan

post column photochemical reactor

. Limit deteksi

(LoD) aflatoksin B1,

B2,

G1, dan G2 masing-masing adalah 0.45, 0.26, 0.05, dan

0.13 ng/mL, sementara limit kuantifikasi (LoQ) masing-masing adalah 1.52, 0.88,

0.18, dan 0.43 ng/mL. Kandungan aflatoksin tertinggi ditemukan pada jagung dan

kedelai yang disimpan pada suhu 30 ºC dengan RH 90%.

Pertumbuhan

A. flavus

BIO 2237 dan BCC F0213 dapat dikendalikan oleh

S. cerevisiae

ATCC 9376. Persentasi pengendalian pertumbuhan

A. flavus

BIO 2237

oleh

S. cerevisiae

ATCC 9376 pada media PDA, jagung, dan kedelai masing-masing

sebesar 46, 47, dan 45%, sementara itu untuk

A. flavus

BCC F0213 masing-masing

sebesar 52, 52, dan 38%. Penghambatan pertumbuhan kedua strain

A. flavus

pada

media kedelai lebih kecil dibandingkan penghambatan pada media jagung.

(4)

SUMMARY

CACA PRATIWI. The growth of

Aspergillus flavus

BIO 2237 and BCC F0213 at

Maize and Soybeans and its bio-controlling by

Saccharomyces cerevisiae

ATCC

9376. Supervised by WINIATI P. RAHAYU and HANIFAH NURYANI LIOE.

Aspergillus flavus

(

A. flavus

) producing aflatoxin in oftentimes is found

contaminating crops such as maize and soybeans. The growth of this mold on maize,

soybeans and other food is affected by temperature and relative humidity (RH). The

aim of this study was to measure the growth of

A. flavus

(BIO 2237 and BCC F0213)

and aflatoxin production at different temperatures and RH, included its bio-controlling

by

Saccharomyces cerevisiae

ATCC 9376.

Aspergillus flavus

BIO 2237 or BCC

F0213 was inoculated on Czapex Dox Agar (CDA), maize, and soybeans for 10 days

at temperature 20, 30, and 40 ºC with RH 70, 80, and 90%, respectively. To reduce the

growth of

A. flavus

BIO 2237 or BCC F0213, each strain was inoculated with

S. cerevisiae

ATCC 9376 in Potato Dextrose Agar (PDA), maize, and soybeans for 10

days. Aflatoxin analysis was conducted using RP-HPLC equipped with fluorescence

detector and post column photochemical reactor. These instrument had limit of

detection (LoD) 0.45, 0.26, 0.05, and 0.13 ng/mL, while their limit of quantification

(LoQ) was 1.52, 0.88, 0.18, and 0.43 ng/mL, for aflatoxin B

1,

B

2,

G

1,

and

G

2

respectively.

The maximum growth for

A. flavus

BIO 2237 and BCC F0213 on CDA were

reached at temperature 30 ºC with RH 90%, whereas in maize were reached at

temperature 20 ºC with RH 90%. On soybeans, the maximum growth of

A. flavus

BIO

2237 was reached at temperature 30 ºC with RH 90%, while

A. flavus

BCC F0213 at

temperature 20 ºC with RH 90%.

Aspergillus flavus

BIO 2237 and BCC F0213 could

not growth as well as produce aflatoxin at temperature 40 ºC with RH 70% in maize

and soybeans. The maximum level of aflatoxin on maize and soybeans was produces

at temperature 30 ºC with RH 90% (614 ng/g for maize and 999 ng/g for soybeans).

The growth of

Aspergillus flavus

BIO 2237 and BCC F0213 were inhibited by

S. cerevisiae

ATCC 9376. The inhibition percentage for the growth of

A. flavus

BIO

2237 on PDA, maize, and soybeans medium was 46, 47, and 45%, and for BCC F0213

was 52, 52, and 38%. The minimum inhibition of

A. flavus

BIO 2237 and BCC F0213

was found in soybeans medium.

(5)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau

menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian,

penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu

masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(6)

PERTUMBUHAN

Aspergillus flavus

BIO 2237 DAN BCC F0213

PADA JAGUNG DAN KEDELAI SERTA PENGENDALIANNYA

OLEH

Saccharomyces cerevisiae

ATCC 9376

CACA PRATIWI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)

Judul Tesis : Pertumbuhan

Aspergillus flavus

BIO 2237 dan BCC F0213 pada Jagung

dan Kedelai serta Pengendaliannya oleh

Saccharomyces cerevisiae

ATCC 9376

Nama

: Caca Pratiwi

NIM

: F251110211

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Prof Dr Winiati P. Rahayu

Ketua

Dr Ir Hanifah Nuryani Lioe, MSi

Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi

Ilmu Pangan

Prof Dr Ir Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(9)

PRAKATA

Alhamdulillah, Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah

subhanahu wa

t

a’ala

atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini (tesis) dapat diselesaikan.

Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2013 ini ialah

pertumbuhan

Aspergillus flavus

BIO 2237 dan BCC F0213 pada jagung dan kedelai

serta pengendaliannya oleh

Saccharomyces cerevisiae

ATCC 9376. Terima kasih dan

penghargaan yang tinggi penulis ucapkan kepada:

1.

Ibu Prof Dr Winiati P. Rahayu dan Ibu Dr Ir Hanifah Nuryani Lioe, MSi selaku tim

komisi pembimbing atas waktu, ilmu, saran, kesabaran dan kemudahan yang

diberikan selama bimbingan mulai dari tahap awal rencana penelitian sampai akhir

penyelesaian tesis ini.

2.

Ibu Dian Herawati, MSi dari Departemen ITP-IPB, dan Ibu Santi Ambarwati, MSi

dari SEAMEO BIOTROP, serta Bapak Wisnu Broto, MS dari Balai Besar Penelitian

dan Pengembangan Pasca Panen, yang telah banyak memberi saran dan bantuan

selama pengumpulan data.

3.

Bapak Prof Dr Ir Rizal Syarief, DESS selaku penguji luar komisi atas ilmu dan

masukan-masukan yang telah diberikan untuk kesempurnaan tesis ini.

4.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, melalui Program Kerjasama

Kemitraan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Nasional (KKP3N) atas bantuan

dana selama penelitian.

5.

Pemerintah RI, malalui Dirjen Dikti, Departemen Pendidikan Nasional atas bantuan

beasiswa dalam Program Beasiswa Unggulan

on Going

2012.

6.

Kedua orang tuaku tercinta, Bapak Usman Hasyim, S.Pd dan Ibu Rosmini, S.Pd

serta saudara-saudaraku semua atas segala doa, dukungan, nasehat, semangat, dan

pengertian serta kasih sayang yang telah diberikan.

7.

Sinta Simatupang dan Dwi Rahayu, atas kerjasama, kebersamaan dan dukungannya.

8.

Rekan-rekan mahasiswa Pascasarjana terutama Mayor Ilmu Pangan angkatan 2011

atas kebersamaan dan kerjasama, serta bantuannya dalam perkuliahan, penelitian

dan penyelesaian karya ilmiah ini.

9.

Segenap staf di lingkungan Program Studi Ilmu Pangan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2014

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI

v

DAFTAR TABEL

vi

DAFTAR GAMBAR

vii

1

PENDAHULUAN

1

Latar Belakang

1

Perumusan Masalah

2

Tujuan Penelitian

2

Hipotesis Penelitian

2

Manfaat Penelitian

3

2

TINJAUAN PUSTAKA

4

Kapang

Aspergillus flavus

4

Aflatoksin

4

Jagung

8

Kedelai

9

Metode analisis aflatoksin dengan RP-HPLC

10

Pengendalian pertumbuhan

A. flavus

oleh

S. cerevisiae

11

3

BAHAN DAN METODE

12

Waktu dan Tempat Penelitian

12

Bahan

12

Alat

12

Prosedur Analisis Data

12

4

HASIL DAN PEMBAHASAN

18

Pengaturan RH 70, 80, dan 90 % pada suhu 20, 30, dan 40 ºC dengan

menggunakan beberapa jenis garam

18

Pengaruh suhu dan kelembaban relatif terhadap pertumbuhan

A. flavus

BIO 2237 dan BCC F0213 pada media

Czapex Dox Agar

(CDA)

20

Pengaruh suhu dan kelembaban relatif terhadap pertumbuhan

A. flavus

BIO 2237 dan BCC F0213 pada jagung dan kedelai

23

Pengaruh suhu dan kelembaban relatif terhadap pembentukan aflatoksin

B

1

, B

2

, G

1

, dan G

2

pada jagung serta kedelai

25

Pengendalian pertumbuhan

A. flavus

BIO 2237 dan BCC F0213 oleh

S. cerevisiae

ATCC 9376 pada media PDA, jagung, dan kedelai

28

5

SIMPULAN DAN SARAN

33

Simpulan

33

Saran

33

DAFTAR PUSTAKA

34

(11)

DAFTAR TABEL

1

LD50 aflatoksin terhadap hewan percobaan (itik)

5

2

Kandungan aflatoksin pada bahan pangan di beberapa negara

6

3

Regulasi ambang batas total aflatoksin dan aflatoksin B1 berdasarkan

EC No 165/2010 pada komoditi pangan

7

4

Regulasi ambang batas total aflatoksin dan aflatoksin B

1

pada bahan

pangan di beberapa negara Asia

7

5

Cemaran

A. flavus

dan kapang pada jagung di beberapa daerah di

Indonesia

8

6

Kadar aflatoksin pada jagung di tingkat petani di tiga wilayah di Indonesia

9

7

Kondisi HPLC yang digunakan untuk analisis aflatoksin B1, B2, G1,

dan G2, pada jagung dan kedelai.

15

8

Jenis dan jumlah garam dalam 100 mL air yang digunakan untuk

mengatur kelembaban relatif (RH)

18

9

Pertumbuhan

A. flavus

BIO 2237 dan BCC F0213 pada CDA pada

suhu 20, 30, dan 40 ºC dengan RH 70, 80, dan 90% selama 7 hari

masa inkubasi

22

10

Pembentukan massa sel

A. flavus

BIO 2237 dan BCC

F0213 pada jagung

dan kedelai pada suhu 20, 30,

dan 40 ºC dengan RH 70, 80, dan 90%

selama 10 hari masa inkubasi

23

11

Kandungan aflatoksin pada jagung dan kedelai yang diinokulasi

A. flavus

BIO 2237 sebanyak 100 µL dengan konsentrasi 10

6

CFU/mL

dan diinkubasi pada suhu 20, 30, dan 40

o

C dengan RH 70, 80, dan 90%

selama 10 hari

26

12

Daya hambat

S. cerevisiae

ATCC 9376 terhadap pertumbuhan

A. flavus

BIO 2237 dan BCC F0213

29

13

Kandungan gizi dalam tiap 100 g jagung dan kedelai

31

DAFTAR GAMBAR

1

Struktur kimia aflatoksin

5

2

Diagram alir penelitian

13

3

Inkubasi

A. flavus

BIO 2237 dan BCC F0213 di media CDA, jagung,

dan kedelai pada berbagai suhu dan RH yang diatur melalui larutan

garam jenuh dan suhu inkubator

15

4

Diagram alir persiapan analisis aflatoksin B1, B2, G1, dan G2 pada

jagung dan kedelai

17

5

Pertumbuhan

A. flavus

BIO 2237 (A) dan BCC F0213 (B) pada

media CDA selama 10 hari inkubasi pada suhu 30

o

C dan RH 90%

20

6

Pertumbuhan

A. flavus

BIO 2237 (A) dan BCC F0213 (B) pada

media CDA pada suhu 20

o

C dengan RH 70, 80, dan 90%.

Kontrol adalah suhu dan RH ruang (30 ºC dan 75%)

21

7

Pertumbuhan

A. flavus

BIO 2237 (A) dan BCC F0213 (B)

pada media CDA pada suhu 30

o

C dengan RH 70, 80, 90%.

(12)

8

Pertumbuhan

A. flavus

BIO 2237 (A) dan BCC F0213 (B)

pada media CDA pada suhu 40

o

C dengan RH 70, 80, 90%.

Kontrol adalah suhu dan RH ruang (30 ºC dan 75%)

21

9

Penghambatan pertumbuhan

A. flavus

BIO 2237 (A) dan BCC

F0231(B) oleh

S. cerevisiae

ATCC 9376. Kontrol adalah

pertumbuhan

A. flavus

BIO 2237 atau BCC F0213 tanpa

(13)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia termasuk salah satu negara dengan tingkat kontaminasi aflatoksin yang cukup tinggi pada produk pertaniannya. Menurut Tandiabang (2010), kontaminasi aflatoksin pada jagung di Indonesia berkisar antara 4-665 ng/g (ppb), dan aflatoksin B1 pada kedelai mencapai 107 ng/g (Utami et al. 2012). Angka cemaran aflatoksin ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan batas yang diizinkan oleh WHO (2006) yaitu 4-15 ng/g untuk total aflatoksin dan 2-8 ng/g untuk aflatoksin B1, sedangkan ketetapan BSN dalam SNI (2009) yaitu 20 ng/g untuk total aflatoksin dan 15 ng/g untuk aflatoksin B1.

Aflatoksin merupakan suatu metabolit sekunder yang dihasilkan oleh kapang

A. flavus. Indonesia dengan iklim tropis yang memiliki curah hujan, suhu, dan tingkat

kelembaban relatif yang tinggi merupakan kondisi yang ideal bagi pertumbuhan

A. flavus penghasil aflatoksin, oleh karena itu kontaminasi aflatoksin di Indonesia sulit

untuk dihindari (Wu et al. 2011; Mangan dan Olsen 2004). Jagung dan kedelai merupakan komoditi pangan yang seringkali ditumbuhi oleh A. flavus, pertumbuhannya dapat terjadi mulai dari penanaman hingga penyimpanan (Saini dan Kaur 2012). Jagung dan kedelai yang tercemari A. flavus umumnya akan mengandung aflatoksin yang terbentuk selama kapang tersebut tumbuh dan berkembang (Maragos 2008). Jagung dan kedelai merupakan hasil pertanian yang banyak dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sebagai bahan pangan maupun sebagai pakan ternak. Cemaran A. flavus dan aflatoksin pada kedua komoditi tersebut menimbulkan kekhawatiran tersendiri karena tingkat bahaya dan konsumsi yang cukup tinggi di Indonesia.

Perubahan kondisi lingkungan yang terjadi saat ini dan tidak dapat diprediksi, memungkinkan terjadinya perubahan pola pertumbuhan A. flavus karena menurut Cotty dan Garcia (2007), fluktuasi iklim dapat mempengaruhi prediposisi inang untuk mengontaminasi bahan pangan dengan cara tumbuh dan berkembang. Laporan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (2013) menyebutkan bahwa kisaran suhu di Indonesia saat ini adalah 22-37 ºC dengan kelembaban relatif (RH) berkisar antara 43-98%. Kondisi suhu dan RH di Indonesia mendukung pertumbuhan kapang A. flavus

penghasil aflatoksin. Peningkatan suhu bumi yang diprediksi akan terjadi di masa mendatang akibat adanya perubahan iklim diduga dapat mengakibatkan resistensi

A. flavus penghasil aflatoksin pada bahan pangan selama penyimpanan, oleh karena itu

pada penelitian ini dikaji pengaruh dari berbagai suhu dan RH terhadap pertumbuhan

A. flavus penghasil aflatoksin pada jagung dan kedelai selama penyimpanan.

(14)

banyaknya ternak yang mati akibat aflatoksin. Kejadian luar biasa (outbreak) karena aflatoksin pernah terjadi di Kenya, India, dan Thailand (CAST 2003), selanjutnya CDC (2004) pernah mencatat 317 kasus gangguan kesehatan karena aflatoksin dan 125 kasus diantaranya berujung pada kematian.

Berdasarkan kerugian yang timbul cukup besar bila pangan terkontaminasi kapang toksigenik A. flavus, maka setiap negara berusaha mengembangkan cara dan metode untuk mengendalikan perkembangan A. flavus penghasil aflatoksin. Penggunaan mikroba antagonis dapat menghambat pertumbuhan A. flavus dan sekaligus mengurangi kandungan aflatoksin (Talanca dan Mas’ud 2009). Pengendalian pertumbuhan kapang

A. flavus secara biologis dapat menggunakan Saccharomyces cerevisiae dan dapat

diaplikasikan secara aman dibandingkan dengan metode kimia (Persons et al. 2013).

Perumusan Masalah

Aflatoksin pada komoditi pangan terutama jagung dan kedelai dapat terbentuk mulai saat penanaman hingga penyimpanan. Aflatoksin merupakan senyawa organik beracun yang berasal dari metabolit sekunder kapang A. flavus yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan dan penurunan mutu jagung dan kedelai. Pertumbuhan A. flavus

pada jagung dan kedelai dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah faktor lingkungan seperti suhu dan kelembaban relatif (RH). Suhu dan RH yang tidak bisa diperhitungkan saat ini diperkirakan berpeluang terhadap terjadinya peningkatan cemaran A. flavus dan aflatoksin sehingga dikhawatirkan risiko cemaran pada jagung dan kedelai juga dapat meningkat selama masa penyimpanan. Dampak dari fluktuasi suhu dan RH saat ini terhadap pertumbuhan A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 belum diketahui, oleh karena itu perlu adanya penelitian mengenai :

1. Pertumbuhan A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 dan pembentukan aflatoksin pada jagung dan kedelai akibat dari perubahan suhu dan RH.

2. Pengendalian pertumbuhan A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 secara biologis menggunakan kamir S. cerevisiae ATCC 9376 yang dianggap lebih aman dari perlakuan kimia.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini untuk :

1. Menyediakan data pola pertumbuhan A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 dan produksi aflatoksin akibat perubahan kondisi lingkungan yaitu suhu dan RH.

2. Menyediakan informasi penggunaan kamir S. cerevisiae ATCC 9376 sebagai pengendali pertumbuhan A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213.

Penelitian ini merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan perlindungan masyarakat dan jaminan keamanan pangan dari kontaminasi kapang toksigenik, khususnya A. flavus penghasil aflatoksin.

Hipotesis Penelitian

(15)

2. Suhu dan RH lingkungan mempengaruhi produksi aflatoksin. Produksi aflatoksin maksimal akan terbentuk pada kondisi lembab yaitu suhu rendah (20-30 ºC) dengan RH tinggi (80-90%), sedangkan produksi aflatoksin minimal terjadi pada kondisi kering (suhu tinggi dengan RH rendah).

3. Kamir S. cerevisiae sebagai mikroba antagonis dapat menghambat pertumbuhan

A. flavus hingga 35% pada media sintetik maupun pada jagung dan kedelai.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah rekomendasi kondisi suhu dan RH yang tepat khususnya pada penyimpanan jagung dan kedelai untuk menghindari pertumbuhan

A. flavus dan pembentukan aflatoksin. Melalui kegiatan ini diharapkan dihasilkan

rekomendasi mengenai kemungkinan penggunaan S. cerevisiae sebagai pengendali pertumbuhan A. flavus di jagung dan kedelai.

(16)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Kapang Aspergillus flavus

Kapang dapat tumbuh dengan sangat baik hampir pada semua bahan organik sehingga dapat ditemukan dimana saja. Kapang secara struktural akan menghasilkan bermacam-macam metabolit yang dapat mengontaminasi bahan pangan di seluruh dunia. Diperkirakan bahwa hampir 300 jenis kapang dapat menghasilkan metabolit yang bersifat toksik bagi manusia dan juga hewan (Butkeraitis 2011).

Kapang Aspergillus flavus dikenal sebagai kapang toksigenik karena menghasilkan senyawa toksin yaitu aflatoksin yang berbahaya bagi kesehatan manusia dan hewan, selain itu kapang ini juga dapat bersifat patogen (Duran et al. 2009). Reproduksi spora A. flavus terjadi secara aseksual, spora tersebut akan terbawa oleh angin dan menempel pada tanaman pangan sehingga nantinya spora A. flavus tersebut akan tumbuh dan berkembang hingga memproduksi aflatoksin. Kapang ini dikenal sebagai kapang kuning kehijauan, memiliki hifa berseptum, miselium bercabang, koloni kompak, konidiofor kasar dan relatif panjang, konidiofor muncul dari sel kaki, yaitu sel miselium yang membengkak dan berdinding tebal. Kapang A. flavus ketika tumbuh pada kondisi yang cocok maka akan membentuk sklerotia yaitu butiran-butiran yang memiliki struktur yang resisten (Duran et al. 2009). Menurut Garben dan Cotty (1997), pada komoditi pangan sklerotia dapat terlihat secara visual pada penyimpanan kurang dari satu bulan.

Pertumbuhan A. flavus sangat dipengaruhi oleh suhu dan kelembaban relatif (Gadgile dan Chavan 2010). Suhu yang dibutuhkan untuk tumbuh berkisar antara 12-48 ºC dan aw berkisar antara 0.70-0.99 (Kulshrestha et al. 2008), sedangkan kelembaban relatif yang diperlukan berkisar antara 70-90% (Das et al. 2012). Namun jika terjadi perubahan suhu yang fluktuatif maka kapang ini dilaporkan mampu untuk beradaptasi dan resisten pada kondisi tersebut dan dengan mudah menyerang tanaman pangan selama penanaman (Iqbal et al. 2011).

Aflatoksin

Aflatoksin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh kapang

A. flavus. Aflatoksin memiliki karakteristik sebagai senyawa bifuran, non polar, stabil

terhadap panas, tahan perlakuan fisik maupun kimia, dan tidak dapat hancur pada suhu pemasakan biasa (IARC 2002). Dengan sifat-sifat ini aflatoksin yang sudah mencemari bahan makanan sulit untuk dihilangkan. Ada sekitar 18 jenis aflatoksin (Oatley et al.

2000), namun yang paling dikenal yaitu aflatoksin B1, B2, G1, dan G2 (Gambar 1) yang dibedakan berdasarkan fluoresensi ketika berada di bawah sinar ultraviolet (Mangan dan Olsen 2004). Diantara aflatoksin lainnya, aflatoksin B1 dikategorikan paling berbahaya karena toksisitasnya yang paling tinggi (Pietri dan Piva 2007), selanjutnya diikuti oleh G1, B2, dan G2 (Sudhakar et al. 2009). Di dunia kesehatan, aflatoksin B1 banyak mendapatkan perhatian dibandingkan mikotoksin lainnya karena efek yang ditimbulkan sangat berbahaya yaitu kanker, immunosuppresif, neurotoksik, estrogenik atau terjadinya teratogenik pada manusia dan hewan (Creppy 2002). Menurut Groopman

et al. (2008), infeksi penyakit hepatitis B dan C umumnya disebabkan karena terpapar

(17)

Paparan aflatoksin terhadap manusia maupun hewan pada dasarnya terjadi melalui makanan. Komoditi pangan yang sering terkontaminasi aflatoksin adalah jagung, kedelai, kacang tanah, beras dan sebagainya (Maragos 2008). Paparan aflatoksin sulit dihindari karena pertumbuhan A. flavus di dalam makanan sulit untuk dicegah. Paparan aflatoksin dapat bersifat akut maupun kronis, keracunan secara akut terjadi karena terpaparnya aflatoksin dengan konsentrasi tinggi ke dalam tubuh. Keracunan aflatoksin secara akut relatif jarang terjadi, selama ini kasus keracunan aflatoksin secara kronis lebih sering dijumpai. Keracunan secara kronis aflatoksin dalam makanan merupakan faktor risiko utama terjadinya gangguan imunitas, malnutrisi dan karsinoma hepatoseluler, dan sebagainya (Yenny 2006).

Gambar 1 Struktur kimia aflatoksin

Toksisitas setiap jenis aflatoksin berbeda, aflatoksin B1 memiliki daya racun yang lebih tinggi dibandingkan dengan jenis aflatoksin lainnya (Agag 2004). Hal ini dapat dilihat pada Tabel 1 yang menunjukkan LD50 untuk aflatoksin pada anak itik setelah satu minggu pemberian cairan ekstraksi yang mengandung aflatoksin.

Tabel 1 LD50 aflatoksin terhadap hewan percobaan (anak itik)1

Aflatoksin LD50 (mg/kg)

B1 0.4

B2 1.7

G1 0.8

G2 2.5

1

Sumber : Agag (2004)

(18)

mempunyai aktivitas karsinogenik. Kemampuan aflatoksin untuk menginduksi kanker hati diduga kerena aflatoksin dapat terikat oleh makromolekul dari jaringan hati seperti protein. Peptida-peptida dan protein-protein mengganggu banyak segi metabolisme hati yang mengantarkan pada nekrosis sel dan dapat dikatakan sebagai toksin akut (Farombi 2006).

Laporan kematian akibat keracunan aflatoksin seringkali berasal dari negara-negara berkembang yang berada dalam zona atau daerah berisiko seperti Afrika (Yenny 2006). Masyarakat Afrika seperti Afrika Barat sebagian besar mengonsumsi jagung dan kacang tanah yang terkontaminasi aflatoksin, tingginya paparan menyebabkan terjadinya gangguan pertumbuhan pada anak-anak dan gangguan janin pada ibu hamil di negara tersebut (Gong et al. 2003). Cemaran aflatoksin yang tinggi pada komoditi pangan tidak hanya dirasakan oleh sebagian besar negara-negara di Afrika, permasalahan yang sama juga dirasakan di negara-negara lainnya seperti yang terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Kandungan aflatoksin pada bahan pangan di beberapa Negara Negara Komoditas Jumlah aflatoksin

(ng/g)

Referensi

Arab Saudi Kedelai 1.0- 14.8 Al-Seeni 2012 Bolivia

Filipina

Cabe merah bubuk Kacang tanah Keripik pisang Produk jagung 0.6-11.3 <5.0-1600.0 <5 <5.0 -495.7

Asai et al. 2012 Anukul et al. 2013

Indonesia Iran Jagung pipil Kedelai Barley Sorgum Tepung terigu Kedelai 19.6 107.1 6.0 5.6 6.4 6.4

Kusumaningrum et al. 2010 Utami et al. 2012

Lee et al. 2006

Kanada Produk coklat 53.0-126.0 Turcotte et al. 2013 Kenya Korea selatan Kacang tanah Jagung Selai kacang 0.0-7525.0 < 100 7.0-7.7

Mutegi et al. 2009 Lewis et al. 2005 Chun et al. 2007 Malaysia Kacang tanah

Cabai

2.8 -97.3 0.2 - 79.7

Arzandeh et al. 2010 Jalili dan Jinap 2011 Nigeria Sorgum 0.0-1164.0 Hussaini et al. 2009 Pakistan

Peru

Jagung pipil Cabe bubuk merah

45.0-62.0 0.7 -0.9

Ahsan et al. 2010 Asai et al. 2012

(19)

aflatoksin B1 pada berbagai bahan pangan seperti yang terlihat pada Tabel 3. Meskipun demikian masing-masing negara memiliki kewenangan untuk menetapkan batas maksimum aflatoksin pada setiap komoditi pangannyaseperti yang terlihat pada Tabel 4. Jagung dan kacang tanah merupakan komoditas pangan yang paling sering terkontaminasi aflatoksin. Menurut Anukul et al. (2013), 51.4% kacang tanah di Thailand terkontaminasi aflatoksin, sedangkan pada jagung sebesar 54.4%. Berdasarkan data tersebut, pemerintah Thailand terus mendorong berbagai kalangan untuk melakukan berbagai usaha dalam mencegah kontaminasi aflatoksin pada komoditi pangannya.

Tabel 3 Regulasi ambang batas total aflatoksin dan aflatoksin B1 berdasarkan EC No 165/2010 pada komoditi pangan

No Komoditi pangan Jenis aflatoksin Batas maksimum (ng/g) 1 Kacang tanah dan hazelnut

yang tidak langsung dikonsumsi.

B1,B2, G1, G2 B1

15 8

2 Kacang almond, kenari, aprikot yang tidak langsung dikonsumsi.

B1,B2, G1, G2 B1

15 12

3 Kacang tanah yang langsung dikonsumsi.

B1,B2, G1, G2 B1

4 2 4 Kacang almond, kenari,

dan aprikot yang langsung dikonsumsi.

B1,B2, G1, G2 B1

10 8

5 Kacang hazelnut yang langsung dikonsumsi.

B1,B2, G1, G2 B1

10 5 6 Sereal dan produk

olahannya, serta buah kering dan produk olahannya yang langsung dikonsumsi.

B1,B2, G1, G2 B1

2 4

7 Jagung dan beras yang tidak langsung dikonsumsi.

B1,B2, G1, G2 B1

5 10 8 Rempah-rempah (cabai,

lada hitam dan putih, paprika, jahe, kunyit)

B1,B2, G1, G2 B1

10 5

Tabel 4 Regulasi ambang batas total aflatoksin dan aflatoksin B1 pada bahan pangan di beberapa Negara Asia.

Negara Jenis aflatoksin Batas maksimum (ng/g) Komoditi pangan Hongkong B1,B2, G1, G2 20

15

Kacang tanah

Bahan pangan lainnya

India B1 30 Semua jenis bahan pangan

Indonesia B1,B2, G1, G2 B1

20 15

Semua jenis bahan pangan Kacang tanah

Jagung Jepang B1,B2, G1, G2 10

10

(20)

Jagung

Indonesia merupakan negara tropis yang memiliki suhu dan kelembaban relatif yang tinggi. Kondisi tersebut sesuai bagi pertumbuhan A. flavus dan pembentukan aflatoksin sehingga kontaminasi toksin tersebut sulit dihindari pada komoditi pangan seperti jagung (Chauhan et al. 2013). Jagung merupakan jenis tanaman serealia yang mempunyai peranan strategis dalam pembangunan pertanian dan perekonomian masyarakat (Miskiyah dan Widaningrum 2008). Jagung banyak digunakan sebagai pangan maupun pakan. Konsumsi jagung nasional saat ini sebagai bahan pangan tercatat sebesar 1.512 kg/tahun (BPS 2013).

Kapang A. flavus tumbuh sangat baik pada jagung dengan kisaran suhu 19-35 ºC dan menghasilkan aflatoksin maksimal pada suhu 28 ºC (Ruiqian et al. 2012). Pakistan mencatat kontaminasi aflatoksin yang cukup tinggi pada komoditi jagung negaranya, di kota besar kontaminasi tercatat sebesar 10%, di perkotaan sebesar 87%, dan di pedesaan sebesar 90% (Ahsan et al. 2010). Sementara itu, jagung di beberapa wilayah di Indonesia tidak luput dari kontaminasi A. flavus, seperti di daerah Bogor, Boyolali, dan Bojonegoro, sekitar 60% jagung pipil telah tercemar A. flavus. Pada Tabel 5 terlihat bahwa cemaran A. flavus relatif meningkat di tingkat pengumpul yang kemungkinan disebabkan karena kondisi penyimpanan yang tidak sesuai. Suhu dan kelembaban relatif selama penyimpanan yang kurang memadai ditingkat pengumpul rawan terhadap munculnya kapang A. flavus (Kusumaningrum et al. 2010).

Tabel 5 Cemaran A. flavus dan kapang pada jagung di beberapa daerah di Indonesia1 Lokasi Tingkat distribusi Rata-rata A. flavus

(Log CFU/g) Rata-rata kapang (log CFU/g) Bogor (Jagung manis) Petani Pengumpul Pasar induk Pengecer < 1.0 < 1.0 1.9±2.6 < 1.0 5.9±0.0 6.2±0.0 6.2±0.0 6.0±0.0 Boyolali (jagung pipil) Bojonegoro (jagung pipil) Petani Pengumpul Pasar induk Pengecer Pemipil Petani Pemipil Pengering Pengumpul Pasar induk 1.0±0.0 2.7±1.2 2.6±0.5 1.7±1.4 2.6±0.0 0.9±1.1 1.8±1.3 1.3±1.2 2.2±1.1 1.9±1.4 4.5±0.0 4.7±0.1 4.4±0.6 4.1±1.6 3.9±0.0 1.7±0.7 3.5±1.4 3.0±1.4 3.7±1.0 3.6±0.4 1

Sumber: Kusumaningrum et al. (2010).

(21)

Tabel 6 Kadar aflatoksin pada jagung di tingkat petani di tiga wilayah di Indonesia1 Kabupaten Jumlah

sampel

Kadar air jagung pipil (%)

Kadar aflatoksin (ng/g) Bulukumba, Sul-Sel

• Saat pengupasan tongkol

• Biji disimpan dalam karung pupuk

10

4

20.5-24.3

21.3-24.5

7.1 - 25.6

48.6-175.8 Gorontalo

• Saat penjemuran (petani)

• Penyimpanan (pedagang pengumpul)

• Pedagang ekspor

14 2 5 16.0-19.0 19.0-21.0 19.0-22.0

11.7 - 54.2

35.5 - 78.5 79.2- 665.0 Tanah laut, Kalsel

• Pada saat panen (petani)

• Setelah dipipil(pedagang pengumpul)

23 3

30.0-32.0 28.0-30.0

4.0 - 4.5 22.3 - 27.6

1 Sumber : Tandiabang (2010).

Penanganan jagung pipil setelah panen di setiap daerah tentu berbeda-beda. Di Gorontalo, jagung setelah dipanen langsung dipipil dengan mesin, dan kemudian dijemur selama ±2 hari, setelah itu dijual ke pedagang atau pengumpul. Di pedagang atau pengumpul, jagung pipil akan disimpan lagi selama 1-2 hari kemudian didistribusikan ke pedagang ekspor. Ketika berada di pedagang ekspor, jagung pipil ditumpuk di gudang, sehingga kemungkinan terjadinya peningkatan kadar air yang menyebabkan aflatoksin tinggi. Sementara itu petani di Kalimantan Selatan melakukan penanganan yang berbeda, yaitu jagung yang telah dipipil langsung dikeringkan menggunakan oven pengering, sehingga kadar air menurun dan aflatoksin yang terbentuk relatif sedikit (Tandiabang 2010). Di Indonesia jagung yang baru dipanen biasanya mempunyai kadar air tinggi (30%) yang apabila tidak segera dikeringkan, maka berbagai kapang termasuk A. flavus dapat tumbuh dan berkembang (Talanca dan Mas’ud 2009).

Cemaran A. flavus maupun aflatoksin pada jagung dapat terjadi mulai dari penanaman hingga penyimpanan (Vincelli et al. 2013). Selama masa penanaman, siklus kehidupan A. flavus pada jagung dimulai dari spora yang akan membentuk miselium atau membentuk struktur yang resisten seperti sklerotia. Sklerotia kemudian bergerminasi dan menghasilkan hifa atau memproduksi konidia (spora aseksual) yang terbawa oleh udara dan masuk ke dalam tanah. Spora ini akan terbawa masuk ke tanaman jagung oleh serangga atau angin. Spora tersebut akan bergerminasi dan menginfeksi butiran jagung (Bakan et al. 2002). Cemaran A. flavus dan aflatoksin pada jagung biasanya akan meningkat selama penyimpanan apabila disimpan pada kondisi lingkungan yang sesuai bagi pertumbuhan A. flavus, dan butiran jagung yang pecah akan lebih mudah tercemar A. flavus maupun aflatoksin dalam kurun waktu satu atau dua hari waktu penyimpanan (Vincelli et al. 2013).

Kedelai

(22)

2.5 juta ton per tahunnya dan sebagian besar digunakan untuk pembuatan produk pangan seperti tempe, tahu, tauco, kecap dsb (Kemendag 2013).

Survei yang dilakukan oleh Sebunya dan Yourtee (1990) terhadap komoditi pertanian di Uganda menunjukkan bahwa kapang A. flavus maupun aflatoksin tidak ditemukan pada kedelai. Wood (1992) juga menyebutkan bahwa kedelai merupakan komoditi pangan yang relatif tahan terhadap pembentukan aflatoksin. Namun dua dekade kemudian penelitian yang dilakukan oleh Al-Senni(2011) menunjukkan hal yang berbeda, kedelai yang dijadikan sebagai pakan ternak secara alamiah tercemari oleh A. flavus dan mengandung aflatoksin yang berkisar antara 1.0-14.8 ng/g. Komoditi pangan seperti kedelai termasuk sumber yang paling baik untuk pertumbuhan berbagai jenis kapang karena kedelai mengandung nutrisi yang tinggi, selain itu kondisi lingkungan seperti suhu dan kelembaban relatif sangat mempengaruhi pertumbuhan kapang terutama A. flavus.

Metode analisis aflatoksin dengan RP-HPLC

Metode HPLC telah dikembangkan untuk semua jenis mikotoksin pada berbagai jenis komoditi pertanian. Analisis aflatoksin dengan HPLC terdiri dari beberapa tahap yaitu ekstraksi, purifikasi, separasi dan deteksi, serta uji konfirmasi. Metanol dan air (70:30 v/v) merupakan pelarut kimia yang dapat digunakan untuk ekstraksi aflatoksin pada sampel (Arzandeh et al. 2009; Reza et al. 2012), selain itu dapat juga menggunakan campuran asetonitril dan air (84:16 v/v) (Ahsan et al. 2010). Sementara itu, untuk purifikasi atau pemurnian aflatoksin dapat menggunakan Immunoaffinity

kolom (IAC) (Arzandeh et al. 2009; Shundo dan Sabino 2006) atau dapat juga menggunakan kolom lainnya seperti kolom silica (Younis dan Malik 2003). Pada tahap separasi dan deteksi aflatoksin secara kuantitatif dapat dilakukan dengan menggunakan TLC, ELISA, dan HPLC. Saat ini analisis aflatoksin dengan HPLC paling sering digunakan karena kemampuannya lebih unggul dan akurat dibandingkan dengan TLC dan ELISA. Pirestani et al. (2010), menyebutkan bahwa metode HPLC memiliki kemampuan untuk mengukur konsentrasi aflatoksin B1, B2, G1, G2 (AFB1, AFB2, AFG1, AFG2), sedangkan metode ELISA tidak hanya dapat mengukur tiap jenis aflatoksin secara bersamaan. Uji konfirmasi dilakukan karena bahan pangan dapat mengandung senyawa kimia yang memiliki sifat-sifat kromatografi dan fluoresensi sehingga dapat menimbulkan kekeliruan dalam pengamatan. Uji konfirmasi dapat dilakukan dengan metode biologis, kimia, dan fisik. Uji konfirmasi dengan metode biologi yaitu dengan menyuntikan cairan hasil ekstraksi sampel pada hewan uji seperti ayam atau itik. Sementara itu metode kimia dapat dilakukan dapat dilakukan dengan membandingkan waktu retensi dari cairan ekstraksi yang mengandung aflatoksin dengan standar. Uji konfirmasi secara fisik biasanya memakai spektrofotometer ultraviolet atau infra merah (Syarief et al. 2012)

(23)

diperoleh dengan metode HPLC-DAD untuk AFB1, AFB2, AFG1, dan AFG2 adalah 83.1, 78.6, 109.5, dan 111.3%, sedangkan limit deteksi (LoD) yang diperoleh adalah 2.12, 1.24, 2.26, 2.63 ng/mL.

Pengendalian pertumbuhan Aspergillus flavus oleh Saccharomyces cerevisiae

Jagung dan kedelai merupakan komoditi pangan yang mudah ditumbuhi oleh kapang A. flavus. Keberadaan A. flavus selama penyimpanan dapat menurunkan kualitas jagung dan kedelai serta menimbulkan kerugian secara ekonomi (Penna et al. 2004). Strategi pengendalian sangat diperlukan untuk mengurangi tingkat cemaran A. flavus di jagung dan kedelai. Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengendalikan pertumbuhan A. flavus adalah dengan menggunakan mikroba kompetitor atau dikenal dengan pengendalian secara biologis.

Pertumbuhan A. flavus dapat dikendalikan oleh kamir, bakteri, dan jenis kapang lainnya (Bianchini dan Bullerman 2009). Mikroba seperti bakteri asam laktat, Bacillus,

Pseudomonas, Trichoderma spp dilaporkan dapat menghambat pertumbuhan A. flavus

dan produksi aflatoksin secara laboratorium (Palumbo et al. 2006). Bacillus subtilis

selama pertumbuhan menghasilkan rhizocticin A (polipeptida) dan iturins (lipopeptida) yang bersifat sebagai anti kapang. Kemudian, kapang A. flavus yang tidak toksigenik juga berpotensi menghambat pertumbuhan A. flavus toksigenik (Donner et al. 2010). Penghambatan pertumbuhan kapang A. flavus toksigenik oleh A. flavus non toksigenik mulai terjadi pada 24 jam pertumbuhan kedua kapang tersebut (Huang et al. 2011).

Hasil penelitian Penna et al. (2004) menunjukkan terjadinya penurunan pertumbuhan A. flavus akibat adanya aktivitas kamir Kluyveromyces. Sampai saat ini terdapat beberapa mikroba yang sudah digunakan untuk mengurangi pertumbuhan

A. flavus diantaranya Rhizopus oligosporus dan Candida yang berasal dari tagi tempe

(Purwijatiningsih et al. 2005) serta Lactobacillus plantarum sa28k (Hidayat 2001). Menurut Persons et al. (2013), S. cerevisiae efektif dalam menurunkan pertumbuhan

A. flavus pada media sintetik di berbagai suhu. Kapang A. flavus tidak hanya dapat

(24)

3 BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Mei sampai November 2013. Penelitian dilakukan di Laboratorium Mikrobiologi, Depertemen ITP-Fateta IPB/SEAFAST Center serta di Laboratorium Mikrobiologi dan Kimia SEAMEO-BIOTROP Bogor.

Bahan

Penelitian dikerjakan dengan menggunakan bahan utama yaitu kapang toksigenik penghasil aflatoksin yaitu A. flavus BIO 2237 (koleksi Laboratorium Mikrobiologi SEAMEO BIOTROP, Bogor), A. flavus BCC F0213 (koleksi Laboratorium Mikrobiologi BALIVET, Bogor), kamir S. cerevisiae ATCC 9376 (koleksi Laboratorium Mikrobiologi Keamanan Pangan SEAFAST CENTER, Bogor), serta jagung (varietas Bisi 2) dan kedelai (varietas Wilis) yang diperoleh dari Kediri-Jawa Timur. Media sintetik yang digunakan adalah Czapex Dox Agar (CDA) (Oxoid, Inggris), Potato Dextrose Agar (PDA) (Oxoid), dan Potato Dextrose Broth (PDB) (Oxoid). Pengaturan kelembaban relatif menggunakan garam jenuh kualitas teknis (amonium klorida, barium klorida, amonium sulfat, kalium nitrat, natrium nitrat) dan garam jenuh kualitas pro analysis (kalium nitrat dan kalium sulfat). Bahan untuk analisis aflatoksin menggunakan standar aflatoksin (Sigma, USA), akuabides (Kalbe, Indonesia), metanol (Merck, Jerman), asetonitril (Merck), dan NaCl (Merck).

Alat

Alat-alat yang digunakan antara lain HPLC 1100 series (Agilent Technologies, USA) dengan detektor fluoresen, immunoaffinity colomn Afla Test volume 1.0 mL (Vicam, USA), inkubator (Yamato, Jepang), dan mini desikator. Selain itu juga digunakan alat-alat gelas (cawan petri, tabung reaksi, gelas ukur, dan sebagainya).

Prosedur Analisis Data

Rancangan acak lengkap dengan pola faktorial digunakan pada tahap pertumbuhan A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 pada media CDA, jagung, dan kedelai, serta pada tahap pengendalian pertumbuhan A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 oleh S. cerevisiae ATCC 9376 di media PDA, jagung, dan kedelai. Hubungan antara faktor perlakuan terhadap faktor respon diuji dengan analisis sidik ragam atau

analysis of variance (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT)

(Mattjik dan Sumertajaya 1999).

Penelitian ini terdiri dari 3 tahap. Tahapan pertama adalah pengaruh suhu dan RH terhadap pertumbuhan A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 pada media CDA, jagung, dan kedelai, tahapan kedua adalah pengaruh suhu dan RH terhadap produksi aflatoksin pada jagung dan kedelai, dan tahapan ketiga adalah pengendalian A. flavus

(25)

Gambar 2 Diagram alir penelitian.

1. Persiapan

a. Persiapan kapang A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 dan kamir

S. cerevisiae ATCC 9376 (Modifikasi Kusumaningtyas et al. 2006).

Modifikasi yang dilakukan oleh Kusumaningtyas et al. (2006) adalah

A. flavus F0213 dan S. cerevisiae F0206 ditumbuhkan pada media sintetik dan

diinkubasi selama 5 dan 3 hari. Kultur kapang A. flavus (BIO 2237 dan BCC F0213) dan kamir S.cerevisiae (ATCC 9376) sebelum digunakan disegarkan terlebih dahulu. Kapang A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 ditumbuhkan pada CDA miring, kemudian A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 diinkubasi pada suhu ruang (30 oC) selama 5 hari. Pemanenan spora dilakukan dengan cara menambahkan akuades steril ke dalam agar miring tersebut. Sementara itu untuk persiapan kultur kerja S. cerevisiae ATCC 9376 ditumbuhkan pada media cair PDB (masa inkubasi 3 hari pada suhu 30 oC).

Tahap persiapan

• Persiapan kapang A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213, serta S. cerevisiae

ATCC 9376

• Persiapan larutan garam untuk mengatur kelembaban relatif (RH)

• Persiapan media pangan

‐ Pengukuran kadar air dan aw pada jagung dan kedelai

‐ Iradiasi jagung dan kedelai

Pengaruh suhu dan RH terhadap pertumbuhan

A. flavus BIO 2237 dan

BCC F0231

Pengaruh suhu dan RH terhadap produksi aflatoksin

• Pengujian pertumbuhan kapang pada CDA dengan mengukur diameter koloni

• Pengujian pertumbuhan kapang pada jagung dan kedelai dengan mengukur massa sel yang terbentuk.

Pengujian pembentukan aflatoksin pada jagung dan kedelai.

Pengendalian A. flavus

BIO 2237 dan BCC F0213 oleh S. cerevisiae

ATCC 9376 

(26)

b. Persiapan larutan garam untuk pengaturan kelembaban relatif (RH) (Modifikasi Greenspan 1976; Wexler dan Hasegawa 1954).

Suhu yang digunakan pada penelitian ini adalah 20, 30, dan 40 oC, sedangkan RH yang digunakan adalah 70, 80, dan 90%. Pengaturan RH pada penelitian ini menggunakan 6 jenis larutan garam jenuh. Setiap jenis garam ditimbang dengan berat tertentu dan dilarutkan dalam 100 mL air hingga jenuh. Larutan garam tersebut kemudian disterilisasi untuk menghindari kemungkinan kontaminasi awal oleh mikroba. Sterilisasi larutan garam jenuh dilakukan menggunakan autoklaf (121 oC, 15 menit), sedangkan wadah plastik sebagai mini desikator disterilisasi dengan menggunakan alkohol 70%. Kemudian tiap larutan garam yang telah steril dimasukan dalam wadah mini desikator hingga ketinggian 2 cm.

c. Persiapan Media Pangan

i. Perhitungan kadar air pada jagung dan kedelai (SNI 3729:2008)

Kadar air ditentukan dengan cara gravimetri mengikuti metode SNI, dengan menggunakan oven pada suhu 105 oC. Perhitungan kadar air dilakukan dengan basis kering.

ii. Iradiasi jagung dan kedelai

Iradiasi dilakukan di Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN) di Jakarta. Tujuan iradiasi adalah untuk menghilangkan berbagai kontaminasi pada jagung dan kedelai. Jagung dan kedelai masing-masing sebanyak 25 g dalam bentuk utuh dikemas dalam plastik polietilen (PE), lalu ditutup rapat dan kemudian diiradiasi dengan sinar gamma cobalt-60. Dosis yang digunakan untuk iradiasi sampel tersebut adalah 25 kGy.

2. Pengaruh suhu dan RH terhadap pertumbuhan A. flavusBIO 2237 dan BCC F0213 pada media Czapex Dox Agar (CDA), jagung, dan kedelai (Modifikasi Kokkonen et al. 2010)

Modifikasi yang dilakukan dari metode Kokkonen et al. (2010) adalah jenis media, suhu, dan RH yang diatur. Suspensi kapang A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 (106 CFU/mL) masing-masing sebanyak 2.5 µL diteteskan di tengah-tengah media cawan agar CDA. Sementara itu untuk jagung dan kedelai, suspensi spora A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 yang digunakan sebanyak 100 µL (106 CFU/mL) yang diteteskan pada beberapa titik cawan yang berisi jagung atau kedelai (25 g). Kemudian media CDA, jagung, dan kedelai masing-masing diinkubasi pada suhu 20, 30, dan 40 oC dengan RH 70, 80, dan 90% (Gambar 3) selama 10 hari. Pertumbuhan kapang A. flavus

(27)

inkubator

penutup mini desikator

mini desikator

cawan berisi sampel

penyangga

larutan garam jenuh

Gambar 3 Inkubasi A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 di media CDA, jagung, dan kedelai pada berbagai suhu dan RH yang diatur melalui larutan garam jenuh dan suhu inkubator.

Analisis aflatoksin pada jagung dan kedelai dengan RP-HPLC (AOAC 991.31 2012)

Keberadaan aflatoksin pada jagung dan kedelai diukur dengan menggunakan RP-HPLC, sementara untuk clean up sampel (jagung dan kedelai) menggunakan

immunoaffinity column Afla Test. Diagram alir pelaksanaanya dapat dilihat pada

Gambar 4. Kondisi instrumen RP-HPLC yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 7. Antara kolom dan detektor dipasang post-column photochemical reactor untuk meningkatkan sinyal deteksi aflatoksin B1 dan G1.

Tabel 7 Kondisi HPLC yang digunakan untuk analisis aflatoksin B1, B2, G1, dan G2, pada jagung dan kedelai.

Parameter penggunaan HPLC Pengaturan

Jenis kolom C18reverse phase (4.6 x 150 mm, 2.7 µm) Fase gerak air/metanol/asetonitril (54 : 29: 17, v/v/v) Laju alir 1± 0.005 mL/min

Sampel loop 50 µL

Detektor detektor fluoresen, λeks 365 nm dan λems 465 nm

Post-column photochemical reactor

a. Pembuatan kurva standar

Tahap analisis aflatoksin diawali dengan pembuatan serial larutan standar aflatoksin. Larutan standar aflatoksin dibuat dari larutan stok standar B1, B2, G1, dan G2 dengan cara pengenceran. Linearitas, akurasi, batas deteksi (LoD) dan batas kuantifikasi (LoQ) aflatoksin ditentukan dengan cara sebagai berikut. Linearitas kurva standar diukur dengan menginjeksi standar aflatoksin sebanyak 7 kali pada konsentrasi 0, 2, 5, 10, 20, 30, 40, dan 50 ng/mL untuk AFB1, sedangkan untuk AFB2, AFG1, dan AFG2 pada konsentrasi 0, 3, 5, 10, 20, 30, dan 40 ng/mL, kemudian hasilnya diplotkan dalam bentuk kurva linear yang mempunyai koefisien korelasi (R) lebih besar dari 0.999. Limit deteksi (LoD) ditentukan dengan perbandingan signal terhadap noise (S/N=3) dan LoQ S/N=10.

b. Ekstraksi dan clean up sampel

(28)

menggunakan kertas saring fluted filter paper. Kemudian dipipet sebanyak 15 mL dan dimasukkan ke dalam erlemenyer, lalu di tambahkan dengan 30 mL akuabides dan dihomogenkan. Filtrat yang sudah dihomogenkan disaring dengan menggunakan

microfiber paper. Kemudian diambil 15 mL dan dimasukkan kedalam syringe barrel

correction yang sudah dihubungkan dengan IAC Afla Test. Setelah itu kolom dicuci

dengan 20 mL akuabides dan dielusi dari kolom dengan 1.0 mL metanol dengan kecepatan 1 tetes per detik yang dibantu dengan pompa vakum. Hasil elusi ditambahkan 0.5 mL akuabides sehingga volume larutan akhir adalah 1.5 mL. Sampel divortex dan siap diinjeksi ke HPLC.

Konsentrasi aflatoksin di dalam sampel didapatkan dengan menghitung konsentrasi aflatoksin menggunakan kurva standar (telah ditentukan sebelumnya), kemudian memasukkannya ke dalam perhitungan berikut ini :

Konsentrasi aflatoksin  ngg konsentrasi  L kurva standar  x  vol larutan akhir  mL  x  FPBerat sampel  g

Faktor pengenceran (FP)   L

  L

x

  L

  L

25

Faktor pengenceran (FP) dalam penelitian ini dihitung dari 25 g sampel yang dicampur dengan 125 mL pelarut, kemudian diambil 15 mL dan dicampur dengan 30 mL akuabides, sehingga larutan sampel menjadi 45 mL. Selanjutnya dari 45 mL larutan sampel diambil sebanyak 15 mL untuk di purifikasi.

3. Pengendalian pertumbuhan kapang A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 dengan menggunakan kamir S. cerevisiae ATCC 9376 pada media PDA, jagung, dan kedelai (Modifikasi Palumbo et al. 2006).

Modifikasi yang dilakukan dari Palumbo et al. (2006) adalah penggunaan jenis media sintetik. Satu ose masing-masing suspense A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 (106 CFU/mL) dan S. cerevisiae ATCC 9376 (106 CFU/mL) digoreskan ke media PDA, jagung, dan kedelai. Media jagung dan kedelai dibuat dengan cara menghancurkan jagung dan kedelai menjadi bubuk, setelah itu masing-masing bahan dicampur dengan media PDA (20:80 b/v) dan disterilisasi. Media yang telah steril dimasukan ke dalam cawan petri. Suspensi spora A. flavus BIO 2237 atau BCC F0213 digoreskan pada bagian tengah cawan petri selebar satu cm dan suspense S. cerevisiae ATCC 9376 digoreskan pada bagian kiri dan kanan media selebar satu cm. Selanjutnya diinkubasi pada suhu ruang (30 oC) selama 10 hari. Sebagai kontrol dilakukan pertumbuhan

A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 tanpa S. cerevisiae ATCC 9376 dan sebaliknya.

Persentasi daya hambat dihitung dengan membandingkan pertumbuhan lebar koloni

A. flavus BIO 2237 atau BCC F0213 dengan dan tanpa S. cerevisiae ATCC 9376. Setiap

(29)

Sampel 25 g + 5 g NaCl

dicampur 125 mL metanol – air (70 : 30 v/v) dan dihancurkan

disaring dengan fluted filter paper

dipipet 15 mL filtrat dan ditambahkan 30 mL H2O (45 mL = 3 g sampel )

disaring kembali dengan microfiber paper

dipipet 15 mL dan dimasukkan ke syringe barrel correction

yang terhubung dengan kolom IAC Afla test

(setara 1 g sampel)

kolom IAC dicuci dengan 20 mL H2O

aflatoksin di dalam kolom dielusi dengan 1.0 mL metanol

ditambahkan 0.5 mL H2O

disimpan dalam vial

diinjeksi ke HPLC

(30)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaturan RH 70, 80, dan 90% pada suhu 20, 30, dan 40 ºC dengan menggunakan beberapa jenis garam

Kelembaban relatif (RH) yang diinginkan diperoleh dengan menggunakan beberapa jenis garam. Garam yang digunakan terdiri dari garam kualitas teknis dan pro

analysis. Tingginya jumlah garam yang dibutuhkan untuk menciptakan kejenuhan

larutan garam hingga mencapai RH yang diinginkan menjadi alasan pemilihan garam kualitas teknis karena jika semuanya menggunakan garam jenuh kualitas pro analysis

maka akan membutuhkan biaya yang tinggi. Penggunaan garam kualitas teknis dapat membentuk beberapa RH yang diinginkan, namun tidak untuk RH 90%. Nilai RH 90% pada ketiga suhu terbentuk dengan menggunakan garam jenuh kualitas pro analysis

(kalium sulfat dan kalium nitrat).

Jumlah garam hingga jenuh dan jumlah air yang digunakan dapat dilihat pada Tabel 8. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa nilai RH yang diinginkan membutuhkan jumlah garam jenuh yang lebih tinggi dari jumlah garam yang terdapat pada referensi, kecuali untuk garam barium klorida.

[image:30.612.103.510.462.627.2]

Validasi pengukuran nilai RH dilakukan dengan menggunakan alat higrometer. Nilai RH yang terbentuk akan terbaca pada higrometer yang berada dalam mini desikator. Pengukuran RH hingga konstan dilakukan dalam kurun waktu 2 hingga 7 hari karena kestabilan masing-masing RH pada setiap suhu berbeda-beda. Pembentukan RH 90% memerlukan waktu yang lebih lama (7 hari) dibandingkan dengan pembentukan RH lainnya. Larutan garam jenuh yang membentuk RH tertentu disterilisasikan (121 oC, 15 menit) terlebih dahulu sebelum digunakan. Kestabilan RH akibat sterilisasi dimonitor kembali dengan menggunakan alat higrometer.

Tabel 8 Jenis dan jumlah garam dalam 100 mL air yang digunakan untuk mengatur kelembaban relatif (RH).

Suhu (oC)

RH ( % )

Jenis garam Referensi1 Hasil riset Jumlah garam

(g)

Jumlah garam (g) 20 70±3.0 Amonium klorida(NH4Cl) 37 a

286 b - 75 a 38 c 31 c 32 b 79 c

- 120 140 100 93 110 200 70 80 60 80±3.0 Barium klorida (BaCl2)

90±3.0 Kalium sulfat (K2SO4) 30 70±3.0 Amonium sulfat (NH4)2SO4

80±3.0 Kalium nitrat (KNO3) 90±3.0 Kalium nitrat (KNO3) 40 70±3.0 Natrium nitrat (NaNO3)

80±3.0 Kalium nitrat (KNO3) 90±3.0 Kalium sulfat (K2SO4) 1

Sumber :a) Greenspan 1977; b) Spiess dan Wolf 1987; c) Wexler dan Hasegawa 1954.

(31)

tidaknya suatu makhluk hidup yang diinginkan dapat ditentukan dengan cara mengatur nilai RH lingkungan pertumbuhannya.

Wexler dan Hasegawa (1954) menyebutkan bahwa beberapa jenis garam dapat digunakan untuk mengatur kelembaban relatif. Pengaturan kelembaban relatif dengan penggunaan garam hingga jenuh dianggap lebih efektif karena lebih mudah stabil (Winston dan Bates 1960). Sementara Greenspan (1977) juga menyebutkan pengaturan RH dengan menggunakan beberapa jenis garam pada saat itu dianggap lebih mudah dan murah dibandingkan dengan metode lainnya. Jenis garam yang berbeda akan menghasilkan nilai RH yang berbeda pula, hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan kekuatan interaksi ionik antara air dengan larutan garam. Namun Greenspan (1977) menjelaskan, RH yang berbeda juga dapat diperoleh dengan menggunakan jenis garam yang serupa, tentu saja dengan jumlah garam yang berbeda. Pada penelitian ini garam kalium nitrat (KNO3) tidak hanya membentuk satu RH saja, tetapi dengan jumlah garam yang berbeda dapat membentuk beberapa RH yaitu RH 70 dan 80% pada suhu 30 ºC dan RH 80% pada suhu 40 ºC.

Pada prinsipnya larutan garam jenuh merupakan campuran antara air steril dan sejumlah garam hingga tidak mampu larut lagi. Butiran-butiran garam akan berikatan dengan uap air yang ada di udara pada kelembaban tertentu dan akan mencair hingga terbentuk larutan garam jenuh. Jika kelembaban relatif rendah maka butiran garam tidak akan berubah (mencair) dan larutan garam lebih cepat jenuh dan setimbang, sebaliknya jika kelembaban relatif tinggi maka butiran garam akan sangat cepat larut atau mencair sehingga membutuhkan jumlah garam yang tinggi dan waktu yang lebih lama untuk jenuh dan memperoleh RH yang setimbang (Winston dan Bates 1960). Hasil yang sama juga diperoleh pada penelitian ini yaitu pembentukan RH 90% pada suhu 20 dan 30 ºC memerlukan jumlah garam yang tinggi (pro analysis) dan waktu yang relatif lama untuk memperoleh kesetimbangan antara larutan garam dengan tekanan uap air murninya, sementara RH 90% pada suhu 40 ºC kesetimbangan lebih mudah tercapai dengan jumlah garam yang lebih sedikit. Hal ini juga memperlihatkan bahwa nilai RH yang terbentuk oleh suatu jenis larutan garam jenuh akan bergantung pada suhu lingkungan. Suhu lingkungan yang tinggi akan mempermudah pembentukan RH (Greenspan 1977).

Keuntungan lain penggunaan larutan garam untuk membentuk RH adalah kejenuhan larutan garam dapat teramati secara visual dari butiran garam yang tidak mampu larut lagi di dalam air. Namun kendala yang dihadapi adalah jumlah garam yang digunakan untuk memperoleh RH yang diinginkan pada suhu yang ditentukan harus terukur secara tepat dan RH yang terbentuk harus diukur setiap 24 jam (Greenspan 1977).

Nilai RH yang terbentuk dalam desikator dapat dilihat dengan bantuan higrometer. Menurut Winston dan Bates (1960), higrometer merupakan alat yang tepat karena memiliki keakuratan yang baik dan cukup sensitif ketika mengukur RH yang terbentuk selama pengujian. Pada higrometer terdapat dua skala, skala pertama menunjukkan kelembaban relatif dan yang kedua menunjukkan suhu. Cara penggunaan higrometer cukup mudah, hanya dengan meletakkannya pada tempat yang akan diukur kelembabannya, setelah itu tunggu beberapa saat dan hasil pengukuran dapat dilihat secara langsung pada alat.

(32)

menggunakan termometer yang bagian bawahnya dilapisi dengan kapas basah kemudian dimasukkan larutan garam. Suhu bola basah akan selalu lebih rendah dari suhu bola kering. Posisi suhu bola kering dan bola basah dilihat pada kurva psikrometrik. Perpotongan antara kedua garis suhu bola kering dan bola basah berada pada suatu titik yang terletak pada garis RH sehingga dapat diketahui nilai kelembaban relatif yang terbentuk.

Pengaruh suhu dan kelembaban relatif terhadap pertumbuhan A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 pada media Czapex Dox Agar (CDA)

Pengujian pertumbuhan A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 dengan menggunakan media sintetik (CDA) diharapkan dapat memberikan informasi awal mengenai pola pertumbuhan A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 pada suhu dan kelembaban relatif (RH) yang ditentukan. Kapang A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 yang ditumbuhkan pada media CDA akan membentuk spora berwarna kuning hingga kehijauan yang dapat memberi petunjuk terbentuknya aflatoksin (Das et al. 2012). Pengaruh suhu dan RH terhadap A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 menunjukkan diameter pertumbuhan koloni yang tidak jauh berbeda antar kedua strain A. flavus ini selama masa inkubasi. Secara visual, A. flavus BIO 2237 lebih banyak membentuk sklerotia dibandingkan spora, sementara itu BCC F0213 cenderung membentuk spora (Gambar 5) pada waktu inkubasi yang sama.

A B

Gambar 5 Pertumbuhan A. flavus BIO 2237 (A) dan BCC F0213 (B) pada media CDA selama 10 hari inkubasi pada suhu 30 oC dan RH 90%.

Beberapa kapang golongan Aspergillus diketahui dapat menghasilkan sklerotia. Sklerotia dapat dibentuk oleh kapang A. oryzae danA. flavus, namun yang lebih sering membentuk sklerotia adalah A. flavus (Ruiqianet al. 2013). Menurut Dehghan et al. (2008), isolat A. flavus yang diamati di Iran sebanyak 33.3% menghasilkan sklerotia pada media sintetik. Pembentukan sklerotia lebih maksimal terjadi pada suhu 37 ºC dibandingkan pada suhu 28 ºC.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa suhu yang relatif rendah (20 oC) dan suhu yang relatif tinggi (40 oC) dari suhu ruang (30 oC) tetap mendukung pertumbuhan

A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 yang ditunjukkan dari penambahan diameter koloni

(33)

setelah melewati 7 hari A. flavus secara aktif akan menghasilkan aflatoksin sehingga media sintetik akan terlihat berwarna kuning hingga oranye (Das et al. 2012). Aflatoksin terbentuk setelah A. flavus melewati fase logaritmik pertumbuhannya atau memasuki fase stasioner (statis). Pada fase statis jumlah nutrisi menjadi berkurang karena telah dimanfaatkan secara maksimal oleh A. flavus pada fase log, sehingga pada fase statis jumlah A. flavus yang hidup sebanding dengan jumlah yang mati. Pada kondisi seperti ini, A. flavus tidak mampu berkembangbiak lagi dan hanya mempertahankan diri dengan terus menghasilkan aflatoksin (Milani 2013).

[image:33.612.95.486.65.792.2]

A B

Gambar 6 Pertumbuhan A. flavus BIO 2237 (A) dan BCC F0213 (B) pada media CDA pada suhu 20 oC dengan RH 70, 80, dan 90%. Kontrol adalah suhu dan RH ruang (30 ºC dan 75%).

A B

Gambar 7 Pertumbuhan A. flavus BIO 2237 (A) dan BCC F0213 (B) pada media CDA pada suhu 30 oC dengan RH 70, 80, 90%. Kontrol adalah suhu dan RH ruang (30 ºC dan 75%).

 

A B

Gambar 8 Pertumbuhan A. flavus BIO 2237 (A) dan BCC F0213 (B) pada media CDA pada suhu 40 oC dengan RH 70, 80, 90%. Kontrol adalah suhu dan RH ruang (30 ºC dan 75%).

0 20 40 60 80 100

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Di amet er k o lo n i (m m )

Waktu pertumbuhan (hari)

0 20 40 60 80 100

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Di am et er kol oni (m m )

Waktu pertumbuhan (hari)

kontrol RH 70% RH 80% RH 90% 0 20 40 60 80 100

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Diam eter kol oni (m m )

Waktu pertumbuhan (hari)

0 20 40 60 80 100

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

D iamet er k o lo n i (mm)

Waktu pertumbuhan (hari)

kontrol RH 70% RH 80% RH 90% 0 20 40 60 80 100

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Di am et er kol oni (m m )

Waktu pertumbuhan (hari)

0 20 40 60 80 100

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Di am et er kol oni (m m )

Waktu pertumbuhan (hari)

(34)

Pertumbuhan maksimal A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 terjadi pada suhu 30 oC dengan RH 90%, sedangkan pertumbuhan minimal terjadi pada suhu 40 oC dengan RH 70% pada hari ke 7 seperti yang terlihat pada Tabel 9. Pertumbuhan

A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 maksimal tumbuh pada RH 90% pada semua suhu.

Hal ini memperlihatkan A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 lebih menyukai kondisi lingkungan lembab dibandingkan kondisi lingkungan kering untuk tumbuh dan berkembang.

Tabel 9 Pertumbuhan A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 pada CDA pada suhu 20, 30, dan 40 ºC dengan RH 70, 80, dan 90% selama 7 hari masa inkubasi.

Suhu (oC) dan RH (%) Diameter koloni (mm)1

A.flavus BIO 2237 A.flavus BCC F0213

Kontrol (suhu 30 °C, RH 75%) 63.0±3.5b 56.0±0.7b Suhu 20 °C, RH 70% 59.0±2.1ab 47.0±4.9a Suhu 20 °C, RH 80% 65.0±2.1b 57.0±3.5bc Suhu 20 °C, RH 90% 69.0±1.4b 64.0±4.2cd Suhu 30 °C, RH 70% 55.0±11.3a 63.0±5.6c Suhu 30 °C, RH 80% 69.0±4.2bc 70.0±2.1d Suhu 30 °C, RH 90% 71.0±1.4c 72.0±2.8d Suhu 40 °C, RH 70% 50.0±4.2a 45.0±13.4a Suhu 40 °C, RH 80%

Suhu 40 °C, RH 90%

58.0±0.8a 66.0±1.4b

50.0±3.5a 52.0±5.6ab 1

Angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada satu kolom tidak menunjukkan perbedaan nyata (taraf uji 5%).

Hasil analisis statistik (α= 0.05) memperlihatkan bahwa taraf suhu atau RH yang diuji mempengaruhi secara nyata pertumbuhan A. flavus BIO 2237 atau BCC F0213. Pada dasarnya suhu rendah dengan RH tinggi merupakan kondisi yang cocok bagi pertumbuhan A. flavus. Pertumbuhan A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 pada kondisi ruang (suhu 30 oC dengan RH 75%) lebih kecil dibandingkan dengan suhu 30 oC dengan RH 90% meskipun suhunya sama. Hal ini memperlihatkan bahwa RH lebih berperan dibandingkan suhu. Pada kondisi ruang, suhu yang terukur sama dengan suhu maksimal pertumbuhan A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213, namun RH ruang yang terukur lebih kecil (75%) dari RH maksimal (90%) pertumbuhan A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213. Penurunan RH dapat menurunkan pertumbuhan A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213. Nilai RH dibawah 85% seperti RH pada kondisi ruang (75%) dapat mengganggu pertumbuhan kapang A. flavus BIO 2237 dan BCC F0231.

Menurut Das et al. (2012) suhu 30 oC merupakan suhu maksimal bagi pertumbuhan kapang A. flavus MTCC 2798, sedangkan RH diatas 85% merupakan RH maksimal bagi pertumbuhan A. flavus (Al-Shikli et al. 2010). Nilai RH rendah (70%) dan suhu tinggi (40 oC) mengakibatkan perkembangbiakan A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 melambat. Hal ini menggambarkan kondisi yang panas dan kering dapat menurunkan pertumbuhan A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213. Menurut Al-Shikli et al. (2010), pada dasarnya kapang A. flavus mulai berkembangbiak dengan baik pada RH 80% dan Hussaini et al. (2009) juga telah mengamati pola pertumbuhan beberapa jenis kapang diantaranya adalah A. flavus, hasil pengamatannya menyebutkan bahwa

A. flavus akan mengalami proses pertumbuhan dan perkembangan lebih cepat di

(35)

faktor lingkungan yang memiliki peran penting bagi pertumbuhan kapang A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213.

Pengaruh suhu dan kelembaban relatif terhadap pertumbuhan A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 pada jagung dan kedelai

Penanganan pascapanen jagung dan kedelai menjadi hal penting yang perlu diperhatikan oleh para pelaku usaha pertanian. Selama ini para petani memanen komoditi pangan seperti jagung dan kedelai dengan kadar air tinggi sehingga mudah ditumbuhi oleh kapang seperti A. flavus. Proses pascapanen terdiri dari serangkaian kegiatan yang dimulai dari pemanenan dan diakhiri dengan penyimpanan. Tahap penyimpanan merupakan tahap yang paling kritis karena pertumbuhan A. flavus dapat terjadi hampir dua kali lebih banyak dibandingkan tahap sebelumnya jika kondisi lingkungannya mendukung. Lingkungan yang lembab merupakan kondisi yang sesuai bagi pertumbuhan kapang seperti A. flavus (Miskiyah dan Widaningrum 2008).

Hasil yang diperoleh pada penelitian ini menunjukkan semakin tinggi RH maka massa sel yang terbentuk semakin tinggi pula selama 10 hari masa inkubasi seperti yang terlihat pada Tabel 10. Massa sel yang terbentuk hanya terlihat pada RH 80 dan 90% di suhu 20, 30, dan 40 oC, untuk RH 70% massa sel hanya terbentuk di suhu 20 dan 30 oC, sedangkan pada suhu 40 oC pertumbuhan A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 tidak terdeteksi baik pada jagung maupun kedelai. Selama masa inkubasi 10 hari, secara visual hampir seluruh permukaan biji jagung dan kedelai ditumbuhi oleh spora A. flavus

BIO 2237 dan A. flavus BCC F0213. Jumlah massa sel A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 yang paling tinggi atau maksimal pada jagung sebanyak 6209 dan 4911 mg, keduanya terbentuk pada kondisi suhu 20 oC dengan RH 90%. Sementara itu, pada kedelai jumlah massa sel A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 tertinggi yaitu sebesar 2635 dan 4636 mg, keduanya terbentuk pada kondisi suhu 30 oC dengan RH 90% dan pada suhu 20 oC dangan RH 90%.

Tabel 10 Pembentukan massa sel A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 pada jagung dan kedelai pada suhu 20, 30, dan 40 ºC dengan RH 70, 80, dan 90% selama 10 hari masa inkubasi.

Perlakuan

Massa sel (mg)1

A. flavus BIO 2237 A. flavus BCC F0213

Jagung Kedelai Jagung Kedelai Kontrol (20 ºC, 75%) 960.0±1.3de 1155.0±1.6bc 830.0±1.2b 285.0±0.4a 20 ºC, 70% 1001.6±0.2e 361.1±0.1a 970.0±0.1bc 1810.0±0.3cd 20 ºC, 80% 607.1±0.2bc 439.6±0.0a 1330.0±0.2d 4060.0±1.3f 20 ºC, 90% 6209.8±2.3g 1115.7±1.3c 4911.2±0.3f 4636.5±0.5h 30 ºC, 70% 235.0±0.1a 335.0±0.1a 485.0±0.1a 420.0±0.0a 30 ºC, 80% 925.0±0.8d 2350.0±0.2e 1130.0±0.2cd 2855.0±0.3e 30 ºC, 90% 1703.0±1.7f 2634.9±0.3f 4290.0±0.6e 4495.0±0.7gh

40 ºC, 70% 0 0 0 0

(36)

Analisis ragam nilai dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0.05) menunjukkan bahwa secara statistik suhu dan RH berpengaruh nyata terhadap pembentukan massa sel

A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213. Hasil uji beda nyata terkecil (BNT) juga

menunjukkan secara statistik setiap taraf perlakuan suhu dan RH memberikan respon yang berbeda terhadap pembentukan massa sel A. flavus BIO 2237 dan BCC F0213 pada jagung dan kedelai seperti yang terlihat pada Tabel 10. Umumnya pada setiap suhu terlihat semakin tinggi RH maka massa sel yang terbentuk semakin tinggi. Pertumbuhan A. flavus akan semakin meningkat jika jagung dan kedelai disimpan pada RH lebih dari 85% (Hell dan Mutegi 2011; Kusumaningrum et al. 2010), selain jagung dan kedelai, sorgum yang disimpan di lingkungan lembab jauh lebih tinggi cemaran

A. flavus dibandingkan dengan sorgum yang disimpan pada kondisi lingkungan kering

(Hussaini et al. 2009).

Perubahan suhu sebesar 5 oC atau terjadi peningkatan kadar air sebesar 0.5% atau lebih selama penyimpanan, menyebabkan peningkatan pertumbuhan A. flavus

(Vincelli et al. 2013). Nilai RH yang tinggi menandakan komposisi air di udara yang tinggi pula.Tingginya kandungan air di udara menyebabkan terjadinya migrasi air ke bahan pangan kering seperti jagung dan kedelai. Proses migrasi akan terus berlangsung hingga tercapai kesetimbangan antara bahan pangan (jagung dan kedelai) dengan lingkungan penyimpanannya. Proses migrasi air di udara ke dalam jagung dan kedelai mengakibatkan peningkatan kadar air dan aktivitas air (aw). Kadar air yang tinggi dapat dimanfaatkan oleh A. flavus untuk tumbuh dan menbentuk aflatoksin (Kabak et al.

2006; Cotty dan Garcia 2007). Vincelli et al. (2013) serta Hell dan Mutegi (2011) menyebutkan salah satu cara yang dapat digunakan untuk mengurangi risiko kontaminasi A. flavus pada komoditi pangan adalah dengan menjaga kadar air di bawah 15%. Pengendalian kadar air jagung dan kedelai sebelum dan selama penyimpanan dianggap cara yang efektif untuk menghindari pertumbuhan A. flavus.

Pada penelitian ini sampel jagung dan kedelai yang digunakan sebelum diinkubasi memiliki kadar air sebesar 13% (bk) serta aw sebesar 0.82 (jagung) dan 0.72 (ke

Gambar

Tabel 1 LD 50 aflatoksin terhadap hewan percobaan (anak itik)1
Tabel 2 Kandungan aflatoksin pada bahan pangan di beberapa Negara
Tabel 3 Regulasi ambang batas total aflatoksin dan aflatoksin B1 berdasarkan EC No 165/2010 pada komoditi pangan
Tabel 5 Cemaran  A. flavus dan kapang pada jagung di beberapa daerah di Indonesia1
+7

Referensi

Dokumen terkait