• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Proses Pasteurisasi Jelly Drink Cincau Hijau-Rosela Dalam Kaleng untuk Menghasilkan Daya Antioksidan Optimum.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Proses Pasteurisasi Jelly Drink Cincau Hijau-Rosela Dalam Kaleng untuk Menghasilkan Daya Antioksidan Optimum."

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PROSES PASTEURISASI

JELLY DRINK

CINCAU

HIJAU-ROSELA DALAM KALENG

UNTUK

MENGHASILKAN DAYA ANTIOKSIDAN OPTIMUM

NABILA YUSRINA NUR ABIDAH

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Proses Pasteurisasi Jelly Drink Cincau Hijau-Rosela dalam Kaleng untuk Menghasilkan Daya Antioksidan Optimum adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

ABSTRAK

NABILA YUSRINA NUR ABIDAH. Kajian Proses Pasteurisasi Jelly Drink Cincau Hijau-Rosela Dalam Kaleng untuk Menghasilkan Daya Antioksidan Optimum. Dibimbing oleh PUSPO EDI GIRIWONO dan EKO HARI PURNOMO.

Cincau hijau (Premna oblongifolia Merr.) dan rosela (Hibiscus sabdariffa L. Merr.) merupakan dua komoditas pangan lokal yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi peningkatan prevalensi kasus metabolic syndrome, yakni sekumpulan faktor risiko penyakit yang diasosiasikan dengan metabolic disorders. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji proses termal produk jelly drink cincau hijau-rosela yang menghasilkan kerusakan kapasitas antioksidan minimum. Penelitian ini terdiri dari beberapa tahap, yaitu tahap kajian proses termal dan karakterisasi kapasitas antioksidan produk. Kajian proses termal dilakukan pada beberapa kombinasi suhu dan waktu pasteurisasi untuk mencapai nilai pasteurisasi yang setara dengan 6D85. Suhu 65 °C memerlukan waktu pasteurisasi selama 7.2 menit, suhu 75 °C selama 5.25 menit, dan suhu 85 °C selama 4 menit. Karakterisasi kapasitas antioksidan produk digunakan untuk mengetahui pengaruh proses termal terhadap laju kerusakan kapasitas antioksidan produk. Produk yang dipasteurisasi pada suhu 65 °C memiliki kandungan fenolik total tertinggi (58.19 mg GAE/g sampel) dan nilai IC50tertinggi (0.38 g/mL). Sedangkan kandungan total klorofil tertinggi dimiliki oleh produk yang dipasteurisasi pada suhu 85 °C (17.21 mg/100 g sampel). Kadar serat kasar masing-masing produk tidak menunjukkan perbedaan nyata. Berdasarkan kapasitas antioksidannya, produk yang mengalami proses pasteurisasi yang paling optimal adalah produk yang dipasteurisasi pada suhu 65 °C selama 7.2 menit.

(6)
(7)

ABSTRACT

NABILA YUSRINA NUR ABIDAH. Pasteurization Process Optimization of Canned Green Grass Jelly-Roselle Jelly Drink to minimize decrease of antioxidant capacity. Supervised by PUSPO EDI GIRIWONO and EKO HARI PURNOMO.

Green grass jelly (Premna oblongifolia Merr.) and roselle (Hibiscus sabdariffa L. Merr.) are local food commodities that can be used to alleviate increased prevalence of metabolic syndrome. The purpose of this research is to study thermal process of green grass jelly-roselle jelly drink product with minimum antioxidant capacity decrease. This research was done in two stages; (1) thermal process treatment and (2) product’s antioxidant capacity characterization. Thermal process treatment is carried out by treating the samples at different combination of time and temperature to achieve pasteurization value equal to 6D85 (at 65 °C pasteurization requires 7.2 minutes, at 75 °C req. 5.25 minutes, and 85 °C req. 4 minutes). Antioxidant characterization of the product are used to determine the effect of thermal processes on the functional character of the product. Pasteurized product at 65 °C has the highest total phenolic content (58.19 mg GAE/ g sample) and antioxidant activity (IC50 0.38 g/mL). The highest total chlorophyll content is pasteurized product at 85 °C (17.21 mg/ 100 g sample). Each product doesn’t show any significant difference in crude fiber content. Based on it functional characteristic, pasteurized product at 65 °C is product that undergo optimal pasteurization process.

(8)
(9)

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian

pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

KAJIAN PROSES PASTEURISASI JELLY DRINK CINCAU

HIJAU-ROSELA DALAM KALENG UNTUK

MENGHASILKAN DAYA ANTIOKSIDAN OPTIMUM

NABILA YUSRINA NUR ABIDAH

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PANGAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(10)
(11)
(12)
(13)

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya yang telah dilimpahkan, sehingga tugas akhir yang berjudul Kajian Proses Pasteurisasi Jelly Drink Cincau Hijau-Rosela dalam Kaleng untuk Menghasilkan Nilai Daya Antioksidan Optimum dapat diselesaikan dengan baik.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Puspo Edi Giriwono, S.TP, M.Agr selaku dosen pembimbing pertama, Dr. Eko Hari Purnomo, S.TP, M.Sc selaku dosen pembimbing kedua, serta Dias Indrasti, S.TP, M.Sc selaku dosen penguji sidang yang senantiasa memberikan bimbingan, masukan, dan semangat kepada penulis hingga tugas akhir ini dapat terselesaikan dengan baik. Di samping itu, ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh laboran dan teknisi laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan laboratorium PAU yang senantiasa membantu dan membimbing penulis dalam mengoperasikan instrumen laboraorium selama penelitian. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada staf UPT dan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan urusan administrasi.

Terima kasih penulis ucapkan kepada kedua orang tua, adik, serta seluruh keluarga besar yang tiada hentinya memberikan dorongan, semangat, dan perhatian kepada penulis. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada sahabat-sahabat yang telah memberikan dukungan dalam penyelesaian tugas akhir dan juga telah mewarnai hari-hari penulis menjadi tidak terlupakan. Terima kasih penulis ucapkan juga kepada teman-teman satu bimbingan yang saling membantu dalam penelitian. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman seperjuangan Ilmu dan Teknologi Pangan 48 atas kekompakan dan keriangan yang dilalui selama kuliah.

Penulis menyadari banyaknya kekurangan dalam penulisan tugas akhir ini, sehingga penulis sangat mengharapkan kritik tugas akhir ini dan saran yang membangun untuk tugas akhir ini. Semoga tugas akhir ini dapat bermanfaat.

(14)
(15)

DAFTAR ISI

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

PRAKATA ... vi

DAFTAR ISI ... vii

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... viii

DAFTAR LAMPIRAN ... ix

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Perumusan Masalah ... 2

Tujuan Penelitian ... 2

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Gel Cincau Hijau (Premna oblongifolia Merr.) ... 4

Ekstrak Rosela (Hibiscus sabdariffa L. Merr.) ... 6

Pasteurisasi dan Kecukupan Proses Termal ... 7

Staphylococcus aureus ... 9

METODE PENELITIAN ... 10

Bahan ... 10

Alat ... 10

Metode Percobaan ... 11

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 15

Optimasi Proses Pasteurisasi ... 15

Sifat Fungsional Produk Jelly Drink Cincau Hijau-Rosela ... 16

Pemilihan Proses Pasteurisasi Terbaik ... 24

SIMPULAN DAN SARAN ... 25

Simpulan ... 25

Saran ... 25

(16)
(17)

DAFTAR TABEL

1 Kandungan gizi cincau hijau per 100 gram bahan 5 2 Kandungan gizi kelopak bunga rosela per 100 gram bahan 7 3 Karakteristik fungsional produk jelly drink cincau hijau-rosela dalam

kaleng 24

DAFTAR GAMBAR

1 Daun cincau hijau perdu (Premna oblongifolia Merr.) 4 2 Kelopak bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L. Merr.) 6

3 Diagram alir pembuatan gel cincau hijau 11

4 Diagram alir pembuatan ekstrak rosela 12

5 Kurva uji penetrasi panas terhadap produk jelly drink cincau

hijau-rosela dalam kaleng 16

6 Kandungan fenolik total produk jelly drink cincau hijau-rosela dalam

kaleng 18 7 Kandungan total klorofil produk jelly drink cincau hijau-rosela dalam

kaleng 20 8 Aktivitas antioksidan produk jelly drink cincau hijau-rosela dalam

kaleng yang digambarkan dengan nilai IC50 21

(18)
(19)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil perhitungan uji penetrasi panas suhu 65 °C 31 2 Hasil perhitungan uji penetrasi panas suhu 75 °C 38 3 Hasil perhitungan uji penetrasi panas suhu 85 °C 50

4 Kurva standar asam galat 59

5 Hasil analisis kandungan fenolik total 60

6 Hasil analisis sidik ragam kandungan fenolik total 61

7 Hasil analisis kandungan total klorofil 63

8 Hasil analisis sidik ragam kandungan total klorofil 64

9 Kurva standar asam askorbat 66

10 Hasil analisis aktivitas antioksidan berdasarkan nilai IC50 67

11 Hasil analisis sidik ragam nilai IC50 71

12 Hasil analisis kadar serat kasar 73

(20)
(21)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Peningkatan prevalensi kasus metabolic syndrome di masyarakat diakibatkan oleh perubahan gaya hidup menjadi kurang sehat. Peningkatan prevalensi kasus ini dapat berdampak pada perubahan pola konsumsi pangan menjadi lebih sehat dan peningkatan pengembangan produk yang berpotensi sebagai anti metabolic syndrome. Metabolic syndrome merupakan sekelompok faktor risiko penyakit yang berhubungan dengan gangguan metabolisme seperti cardiovascular disease (CVD), chronic kidney disease (CKD), tipe 2 diabetes melitus dan hipertensi (Wang et. al 2007). Prevalensi metabolic syndrome bervariasi terhadap lokasi geografis, karakter populasi, dan kriteria sindrom tersebut. Salah satu bahan pangan yang dapat dikembangkan adalah cincau hijau (Premna oblongifolia Merr.) dan rosela (Hibiscus sabdariffa L. Merr.). Tanaman cincau termasuk tanaman asli Indonesia. Tanaman ini tumbuh menyebar di daerah Jawa Barat ( Gunung Salak, Batujajar, Ciampea, dan Ciomas), Jawa Tengah ( Gunung Ungaran dan Gunung Ijen), Sulawesi, Lomobok, dan Sumbawa (Rahayu et. al 2013). Sedangkan tanaman rosela dapat berkembang dengan baik di Jawa Timur (Kediri dan Blitar). Keduanya merupakan komoditas pangan lokal, sehingga ketersediaannya cukup banyak dan harganya terjangkau. Sehinga pasokan kedua bahan baku tersebut dapat terjamin.

Daun cincau hijau mengandung karbohidrat, polifenol, saponin, flavonoid, lemak, kalsium, fosfor, serta vitamin A dan B (Mardiah et. al 2007). Kandungan fitokimia pada daun cincau menurut Ananta (2000) dapat mencegah kanker. Hal ini sesuai dengan beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya bahwa kandungan fitokimia daun cincau hijau dapat meningkatkan jumlah limfosit (Pandoyo 2000), menurunkan jumlah radikal bebas (Handayani 2000), meningkatkan kapasitas antioksidan limfosit (Koessitoresmi 2002), dan tidak bersifat toksik bagi tubuh (Arisudana 2003).

Bunga rosela mengandung fitokimia berupa antosianin, asam protokatekat, flavonoid (gosipetin, hibiscetin, dan sabdaretin), pigmen dafnifilin. selain itu terdapat pigmen mirtilin, krisantenin dan delfinidin dalam jumlah yang sedikit (Mohamed et. al 2012). Komponen-komponen fitokimia tersebut telah diteliti dapat berfungsi sebagai zat anti hipertensi (Suryani 2004).

Faktor khasiat dan kemudahan untuk mendapatkan bahan baku adalah alasan utama pengembangan produk jelly drink cincau hijau-rosela. Proses pengawetan diperlukan dalam pengembangan produk karena umur simpan gel cincau hijau sangat singkat (1-2 hari) dan mudah terkontaminasi secara mikrobiologis. Proses pengawetan yang dilakukan adalah pasteurisasi dalam kaleng. Aplikasi pasteurisasi dapat mereduksi jumlah mikroba, namun dapat pula merusak komponen bioaktif seperti flavonoid (Irina dan Mohamed 2012; Mourtzinos 2008) serta menurunkan mutu fisik dan fungsional produk (Firlieyanti dan Pramitasari 2012; Prangdimurti et. al 2012).

(22)

faktor yang berperan dalam proses pengawetan di sebut hurdle. Teknologi hurdle (hurdle concept) tidak hanya sekedar mengkombinasikan berbagai metode pengawetan, namun juga dapat digunakan untuk mengoptimalkan efek pengawetan yang diingikan tanpa memberikan perlakuan pengawetan yang berlebihan. Hurdle yang berpotensi dalam pengawetan dikelompokkan ke dalam fisik, fisiko-kimia dan mikrobiologis. Hurdle yang paling penting adalah hurdle proses dan aditif, sperti suhu tinggi, suhu rendah, aktivitas air (Aw), keasaman (pH), potensi redoks (Eh), mikroorganisme kompetitor, dan pengawet (Nuraida 2011). Pada penelitian ini, hurdle yang dapat dikombinasikan adalah tingkat keasaman produk dengan proses suhu tinggi, yakni pasteurisasi.

Mukaromah et. al (2010) menyatakan bahwa kelopak rosela segar memiliki tingkat keasaman yang rendah (pH 2.0) dan proses ekstraksi tidak berpengaruh terhadap pH ekstrak rosela. Minuman ekstrak rosela memiliki tingkat keasaman yang tinggi (pH 2.0) sehingga dapat menurunkan resiko bahaya mikrobiologis serta meminimalkan aplikasi termal yang dibutuhkan. Stabilitas optimum gel cincau hijau tercapai pada pH rendah (Ginanjar 2013) setara dengan pH alami ekstraki rosela. Kombinasi tingkat keasaman minuman rosela dan stabilitas optimum gel cincau hijau diharapkan mampu mengatasi penurunan mutu gel dari cincau hijau akibat proses pasteurisasi. Akibatnya proses pasteurisasi dapat dioptimalkan tanpa panas yang berlebihan sehingga dapat merusak mutu fungsional produk. Kondisi optimum proses pasteurisasi produk adalah kondisi yang dapat meminimalkan kerusakan kapasitas antioksidannya. Hal ini berkaitan dengan produk yang dikembangkan merupakan produk dengan kemampuan anti metabolic syndrome yang berasal dari kapasitas antioksidan di dalamnya.

Perumusan Masalah

Cincau hijau dan rosela memiliki potensi besar sebagai bahan baku produk pangan fungsional karena mudah didapatkan dan khasiat anti metabolic syndrome yang berasal dari komponen fitokimia kedua bahan baku tersebut. Pengembangan produk gel cincau hijau tergolong sedikit, bahkan belum ada produk kombinasi antara gel cincau hijau dengan ekstrak rosela di pasaran. Proses pasteurisasi perlu diaplikasikan pada produk agar umur simpan produk lebih panjang. Proses pasteurisasi juga dapat meningkatkan nilai tambah produk karena produk menjadi lebih awet pada suhu rendah sehingga memudahkan proses distribusi produk.

Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah :

1. Kombinasi suhu dan waktu beberapa tingkat pasteurisasi yang dapat mencapai nilai pasteurisasi yang setara dengan 6D85

2. Efek proses pasteurisasi sebagai proses pengawetan produk jelly drink cincau hijau-rosela dalam kaleng terhadap kapasitas antioksidan

Tujuan Penelitian

(23)

kaleng agar kerusakan kapasitas antioksidan dapat diminimalkan. Proses termal yang optimal diharapkan dapat menghasilkan produk dengan kapasitas antioksidan yang maksimal.

Manfaat Penelitian

(24)

TINJAUAN PUSTAKA

Gel Cincau Hijau (Premna oblongifolia Merr.)

Jenis cincau yang umumnya dikenal di Indonesia ada dua jenis, yaitu cincau hijau dan cincau hitam. Kedua jenis cincau berbeda dalam hal warna, cita rasa, penampakan, dan proses pembuatan menjadi gel cincau. Gel cincau hitam dibuat dari bagian batang dan daun tanaman janggelan kering dengan penambahan pati dan abu Qi. Abu Qi merupakan hasil pembakaran sekam padi yang mengandung mineral seperti Ca, K, dan lain-lain. Gel cincau hitam berwarna cokelat kehitaman akibat ikatan klorofil yang rusak, beraroma spesifik dan lemah, memiliki sifat thermoreversible, dan memiliki umur simpan selama empat hari. Sedangkan gel cincau hijau dibuat dari bagian daun tanaman cincau hijau perdu

atau rambat segar dengan atau tanpa pemanasan. Gel cincau hijau berwarna hijau khas klorofil dengan aroma spesifik yang kuat, bersifat irreversible, dan memiliki umur simpan dua hari (Pitojo dan Zumiati 2005).Tanaman cincau hijau diklasifikasikan menjadi dua varietas, yaitu cincau hijau pohon atau perdu (Premna oblongifolia Merr.) dan cincau hijau rambat (Cyclea barbata L. Miers). Varietas yang digunakan dalam penelitian ini adalah cincau hijau perdu (Premna oblongifolia Merr.) karena lebih mudah didapatkan. Daun cincau hijau perdu disajikan dalam Gambar 1.

Cincau hijau umumnya dikonsumsi sebagai makanan pencuci mulut maupun healthy dessert. Kandungan gizi dalam daun cincau hijau disajikan pada Tabel 1.

(25)

Cincau hijau secara tradisional dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai obat penurun panas, obat radang lambung, menghilangkan rasa mual, hingga penurun tekanan darah (Ruhayat 2002). Beberapa penelitian sebelumnya telah dilakukan dan menunjukkan bahwa cincau hijau memiliki kandungan senyawa bioaktif yang memiliki khasiat baik bagi tubuh. Kandungan senyawa bioaktif pada cincau hijau antara lain klorofil, β-karoten, alkaloid, saponin, tanin, steroid, dan glikosida (Kusharto 2009). Tasia dan Widyaningsih (2013) menyatakan bahwa kandungan polifenol pada cincau dapat berfungsi sebagai zat antikanker. Ananta (2000) juga mengatakan bahwa daun cincau hijau dapat mencegah kanker. Selain itu, kandungan senyawa bioaktif pada cincau hijau berfungsi sebagai antioksidan, antimutagenik, antihipertensi, antidiabetes, serta imunomodulator (Septian dan Widyaningsih 2014). Kandungan fenolik pada cincau berpengaruh secara signifikan terhadap aktivitas antioksidan dan memiliki efek scavenging pada radikal bebas, penurunan kolesterol darah (Dhesti dan Widyaningsih 2014), serta menurunkan konsentrasi MDA darah (Li et. al 2010).

Cincau hijau memiliki kandungan serat yang tinggi. Komponen serat utama pada ekstrak cincau adalah pektin. Pektin termasuk serat pangan larut air dan salah satu bahan pembentuk gel (Willat et. al 2006). Komponen pembentuk gel pada cincau hijau adalah pektin bermetoksi rendah (Nurdin et. al 2008). Umumnya, ekstraksi daun cincau menjadi gel menggunakan air bersuhu 100 °Csehingga terbentuk gel. Gel cincau hijau dapat terbentuk pada suhu kamar, yaitu 25-30 °C, berwarna hijau karena mengandung klorofil, bersifat tidak tembus cahaya, dan irreversibel atau tidak dapat dibuat gel lagi setelah dihancurkan (Setyaningtyas 2000). Pembentukan gel cincau secara konvensional menghasilkan gel yang tidak kokoh dan cepat mengalami sineresis, yaitu peristiwa keluarnya air dari gel cincau hijau. Selain itu, gel cincau hijau mudah terkontaminasi oleh mikroorganisme.

Senyawa pembentuk gel yang terdapat dalam cincau hijau, yaitu pektin memiliki nilai pH 5.55 (Untoro 1985). Semakin tinggi kadar daun cincau hijau, daya tahan gel meningkat. Tingginya suhu air membuat pembentukan gel menjadi lambat dan daya tahan pecah menurun. Gel tidak akan terbentuk pada suhu 80 oC atau lebih. Rendahnya pH air akan membuat waktu pembentukan gel menjadi

Tabel 1 Kandungan gizi cincau hijau per 100 gram bahan

Komponen Zat Gizi Jumlah

Kalori (kal) 122.00

Protein (g) 6.00

Lemak (g) 1.00

Karbohidrat (g) 26.00

Kalsium (mg) 100.00

Fosfor (mg) 100.00

Besi (mg) 3.30

Vitamin A (SI) 107.50 Vitamin B1 (mg) 80.00

Vitamin C (g) 17.00

Air (g) 66.00

Bahan yang dapat dicerna (%) 40.00

(26)

lambat dengan daya tahan gel yang tinggi (Ginanjar 2013). Penambahan hidrokoloid dalam proses pembuatan gel cincau hijau dapat mempercepat proses pembentukan gel serta meningkatkan mutu fisik dari gel tersebut. Hidrokoloid yang digunakan dalam penelitian ini adalah karagenan. Karagenan merupakan hasil ekstraksi dari ganggang merah (Rhodophyceae), biasanya Chondrus crispus, Euchema cotonii, dan Euchema spinosum (Imeson 2000). Karagenan berfungsi sebagai bahan penstabil, pengental, pengemulsi, dan bahan pembuat kapsul. Karagenan mudah dijangkau, selain itu juga dapat meningkatkan kandungan serat produk akhir karena karagenan terbuat dari rumput laut. Pengolahan gel cincau diproduksi dalam bentuk minuman, baik segar maupun dalam kemasan komersil.

Ekstrak Rosela (Hibiscus sabdariffa L. Merr.)

Pemanfaatan rosela (Hibiscus sabdariffa L. Merr.) di Indonesia tergolong belum banyak padahal budidayanya memiliki peluang yang sangat baik. Selain dimanfaatkan sebagai pangan, rosela juga bermanfaat sebagai pangan fungsional (Maryani dan Kristiana 2008). Bagian yang dimanfaatkan dari tanaman rosela adalah kelopak bunganya. Kelopak bunga rosela disajikan dalam Gambar 2.

Kandungan gizi kelopak bunga rosela disajikan pada Tabel 2. Bunga rosela mengandung fitokimia berupa antosianin, asam protokatekat, flavonoid (gosipetin, hibiscetin, dan sabdaretin), pigmen dafnifilin, serta mirtilin, krisantenin dan delfinidin dalam jumlah yang sedikit (Mohamed et. al 2012). Beberapa penelitian sebelumnya menyebutkan bahwa kandungan senyawa bioaktif ekstrak kelopak bunga rosela memiliki banyak khasiat bagi tubuh. Kandungan antosianin, gosipetin, dan hibisetin memiliki khasiat diuretik (Maryani 2008). Kandungan antioksidan pada kelopak bunga rosela terdiri atas senyawa gosipetin, antosianin, dan hibisetin. Antosianin selain pigmen alami pada rosela juga bersifat antioksidan yang tinggi (Putra 2013). Kandungan flavonoid bunga rosela dapat mencegah hipertensi (Kwon et. al 2010).

(27)

http://www.tropicalfloridagardens.com/tag/pink-Bunga rosela dapat dimanfaatkan sebagai pangan, antara lain bahan seduhan seperti teh, sirup, selai, dan pangan lain. Teh rosela memiliki warna merah dari pigmen antosianin. Warna dari ekstrak rosela dipengaruhi oleh tingkat keasamaan. Pengaruh pH pada antosianin sangat besar terutama pada penentuan warnanya, pada pH rendah antosianin akan berarna merah (Mukaromah et. al 2010). Proses ekstraksi rosela dilakukan dengan pemanasan dan penambahan gula untuk mengurangi rasa asam dari ekstrak akhir. Mukaromah et. al (2010) mengatakan bahwa proses pengolahan rosela tidak berpengaruh terhadap pH rosela segar, yaitu 2.0. Tingkat keasamaan yang tinggi ekstrak rosela dapat dimanfaatkan sebagai teknik pengawetan pangan.

Pasteurisasi dan Kecukupan Proses Termal

Umur simpan suatu produk dapat diperpanjang dengan proses pengawetan yang bertujuan untuk menjadikan produk lebih awet. Salah satu metode pengawetan adalah dengan proses termal. Proses termal yang dilakukan dalam penelitian ini adalah pasteurisasi. Proses pasteurisasi dapat dilakukan pada suhu di bawah 100 °C dengan tujuan untuk inaktivasi mikroba pembusuk, mikroba patogendan enzim yang tidak diinginkan. Pasteurisasi dilakukan karena sifat produk yang relatif asam (pH<4.5) sehingga mikroba yang diperkirakan mungkin tumbuh lebih mudah direduksi jumlahnya. Pemanasan dapat meningkatkan keawetan produk karena panas dapat membunuh mikroba pembusuk dan inaktivasi enzim perusak, sehingga mutu produk lebih stabil selama penyimpanan. (Kusnandar 2010).

Disain proses termal mepertimbangkan dua hal, yaitu karakteristik ketahanan panas mikroba dan profil pindah panas dari medium pemanas ke dalam bahan pada titik terdinginnya. Karakteristik ketahanan panas dinyatakan dengan nilai D dan nilai Z. Untuk mencapai level pengurangan jumlah mikroba yang

Tabel 2 Kandungan gizi kelopak bunga rosela per 100 gram bahan

Komponen Zat Gizi Jumlah

Kalori (kal) 44.00

Air (%) 86.20

Protein (g) 1.60

Lemak (g) 0.10

Karbohidrat (g) 11.10

Serat (g) 2.50

Abu (g) 1.00

Kalsium (mg) 160.00

Fosfor (mg) 60.00

Besi (mg) 3.80

Betakaroten (mg) 285.00 Vitamin C (mg) 14.00

Tiamin (mg) 0.04

Riboflavin (mg) 0.60

Niasin (mg) 0.50

(28)

diinginkan, maka ditentukan siklus logaritma pengurangan mikroba. Kemudian dihitung nilai sterilitasnya pada suhu tertentu (Fo). Nilai Fo ini ditentukan sebelum proses termal berlangsung dengan menghitung pada suhu standar atau pada suhu tertentu, dimana untuk menghitungnya perlu mengetahui nilai D dan nilai Z. Nilai D adalah waktu pemanasan pada suhu tertentu untuk mereduksi mikroorganisme sebanayak 90 %, sedangkan nilai Z adalah derajat kenaikan atau penurunan suhu untuk menurunkan atau menaikkan nilai D menjadi 10 kali dari nilai awalnya. Level pengurangan jumlah mikroorganisme yang diinginkan dalam suatu disain proses termal dapat ditentukan dengan siklus logaritma pengurangan mikroba (S).

Pengukuran kecukupan panas perlu dilakukan dengan pengukuran penetrasi panas. Uji ini berguna untuk melihat kondisi produk yang dikenai panas pada titik terdinginnya, sehingga dapat memutuskan kondisi proses termal yang optimum bagi produk. Data hasil pengukuran penetrasi panas diolah untuk menentukan nilai sterilitas (Fo) dari proses termal yang dilakukan (Hariyadi et. al 2006). Penghitungan Fo dapat dilakukan dengan metode Ball dan metode umum. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode umum atau trapezoidal.

Metode umum merupakan metode yang paling teliti dalam menghitung Fo karena bahan pangan yang diukur dalam percobaan secara langsung diperhitungkan tanpa mengasumsikan hubungan antara waktu dengan suhu bahan pangan tersebut (Muchtadi 2008). Nilai letalitas proses ditentukan dengan integral nilai letalitas (L) menggunakan data suhu terhadap waktu proses yang dirumuskan sebagai berikut :

Efek letalitas pada suhu tertentu yang dibandingkan dengan suhu standar disebut nilai LR (Lethal Rate). Nilai Lr dapat dihitung dengan mengonversi waktu proses pada suhhu tertentu ke waktu ekivalen pada suhu standar. Secara matematis nilai LR dapat ditentukan dengan persamaan sebagai berikut:

(29)

keterangan : Ft = nilai pasteurisasi

= selang waktu untuk mengamati suhu T = suhu pengamatan

LR = Lethal Rate

Nilai Ft dengan metode umum dibandingkan dengan nilai F standar. Bila F hitung lebih besar dari F standar maka proses termal dikatakan mencukupi, dan sebaliknya. Proses termal yang dikatakan cukup berarti disain proses termal menjamin inaktivasi mikroorganisme target.

Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakan jenis bakteri yang tergolong ke dalam famili Staphylococcaceae, gram positif, dan bersifat katalase positif. Bakteri ini memiliki bentuk bulat dengan diameter 0.5 - 1.5 μm dan tidak membentuk spora selama masa pertumbuhannya. Staphylococcus aureus dapat hidup berkelompok seperti buah anggur, tunggal, berpasangan atau dalam jumlah empat (Ginanjar 2013). Dalam pertumbuhannya, S. aureus membutuhkan lingkungan dengan Aw minimum 0.866 dan Aw optimum sebesar 0.990-0.995. Patogen ini tumbuh optimum pada pH 7.00-7.50. Namun, S. aureus dapat bertahan hidup pada pH dibawah 4.2 (MPI 2001).

(30)

METODE PENELITIAN

Bahan

Bahan Baku

Bahan baku yang digunakan dalam pembuatan produk jelly drink cincau hijau-rosela dalam kaleng antara lain daun cincau hijau (Premna oblongifolia Merr.) segar yang didapatkan dari Bogor, karagenan, bunga rosela (Hibiscus sabdariffa L.) kering, H2O, dan sukrosa.

Bahan Kimia

Bahan kimia yang digunakan dalam analisis antara lain metanol teknis, asam galat (Sigma), reagan Folin-Ciocalteau (Merck), natrium karbonat (Merck), 2,2-difenil-1-pikrihidrazil (DPPH) (Sigma) , asam askorbat (Merck), asam sulfat (Merck), natrium hidroksida (Merck), etanol 95 % (Merck) dan aseton 80 % (Merck).

Alat

(31)

Metode Percobaan

Pembuatan Produk Jelly Drink Cincau Hijau-Rosela dalam Kaleng

Pembuatan gel cincau hijau ( Susantikarn 2014)

Gel cincau hijau dibuat dengan tahapan yang digambarkan pada Gambar 3.

Daun cincau hijau yang segar dibuang tangkai dan tulang daunnya, kemudian dicuci bersih dengan air. H2O dengan perbandingan 1:10 ditambahkan dan dihancurkan bersama-sama daun cincau hijau dengan blender, kemudian disaring untuk mendapatkan ekstrak cincau hijau. Ekstrak cincau hijau kemudian

Daun cincau hijau segar tanpa tangkai dan tulang

Pencucian bersih dengan air

Penambahan H2O 100 °C sebanyak 1:10

Penghancuran dengan blender

Penyaringan dengan kain saring

Penambahan 2 % karagenan Ekstrak cincau hijau

Pengadukan sambil pemanasan 100 °C

Pembentukan gel selama semalam di dalam refrigerator

Gel cincau hijau

Gambar 3 Diagram alir pembuatan gel cincau hijau

(32)

ditambahkan karagenan sebanyak 2 % yang telah dilarutkan dengan H2O panas. Kemudian, proses pencampuran dilakukan sambil diaduk dan dipanaskan. Setelah karagenan larut sempurna, pemanasan dihentikan dan pembentukan gel dilakukan selama semalam di dalam refrigerator.

Pembuatan ekstrak rosela (Susantikarn 2014)

Ekstrak rosela dibuat dengan tahapan yang digambarkan pada Gambar 4.

Bunga rosela kering dan H2O sebanyak 1:62 ditambahkan dengan 15 % gula pasir, kemudian dilakukan proses pemanasan selama 30 menit. Ekstrak rosela yang telah mencapai suhu ruang disimpan di dalam refrigerator.

Pengalengan jelly drinkcincau hijau-rosela

Gel cincau hijau dan ekstrak rosela dengan perbandingan 4:5 dimasukkan ke dalam kaleng berdimensi ukuran 307x113 sampai benar-benar penuh. Kemudian, kaleng ditutup dengan double seamer, dan siap untuk dipasteurisasi. Prosedur Optimasi Proses Pasteurisasi

Pasteurisasi dilakukan pada tiga tingkat suhu yaitu 65 °C, 75 °C, dan 85 °C. Optimasi proses pasteurisasi dilakukan dengan uji penetrasi panas. Kaleng yang akan diisi sampel dilubangi bagian bawahnya untuk pemasangan termokopel. Ujung termokopel dipasang di pusat geometris kaleng. Agar tidak bocor, kaleng yang sudah terpasang termokopel ditutup dengan gasket. Kemudian, kaleng diisi dengan produk. Ujung termokopel harus berada di dalam gel cincau hijau dan dipastikan terus menancap selama proses pasteurisasi. Ini disebut sebagai titik terdingin produk. Kaleng yang sudah berisi produk ditutup dengan kondisi tidak ada headspace antara tutup kaleng dengan batas atas produk. Selanjutnya kaleng diperiksa agar tidak ada kebocoran. Kaleng tersebut dimasukkan ke dalam keranjang dan dipenuhi dengan kaleng lain yang berisi produk dan telah dipasang termokopel. Ujung lain termokopel dipasang pada

Bunga rosela kering

Penambahan H2O dengan perbandingan 1:62 dan gula pasir sebanyak 15 %

Pemanasan 100 °C selama 30 menit

Ekstrak rosela

Gambar 4 Diagram alir pembuatan ekstrak rosela

(33)

thermorecorder. Kemudian, keranjang berisi kaleng dimasukkan ke dalam waterbath dengan suhu 65 °C. Pencatatan suhu yang dilakukan oleh thermorecorder dilakukan dengan selang satu menit. Pemanasan dilakukan sampai tidak ada peningkatan suhu produk yang tercatat pada thermorecorder. Cara ini juga dilakukan untuk suhu 75 °C dan 85 °C. Hasil pencatatan suhu dan waktu diolah dengan metode Trapezoidal atau metode umum untuk mendapatkan nilai Pv (pasteurization value) cummulative.

Data Pv cummulative dari seluruh termokopel pada tiap tingkatan suhu pasteurisasi diseleksi dan dipilih data yang menunjukan nilai Pv cummulative terbesar. Hal ini menunjukkan bahwa produk mengalami worst case scenario. Nilai Pv cummulative kemudian diplot ke dalam kurva hubungan antara waktu (sumbu x) dan Pv cummulative (sumbu y). Acuan kondisi proses 6D85 diwakilkan dengan garis linier di dalam kurva. Titik persinggungan antara garis suhu perlakuan dengan garis linier menunjukkan kombinasi suhu dan waktu pasteurisasi.

Prosedur Analisis Sifat Fungsional

Persiapan sampel (AOAC 2012)

Seluruh isi kaleng produk dihancurkan menggunakan food processor. Sejumlah sampel diambil sesuai dengan yang dibutuhkan untuk analisis, sedangkan sisa sampel dimasukkan ke dalam wadah tertutup yang kedap cahaya agar terhindar dari dekomposisi. Wadah sampel disimpan di dalam refrigerator.

Kandungan fenolik total (Orak 2006)

Sampel sebanyak 3 gram dan diekstrak dengan 5 mL metanol 50 %. Sampel disentrifuse dengan kecepatan 3000 rpm selama 20 menit pada suhu ruang. Sebanyak 0.2 mL supernatan sampel ditambahkan 15.8 mL akuades dan 1 mL reagen Folin Ciocalteau 50 % kemudian dihomogenisasi. Larutan sampel didiamkan selama 8 menit kemudian ditambahkan 3 mL larutan Na2CO3 20 %, dihomogenisasi dan didiamkan selama 2 jam di dalam ruangan gelap. Sampel diukur serapannya menggunakan spektrofotometer pada panjang gelombang 765 nm yang akan memberikan kompleks berwarna biru. Hasil serapannya dinyatakan sebagai mg GAE/g sampel. Larutan Na2CO3 20 % disiapkan dengan menimbang 5 gram Na2CO3 kemudian dilarutkan ke dalam 20 mL akuades dan dididihkan. Larutan didiamkan selama 24 jam. Larutan Na2CO3 20 % disaring dan ditepatkan volumenya sampai 25 mL. Asam galat digunakan sebagai standar dengan konsentrasi 10, 20, 30, 40, dan 50 mg/mL.

Aktivitas antioksidan (Brand-Williams et. al 1995 dengan modifikasi)

(34)

mengganti 100 μL larutan sampel dengan metanol. Aktivitas antioksidan sampel ditentukan oleh besarnya hambatan serapan radikal radikal DPPH melalui perhitungan presentase inhibisi serapan DPPH dengan persamaan berikut :

Keterangan : A blanko = absorbansi blanko A sampel = absorbansi sampel

Nilai IC50 (Half Maximal Inhibitory Concentration) adalah konsentrasi antioksidan (ppm) yang mampu memberikan persen penghambatan radikal sebanyak 50 % dibanding kontrol melalui suatu persamaan garis antara 50 % daya hambatan dengan sumbu konsentrasi, kemudian masukkan ke persamaan y = a + bx dimana y = 50 dan nilai x menunjukkan IC50.

Total klorofil (AOAC 2012)

Sampel dikeringkan menggunakan freeze drier sebelum analisis dilakukan. Sebanyak 0.5 gram sampel kering dihancurkan menggunakan mortar dan alu dan diekstrak dengan 10 mL aseton 80 %. Kemudian sampel diekstrak kembali menggunakan 5 mL aseton 80 % sampai warna hijau sampel hilang dan warna pengekstrak bening. Kemudian ekstrak disentrifuse pada 5000 rpm selama 5 menit. Total klorofil sampel ditentukan dengan metode spektrofotometri UV-VIS pada panjang gelombang 660 nm dan 642 nm. Total klorofil dihitung dengan persamaan berikut :

Keterangan : E = volume total ekstrak

DWS = bobot sampel kering (dried weight sample)

Kadar serat kasar (SNI 01-2891-1992)

Sampel sebanyak 2-4 gram (W1) ditambahkan 50 mL H2SO4 1.25 % dan didihkan selama 30 menit menggunakan reflux. Sebanyak 50 mL NaOH 3.25 % ditambahkan ke dalam sampel lalu dididihkan selama 30 menit dengan pendingin tegak. Kemudian sampel dalam keadaan panas disaring vakum menggunakan corong Buchner dan kertas Whatman no. 42 yang telah diketahui bobot keringnya (W2). Endapan yang terdapat di dalam kertas kemudan dicuci menggunakan H2SO4 panas, akuades panas, dan etanol 96 %secara berturut-turut. Kertas yang berisi endapan dikeringkan di dalam oven pada suhu 105 °C sampai tercapai bobot konstan. Kertas yang telah kering diletakkan di dalam desikator sampai dingin dan ditimbang (W3). Kadar serat kasar dihitung dengan persamaan sebagai berikut :

Keterangan : W1 = bobot sampel

W2 = bobot kering kertas Whatman no.42

(35)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Optimasi Proses Pasteurisasi

Optimasi proses termal dilakukan dengan melakukan pasteurisasi pada suhu dan waktu tertentu untuk mencapai tingkat reduksi mikroba sebesar 6 siklus log pada suhu 85 °C (6D85). Suhu 85 °C merupakan suhu pasteurisasi HTST (high temperature short time) (Roseli 2015). Kombinasi suhu dan waktu pasteurisasi ditetapkan melalui uji penetrasi panas. Uji penetrasi panas pada dasarnya adalah pengukuran suhu pada titik terdingin produk selama proses pemanasan untuk menentukan kecukupan panas yang diterima oleh produk. Kecukupan pasteurisasi sangat dipengaruhi oleh kecepatan panas berpenetrasi ke dalam produk selama proses pemanasan. Titik terdingin produk menjadi perhatian penting dalam proses termal, karena apabila titik terdingin telah cukup mendapat pemanasan, maka titik-titik lain dalam kemasan dipastikan sudah menerima perlakuan panas yang mencukupi. Penentuan titik terdingin produk dapat diperkirakan dari sifat perambatan panas yang terjadi, bentuk kemasan dan ukuran headspace. Produk pangan dengan perambatan panas konduksi dengan bentuk silindris dan headspace yang minimum memiliki titik terdingin produk di pusat geometri kaleng, yakni tepat ditengah-tengah kaleng (Hariyadi 2009).

Mikroba patogen yang menjadi target proses pasteurisasi produk adalah Staphylococcus aureus. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Kinasih (2015), nilai D dari Staphylococcus aureus yang diisolasi dari minuman cincau hijaupada suhu 45, 49, 53, dan 57 °C berturut-turut sebesar 32.3, 17.9, 4.6, dan 1.5 menit serta nilai Z sebesar 8.8 °C. Bakteri S. aureus dijadikan sebagai target karena selama proses pembuatan produk banyak terjadi kontak langsung antara tangan pekerja dengan produk. Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen yang sering ditemui di permukaan kulit manusia dan tumbuh optimum pada pH 7.00-7.50 (MPI 2001). Tingkat keasaman produk jelly drink cincau hijau-rosela adalah 3.15, kondisi ini tidak memungkinkan S. aureus tumbuh. Namun, S. aureus dapat bertahan hidup pada pH dibawah 4.2 (MPI 2001). Pramitasari (2012) dalam penelitiannya mengenai hasil analisis mikrobiologi terhadap 14 sampel cincau hijau memperlihatkan bahwa sampel cincau hijau mengandung total mikroba, Escherichia coli, dan Staphylococcus sp. dengan jumlah terbesar berupa E. coli dan Staphylococcus sp. Nilai D60 isolat Staphylococcus aureus dari gel cincau hijau dan rosela dengan pH 3.17 (0.8 menit) lebih tinggi dibandingkan nilai D60 E. coli O157:H7 pada substrat jus apel dengan pH 3.5 – 3.8 (0.3 menit) (Kinasih 2015). Nilai D yang lebih besar menunjukkan waktu yang diperlukan untuk menginaktivasi mikroba tersebut lebih lama, sehingga S. aureus lebih tahan panas dibandingkan dengan patogen lain yang ada pada jelly drink cincau hijau-rosela.

(36)

termokopel yang memiliki nilai Pv cummulative terbesar. Nilai Pv cummulative terbesar menunjukkan waktu paparan panas terhadap produk paling lama untuk mencapai suhu target yang tercatat oleh termokopel. Nilai ini dapat memastikan produk menerima perlakuan panas yang cukup, sehingga produk semakin aman secara mikrobiologis.

Nilai Pv cummulative yang dipilih untuk diplotkan ke dalam kurva adalah 4.38 menit untuk suhu pasteurisasi 65 °C pada termokopel 5, 34.20 menit untuk suhu pasteurisasi 75 °C pada termokopel 1, dan 61.08 menit untuk suhu pasteurisasi 85 °C pada termokopel 2. Kemudian, nilai Pv cummulative masing-masing suhu pasteurisasi ini diplotkan ke dalam kurva hubungan antara Pv cummulative produk dengan waktu pemanasan produk. Kurva hubungan antara Pv cummulative produk jelly drink cincau hijau-rosela dengan waktu pemanasan disajikan pada gambar 5. Garis 6D85 merupakan garis acuan proses pasteurisasi. Acuan ini digunakan untuk mengetahui bahwa kondisi pemanasan produk dapat setara dengan kondisi 6D85.

Gambar 5 Kurva uji penetrasi panas terhadap produk jelly drink cincau hijau-rosela dalam kaleng

Berdasarkan kurva diatas, kombinasi suhu dan waktu pasteurisasi produk minuman jelly cincau hijau dan rosella dalam kaleng adalah 65 oC selama 7.2 menit; 75 oC selama 5.25 menit; 85 oC selama 4 menit.

Sifat Fungsional Produk Jelly Drink Cincau Hijau-Rosela

Tahap karakterisasi produk jelly drink cincau hijau-rosela dalam kaleng dilakukan untuk menentukan suhu dan waktu pasteurisasi yang optimal. Proses pasteurisasi dapat dikatakan optimal apabila keamanan produk telah tercapai tanpa atau mengurangi fungsionalitas produk seminimal mungkin. Proses pasteurisasi

0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12 0.14 0.16

0 2 4 6 8 10

(37)

yang melibatkan suhu tinggi pada satu sisi dapat mereduksi jumlah mikroba sehingga pangan lebih awet dan aman, tetapi pada sisi lainnya suhu tinggi juga dapat merusak beberapa kandungan komponen bioaktif seperti flavonoid (Irina dan Mohamed 2012; Mourtzinos 2008). Produk yang dipasteurisasi secara optimal akan memiliki nilai tambah terhadap produk itu sendiri. Selain lebih awet, produk juga dapat digolongkan menjadi pangan fungsional. Parameter fungsionalitas produk dapat dilihat dari kandungan fenolik total, aktivitas antioksidan, total klorofil, dan kadar serat kasar.

Kandungan Fenolik Total

Senyawa fenolik merupakan senyawa yang memiliki gugus hidroksil pada cincin aromatik yang berjumlah satu atau lebih (Vermerris dan Nicholson 2006). Senyawa ini berkontribusi terhadap warna, rasa pahit dan sepat, rasa, bau, dan antioksidan (Kartika et. al 2007). Golongan terbesar dari senyawa fenolik adalah tanin dan flavonoid. Daun cincau hijau mengandung gugus fenolik berupa flavonoid, saponin, polifenol, dan alkaloid (Zakaria dan Prangdimurti 2000). Sedangkan rosela mengandung senyawa fenolik golongan flavonoid, yaitu antosianin (Ruangsri 2008 di dalam Apsari dan Susanti 2011). Zheng dan Wang (2001) menyatakan bahwa kelas flavonoid diketahui memiliki gugus hidroksil yang banyak, sehingga memiliki kapasitas antioksidan yang besar. Senyawa fenol memiliki sifat yang rentan terhadap perubahan suhu pada saat penyimpanan maupun pengolahan (Widiyanti 2009). Suhu tinggi dapat menyebabkan kelarutan senyawa fenolik dalam pelarut semakin besar. Selain itu, difusi yang terjadi semakin besar sehingga proses ekstraksi senyawa fenolik akan berjalan lebih cepat. Hal ini menyebabkan kandungan senyawa fenolik pada produk akan semakin besar. Akan tetapi peningkatan suhu proses juga perlu diperhatikan karena suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kerusakan senyawa fenolik produk (Ibrahim et. al 2015).

(38)

Gambar 6 Kandungan fenolik total produk jelly drink cincau hijau-rosela dalam kaleng yang diproses dengan nilai pasteurisasi setara 6D85

Nilai adalah rataan ± SD, n = 4. Superscript yang berbeda menunjukan perbedaan nyata terhadap kontrol pada taraf nyata 5%

Kandungan fenol total pada suhu pasteurisasi 65 oC adalah yang tertinggi (58.19mg GAE/g sampel), sedangkan pada suhu pasteurisasi 75 oC merupakan kandungan fenolik total yang terendah (39.58 mg GAE/g). Data kandungan fenolik total pada produk yang dipasteurisasi pada tiga suhu perlakuan pasteurisasi menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) terhadap kontrol, yaitu produk yang tidak dipasteurisasi. Selain terhadap kontrol, antara satu perlakuan dengan perlakuan lain juga menunjukkan perbedaan yang nyata. Hasil analisis sidik ragam ditampilkan pada Lampiran 6. Suhu pasteurisasi yang semakin tinggi menunjukkan penurunan kandungan fenolik total pada produk, Putri et. al (2014) menjelaskan bahwa senyawa fenolik mudah terdegradasi akibat paparan suhu tinggi.

Karagenan sebagai bahan pembentuk gel memiliki banyak gugus hidroksil, sehingga kemampuan untuk membentuk struktur tiga dimensi berbentuk double helix akan lebih tinggi. Struktur ini mampu melindungi senyawa fenolik produk dari pemanasan ataupun oksigen (Febrianti dan Yunianta 2015). Produk kontrol tidak mengalami pasteurisasi akibatnya panas yang diterima lebih sedikit dibandingan produk kelompok perlakuan. Proses pasteurisasi dapat merusak matriks double helix karagenan yang memerangkap senyawa fenolik produk. Akibatnya, senyawa fenolik terlepas dari matriks karagenan dan dapat bereaksi dengan reagen Folin-Ciocalteau. Selain itu, proses pasteurisasi mengakibatkan karagenan mengalami melting dan pada saat produk kembali didinginkan karakter gel dari karagenan tidak sekokoh produk sebelum pasteurisasi. Hal ini yang menyebabkan kandungan fenolik total produk kontrol, yaitu produk tanpa pasteurisasi lebih rendah dibandingkan produk yang dipasteurisasi pada suhu 65 °C. Kandungan fenolik pada produk kontrol (51.25 mg GAE/g sampel) yang terukur lebih rendah akibat senyawa fenolik terperangkap dalam matriks karagenan, sehingga yang bereaksi dengan reagan Folin-Ciocalteau lebih sedikit.

Produk yang dipasteurisasi pada suhu 75 °C memiliki kandungan fenolik total terendah dibandingkan produk kelompok perlakuan pasteurisasi lainnya, yaitu 65 °C dan 85 °C. Suhu pasteurisasi 85 °C (46.39 mg GAE/g sampel) lebih

0 10 20 30 40 50 60 70

Kontrol 65 °C 75 °C 85 °C

K

a

ndung

an Total Fenol

(m g G A E/ g sam p e l)

58.19 0.59d

39.58 0.59a

46.39 0.40b

(39)

tinggi dibandingkan 75 °C, namun kandungan fenolik totalnya lebih tinggi. Hal ini dapat terjadi karena waktu pasteurisasi pada suhu 75 °C lebih panjang dibandingkan waktu yang dibutuhkan untuk pasteurisasi pada suhu 85 °C. Paparan suhu tinggi dan waktu paparan yang lama berpengaruh terhadap penurunan kandungan fenolik total produk. Suhu pasteurisasi produk yang tinggi yaitu 85 °C dapat menurunkan kandungan fenolik total produk karena senyawa fenolik dapat rusak pada suhu tinggi. Selain itu, waktu paparan yang lebih lama pada suhu pasteurisasi 75 °C juga menurunkan kandungan fenolik total bahkan lebih rendah dibanding suhu tinggi. Hal ini dapat terjadi karena produk mengalami paparan suhu tinggi yang lebih lama yaitu 5.25 menit pada suhu 75 °C dibandingkan suhu pasteurisasi 85 °C yang terpapar selama 4 menit. Kandungan fenolik total produk dapat terjaga dengan proses pasteurisasi yang dilakukan pada suhu 65 °C. Apabila dibandingkan dengan produk serupa, yaitu jelly drink cincau hijau tanpa pasteurisasi kandungan senyawa fenoliknya 0.78 mg GAE/g sampel ( Khoiriyah dan Amalia 2014). Walaupun produk serupa diproses tanpa pasteurisasi, produk jelly drink cincau hijau-rosela mengandung ekstrak rosela yang juga berkontribusi terhadap senyawa fenolik. Produk jelly drink cincau hijau-rosela memiliki kandungan fenolik total yang lebih tinggi dan dapat menghasilkan efek yang lebih baik bagi tubuh.

Total klorofil

Klorofil merupakan pigmen alami berwarna hijau yang terdapat pada kloroplas tanaman. Terdapat dua jenis klorofil yang diisolasi, yaiu klorofil a dan klorofil b dengan perbandingan 3:1 (Kusmita dan Limantara 2009). Klorofil tidak stabil terhadap beberapa perlakuan seperti logam, suhu tinggi, dan pH. Koca et. al (2002) menyatakan bahwa struktur klorofil dapat dipertahankan selama proses pemanasan dengan aplikasi kontrol pH, proses High Temperature Short Time, dan kombinasi antara keduanya. Klorofil dalam jaringan tanaman, menurut Ginanjar (2013), dapat berperan sebagai antioksidan. Klorofil memiliki kemampuan scavenging terhadap radikal lipid yang dihasilkan selama proses autooksidasi minyak sehingga dapat memutuskan rantai oksidasi. Beberapa penelitian sebelumnya telah menyatakan bahwa klorofil dan turunannya memiliki kemampuan sebagai antioksidan dan antimutagenik (Marquez et. al 2005; Ferruzi et. al 2001).

(40)

Gambar 7.Kandungan total klorofil produk jelly drink cincau hijau-rosela dalam kaleng yang diproses dengan nilai pasteurisasi setara 6D85

Nilai adalah rataan ± SD, n = 4. Superscript yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata terhadap kontrol pada taraf nyata 5 %

Hasil analisis sidik ragam disajikan dalam Lampiran 8. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, ketiga produk kelompok perlakuan pasteurisasi menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap produk kontrol pada taraf nyata 5 %. Perbedaan nyata antarproduk kelompok perlakuan hanya ditunjukkan produk yang dipasteurisasi pada suhu 85 °C terhadap kedua produk kelompok perlakuan pasteurisasi lainnya. Sedangkan, produk yang dipasteurisasi pada suhu 65 °C dan 75 °C tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.

Berdasarkan Gambar 7. produk dengan suhu pasteurisasi yang paling tinggi memiliki kandungan total klorofil yang terbesar sedangkan produk yang tidak dipasteurisasi memiliki kandungan total klorofil yang paling rendah. Perlakuan suhu tinggi dapat memengaruhi kestabilan klorofil, namun waktu paparannya juga memengaruhi. . Walaupun suhu pasteurisasi 85 °C merupakan suhu pasteurisasi yang paling tinggi, namun waktu paparannya paling singkat dibandingkan suhu pasteurisasi 65 °C dan 75 °C, sehingga kandungan total klorofilnya lebih tinggi.Selain itu, karagenan sebagai hidrokoloid yang digunakan dapat membentuk struktur tiga dimensi berbentuk double helix yang melindungi komponen bioaktif di dalamnya sehingga terhindar dari kerusakan.

Matriks ini dapat memerangkap klorofil di dalamnya sehingga klorofil dapat terlindung dari paparan oksidator. Namun, pada produk kontrol, tidak adanya proses pasteurisasi menyebabkan matriks karagenan sangat kokoh sehingga klorofil yang terperangkap di dalamnya tidak dapat terekstrak secara sempurna sehingga kandungan total klorofilnya lebih sedikit yang terukur. Sedangkan pada produk kelompok perlakuan, pasteurisasi yang singkat membuat matriks pecah dan klorofil dapat terekstrak sempurna. Hal ini dapat diamati saat proses persiapan sampel, produk kelompok perlakuan pasteurisasi dapat dihancurkan sempurna menghasilkan tekstur seperti cairan dengan viskositas tinggi. Sedangkan produk kontrol terlihat gel dari karagenan tidak dapat dihancurkan secara sempurna, sehingga tidak terbentuk tekstur seperi cairan.

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20

Kontrol 65 °C 75 °C 85 °C

Total K lorofi l (g/100 g sam p el)

12.95 0.28b 13.22 0.31b

17.21 0.36c

(41)

Secara visual, produk kelompok perlakuan berwarna hijau kecoklatan sedangkan produk kontrol berwarna kemerahan khas rosela. Kondisi produk dengan tingkat keasamaan yang tinggi (3.15) berpengaruh pula terhadap penurunan kandungan total klorofil masing-masing produk, Pada media basa, kondisi klorofil lebih stabil, sehingga dapat menekan pembentukan feofitin yang berwarna hijau kecoklatan (Emaini et. al 2012).

Aktivitas antioksidan

Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat ataupun mencegah proses oksidasi suatu substrat. Wanasundara dan Shahidi (2005) mengklasifikasikan antioksidan ke dalam dua golongan utama, yaitu antioksidan golongan primer dan antioksidan golongan sekunder. Antioksidan primer atau disebut juga tipe 1 memiliki mekanisme sebagai chain-breaking antioxidant yang berfungsi sebagai akseptor atau penangkal radikal bebas sehingga mencegah atau menghambat oksidasi lipid. Sedangkan antioksidan sekunder sering diklasifikasikan sebagai preventive antioxidant.

Analisis aktivitas antioksidan dilakukan menggunakan metode DPPH dengan menghitung nilai IC50 (inhibitor concentration 50 %). Nilai IC50 tersebut menggambarkan konsentrasi yang dibutuhkan suatu bahan untuk mereduksi 50 % aktivitas radikal bebas dari DPPH (Khoiriyah dan Amalia 2014). Nilai IC50 yang semakin kecil menunjukkan aktivitas antioksidan bahan tersebut semakin besar. Aktivitas antioksidan yang tergolong kuat apabila nilai IC50-nya kurang dari 50 μL/mL dan tergolong rendah apabila nilai IC50-nya lebih dari 200 μL/mL (Molyneux 2004).

Gambar 8 Aktivitas antioksidan produk jelly drink cincau hijau-rosela dalam kaleng yang digambarkan dengan nilai IC50 yang diproses dengan nilai pasteurisasi setara 6D85

Nilai adalah rataan ± SD, n = 4. Superscript yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata terhadap kontrol pada taraf nyata 5 %

Pengukuran kapasitas antioksidan menggunakan kurva standar asam askorbat yang terlampir pada Lampiran 9. Persamaan regresi yang didapatkan dari kurva standar asam askorbat adalah y = 0.8838x – 0.0006 dengan R² = 0.9984. Data nilai IC50 disajikan dalam Lampiran 10. Grafik yang menggambarkan nilai

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2

Kontrol 65 °C 75 °C 85 °C

IC50

(g/mL)

0.38 0.00a

1.08 0.00d

0.90 0.00c

(42)

IC50 masing-masing sampel digambarkan pada Gambar 8. Produk yang memiliki kapasitas antioksidan terbesar adalah produk yang dipasteurisasi pada suhu 65 °C dan yang terendah adalah produk yang tidak dipasteurisasi atau kontrol. Analisis sidik ragam ditampilkan pada Lampiran 11. Produk kelompok perlakuan pasteurisasi menunjukkan perbedaan nyata terhadap kontrol pada taraf nyata 5 %. Begitu pula pada antarproduk kelompok perlakuan pasteurisasi juga menunjukkan perbedaan nyata.

Aktivitas antioksidan produk berkorelasi positif terhadap kandungan fenolik total produk. Hal ini disebabkan oleh daun cincau hijau mengandung flavonoid, saponin, polifenol, dan alkaloid (Zakaria dan Prangdimurti 2000) yang tergolong ke dalam senyawa fenolik dan merupakan sumber utama antioksidan dari gel cincau hijau. Sedangkan rosela mengandung senyawa fenolik golongan flavonoid, yaitu antosianin sebagai komponen utama antioksidan. Senyawa-senyawa fenolik merupakan Senyawa-senyawa yang termasuk golongan antioksidan primer atau tipe 1.

Selain senyawa fenolik, aktivitas antioksidan produk juga diperoleh dari klorofil daun cincau hijau dan karagenan. Beberapa penelitian sebelumnya telah menyatakan bahwa klorofil dan turunannya memiliki kemampuan sebagai antioksidan dan antimutagenik (Marquez et. al 2005; Ferruzi et. al 2001). Karagenan yang memiliki lebih banyak gugus hidroksil dapat membentuk struktur tiga dimensi double helix yang dapat melindungi senyawa-senyawa bioaktif yang dapat berkontribusi terhadap aktivitas antioksidan produk (Febriyanti dan Yunianta 2015). Selain itu, kandungan sulfat pada karagenan juga berkontribusi terhadap aktivitas antioksidan (Gὀmez-Ordὀnez et. al 2012). Namun dalam penelitian ini, kandungan total klorofil kurang berkontribusi terhadap kapasitas antioksidan produk karena ketidakstabilannya terhadap panas yang ditunjukkan dengan datanya yang berkorelasi secara terbalik bila dibandingkan dengan nilai kapasitas antioksidan. Apabila dibandingkan dengan produk serupa, jelly drink cincau hijau tanpa pasteurisasi nilai IC50-nya 1045 ppm (Khoiriyah dan Amalia 2014). Nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan produk jelly drink cincau hijau-rosela, menandakan bahwa aktivitas antioksidannya lebih tinggi dibandingkan produk serupa.

Kadar serat kasar

Serat kasar adalah serat yang secara laboratorium tahan asam dan basa. Serat kasar merupakan salah satu jenis polisakarida atau sering disebut sebagai karbohidrat kompleks. Serat kasar memiliki rantai kimia yang panjang sehingga sulit untuk dicerna oleh enzim dan saluran pencernaan manusia, meskipun ada beberapa yang dapat dicerna oleh bakteri dalam usus (Nurhidayati 2006). Almatsier (2009) menyatakan bahwa terdapat dua macam golongan serat, yaitu serat yang tidak dapat larut di dalam air dan yang larut di dalam air. Serat yang tidak dapat larut dalam air adalah selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Sedangkan serat yang larut didalam air adalah pektin, gum, mucilage, glikan, dan alga. Sebagian besar serat kasar tersusun oleh selulosan yang tidak mudah larut di dalam air.

(43)

perkiraan jumlah kandungan serat sebesar 80 % untuk hemiselulosa, 50-90 % untuk lignin dan 20-50 % untuk selulosa. Data hasil analisis kadar serat kasar produk disajikan di dalam Lampiran 12. Grafik yang menggambarkan kadar serat kasar masing-masing produk disajikan dalam Gambar 9. Produk kontrol memiliki kadar serat tertinggi (4.52 %) sedangkan yang terendah adalah produk yang dipasteurisasi pada suhu 85 °C (4.46 %). Hasil analisis sidik ragam disajikan pada Lampiran 13. Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata pada taraf nyata 5 % masing-masing produk. Hal ini menunjukkan bahwa proses pasteurisasi tidak mempengaruhi kadar serat kasar produk.

Gambar 9. Kadar serat kasar produk jelly drink cincau hijau-rosela dalam kaleng yang diproses dengan nilai pasteurisasi setara 6D85

Nilai adalah rataan ± SD, n = 4. Superscript yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata terhadap kontrol pada taraf nyata 5 %

Berdasarkan Peraturan Kepala BPOM RI (2011), pangan yang menjadi sumber serat apabila serat pangan yang terkandung 3 g/100 g bahan. Produk jelly drink cincau hijau-rosela dalam kaleng memiliki kadar serat kasar yang melebihi ketentuan tersebut, sehingga produk ini dapat dikatakan sebagai pangan sumber serat. Hal ini disebabkan oleh ingredien produk yaitu cincau hijau, rosela, dan karagenan memiliki kandungan serat kasar yang tinggi. Nurdin (2005) menyatakan bahwa daun cincau hijau mengandung 6.23-6.70 % serat kasar. Sedangkan kelopak rosela segar mengandung 12 % serat kasar (Mardiah et. al 2009). Sedangkan rumput laut Euchema cottoni, yaitu komposisi utama dalam pembuatan karagenan, mengandung 39,47 % serat yang tidak larut air (Kasim 2004). Produk akhir jelly drink cincau hijau-rosela dalam kaleng kandungan serat kasarnya tidak setinggi kandungan serat kasar ingrediennya. Hal ini disebabkan oleh proses pengolahan yang dapat menurunkan kadar serat kasarnya, seperti penyaringan.

4,52 0.04a

4,46 0.03a 4,46 0.04a 4,46 0.07a

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00

Kontrol 65 °C 75 °C 85 °C

K

a

(44)

Pemilihan Proses Pasteurisasi Terbaik

Proses pasteurisasi terbaik dipilih berdasarkan nilai dari parameter kapasitas antioksidan produk. Produk yang memiliki nilai parameter kapasitas antioksidan dinilai sebagai produk yang dipasteurisasi secara optimal. Hasil analisis kapasitas antioksidan produk jelly drink cincau hijau-rosela dalam kaleng disajikan pada Tabel 3. Parameter utama yang menentukan optimalisasi proses pasteurisasi adalah kapasitas antioksidan, yaitu dilihat dari nilai IC50. Parameter kandungan fenolik total dan total klorofil juga berkontribusi terhadap aktivitas antioksidan. Produk yang dipasteurisasi pada suhu 65 °C cenderung menunjukkan nilai yang tertinggi, yaitu aktivitas antioksidan dan kandungan fenolik, dibandingkan kedua produk kelompok perlakuan pasteurisasi yang lain. Walaupun kandungan total klorofil produk yang dipasteurisasi pada suhu 65 °C bukan yang tertinggi aktivitas antioksidan produk tersebut dapat pula berasal dari komponen bioaktif lain. Pada penelitian ini, kapasitas antioksidan yang dikaji bukan berasal dari klorofil karena kandungan total klorofil masing-masing menunjukkan bahwa klorofil sangat tidak stabil panas sehingga datanya mengalami korelasi yang terbalik dengan nilai IC50. Berdasarkan hal tersebut, perlakuan pasteurisasi pada suhu 65 °C selama 7.2 menit adalah perlakuan pasteurisasi terbaik yang diterapkan pada produk jelly drink cincau hijau-rosela dalam kaleng. Pasteurisasi produk pada suhu 65 °C selama 7.2 menit dapat mereduksi jumlah mikroba sebanyak 6 siklus log (6D85) dan menghasilkan produk jelly drink cincau hijau-rosela dalam kaleng dengan kapasitas antioksidan yang paling baik.

Tabel 3. Karakteristik fungsional produk jelly drink cincau hijau-rosela dalam kaleng

Sampel Kandungan Fenolik Total (mg GAE/g sampel)

Kandungan Total Klorofil (mg/100 g sampel)

IC50 (g/mL) Kadar Serat

Kasar (%)

Kontrol 51.25b 10.19c 0.85b 4.52a 65 °C 58.19a 12.95b 0.38a 4.46a

75 °C 39.58d 13.22b 1.08d 4.46a

(45)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kecukupan panas mencapai batas aman terhadap produk jelly drink cincau hijau-rosela dalam kaleng menghasilkan beberapa kombinasi suhu dan waktu pasteurisasi. Pasteurisasi yang dilakukan pada suhu 65 °C memerlukan waktu selama 7.2 menit, pada suhu 75 °C selama 5.25 menit, dan 85 °C selama 4 menit. Produk jelly drink cincau hijau-rosela yang dipasteurisasi dapat meningkatkan beberapa kandungan komponen bioaktif, sehingga dapat meningkatkan kapasitas antioksidan produk. Kandungan total klorofil, aktivitas antioksidan, dan kandungan fenolik total produk yang dipasteurisasi lebih tinggi dibandingkan produk kontrol, yaitu produk tanpa pasteurisasi. Produk yang dipasteurisasi pada suhu 65 °C memiliki kandungan fenolik total tertinggi ( 58.19 mg GAE/g sampel). Hasil tersebut sesuai dengan nilai IC50 produk yang dipasteurisasi pada suhu 65 °C adalah yang terendah (0.38 g/mL), yakni memiliki aktivitas antioksidan yang tertinggi. Namun, produk yang dipasteurisasi pada suhu 65 °C memiliki kandungan total klorofil yang terendah (12.95 mg/100 g sampel) dibandingkan kedua produk kelompok perlakuan pasteurisasi lainnya. Hal ini dapat disimpulkan bahwa kandungan total klorofil tidak menunjukkan kapasitas antioksidan karena korelasinya yang terbalik dengan nilai IC50. Sebaliknya, total klorofil meningkat seiring dengan peningkatan suhu karena waktu paparan panas yang semakin singkat. Sedangkan kadar serat kasar produk kelompok perlakuan tidak menunjukkan perbedaan. Pada suhu 65 °C, laju kerusakan kapasitas antioksidan produk rendah.

Saran

(46)

DAFTAR PUSTAKA

Almatsier S. 2009. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta (ID): PT. Gramedia Pustaka Utama.

Ananta E. 2000. Pengaruh ekstrak cincau hijau (Cyclea barbata L. Miers) terhadap Poliferasi Alur Sel Kanker K-562 dan hela. [Skripsi]. Bogor (ID) Institut Pertanian Bogor

[AOAC] Association of Official Analytical Chemist. 2012. Official method of analysis of the association of official analitycal of chemist. The association of analitycal chemist. Washington DC (US) :Inc. Arlington

Arisudana IG. 2003. Mempelajari toksisitas subkronis bubuk gel daun cincau hijau (Cyclea barbata L. Miers dan Premna oblongifolia Merr.) terhadap tikus percobaan secara in vitro. [Skripsi]. Bogor (ID) :Institut Pertanian Bogor. Brand-Williams W, ME Cuvelier dan C Benset. 1995. Use of free radical method

to evaluate antioxidant activity. Lebensmittel Wisenschaft und Technoogy. 28:25-30.

[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2011. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Tentang Pengawasan Klaim dalam Label dan Iklan Pangan Olahan. HK.03.1.23.11.11.09909. Jakarta (ID) : Badan Pengawas Obat dan Makanan.

[BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1992. SNI 01-2891-1992 : Cara Uji Makanan dan Minuman. Jakarta (ID): Badan Standardisasi Nasional.

Dhesti AP dan Widyaningsih TD. 2014. Pengaruh pemberian liang teh cincau terhadap kadar kolesterol. Jurnal Pangan dan Agroindustri. 2(2):103-109. Emaini Y, A Supriadi dan Rinto. 2012. Pengaruh jenispelarut terhadap klorofil

dan senyawa feofitin kiambang (Salvinis molesta Mitchell) dari perairan rawa. Fishtech. 1(1) : 1-13.

Febriyanti S dan Yunianta. 2015. Pengaruh konsnetrasi karagenan dan rasio sari jahe emprit (Zingiber officinale ver. Rubrum) terhadap sifat fisik, kimia, dan organoleptik jelly drink jahe. Jurnal Pangan dan Agroindustri. 3(2):542-550. Ferruzzi MG dan Schwartz SJ. 2001. Thermal degradation of commercial grade

sodium copper chlorophyllin. Journal of Agricultural Food Chemistry. 53(18):7098-7102.

Firlieyanti AS dan Pramitasari N. 2012. Contamination of fecal coliform and Staphylococcus sp. On green grass jelly (Premna oblongfolia Merr.) in Bogor and the effect of steaming on microbiological and physical properties of the product. Abstrak Seminar Future of Food Factor. Jakarta.

Ginanjar BMR. 2013. Evaluasi mutu fisik, mikrobiologi, dan sifat fungsional gel cincau hijau (Premna oblogifolia Merr.) dalam kemasan dengan perlakuan pasteurisasi. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Gὀmez-Ordὀnez E, Jiménez-Escrig A, Rupérez P. 2012. Effect of the red seaweed Mastocarpus stellatus intake on lipid metabolism and antioxidant status in healthy Wistar rats. Journal of Food Chemistry. 135:806-811.

(47)

Hariyadi P. 2000. Pendahuluan : Pengolahan pangan dengan suhu tinggi. Di dalam : Hariyadi P. (ed). Dasar-dasar Teori dan Praktek Proses Termal. Bogor (ID): Pusat Studi Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor.

Hariyadi P. 2009. Validasi proses pasteurisasi untuk seafoods : peranan pengukur suhu. Foodreview Indonesia. 4(8):24-29.

Hariyadi P, Kusnandar F, Wulandari N. 2006. Teknologi Pengalengan Pangan. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Ibrahim AM, Yunianta, Sriherfyna FH. 2015. Pengaruh suhu dan lama waktu ekstraksi terhadap sifat kimia dan fisik pada pembuatan minuman sari jahe (Zingiber officinale var. Rubrum) dengan kombinasi penambahan madu sebagai pemanis. Jurnal Pangan dan Agroindustri. 3(2): 530-541.

Imeson A. 2010. Food Stabilizers, Thickeners and Gelling Agent. Singapore (SG): Blackwell Publishing Ltd.

Irina I dan Mohamed G. 2012. Biological Activities and Effects of Food Processing on Flavonoids as Phenolic Antioxidants,. Advance in Applied Biotechnolog. Prof. Marian Petre (Ed). ISBN: 978-953-307-820-5. InTech [Internet].[diunduh 2015 Mei 17]. 5 :101-126. Tersedia pada : http://www.intechopen.com/books/advances-in

appliedbiotechnology/biological-activities-and-effects-of-food-processing-on-flavonoids-as-phenolic-antioxidants.

Kartika H, Li QX, Wall MM, Nakamoto ST, Iwaoka WT. 2007. Major phenolic acids and total antioxidant in mamaki leaves (Pipturus albidus). Journal of Food Science. 72(9):696-701.

Kasim SR. 2004. Pengaruh perbedaan konsentrasi dan lamanya waktu pemberian rumput laut Euchema cottoni terhadap kadar lipid serum darah tikus. [Skripsi]. Malang (ID): Universitas Brawijaya.

Khoiriyah N dan Amalia L. 2014. Formulasi cincau jelly drink (Premna oblongifolia L. Merr) sebagai pangan fungsional sumber antioksidan. Jurnal Gizi dan Pangan. 9(2):73-80. ISSN: 1978-1059.

Kinasih AG. 2015. Parameter kinetika inaktivasi termal Staphylococcus aureus pada minuman dari gel cincau hijau (Premna oblongifolia Merr.) dan rosela (Hibiscus sabdariffa L.). [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Koca N, Karadeniz F dan Burdulu HS. 2006. Effect of pH on chlorophyll degradation and color loss in blanched green peas. Journal of Food Chemistry. 100:609-615.

Koessitoresmi A. 2002. Kapasitas antioksidan ekstrak batang dan daun cincau hijau (Cyclea Barbata L. Miers) pada sel limfosit manusia secara in vitro. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Kusharto CM, Nurdin, Tanziha I dan Januwati M. 2009.Kandungan klorofil berbagai jenis daun tanaman dan Cu-turunan klorofil serta karakteristik fisiko-kimianya. Jurnal Gizi dan Pangan. 4(1):13-19.

Kusmita L dan Limantara L. 2009. The influence of strong and weak acid upon aggregation and pheophytinization of chloropyhll a and b. Indonesian Journal of Chemistry. 9(1) : 70-76.

Kusnandar F. 2010. Pasteurisasi Saribuah. [Internet]. [di unduh 2015 April 14].

Tersedia pada : http://itp.fateta.ipb.ac.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=10

(48)

Kwon EK, Lee DY, Lee H, Kim DO, Baek NI, Kim YE, Kim HY. 2010. Flavonoids from the buds of Rosa damascena inhibit the activity of 3hydroxy-3-methylglutaryl-coenzime a reductase and angiotensin l-converting enzyme. Journal of Agricultural Food Chemistry.

Li Z, Henning SM, Zhang Y, Zerlin A, Li L, Gao L, Ru-Poo Lee, Karp H, Thames G, Bowerman S. et. al. 2010. Antioxidant-rich spice added to hamburger meat during cooking results in reduced meat, plasma, and urine malondialdehyde concentrations. American Journal of Clinical Nutrition. 91:1180-1184.

Liyana-Pathirana C dan Shahidi F. 2005. Optimization of extraction of phenolic compounds from wheat using response surface methodology. Journal of Food Chemistry. 93 : 47-56.

Mardiah et. al. 2007. Makanan Anti Kanker. Jakarta (ID): Kawan Pustaka.

Mardiah, Hasibuan S, Rahayu A, Ashadi RW. 2009. Budidaya dan Pengolahan Rosela si Merah Segudang Manfaat. Jakarta (ID) : Agromedia Pustaka.

Marquez UML, Barros RMC, Sinnecker P. 2005. Antioxidant activity of chlorophylls and their derivates. Food Research International. 38:885-891. Maryani H dan Krisiana L. 2008. Khasiat dan Manfaat Rosela. Jakarta (ID):

AgroMedia Pustaka.

Mohamed BB, Sulaiman AA, dan Dahab AA. 2012. Roselle (Hibiscus sabdariffa L.) in Sudan, cultivation, and their uses. Bulletin of Enviroment, Pharmacology and Life Science. 1: 48-54.

Molyneux P. 2004. The use of the stable fress radical diphenylpicril-hydrazil (DPPH) for estimating antioxidant activity. Songklanakarin Journal of Science and Technology. 26(2):211-219.

Mourtzinos I, Makris DP, Yannakopoulou K, Kalogeroupoulos N, Michali I, Karathanos VT. 2008. Thermal stability of anthocyanine extract of Hibiscus sabdariffa L. In the presence of beta-cyclodextrine. Journal of Agriultural and Food Chemistry. 56(21):10303-10.

[MPI] Ministry for Primary Industries (NZ). 2001. Staphylococcus aureus Science Research. [Internet]. [diunduh 12 Maret 2015]. Tersedia pada

http://www.foodsafety.govt.nz/elibrary/industry/Staphylococcus_Aureus-Science_Research.pdf.

Muchtadi TR. 2008. Teknologi Proses Pengolahan Pangan. Bogor (ID): Penerbit IPB.

Mukaromah U, SH Susetyorini dan S Aminah. 2010. Kadar vitamin c, mutu fisik, pH, dan mutu organoleptik sirup rosela (Hibiscus sabdariffa L.) berdasarkan cara ekstraksi. Jurnal Pangan dan Gizi.1(1):43-51.

Nuraida L. 2011. Penerapan Teknologi Hurdle dalam Pengawetan Pangan. [Internet]. [diunduh 17 Agustus 2015]. Tersedia pada http://foodreview.co.id/preview.php?view2&id=56211#.VdFW-fmqqko

Nurdin SU, Zuidar AS dan Suharyono. 2005. Dried extract from green cincau leaves as potential fibre sources for food enrichment. African Crop Science Conference Proceedings. 7:655-658.

Nurdin A, Khomsan S, Marliyati A, Clara MK. 2008. Pengaruh pemberian bubuk ekstrak Cu-turunan klorofil daun cincau terhadap profil lipid darah kelinci. Media Gizi dan Keluarga. 32(1):104-113

(49)

Orak HH. 2006. Total antioxidant activities, phenolics, anthocyanins, polyphenoloxidase activities in red grape varieties. Electronic Journal of Polish Agricultural University Food Science and Technology. 9:118-126

Pandoyo AS. 2000. Pengaruh aktivitas ekstrak tanaman cincau hijau (Cyclea barbata L. Miers) terhadap proliferasi sel limfosit darah tepi manusia secara in vitro. [Skripsi]. Bogor (ID) :Institut Pertanian Bogor.

Pitojo S dan Zumiyati. 2005. Cincau : Cara Pembuatan dan Variasi Olahannya. Tangerang (ID): PT. AgroMedia Pustaka.

Pramitasari N. 2012. Cemaran mikrobiologis pada gel cincau hijau (Premna oblongifolia Merr.) serta evaluasi sanitasi dan higiene pada penjual gel cincau hijau di wilayah Bogor. [Skripsi]. Bogor: Fakultas Teknologi Pertanian IPB. Prangdimurti E, Firlieyanti AS, dan Herawati D. 2012. Sifat fungsional dan mutu

mikrobiologis gel cincau hijau (Premna oblongfolia Merr.) dengan perlakuan proses termal. Laporan Penelitian. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Putra HA. 2013. Efektifitas bunga rosela untuk penurunan tekanan darah pada pasien hipertensi. [Skripsi]. Ponorogo (ID): Universitas Muhamadiyah Ponorogo.

Putri DD, Nurmagustina DE, Chandra AA. 2014. Kandungan total fenol dan aktivitas antibakteri kelopak buah rosela merah dan ungu sebagai kandidat feed additive alami pada broiler. Jurnal Penelitian Pertanian Terapan. 14(3): 174-180. ISSN: 1410-5020.

Rahayu R, Etna MT, Sumarno. 2013. Pembuatan serbuk daun cincau hijau rambat “Cyclea barbata L. Miers” menggunakan proses maserasi dan foam mat drying. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri. 2(4):24-31.

Roseli W. 2015. Pengolahan Susu dengan Perlakuan Panas.[Internet]. [Diunduh

2015 Juli 3]. Tersedia pada htt

Gambar

Tabel  2 Kandungan gizi kelopak bunga rosela per 100 gram bahan
Gambar 3 Diagram alir pembuatan gel cincau hijau
Gambar 4 Diagram alir pembuatan ekstrak rosela
Gambar 5 Kurva uji penetrasi panas terhadap produk jelly drink cincau hijau- hijau-rosela dalam kaleng
+4

Referensi

Dokumen terkait