• Tidak ada hasil yang ditemukan

Optimasi Proses Pasteurisasi

Optimasi proses termal dilakukan dengan melakukan pasteurisasi pada suhu dan waktu tertentu untuk mencapai tingkat reduksi mikroba sebesar 6 siklus log pada suhu 85 °C (6D85). Suhu 85 °C merupakan suhu pasteurisasi HTST (high temperature short time) (Roseli 2015). Kombinasi suhu dan waktu pasteurisasi ditetapkan melalui uji penetrasi panas. Uji penetrasi panas pada dasarnya adalah pengukuran suhu pada titik terdingin produk selama proses pemanasan untuk menentukan kecukupan panas yang diterima oleh produk. Kecukupan pasteurisasi sangat dipengaruhi oleh kecepatan panas berpenetrasi ke dalam produk selama proses pemanasan. Titik terdingin produk menjadi perhatian penting dalam proses termal, karena apabila titik terdingin telah cukup mendapat pemanasan, maka titik-titik lain dalam kemasan dipastikan sudah menerima perlakuan panas yang mencukupi. Penentuan titik terdingin produk dapat diperkirakan dari sifat perambatan panas yang terjadi, bentuk kemasan dan ukuran headspace. Produk pangan dengan perambatan panas konduksi dengan bentuk silindris dan headspace yang minimum memiliki titik terdingin produk di pusat geometri kaleng, yakni tepat ditengah-tengah kaleng (Hariyadi 2009).

Mikroba patogen yang menjadi target proses pasteurisasi produk adalah Staphylococcus aureus. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Kinasih (2015), nilai D dari Staphylococcus aureus yang diisolasi dari minuman cincau hijaupada suhu 45, 49, 53, dan 57 °C berturut-turut sebesar 32.3, 17.9, 4.6, dan 1.5 menit serta nilai Z sebesar 8.8 °C. Bakteri S. aureus dijadikan sebagai target karena selama proses pembuatan produk banyak terjadi kontak langsung antara tangan pekerja dengan produk. Staphylococcus aureus merupakan bakteri patogen yang sering ditemui di permukaan kulit manusia dan tumbuh optimum pada pH 7.00- 7.50 (MPI 2001). Tingkat keasaman produk jelly drink cincau hijau-rosela adalah 3.15, kondisi ini tidak memungkinkan S. aureus tumbuh. Namun, S. aureus dapat bertahan hidup pada pH dibawah 4.2 (MPI 2001). Pramitasari (2012) dalam penelitiannya mengenai hasil analisis mikrobiologi terhadap 14 sampel cincau hijau memperlihatkan bahwa sampel cincau hijau mengandung total mikroba, Escherichia coli, dan Staphylococcus sp. dengan jumlah terbesar berupa E. coli dan Staphylococcus sp. Nilai D60 isolat Staphylococcus aureus dari gel cincau hijau dan rosela dengan pH 3.17 (0.8 menit) lebih tinggi dibandingkan nilai D60 E. coli O157:H7 pada substrat jus apel dengan pH 3.5 – 3.8 (0.3 menit) (Kinasih 2015). Nilai D yang lebih besar menunjukkan waktu yang diperlukan untuk menginaktivasi mikroba tersebut lebih lama, sehingga S. aureus lebih tahan panas dibandingkan dengan patogen lain yang ada pada jelly drink cincau hijau-rosela.

Uji penetrasi panas dilakukan untuk memvalidasi kecukupan pasteurisasi . Uji ini dikerjakan dengan mempertimbangkan kondisi “worst case scenario”. Validasi proses pasteurisasi perlu dilakukan karena alasan kesehatan publik. Data uji penetrasi panas dilampirkan pada Lampiran 1 sampai Lampiran 3. Berdasarkan data uji penetrasi panas, kondisi “worst case scenario” dapat diketahui dari

termokopel yang memiliki nilai Pv cummulative terbesar. Nilai Pv cummulative terbesar menunjukkan waktu paparan panas terhadap produk paling lama untuk mencapai suhu target yang tercatat oleh termokopel. Nilai ini dapat memastikan produk menerima perlakuan panas yang cukup, sehingga produk semakin aman secara mikrobiologis.

Nilai Pv cummulative yang dipilih untuk diplotkan ke dalam kurva adalah 4.38 menit untuk suhu pasteurisasi 65 °C pada termokopel 5, 34.20 menit untuk suhu pasteurisasi 75 °C pada termokopel 1, dan 61.08 menit untuk suhu pasteurisasi 85 °C pada termokopel 2. Kemudian, nilai Pv cummulative masing- masing suhu pasteurisasi ini diplotkan ke dalam kurva hubungan antara Pv cummulative produk dengan waktu pemanasan produk. Kurva hubungan antara Pv cummulative produk jelly drink cincau hijau-rosela dengan waktu pemanasan disajikan pada gambar 5. Garis 6D85 merupakan garis acuan proses pasteurisasi. Acuan ini digunakan untuk mengetahui bahwa kondisi pemanasan produk dapat setara dengan kondisi 6D85.

Gambar 5 Kurva uji penetrasi panas terhadap produk jelly drink cincau hijau- rosela dalam kaleng

Berdasarkan kurva diatas, kombinasi suhu dan waktu pasteurisasi produk minuman jelly cincau hijau dan rosella dalam kaleng adalah 65 oC selama 7.2 menit; 75 oC selama 5.25 menit; 85 oC selama 4 menit.

Sifat Fungsional Produk Jelly Drink Cincau Hijau-Rosela

Tahap karakterisasi produk jelly drink cincau hijau-rosela dalam kaleng dilakukan untuk menentukan suhu dan waktu pasteurisasi yang optimal. Proses pasteurisasi dapat dikatakan optimal apabila keamanan produk telah tercapai tanpa atau mengurangi fungsionalitas produk seminimal mungkin. Proses pasteurisasi

0 0.02 0.04 0.06 0.08 0.1 0.12 0.14 0.16 0 2 4 6 8 10 Pv Cummul a tiv e Waktu (menit) 65 °C 75 °C 85 °C 6D85

yang melibatkan suhu tinggi pada satu sisi dapat mereduksi jumlah mikroba sehingga pangan lebih awet dan aman, tetapi pada sisi lainnya suhu tinggi juga dapat merusak beberapa kandungan komponen bioaktif seperti flavonoid (Irina dan Mohamed 2012; Mourtzinos 2008). Produk yang dipasteurisasi secara optimal akan memiliki nilai tambah terhadap produk itu sendiri. Selain lebih awet, produk juga dapat digolongkan menjadi pangan fungsional. Parameter fungsionalitas produk dapat dilihat dari kandungan fenolik total, aktivitas antioksidan, total klorofil, dan kadar serat kasar.

Kandungan Fenolik Total

Senyawa fenolik merupakan senyawa yang memiliki gugus hidroksil pada cincin aromatik yang berjumlah satu atau lebih (Vermerris dan Nicholson 2006). Senyawa ini berkontribusi terhadap warna, rasa pahit dan sepat, rasa, bau, dan antioksidan (Kartika et. al 2007). Golongan terbesar dari senyawa fenolik adalah tanin dan flavonoid. Daun cincau hijau mengandung gugus fenolik berupa flavonoid, saponin, polifenol, dan alkaloid (Zakaria dan Prangdimurti 2000). Sedangkan rosela mengandung senyawa fenolik golongan flavonoid, yaitu antosianin (Ruangsri 2008 di dalam Apsari dan Susanti 2011). Zheng dan Wang (2001) menyatakan bahwa kelas flavonoid diketahui memiliki gugus hidroksil yang banyak, sehingga memiliki kapasitas antioksidan yang besar. Senyawa fenol memiliki sifat yang rentan terhadap perubahan suhu pada saat penyimpanan maupun pengolahan (Widiyanti 2009). Suhu tinggi dapat menyebabkan kelarutan senyawa fenolik dalam pelarut semakin besar. Selain itu, difusi yang terjadi semakin besar sehingga proses ekstraksi senyawa fenolik akan berjalan lebih cepat. Hal ini menyebabkan kandungan senyawa fenolik pada produk akan semakin besar. Akan tetapi peningkatan suhu proses juga perlu diperhatikan karena suhu yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kerusakan senyawa fenolik produk (Ibrahim et. al 2015).

Kandungan fenolik total menjadi salah satu parameter karena senyawa fenolik dapat rusak akibat penanganan pada suhu tinggi, seperti flavonoid yang memiliki suhu optimum 0-65 oC (Putri et. al 2014). Kandungan fenol total ditentukan dengan persamaan regresi standar asam galat terlampir pada Lampiran 4. Persamaan regresi dari kurva standar asam galat yaitu y = 0.0018x - 0.0010 dengan R2 = 0.9984. Data kandungan fenolik total produk disajikan pada Lampiran 5. Grafik yang menggambarkan kandungan fenolik total produk antarproduk disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6 Kandungan fenolik total produk jelly drink cincau hijau-rosela dalam kaleng yang diproses dengan nilai pasteurisasi setara 6D85

Nilai adalah rataan ± SD, n = 4. Superscript yang berbeda menunjukan perbedaan nyata terhadap kontrol pada taraf nyata 5%

Kandungan fenol total pada suhu pasteurisasi 65 oC adalah yang tertinggi (58.19mg GAE/g sampel), sedangkan pada suhu pasteurisasi 75 oC merupakan kandungan fenolik total yang terendah (39.58 mg GAE/g). Data kandungan fenolik total pada produk yang dipasteurisasi pada tiga suhu perlakuan pasteurisasi menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0.05) terhadap kontrol, yaitu produk yang tidak dipasteurisasi. Selain terhadap kontrol, antara satu perlakuan dengan perlakuan lain juga menunjukkan perbedaan yang nyata. Hasil analisis sidik ragam ditampilkan pada Lampiran 6. Suhu pasteurisasi yang semakin tinggi menunjukkan penurunan kandungan fenolik total pada produk, Putri et. al (2014) menjelaskan bahwa senyawa fenolik mudah terdegradasi akibat paparan suhu tinggi.

Karagenan sebagai bahan pembentuk gel memiliki banyak gugus hidroksil, sehingga kemampuan untuk membentuk struktur tiga dimensi berbentuk double helix akan lebih tinggi. Struktur ini mampu melindungi senyawa fenolik produk dari pemanasan ataupun oksigen (Febrianti dan Yunianta 2015). Produk kontrol tidak mengalami pasteurisasi akibatnya panas yang diterima lebih sedikit dibandingan produk kelompok perlakuan. Proses pasteurisasi dapat merusak matriks double helix karagenan yang memerangkap senyawa fenolik produk. Akibatnya, senyawa fenolik terlepas dari matriks karagenan dan dapat bereaksi dengan reagen Folin-Ciocalteau. Selain itu, proses pasteurisasi mengakibatkan karagenan mengalami melting dan pada saat produk kembali didinginkan karakter gel dari karagenan tidak sekokoh produk sebelum pasteurisasi. Hal ini yang menyebabkan kandungan fenolik total produk kontrol, yaitu produk tanpa pasteurisasi lebih rendah dibandingkan produk yang dipasteurisasi pada suhu 65 °C. Kandungan fenolik pada produk kontrol (51.25 mg GAE/g sampel) yang terukur lebih rendah akibat senyawa fenolik terperangkap dalam matriks karagenan, sehingga yang bereaksi dengan reagan Folin-Ciocalteau lebih sedikit.

Produk yang dipasteurisasi pada suhu 75 °C memiliki kandungan fenolik total terendah dibandingkan produk kelompok perlakuan pasteurisasi lainnya, yaitu 65 °C dan 85 °C. Suhu pasteurisasi 85 °C (46.39 mg GAE/g sampel) lebih

0 10 20 30 40 50 60 70 Kontrol 65 °C 75 °C 85 °C K a ndung an Total Fenol (m g G A E/ g sam p e l) 58.19 0.59d 39.58 0.59a 46.39 0.40b 51.25 0.20c

tinggi dibandingkan 75 °C, namun kandungan fenolik totalnya lebih tinggi. Hal ini dapat terjadi karena waktu pasteurisasi pada suhu 75 °C lebih panjang dibandingkan waktu yang dibutuhkan untuk pasteurisasi pada suhu 85 °C. Paparan suhu tinggi dan waktu paparan yang lama berpengaruh terhadap penurunan kandungan fenolik total produk. Suhu pasteurisasi produk yang tinggi yaitu 85 °C dapat menurunkan kandungan fenolik total produk karena senyawa fenolik dapat rusak pada suhu tinggi. Selain itu, waktu paparan yang lebih lama pada suhu pasteurisasi 75 °C juga menurunkan kandungan fenolik total bahkan lebih rendah dibanding suhu tinggi. Hal ini dapat terjadi karena produk mengalami paparan suhu tinggi yang lebih lama yaitu 5.25 menit pada suhu 75 °C dibandingkan suhu pasteurisasi 85 °C yang terpapar selama 4 menit. Kandungan fenolik total produk dapat terjaga dengan proses pasteurisasi yang dilakukan pada suhu 65 °C. Apabila dibandingkan dengan produk serupa, yaitu jelly drink cincau hijau tanpa pasteurisasi kandungan senyawa fenoliknya 0.78 mg GAE/g sampel ( Khoiriyah dan Amalia 2014). Walaupun produk serupa diproses tanpa pasteurisasi, produk jelly drink cincau hijau-rosela mengandung ekstrak rosela yang juga berkontribusi terhadap senyawa fenolik. Produk jelly drink cincau hijau-rosela memiliki kandungan fenolik total yang lebih tinggi dan dapat menghasilkan efek yang lebih baik bagi tubuh.

Total klorofil

Klorofil merupakan pigmen alami berwarna hijau yang terdapat pada kloroplas tanaman. Terdapat dua jenis klorofil yang diisolasi, yaiu klorofil a dan klorofil b dengan perbandingan 3:1 (Kusmita dan Limantara 2009). Klorofil tidak stabil terhadap beberapa perlakuan seperti logam, suhu tinggi, dan pH. Koca et. al (2002) menyatakan bahwa struktur klorofil dapat dipertahankan selama proses pemanasan dengan aplikasi kontrol pH, proses High Temperature Short Time, dan kombinasi antara keduanya. Klorofil dalam jaringan tanaman, menurut Ginanjar (2013), dapat berperan sebagai antioksidan. Klorofil memiliki kemampuan scavenging terhadap radikal lipid yang dihasilkan selama proses autooksidasi minyak sehingga dapat memutuskan rantai oksidasi. Beberapa penelitian sebelumnya telah menyatakan bahwa klorofil dan turunannya memiliki kemampuan sebagai antioksidan dan antimutagenik (Marquez et. al 2005; Ferruzi et. al 2001).

Ketidakstabilan klorofil terhadap paparan suhu tinggi menyebabkan kandungan klorofil produk menjadi salah satu parameter mutu fungsional. Pengukuran kandungan klorofil yang dilakukan dalam penelitian ini adalah kandungan total klorofil. Data kandungan klorofil total disajikan dalam Lampiran 7. Grafik yang menggambarkan kandungan total klorofil antar produk digambarkan dalam Gambar 7. Produk yang dipasteurisasi pada suhu 85 °C memiliki kandungan total klorofil tertinggi (17.21 mg/100 g sampel) dan produk kontrol, yakni produk yang tidak dipasteurisasi dengan kandungan total klorofil terendah (10.19 mg/100 g sampel).

Gambar 7.Kandungan total klorofil produk jelly drink cincau hijau-rosela dalam kaleng yang diproses dengan nilai pasteurisasi setara 6D85

Nilai adalah rataan ± SD, n = 4. Superscript yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata terhadap kontrol pada taraf nyata 5 %

Hasil analisis sidik ragam disajikan dalam Lampiran 8. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam, ketiga produk kelompok perlakuan pasteurisasi menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap produk kontrol pada taraf nyata 5 %. Perbedaan nyata antarproduk kelompok perlakuan hanya ditunjukkan produk yang dipasteurisasi pada suhu 85 °C terhadap kedua produk kelompok perlakuan pasteurisasi lainnya. Sedangkan, produk yang dipasteurisasi pada suhu 65 °C dan 75 °C tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.

Berdasarkan Gambar 7. produk dengan suhu pasteurisasi yang paling tinggi memiliki kandungan total klorofil yang terbesar sedangkan produk yang tidak dipasteurisasi memiliki kandungan total klorofil yang paling rendah. Perlakuan suhu tinggi dapat memengaruhi kestabilan klorofil, namun waktu paparannya juga memengaruhi. . Walaupun suhu pasteurisasi 85 °C merupakan suhu pasteurisasi yang paling tinggi, namun waktu paparannya paling singkat dibandingkan suhu pasteurisasi 65 °C dan 75 °C, sehingga kandungan total klorofilnya lebih tinggi.Selain itu, karagenan sebagai hidrokoloid yang digunakan dapat membentuk struktur tiga dimensi berbentuk double helix yang melindungi komponen bioaktif di dalamnya sehingga terhindar dari kerusakan.

Matriks ini dapat memerangkap klorofil di dalamnya sehingga klorofil dapat terlindung dari paparan oksidator. Namun, pada produk kontrol, tidak adanya proses pasteurisasi menyebabkan matriks karagenan sangat kokoh sehingga klorofil yang terperangkap di dalamnya tidak dapat terekstrak secara sempurna sehingga kandungan total klorofilnya lebih sedikit yang terukur. Sedangkan pada produk kelompok perlakuan, pasteurisasi yang singkat membuat matriks pecah dan klorofil dapat terekstrak sempurna. Hal ini dapat diamati saat proses persiapan sampel, produk kelompok perlakuan pasteurisasi dapat dihancurkan sempurna menghasilkan tekstur seperti cairan dengan viskositas tinggi. Sedangkan produk kontrol terlihat gel dari karagenan tidak dapat dihancurkan secara sempurna, sehingga tidak terbentuk tekstur seperi cairan.

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 Kontrol 65 °C 75 °C 85 °C Total K lorofi l (g/100 g sam p el) 12.95 0.28b 13.22 0.31b 17.21 0.36c 10.19 0.15a

Secara visual, produk kelompok perlakuan berwarna hijau kecoklatan sedangkan produk kontrol berwarna kemerahan khas rosela. Kondisi produk dengan tingkat keasamaan yang tinggi (3.15) berpengaruh pula terhadap penurunan kandungan total klorofil masing-masing produk, Pada media basa, kondisi klorofil lebih stabil, sehingga dapat menekan pembentukan feofitin yang berwarna hijau kecoklatan (Emaini et. al 2012).

Aktivitas antioksidan

Antioksidan merupakan senyawa yang dapat menghambat ataupun mencegah proses oksidasi suatu substrat. Wanasundara dan Shahidi (2005) mengklasifikasikan antioksidan ke dalam dua golongan utama, yaitu antioksidan golongan primer dan antioksidan golongan sekunder. Antioksidan primer atau disebut juga tipe 1 memiliki mekanisme sebagai chain-breaking antioxidant yang berfungsi sebagai akseptor atau penangkal radikal bebas sehingga mencegah atau menghambat oksidasi lipid. Sedangkan antioksidan sekunder sering diklasifikasikan sebagai preventive antioxidant.

Analisis aktivitas antioksidan dilakukan menggunakan metode DPPH dengan menghitung nilai IC50 (inhibitor concentration 50 %). Nilai IC50 tersebut menggambarkan konsentrasi yang dibutuhkan suatu bahan untuk mereduksi 50 % aktivitas radikal bebas dari DPPH (Khoiriyah dan Amalia 2014). Nilai IC50 yang semakin kecil menunjukkan aktivitas antioksidan bahan tersebut semakin besar. Aktivitas antioksidan yang tergolong kuat apabila nilai IC50-nya kurang dari 50 μL/mL dan tergolong rendah apabila nilai IC50-nya lebih dari 200 μL/mL (Molyneux 2004).

Gambar 8 Aktivitas antioksidan produk jelly drink cincau hijau-rosela dalam kaleng yang digambarkan dengan nilai IC50 yang diproses dengan nilai pasteurisasi setara 6D85

Nilai adalah rataan ± SD, n = 4. Superscript yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata terhadap kontrol pada taraf nyata 5 %

Pengukuran kapasitas antioksidan menggunakan kurva standar asam askorbat yang terlampir pada Lampiran 9. Persamaan regresi yang didapatkan dari kurva standar asam askorbat adalah y = 0.8838x – 0.0006 dengan R² = 0.9984. Data nilai IC50 disajikan dalam Lampiran 10. Grafik yang menggambarkan nilai

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 Kontrol 65 °C 75 °C 85 °C IC50 (g/mL) 0.38 0.00a 1.08 0.00d 0.90 0.00c 0.85 0.00b

IC50 masing-masing sampel digambarkan pada Gambar 8. Produk yang memiliki kapasitas antioksidan terbesar adalah produk yang dipasteurisasi pada suhu 65 °C dan yang terendah adalah produk yang tidak dipasteurisasi atau kontrol. Analisis sidik ragam ditampilkan pada Lampiran 11. Produk kelompok perlakuan pasteurisasi menunjukkan perbedaan nyata terhadap kontrol pada taraf nyata 5 %. Begitu pula pada antarproduk kelompok perlakuan pasteurisasi juga menunjukkan perbedaan nyata.

Aktivitas antioksidan produk berkorelasi positif terhadap kandungan fenolik total produk. Hal ini disebabkan oleh daun cincau hijau mengandung flavonoid, saponin, polifenol, dan alkaloid (Zakaria dan Prangdimurti 2000) yang tergolong ke dalam senyawa fenolik dan merupakan sumber utama antioksidan dari gel cincau hijau. Sedangkan rosela mengandung senyawa fenolik golongan flavonoid, yaitu antosianin sebagai komponen utama antioksidan. Senyawa- senyawa fenolik merupakan senyawa yang termasuk golongan antioksidan primer atau tipe 1.

Selain senyawa fenolik, aktivitas antioksidan produk juga diperoleh dari klorofil daun cincau hijau dan karagenan. Beberapa penelitian sebelumnya telah menyatakan bahwa klorofil dan turunannya memiliki kemampuan sebagai antioksidan dan antimutagenik (Marquez et. al 2005; Ferruzi et. al 2001). Karagenan yang memiliki lebih banyak gugus hidroksil dapat membentuk struktur tiga dimensi double helix yang dapat melindungi senyawa-senyawa bioaktif yang dapat berkontribusi terhadap aktivitas antioksidan produk (Febriyanti dan Yunianta 2015). Selain itu, kandungan sulfat pada karagenan juga berkontribusi terhadap aktivitas antioksidan (Gὀmez-Ordὀnez et. al 2012). Namun dalam penelitian ini, kandungan total klorofil kurang berkontribusi terhadap kapasitas antioksidan produk karena ketidakstabilannya terhadap panas yang ditunjukkan dengan datanya yang berkorelasi secara terbalik bila dibandingkan dengan nilai kapasitas antioksidan. Apabila dibandingkan dengan produk serupa, jelly drink cincau hijau tanpa pasteurisasi nilai IC50-nya 1045 ppm (Khoiriyah dan Amalia 2014). Nilai ini lebih tinggi dibandingkan dengan produk jelly drink cincau hijau- rosela, menandakan bahwa aktivitas antioksidannya lebih tinggi dibandingkan produk serupa.

Kadar serat kasar

Serat kasar adalah serat yang secara laboratorium tahan asam dan basa. Serat kasar merupakan salah satu jenis polisakarida atau sering disebut sebagai karbohidrat kompleks. Serat kasar memiliki rantai kimia yang panjang sehingga sulit untuk dicerna oleh enzim dan saluran pencernaan manusia, meskipun ada beberapa yang dapat dicerna oleh bakteri dalam usus (Nurhidayati 2006). Almatsier (2009) menyatakan bahwa terdapat dua macam golongan serat, yaitu serat yang tidak dapat larut di dalam air dan yang larut di dalam air. Serat yang tidak dapat larut dalam air adalah selulosa, hemiselulosa, dan lignin. Sedangkan serat yang larut didalam air adalah pektin, gum, mucilage, glikan, dan alga. Sebagian besar serat kasar tersusun oleh selulosan yang tidak mudah larut di dalam air.

Analisis kadar serat kasar dilakukan dengan memanaskan bahan pangan dengan asam kuat dan basa kuat. Proses ini dapat merusak beberapa macam serat yang tidak dapat dicerna oleh manusia. Oleh karena itu serat kasar merendahkan

perkiraan jumlah kandungan serat sebesar 80 % untuk hemiselulosa, 50-90 % untuk lignin dan 20-50 % untuk selulosa. Data hasil analisis kadar serat kasar produk disajikan di dalam Lampiran 12. Grafik yang menggambarkan kadar serat kasar masing-masing produk disajikan dalam Gambar 9. Produk kontrol memiliki kadar serat tertinggi (4.52 %) sedangkan yang terendah adalah produk yang dipasteurisasi pada suhu 85 °C (4.46 %). Hasil analisis sidik ragam disajikan pada Lampiran 13. Analisis sidik ragam menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nyata pada taraf nyata 5 % masing-masing produk. Hal ini menunjukkan bahwa proses pasteurisasi tidak mempengaruhi kadar serat kasar produk.

Gambar 9. Kadar serat kasar produk jelly drink cincau hijau-rosela dalam kaleng yang diproses dengan nilai pasteurisasi setara 6D85

Nilai adalah rataan ± SD, n = 4. Superscript yang berbeda menunjukkan perbedaan nyata terhadap kontrol pada taraf nyata 5 %

Berdasarkan Peraturan Kepala BPOM RI (2011), pangan yang menjadi sumber serat apabila serat pangan yang terkandung 3 g/100 g bahan. Produk jelly drink cincau hijau-rosela dalam kaleng memiliki kadar serat kasar yang melebihi ketentuan tersebut, sehingga produk ini dapat dikatakan sebagai pangan sumber serat. Hal ini disebabkan oleh ingredien produk yaitu cincau hijau, rosela, dan karagenan memiliki kandungan serat kasar yang tinggi. Nurdin (2005) menyatakan bahwa daun cincau hijau mengandung 6.23-6.70 % serat kasar. Sedangkan kelopak rosela segar mengandung 12 % serat kasar (Mardiah et. al 2009). Sedangkan rumput laut Euchema cottoni, yaitu komposisi utama dalam pembuatan karagenan, mengandung 39,47 % serat yang tidak larut air (Kasim 2004). Produk akhir jelly drink cincau hijau-rosela dalam kaleng kandungan serat kasarnya tidak setinggi kandungan serat kasar ingrediennya. Hal ini disebabkan oleh proses pengolahan yang dapat menurunkan kadar serat kasarnya, seperti penyaringan. 4,52 0.04a 4,46 0.03a 4,46 0.04a 4,46 0.07a 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 Kontrol 65 °C 75 °C 85 °C K a

Pemilihan Proses Pasteurisasi Terbaik

Proses pasteurisasi terbaik dipilih berdasarkan nilai dari parameter kapasitas antioksidan produk. Produk yang memiliki nilai parameter kapasitas antioksidan dinilai sebagai produk yang dipasteurisasi secara optimal. Hasil analisis kapasitas antioksidan produk jelly drink cincau hijau-rosela dalam kaleng disajikan pada Tabel 3. Parameter utama yang menentukan optimalisasi proses pasteurisasi adalah kapasitas antioksidan, yaitu dilihat dari nilai IC50. Parameter kandungan fenolik total dan total klorofil juga berkontribusi terhadap aktivitas antioksidan. Produk yang dipasteurisasi pada suhu 65 °C cenderung menunjukkan nilai yang tertinggi, yaitu aktivitas antioksidan dan kandungan fenolik, dibandingkan kedua produk kelompok perlakuan pasteurisasi yang lain. Walaupun kandungan total klorofil produk yang dipasteurisasi pada suhu 65 °C bukan yang tertinggi aktivitas antioksidan produk tersebut dapat pula berasal dari komponen bioaktif lain. Pada penelitian ini, kapasitas antioksidan yang dikaji bukan berasal dari klorofil karena kandungan total klorofil masing-masing menunjukkan bahwa klorofil sangat tidak stabil panas sehingga datanya mengalami korelasi yang terbalik dengan nilai IC50. Berdasarkan hal tersebut, perlakuan pasteurisasi pada suhu 65 °C selama 7.2 menit adalah perlakuan pasteurisasi terbaik yang diterapkan pada produk jelly drink cincau hijau-rosela dalam kaleng. Pasteurisasi produk pada suhu 65 °C selama 7.2 menit dapat mereduksi jumlah mikroba sebanyak 6 siklus log (6D85) dan menghasilkan produk jelly drink cincau hijau-rosela dalam kaleng dengan kapasitas antioksidan yang paling baik.

Tabel 3. Karakteristik fungsional produk jelly drink cincau hijau-rosela dalam kaleng

Sampel Kandungan Fenolik Total (mg GAE/g sampel) Kandungan Total Klorofil (mg/100 g sampel) IC50 (g/mL) Kadar Serat Kasar (%) Kontrol 51.25b 10.19c 0.85b 4.52a 65 °C 58.19a 12.95b 0.38a 4.46a 75 °C 39.58d 13.22b 1.08d 4.46a 85 °C 46.39c 17.21a 0.90c 4.46a Superscript berbeda menunjukkan perbedaan nyata masing-masing sampel pada taraf nyata 5 %

Dokumen terkait