• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akar Masalah Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah: Studi Kasus pada Bakso, Makanan Ringan, dan Mi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Akar Masalah Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah: Studi Kasus pada Bakso, Makanan Ringan, dan Mi"

Copied!
47
0
0

Teks penuh

(1)

AKAR MASALAH KEAMANAN PANGAN JAJANAN ANAK

SEKOLAH (PJAS): STUDI KASUS PADA BAKSO, MAKANAN

RINGAN, DAN MI

MAZAYA GHAISANI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Akar Masalah Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah: Studi Kasus pada Bakso, Makanan Ringan, dan Mi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

MAZAYA GHAISANI. Akar Masalah Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah: Studi Kasus pada Bakso, Makanan Ringan, dan Mi. Dibimbing oleh DAHRUL SYAH.

Tingginya konsumsi Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) oleh anak sekolah yang tidak diikuti dengan penerapan cara produksi pangan yang baik (CPPB) oleh para penjaja pangan berpotensi menyebabkan masalah keamanan pangan berupa bahaya fisik, bahaya kimia, maupun bahaya mikrobiologi. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI) sebagai lembaga pemerintah yang berwenang dalam pengawasan makanan melakukan pengujian terhadap sejumlah PJAS yang dijual di 3950 SD/MI di Indonesia pada tahun 2011-2013 untuk mengetahui kondisinya. Hasil pengawasan tersebut masih sebatas data persentase PJAS yang memenuhi syarat (MS) dan tidak memenuhi syarat (TMS) sehingga diperlukan analisis lebih lanjut untuk mengetahui akar-akar masalah keamanan pada PJAS dan dapat memberikan strategi perbaikan berkelanjutan untuk meningkatkan keamanan dan mutu PJAS.

Analisis data yang dilakukan adalah analisis ragam dan pengambilan keputusan dengan diagram Pareto. Analisis ragam digunakan untuk mengetahui keragaman antara PJAS dengan provinsi lokasi pengambilan sampel dan parameter keamanan. Diagram Pareto digunakan untuk memutuskan parameter keamanan yang menjadi masalah utama pada tiap jenis PJAS.

Hasil analisis ragam menunjukkan adanya keragaman antara jenis PJAS dengan provinsi lokasi pengambilan sampel pada taraf nyata 1%. Analisis ragam yang dilakukan terhadap faktor jenis PJAS dengan parameter keamanan juga menunjukkan adanya keragaman pada taraf nyata 1%. Hasil analisis ragam kemudian diuji lanjut dengan LSD (Least Significant Difference). Hasil uji lanjut LSD menunjukkan bahwa bakso, mi, dan makanan ringan adalah jenis PJAS dengan persentase TMS yang paling rendah sehingga penilitian ini berfokus terhadap ketiga jenis PJAS tersebut. Dengan diagram Pareto diketahui bahwa parameter keamanan yang menjadi masalah utama pada PJAS jenis bakso adalah angka lempeng total (ALT) dan koliform, pada makanan ringan adalah boraks dan rhodamin B, sedangkan pada mi adalah formalin dan E. coli. Berdasarkan hasil Pareto diketahui masalah utama keamanan pangan pada penelitian ini adalah masalah cemaran mikrobiologis akibat sanitasi-higiene yang kurang baik pada proses produksi dan penyiapan PJAS serta masalah cemaran kimiawi akibat penyalahgunaan bahan kimia berbahaya pada pangan.

(5)

ABSTRACT

MAZAYA GHAISANI. The Problem Source of School Based Street Foods’ Safety: Case Study on Meatball, Snack, and Noodle. Supervised by DAHRUL SYAH.

High consumption of school based street foods (PJAS) that are not followed by the application of Good Manufacturing Practices (GMP) potentially lead to many food safety problems. BPOM RI as government agency that authorize on food controlling tested a number of PJAS that sold at 3950 elementary schools in Indonesia on 2011-2013 to determine its condition. The result of monitoring only show percentages of complied PJAS (MS/Memenuhi Syarat) and not complied PJAS (TMS/Tidak Memenuhi Syarat). Further analysis is required to determine the PJAS safety problems and strategies for sustainable improvement of its safety and quality.

Data was analyzed with analysis of variance and Pareto diagram. Analysis of variance was used to determine variability between PJAS with provinces as sampling location. It also determine variability between PJAS with food safety parameters. Pareto diagram was used to identify the main problems of food safety parameters on each PJAS.

The result of analysis of variance showed that there is variability between PJAS with provinces at 1% significance level. It also showed that there is variability between PJAS with food safety parameters at 1% significance level. The result of analysis of variance was followed by LSD (Least Significance Difference). The result of LSD analysis showed that meatball, noodle, and snack are the lowest percentage of not complied PJAS, so this study is focused to that foods. Pareto diagram determined that the safety parameter that become the main problems of meatball are total plate count (TPC) and coliform. The main problems of noodle are formalin and E.coli, while the main problems of snack are borax and rhodamine B. According to the result of Pareto analysis, the main problems of PJAS are microbiological contaminant and chemical contaminant. Microbiological contaminant caused by poor sanitation and hygiene on production and preparation process, while chemical contaminant due to misused of hazardous chemicals in food.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian

pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

AKAR MASALAH KEAMANAN PANGAN JAJANAN ANAK

SEKOLAH (PJAS): STUDI KASUS PADA BAKSO, MAKANAN

RINGAN, DAN MI

MAZAYA GHAISANI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Akar Masalah Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah: Studi Kasus pada Bakso, Makanan Ringan, dan Mi

Nama : Mazaya Ghaisani NIM : F24100027

Disetujui oleh

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Feri Kusnandar MSc Ketua Departemen

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul

“Akar Masalah Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah: Studi Kasus pada Bakso, Makanan Ringan, dan Mi.”

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr selaku pembimbing serta kepada Ibu Dr Ir Nurheni Sri Palupi, MSi dan Ibu Dian Herawati, STP, MSi selaku penguji atas waktu, nasihat, dan arahannya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Ungkapan terima kasih disampaikan pula kepada ayah, ibu, adik, seluruh keluarga, teman sebimbingan, teman-teman ITP 47, sahabat-sahabat terdekat, dan semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas segala bantuan, doa, kasih sayang, dan semangat yang telah diberikan.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Konsep Keamanan Pangan 2

Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) 4

METODE 5

Kerangka Pikir Penelitian 5

Waktu dan Tempat 5

Tahapan Penelitian 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 8

Kondisi PJAS yang Tidak Memenuhi Syarat pada Tahun 2011-2013 8 Parameter Keamanan Pangan pada Bakso, Makanan Ringan, dan Mi 12 Langkah-langkah Perbaikan Mutu dan Keamanan PJAS 21

SIMPULAN DAN SARAN 25

Simpulan 25

Saran 25

DAFTAR PUSTAKA 26

LAMPIRAN 30

(12)

DAFTAR TABEL

1 Parameter keamanan PJAS 6

2 Signifikansi antara rata-rata persentase TMS dengan provinsi lokasi 11 3 Signifikansi antar parameter keamanan PJAS 11 4 Persentase parameter keamanan yang tidak memenuhi syarat pada

bakso 12

5 Persentase parameter keamanan yang tidak memenuhi syarat pada mi 15 6 Persentase parameter keamanan yang tidak memenuhi syarat pada

makanan ringan 19

7 Langkah-langkah perbaikan yang dapat dilakukan untuk mencegah

terjadinya cemaran mikrobiologis 21

8 Langkah-langkah perbaikan yang dapat dilakukan untuk mencegah

terjadinya cemaran kimiawi 24

DAFTAR GAMBAR

1 Persentase PJAS yang tidak memenuhi syarat selama tahun 2011-2013 9 2 Persentase mi, makanan ringan, dan bakso yang tidak memenuhi

syarat 10

3 Masalah utama keamanan pangan pada bakso 12

4 Masalah utama keamanan pangan pada mie 16

5 Masalah utama keamanan pangan pada makanan ringan 19

DAFTAR LAMPIRAN

1 Perhitungan analisis ragam 30

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pangan jajanan merupakan makanan siap saji dan minuman yang dipersiapkan dan/atau dijual oleh pedagang kaki lima di jalanan atau tempat-tempat lain sejenisnya (FAO 2009). Pangan jajanan anak sekolah (PJAS) umumnya dikenal sebagai pangan siap saji yang ditemui di lingkungan sekolah dan secara rutin dikonsumsi oleh sebagian besar anak sekolah (Kementerian Kesehatan RI 2011).

PJAS menyumbang 31.1% kebutuhan kalori serta 27.4% protein dari konsumsi pangan harian anak sekolah (BPOM RI 2009). Hasil survei Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI) pada tahun 2010 menunjukkan bahwa terdapat 141 kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan terjadi. Dari 141 kejadian, 15% disebabkan oleh PJAS dengan tingkat kejadian tertinggi (69-79%) terjadi di Sekolah Dasar (BPOM RI 2011). Keracunan pangan tersebut dapat diakibatkan oleh tingginya konsumsi PJAS oleh anak sekolah yang tidak diikuti dengan penerapan cara produksi pangan yang baik (CPPB) oleh para penjaja pangan.

BPOM RI sebagai lembaga pemerintah yang berwenang dalam pengawasan makanan menginisiasi Gerakan PJAS. Gerakan PJAS tersebut disebut dengan Aksi Nasional PJAS (AN PJAS) yang bertujuan untuk meningkatkan keamanan, mutu, dan gizi PJAS. Salah satu bentuk AN PJAS adalah program pengawasan PJAS berupa sampling dan analisis sampel PJAS dari kantin dan penjaja makanan di lingkungan sekolah. Pengambilan sampel dilakukan berdasarkan Petunjuk Teknis Sampling PJAS yang dibuat oleh BPOM RI. Sampel tersebut kemudian dianalisis di laboratorium Balai Besar/Balai POM atau di laboratorium keliling agar diketahui kesesuaiannya dengan syarat yang telah ditentukan oleh BPOM RI. Hingga saat ini, data-data hasil sampling dan analisis tersebut hanya sebatas mengetahui persentase sampel yang memenuhi syarat (MS) dan tidak memenuhi syarat (TMS). Oleh sebab itu, data dikaji lebih lanjut untuk mengetahui akar-akar masalah keamanan pada PJAS sehingga dapat diberikan strategi perbaikan berkelanjutan untuk meningkatkan keamanan dan mutu PJAS yang dijual.

Penelitian ini hanya berfokus terhadap 3 jenis PJAS yaitu bakso, makanan ringan, dan mi. Hal tersebut disebabkan untuk PJAS jenis kudapan memiliki variasi jajanan yang paling banyak dan beragam sehingga cukup sulit apabila dilakukan analisis parameter keamanan pangan penyebab TMS serta telah dilakukan penelitian serupa terhadap 3 jenis PJAS yang lain yaitu es, minuman berwarna/sirup, dan agar/jeli.

Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah merumuskan strategi perbaikan berkelanjutan bagi 3 jenis PJAS (bakso, makanan ringan, dan mi) berdasarkan data hasil pengawasan yang dilakukan oleh BPOM. Untuk mencapai tujuan umum tersebut, disusun pula beberapa hal yang ingin dicapai pada penelitian ini, antara lain:

(14)

2

2. Mengkaji parameter keamanan pangan pada tiga jenis PJAS (bakso, mi, dan makanan ringan) yang paling sulit memenuhi syarat

3. Merumuskan langkah-langkah perbaikan mutu dan keamanan pada tiga jenis PJAS (bakso, mi, dan makanan ringan).

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan solusi bagi berbagai pihak terkait untuk meningkatkan keamanan dan mutu PJAS dengan mengkaji perubahan tingkat keamanan PJAS pada tahun 2011-2013 dan parameter keamanan pangan yang paling sulit memenuhi syarat.

TINJAUAN PUSTAKA

Konsep Keamanan Pangan

Keamanan pangan didefinisikan sebagai jaminan bahwa suatu pangan tidak menyebabkan bahaya bagi konsumen ketika pangan tersebut disiapkan atau dimakan berdasarkan cara mengkonsumsinya (FAO 2009). Sedangkan menurut UU No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan, keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi.

Pangan yang aman adalah pangan yang bebas dari bahaya biologis, bahaya kimia, dan bahaya fisik (BPOM RI 2012). Bahaya biologis meliputi bahaya yang disebabkan oleh makhluk hidup seperti bakteri, toksin yang diproduksi oleh organisme, kapang, khamir, parasit, virus, dan prion. Bahaya kimia merupakan bahaya yang disebabkan oleh senyawa kimia berupa toksin yang terbentuk secara alami (seperti HCN pada tanaman ketela pohon), penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) yang melebihi batas maksimumnya, residu pestisida, kontaminasi dari lingkungan, penyalahgunaan bahan kimia berbahaya (seperti formalin, boraks, dan rhodamin B), kontaminasi senyawa kimia dari kemasan, dan alergen. Sedangkan bahaya fisik adalah bahaya yang disebabkan benda-benda yang seharusnya tidak berada dalam pangan seperti logam, kaca, batu, atau duri (FAO 2006).

(15)

3 standar yang telah ditetapkan maka produsen dikenakan sanksi, baik administratif maupun pro-justisia. Subsistem pengawasan konsumen adalah sistem pengawasan yang dilakukan oleh masyarakat melalui peningkatan kesadaran dan peningkatan pengetahuan mengenai kualitas produk yang digunakannnya dan cara-cara penggunaan produk yang rasional. Pengawasan oleh masyarakat merupakan hal yang penting untuk dilakukan karena pada akhirnya masyarakat yang mengambil keputusan untuk membeli dan menggunakan suatu produk. Konsumen dengan kesadaran dan tingkat pengetahuan yang tinggi terhadap mutu dan kegunaan suatu produk dapat terlindung dari penggunaan produk-produk yang tidak memenuhi syarat dan tidak dibutuhkan. Selain itu, hal tersebut juga dapat mendorong produsen untuk menjaga kualitas produk yang dihasilkan. Subsistem pengawasan pemerintah (BPOM) adalah pengawasan oleh pemerintah melalui peraturan dan standardisasi; penilaian kemanan, khasiat, dan mutu produk sebelum diijinkan beredar di Indonesia; inspeksi, pengambilan sampel, dan pengujian laboratorium produk yang beredar serta peringatan kepada publik yang didukung dengan penegakan hukum. Selain melakukan kegiatan-kegiatan tersebut, pemerintah juga melaksanakan kegiatan komunikasi, informasi, dan edukasi untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat konsumen terhadap mutu, khasiat, dan keamanan produk (BPOM 2013).

Analisis risiko merupakan kerangka berpikir yang digunakan pemerintah dalam upayanya untuk menurunkan risiko terjadinya masalah keamanan pangan. Analisis risiko adalah suatu proses yang sistematis dan transparan dalam pengumpulan, analisis, dan evaluasi informasi ilmiah maupun non-ilmiah yang relevan tentang bahaya kimia, mikrobiologis, atau fisik yang mungkin terdapat dalam pangan. Hasil analisis digunakan sebagai landasan pengambilan keputusan untuk memilih opsi terbaik untuk menangani risiko tersebut berdasarkan berbagai alternatif yang diidentifikasi. Analisis risiko dibagi menjadi tiga komponen utama, yaitu kajian risiko, manajemen risiko, dan komunikasi risiko. Kajian risiko adalah suatu proses penentuan tingkat risiko yang berlandaskan data-data ilmiah. Kajian risiko terdiri dari empat tahapan yaitu identifikasi bahaya, karakterisasi bahaya, kajian pemaparan, dan karakterisasi risiko. Manajemen risiko adalah suatu proses yang meliputi pembuatan dan penerapan kebijakan dengan mempertimbangkan masukan dari pihak-pihak terkait mengenai kajian risiko dan faktor lain yang relevan. Tujuan dari kebijakan yang dibuat adalah untuk melindungi kesehatan konsumen dan mempromosikan perdagangan yang adil. Jika diperlukan dapat memilih opsi pencegahan dan pengendalian yang sesuai untuk menanggulangi risiko. Komunikasi risiko adalah pertukaaran informasi dan opini secara interaktif dalam pelaksanaan proses analisis risiko (mengenai risiko, faktor yang berkaitan dengan risiko, dan persepsi risiko) antara pengkaji risiko, manajemen risiko, dan pihak terkait lainnya, seperti pemerintah, konsumen, industri, dan konsumen. Informasi yang diberikan termasuk penjelasan tentang temuan-temuan dalam kajian risiko dan landasan keputusan manajemen risiko (BPOM RI 2005).

(16)

4

adalah sistem komunikasi untuk anggota SKPT yang memiliki tugas dan fungsi dalam kajian risiko keamanan pangan. JPP adalah sistem komunikasi yang menggalang kerjasama antar lembawa berwenang dalam manajemen risiko dalam rangka meningkatkan efektivitas kerja sistem administrasi keamanan pangan (kebijakan, peraturan pangan, dan koordinasi pelayanan), inspektorat keamanan pangan, dan analisis. JPKP adalah kemitraan antara anggota dari berbagai instansi dan asosiasi yang berhubungan dengan promosi keamanan pangan (BPOM RI 2005).

Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS)

Menurut FAO (2009) pangan jajanan merupakan makanan siap saji dan minuman yang dipersiapkan dan/atau dijual oleh pedagang kaki lima di jalanan atau tempat-tempat lain sejenisnya. Pangan jajanan anak sekolah (PJAS) umumnya dikenal sebagai pangan siap saji yang ditemui di lingkungan sekolah dan secara rutin dikonsumsi oleh sebagian besar anak sekolah. Pangan jajanan dapat dikelompokkan menjadi beberapa kategori, yaitu: (1) Makanan utama; seperti mi, bakso, nasi soto, dan mi ayam, (2) Makanan ringan; seperti tahu goreng, agar, dan jeli, (3) Minuman; seperti es campur, es sirup, dan es teh (Kementerian Kesehatan RI 2011). Makanan ringan adalah kelompok makanan yang paling banyak ditemukan di lingkungan sekolah, yaitu sebesar 54%, diikuti minuman (26%), dan makanan utama (20%) (BPOM RI 2009).

Kebutuhan gizi anak sekolah usia 6-12 tahun berkisar antara 1550-2050 Kkal. Sarapan pagi harus memenuhi sebanyak 20-25% kebutuhan kalori sehari. Makan siang dan makan malam masing-masing 30%, sedangkan makanan selingan atau jajanan dapat dilakukan dua kali dengan porsi masing-masing 10% (Kementerian Kesehatan RI 2011). Hasil survei BPOM RI pada tahun 2008 menunjukkan bahwa PJAS menyumbang 31.1% kebutuhan kalori serta 27.4% protein dari konsumsi pangan harian anak sekolah (BPOM RI 2009). Hal tersebut menunjukkan bahwa konsumsi pangan jajanan cukup tinggi di kalangan anak sekolah sehingga pangan jajanan berperan penting dalam memberikan asupan energi dan gizi bagi anak-anak usia sekolah.

Umumnya di lingkungan sekolah terdapat dua kategori penjaja pangan yaitu kantin atau koperasi sekolah yang berada di dalam sekolah serta penjual pangan jalanan yang mangkal di sekitar sekolah (BPOM RI 2008). Berdasarkan data yang diperoleh BPOM RI pada tahun 2008, diketahui sebesar 64.9% pengelola kantin sekolah dan 75.3% penjaja PJAS di sekitar sekolah yang disurvei belum menerapkan praktek keamanan pangan yang baik. Selain itu diketahui pula bahwa sebesar 16.1% pengelola kantin sekolah dan 23.1% penjaja PJAS di sekitar sekolah menambahkan BTP ke dalam produk minuman yang dijual. Masalah-masalah tersebut dapat mengakibatkan timbulnya bahaya keamanan pangan bagi anak sekolah. Hasil survei BPOM pada tahun 2010 yang menunjukkan bahwa terdapat 141 kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan terjadi. Dari 141 kejadian, 15% disebabkan oleh PJAS dengan tingkat kejadian tertinggi (69-79%) terjadi di Sekolah Dasar (BPOM RI 2011).

(17)

5 bahan tambahan pangan, kurangnya edukasi mengenai pangan yang aman kepada murid sekolah, serta program pengawasan PJAS yang belum berjalan dengan baik.

METODE

Kerangka Pikir Penelitian

Penelitian ini terdiri dari 2 tahap, yaitu tahap pendahuluan dan tahap analisis data. Tahap pendahuluan berupa pengumpulan data dan pengelompokan ulang data. Data yang digunakan merupakan data sekunder hasil program pengawasan PJAS yang dilakukan oleh Direktorat Inspeksi dan Sertifikasi BPOM RI pada 31 provinsi di Indonesia selama tahun 2011-2013. Setiap tahunnya dilakukan 2 tahap pengambilan sampel sehingga terdapat total 6 set data. Data yang telah diperoleh dikelompokkan ulang untuk memudahkan analisis data.

Tahap selanjutnya adalah analisis data. Analisis data yang dilakukan antara lain untuk mengidentifikasi:

1. Perubahan persentase PJAS yang tidak memenuhi syarat pada tahun 2011-2013. Perubahan persentase PJAS tersebut dapat mencerminkan kondisi PJAS yang umum dijual di lingkungan SD/MI.

2. Jenis PJAS yang paling sulit memenuhi syarat yaitu jenis PJAS dengan persentase TMS yang paling tinggi.

3. Parameter keamanan PJAS yang paling sulit memenuhi syarat dengan melihat persentase TMS pada parameter yang paling tinggi. Selanjutnya dilakukan perumusan langkah-langkah perbaikan keamanan dan mutu PJAS sesuai dengan parameter keamanan yang paling sulit memenuhi syarat.

Waktu dan Tempat

Sampel diambil dari 3950 SD/MI di 31 provinsi di Indonesia selama tahun 2011-2013. Pengujian dilakukan di laboratorium Balai Besar POM dan Balai POM serta laboratorium keliling di masing-masing provinsi. Analisis data dilaksanakan selama 4 bulan yaitu pada bulan Juni-September 2014 di lingkungan kampus Institut Pertanian Bogor Dramaga.

Tahapan Penelitian

Penelitian terdiri dari 2 tahap, yaitu tahap pendahuluan dan tahap analisis data. Berikut uraiannya:

1. Tahap pendahuluan

(18)

6

Pengambilan sampel dilakukan di 31 provinsi di Indonesia selama tahun 2011-2013 dimana tiap tahunnya dilakukan 2 tahap pengambilan sampel sehingga diperoleh 6 set data. Berdasarkan 6 set data yang diperoleh diketahui terdapat 3950 SD/MI sebagai lokasi sampling dan 26857 sampel PJAS telah diuji. Data tersebut kemudian dikelompokkan ulang berdasarkan tujuan yang ingin dicapai, yaitu:

a. Pengelompokan berdasarkan PJAS yang tidak memenuhi syarat (TMS) b. Pengelompokan berdasarkan jenis PJAS dan parameter keamanannya 2. Tahap analisis data

Analisis data dilakukan menggunakan program Microsoft Excel 2013. Berikut analisis data yang dilakukan:

a. Analisis data PJAS yang tidak memenuhi syarat

Persentase PJAS yang tidak memenuhi syarat dihitung pada setiap tahap pengambilan sampel dengan formula sebagai berikut:

% � = �ℎ � � ��ℎ �� � � � � � � ℎ �� � × %

b. Analisis data PJAS dan parameter keamanan yang tidak memenuhi syarat Tabel 1 Parameter keamanan PJAS

Jenis PJAS Parameter Batas Maksimum

Bakso

Kadar formalin Negatif

Kadar boraks Negatif

Angka Lempeng Total 1 x 105 koloni/gr Bakteri koliform 10 APM/gram

Escherichia coli < 3 APM/gram

Salmonella Negatif/25 gram

Staphylococcus aureus 1 x 102 koloni/gr

Clostridium perfringens 1 x 102 koloni/gr

Makanan ringan

Rhodamin B Negatif

Methanil yellow Negatif

Kadar benzoat Maks. 1000 mg/kg Kadar sorbat Maks. 1000 mg/kg Kadar sakarin Maks. 300 mg/kg Kadar siklamat Maks. 300 mg/kg Kadar asam borat Negatif

Escherichia coli < 3 APM/gram

Staphylococcus aureus 1 x 102 koloni/gr

Mi

Kadar formalin Negatif

Kadar boraks Negatif

Methanil yellow Negatif

Escherichia coli < 3 APM/gram

Staphylococcus aureus 1 x 102 koloni/gr

(19)

7 Untuk menentukan parameter yang tidak memenuhi syarat, hasil yang diperoleh dari pengujian sampel dibandingkan dengan parameter yang terdapat pada Tabel 1. Berikut formula perhitungan persentase parameter keamanan yang tidak memenuhi syarat:

%�� � � � � = �ℎ �ℎ �� �ℎ �� � � � � �� � � � � �� � � × %

c. Analisis Ragam

Analisis ragam dilakukan untuk mengetahui ada atau tidaknya keragaman rata persentase TMS dengan provinsi serta keragaman rata-rata PJAS dengan parameter keamanannya. Berikut model analisis ragam dua faktor yang digunakan:

� = � + + + + 

(Sudjana 1985) Yijk = Persentase PJAS yang tidak memenuhi syarat karena pengaruh

bersama taraf ke-i faktor provinsi (A) dan taraf ke j faktor jenis PJAS (B) yang terdapat pada observasi ke-k

 = efek rata-rata yang sebenarnya (berharga konstan) Ai = efek sebenarnya dari taraf ke-i faktor provinsi

Bj = efek sebenarnya dari taraf ke-j faktor PJAS

(ij) = efek sebenarnya dari interaksi antara taraf ke-i faktor provinsi (A)

dan taraf ke-j faktor jenis PJAS (B)

k(ij) = efek sebenarnya dari unit eksperimen ke-k dalam kombinasi

perlakuan (ij)

Sedangkan analisis ragam untuk parameter per jenis PJAS menggunakan analisis ragam satu faktor dengan model sebagai berikut:

� = � + +

(Sudjana 1985) Yij = variabel yang akan dianalisis, dimisalkan berdistribusi normal  = efek umum atau efek rata-rata yang sebenarnya

i = efek yang sebenarnya pada perlakuan ke-i

ij = efek yang sebenarnya dari unit eksperimen ke-j yang berasal dari perlakuan ke-i

Apabila hasil analisis ragam menunjukkan adanya keragaman dari faktor yang dianalisis (F hitung > F tabel pada taraf nyata yang telah ditentukan), maka dilanjutkan dengan uji lanjut LSD (Least Significance Different), dengan formula sebagai berikut:

� = �

(20)

8

ri = ulangan ke-i

rj = ulangan ke-j

KTG = Kuadrat Tengah Galat yang diperoleh dari analisis ragam  = taraf nyata

dbg = derajat bebas galat

t = nilai t diperoleh dari tabel t pada taraf nyata ∝

2 dengan derajat bebas

sama dengan dbg d. Analisis Pareto

Diagram Pareto digunakan untuk menentukan parameter keamanan yang menjadi masalah utama pada tiap jenis PJAS. Diagram Pareto merupakan diagram yang terdiri atas grafik balok dan grafik garis yang menggambarkan perbandingan masing-masing jenis data terhadap keseluruhan. Diagram Pareto menunjukkan masalah mana yang sedikit tetapi dominan (vital few) dan masalah yang banyak tetapi kurang dominan (trivial many). Teori Pareto menyatakan bahwa 20% kondisi dapat menjadi penyebab bagi 80% akibat (Muhandri dan Kadarisman 2012).

Setelah mengetahui parameter keamanan yang menjadi masalah utama pada tiap PJAS, selanjutnya dilakukan pengamatan dan wawancara terhadap produsen dan pedagang PJAS di Kota dan Kabupaten Bogor. Pengamatan dan wawancara bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang lebih menyeluruh mengenai proses produksi dan penyiapan PJAS sehingga dapat disusun langkah-langkah perbaikan bagi produsen dan pedagang PJAS secara lebih komprehensif. Pengamatan dilakukan terhadap masing-masing satu orang pedagang bakso dan pedagang mie yang berlokasi di Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Pengamatan produsen bakso dilakukan di satu lokasi penggilingan bakso di Pasar Anyar, Kota Bogor. Sedangkan pengamatan terhadap produsen mi dilakukan di satu lokasi produksi mi basah mentah di Merdeka, Kota Bogor.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi PJAS yang Tidak Memenuhi Syarat pada Tahun 2011-2013

(21)

9 dilakukan enam tahap pengambilan sampel selama tiga tahun. Sebanyak 26857 sampel telah diambil selama enam tahap pengambilan sampel tersebut.

Berdasarkan data tersebut, dihitung persentase tingkat PJAS yang tidak memenuhi syarat (TMS) parameter keamanannya. Persentase tersebut dapat menggambarkan kondisi PJAS yang dijual di lingkungan SD/MI. Persentase PJAS tidak memenuhi syarat yang tinggi menunjukkan kondisi keamanan PJAS yang buruk dan memiliki risiko terjadinya cemaran yang tinggi. Persentase PJAS yang tidak memenuhi syarat tertinggi adalah pada sampling tahun 2011 tahap II dan yang terendah adalah pada sampling tahun 2012 tahap II sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 1.

Gambar 1 Persentase PJAS yang tidak memenuhi syarat selama tahun 2011-2013 (n = 26857)

Persentase PJAS yang tidak memenuhi syarat pada tahun 2011 cukup tinggi karena mencapai angka 50%, namun mengalami penurunan yang cukup drastis dan mencapai angka 20% pada tahun selanjutnya. Tahun 2013 menunjukkan adanya peningkatan kembali persentase PJAS yang tidak memenuhi syarat meskipun tidak setinggi pada tahun 2011.

Setelah mengetahui perubahan persentase seluruh PJAS yang tidak memenuhi syarat, selanjutnya dilakukan perhitungan persentase TMS terhadap tiga jenis PJAS yaitu bakso, mi, dan makanan ringan. Pemilihan ketiga jenis PJAS tersebut didasari hasil uji lanjut LSD dan kategori PJAS yang sama yaitu makanan.

Gambar 2 menunjukkan bahwa persentase bakso yang tidak memenuhi syarat cukup tinggi, yaitu berkisar antara 20-65% dengan persentase tertinggi terdapat pada tahun 2011 tahap II dan yang terendah terdapat pada tahun 2012 tahap II. Persentase makanan ringan yang tidak memenuhi syarat berkisar dari 8-20%. Persentase tertinggi terdapat pada tahun 2011 tahap I dan yang terendah terdapat pada tahun 2012 tahap II. Sedangkan pada mi, persentase sampel yang tidak memenuhi syarat berkisar antara 7-43%. Persentase tertinggi mi yang tidak memenuhi syarat terdapat pada tahun 2011 tahap II dan yang terendah terdapat pada tahun 2012 tahap II. Berdasarkan grafik pada Gambar 1 dan Gambar 2, terlihat bahwa perubahan kondisi PJAS memiliki tren yang fluktuatif dimana persentase

46,39

2011 Tahap I 2011 Tahap II 2012 Tahap I 2012 Tahap II 2013 Tahap I 2013 Tahap II

%

T

MS

(22)

10

TMS paling tinggi terdapat pada tahun 2011, kemudian turun cukup drastis pada tahun 2012, dan mengalami peningkatan kembali pada tahun 2013.

Gambar 2 Persentase mi (n = 1953), makanan ringan (n = 4248), dan bakso (n = 1898) yang tidak memenuhi syarat

Program pengawasan PJAS yang singkat dapat menjadi penyebab terjadinya tren yang fluktuatif. Tahun 2013 merupakan tahun terakhir pelaksanaan program pengawasan PJAS sehingga diduga pengawasan pada tahun 2013 menjadi lebih longgar daripada tahun sebelumnya dan mengakibatkan terjadinya peningkatan PJAS yang tidak memenuhi syarat. Tren fluktuatif juga dapat disebabkan adanya perbedaan jumlah SD/MI lokasi pengambilan sampel dan jumlah sampel yang diambil pada tiap tahap.

Analisis Ragam

Analisis ragam dilakukan terhadap dua faktor, yaitu rata-rata persentase TMS tiap jenis PJAS dan provinsi lokasi pengambilan sampel. Hasil analisis ragam pada Lampiran 1 menunjukkan bahwa terdapat keragaman pada interaksi rata-rata persentase TMS dengan provinsi pada taraf nyata 1%. Analisis dilanjutkan dengan uji lanjut LSD karena hasil analisis ragam menunjukkan adanya keragaman antar dua faktor. Hasil uji lanjut LSD pada Tabel 2 menunjukkan bahwa mi memiliki rata-rata persentase TMS yang tidak berbeda nyata dengan makanan ringan. Hal tersebut dapat diartikan bahwa mi dan makanan ringan merupakan PJAS dengan persentase TMS paling rendah. Kudapan merupakan PJAS dengan persentase TMS terendah setelah mi dan makanan ringan. Rata-rata persentase TMS bakso dan jeli/agar juga tidak berbeda nyata sehingga dapat dikatakan bahwa kedua PJAS tersebut memiliki tingkat TMS dibawah kudapan. Minuman berwarna/sirup memiliki tingkat TMS di bawah bakso dan jeli/agar, sedangkan es merupakan PJAS dengan rata-rata TMS tertinggi.

Tabel 2 menunjukkan bahwa jenis PJAS dengan persentase rata-rata TMS terendah adalah mi, makanan ringan, kudapan, dan bakso dimana keempat jenis PJAS tersebut merupakan PJAS dengan kategori yang sama yaitu makanan. Kudapan merupakan jenis PJAS dengan variasi jenis jajanan yang paling banyak

15,63

2011 Tahap I 2011 Tahap II 2012 Tahap I 2012 Tahap II 2013 Tahap I 2013 Tahap II

(23)

11 dan beragam sehingga cukup sulit apabila dilakukan analisis parameter keamanan pangan penyebab TMS. Berdasarkan pertimbangan tersebut penelitian ini berfokus pada tiga jenis PJAS yaitu mi, makanan ringan, dan bakso.

Tabel 2 Signifikansi antara rata-rata persentase TMS dengan provinsi lokasi pengambilan sampel

Jenis PJAS Rata-rata TMS (%)

Mi 15.874614.3192a

Makanan ringan 16.050813.4051a

Kudapan 27.389511.2808b

Bakso 35.118415.2100c

Jeli/agar 38.722124.1784c

Minuman berwarna/sirup 52.758421.0253d

Es 59.829621.7409e

Tabel 3 Signifikansi antar parameter keamanan PJAS

Parameter Keamanan PJAS Rata-rata TMS (%) Angka Lempeng Total (ALT) 29.832.56f Angka Kapang Khamir (AKK) 24.481.74e

Koliform 23.278.59e

C. perfringens 0.890.99abc

Salmonella 0.560.22ab

Sorbat 0.230.19a

Metanil yellow 0.090.10a

Selain melakukan analisis ragam terhadap faktor rata-rata persentase TMS dan provinsi, dilakukan pula analisis ragam terhadap rata-rata persentase TMS dengan parameter keamanan. Hasil analisis ragam menunjukkan adanya keragaman terhadap interaksi dua faktor yang diuji pada taraf nyata 1% sehingga dilakukan uji lanjut LSD. Tabel 3 menunjukkan bahwa siklamat, koliform, AKK, dan ALT merupakan parameter keamanan dengan persentase TMS tertinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa penyebab utama PJAS tidak layak dikonsumsi adalah adanya cemaran mikrobiologi dan penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) melebihi batas maksimal yang telah ditentukan.

(24)

12

Parameter Keamanan Pangan pada Bakso, Makanan Ringan, dan Mi

Bakso

Bakso merupakan produk pangan yang bahan utama pembuatannya adalah daging yang dilumatkan, selanjutnya dicampur dengan bahan-bahan lainnya, dibentuk bulatan-bulatan, dan kemudian direbus. Istilah bakso umumnya diikuti dengan nama jenis dagingnya, seperti bakso sapi, bakso ayam, atau bakso ikan. Berdasarkan bahan bakunya, bakso dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu bakso daging, bakso urat, dan bakso aci. Bakso daging dibuat dari daging yang sedikit mengandung urat, bakso urat dibuat dari daging yang banyak mengandung urat, sedangkan bakso aci dibuat dengan penambahan tepung yang lebih banyak dibandingkan jumlah daging yang digunakan (Anonim 2010).

Tabel 4 Persentase parameter keamanan yang tidak memenuhi syarat pada bakso

Parameter

Gambar 3 Masalah utama keamanan pangan pada bakso (n = 1898)

Menurut Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.00.06.1.52.4011 tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan, batas cemaran mikroba ALT maksimal 1x105 koloni/g dan APM koliform maksimal 10/g. Angka lempeng total merupakan metode kuantitatif yang digunakan untuk mengetahui jumlah mikroba secara umum yang ada pada suatu sampel. Uji ALT

(25)

13 hanya menghitung mikroba aerob mesofil dan anaerob mesofil (BPOM RI 2008). Bakteri koliform dapat digunakan sebagai indikator sanitasi air dan berbagari produk pangan. Kelompok koliform merupakan bakteri dari famili Enterobacteriaceae yang terdiri dari empat genus, yaitu Escherichia, Enterobacter, Klebsiella, dan Citrobacter. Koliform dapat dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu koliform fekal dan koliform non fekal. Koliform fekal merupakan penghuni normal saluran pencernaan manusia dan hewan yang dapat ditemukan pada feses dan digunakan sebagai indikator pencemaran. Koliform non fekal tidak termasuk mikroflora normal di dalam saluran pencernaan, melainkan ditemukan pada tanaman atau hewan yang telah mati dan sering menimbulkan lendir pada makanan (Fardiaz 1992).

Pengamatan dilakukan terhadap penjual bakso di salah satu SD di Kecamatan Dramaga, Bogor dan penggilingan daging di Pasar Anyar, Bogor. Pengamatan dilakukan untuk mendapatkan gambaran yang lebih menyeluruh mengenai proses pembuatan dan penyajian bakso. Proses pembuatan adonan bakso dimulai dengan menggiling daging sapi. Setelah daging sapi lumat maka dilakukan proses pencampuran dengan tepung sagu, es batu, dan bumbu-bumbu lainnya. Proses pencampuran memakan waktu yang cukup lama karena tepung sagu dan bumbu-bumbu yang ditambahkan harus tercampur dengan rata untuk mendapatkan tekstur adonan bakso yang diinginkan. Proses pencampuran dilakukan dengan mixer khusus untuk pembuatan bakso yang dibantu dengan tangan. Setelah adonan bakso jadi kemudian diletakkan ke dalam ember-ember yang telah dilapisi kantong plastik. Mesin penggiling dan mixer digunakan dari pukul 03.00 hingga selesai yaitu sekitar pukul 07.30. Setiap pergantian daging yang digiling dan dilumatkan tidak dilakukan pencucian alat. Pencucian mesin penggiling dilakukan hanya sekali yaitu setelah penggilingan daging pada hari itu selesai. Tempat penggilingan daging yang didatangi oleh penulis juga menjual daging untuk bakso. Daging diletakkan di ruangan tanpa pendingin mulai dari dibukanya tempat penggilingan hingga tutup sehingga daging disimpan dalam suhu ruang sekitar empat jam. Daging yang tidak terjual kemudian disimpan di dalam freezer di lokasi penggilingan daging. Adonan bakso tersebut kemudian dibawa ke lokasi pemasakan masing-masing pedagang dan kemudian dijual dengan gerobak. Penjual bakso dengan gerobak umumnya memiliki alat sanitasi yang minimal. Pedagang bakso yang ditemui oleh penulis hanya memiliki seember air dan lap sebagai alat sanitasi. Air tersebut digunakan untuk mencuci mangkok, sendok, dan garpu yang telah digunakan. Jika air di ember sudah cukup kotor maka baru air dibuang dan diganti dengan yang baru. Mangkok yang telah dicuci kemudian dikeringkan menggunakan kain lap. Kain lap tersebut digunakan secara terus-menerus dari awal hingga selesai berjualan.

Mengingat penyebab utama bakso tidak memenuhi syarat adalah masalah ALT dan koliform yang melebihi batas maksimal serta berdasarkan pengamatan yang dilakukan, diketahui beberapa sumber kontaminasi terbesar pada bakso antara lain:

1. Kontaminasi dari pekerja

(26)

14

juga dilakukan dengan menggunakan tangan. Penelitian Lues et al. (2006) menunjukkan bahwa pekerja menyebabkan timbulnya bakteri seperti E.coli, S. aureus, dan Salmonella. Sanitasi pada pekerja diperlukan untuk meminimalkan atau bahkan mencegah perpindahan kontaminan dari tubuh pekerja ke makanan. 2. Mesin dan alat yang digunakan

Mesin penggiling dan mixer daging digunakan selama kurang lebih empat jam sehari namun hanya dicuci sekali yaitu pada saat penggilingan pada hari tersebut selesai. Ember digunakan sebagai wadah penampung adonan bakso yang telah selesai digiling dan dicampur. Ember tersebut dilapisi kantong plastik untuk membawa adonan bakso ke lokasi pedagang melakukan proses perebusan bakso. Pada ember yang digunakan terlihat sisa-sisa daging yang telah mengering, Daging yang tersisa pada alat merupakan sumber nutrisi bagi mikroorganisme untuk tumbuh.

3. Bahan baku

Bahan baku bakso yang berupa daging sangat mudah ditumbuhi mikroba, terutama mikroba perusak dan pembusuk karena mempunyai kadar air yang tinggi (68-75%) serta mengandung nutrisi yang dibutuhkan mikroba untuk tumbuh, seperti asam amino yang banyak mengandung nitrogen, karbohidrat yang mudah difermentasi, dan mineral. Selain itu, pH daging yang mencapai 5.3-6.5 dapat menguntungkan sejumlah mikroorganisme (Soeparno 2005). Mikroba yang dapat ditemukan pada daging mentah antara lain Micrococcus spp., Staphylococcus spp., Bacillus spp., kelompok coryneform, dan Brochothrix spp. Sedangkan mikroba pembusuk yang terdapat pada daging yang telah digiling adalah Pseudomonas spp. dan Enterobacteriaceae psikotropik (Cerveny et al. 2009).

Selain daging, es batu merupakan salah satu bahan baku pembuatan bakso dengan resiko kontaminasi mikroba yang cukup tinggi. Es batu berfungsi untuk mempertahankan suhu adonan bakso. Suhu optimum untuk ekstraksi protein serabut otot adalah 4-5 C dan suhu untuk mempertahankan kestabilan emulsi adonan adalah <20C. Es yang digunakan pada penggilingan daging yang didatangi penulis merupakan es yang dibuat sendiri, namun apabila jumlah es tidak mencukupi maka pemilik penggilingan akan membeli es balok. Berdasarkan penilitian yang dilakukan oleh Fierliyanti (2006) koliform fekal maupun non fekal relatif tahan terhadap suhu dingan termasuk pada es batu. Apabila es batu tidak ditangani dengan baik maka resiko kontaminasi oleh koliform akan sangat besar. SNI 01-3829-1995 tentang es batu menyatakan bahwa syarat mikrobiologi pada es batu adalah tidak terdapat bakteri koliform dan koliform tinja.

4. Sanitasi alat makan yang tidak bersih

(27)

15 ember dan pencucian yang kurang bersih dapat meninggalkan sisa makanan pada peralatan makan yang dapat menjadi sumber nutrisi bagi bakteri proteolitik seperti Staphylococcus sp (Agustina 2002).

5. Udara

Adonan bakso yang telah digiling di lokasi penggilingan kemudian akan dibentuk dan dimasak di lokasi masing-masing pedagang. Alat transportasi yang umumnya digunakan oleh pedagang bakso adalah sepeda motor dan angkutan umum (angkot). Lokasi penggilingan daging terkadang cukup jauh dari rumah pedagang sehingga adonan bakso memiliki resiko kontaminasi yang tinggi selama perjalanan tersebut. Resiko kontaminasi dari udara juga dapat berasal dari udara di ruangan yang digunakan untuk menggiling dan memasak bakso.

Mikroorganisme tidak dapat tumbuh di udara karena udara tidak mengandung nutrisi yang cukup untuk pertumbuhan dan metabolisme mikroorganisme. Namun spora dan sel vegetatif dapat terbawa oleh partikel debu dan droplet air di udara. Jumlah dan jenis mikroorganisme yang terdapat pada udara bervariasi tergantung keadaan lingkungan. Udara pada ruangan yang dihuni oleh banyak manusia dengan sistem ventilasi yang buruk umumnnya mengandung berbagai jenis mikroorganisme dalam jumlah yang besar (Csuros dan Csuros 1999).

Mi

Menurut SNI 01-2987-1992, mi adalah produk pangan yang terbuat dari terigu, dengan atau tanpa penambahan bahan pangan lain dan bahan tambahan pangan yang diizinkan, berbentuk khas mi yang tidak dikeringkan. Persentase mi yang tidak memenuhi syarat tidak setinggi pada bakso. Hal tersebut dapat disebabkan jenis mi yang dijual di sekolah beragam Jenis mi yang banyak dijual di lingkungan SD/MI adalah bentuk olahan dari mi basah dan mi kering yang dapat berupa mi ayam, mi goreng, mi bakso, ataupun mi instan. Mi kering seperti mi telor dan mi instan umumnya dibuat oleh industri pangan skala besar dan telah didaftarkan pada BPOM sehingga mutu dan keamanannya terjamin. Lain halnya dengan mi basah yang umumnya diproduksi oleh industri kecil dan industri rumah tangga.

Tabel 5 Persentase parameter keamanan yang tidak memenuhi syarat pada mi

Parameter

(28)

16

Gambar 4, untuk menyelesaikan masalah keamanan pangan pada mi maka yang harus diprioritaskan adalah masalah penambahan formalin dan E. coli yang melebihi batas maksimal.

Gambar 4 Masalah utama keamanan pangan pada mi (n = 1953)

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan, formalin merupakan salah satu bahan yang dilarang digunakan sebagai BTP. Peraturan Kepala BPOM RI No. HK.00.06.1.52.4011 mengatur bahwa kandungan maksimal APM E. coli baik pada mi kering, mi instan, maupun mi basah sebesar 10/g. E. coli merupakan flora normal yang terdapat pada saluran pencernaan hewan dan manusia, namun beberapa serotipe E. coli dapat menyebabkan diare pada manusia (Fardiaz dan Jenie 1989).

Untuk mendapatkan gambaran yang lebih menyeluruh mengenai proses pembuatan dan penyiapan mi, dilakukan pengamatan terhadap penjual mi di Kecamatan Dramaga, Bogor dan lokasi produksi mi basah mentah di daerah Merdeka, Bogor. Bahan pembuatan mi adalah tepung terigu, air, dan telur apabila ada permintaan dari pedagang mi. Air yang digunakan adalah air mentah. Menurut produsen mi, adonan mi yang dibuat tidak ditambahkan bahan tambahan pangan maupun bahan kimia berbahaya seperti formalin atau boraks. Pada proses pembuatan mi, alat yang digunakan masih manual. Pakaian yang dikenakan oleh para pekerja juga kurang layak untuk digunakan pada proses produksi mi. Proses pembuatan mi dimulai dengan mencampur tepung terigu dan air di atas sebuah meja berukuran besar. Setelah adonan mi terbentuk, selanjutnya adonan diratakan dengan sebuah alat penggiling yang berukuran cukup besar dan terbuat dari kayu. Alat penggiling tersebut berfungsi untuk meratakan adonan mi agar adonan cukup tipis untuk dimasukkan ke mesin pencetak dan pemotong mi. Setelah mi dicetak dan dipotong kemudian ditambahkan tepung tapioka supaya mi tidak lengket. Mi yang telah diberi tepung tapioka kemudian ditimbang dan dimasukkan ke dalam kantong plastik. Mi basah mentah kemudian dibawa ke lokasi pedagang berjualan mi ayam. Proses pemasakan mi dilakukan apabila ada konsumen yang memesan mi ayam. Kondisi sanitasi-higiene penjual mi tidak berbeda jauh dengan bakso.

0

(29)

17 Menurut pedagang dan produsen mi, mi basah mentah hanya mampu bertahan sehari apabila disimpan di suhu ruang karena tidak ditambahkan BTP pengawet pada mi, namun apabila dilakukan proses pengukusan maka mi basah mentah akan bertahan sekitar dua hari. Pendeknya umur simpan mi dapat disebabkan oleh sanitasi-higiene yang kurang terjaga pada proses pengolahan mi sehingga terjadi kontaminasi mikroba dan mempercepat terjadinya kerusakan maupun kebusukan pada mi. Hal tersebut dapat diatasi dengan menambahkan BTP pengawet, namun penambahan pengawet tersebut dianggap kurang efektif dan membutuhkan biaya yang lebih tinggi sehingga produsen mi memilih menggunakan formalin untuk memperpanjang umur simpan mi.

Formalin merupakan nama dagang dari senyawa formaldehida. Formaldehid umumnya digunakan sebagai desinfektan untuk rumah, perahu, gudang, dan kain. Formaldehid murni tidak dijual secara komersial, namun dijual dalam 30-50% (b/b) larutan mengandung air (Cahyadi 2008). Kandungan formalin rata-rata dalam mi basah di pasar tradisional Jabotabek adalah 106 mg/kg (mi basah mentah) dan 2914.36 mg/kg (mi basah matang). Mi yang dijual oleh pedagang produk olahan mi daerah Jabotabek rata-rata mengandung formalin 72.93 mg/kg (mi basah mentah) dan 3423.51 mg/kg (mi basah matang). Mi yang dijual di supermarket daerah Jabotabek mengandung formalin 113.45 mg/kg (mi basah mentah) dan 2914.82 mg/kg (mi basah matang) (Gracecia 2005, Priyatna 2005). Berdasarkan survei dan pengujian yang dilakukan oleh IPB dengan AWB dan PT. Bogasari Flour Mills terhadap pedagang mi basah mentah dan mi basah matang di Jabotabek pada tahun 2004-2005 menunjukkan bahwa semua sampel yang diambil positif mengandung formalin. Kandungan formalin rata-rata yang ditemukan pada mi basah mentah sebesar 113.4 mg/kg bb dan pada mi basah matang sebesar 3423.5 mg/kg bb. Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang tidak terlalu kuat antara peningkatan konsentrasi formalin terhadap laju pertumbuhan ALT, kapang, khamir, dan koliform selama penyimpanan.

LD50 oral dari larutan formaldehid 2% pada tikus berkisar antara 500-800

mg/kg berat badan, sedangkan LD50 guinea pigs adalah 260 mg/kg berat badan.

Dosis mematikan larutan formaldehid 37% bagi pria dewasa adalah 523 mg/kg berat badan (Bloemen dan Burn 1993 dalam Cahyadi 2008). Konsentrasi formalin yang tinggi dalam tubuh menimbulkan reaksi kimia dengan hampir semua zat di dalam sel sehingga menekan fungsi sel dan menyebabkan kerusakan organ tubuh. Hal tersebut terjadi karena formalin mengkoagulasi protein yang terdapat pada protoplasma dan nukleus. Konsumsi formalin dalam jumlah yang tinggi dalam tubuh akan bersifat toksik dan menyebkan gangguan fisiologis serta metabolisme dalam tubuh (Cahyadi 2008).

Selain formalin, penyebab utama mi tidak memenuhi syarat adalah masalah E. coli yang melebihi batas maksimal. Beberapa sumber kontaminasi E. coli terbesar pada mi antara lain:

1. Kontaminasi dari pekerja

(30)

18

langsung kontak dengan bahan pangan dapat meningkatkan jumlah cemaran mikrobiologis pada produk pangan.

2. Mesin dan alat yang digunakan

Alat yang digunakan pada proses pembuatan mi adalah sebuah meja besar dan alat penggiling dari kayu berukuran besar untuk membuat adonan mi. Selain itu digunakan mesin pencetak dan pemotong mi serta meja kecil untuk menambahkan tepung tapioka pada mi yang sudah dipotong. Berdasarkan penampakan fisiknya, alat-alat tersebut jarang dibersihkan karena banyak sisa-sisa adonan mi dan tepung yang menempel. Adonan-adonan mi yang tertinggal pada mesin dan peralatan dapat menjadi nutrisi bagi pertumbuhan mikroba, salah satunya adalah E. coli. Menurut Legnani et al. (2004) terdapat 7.1% dari 140 sampel permukaan peralatan produksi pangan yang mengandung E. coli >1 cfu/cm2.

3. Bahan baku

Bahan baku pembuatan mi adalah tepung terigu dimana mikroorganisme yang biasa terdapat pada tepung adalah kapang, khamir, dan bakteri. Kerusakan akibat mikroba jarang terjadi pada produk serealia karena aw produk yang

rendah (<0.6) (Cook dan Johnson 2009). Bahan baku lain yang digunakan pada pembuatan mi adalah air. E. coli merupakan bakteri indikator yang digunakan untuk mendeteksi adanya kontaminasi oleh feses pada air dan mendeteksi keberadaan patogen usus (Fardiaz dan Jenie 1989). Menurut SNI 01-3553-2006 tentang air minum dalam kemasan, jumlah maksimal bakteri bentuk koli pada AMDK adalah sebesar <2 APM/100 ml.

4. Sanitasi alat makan yang tidak bersih

Sama halnya dengan pedagang bakso, peralatan sanitasi yang dibawa oleh pedagang mi adalah seember air yang digunakan terus menerus. Pergantian air dilakukan apabila air di ember sudah cukup kotor dan ada sumber air bersih di sekitar lokasi pedagang berjualan. E. coli yang ditemukan pada peralatan makan menunjukkan air yang digunakan untuk sanitasi alat makan terkontaminasi feses manusia.

5. Udara

Lokasi pembuatan mi umumnya cukup jauh dari lokasi pedagang berjualan mi. Adonan mi beresiko terkontaminasi selama perjalanan dari lokasi produksi ke lokasi berjualan. Namun kontaminasi dari udara dapat pula berasal dari udara di ruangan yang digunakan untuk produksi maupun dari udara selama berjualan.

(31)

19

Makanan Ringan

Menurut Surat Keputusan Ketua BPOM RI No. HK.00.05.52.4040 tentang Kategori Pangan, makanan ringan siap santap meliputi semua jenis makanan ringan asin atau gurih (savory) atau rasa lainnya. Makanan ringan yang umum ditemui di lingkungan SD/MI antara lain, kerupuk, keripik kentang, krekers beras (rice crackers), keripik singkong, keripik tahu, opak, pilus, jagung berondong (pop corn), kacang garing, kacang bawang, dan masih banyak lagi.

Tabel 6 Persentase parameter keamanan yang tidak memenuhi syarat pada makanan ringan

Gambar 5 Masalah utama keamanan pangan pada makanan ringan (n = 4248) Persentase parameter keamanan pangan yang menyebabkan makanan ringan tidak memenuhi syarat berubah-ubah pada tiap tahap pengambilan sampel sebagaimana ditunjukkan oleh Tabel 6. Makanan ringan yang dijual di SD/MI umumnya diproduksi oleh industri pangan skala besar dan telah didaftarkan pada BPOM sehingga persentase tidak memenuhi syaratnya cukup rendah. Diagram Pareto pada Gambar 5 menunjukkan bahwa untuk menyelesaikan 80% masalah keamanan pangan pada makanan ringan maka masalah yang harus diprioritaskan

(32)

20

adalah masalah penambahan bahan tambahan berbahaya yaitu boraks dan rhodamin B.

Boraks biasa digunakan dalam industri gelas, porselin, alat pembersih, dan antiseptik (Saparinto dan Hidayati 2006). Penambahan boraks pada bahan pangan dilarang sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan No. 033 Tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan, namun masih banyak produsen yang menambahkan boraks pada produk pangan yang dijual. Boraks sering ditambahkan pada makanan ringan seperti kerupuk dengan tujuan memperbaiki tekstur dan kerenyahan produk kerupuk dan sejenisnya. Boraks dapat memperkuat tekstur karena boron dapat berikatan silang dengan protein dan karbohidrat (Nugrahani 2005).

Penelitian yang dilakukan oleh Panjaitan (2010) menunjukkan bahwa bakso yang dijual di kota Medan mengandung boraks sebesar 0.08-0.29%. Sedangkan penelitian Juliana (2005) menunjukkan bahwa bakso yang dijual di swalayan Kota Semarang mengandung boraks hingga 0.345 ppm. LD50 oral asam borat pada tikus

jantan sebesar 3450 mg/kg berat badan sedangkan pada tikus betina sebesar 4080 mg/kg berat badan. LD50 oral natrium tetraborat (boraks) pada tikus jantan sebesar

4550 mg/kg berat badan dan pada tikus betina sebesar 4980 mg/kg berat badan (NPIC 2012). Keracunan boraks kronis dapat disebabkan oleh absorpsi dalam waktu lama. Akibat yang ditimbulkan karena keracunan boraks antara lain anoreksia, berat badan turun, muntah, diare, ruam kulit, alposia, dan konvulsi (Saparinto dan Hidayati 2006).

Sedangkan rhodamin B adalah zat warna sintetis yang biasa digunakan pada industri tekstil dan kertas. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 239/Men.Kes/Per/V/85 tentang Zat Warna Tertentu yang Dinyatakan sebagai Bahan Berbahaya menyebutkan bahwa rhodamin B termasuk salah satu dari 30 zat warna yang dilarang, namun penggunaannya pada produk pangan masih sering ditemukan di pasaran. Rhodamin B sering ditambahkan pada produk makanan ringan seperti kerupuk untuk meningkatkan daya tarik terhadap konsumen. LD50

oral rhodamin B pada mencit sebesar 887 mg/kg berat badan. Terdapat beberapa gejala keracunan akibat rhodamin B, antara lain iritasi saluran pernapasan apabila terhirup, iritasi kulit apabila terkena kulit, iritasi mata apabila kontak dengan mata, dan dapat menyebabkan kerusakan hati apabila tertelan dalam jangka panjang (BPOM RI 2011).

(33)

21

Langkah-langkah Perbaikan Mutu dan Keamanan PJAS

Cemaran Mikrobiologis

Berdasarkan analisis Pareto yang telah dilakukan, diketahui bahwa cemaran mikrobiologis merupakan penyebab utama bakso dan mi tidak memenuhi syarat. Langkah-langkah perbaikan pada Tabel 7 disusun berdasarkan studi pustaka serta pengamatan langsung terhadap produsen maupun pedagang bakso dan mi.

Tabel 7 Langkah-langkah perbaikan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya cemaran mikrobiologis

Sanitasi pekerja dapat dilakukan dengan cara:

a. Mandi sebelum melakukan proses produksi pangan dan mengenakan pakaian yang bersih.

b. Mencuci tangan dengan sabun sebelum dan setelah kontak langsung dengan bahan pangan. Pada proses penggilingan dan pencampuran adonan bakso maupun pada proses pencetakan mi, pekerja sebaiknya mencuci tangan setiap kali selesai menggiling satu pesanan.

c. Menggunakan sarung tangan saat kontak dengan bahan pangan. d. Pekerja yang sedang menangani bahan pangan dilarang sambil

merokok, mengunyah permen karet, makan, minum, bersin, batuk, menggunakan aksesoris (seperti gelang, cincin, jam tangan), menyentuh anggota badan, menggaruk bagian tubuh, mengupil, mengorek telinga, menjilat jari, menggigit kuku, dan meludah (Kementerian Kesehatan RI 2011).

Mesin dan Alat yang Digunakan:

a. Sebaiknya mesin yang digunakan (mesin penggiling daging,

mixer, dan mesin pencetak mi) dibersihkan menggunakan air bersih (disarankan air panas untuk mesin penggiling dan mixer

bakso untuk melarutkan lemak yang tertinggal) dan langsung dikeringkan pada setiap interval waktu tertentu, misalnya setiap satu jam, untuk meminimalisir terjadinya kontaminasi.

b. Pencucian peralatan makan hendaknya menggunakan air mengalir dan sabun agar mengurangi kemungkinan adanya kontaminasi

c. Pengeringan alat makan menggunakan lap yang kering dan bersih juga harus dilakukan untuk mengurangi risiko kontaminasi. d. Pada tahap penyiapan bakso atau mi dapat menggunakan capitan

atau sendok untuk mengurangi resiko kontaminasi. Bahan Baku:

a. Pemilik penggilingan bakso harus menjaga keamanan bahan baku yang digunakan. Hal-hal berikut dapat dilakukan untuk menjaga keamanan bahan baku yang digunakan:

(34)

22

Tabel 7 Langkah-langkah perbaikan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya cemaran mikrobiologis (lanjutan)

 penangangan dan penyimpanan daging (Frazier 1967, Forest

et al. 1975 dalam Soeparno 2005).

 Membuat sendiri es batu dari air matang agar dapat diketahui tingkat keamanannya dan mengurangi resiko kontaminasi. Air yang digunakan untuk pembuatan es batu sebaiknya adalah air matang dengan standar mutu sesuai dengan SNI 01-3553-2006 tentang air minum dalam kemasan.

b. Sedangkan untuk menjaga keamanan bahan baku pembuatan mi dapat dilakukan:

Tepung terigu sebaiknya disimpan dalam suatu ruangan yang kering dan tidak lembab. Tempat penyimpanan yang lembab dapat menyebabkan peningkatan kadar air tepung dan memicu pertumbuhan mikroorganisme.

Air yang digunakan untuk pembuatan mi harus dimasak terlebih dahulu untuk mengurangi jumlah mikroorganisme awal dan menurunkan resiko kontaminasi. Air yang digunakan lebih baik apabila mutunya sesuai dengan SNI 01-3553-2006 tentang air minum dalam kemasan.

Lingkungan Produksi:

a. Lokasi produksi dijaga tetap bersih, bebas dari sampah, bau, asap, kotoran, dan debu (BPOM RI 2012).

b. Ruangan yang digunakan untuk proses pembuatan dan pemasakan bakso maupun mi harus selalu dibersihkan tiap sebelum dan sesudah dilakukan kegiatan. Ruangan tersebut tidak boleh digunakan untuk kegiatan selain proses produksi.

Penyimpanan:

a. Adonan bakso ataupun mi dikemas dalam wadah yang bersih dan tertutup rapat untuk meminimalisir kontaminasi selama transportasi dari lokasi penggilingan ke lokasi pemasakan dilakukan.

b. Bakso ataupun mi yang telah dimasak dan siap dijual serta bahan tambahan lain (seperti daun bawang, bawang goreng, dan sayur) yang digunakan sebaiknya disimpan dalam wadah yang bersih dan tertutup.

c. Bakso dan mi yang dijual sebaiknya tidak disimpan pada suhu ruang selama >4 jam.

d. Bakso dan mi yang tidak habis terjual sebaiknya disimpan pada suhu <5C dalam wadah yang bersih dan tertutup

Sekolah Sekolah dapat memberi edukasi mengenai sanitasi-higiene yang baik serta cara memilih jajanan yang layak konsumsi kepada siswa-siswanya melalui kegiatan belajar mengajar di kelas. Berikut beberapa mata pelajaran dan kompetensi dasar pada Kurikulum SD/MI 2013 yang sesuai dengan materi tersebut:

 Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan Kelas IV dengan Kompetensi Dasar:

a. Memahami gizi dan menu seimbang dalam menjaga kesehatan tubuh.

 Bahasa Indonesia Kelas V dengan Kompetensi Dasar:

(35)

23 Tabel 7 Langkah-langkah perbaikan yang dapat dilakukan untuk mencegah

terjadinya cemaran mikrobiologis (lanjutan)

Indonesia.

b. Menggali informasi dan teks laporan buku tentang makanan dan rantai makanan, kesehatan manusia, keseimbangan ekosistem, serta alam dan pengaruh kegiatan manusia dengan bantuan guru dan teman dalam bahasa Indonesia lisan dan tulis dengan memilih dan memilah kosakata baku.

c. Mengamati, mengolah, dan menyajikan teks laporan buku tentang makanan dan rantai makanan, kesehatan manusia, keseimbangan ekosistem, serta alam dan pengaruh kegiatan manusia secara mandiri dalam bahasa Indonesia lisan dan tulis dengan memilih dan memilah kosakata baku.

Konsumen (siswa sekolah dan orang tua siswa)

a. Orang tua siswa memiliki peran untuk mengawasi kebiasaan jajan anak, mengarahkan, memberikan pemahaman, dan memberikan contoh kepada anak untuk mengkonsumsi jajanan yang aman. b. Membeli jajanan yang layak konsumsi dengan ciri-ciri sebagai

berikut (Kementerian Kesehatan RI 2011):

 Jajanan disimpan dalam wadah yang bersih dan tertutup

 Tidak banyak lalat yang menghinggapi jajanan

 Tidak beraroma basi/busuk

 Bila dimakan terasa pahit atau tidak enak

 Jajanan memiliki kemasan yang tertutup rapat

c. Mencuci tangan sebelum makan karena cemaran mikroorganisme dapat berasal dari konsumen yang kurang memperhatikan kebersihan. Berikut merupakan 10 langkah mencuci tangan yang benar (Kementerian Kesehatan RI 2011):

1. Basahi tangan dengan air dan tuang sabun ke telapak tangan 2. Gosok telapak tangan

3. Gosok punggung tangan kanan dan kiri secara bergantian 4. Gosok sela-sela jari tangan kanan dan kiri secara bergantian 5. Gosok ujung-ujung jari tangan kanan dan kiri secara

bergantian

6. Gosok ibu jari dan pergelangan tangan kanan dan kiri secara bergantian

7. Gosok telapak tangan dengan ujung-ujung jari kanan dan kiri secara bergantian, ini dilakukan sambil membersihkan kuku 8. Bilas kedua tangan dengan air bersih

9. Keringkan tangan dengan menggunakan tisu atau lap kering yang bersih

10.Matikan kran air dan bersihkan kran air yang digunakan untuk mencuci tangan

Cemaran Kimiawi

(36)

24

Tabel 8 Langkah-langkah perbaikan yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya cemaran kimiawi pengolahan maupun penyiapan bahan pangan. Hal tersebut dilakukan agar dapat menurunkan resiko kontaminasi dan memperpanjang umur simpan produk pangan sehingga tidak perlu menambahkan formalin sebagai bahan pengawet.

b. Menggunakan bahan tambahan pangan (BTP) yang diijinkan oleh BPOM.

Sekolah Sekolah dapat memberi edukasi mengenai bahan kimia berbahaya yang sering disalahgunakan serta bahayanya dan bahan tambahan pangan yang diijinkan. Selain itu, pihak sekolah dapat pula mengedukasi cara memilih jajanan yang bebas dari bahan kimia berbahaya kepada siswa-siswanya melalui kegiatan belajar mengajar di kelas. Berikut beberapa mata pelajaran dan kompetensi dasar pada Kurikulum SD/MI 2013 yang sesuai dengan materi tersebut:

 Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan Kelas IV dengan Kompetensi Dasar:

a. Memahami gizi dan menu seimbang dalam menjaga kesehatan tubuh.

 Bahasa Indonesia Kelas V dengan Kompetensi Dasar:

a. Memiliki kepedulian dan tanggung jawab terhadap makanan dan rantai makanan serta kesehatan melalui pemanfaatan bahasa Indonesia.

b. Menggali informasi dan teks laporan buku tentang makanan dan rantai makanan, kesehatan manusia, keseimbangan ekosistem, serta alam dan pengaruh kegiatan manusia dengan bantuan guru dan teman dalam bahasa Indonesia lisan dan tulis dengan memilih dan memilah kosakata baku.

c. Mengamati, mengolah, dan menyajikan teks laporan buku tentang makanan dan rantai makanan, kesehatan manusia, keseimbangan ekosistem, serta alam dan pengaruh kegiatan manusia secara mandiri dalam bahasa Indonesia lisan dan tulis dengan memilih dan memilah kosakata baku.

Konsumen (siswa sekolah dan orang tua siswa)

a. Orang tua siswa memiliki peran untuk mengawasi kebiasaan jajan anak, mengarahkan, memberikan pemahaman, dan memberikan contoh kepada anak untuk mengkonsumsi jajanan yang aman. b. Membeli jajanan yang tidak mengandung bahan kimia berbahaya.

Ciri-ciri jajanan yang mengandung bahan-bahan kimia berbahaya antara lain (Kementerian Kesehatan RI 2011):

 Tanda jajanan yang mengandung rhodamin B atau pewarna berbahaya lain adalah berwarna mencolok namun warnanya tidak merata, warna tertinggal di tangan, terasa sedikit pahit, dan gatal di tenggorokan setelah dikonsumsi.

 Tanda mi basah yang mengandung formalin adalah tampak lebih mengkilap, tidak lengket, dan tidak mudah mengalami kerusakan (tahan dua hari pada suhu ruang dan 15 hari pada pendingin).

(37)

25

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Ditinjau dari periode pengambilan contoh, kejadian TMS tertinggi untuk seluruh PJAS ditemukan pada pengambilan contoh tahun 2011 tahap II, sedangkan kejadian TMS terendah ditemukan pada pengambilan contoh tahun 2012 tahap II. Persentase PJAS yang TMS pada tahun 2011 cukup tinggi karena mencapai angka 50%, namun mengalami penurunan yang cukup drastis dan mencapai angka 20% pada tahun selanjutnya. Tahun 2013 menunjukkan adanya peningkatan kembali persentase PJAS yang TMS meskipun tidak setinggi pada tahun 2011. Pola perubahan persentase tiap tahun pada PJAS jenis bakso, makanan ringan, dan mi mengikuti pola perubahan persentase pada seluruh sampel. Hasil analisis ragam menunjukkan adanya keragaman baik antara rata-rata persentase TMS dengan provinsi pengambilan sampel maupun antara rata-rata persentase TMS dengan parameter keamanan yang diuji.

Persentase TMS pada makanan ringan dan mi cenderung lebih rendah dibandingkan pada bakso sehingga dapat dikatakan bahwa bakso adalah jenis PJAS yang paling sulit memenuhi syarat. Parameter keamanan yang paling sulit memenuhi syarat berbeda-beda pada tiap jenis PJAS. Dengan menggunakan diagram Pareto diketahui parameter keamanan dengan persentase TMS tertinggi pada masing-masing PJAS. Persentase TMS tertinggi menunjukkan masalah utama keamanan pangan pada PJAS. Masalah keamanan pangan utama pada bakso adalah angka lempeng total (ALT) dan koliform yang melebihi jumlah maksimal. Berdasarkan pengamatan yang dilakukan terhadap produsen dan penjaja bakso, pekerja merupakan sumber kontaminasi utama pada bakso. Masalah utama keamanan pangan pada mi adalah penyalahgunaan formalin dan E. coli yang melebihi batas maksimal. Sama halnya dengan bakso, sumber kontaminasi E. coli yang utama adalah pekerja. Sedangkan masalah utama keamanan pangan pada makanan ringan adalah penyalahgunaan boraks dan rhodamin B. Faktor utama terjadinya penyalahgunaan formalin, boraks, dan rhodamin B adalah motif ekonomi untuk meraih keuntungan yang lebih besar.

Saran

Kegiatan sampling PJAS yang dilakukan harus sesuai dengan Petunjuk Teknis Sampling PJAS agar data yang diperoleh lebih representatif. Selain itu, dibutuhkan analisis data lebih lanjut untuk mengetahui tingkat penyebaran PJAS yang tidak memenuhi syarat di Indonesia. Wawancara dan observasi lebih lanjut terhadap produsen dan pedagang PJAS juga diperlukan untuk menyusun langkah-langkah perbaikan yang lebih komprehensif.

(38)

26

DAFTAR PUSTAKA

Agustina C. 2002. Keamanan mikrobiologis makanan jajanan dari tiga kantin sekolah di Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Anonim. 2010. Bakso daging [Internet]. [diunduh 2014 Sep 30]. Tersedia pada: http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/27073/Tekno%20Pan gan_Bakso%20daging.pdf?sequence=1.

[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2005. Analisis risiko dalam sistem keamanan pangan. Keamanan Pangan. 4(8):1-2. [BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2006. Surat Keputusan Kepala Badan POM RI No. HK.00.05.52.4040 tentang Kategori Pangan. Jakarta (ID): BPOM RI.

[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2008. Keamanan Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS) serta upaya penanggulangannya. InfoPOM. 9(6):4-7.

[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2009. Sistem keamanan pangan terpadu pangan jajanan anak sekolah. Food Watch. 1:1-4. [BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2009.

Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No 00.06.1.52.4011 tentang Penetapan Batas Maksimum Cemaran Mikroba dan Kimia dalam Makanan. Jakarta (ID): BPOM RI.

[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2011. Peduli pangan jajanan anak sekolah. InfoPOM: 12(1):1-4

[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2011. Rhodamin B [Internet]. [diunduh 2014 Okt 13]. Tersedia pada: http://ik.pom.go.id/v2012/katalog/Rodamin%20B.pdf.

[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2012. Cara Produksi Pangan yang Baik untuk Industri Rumah Tangga. Jakarta (ID): BPOM RI.

[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2012. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 tentang Bahan Tambahan Pangan. Jakarta (ID): BPOM RI.

[BPOM RI] Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia. 2012. Masyarakat merupakan bagian penting dalam pengawasan pangan. WartaPOM. 15:5.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1992. Standar Nasional Nomor 01-2987-1992. Tentang Mi Basah. Jakarta: BSN.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 1995. Standar Nasional Indonesia Nomor 01-3829-1995. Tentang Es Batu. Jakarta: BSN.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2006. Standar Nasional Indonesia Nomor 01-3553-2006. Tentang Air Minum dalam Kemasan. Jakarta: BSN.

Cahyadi W. 2008. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Jakarta (ID): Bumi Aksara.

Gambar

Tabel 1  Parameter keamanan PJAS
Gambar 1.
Gambar 2  Persentase mi (n = 1953), makanan ringan (n = 4248), dan bakso (n =
Tabel 3  Signifikansi antar parameter keamanan PJAS
+7

Referensi

Dokumen terkait