KEPEDULIAN KONSUMEN TERHADAP LABEL DAN INFORMASI BAHAN TAMBAHAN PANGAN (BTP)
PADA LABEL KEMASAN PANGAN DI KOTA BOGOR
HENDRY NOER FADLILLAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kepedulian Konsumen terhadap Label dan Informasi Bahan Tambahan Pangan (BTP) pada Label Kemasan Pangan di Kota Bogor adalah benar-benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2016
RINGKASAN
HENDRY NOER FADLILLAH. Kepedulian Konsumen terhadap Label dan Informasi Bahan Tambahan Pangan (BTP) pada Label Kemasan Pangan di Kota Bogor. Di bawah supervisi LILIS NURAIDA dan EKO HARI PURNOMO.
Setiap produk pangan yang diedarkan wajib memiliki label pada kemasannya. Label tersebut dapat menjadi sarana komunikasi antara produsen dan konsumen. Kebiasaan membaca label dapat membantu konsumen untuk mengetahui informasi terkait produk yang akan dibeli. Beberapa informasi yang dimaksud antara lain mengenai produsen, keamanan, kandungan gizi, komposisi, dan lainnya. Salah satu informasi penting yang bisa diperoleh dari membaca label adalah mengenai BTP (Bahan Tambahan Pangan). Penggunaan BTP merupakan praktek yang umum terjadi dewasa ini. BTP adalah bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan. BTP bukan untuk dikonsumsi langsung, tetapi ditambahkan untuk tujuan dan fungsi tertentu, seperti menjaga kestabilan emulsi, memberi aroma atau rasa, meningkatkan cita rasa, memperpanjang umur simpan, mencegah penggumpalan, mempertahankan warna, dan lainnya. Hampir semua produk pangan dalam kemasan mengandung BTP dalam jenis dan jumlah yang spesifik. Walau digunakan dalam jumlah yang sedikit, penggunaan BTP diatur secara ketat. Di Indonesia, secara teknis, BTP diatur oleh Kementerian Kesehatan RI dan Badan POM RI. Beberapa hal yang diatur antara lain jenis yang diijinkan, batas maksimum penggunaan, persyaratan, hingga pencantuman pada label.
Tujuan penelitian ini adalah memperoleh data mengenai kebiasaan konsumen dalam membaca label, informasi yang dibaca oleh konsumen pada label, pengenalan konsumen terhadap BTP, dan seberapa besar kepedulian terhadap BTP. Hasil penelitian dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dan industri pangan untuk menyusun strategi dalam memberikan edukasi. Selain itu penelitian ini juga penting bagi produsen dalam pengembangan produk dan juga menyusun strategi promosi di pasar.
Penelitian ini menggunakan metode survei dengan mewawancarai responden. Area studi dilaksanakan di Kota Bogor. Responden dibagi ke dalam dua kelompok, yakni usia 15-24 tahun dan usia 24 tahun. Survei dilakukan dengan pengisian kuesioner dan wawancara kepada responden oleh enumerator. Responden diminta untuk mengisi setiap pertanyaan yang ada pada kuesioner. Pertanyaan dalam kuesioner dibagi dalam beberapa bagian, yang meliputi profil responden, kebiasaan membaca dan kepedulian terhadap label, serta pemahaman dan kepedulian mengenai BTP. Data diolah secara statistik dengan menggunakan Microsoft Excel dan SPSS.
memperhatikan nomor registrasi, nama produsen, dan berat/volume. Jumlah responden yang mengenal istilah BTP untuk kelompok 15-24 tahun dan >24 tahun masing-masing adalah 95% dan 73% dari yang membaca label. Secara statistik usia 15-24 tahun lebih mengenal istilah BTP dibandingkan kelompok usia >24 tahun. Sebanyak 19% responden selalu membaca informasi BTP pada kelompok 15-24 tahun, dan 24% pada kelompok >24 tahun. Sumber utama informasi BTP pada responden berusia 15-24 tahun adalah internet dan sekolah/kuliah. Sedangkan bagi responden berusia >24 tahun, sumber informasi BTP utamanya berasal dari televisi dan sekolah/kuliah. BTP yang paling banyak mendapat perhatian untuk kedua kelompok tersebut adalah perisa dan penguat rasa.
Hasil penelitian ini juga menunjukkan korelasi antara kebiasaan membaca label dengan jenis kelamin (pada usia 15-24 tahun), serta pendidikan dan pendapatan (pada usia 15-24 tahun dan >24 tahun). Responden wanita lebih sering membaca label dibandingkan responden pria pada kelompok 15-24 tahun. Selain itu, semakin tinggi pendidikan dan pendapatan juga menunjukkan kebiasaan membaca label lebih sering pada kedua kelompok tersebut.
SUMMARY
HENDRY NOER FADLILLAH. Consumer Awareness on Label of Food Packaging and Information of Food Additives in Bogor City. Supervised by LILIS NURAIDA dan EKO HARI PURNOMO.
Label on the food packaging is a compulsory. It could be communication media between producers and consumers. Consumer’s habit of reading the labels can help them to get information about the products to be purchased. The information includes the manufacturer, safety, nutrition content, composition, and others. One of the important information that can be obtained from reading the label is about food additives. The used of food additive is general practices in food industries. Food additive are substances added to food to improve properties of food. Food additives are not for direct consumption, but to provide spesific purpose and function, such as emulsifying, flavoring, enhancing taste, increasing shelf life, preventing cacking, protecting color, and others. Most of processed food contain food additive in certain amount. Evenhough it is used in small amount, food additive is tighly regulated. Technically, in Indonesia, food additives are regulated by Ministry of Health and National Agency of Food and Drug Control (NAFDC). The regulation include variety of food additive that can be added to food, maximum level permitted, requirement and information allowed on label.
This research was conducted to evaluate consumer’s habit in Bogor city in reading food label, their awareness on label information, understanding and awareness of food additives. The obtained data could be used by government and food industries to develop education program. Industries could also use the data for consideration in developing new products and develop promotion program.
The research was conducted by interviewing respondents in Bogor City. The respondent was divided into two groups. The first group was 15-24 years old respondent, and the second groups was >24 years old respondent. Question divided into several parts, including respondent profile, habit and awareness in reading label, understanding and awareness on food additives. Data are analyzed statistically by using Microsoft Excel and SPSS program.
respondents aged 15-24 years were internet and school /college. As for respondents aged> 24 years, food additive information mainly from television and school / college. Flavor and flavor enhancer were the most aware food additives by both group.
Hak Cipta Milik IPB, 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian dan seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.
KEPEDULIAN KONSUMEN TERHADAP LABEL DAN INFORMASI BAHAN TAMBAHAN PANGAN (BTP)
PADA LABEL KEMASAN PANGAN DI KOTA BOGOR
HENDRY NOER FADLILLAH
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Profesi
Pada
Program Studi Teknologi Pangan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Kepedulian Konsumen terhadap Label dan Informasi Bahan Tambahan Pangan (BTP) pada Label Kemasan Pangan di Kota
Bogor
Nama : Hendry Noer Fadlillah
NIM : F252124085
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Prof Dr Lilis Nuraida, MSc Dr Eko Hari Purnomo STP, MSc Ketua Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Pangan
Dr Ir Nurheni Sri Palupi, MSi Dr Ir Dahrul Syah, MscAgr
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-NYA sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2015 hingga September 2015 ini adalah Kepedulian Konsumen terhadap Label dan Informasi Bahan Tambahan Pangan (BTP) pada Label Kemasan Pangan di Kota Bogor.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr Ir Lilis Nuraida dan Dr Eko Hari Purnomo yang telah banyak memberikan saran untuk penyelesaian penelitian, serta Dr Ir Nurheni Sri Palupi yang juga memberi masukan terhadap hasil penelitian ini . Di samping itu, penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Bapak dan Ibu Pimpinan PT Media Pangan Indonesia yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas kepada penulis untuk penyelesaian studi. Ungkapan terima kasih juga dihaturkan kepada bapak, ibu, istri, dua buah hati, dan seluruh keluarga yang telah mendukung dan memberikan doa kepada Penulis. Kepada rekan-rekan di MPTP dan PT Media Pangan Indonesia, penulis juga menyampaikan terima kasih atas dukungan dan kebersamaannya selama ini, terutama pada saat penyelesaian studi. Semoga tesis ini bermanfaat.
Bogor, Februari 2016
DAFTAR ISI
Ruang Lingkup Penelitian 2
2 TINJAUAN PUSTAKA 3
Label Pangan 3
Bahan Tambahan Pangan (BTP) 3
Keamanan BTP 4
Peraturan Pelabelan BTP 6
Kepedulian terhadap Label 7
3 BAHAN DAN METODE PENELITIAN 11
Bahan dan Alat 11
Metode 11
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 16
Pengujian kuesioner 16
Profil Responden 17
Perilaku Konsumen dalam Membaca Label 17
Pengaruh Label terhadap Keputusan Pembelian 18
Informasi yang Diperhatikan pada Label 20
Pengenalan Responden terhadap BTP 21
Jenis BTP yang Menjadi Perhatian Konsumen 26
BTP Pemanis 26
BTP Pewarna 27
BTP Pengawet 28
BTP Penguat Rasa 29
BTP Perisa 30
Hasil Uji Korelasi 31
5 SIMPULAN DAN SARAN 34
DAFTAR PUSTAKA 35
LAMPIRAN 38
RIWAYAT HIDUP 50
DAFTAR TABEL
1. Jenis informasi pada label yang diperhatikan oleh konsumen Amerika Serikat
8
Irlandia
4. Perbaikan yang dilakukan berdasarkan pengujian kuesioner 16 5. Karakteristik responden yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
untuk kepedulian terhadap label dan informasi BTP
18
6. Alasan responden membaca label 19
7. Alasan responden tidak membaca label 20
8. Hasil uji ranking terhadap informasi yang diperhatikan konsumen saat membaca label
22
9. Alasan responden membaca informasi BTP 25
10. Alasan responden tidak membaca informasi BTP 26 11. BTP yang paling menjadi perhatian responden 27 12. Alasan responden membeli produk yang mengandung BTP pemanis 27 13. Alasan responden membeli produk yang mengandung BTP pewarna 29 14. Alasan responden membeli produk yang mengandung BTP
pengawet
29
15. Alasan responden membeli produk yang mengandung BTP penguat rasa
30
16. Alasan responden membeli produk yang mengandung BTP perisa 31 17. Hasil uji korelasi antara profil responden dengan label dan informasi
BTP
33
18. Korelasi antara jenis kelamin, pendidikan dan pendapatan dengan kebiasaan membaca label
34
DAFTAR GAMBAR
1. Fungsi BTP menurut konsumen Amerika Serikat 8
2. Frekuensi membaca label konsumen Irlandia 9
3. Informasi pada label pangan yang menjadi perhatian konsumen Irlandia 9
4. Tahapan penelitian 12
5. Penentuan jumlah responden berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi 14
6. Tahapan pelaksanaan survei 15
7. Frekuensi jawaban responden pada pengujian kuesioner 17 8. Kebiasaan konsumen berdasarkan tingkat usia dalam membaca label 19 9. Pengaruh label terhadap keputusan pembelian responden berdasarkan
tingkatan usia
21
10.Pengenalan responden berdasarkan kelompok usia terhadap istilah BTP 23 11.Tingkat kepentingan informasi BTP berdasarkan kelompok usia
responden
23
12.Sumber informasi BTP bagi responden berdasarkan kelompok usia 24 13.Kebiasaan konsumen berdasarkan kelompok usia dalam membaca
informasi BTP
25
14.Pengaruh informasi BTP terhadap keputusan pembelian 25 15.Pengaruh kandungan BTP pemanis terhadap keputusan Pembelian
responden berdasarkan tingkatan usia
27
16.Pengaruh kandungan BTP pewarna terhadap keputusan pembelian berdasarkan tingkatan usia
28
berdasarkan tingkatan usia
18. Pengaruh kandungan BTP penguat rasa terhadap keputusan pembelian berdasarkan tingkatan usia
30
19. Pengaruh kandungan BTP perisa terhadap keputusan pembelian berdasarkan tingkatan usia
31
DAFTAR LAMPIRAN
1 Kuesioner sebagai instrumen pengumpulan data 39
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Label pangan adalah setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan pangan (PP, 1999). Pemberian label pangan bertujuan untuk memberikan informasi yang benar dan jelas kepada masyarakat tentang setiap produk pangan yang dikemas sebelum membeli dan/atau mengonsumsi pangan (UU, 2012). Oleh sebab itu, konsumen perlu memberikan perhatian yang cukup terhadap informasi yang tercantum pada label pangan, termasuk diantaranya mengenai bahan tambahan pangan.
Penggunaan bahan tambahan pangan (BTP) dalam produk pangan merupakan praktek yang umum terjadi di industri pangan. Hampir semua produk pangan dalam kemasan mengandung BTP. Industri menggunakan BTP untuk fungsi tertentu, karena BTP dalam produk pangan memiliki sifat dan peranan yang spesifik. Berdasarkan fungsinya, CAC (2014a) membagi BTP ke dalam beberapa kelas, yakni sebagai pengatur keasaman, antikempal, antibuih, antioksidan, pemutih, peningkat volume, pengkarbonasi, pembawa, peretensi warna, pengemulsi, garam pengemulsi, pengeras, penguat flavor, perlakuan tepung, pembuih, pembentuk gel, pelapis, humektan, gas untuk kemasan, pengawet, propelan, sekuestran, penstabil, pemanis, dan pengental.
Penggunaan BTP diatur secara ketat, bukan hanya di Indonesia, tetapi juga di dunia internasional. Sebelum digunakan, BTP harus mendapat ijin terlebih dahulu dari lembaga terkait. Di Indonesia, BTP wajib terlebih dahulu didaftarkan ke Badan POM RI. Praktek penggunaan BTP telah diatur oleh Pemerintah, baik dalam bentuk Undang-undang (Undang-undang No. 18 tahun 2012 tentang Pangan), Peraturan Menteri Kesehatan (Peraturan Menteri Kesehatan No. 033 tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan), atau Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. No. HK.03.1.23.11.11.09909 tahun 2011 tentang Pengawasan Klaim dalam Label dan Iklan Pangan Olahan, Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI No. 4 tahun 2014 tentang Batas Maksimum Penggunaan BTP Pemanis, dan lain-lain). Beberapa hal yang diatur antara lain meliputi jenis dan batas maksimum penggunaan BTP, pencantumannya pada label, dan lainnya. Namun demikian, masih banyak praktek-praktek penggunaan BTP yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, antara lain dosis yang menyalahi aturan, penggunaan bahan kimia berbahaya yang bukan diperuntukkan sebagai BTP, dan lainnya.
Sebaliknya, bagi penderita diabetes, sangat penting untuk memilih produk dengan pemanis rendah kalori.
Perhatian terhadap BTP juga penting untuk menakar jumlah yang boleh dikonsumsi, sebab sebagian diantaranya memiliki nilai ADI (acceptable daily intake). Artinya konsumen tidak boleh berlebihan dalam mengonsumsi BTP tertentu, karena dapat menimbulkan masalah bagi kesehatan. Oleh sebab itu informasi dan pengetahuan mengenai BTP sangat penting bagi konsumen. Pemerintah melalui Undang-undang No. 18 tahun 2012 tentang pangan mewajibkan produsen untuk mencantumkan label pada kemasan. Salah satu informasi yang wajib dicantumkan pada dalam label adalah daftar bahan yang digunakan, termasuk di dalamnya bahan tambahan pangan (BTP).
Konsumen perlu menjadikan BTP sebagai salah satu bahan pertimbangan untuk memilih dan membeli produk pangan. Pemahaman dan perhatian terhadap BTP produk pangan dapat membantu konsumen dalam memilih produk yang tepat dan meminimalkan risiko kesehatan yang mungkin dapat muncul karena BTP.
Perumusan Masalah
Label merupakan sarana yang penting bagi konsumen untuk menilai suatu produk pangan, termasuk BTP. Namun demikian, saat ini masih terdapat keterbatasan data mengenai perilaku dan kebiasaan konsumen membaca label, serta jenis informasi yang diperlukan konsumen pada label. Bahkan untuk BTP, studi yang secara khusus mengevaluasi pemahaman dan kepedulian konsumen masih terbatas, sehingga dapat menyulitkan bagi pemerintah dan produsen dalam menentukan strategi edukasi dan promosi yang tepat.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan data dan informasi mengenai perilaku dan kebiasaan konsumen dalam membaca label, termasuk jenis informasi yang diperhatikan pada label. Selain itu, penelitian ini untuk mengevaluasi apakah responden mengenal BTP dan juga seberapa besar kepedulian responden terhadap informasi BTP pada label kemasan pangan.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini dapat memberi informasi mengenai perilaku dan kebiasaan konsumen dalam membaca label, serta tingkat pengenalan dan kepedulian konsumen terhadap informasi BTP pada label. Data yang diperoleh dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pemerintah dan industri pangan dalam mendesain strategi edukasi dan promosi bagi konsumen. Data yang ada juga bisa digunakan sebagai masukan bagi pengembangan produk baru di industri pangan.
Ruang Lingkup Penelitian
dapat memperoleh informasi BTP yang digunakan, sesuai yang tercantum pada label pangan.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Label pangan
Menurut Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, label pangan didefinisikan sebagai setiap keterangan mengenai pangan yang berbentuk gambar, tulisan, kombinasi keduanya, atau bentuk lain yang disertakan pada pangan, dimasukkan ke dalam, ditempelkan pada, atau merupakan bagian kemasan pangan. Pemberian label pangan bertujuan untuk memberikan informasi yang benar dan jelas kepada masyarakat tentang setiap produk pangan yang dikemas sebelum membeli dan/atau mengonsumsi pangan. Informasi yang dimaksud adalah yang terkait dengan asal, keamanan, mutu, kandungan gizi, dan keterangan lain yang diperlukan (UU, 2012).
Setiap orang yang memproduksi atau memasukkan pangan yang dikemas ke dalam wilayah Indonesia untuk diperdagangkan wajib mencantumkan Label pada, di dalam, dan atau di kemasan pangan. Label sebagaimana dimaksud berisikan keterangan mengenai pangan yang bersangkutan, sekurang-kurangnya terdiri dari nama produk; daftar bahan yang digunakan; berat bersih atau isi bersih; nama dan alamat pihak yang memproduksi atau memasukkan pangan ke dalam wilayah Indonesia; serta tanggal, bulan dan tahun kedaluwarsa (PP, 1999).
Bahan Tambahan Pangan (BTP)
Bahan Tambahan Pangan (BTP) merupakan bahan yang ditambahkan ke dalam pangan untuk mempengaruhi sifat atau bentuk pangan (Kemenkes, 2012). Sedangkan CAC (2014b) mendefinisikan bahan tambahan pangan (food additives) sebagai senyawa yang tidak dikonsumsi dalam bentuk tunggal secara langsung dan tidak digunakan sebagai ingridien pangan, baik mempunyai nilai gizi atau tidak, yang penambahannya bertujuan untuk tujuan teknologi (termasuk organoleptik) dalam pengolahan, penyiapan, perlakukan, pengemasan, transportasi, atau alasan lainnya -baik berdampak secara langsung atau tidak, dimana penambahannya dapat mempengaruhi karakteristik pangan. Definisi tersebut senada dengan persyaratan BTP yang ditetapkan Kemenkes (2012), yakni:
a. BTP tidak dimaksudkan untuk dikonsumsi secara langsung dan/atau tidak diberlakukan sebagai bahan pangan.
b. BTP dapat mempunyai atau tidak mempunyai nilai gizi, yang sengaja ditambahkan ke dalam pangan untuk tujuan teknologis pada pembuatan, pengolahan, perlakuan, pengepakan, pengemasan, penyimpanan, dan/atau pengangkutan pangan untuk menghasilkan atau diharapkan menghasilkan suatu komponen atau mempengaruhi sifat pangan tersebut, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Keamanan BTP
Keamanan pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia, serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi (UU, 2012). Salah satu fokus perhatian dalam penyelenggaraan keamanan pangan dalam Undang-undang tersebut adalah pengaturan terhadap bahan tambahan pangan. Pemerintah berkewajiban memeriksa keamanan bahan yang akan digunakan sebagai bahan tambahan Pangan yang belum diketahui dampaknya bagi kesehatan manusia dalam kegiatan atau proses produksi pangan untuk diedarkan. Pemeriksaan keamanan bahan tambahan dilakukan untuk mendapatkan izin peredaran. Setiap orang yang melakukan produksi pangan untuk diedarkan dilarang menggunakan: a) bahan tambahan pangan yang melampaui ambang batas maksimal yang ditetapkan; dan/atau b) bahan yang dilarang digunakan sebagai bahan tambahan pangan.
Dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 033 tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan (BTP) hanya boleh digunakan bila tidak melebihi batas maksimum penggunaan dalam kategori pangan. Selain itu, penambahan dan pengurangan jenis BTP serta batas maksimum penggunaan dalam kategori pangan harus mempertimbangkan persyaratan kesehatan berdasarkan bukti ilmiah yang sahih. Pengkajian dilakukan oleh Tim Mitra Bestari, yakni kelompok pakar yang ditetapkan oleh Kepala Badan untuk melakukan pengkajian dan memberikan rekomendasi tentang penggunaan komponen baru serta klaim gizi dan kesehatan.
Batas Maksimum adalah jumlah maksimum BTP yang diizinkan terdapat pada pangan dalam satuan yang ditetapkan. Batas Maksimum penggunaan BTP dapat berupa suatu nilai tertentu atau berdasarkan good manufacturing practices. Batas Maksimum Cara Produksi Pangan yang Baik atau good manufacturing practice adalah jumlah BTP yang diizinkan terdapat pada pangan dalam jumlah secukupnya yang diperlukan untuk menghasilkan efek yang diinginkan (BPOM, 2014).
Secara internasional, di CAC (2014b), kajian keamanan BTP dilakukan oleh oleh Joint FAO/WHO Expert Committee on Food Additives (JECFA). Setelah lolos pengujian, kemudian mendapatkan nomor INS (International Numbering System). Sementara itu di Uni Eropa, kajian terhadap keamanan BTP dilakukan oleh suatu panel ilmiah yang ditetapkan oleh EFSA (European Food Safety Authority). BTP yang telah mendapatkan ijin penggunaannya kemudian diberikan nomor E.
Penetapan batas maksimum BTP yang bisa digunakan mengacu pada nilai ADI (Acceptable Daily Intake) atau Asupan Harian yang Dapat Diterima. ADI didefinisikan sebagai jumlah maksimum bahan tambahan pangan dalam miligram per kilogram berat badan yang dapat dikonsumsi setiap hari selama hidup tanpa menimbulkan efek merugikan terhadap kesehatan (Kemenkes, 2012).
(chloramphenicol), minyak nabati yang dibrominasi (brominated vegetable oils), nitrofurazon (nitrofurazone), dulkamara (dulcamara), kokain (cocaine), nitrobenzen (nitrobenzene), sinamil antranilat (cinamyl anthranilate), dihidrosafrol (dihydrosafrole), biji tonka (tonka bean), minyak kalamus (calamus oil), minyak tansi (tansy oil), dan minyak sasafras (sasafras oil).
BTP terdiri dari banyak jenis. Peraturan Menteri Kesehatan RI (2012) membagi BTP dalam 27 golongan berdasarkan fungsinya, yakni antibuih (antifoaming agent), antikempal (anticacking agent), antioksidan (antioxidant), bahan pengkarbonasi (carbonating agent), garam pengemulsi (emulsifying salt), gas untuk kemasan (packaging gas), humektan (humectant), pelapis (glazing agent), pemanis (sweetener), pembawa (carrier), pembentuk gel (gelling agent), pembuih (foaming agent), pengatur keasaman (acidity regulator), pengawet (preservative), pengembang (raising agent), pengemulsi (emulsifier), pengental (thickener), pengeras (firming agent), penguat rasa (flavor enhancer), peningkat volume (bulking agent), penstabil (stabilizer), peretensi warna (colour retention agent), perisa (flavouring), perlakuan tepung (flour treatment agent), pewarna (colour), propelan (propellant), dan sekuestran (sequestrant). Di dalam golongan tersebut terdapat beberapa jenis BTP, misalnya untuk antibuih, terdiri dari kalsium alginat (calcium alginate) serta mono dan digliserida asam lemak (mono- and di-glycerides of fatty acids).
Beberapa jenis BTP yang sering menjadi perhatian konsumen antara lain:
BTP Pemanis
Pemanis (sweetener) adalah bahan tambahan pangan berupa pemanis alami dan pemanis buatan yang memberikan rasa manis pada produk pangan. Pemanis alami (natural sweetener) merupakan pemanis yang dapat ditemukan dalam bahan alam meskipun prosesnya secara sintetik ataupun fermentasi, sedangkan pemanis buatan (artificial sweetener) didefinisikan sebagai pemanis yang diproses secara kimiawi, dan senyawa tersebut tidak terdapat di alam. Pemanis alami yang diijinkan penggunaannya di Indonesia antara lain sorbitol (sorbitol), manitol (mannitol), isomalt/isomaltitol (Isomalt/Isomaltitol), glikosida steviol (steviol glycoside), maltitol (maltitol), laktitol (lactitol), silitol (xylitol), dan eritritol (erythritol). Sedangkan pemanis buatan yang diijinkan adalah asesulfam-K (acesulfame potassium), aspartam (aspartame), siklamat (cyclamates), sakarin (saccharins), sukralosa (sucralose/ Trichlorogalactosucrose), dan neotam (neotame) (BPOM, 2014).
BTP Pewarna
klorofilin tembaga kompleks CI. No. 75810 (chlorophylls and chlorophyllins, copper complexes), karamel I (caramel I – plain), karamel III amonia proses (caramel III - ammonia process), karamel IV amonia sulfit proses (caramel IV - sulphite ammonia process), karbon tanaman CI. 77266 (Vegetable carbon), beta-karoten (sayuran) CI. No. 75130 (carotenes, beta (vegetable), ekstrak anato CI. No. 75120 (berbasis bixin) (annatto extracts, bixin based), karotenoid (Carotenoids), merah bit (beet red), antosianin (anthocyanins), dan titanium dioksida CI. No. 77891 (titanium dioxide). Sedangkan pewarna buatan yang diijinkan antara lain tartrazin CI. No. 19140 (tartrazine), kuning kuinolin CI. No. 47005 (quinoline yellow), kuning FCF CI. No. 15985 (Sunset yellow FCF), karmoisin CI. No. 14720 (azorubine (carmoisine)), ponceau 4R CI. No. 16255 (Ponceau 4R (cochineal red A)), eritrosin CI. No. 45430 (erythrosine), merah allura CI. No. 16035 (allura red AC), indigotin CI. No. 73015 (Indigotine (indigo carmine)), biru berlian FCF CI No. 42090 (brilliant blue FCF); hijau FCF CI. No. 42053 (fast green FCF), dan coklat HT CI. No. 20285 (brown HT) (BPOM, 2013a).
BTP Pengawet
Pengawet (preservative) adalah bahan tambahan pangan untuk mencegah atau menghambat fermentasi, pengasaman, penguraian, dan perusakan lainnya terhadap pangan yang disebabkan oleh mikroorganisme. Pengawet yang diijinkan penggunaannya antara lain asam sorbat dan garamnya (sorbic acid and its salts), asam benzoat dan garamnya (benzoic acid and its salts), etil para-hidroksibenzoat (ethyl hydroxybenzoate), metil hidroksibenzoat (methyl para-hydroxybenzoate), sulfit (sulphites), nisin (nisin), nitrit (nitrites), nitrat (nitrates), asam propionat dan garamnya (propionic acid and its salts) serta lisozim hidroklorida (lysozyme hydrochloride) (BPOM, 2013b).
BTP Penguat rasa
Penguat rasa (Flavour enhancer) adalah bahan tambahan pangan untuk memperkuat atau memodifikasi rasa dan/atau aroma yang telah ada dalam bahan pangan tersebut tanpa memberikan rasa dan/atau aroma tertentu. BTP penguat rasa yang diijinkan di Indonesia antara lain asam L-glutamat dan garamnya (L-Glutamic acid and its salts), asam guanilat dan garamnya (guanylic acid and its salts), asam inosinat dan garamnya (inosinic acid and its salts), serta garam-garam dari 5’-ribonukleotida (salts of 5’-ribonucleotides) (BPOM, 2013c).
BTP Perisa
Perisa (flavouring) adalah bahan tambahan pangan berupa preparat konsentrat dengan atau tanpa ajudan perisa (flavouring adjunct) yang digunakan untuk memberi flavour dengan pengecualian rasa asin, manis dan asam. Perisa (flavouring) dikelompokkan menjadi perisa alami, perisa identik alami, dan perisa artifisial (Permenkes, 2012).
Peraturan pelabelan BTP
disebutkan bahwa informasi yang wajib tercantum pada label antara lain nama produk; daftar bahan yang digunakan; berat bersih atau isi bersih, nama dan alamat pihak yang memproduksi atau mengimpor; halal bagi yang dipersyaratkan; tanggal dan kode produksi; tanggal, bulan, dan tahun kedaluwarsa; nomor izin edar bagi pangan olahan; dan asal usul bahan pangan tertentu (UU No. 18 tahun 2012).
Keterangan tentang bahan yang digunakan dalam kegiatan atau proses produksi pangan dicantumkan pada Label sebagai daftar bahan secara berurutan dimulai dari bagian yang terbanyak, kecuali vitamin, mineral dan zat penambah gizi lainnya (PP No. 69 tahun 1999). Untuk pangan yang mengandung Bahan Tambahan Pangan, pada Label wajib dicantumkan golongan Bahan Tambahan Pangan. Bila BTP yang digunakan memiliki nama dan atau kode internasional, pada Label dapat dicantumkan nama Bahan Tambahan dan kode internasional dimaksud, kecuali BTP berupa pewarna. Untuk pewarna, selain pencantuman golongan dan nama BTP, pada Label wajib dicantumkan indeks pewarna yang bersangkutan (PP, 2009). Lebih lanjut dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 033 tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan disebutkan BTP golongan antioksidan, pemanis buatan, pengawet, pewarna, dan penguat rasa, wajib dicantumkan pula nama jenis BTP, dan nomor indeks khusus untuk pewarna. Sedangkan pada label sediaan BTP, wajib dicantumkan a) tulisan “Bahan Tambahan Pangan”, b) nama golongan BTP, c) nama jenis BTP, dan d) nomor pendaftaran produsen BTP, kecuali untuk sediaan pemanis dalam bentuk table top.
Selain itu, pada label pangan yang mengandung pemanis buatan, wajib dicantumkan tulisan “Mengandung pemanis buatan, disarankan tidak dikonsumsi oleh anak di bawah 5 (lima) tahun, ibu hamil, dan ibu menyusui”. Sedangkan pada label pangan untuk penderita diabetes dan/atau makanan berkalori rendah yang menggunakan pemanis buatan wajib dicantumkan tulisan “Untuk penderita diabetes dan/atau orang yang membutuhkan makanan berkalori rendah.” Produk yang menggunakan pemanis aspartam juga wajib memberikan peringatan pada label berupa “Mengandung fenilalanin, tidak cocok untuk penderita fenilketonurik.” Peringatan lain yang wajib dicantumkan pada label adalah jika menggunakan poliol, yakni berupa tulisan “Konsumsi berlebihan mempunyai efek laksatif.” Pangan yang menggunakan gula dan pemanis buatan juga wajib mencantumkan tulisan “Mengandung gula dan pemanis buatan” (BPOM, 2012). Tidak hanya untuk pemanis, pada label pangan olahan yang mengandung perisa, wajib dicantumkan nama kelompok perisa dalam daftar bahan atau ingredient. Termasuk juga BTP ikutan (carry over), wajib dicantumkan setelah bahan yang mengandung BTP tersebut (BPOM, 2012).
Kepedulian terhadap label
informasi nilai gizi, petunjuk memasak, dan juga informasi terhadap ada tidaknya jenis ingridien tertentu (Tabel 1). Selain itu, diungkapkan konsumen Amerika Serikat percaya bahwa penambahan BTP bertujuan untuk memberikan manfaat tertentu. Beberapa manfaat dari penambahan BTP yang diketahui oleh konsumen Amerika Serikat adalah mempertahankan kesegaran, meningkatkan warna, dan menjaga flavor. Sedangkan dalam jumlah kecil menyadari keberadaan BTP yang berfungsi sebagai anti bakteri (Gambar 1). Sementara itu penelitian yang dilakukan oleh Kozelova et al.. (2012) melaporkan, mayoritas (87%) konsumen mengetahui informasi dan fungsi dari BTP. Ketepatan jawaban kuesioner dalam penelitian tersebut sangat dipengaruhi oleh usia dan tingkat pendidikan.
Tabel 1. Jenis informasi pada label yang diperhatikan oleh konsumen Amerika Serikat (IFIC, 2012)
Jenis Informasi %
Masa kedaluwarsa* 76
Informasi nilai gizi 66
Komposisi ingridien* 51
Takaran saji 50
Kalori dan informasi gizi pada bagian depan kemasan* 48
Merek 46
Petunjuk memasak/waktu penyiapan* 45
Pernyataan mengenai klaim gizi 42
Pernyataan mengenai klaim kesehatan 30
Pernyataan mengenai keberadaan ingridien tertentu* 24
Lainnya 4
Tidak satupun dari penyataan di atas 3
* Konsumen usia lanjut, khususnya yang berusia 65 hingga 80 tahun, memiliki kecenderungan melihat informasi tersebut. Hal ini dikarenakan pengalaman yang dimilikinya, sehingga lebih berhati-hati dalam menjaga kesehatan dan memilih makanan yang akan dibeli.
Penelitian yang dilakukan oleh Food Safety Authority of Ireland (2009) menunjukkan, sebanyak 25% responden Irlandia selalu membaca label ketika akan membeli produk pangan (Gambar 2). Informasi yang paling dicari ketika membaca label adalah informasi nilai gizi, jumlah kalori, dan ingridien tertentu (Gambar 3).
Gambar 2. Frekuensi membaca label konsumen Irlandia (FSAI, 2009)
Gambar 3. Informasi pada label pangan yang menjadi perhatian konsumen Irlandia (FSAI, 2009)
sempit, kekurangan informasi akan pentingnya label, bingung karena terlalu banyak informasi pada label, dan lainnya.
Tabel 2. Tingkat kepentingan informasi pada label bagi respoden (FSAI, 2009).
Informasi ingridien oleh konsumen Irlandia (FSAI, 2009)
Fungsi %
Tidak menggunakan 31
Mengetahui jumlah masing-masing ingridien 29
Mempengaruhi pembelian 22
Menghitung kalori dan lemak 13
Memperkirakan jumlah garam dan gula 6
Tidak memberikan jawaban 2
Memperkirakan zat gizi 2
Tidak tahu 1
Menghitung pengawet 1
Menentukan mutu 0.4
3 BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Bahan dan alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini antara lain 1) kuesioner sebagai instrumen pengumpulan data, 2) label produk pangan sebagai contoh, serta 3) program SPSS serta excel untuk pengolahan data.
Metode
Pelaksanaan penelitian menggunakan metode survei dengan interview secara langsung oleh enumerator. Namun sebelumnya, terlebih dahulu dilakukan penetapan responden, penyusunan kuesioner, pelatihan enumerator, dan pengujian kuesioner. Setelah itu, kemudian dilakukan survei di area Kota Bogor, pada bulan Juni hingga September. Gambar 4 menunjukkan tahapan penelitian yang dilakukan. Kuesioner lengkap disajikan pada Lampiran 1.
Penetapan responden
Dalam penelitian ini dipilih kelompok usia 15-24 dan >24 tahun. Kelompok usia 15-24 tahun termasuk dalam pengelompokan usia tertentu dan digunakan untuk mengevaluasi sasaran program pendidikan remaja. Usia tersebut berada dalam masa sekolah menengah dan perguruan tinggi (BPS, 2014). Penelitian ini mengevaluasi kelompok usia di atasnya (>24 tahun), karena kedua kelompok (15-24 dan >24 tahun) tersebut memiliki perbedaan karakter (seperti pendidikan, pekerjaan, dan pendapatan), yang kemungkinan dapat mempengaruhi kebiasaan membaca label dan kepedulian terhadap informasi BTP. Berdasarkan hal tersebut, kriteria inklusi dalam untuk mengetahui kebiasaan responden dalam membaca label adalah penduduk kota Bogor berusia 15-24 tahun dan lebih dari 24 tahun, serta berbelanja produk dalam kemasan. Sementara itu, untuk menggali kepedulian responden terhadap label maka untuk kriteria eksklusi ditambah konsumen yang tidak membaca label. Untuk kepedulian responden terhadap informasi BTP, kriteria eksklusinya bertambah tidak membaca informasi BTP pada label kemasan (Gambar 5).
Survei dilakukan di beberapa tempat umum, seperti sekolah, tempat perbelanjaan, kantin, dan lainnya. Data Badan Pusat Statistik (BPS, 2015) menyebutkan jumlah penduduk kota Bogor mencapai 1.013.019 jiwa. Berdasarkan rumus Slovin maka jumlah sampel (Sevilla, 2007) yang perlu diambil untuk masing-masing kelompok adalah 100 orang.
Keterangan:
N = ukuran populasi n = ukuran sampel
e = nilai batas ketelitian kesalahan dalam penarikan sampel (presisi yang ditetapkan 10%, dengan tingkat kepercayaan 90%)
Gambar 4. Tahapan penelitian
Total responden yang memenuhi kriteria inklusi dalam survei ini adalah 201 orang untuk kelompok usia 15-24 tahun dan 150 orang untuk kelompok usia >24 tahun. Kelompok responden 15-24 tahun terdiri dari 100 orang berjenis kelamin laki-laki, dan 101 orang berjenis kelamin perempuan. Gambar 5 menunjukkan jumlah responden yang memenuhi kriteria eksklusi pada berbagai bagian survei yang telah dilakukan.
Penyusunan kuesioner
Kuesioner dibagi menjadi 4 bagian, untuk mengetahui profil responden, kepedulian tentang label, pengetahuan tentang BTP, dan pengaruh informasi BTP
Penetapan responden
Penyusunan kuesioner
Pelatihan enumerator
Pengujian kuesioner
Pelaksanaan survei
terhadap keputusan untuk membeli. Lampiran 2 menunjukkan informasi yang ingin diketahui dari penyusunan kuesioner. Kuesioner disusun dengan menggunakan pertanyaan tertutup.
Pelatihan enumerator
Pelaksanaan survei melibatkan 2 orang enumerator yang berasal dari Mahasiswa Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, FATETA IPB. Sebelum pelaksanaan, enumerator memperoleh dua kali pelatihan. Materi pelatihan meliputi pemahaman istilah BTP, prosedur survei, penentuan target responden, dan juga tata cara menyampaikan pertanyaan.
Pengujian kuesioner
Pengujian kuesioner dilakukan untuk mengetahui apakah pertanyaan yang dibuat mampu menghasilkan data yang sesuai dan juga dapat menjawab tujuan yang ingin dicapai. Jumlah responden untuk tahapan ini adalah 15 orang untuk masing-masing kelompok. Enumerator melakukan survei dengan menggunakan kuesioner yang telah disusun. Setelah itu dilakukan evaluasi, apakah pertanyaan dan pilihan jawaban yang diberikan dapat diterima dengan jelas oleh responden atau tidak. Jika masih belum jelas, maka pertanyaan dan jawaban direvisi, sehingga dapat lebih dimengerti maksudnya oleh responden.
Pelaksanaan survei
Survei dilakukan melalui pengisian kuesioner dan wawancara kepada responden oleh enumerator. Responden diminta untuk menjawab setiap pertanyaan yang ada pada kuesioner. Data kuesioner yang diperoleh lalu dipisah berdasarkan kelompok usia dan diolah secara statistik. Tahapan survei dapat dilihat pada Gambar 5.
Pengolahan data
Gambar 5. Penentuan jumlah responden berdasarkan kriteria inklusi dan eksklusi membaca
membaca
Sampling
Kriteria inklusi:
Membeli produk pangan olahan dalam kemasan
Penduduk Kota Bogor
Usia 15-24 tahun & >24 tahun
15-24 tahun
Gambar 6. Tahapan pelaksanaan survei
Pemahaman
istilah BTP
Ya
Tidak Stop
Mencukupi n & menyeimbangka n pria & wanita
Tidak
Survei
Profil responden
Kebiasaan membaca label
Alasan
Wanita/ Pria seimbang
n<100
Informasi yang ingin diketahui
Selalu/kadang2 Tidak
BTP yang menjadi perhatian Kepedulian terhadap informasi BTP
Alasan
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian kuesioner
Berdasarkan pengujian kuesioner terhadap masing-masing 15 responden berusia 15-24 tahun dan >24 tahun, diperoleh beberapa masukan perbaikan kuesioner. Tabel 4 menunjukkan masukan dan perbaikan yang dilakukan berdasarkan pengujian tersebut.
Tabel 4. Perbaikan yang dilakukan berdasarkan pengujian kuesioner
No. pertanyaan
Pertanyaan Keterangan
Sebelum perbaikan Setelah perbaikan
Beberapa jawaban responden masih belum sesuai dengan tujuan survei. Sebagai contoh pada pertanyaan nomor 8, dimana beberapa responden menganggap produk pangan yang dimaksud adalah termasuk pangan segar (daging, sayur-mayur, dan lain-lain) yang tidak memiliki nomor registrasi. Komposisi responden yang menjawab sesuai, tidak sesuai, dan bahkan tidak menjawab (karena tidak mengerti) disajikan pada Gambar 7.
Gambar 7. Frekuensi jawaban responden pada saat pengujian kuesioner
Profil responden
Dari segi pendidikan, kelompok 15-24 tahun didominasi oleh SMA (135 orang) dan kemudian diikuti oleh S1 (23 orang). Sebaliknya, kelompok > 24 tahun didominasi oleh S1 (80 orang), dan SMA (35 orang). Selain pendidikan, perbedaan juga terlihat dari segi pendapatan, pekerjaan, dan pengeluaran untuk pangan. Sedangkan dari frekuensi berbelanja, kelompok 15-24 tahun didominasi oleh responden yang berbelanja produk pangan dalam kemasan setiap hari, lebih dari sekali setiap minggu, atau minimum satu minggu sekali. Berbeda dengan kelompok >24 tahun, dimana frekuensinya lebih tersebar merata, terutama dalam sekali seminggu, dua minggu sekali, tiga minggu sekali, hingga satu bulan sekali. Dari segi tujuan berbelanja, responden berusia 15-24 tahun sebagian besar berbelanja untuk dirinya sendiri. Berbeda dengan kelompok >24 tahun yang sebagian besar berbelanja untuk keluarga. Karakteristik responden selengkapnya yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi, kepedulian terhadap label dan kepedulian terhadap BTP dalam survei ini dapat dilihat pada Tabel 5.
N
o
pertan
y
aan
Usia (tahun)
Kriteria Kepedulian terhadap Label
Pengaruh Label Kepedulian terhadap BTP
Perilaku konsumen dalam membaca label
Label merupakan sarana komunikasi antara produsen dengan konsumennya. Oleh sebab itu, membaca label dapat membantu konsumen untuk mendapatkan informasi mengenai produk yang dibeli. Dalam penelitian ini, responden ditanya mengenai kebiasaan dalam membaca label ketika membeli produk pangan dalam kemasan. Hasilnya, pada kelompok responden berusia 15-24 tahun, 67 orang (33%) menjawab selalu membaca label, 99 orang (49%) menjawab kadang-kadang, dan 35 orang (18%) tidak membaca label ketika membeli produk pangan. Sedangkan kelompok responden berusia >24 tahun, sebagian besar (101 orang, 67%) selalu membaca label, 47 orang (31%) kadang-kadang membaca label, dan hanya 2 orang (2%) yang tidak membaca label. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Kebiasaan konsumen berdasarkan tingkat usia dalam membaca label
Responden membaca label pada dua kelompok responden umumnya adalah untuk memilih merek dan terkait kesehatan (Tabel 6). Menurut FSAI (2009), konsumen memperhatikan label jika ada produk baru (terkait merek); serta informasi alergi, intoleransi, pengaturan berat badan serta klaim kesehatan (terkait kesehatan).
Tabel 6. Alasan responden membaca label
Ranking Kelompok Usia 2 Terkait kesehatan 2.48 Terkait kesehatan 2.65 3 Memilih produk
*Rata-rata ranking dihitung berdasarkan ranking dari responden
n=150
Berdasarkan uji ranking, responden 15-24 tahun yang tidak membaca label utamanya karena yakin produk aman. Hal ini dikarenakan, produk olahan dalam kemasan sudah terlebih dahulu mendapatkan nomor registrasi dari Badan POM RI (untuk produk MD atau ML) atau Dinas Kesehatan (untuk produk PIRT). Artinya, produk telah mendapatkan ijin edari dari lembaga tersebut. Alasan lainnya adalah tidak penting, tidak mengerti, dan informasi terlalu rumit. Bagi responden >24 tahun yang tidak membaca label, alasan utamanya karena informasi pada label dianggap tidak penting, informasi terlalu rumit, yakin produk aman, dan tidak mengerti (Tabel 7). Hasil ini mirip dengan survei FSAI (2009) terhadap konsumen Irlandia yang menunjukkan alasan utama konsumen tidak membaca label karena faktor loyalitas terhadap merek, terlalu sibuk (kurang waktu), tidak mengerti, hingga bingung dengan terlalu banyaknya informasi yang disampaikan pada label.
Tabel 7. Alasan responden tidak membaca label
Ranking Kelompok Usia
2 Tidak penting 3.13 Informasi terlalu rumit/yakin
*Rata-rata ranking dihitung berdasarkan ranking dari responden
Pengaruh label terhadap keputusan pembelian
Hasil survei juga menunjukkan, informasi pada label ternyata mempengaruhi keputusan pembelian (Gambar 9). Uji statistik dengan Mann whitney diperoleh P-value 0.048, artinya terdapat perbedaan nyata antara kelompok usia 15-24 tahun dan >24 tahun terhadap tingkat pengaruh label terhadap keputusan pembelian. Pengaruh label terhadap keputusan pembelian pada kelompok usia >24 tahun lebih tinggi dibandingkan pada usia 15-24 tahun.
Gambar 9. Pengaruh label terhadap keputusan pembelian berdasarkan tingkatan usia
Informasi yang diperhatikan pada label
Uji ranking juga dilakukan untuk mengetahui jenis informasi yang ingin diketahui oleh konsumen ketika membaca label (Tabel 8). Pada responden usia 15-24 tahun, klaim kesehatan menjadi informasi utama yang diperhatikan, kemudian diikuti oleh informasi BTP, berat/volume pangan, nama produsen dan lainnya. Agak berbeda dengan konsumen berusia >24 tahun, mereka lebih memastikan nomor registrasi dan nama produsen terlebih dahulu. Kemudian baru berat/volume, mengetahui informasi BTP, komposisi, dan lainnya. Hasil ini agak berbeda dengan survei yang dilakukan IFIC (2012) terhadap konsumen Amerika Serikat, yang menyebutkan bahwa masa kedaluwarsa, nilai gizi, dan komposisi adalah informasi utama yang dibaca pada label. Perbedaan ini kemungkinan karena perbedaan isu pelabelan di Negara masing-masing, sehingga tingkat perhatian terhadap jenis informasi juga berbeda. Sementara itu Borra (2006) menyebutkan, informasi ingridien dan gizi adalah faktor utama yang diperhatikan pada label. Hal ini menunjukkan perbedaan kepedulian konsumen di Negara masing-masing, sehingga tingkat perhatian terhadap jenis informasi juga berbeda. Bonsmann et al. (2010) juga mengungkapkan adanya perbedaan tingkat kepedulian terhadap informasi nilai gizi di Negara Uni Eropa.
Di Indonesia, isu masa kedaluwarsa lebih banyak terjadi pada masa lebaran atau tahun baru, dimana pada saat itu sering beredar bingkisan (parcel) dengan produk yang melebihi masa kedaluwarsa. BPOM (2015) sering mengeluarkan himbauan agar mewaspadai pangan tidak memenuhi ketentuan menjelang natal dan tahun baru. Menjelang akhir tahun 2015, pangan kedaluwarsa menjadi temuan terbanyak dalam intensifikasi pengawasan pangan. Secara keseluruhan, BPOM menemukan 3.499jenis produk (121.610 kemasan) pangan tidak memenuhi ketentuan dengan nilai keekonomian mencapai lebih dari 4,8miliarrupiahdi sarana ritel dengan rincian 34.947 kemasan pangan tidak memiliki ijin edar/TIE (28%), 76.156 kemasan pangan kedaluwarsa (63%), dan 10.507 kemasan pangan rusak (9%).
n=148
Tabel 8. Hasil uji ranking terhadap informasi yang diperhatikan konsumen saat
*Rata-rata ranking dihitung berdasarkan ranking dari responden
Pengenalan responden terhadap BTP
BPOM (2013d) sejak 2011 telah dicanangkan Aksi Nasional Pangan Jajanan Anak Sekolah (PJAS). Dengan penerapan strategi Aksi Nasional PJAS, jumlah PJAS yang memenuhi syarat meningkat secara bermakna sebesar 60%, 65%, dan 76% berturut-turut pada tahun 2010, 2011, dan 2012. Sampai akhir tahun 2012, dampak Aksi Nasional PJAS diperkirakan dapat melindungi sekitar 1,7 juta siswa dari PJAS yang tidak aman. Salah satu poin penting dalam PJAS tersebut adalah edukasi BTP kepada anak sekolah.
Gambar 10. Pengenalan responden berdasarkan kelompok usia terhadap istilah BTP
Gambar 11. Tingkat kepentingan informasi BTP berdasarkan kelompok usia responden
Responden usia 15-24 tahun lebih mengenal istilah BTP terutama karena mendapatkan informasi dari internet (35%) dan bangku sekolah/kuliah (27%). Besarnya pengaruh internet memang sangat sesuai dengan data Kemenkominfo (2014) yang menyebutkan bahwa sebanyak 80% pengguna internet di Indonesia adalah remaja berusia 15-19 tahun. Informasi BTP juga banyak menjadi materi dalam sekolah dan perkuliahan. Dalam survei ini, 94% responden berusia 15-24
n=148
n=166
n=148
tahun adalah pelajar/mahasiswa. Informasi BTP telah masuk dalam buku IPA Biologi untuk SMP/MTS kelas VIII terbitan Erlangga (2014), IPA Kimia SMP/MTS kelas VIII terbitan ESIS (2007), dan Biologi untuk SMA/MA kelas XI (2015). Dalam buku ajar terbitan ESIS (Lutfi 2007) disebutkan bahwa bahan aditif ditambahkan untuk tujuan tertentu, seperti mengawetkan, memberi warna, mengemulsi. Namun demikian masih terdapat beberapa informasi yang tidak tepat, misalnya gula dan garam yang disebutkan sebagai bahan pengawet. Padahal dalam Peraturan Kepala Badan POM RI No. 36 tahun 2013 tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pengawet, gula dan garam (NaCl) tidak termasuk sebagai BTP. Informasi lain yang perlu diperbaiki adalah, dalam buku tersebut zat aditif juga digunakan untuk meningkatkan nilai gizi. Di dalam Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 33 tentang Bahan Tambahan Pangan, BTP tidak termasuk bahan yang ditambahkan untuk mempertahankan atau meningkatkan nilai gizi.
Sedangkan untuk responden >24 tahun, televisi menjadi sumber utama informasi BTP. Selain televisi, sekolah dan perkuliahan juga menjadi sumber informasi BTP terbesar bagi kelompok >24 tahun. Gambar 12 menunjukkan sumber informasi BTP selengkapnya bagi responden.
Gambar 12. Sumber informasi BTP bagi responden berdasarkan kelompok usia
Tidak seperti kebiasaan responden dalam membaca label, untuk BTP sebagian besar responden –baik pada kelompok usia 15-24 tahun maupun >24 tahun, masih kadang-kadang membaca informasinya (Gambar 13). Uji independen dengan Mann whitney diperoleh nila P-value 0.000, artinya terdapat perbedaan nyata kelompok umur dalam membaca informasi BTP. Responden usia 15-24 tahun lebih cenderung membaca informasi BTP dibanding responden >24 tahun. Hal ini dikarenakan responden 15-24 tahun lebih mengenal istilah BTP dibandingkan responden >24 tahun.
33% 14% 9% 23% 1% 20%
13% 9% 10% 35% 27% 6%
n=148
Gambar 13. Kebiasaan responden dalam membaca informasi BTP
Informasi BTP juga mempengaruhi keputusan pembelian (Gambar 14). Uji independen dengan Mann whitney menghasilkan P-value 0.883, artinya perbedaan usia tidak berpengaruh terhadap jawaban apakah BTP mempengaruhi keputusan pembelian. Namun perlu dipahami, keputusan pembelian melibatkan beberapa faktor. Selain informasi BTP, konsumen juga dipengaruhi faktor-faktor lainnya yang nantinya mendorong konsumen untuk menetapkan pilihannya.
Alasan responden membaca informasi BTP adalah adanya kepedulian terhadap jenis BTP tertentu, terkait kesehatan, dan terkait keamanan. Berdasarkan uji ranking, baik kelompok responden berusia 15-24 tahun ataupun >24 tahun, memiliki urutan prioritas yang sama (Tabel 9). Sedangkan alasan utama bagi responden yang tidak membaca informasi BTP pada label adalah merasa tidak penting (Tabel 10).
Gambar 14. Pengaruh informasi BTP terhadap keputusan pembelian
n=148
n=166
n=123
Tabel 9. Alasan responden membaca informasi BTP
*Rata-rata ranking dihitung berdasarkan ranking dari responden
Tabel 10. Alasan responden tidak membaca informasi BTP
Ranking
*Rata-rata ranking dihitung berdasarkan ranking dari responden
Jenis BTP yang menjadi perhatian konsumen
Informasi BTP dapat dengan mudah dikenali oleh konsumen ketika membaca komposisi produk pangan yang terdapat pada label. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 033 tahun 2012 tentang Bahan Tambahan Pangan, produk pangan yang mengandung BTP, pada label wajib dicantumkan golongannya. Selain golongan, produk yang mengandung pemanis buatan, pengawet, pewarna, dan penguat rasa juga wajib mencantumkan nama jenis BTP.
Berdasarkan uji ranking, baik responden berusia 15-24 tahun maupun >24 tahun menunjukkan perhatian paling besar pada BTP perisa dan penguat rasa (Tabel 11). Kedua BTP tersebut ditambahkan dengan tujuan memberikan atau memperkuat rasa dan aroma. Rasa merupakan faktor utama dalam memilih produk pangan (EUFIC, 2005). Sementara itu Menurut Clark (1998) terdapat bukti kuat bahwa flavor (aroma dan rasa) menjadi faktor penting dalam pemilihan pangan. Sementara itu Spence dan Mary (2012) menjelaskan, bentuk dan warna pangan pun juga selalu diasosiasikan dengan flavor tertentu oleh konsumen.
kesehatan manusia. Dengan demikian, tidak semua materi buku ajar di sekolah tentang BTP sesuai dengan temuan ilmiah terbaru.
Tabel 11. BTP yang paling menjadi perhatian responden
Ranking Kelompok Usia
15-24 tahun (n=155)
Rata-rata ranking*
>24 tahun (n=123)
Rata-rata ranking*
1 Perisa 1.88 Perisa 1.29
2 Penguat rasa 2.78 Penguat rasa 2.57
3 Pemanis 3.08 Pewarna 3.31
4 Pewarna 3.10 Pemanis 3.45
5 Pengawet 4.21 Pengawet 4.37
6 Lain-lain 5.00 Lain-lain 4.41
*Rata-rata ranking dihitung berdasarkan ranking dari responden
BTP Pemanis
Pemanis yang diperkenalkan pada responden adalah aspartam, sakarin, siklamat, asesulfam-K, silitol, dan laktitol. IFIC (2005) menyebutkan penggunaan BTP pemanis yang rendah kalori sebagai salah satu cara untuk mengatur berat badan dan meminimalkan risiko serangan diabetes. Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar responden akan tetap membeli produk yang mengandung BTP pemanis (Gambar 15). Alasan responden membeli produk yang berpemanis, berdasarkan uji ranking berturut-turut adalah pengaruh faktor harga, rasa lebih baik, rendah kalori, aman, dan lainnya (Tabel 12).
Gambar 15. Pengaruh kandungan BTP pemanis terhadap keputusan pembelian responden berdasarkan tingkatan usia
n=123
Tabel 12. Alasan responden membeli produk yang mengandung BTP pemanis
Ranking Kelompok Usia
15-24 tahun (n=155)
>24 tahun (n=123) 1 Faktor harga Faktor harga 2 Rasa lebih baik Rasa lebih baik 3 Rendah kalori Rendah kalori
4 Aman Aman
5 Lain-lain Lain-lain
Berdasarkan data Mintel (2012), disebutkan bahwa konsumen lebih memperhatikan jumlah pemanis yang digunakan, dibandingkan jumlahnya. Pemanis berada dalam peringkat tiga dari ingridien yang diperhatikan pada daftar komposisi yang tercantum pada label, di bawah kalori dan lemak/minyak.
BTP Pewarna
Penggunaan pewarna, selain untuk meningkatkan daya tarik, juga mampu memberikan kesan flavor dalam produk pangan (Garber et al. 2000). Southampton study yang menyimpulkan bahwa pewarna sintetik berkaitan dengan hiperaktivitas sempat menimbulkan kekhawatiran tersendiri, walau isu tersebut kemudian dibantah karena bukti ilmiahnya yang tidak mencukupi (Scotter 2011). Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar responden akan tetap membeli produk yang mengandung BTP pewarna (Gambar 16). Alasan responden membeli produk yang berpewarna, berdasarkan uji ranking berturut-turut adalah pengaruh faktor harga, lebih menarik, terkait rasa atau aroma tertentu, aman, dan lainnya (Tabel 13).
Gambar 16. Pengaruh kandungan BTP pewarna terhadap keputusan pembelian berdasarkan tingkatan usia
n=123
Tabel 13. Alasan responden membeli produk yang mengandung BTP pewarna
Ranking Kelompok Usia
15-24 tahun (n=155)
>24 tahun (n=123)
1 Faktor harga Faktor harga
2 Lebih menarik Lebih menarik
3 Terkait rasa/aroma tertentu Terkait rasa/aroma tertentu
4 Aman Aman
5 Lain-lain Lain-lain
BTP Pengawet
Pengawet digunakan dengan tujuan utamanya untuk menjaga keamanan dan memperpanjang umur simpan produk pangan (Brul dan Coote, 1999). Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar responden akan tetap membeli produk yang mengandung BTP pengawet (Gambar 17). Alasan responden membeli produk yang berpengawet, berdasarkan uji ranking berturut-turut adalah pengaruh faktor harga, memudahkan penyimpanan, umur simpan lebih lama, aman, dan lainnya (Tabel 14).
Gambar 17. Pengaruh kandungan BTP pengawet terhadap keputusan pembelian berdasarkan tingkatan usia
Tabel 14. Alasan responden membeli produk yang mengandung BTP pengawet
Ranking Kelompok Usia
15-24 tahun (n=155)
>24 tahun (n=123)
1 Faktor harga Faktor harga
2 Memudahkan penyimpanan Memudahkan penyimpanan 3 Umur simpan lebih lama Umur simpan lebih lama
4 Aman Aman
5 Lain-lain Lain-lain
n=123
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Liu et al. (2009) yang dilakukan di Cina menunjukkan bahwa konsumen bersedia membeli produk dengan harga lebih mahal jika tidak menggunakan pengawet. Hal ini dikarenakan semakin tingginya tingkat pendapatan konsumen di Cina, sehingga mereka rela membeli produk yang dianggap lebih aman jika tidak berpengawet. Hanya saja penelitian tersebut tidak mempertimbangkan manfaat dan penggunaan jenis pengawet, sehingga responden kemungkinan hanya memperoleh persepsi negatif selama pelaksanaan survei tersebut.
BTP Penguat rasa
MSG telah digunakan secara luas untuk meningkatkan cita rasa, mulai dari tingkat rumah tangga, industri jasa boga, hingga industri pangan. Berbagai studi, antara lain yang dilakukan oleh JECFA dan FAO/WHO, telah menyatakan keamanan MSG (Nuraida et al. 2014). Di Indonesia, nilai ADI (Acceptable Daily Intake) untuk MSG tidak dinyatakan (not specified) dengan batas maksimum CPPB, artinya jumlah BTP yang diizinkan terdapat pada pangan dalam jumlah secukupnya yang diperlukan untuk menghasilkan efek yang diinginkan (BPOM, 2013c).
Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar responden akan tetap membeli produk yang mengandung BTP penguat rasa (Gambar 18). Alasan responden membeli produk yang berpenguat rasa, berdasarkan uji ranking berturut-turut adalah pengaruh faktor harga, rasa lebih lezat, faktor kesehatan, aman, dan lainnya (Tabel 15).
Monosodium glutamat (MSG) adalah salah satu jenis penguat rasa yang cukup populer. Prescott dan Young (2002) melakukan penelitian mengenai persepsi konsumen terhadap produk yang memberikan informasi “tanpa MSG/no added MSG” pada label produk pangan. Mereka mengevaluasi persepsi konsumen terhadap produk yang mengandung MSG. Hasilnya adalah responden tidak terpengaruh dengan informasi tersebut dan lebih memperhatikan mutu sensori dari produk yang dikonsumsinya.
Gambar 18. Pengaruh kandungan BTP penguat rasa terhadap keputusan pembelian berdasarkan tingkatan usia
n=123
Tabel 15. Alasan responden membeli produk yang mengandung BTP penguat rasa
Ranking Kelompok Usia
15-24 tahun (n=155)
>24 tahun (n=123) 1 Faktor harga Faktor harga 2 Rasa lebih lezat Rasa lebih lezat 3 Faktor kesehatan Faktor kesehatan
4 Aman Aman
5 Lain-lain Lain-lain
BTP Perisa
Perisa adalah salah satu parameter utama yang menjadi bahan pertimbangan konsumen dalam memilih produk pangan (Teff 1996). Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar responden akan tetap membeli produk yang mengandung BTP perisa (Gambar 19). Alasan responden membeli produk yang berpenguat rasa, berdasarkan uji ranking berturut-turut adalah pengaruh faktor harga, rasa dan aroma lebih nikmat, faktor kesehatan, aman, dan lainnya (Tabel 16).
Gambar 19. Pengaruh kandungan BTP perisa terhadap keputusan pembelian berdasarkan tingkatan usia
Tabel 16. Alasan responden membeli produk yang mengandung BTP perisa
Ranking Kelompok Usia
15-24 tahun (n=155)
>24 tahun (n=123)
1 Faktor harga Faktor harga
2 Rasa & aroma lebih nikmat Faktor kesehatan
3 Faktor kesehatan Rasa & aroma lebih nikmat
4 Lain-lain Aman
5 Aman Lain-lain
n=123
Hasil tersebut menggambarkan bahwa faktor harga cukup penting bagi responden dalam memilih produk pangan yang mengandung bahan tambahan pangan. Responden telah menyadari, BTP yang ditambahkan ke dalam pangan memiliki fungsi tertentu. Hal ini terlihat dari uji ranking, bahwa faktor harga selalu menjadi faktor pertama yang diperhatikan oleh responden, kemudian diikuti oleh fungsi penambahan BTP tersebut.
Hasi uji korelasi
Informasi pada label pangan berkaitan dengan beberapa faktor. Menurut Rodolfo dan Nayga (1999), kondisi kesehatan dan tren diet dapat mempengaruhi konsumen dalam menggunakan label. Begitupun dengan jenis kelamin dan pendapatan, juga dapat mempengaruhi persepsi konsumen terhadap informasi pada label.
Berdasarkan uji korelasi menggunakan Chisquare (Tabel 17) diperoleh hasil bahwa kebiasaan membaca label dipengaruhi oleh jenis kelamin (pada kelompok responden berusia 15-24 tahun). Nilai crosstab dalam uji Chi square menunjukkan responden wanita pada kelompok 15-24 tahun memiliki kebiasaan membaca label lebih tinggi dibandingkan responden pria (Tabel 18). Campos et al. (2010) menjelaskan label lebih banyak digunakan oleh konsumen wanita. Kebiasaan membaca label juga dipengaruhi oleh pendidikan pada dua kelompok responden. Semakin tinggi pendidikan, kebiasaan membaca labelnya juga lebih sering. Demikian juga dengan pendapatan, semakin tinggi pendapatan, kebiasaan membaca labelnya juga lebih sering. Perez dan Haldeman (2002) mengungkapkan pendapatan tidak berhubungan dengan mutu diet, tetapi responden yang memiliki pendapatan lebih tinggi menggunakan label lebih sering dalam mengambil keputusan. Campos et al. (2010) mengungkapkan bahwa frekuensi membaca label dipengaruhi oleh jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan juga pendapatan. IFIC (2012) mencatat, informasi terkait kesehatan berkorelasi dengan tingkat pendidikan. Konsumen yang memiliki pendidikan tinggi memberikan perhatian yang lebih terhadap informasi-informasi tersebut.
Tabel 17. Hasil uji korelasi antara profil responden dengan label dan informasi BTP
Parameter Jenis kelamin Pendidikan Pendapatan Pengeluaran
untuk pangan
Tujuan berbelanja
Usia 15-24 thn >24 thn 15-24 thn >24 thn 15-24 thn >24 thn 15-24 thn >24 thn 15-24 thn >24 thn Membaca label 0.000* 0.532 0.000* 0.000* 0.000* 0.003* 0.242 0.540 0.732 0.721 Pengaruh label
terhadap keputusan pembelian
0.270 0.503 0.782 0.991 0.055 0,809 0.955 0.547 0.067 0.078
Mengenal istilah BTP 0.491 0.085 0.000* 0.100 0.000* 0.036* 0.551 0.468 0.912 0.237 Tingkat kepentingan
informasi BTP
0.042* 0.410 0.167 0.935 0.018* 0.256 0.043* 0.758 0.102 0.761
Kebiasaan membaca informasi jenis BTP
0.232 0.194 0.181 0.670 0.009* 0.392 0.019* 0.236 0.673 0.087
Apakah BTP mempengaruhi keputusan pembelian
0.149 0.148 0.676 0.683 0.254 0.052 0.558 0.381 0.231 0.211
Keterangan:
*memiliki korelasi (hubungan)
Hipotesis
H0: tidak ada hubungan H1: ada hubungan
Tabel 18. Korelasi antara jenis kelamin, pendidikan dan pendapatan dengan kebiasaan membaca label
Parameter Kebiasaan Membaca Label (%)
15-24 tahun >24 tahun
Selalu Kadang-lebih sering dibandingkan dengan kelompok usia 15-24 tahun. Responden berusia 15-24 tahun lebih memerhatikan informasi mengenai klaim kesehatan dan informasi BTP. Sedangkan kelompok responden berusia >24 tahun lebih memerhatikan nomor registrasi dan nama produsen.
Hasil survei menunjukkan bahwa sebagian besar responden telah mengenal istilah BTP. Untuk kelompok 15-24 tahun dan >24 tahun yang mengenal BTP masing-masing adalah 95% dan 73%, sedangkan sisanya tidak mengenal istilah BTP. Responden berusia 15-24 tahun lebih mengenal istilah BTP dibandingkan responden berusia >24 tahun. Sumber utama informasi BTP bagi kelompok 15-24 tahun adalah internet dan sekolah/kuliah. Sedangkan pada kelompok >24 tahun, informasi BTP terutama diperoleh dari televisi dan sekolah/kuliah. Mayoritas responden, baik pada kelompok 15-24 tahun maupun >24 tahun menganggap informasi BTP penting dan dapat mempengaruhi keputusan pembelian.
berkorelasi dengan pendidikan (responden berusia 15-24 tahun), pekerjaan (responden berusia 15-24 tahun), dan pendapatan (untuk dua kelompok responden). Semakin tinggi pendidikan responden berusia 15-24 tahun, kebiasaan membaca labelnya semakin sering. Semakin tinggi pendidikan (15-24 tahun) dan pendapatan (15-24 tahun dan >24 tahun) juga menunjukkan kebiasaan membaca label yang juga semakin baik.
Saran
Hasil survei menunjukkan masih terdapat responden yang belum membaca label dan tidak mengenal istilah BTP. Oleh sebab itu, edukasi perlu dilakukan secara berkelanjutan, baik oleh pemerintah, produsen, dan juga akademisi. Perbaikan terhadap penulisan informasi pada label juga perlu dipertimbangkan, sebab salah satu alasan responden tidak membaca label adalah terlalu rumit. Penelitian yang mencakup daerah lebih luas sebaiknya dilakukan untuk mengetahui hasil yang lebih menyeluruh terhadap kesadaran membaca label dan pengetahuan informasi BTP konsumen Indonesia. Perbaikan metode penelitian juga perlu dilakukan, salah satunya adalah dengan menggali tingkat pemahaman responden terhadap BTP.
DAFTAR PUSTAKA
Anggitasari A, Pujirahayu W, dan Ratnasari Y. 2014. Pengaruh Program Keamanan Pangan di Sekolah terhadap Pengetahuan Penjaja Pangan Jajanan dan Siswa Sekolah Dasar. Jurnal Mutu Pangan 1(2):151-158 Bonsmann SSG, Fernandez C dan Grunert KG. 2010. Food Labelling to Advance
Better Education for Life. European Journal of Clinical Nutrition 64: S14– S19
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 2013a. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor 36 tahun 2013 tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pengawet
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 2013b. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor 36 tahun 2013 tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Pewarna
[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan RI. 2013c. Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan RI Nomor 23 tahun 2013 tentang Batas Maksimum Penggunaan Bahan Tambahan Penguat Rasa