KAJIAN ANDROGENIK EKSTRAK ETANOL AKAR PURWOCENG
(
Pimpinella alpina
KDS) TERHADAP KINERJA REPRODUKSI TIKUS
PUTIH (
Rattus norvegicus
)
BETINA DARA
PUDJI ACHMADI
B. 151070031 / IFO
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kajian Androgenik Ekstrak Etanol Akar Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) Terhadap Kinerja Reproduksi Tikus Putih (Rattus norvegicus) Betina Dara adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2011
ABSTRACT
Study of Androgenic Effect of Ethanolic Extract of Root Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) on the Reproduction Performance of Adult
Female Rats (Rattus norvegicus)
Pudji Achmadi
Aryani Sismin Satyaningtijas, Hera Maheshwari
ABSTRACT
RINGKASAN
PUDJI ACHMADI. Kajian Androgenik Ekstrak Etanol Akar Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) Terhadap Kinerja Reproduksi Tikus Putih (Rattus norvegicus) Betina Dara. Di bawah bimbingan ARYANI SISMIN SATYANINGTIJAS dan HERA MAHESHWARI.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan kajian androgenik ekstrak etanol akar purwoceng terhadap kinerja reproduksi tikus betina dara yang meliputi panjang siklus berahi, panjang masing-masing periode siklus berahi, bobot uterus dan bobot ovarium. Penelitian berlangsung mulai bulan Juni 2010 sampai dengan bulan Desember 2010 dengan menggunakan 48 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley betina dara, dewasa kelamin berumur ± 10 minggu. Tikus dibagi secara acak dalam 4 kelompok berdasarkan periode siklus reproduksinya yaitu kelompok periode proestrus, kelompok periode estrus, kelompok periode metestrus, dan kelompok periode diestrus, masing-masing perlakuan terdiri atas 12 ekor. Pengelompokkan periode berahi dilakukan dengan cara melakukan apusan ulas vagina dari 48 ekor tikus betina dara. Setiap kelompok periode dibagi lagi menjadi kelompok kontrol (tidak dicekok purwoceng) dan kelompok purwoceng (dicekok purwoceng), masing-masing sebanyak 6 ekor. Kemudian kelompok kontrol dan perlakuan dibagi lagi menjadi kelompok dikorbankan (dibedah) dan kelompok apusan ulas vagina sampai hari ke-15, masing-masing sebanyak 3 ekor sebagai faktor pengulangan.
Pemberian ekstrak etanol purwoceng dilakukan dengan cara mencekok tikus dengan menggunakan sonde lambung pada pagi hari setelah apusan ulas vagina pagi hari dilakukan. Pencekokan purwocengdilakukan selama 10 hari dengan dosis sebesar 83,25 mg/kg BB, sesuai dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Taufiqqurrachman (1999) dengan dosis 25 mg/ml untuk bobot tikus 300 g.
kaca preparat (gelas objek) dengan merata kemudian di fiksasi dalam metanol selama 5 menit. Setelah itu diwarnai dengan pewarna Giemsa selama 30 menit, kelebihan giemsa dicuci dengan air kran mengalir. Setelah dikeringkan dengan tisue, preparat diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 40 kali. Hasil pembacaan kemudian dicatat setiap hari sesuai dengan kelompok pada periode siklus berahi berdasarkan gambaran sel epitelnya sehingga dapat diperoleh panjang siklusnya. Pengamatan preparat apusan ulas vagina dilakukan selama 10 hari (2 siklus) untuk kelompok dikorbankan dan juga pengamatan apusan ulas vagina selama 15 hari untuk masing-masing kelompok fase. Pengambilan sampel organ uterus dan ovarium dilakukan dengan cara mengorbankan tikus setelah dilakukan pembiusan terlebih dahulu menggunakan eter. Organ uterus dan ovarium (kiri dan kanan) diambil dengan cara pembedahan pada bagian perut kemudian ditimbang menggunakan timbangan analitis digital. Bobot organ uterus dan ovarium di catat untuk dianalisis perbedaannya.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011
Hak cipta dilindungi Undang-undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumbernya. Penguripan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kriitik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
Judul Penelitian : Kajian Androgenik Ekstrak Etanol Purwoceng (Pimpinella alpina KDS)Terhadap Kinerja Reproduksi Tikus Putih (Rattus norvegicus) Betina Dara
Nama : Pudji Achmadi NRP : B. 151070031 Program Studi : Ilmu-Ilmu Faal dan Khasiat Obat
Disetujui
Ketua
Dr.drh. Aryani S Satyaningtijas, M.Sc.
Dr.drh. Hera Maheshwari, M.Sc.
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi IFO Dekan Sekolah Pasca Sarjana
Dr. Nastiti Kusumorini Dr. Ir. Darul Syah, M.Sc.Agr.
PRAKATA
Alhamdulillah, segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 20 Juni 2010 dan berakhir pada tanggal 20 Desember 2010 dengan judul Kajian Androgenik Ekstrak Etanol Akar Purwoceng (Pimpinella alpina KDS) Terhadap Kinerja Reproduksi Tikus Putih (Rattus norvegicus) Betina Dara.
Ungkapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. drh. Aryani Sismin Satyaningtijas, M.Sc. dan Dr. drh. Hera Maheshwari M.Sc. yang dengan sabar telah memberikan semangat, bimbingan, saran, dan petunjuk yang tulus selama mengikuti kuliah, persiapan, perencanaan penelitian serta penyusunan karya ilmiah ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr. Ir. Bambang Kiranadi, M.Sc. sebagai penguji luar komisi yang telah memberikan masukan dan saran untuk perbaikan penulisan karya limiah ini.
Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada Ketua Program Studi Ilmu-ilmu Faal dan Khasiat Obat, Departemen Anatomi Fisiologi dan Farmakologi, Ketua Departemen dan Sekretaris Departemen, Kepala Bagian Fisiologi yang telah mendukung dengan sepenuhnya saat saya menyelesaikan tesis. Ucapan terima kasih saya berikan untuk Dr. drh. Min Rahminiwati, M.Sc. yang telah memberikan izin pemakaian alat Rotary Evaporator dan peminjaman alat-alat untuk pembuatan ekstrak purwoceng serta Prof. Dr. Agik Suprayogi yang memberikan masukannya. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada teman-teman satu angkatan Ibu Kasiyati, Pak Andri, pak Narno, Ibu Herna, dan Ibu Heni yang telah memberikan dukungan pada penulis, terutama untuk drh. Andriyanto Msi yang telah membantu dalam mengolah data penelitian dan kepada Ibu Ida, Ibu Sri, Pak Ludi, dan pak Edi yang telah membantu selama penelitian berlangsung.
Ucapan terima kasih untuk ibunda tercinta, Ibu Soemartilah, istri tercinta Linda serta anakku tersayang Rizki, Anisa ,dan Arya yang selalu menyertai setiap langkah penulis dalam doa.
Penulis dengan segala kerendahan hati, mohon maaf atas segala kekurangan dalam tesis ini dan semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin.
RIWAYAT HIDUP
Pembuatan Larutan Ekstrak Etanol Akar Purwoceng ... 20
Persiapan Hewan Model ... 21
Pengelompokkan Hewan ... 22
Penentuan Dosis Ekstrak Etanol Akar Purwoceng ... 22
Pengamatan dan Pengambilan Sampel ... 22
Analisis Data ... 23
Bagan Penelitian ... 24
HASIL PENELITIAN ... 25
Efektifitas Ekstrak Etanol Akar Purwoceng terhadap Periode Siklus Berahi ... 25
Perubahan Panjang Siklus Berahi Setelah Pencekokkan Dihentikan ... 28
Bobot Uterus dan Ovarium ... 29
KESIMPULAN DAN SARAN ... 32
DAFTAR PUSTAKA ... 33
LAMPIRAN ... 37
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Nilai rataan panjang siklus berahi dan periodenya pada
tikus yang dicekok purwoceng dan kontrol ...25
2. Nilai rataan panjang siklus berahi dan periodenya
setelah pencekokan purwoceng dihentikan... 28 3. Nilai rataan bobot uterus dan ovarium pada
berbagai pencekokan siklus berahi (proestrus, estrus,
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Tanaman Purwoceng ... 4
2. Daun Purwoceng ... 5
3. Akar Purwoceng ... 6
4. Tikus Putih ... 8
5. Uterus tipe Duplex ... 9
6. Ovarium ... 11
7. Steroidogenesis pada Hewan Jantan (Johnson & Everitt 1984) ... 12
8. Steroidogenesis pada Hewan Betina (Johnson & Everitt 1984) ... 13
9. Apusan Ulas Vagina masing-masing Fase Siklus Berahi ... 15
10. Struktur kimia estrogen dan flavonoid... 18
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Laporan hasil uji fitokimia akar purwoceng... 39
2 Analisis variansi pencekokan proestrus... 40
3 Analisis variansi pencekokan estrus ... 43
4 Analisis variansi pencekokan metestrus ... 45
5 Analisis variansi pencekokan diestrus ... 47
6 Analisis variansi pencekokan dihentikan (proestrus) ... 49
7 Analisis variansi pencekokan dihentikan (estrus) ... 51
8 Analisis variansi pencekokan dihentikan (metestrus)... 53
9 Analisis variansi pencekokan dihentikan (diestrus) ... 55
10 Analisis variansi ovarium ... 57
PENDAHULUAN
Latar BelakangBeberapa tahun terakhir sudah banyak yang mencari atau menggunakan terapi yang bukan berasal dari zat sintetik atau kimia untuk menghindari adanya residu atau bahan kesehatan lainnya. Dengan semakin tingginya tingkat kesadaran orang dalam menjaga kesehatan maka semakin banyak orang yang menggunakan bahan yang bersifat alami sehingga herbal banyak dipilih sebagai obat alternatif. Beberapa penelitian tentang penggunaan herbal terhadap kinerja reproduksi telah banyak dilakukan antara lain semanggi merah yang dipergunakan untuk meningkatkan kesuburan domba (Johnston 2003), kedelai dengan kandungan fitoestrogennya dapat meningkatkan aktivitas biologi terutama aktivitas reproduksi (Tsourounis 2004), efek pemberian Tripterdium wilfordii terhadap kadar hormon estrogen, progesteron, FSH, dan LH (Jing et al. 2011), efek ekstrak metanol daun Aspilia africana terhadap siklus estrus dan bobot uterus (Kayode et al. 2007), efek ekstrak etanol Trichosanthes cucumerina terhadap gonadotropin, kinetik folikular ovarium dan siklus estrus (Kage et al.2009) dan efek ekstrak metanol biji Abrus precatorius terhadap siklus estrus, ovulasi, dan bobot badan tikus putih betina dewasa galur Sprague Dawley (Okoko et al. 2008).
Purwoceng (Pimpinella alpina) merupakan salah satu tanaman herbal yang dikenal mempunyai kandungan bahan yang bersifat afrodisiaka dan androgenik (Taufiqqurraachman 1999). Pada mulanya, tanaman purwoceng digunakan oleh penduduk di sekitar Pegunungan Dieng (daerah asalnya) hanya untuk pemeliharaan kesehatan atau peningkatan tingkat kesehatan seseorang. Namun sejalan dengan perkembangan penelitian dan isu yang dihembuskan, tanaman ini berkembang menjadi komoditas yang sangat ”laku jual” sebagai bahan afrodisiaka, bahkan kini telah dipopulerkan oleh masyarakat dan Kelompok Tani setempat dengan sebutan ”Viagra Jawa”. Seluruh bagian tanaman purwoceng dapat digunakan sebagai obat tradisional, terutama akar. Akarnya mempunyai sifat diuretika dan afrodisiaka yang merupakan bahan yang berkhasiat dapat meningkatkan atau menambah stamina (Heyne 1987). Ekstrak akar purwoceng digunakan sebagai diuretik, tonik dalam seduhan, terutama sebagai afrodisiaka (Heyne 1987).
Secara empiris masyarakat umum lebih mengenal tanaman ini sebagai pemulih tenaga, penambah gairah, dan penambah jumlah hormon. Penduduk sekitar dataran tinggi Dieng telah mengenal purwoceng sebagai salah satu bagian dalam ramuan obat tradisonal.
Penelitian terhadap aktivitas fisiologis dari ekstrak akar purwoceng menunjukkan akar purwoceng mempunyai daya kerja mempertinggi aktivitas motorik, mempertinggi tonus otot-otot lurik, menstimulasi susunan saraf pusat dengan titik tangkap kerja pada medula oblongata serta meningkatkan tingkah laku seksual tikus jantan (Caropeboka dan Lubis 1975). Tidak banyaknya penelitian yang menggunakan ekstrak akar purwoceng pada tikus betina menyebabkan penelitian Caropeboka dan Lubis (1975) masih dimasukkan sebagai referensi. Pemberian ekstrak purwoceng pada tikus putih jantan galur Sprague Dawley dapat meningkatkan kadar Luteinizing Hormone (LH) dan kadar hormon testosteron (Taufiqqurrachman 1999). Kajian dari penelitian terdahulu juga ada yang melaporkan bahwa purwoceng merupakan bahan androgenik sehingga efek pemberian ekstrak purwoceng dapat meningkatkan motilitas spermatozoa serta derajat spermatogenesis pada tikus Sprague Dawley (Juniarto 2004).
Banyaknya penelitian yang menggali peran purwoceng pada kinerja reproduksi jantan, maka peran atau efek terhadap kinerja reproduksi betina juga perlu dilakukan. Penelitian ini dilakukan untuk melihat efektivitas purwoceng yang diberikan pada tikus betina dara terhadap kinerja reproduksi yang meliputi panjang siklus berahi, periode siklus berahi, bobot uterus, dan ovariumnya.
Tujuan Penelitian
Mengetahui efektivitas ekstrak etanol akar purwoceng terhadap kinerja reproduksi tikus betina dara meliputi panjang siklus berahi , panjang masing-masing periode pada siklus berahi, bobot ovarium, dan bobot uterus.
Manfaat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai pengaruh ekstrak etanol akar purwoceng pada kinerja reproduksi tikus betina dara galur Sprague Dawley.
Hipotesis
TINJAUAN PUSTAKA
Tanaman Purwoceng (Pimpinella alpina KDS)Tanaman purwoceng (Pimpinella alpina KDS) termasuk tanaman endemik Indonesia dan sudah lama dikenal sebagai obat herbal. Purwoceng merupakan terna tahunan, tinggi tanaman purwoceng berkisar antara 15-50 cm, tumbuh di pegunungan dengan ketinggian 1800 - 3500 m di ataspermukaan laut. Pada awalnya purwoceng hanya terdapat di Gunung Pangrango, Papandayan, Tangkuban Perahu (Jawa Barat), Dataran Tinggi Dieng (Jawa Tengah), dan Gunung Bromo (Jawa Timur) (Heyne 1987). Sampai saat ini yang dikenal sebagai daerah pengembangannya hanya di Dataran Tinggi Dieng, Jawa Tengah dengan luar areal yang terbatas dan termasuk ke dalam 24 tanaman langka di Jawa (Pusat Konservasi Tumbuhan 2007). Gambaran tanaman purwoceng disajikan pada Gambar 1.
Gambar 1 Tanaman Purwoceng (Rostiana et al. 2003) Klasifikasi dan Ciri Morfologis Purwoceng
Klasifikasi tanaman Purwoceng menurut sistem Cronquist (Jones 1987) adalah sebagai berikut :
Divisi : Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae Kelas : Dicotyledoneae
Famili : Apiaceae / Umbelliflorae Suku : Umbelliferae
Genus : Pimpinella
Morfologis dari tanaman purwoceng adalah : Daun.
Daunnya merupakan daun majemuk berpasangan berhadapan, berbentuk jantung, dengan panjang ± 3 cm dan lebar 2,5 cm, bentuk anak daun membulat dengan tepi bergerigi, ujung daun tumpul, pangkal daun bertoreh, tangkai daun dengan panjang ± 5 cm berwarna coklat kehijauan, warna permukaan atas daun hijau, dan permukaan bawah hijau keputihan. Gambaran bentuk daun disajikan Gambar 2.
Gambar 2 Daun Purwoceng (Rostiana et al. 2003) Batang
Batangnya merupakan batang semu, berbentuk bulat, lunak, dan warnanya hijau pucat. Bunga.
Bunganya merupakan bunga majemuk berbentuk payung, tangkainya silindris, panjangnya ± 2 cm, kelopak bunga berbentuk tabung berwarna hijau. Mulai berbunga antara bulan ke-5 sampai bulan ke-6 dan dapat dipanen pada umur 7 - 8 bulan (Yuhono 2004). Biji
Bijinya berbentuk lonjong kecil, berwarna coklat. Biji yang sudah masak berwarna hitam, berukuran sangat kecil sekitar 0,52 g per 1.000 butir biji (Rahardjo et al. 2006).
Akar / rimpang.
Akarnya merupakan akar tunggang yang membesar membentuk struktur seperti umbi
pada tanaman ginseng dengan ukuran yang lebih kecil, berwarna putih kecoklatan. Gambaran bentuk akar purwoceng yang sudah kering disajikan
Gambar 3 Akar Purwoceng (Koleksi pribadi) Kandungan Bahan Aktif dan Khasiat
Akar purwoceng mengandung turunan senyawa kumarin, sterol, alkaloid, dan saponin (Caropeboka dan Lubis 1975, Rostiana et al. 2003), flavonoid, glikosida, dan tanin (Rostiana et al. 2003), kelompok furanokumarin seperti bergapten, isobargapten, dan sphondin (Sidik et al. 1975), sitosterol dan vitamin E (Rahardjo et al. 2006), saponin, alkaloid, glikosida, kumarin, dan triterpenoid-steroid (Rostiana et al. 2003). Senyawa yang diketahui memberi efek afrodisiaka diantaranya adalah turunan steroid, saponin, alkaloid, tanin, dan senyawa lain yang dapat melancarkan peredaran darah (Anwar 2001). Dalam penelitiannya (Rahardjo et al. 2005) menyatakan bahwa zat berkhasiat pada herbal purwoceng adalah senyawa sitosterol dan stigmasterol yang terdapat pada bagian akarnya.
peningkatan kadar testosteron hingga 196,3% sedangkan kadar luteinizing hanya naik 2,5% (Trubus, Oktober 2008). Hal ini tiak lepas dari khasiat yang dimiliki oleh tanaman herbal purwoceng yang banyak mengandung alkaloid, tanin, flavonoid, triterpenoid, steroid, dan glikosida. Flavonoid termasuk ke dalam golongan fitoestrogen yang kerjanya sangat mirip dengan estrogen.
Afrodisiaka
Ekstrak akar purwoceng dapat berfungsi sebagai bahan afrodisiaka yaitu meningkatkan potensi seksual sehingga tenaga dan kemampuan seksualnya lebih kuat. Potensi seksual ini sangat dipengaruhi oleh adanya hormon testosteron (Gauthaman et al. 2002). Hasil uji secara farmakologis pada tikus jantan Sprague Dawley menunjukkan pemberian ekstrak akar purwoceng dengan zat pelarut metanol 99% dapat meningkatkan motilitas spermatozoa (Juniarto 2004) dan meningkatkan kadar LH dan testosteron (Taufiqqurrachman dan Wibowo 2006). Peningkatan kadar testosteron ini disebabkan efek stimulasi ekstrak purwoceng terhadap LH dan konversi fitosterol yang ada pada ekstrak purwoceng menjadi testosteron pada jaringan hewan uji (Taufiqqurrachman dan Wibowo 2006). Testosteron merupakan hormon utama yang mempengaruhi perilaku seksual jantan. Pada ayam jantan yang diberi hormon androgenik dapat menimbulkan sifat kelamin sekunder (Harper et al 1979). Ini sesuai dengan hasil penelitian dari Kosin (1992) terhadap ayam jantan yang diberi ekstrak akar purwoceng, terjadi peningkatan ukuran jengger anak ayam jantan.
Biologi Umum Tikus
Gambar 4 Tikus putih (Rattus norvegicus) (Anonim 2007)
panjang dari badannya. Hewan ini memiliki keistimewaan yaitu umur relatif pendek, sifat produksi dan reproduksinya menyerupai mamalia besar, lama produksi ekonomis 2,5 - 3 tahun, lama kebuntingan berkisar antara 21- 23 hari, umur sapih 21 hari, umur pubertas 50 - 60 hari, vagina mulai terbuka pada umur 35 – 90 hari, dan testis turun atau keluar pada umur 20 - 50 hari, angka kelahiran 6 - 12 ekor per kelahiran, memiliki siklus estrus yang pendek 4 - 5 hari dengan karakteristik setiap fase siklus yang jelas, lama estrus 9 - 12 jam, interval antar generasi relatif pendek, dan berukuran kecil sehingga memudahkan dalam pemeliharaan serta efisien dalam mengkonsumsi pakan (10 g/100 g BB/hari) (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Berat badan tikus betina dewasa sekitar 250 g - 300 g dan berat badan tikus jantan dewasa 450 g - 520 g, mulai dikawinkan umur 65 - 110 hari untuk jantan dan betina. Tikus yang baru lahir memiliki berat lahir antara 5- 6 g (Harkness 1989). Tikus laboratorium (Rattus norvegicus) telah diketahui sifat-sifatnya dengan sempurna, mudah dipelihara, merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk berbagai penelitian (Malole dan Pramono 1989). Klasifikasi tikus putih (Rattus norvegicus) menurut Myers dan Armitage (2004)
Gambar 5 Uterus tipe duplex (Koleksi pribadi 2011)
Seperti organ yang menyerupai tabung, dinding uterus terdiri atas lapisan membran mukosa, lapisan otot polos intermediat, dan lapisan serosa bagian luar (peritoneum). Servik (leher uterus) mengarah kaudal menuju ke vagina. Servik merupakan sfingter otot polos yang kuat dan tertutup rapat kecuali saat terjadi birahi atau saat kelahiran. Pada saat birahi servik agak relaks sehingga memungkinkan spermatozoa memasuki uterus (Frandson 1986).
Uterus merupakan saluran muskuler yang diperlukan untuk penerimaan ovum yang telah dibuahi menjadi zigot dan embrio. Selanjutnya embrio akan berkembang pada endometrium dengan melalui suatu proses yang disebut dengan implantasi. Pada saat terjadi perkawinan, uterus akan berkontraksi untuk mempermudah pengangkutan sperma ke tuba Falopii. Sebelum implantasi cairan uterus merupakan medium yang bersifat suspensi bagi blastosit sedangkan sesudah implantasi uterus menjadi tempat pembentukan plasenta dan perkembangan fetus (Toelihere 1981).
Perubahan-perubahan histologis dan morfologis uterus terjadi pada saat siklus estrus berjalan sehingga ukuran maupun histologi organ ini tidak pernah statis. Hormon yang berkaitan dengan perkembangan dan pertumbuhan uterus adalah estrogen yang merangsang pertumbuhan uterus (sintesa protein dan pembelahan sel). Ketika pada tingkat vagina terjadi fase proestrus dan estrus, pada ovarium terjadi fase folikuler dan pada uterus terjadi fase proliferasi. Selama fase folikuler ovarium, yang terjadi pada saat proestrus dan estrus pada vagina dari siklus estrus, kelenjar uterus sederhana dan lurus dengan sedikit cabang. Estrogen yang dihasilkan pada saat fase folikuler ini akan menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan uterus. Fase inilah yang disebut sebagai fase proliferasi uterus. Selama fase proliferasi uterus dipengaruhi oleh hormon estradiol sedangkan saat fase sekresi dipengaruhi oleh hormon progersteron. Selama fase luteal, yang terjadi saat fase metestrus dan diestrus pada vagina, progesteron yang dihasilkan oleh korpus luteum akan beraksi terhadap pertumbuhan dan perkembangan uterus, endometrium bertambah tebal secara nyata.
Diameter dan panjang kelenjar meningkat secara cepat menjadi bercabang-cabang dan berkelok-kelok (Nalbandov 1990).
Ovarium
Ovarium merupakan organ primer reproduksi betina. Ovarium dapat menghasilkan hormon yang akan diserap langsung ke dalam peredaran darah dan ovum yang dapat dilepaskan dari kelenjar. Ovarium merupakan sepasang kelenjar yang terdiri atas ovarium kanan yang letaknya di belakang ginjal kanan dan ovarium kiri yang letaknya di belakang ginjal kiri. Pada kebanyakan species hewan, ovariumnya mempunyai bentuk menyerupai biji almond. Ukuran normal ovarium sangat bervariasi antar species (Frandson 1986). Lokasi ovarium berada pada ujung kornua uterus. Gambaran ovarium tikus disajikan pada gambar 6.
Gambar 6 Ovarium Tikus (Koleksi pribadi 2011)
Fungsi ovarium sebagai organ eksokrin yang menghasilkan sel telur (ovum) dan organ endokrin yang mensekresikan hormon-hormon kelamin betina (estrogen dan progesteron).
Hormon – hormon yang berkaitan dengan perkembangan dan pertumbuhan ovarium adalah: 1. Estrogen berperan saat fase folikuler
2. Progesteron berperan saat fase luteal
Steroidogenesis
Pada Jantan
Pada hewan jantan, testosteron disekresikan oleh sel Leydig yang terletak diantara tubulus seminiferi testis akibat adanya perangsangan hormon Luteneizing hormone (LH) yang disekresikan oleh hipofise anterior. Testosteron disekresikan mulai dari proses perubahan asam asetat menjadi kolesterol kemudian berubah menjadi pregnenolon dan berubah lagi menjadi progesteron. Dari pregnenolon dan progesteron akhirnya melalui beberapa perubahan menjadi testosteron. Testosteron yang sudah disekresikan oleh sel Leydig akan menuju sel Sertoli melalui sirkulasi darah dan berperan dalam proses pematangan sperma. Di
dalam sirkulasi darah testosteron ditransportasi oleh adanya steroid binding globulin (β
globulin) yang disekresikan oleh sel Sertoli akibat adanya rangsangan dari FSH. Sekitar 98% dari testosteron yang bersirkulasi dalam darah berada dalam keadaan terikat sisanya merupakan testosteron yang bebas dapat masuk ke organ target. Proses tersebut terjadi bila terdapat enzim dalam sitoplasma yang akan merubah testosteron menjadi dehidrotestosteron sehingga dapat bereaksi dengan reseptor testosteron pada organ target (Hafez 2000). Steroidogenesis pada hewan jantan disajikan dalam Gambar 7.
Gambar 7 Steroidogenesis pada hewan jantan (Johnson dan Everitt 2004)
Pada Betina
disekresikan mulai dari proses perubahan asam asetat menjadi kolesterol kemudian berubah menjadi pregnenolon dan berubah lagi menjadi progesteron. Dari progesteron berubah menjadi androstenedion dengan bantuan enzim 17α-hidroksi progesteron, kemudian berubah menjadi testosteron. Sel granulosa mendapat asupan testosteron dari sel teka dan akan berubah menjadi estrogen setelah diaromatisasi oleh enzim aromatase yang distimulasi FSH. Ada 3 bentuk estrogen di dalam plasma hewan betina yaitu 17β-estradiol, estron, dan estriol (Johnson dan Everitt 1984). Di dalam tubuh hewan betina, ketiga jenis estrogen tersebut disintesis dari testosteron endogen dengan bantuan enzim aromatase pada sel teka, kemudian proses konversi yang sama juga terjadi pada sel granulosa. Di bawah rangsangan FSH, konversi estron berasal dari androstenedion, bersifat lebih lemah daripada estradiol. Gambaran steroidogenesis pada hewan betina disajikan pada Gambar 8.
Gambar 8 Steroidogenesis pada hewan betina (Johnson dan Everitt 1984)
Estrogen merupakan hormon yang mengandung senyawa steroid, fungsinya sebagai hormon seks wanita. Hormon estrogen terdapat dalam tubuh pria maupun wanita dimana dalam tubuh wanita usia subur kandungannya lebih tinggi. Hormon ini mempertahankan tanda – tanda kelamin sekunder wanita, menyebabkan penebalan endometrium dan pengaturan siklus haid.
adalah: terhadap uterus, ovarium, tuba Falopii, dan vagina akan bertambah bobotnya karena pengaruh estrogen. Estrogen juga mengubah epitel vagina yang semula berbentuk epitel pipih selapis menjadi kuboid bertingkat. Estrogen menyebabkan perubahan nyata pada endometrium dan kelenjarnya yang mengakibatkan ukuran uterus bertambah dua sampai tiga kali lipat dibandingkan sebelum pubertas. Pada tuba Falopii keberadaan estrogen akan menyebabkan terjadinya proses proliferasi sel.
Siklus Reproduksi Tikus
Tikus merupakan hewan poliestrus yang dapat beberapa kali mengalami siklus estrus dan melahirkan anak dalam satu tahunnya. Panjang siklus estrus tikus rata-rata berkisar antara 4 - 5 hari yang terdiri atas fase proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus. Masing-masing fase tersebut menggambarkan proses fisiologis yang berbeda terkait dengan gambaran anatomi sel epitel dari dinding vaginanya. Perbedaan gambaran sel epitel dapat digunakan untuk menentukan masing-masing fase siklus reproduksinya (Gambar 9).
Gambar 9 Apusan ulasvagina masing-masing fase siklus berahi Keterangan gambar: A (Proestrus), sel epitel berinti; B (Estrus), sel kornifikasi; C (Metestrus), sel lekosit; D (Diestrus),
sel lekosit dan sel epitel berinti (Koleksi pribadi 2011)
Proestrus
Proestrus merupakan fase awal yang menandakan akan datangnya berahi. Fase ini ditandai oleh periode pertumbuhan folikel pada ovarium yang cepat karena pengaruh dari Folicle Stimulating Hormone (FSH) (Mc.Donald, 1989). Folikel yang berkembang ini mensekresikan hormon estrogen. Estrogen dapat menyebabkan terjadinya vaskularisasi dan penandukkan pada sel epitel vagina pada beberapa spesies. Pada pemeriksaan apusan ulas
B
C
vagina akan didominasi oleh sel-sel epitel berinti (Gambar 9A). Fase proestrus terjadi selama + 12 jam (Nalbandov 1990; Baker et al 1980). Ketika pada tingkat vagina terjadi fase proestrus, estrogen akan memulai merangsang pertumbuhan uterus (sintesa protein dan pembelahan sel).
Estrus
Fase estrus merupakan fase penerimaan seksual (berahi) hewan betina yang bersedia menerima pejantan untuk kawin. Stadium ini berlangsung kira-kira 12 jam dimulai pada malam hari (Smith dan Mangkoewidjojo 1988). Kondisi ini berakhir setelah 9-15 jam dengan ciri-ciri aktivitas hewan berlari-lari sangat tinggi di bawah pengaruh FSH. Pengaruh FSH menyebabkan sel-sel folikel ovari tumbuh dengan cepat sehingga sekresi estrogen meningkat. Pada pemeriksaan apusan ulas vagina terlihat banyaknya sel pavement /sel yang menumpuk dan sel kornifikasi /sel yang mengalami penandukan (Gambar 9B) (Nalbandov 1990; Baker et al. 1980). Pada fase estrus, vaskularisasi semakin meningkat estrus, pada ovarium terjadi fase folikuler dan pada uterus terjadi fase proliferasi.
Metestrus
Diameter dan panjang kelenjar meningkat secara cepat menjadi bercabang-cabang dan berkelok-kelok akibat adanya progesteron (Nalbandov 1990).
Diestrus
Fase diestrus merupakan periode terakhir dan terlama dari siklus birahi, fase ini berlangsung antara 60 - 70 jam (Turner dan Bagnara 1976), sedangkan menurut (Smith dan Mangkoewidjojo 1988) fase ini berlangsung kira-kira 57 - 60 jam. Pada fase ini terjadi pematangan korpus luteum, bila terjadi fertilisasi korpus luteum akan dipertahankan, tetapi jika tidak terjadi regresi dari korpus luteum akibat pengaruh PGF2α
Fitoestrogen
(Hafez 1980). Pada pemeriksaan apusan ulas vagina (Gambar (D) terlihat sel-sel epitel berinti dan lekosit (sel darah putih) (Baker et al. 1980).
Fitoestrogen merupakan sumber estrogen yang berasal dari tanaman yang merupakan senyawa non steroidal dan mempunyai aktivitas estrogenik atau dimetabolisme menjadi senyawa beraktivitas estrogen (Tsourounis 2004). Fitoestrogen merupakan substrat dari tanaman yang berkhasiat seperti estrogen dan mempunyai inti yang sama seperti estrogen walaupun rumus bangun kimianya berbeda dengan estrogen. Khasiat estrogenik terjadi karena fitoestrogen mempunyai 2 gugus -OH/hidroksil yang jaraknya sama (11.0 - 11,5 Aº) pada intinya, begitu juga dengan inti estrogen sendiri. Para ilmuwan sepakat bahwa jarak 11 A0
Isoflavone pada buah-buahan, teh hijau, kacang kedelai, dan produk kedelai seperti tempe, tahu, dan tauco.
dan gugus -OH menjadi struktur pokok suatu substrat mempunyai efek estrogenik (memiliki afinitas tertentu untuk dapat menduduki reseptor estrogen (Achadiat 2007). Suatu substrat baru akan berefek estrogenik bila telah berikatan dengan reseptor estrogen. Tetapi afinitas fitoestrogen terhadap reseptor estrogen sangat rendah bila dibandingkan dengan estrogen endogen (Tsourounis 2004). Menurut Tsourounis (2004) beberapa senyawa fitoestrogen yang terdapat dalam tanaman antara lain:
Lignane pada biji gandum dan wijen.
Coumestane pada kacang-kacangan dan biji bunga matahari.
Senyawa-senyawa estrogenik lain yang berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti flavone, chalcone, diterpenoid, triterpenoid, coumarine, dan acyclic.
Zat yang paling banyak dalam akar purwoceng adalah alkaloid dan flavonoid. Alkaloid dan flavonoid termasuk dalam golongan fitoestrogen. Berdasarkan struktur kimianya, seluruh senyawa golongan flavonoid pada tanaman merupakan induk flavon. Flavonoid merupakan senyawa larut air, etanol, metanol, dan mengandung sistem atomatik yang terkonyugasi. Secara umum flavonoid ditemukan pada tumbuhan sebagai campuran dan terikat pada gula seperti glikosida, aglikon atau dalam kombinasi beberapa bentuk aglikon. Senyawa flavonoid diklasifikasikan menjadi 10 golongan yang terkarakterisasi oleh warna pada teknik spektrofotometer dan pemisahan pada teknik kromatografi. Golongan tersebut adalah antosianin, proantosianin, flavonol, flavon, glikoflavon, biflavonil, khalkon, flavonon, dan isoflavon (Harborne 1987). Flavonoid mempunyai efek hormonal khususnya efek estrogenik karena mempunyai struktur fenolik yang mirip dengan hormon estrogen. Flavonoid pada ekstrak akar purwoceng merupakan senyawa fitoestrogen yang mempunyai kesamaan struktur kimia dengan estrogen mamalia. Berikut adalah kemiripan struktur kimia antara estrogen dan flavonoid (Gambar 10).
Gambar 10 Struktur kimia estrogen dan flavonoid (Guyton 1997; Harborne 1987)
Flavonoid mampu berikatan dengan reseptor estrogwn (RE), di dalam tubuh ada 2 reseptor
estrogen yaitu reseptor estrogen alfa (Reα) dan reseptor estrogen beta (Reβ). Reseptor estrogen α terdapat pada organ uterus, testis, hipofisis, ginjal, epididimis, dan adrenal.
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat PenelitianPenelitian ini dilakukan mulai bulan Juni 2010 sampai dengan bulan Desember 2010 di kandang percobaan Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor. Pengamatan dan pengukuran organ reproduksi betina dilakukan di Laboratorium Fisiologi, Departemen Anatomi, Fisiologi, dan Farmakologi Fakultas Kedokteran Hewan - IPB.
Alat dan Bahan
Hewan yang digunakan adalah tikus putih (Rattus norvegicus) galur Sprague Dawley yang terdiri atas tikus betina dara, dewasa kelamin berumur ± 10 minggu sebanyak 48 ekor dengan berat badan berkisar antara 150 - 200 g. Beberapa tikus putih jantan dan betina dewasa kelamin sebagai indukan. Bahan lain yang diperlukan adalah larutan fisiologis NaCl 0,9%, cotton buds, metil alkohol, larutan giemsa, kertas saring Whatman no 42, etanol 70%,
akuades, eter, akar purwoceng, ekstrak purwoceng. Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perangkat kandang tikus, kamera
digital, alat bedah, erlenmeyer, gelas ukur, corong, blender, gelas objek, mikroskop binokuler, pompa vakum, rotary vacuum evaporator (Buchi Rotavapor R-205), chiller, spuit 1 ml dan sonde lambung dari stainless steel, oven, wadah porselen, termometer, timbangan analitis, dan digital.
Metode Penelitian
Pembuatan Larutan Ekstrak Akar Purwoceng
70% selama 24 jam, setiap 2 jam diaduk. Setelah itu larutan disaring dan ekstraknya disatukan dengan hasil ekstrak yang pertama dalam erlen meyer ukuran 5 liter. Kemudian dilakukan proses evaporasi agar zat pelarut (etanol 70%) terpisah dengan menggunakan rotari evaporator (rotavapor) Buchi dengan suhu 48ºC dan kecepatan putaran per menit (rpm) sebesar 60 rpm. Selanjutnya bahan ekstrak dimasukkan ke dalam oven pengering dengan suhu ± 45 o
Persiapan Hewan Model
C selama 48 jam sehingga kadar air yang masih ada dapat menguap semuanya. Akhirnya didapat ekstrak kental (pasta) yang disimpan di dalam wadah porselen tertutup rapat. Apabila jadwal pencekokan sudah dimulai maka dari ekstrak kental purwoceng akan dibuat larutan stock sebesar 5% dengan cara melarutkan 5 g ekstrak kental purwoceng ke dalam 100 ml akuades sehingga didapat ekstrak etanol purwoceng berupa cairan berwarna kecoklatan. Ekstrak purwoceng disimpan dalam lemari es apabila tidak digunakan. Berat ekstrak kental yang didapat dari 700 gram simplisia adalah sebanyak 190 g ekstrak kental.
Tikus betina dara berumur 10 minggu (dewasa kelamin) didapat dari perkawinan induk secara alamiah dengan mencampurkan jantan dan betina dalam satu kandang. Kebuntingan ditandai dengan adanya sperma dalam apusan ulas vagina. Kemudian tikus dibiarkan bunting dan melahirkan serta menyusui anaknya hingga lepas sapih. Anak tikus betina dipelihara sampai dengan umur 10 minggu (dewasa kelamin), kemudian dijadikan hewan model. Tikus tersebut dibiarkan selama 1 minggu dalam kandang kolektif agar
dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Pemeliharaan tikus (induk, bunting dan anakan) dilakukan di dalam kandang hewan
individu yang terbuat dari plastik berukuran 30 cm x 20 cm x 12 cm (panjang x lebar x tinggi) dan dilengkapi dengan kawat kasa penutup pada bagian atasnya. Pakan dan air minum dilakukan ad libitum. Penggantian sekam dan pencucian kandang plastik dilakukan setiap 1 minggu sekali.
Pengelompokkan Hewan
dilakukan dengan cara melakukan apusan ulas vagina dari 48 ekor tikus betina dara. Setiap kelompok periode dibagi lagi menjadi kelompok kontrol (tidak dicekok purwoceng) dan kelompok perlakuan (dicekok purwoceng), masing - masing sebanyak 6 ekor. Kemudian kelompok kontrol dan perlakuan dibagi lagi menjadi kelompok dikorbankan (dibedah) dan kelompok apusan ulas vagina sampai hari ke -15, masing - masing sebanyak 3 ekor sebagai faktor pengulangan (Gambar 10).
Penentuan Dosis dan Pencekokan Ekstrak Etanol Purwocceng
Pemberian ekstrak etanol purwoceng dilakukan dengan cara mencekok tikus dengan menggunakan sonde lambung pada pagi hari setelah apusan ulas vagina pagi hari dilakukan. Pencekokan purwoceng dilakukan selama 10
hari dengan dosis sebesar 83,25 mg/kg BB (Gambar 10), sesuai dengan penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Taufiqqurrachman (1999) dengan dosis 25 mg/ml untuk berat tikus 300 g.
Pengamatan dan Pengambilan Sampel
Pengamatan terhadap periode siklus berahi dilakukan dua kali setiap harinya yaitu pagi hari (pukul 06.00 WIB) dan sore hari (pukul 18.00 WIB) dengan melakukan apusan ulas vagina. Pengambilan apusan ulas vagina dilakukan dengan menggunakan cotton bud ukuran kecil yang sudah dibasahi dengan NaCl fisiologis 0,9%. Apusan ulas vagina dioleskan pada kaca preparat (gelas objek) dengan merata kemudian di fiksasi dalam metanol selama 5 menit. Setelah itu diwarnai dengan pewarna Giemsa selama 30 menit, kelebihan Giemsa dicuci dengan air kran mengalir. Setelah dikeringkan dengan tisue, preparat diperiksa di bawah mikroskop dengan perbesaran 40 kali. Hasil pembacaan kemudian dicatat setiap hari sesuai dengan kelompok pada periode siklus berahi berdasarkan gambaran sel epitelnya sehingga dapat diperoleh panjang siklusnya. Pengamatan preparat apusan ulas vagina dilakukan selama 10 hari (2 siklus) untuk kelompok dikorbankan dan juga pengamatan apusan ulas vagina selama 15 hari untuk masing - masing kelompok fase.
Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis dan dibandingkan dengan menggunakan metode Analysis of Variance (ANOVA), dilanjutkan dengan uji t-student (Steel dan Torrie 1989).
Bagan Penelitian
HASIL DAN PEMBAHASAN
Efektivitas Ekstrak Etanol Akar Purwoceng terhadap Periode Siklus Berahi
Beberapa penelitian terdahulu melaporkan bahwa panjang siklus berahi berkisar antara 4 - 5 hari, terdiri atas periode proestrus selama 12 jam, periode estrus selama 12 jam, periode metestrus selama 21 jam, dan periode diestrus selama 57 jam (Baker et al. 1980). Pada penelitian ini, rataan panjang periode siklus berahi tikus disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Nilai rataan panjang siklus berahi dan periodenya pada tikus yang dicekok purwoceng dan kontrol
Keterangan: huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan ada perbedaan yang nyata (P<0.05)
Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa tikus yang dicekok purwoceng pada saat periode proestrus dan estrus cenderung mempunyai pola rataan waktu periode proestrus dan estrus lebih panjang bila dibandingkan kontrol. Periode estrus pada tikus yang dicekok saat estrus menunjukkan waktu yang lebih panjang secara nyata (P<0,05). Semakin panjang periode estrus dibandingkan dengan kontrol maka proses kawin antara jantan dan betina menjadi lebih lama. Dengan adanya kondisi tersebut, terjadinya proses fertilisasi menjadi lebih besar kemungkinannya. Secara umum pada tikus yang dicekok pada saat periode proestrus dan estrus justru terjadi pemendekan waktu periode metestrus dan diestrus bila dibandingkan dengan periode kontrolnya. Pola yang sama ditunjukkan oleh tikus yang dicekok pada periode metestrus dan diestrus yaitu terjadi kecenderungan pemanjangan waktu periode proestrus dan estrus kecuali pada tikus yang dicekok periodediestrus, mempunyai panjang periode proestrus yang sama dengan kelompok kontrol. Tikus yang dicekok purwoceng pada saat periode metestrus dan diestrus juga mempunyai nilai rataan periode lebih pendek pada periode metestrus dan diestrusnya bila dibandingkan dengan periode kontrolnya kecuali pada
Perlakuan
Periode Hasil Pengamatan (Jam)
Proestrus Estrus Metestrus Diestrus
periode metestrus yang menunjukkan perpanjangan waktu periode metestrus bila dibandingkan dengan kontrolnya (P<0,05). Pada tabel ini juga tampak bahwa nilai panjangnya periode yang paling tinggi muncul pada pengamatan periode ketika pencekokkan dilakukan pada periode tersebut. Panjang periode proestrus yang paling tinggi terjadi pada kelompok tikus yang dicekok pada periode proestrus, demikian juga panjang periode estrus yang paling tinggi terjadi pada kelompok tikus yang dicekok pada periode estrus. Hal ini juga terjadi pada kelompok metestrus dan diestrus. Panjang siklus berahi pada tikus yang dicekok purwoceng pada setiap periode yang berbeda tidak menunjukkan perbedaan dengan tikus kelompok kontrol (P<0,05). Efek pemberian herbal lain seperti triptolide yang diisolasi dari tanaman Triptergium wilfordii pada tikus betina galur Sprague-Dawley dengan dosis
200 μg/kg dan 400 μg/kg menyebabkan meningkatnya kadar hormon gonadotropin (Folicle Stimulating Hormone dan Luteinizing Hormone), siklus estrus bertambah panjang, bobot uterus dan ovarium secara signifikan menjadi turun (Jing et al. 2011). Pemberian ekstrak metanol daun Aspilia africana pada tikus betina galur Wistar dengan berbagai dosis menyebabkan siklus estrus menjadi lebih pendek secara signifikan (Kayode et al. 2007).
Periode proestrus dan estrus adalah periode siklus berahi yang terjadi saat terjadi fase folikular pada ovarium. Pada fase folikular ini terjadi perkembangan folikel de Graf di bawah pengaruh gonadotropin (FSH dan LH) yang akan siap diovulasikan. Perkembangan folikel ini melibatkan 2 sel yang berada didalamnya yaitu sel granulosa dan sel teka yang berkembang. Sel granulosa akan berkembang dibawah pengaruh Follicle Stimulating Hormon (FSH) dan sel teka akan berkembang dibawah pengaruh Luteinizing Hormone (LH). Sel teka yang berkembang ini mensintesis androgen yaitu testosteron dari asetat dan kolesterol, sedangkan sel granulosa tidak mensintesis testosteron tetapi mendapatkan asupan testosteron dari sel teka yang pada akhirnya testosteron ini akan diaromatisasi oleh enzim aromatase yang ada pada sel granulosa menjadi estrogen.
Berdasarkan hasil uji Laboratorium Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatika, uji fitokimia akar purwoceng secara kualitatif adalah sebagai berikut:
fitoestrogen dapat mengurangi gejala menopause, memperbaiki lipid/lemak dalam plasma, menghambat perkembangan arteriosklerosis serta menghambat pertumbuhan sel-sel tumor/kanker pada payudara dan endometrium (Hidayati 2003).
Penelitian terdahulu menyatakan bahwa pemberian purwoceng pada tikus putih jantan galur Sprague Dawley dapat meningkatkan kadar LH dan kadar testosteron pada tikus jantan (Taufiqqurrachman 1999). Perpanjangan periode proestrus dan estrus yang terjadi pada tikus yang dicekok pada periode tersebut juga diduga adalah karena pada tikus betina juga terjadi peningkatan testosteron sehingga juga memicu peningkatan estrogen. Kemungkinan yang terjadi adalah bahan aktif pada purwoceng dapat menduduki reseptor yang sama dengan reseptor yang dimiliki oleh LH pada sel teka dan atau reseptor testosteron pada sel granulosa. Reseptor dari hormon estrogen terdapat di dalam sitoplasma sel dan tenunan tujuan dari organ uterus, hipofisa pars anterior, kelenjar ambing, dan tenunan-tenunan organ reproduksi lainnya pada hean jantan maupun betina. Setelah mengalami rangsangan akan terjadi proses translokasi ke dalam inti sel (Soewondo 1990). Estrogen mempunyai 2 jenis reseptor yaitu reseptor estrogen alfa (REα) dan reseptor estrogen beta (REβ). Reseptor α terdapat pada organ uterus, testis, hipofisis, ginjal, epididimis, dan adrenal sedangkan reseptor beta terdapat pada organ ovarium. Untuk organ uterus yang berperan adalah RE α sedangkan organ ovarium yang berperan REβ. Estrogen merupakan hormon steroid, yang sangat penting untuk sistem reproduksi betina dan akan berikatan dengan reseptor alfa dengan target organ pada sistem reproduksi (Barnes dan Kim 1998). Estrogen merupakan molekul kecil yang bersifat hidrofobik sehingga dapat berdifusi ke dalam sel dan pada sel target estrogen akan mengikat protein reseptor yang ada di dalam sitoplasma atau inti (Pineda 1989). Menurut Tsourounis (2004) fitoestrogen memiliki struktur kimia mirip
17β estradiol sehingga dapat berikatan dengan reseptor estrogen alfa. Sementara itu reseptor
estrogen beta target organnya adalah pada ovarium, tulang, jantung,hati, otak, dan kandung kemih (Barnes dan Kim 1998). Di dalam uterus lebih banyak mengandung reseptor estrogen alfa daripada reseptor estrogen beta sehingga reseptor estrogen alfa lebih berperan pada saat
Perubahan Panjang Siklus Berahi Setelah Pencekokan Dihentikan
Pengamatan terhadap panjang periode siklus berahi tikus dilanjutkan sampai dengan 15 hari setelah sebelumnya dicekok purwoceng selama 10 hari untuk melihat proses perubahan siklus kembali ke siklus normal seperti sebelum dilakukan pencekokan.
Tabel 2. Nilai rataan panjang siklus berahi dan periodenya setelah pencekokan purwoceng dihentikan
Keterangan: huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan ada perbedaan yang nyata (P<0.05)
Tabel 2 adalah pengamatan terhadap panjang masing-masing periode siklus berahi pada tikus yang sudah tidak dilakukan pencekokan lagi setelah pencekokan selama 10 hari. Secara umum kelompok tikus yang yang dicekok purwoceng pada berbagai periode, panjang periode proestrus dan estrusnya sudah menunjukkan pemulihan waktu siklus berahinya segera setelah dihentikan pemberian purwoceng. Tikus yang sebelumnya dicekok purwoceng pada saat proestrus, periode metestrusnya masih lebih pendek dari periode metestrus pada tikus kontrol dan pada tikus yang sebelumnya dicekok pada periode estrus dan metestrus, periode diestrusnya juga masih lebih pendek dari tikus kontrol. Hal ini menyebabkan panjang siklus berahi masih berbeda antara tikus yang dicekok purwoceng dan tikus kontrol.
Bobot Uterus dan Ovarium
Bobot uterus dan ovarium tikus yang dicekok purwoceng pada periode yang berbeda dalam dua siklus berahi yaitu proestrus, estrus, metestrus, dan diestrus disajikan pada Tabel 3.
Perlakuan
Periode Hasil Pengamatan (Jam)
Proestrus Estrus Metestrus Diestrus
Tabel 3. Nilai rataan bobot uterus dan ovarium pada berbagai pencekokan siklus berahi (proestrus, estrus, metestrus dan diestrus)
Keterangan: huruf yang berbeda pada kolom dan baris yang sama menunjukkan ada perbedaan yang nyata (P<0.05)
Secara umum bobot uterus dan bobot ovarium tikus yang dicekok purwoceng pada periode proestrus, metestrus, dan diestrus dengan bobot pada tikus kontrol tidak menunjukkan perbedaan. Akan tetapi bobot uterus dan ovarium pada tikus yang dicekok pada periode estrus menunjukkan perbedaan yang signifikan (P<0,05) bila dibandingkan dengan bobot uterus dan ovarium pada tikus kontrol. Sesuai dengan fase estrus yang semakin panjang bila mendapatkan asupan purwoceng maka dugaan bahwa terjadinya peningkatan estrogen juga akan berdampak pada peningkatan bobot uterus dan ovarium. Estrogen merupakan hormon yang dapat menyebabkan terjadinya akumulasi cairan dan vaskularisasi, pertumbuhan dan aktivitas endometrium serta mempersiapkan kerja progesteron pada endometrium (Johnson dan Everitt 1984). Namun demikian tidak ditemukan adanya perbedaan bobot uterus pada setiap periode pada tikus yang dicekok purwoceng walaupun estradiol dapat ditemukan pada konsentrasi yang tinggi saat periode estrus.
Hasil penelitian Astuti (1999) membuktikan bahwa fitoestrogen dalam ransum tepung kedelai dan tepung tempe mempunyai efek uterotropik (meningkatkan bobot uterus) karena isoflavon dengan aktivitas estrogen menyebabkan produksi estrogen meningkat dan menstimulir penebalan endometrium sehingga uterus membesar dan bobotnya meningkat. Peningkatan kadar estrogen yang tinggi berdampak pada peningkatan bobot uterus dan ovarium. Selain itu tingginya alkaloid dan flavonoid menyebabkan makin panjangnya periode estrus.
Purwoceng dengan kandungan alkaloid dan flavonoid yang cukup tinggi (3+) diharapkan dapat menjadi alternatif pengobatan dalam menanggulangi kasus-kasus reproduksi seperti dalam penelitian ini. Namun pemberiannya harus dilakukan pada saat yang tepat yaitu saat periode estrus. Periode estrus ini merupakan periode dengan
Bobot (g)
Periode
Proestrus Estrus Metestrus Diestrus
kadar estrogen yang paling tinggi dibandingkan periode lainnya. Tingginya estrogen ini ditambah dengan fitoestrogen yang ditambahkan dari luar seperti dari purwoceng akan memberikan efek yang signifikan. Pemberian purwoceng yang diduga mempunyai efek estrogenik dari kandungan flavonoidnya mampu meningkatkan bobot uterus secara signifikan ketika pemberian tersebut dilakukan pada periode estrus. Flavonoid mempunyai efek estrogenik yaitu dapat bekerja seperti estrogen dengan cara menduduki reseptor estrogen. Pada uterus, estrogen akan menduduki reseptor estrogen alfa (Barnes dan Kim 1998). Uterus adalah organ reproduksi wanita yang akan menjadi tempat berkembangnya embrio kemudian fetus. Penambahan bobot uterus memberikan makna bahwa kemungkinan terjadinya proliferasi sel-sel pada uterus. Rangsangan terjadinya proliferasi ini dapat terjadi bila ada peran estrogen yang terlibat di dalamnya. Estrogen diketahui dapat merangsang proliferasi sel (Guyton dan Hall 1997; Hafez 2000). Fungsi estrogen pada organ vagina juga dapat menyebabkan proliferasi dan kornifikasi epitel (Guyton dan Hall 1997).
Pertumbuhan dan perkembangan uterus yang baik diharapkan dapat memberikan lingkungan yang lebih baik bagi embrio atau fetus untuk berkembang. Fetus yang memiliki pertumbuhan dan perkembangan yang baik juga akan menghasilkan anak-anak yang dilahirkan berkualitas baik. Pada akhirnya anak-anak tersebut diharapkan akan memiliki daya tahan hidup yang lebih baik. Pemberian purwoceng dengan dosis yang tepat dan saat yang tepat diharapkan mempu menjadi alternatif untuk mendapatkan kinerja reproduksi yang lebih baik dengan cara berkesinambungan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada penelitian ini dapat disimpulkan bahwa:
1.
Pemberian purwoceng pada berbagai periode selama 2 siklus meningkatkan waktu periode proestrus dan estrus, yang secara signifikan terjadi pada perpanjangan waktu estrus bila diberikan pada saat periode estrus (P<0,05).2.
Pemberian purwoceng pada berbagai periode selama 2 siklus menurunkan waktu periode metestrus dan diestrus, kecuali periode metestrus pada tikus yang diberi purwoceng pada saat periode metestrus yang meningkat (P<0,05).3. Pencekokan purwoceng saat periode estrus akan menghasilkan bobot uterus dan ovarium yang lebih tinggi dan berbeda sangat signifikan dibandingkan kontrol (P<0,05)
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Achadiat CM. 2004. Prospek phytoestrogen dalam pengobatan menopause Anonim. 2000. Farmakope Obat Indonesia. Edisi I. Departemen Kesehatan RI. Jakarta.
Anonim. 2004. Phytoestrogen. http:www.herbalchem.net. [20 Okt 2004]. Anwar NS. 2001. Manfaat obat tradisional sebagai afrodisiak serta dampak positifnya untuk menjaga stamina. Makalah pada Seminar Setengah Hari “Menguak Manfaat Herbal bagi Vitalitas Seksual”. Jakarta. 13 Oktober 2001. hlm 8.
Artha, AT. 2007. Mengenal daya guna tanaman obat purwoceng.
Astuti S. 1999. Pengaruh tepung kedelai dan tempe dalam ransum terhadap fertilitas tikus percobaan (tesis). Bogor:Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Baker DEJ, Lindsey JR, Weisbroth SH. 1980. The laboratory rat. Volume 11 Research Applications. Academic Press Inc. London
Barnes S dan Kim H. 1998. Soy isofalvone, estrogens and growth factor signaling. The soy connection newslette vol 6.
Caropeboka AM, Lubis I. 1975. Pemeriksaan pendahuluan kandungan kimia akar Pimpinella alpina (Purwoceng). Prosiding Simposium Penelitian Tanaman
Guyton, Ac dan Hall JE. 1997. Buku ajar fisiologi kedokteran. Ed ke-9. Irawati Setiawan, editor. Jakarta: EGC.
Frandson RD. 1986. Anatomy and physiology of farm animals. 4th Febiger. Philadelphia.
Ed. Lea &
Harborne JB. 1987. Metode fitokimia. Penuntun cara modern menganalisis Tumbuhan. Bandung: Penerbit ITB.
Harknes JE. Dan Wagner JE. 1989. The biology and medicine of rabbits and r ʳ Ed. Lea & Febiger. Philadelphia.
Harper HA, Rodel VW, Mayes PA. 1979. Riview of Physiological Chemistr. Martin Muliawan, penerjemah, Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran.
Hidayati. 2003. Peran isoflavon untuk kesehatan reproduksi wanita. Cermin dunia Kedokteran 139.
Heyne K. 1987. Tumbuhan berguna Indonesia. Jilid III Cetakan ke-1. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta.
Jing L et al. 2011. Triptolide induces adverse effect on reproductive parameters of female Sprague Dawley rats. Drug & Chemical Toxicology Vol. 34 Issue 1, p1-7
Johnson M, Everitt B. 1984. Essential reproduction. 2nd edition. London dan Beccles: William Clowes Limited.
Johnston I. 2003. Phytochem Functional Foods. CRC Press Inc. Hal 66 – 68. Juniarto AZ. 2004. Perbedaan pengaruh pemberian ekstrak Eurycomalongifolia dan Pimpinella alpina pada spermatogenesis tikus Sprague Dawley (Tesis). Semarang: Universitas Dipenogoro, Program Studi Ilmu Biomedik.
Kage DN, Malashetty VB, Seetharam YN, Suresh P, Patil SB. 2009. Effect of
Malole. MBM dan Pramono CS. 1989 Penggunaan hewan-hewan percobaan laboratorium. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.Direktorat Jendral Pendidikan dan Kebudayaan. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
McLaclahan JA. 1975. Reproductive tract lesion in male mice exposed prenatally Pineda MH. 1989. Female reproductive system. Di dalam: Mc Donald, editor. Veterinery Endocrinology and Reproduction. Ed. Ke-4. Lea & Febiger.
Rostiana O et al. 2003. Eksplorasi potensi purwoceng dan cabe jawa serta perbaikan potensi genetik menunjang industri obat tradisional afrodisiak. Laporan Teknis Penelitian Penguasaan Teknologi tanaman Rempah dan Obat. Tahun 2003/2004. Bogor:Balittro.
Sidik, Sasongko, Kurnia E dan Ursula. 1985. Usaha isolasi turunan kumarin akar purwoceng (Pimpinella alpina Molk.) asal dataran tinggi Dieng. Prosiding Penelitian Tanaman Obat I. Bogor.
Sjamsuhidayat SS , Johnny RH. 1991. Inventaris tanaman obat I. Badan Litbangkes Departemen Kesehatan. Jakarta.
Smith JB, Mangko ewidjojo S. 1987. The Care, breeding and
management of experimental animals for researsch in the tropics International Development Program of Australia Universities and College (IDP). Canberra.
Soewondo D. 1990. Fisiologi kelenjar endokrin vol.1. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor.
Steel RGD, Torrie JH. 1989. Prinsip dan prosedur statistik. B. Sumantri, penerjemah. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Taufiqqurrachman dan Wibowo. 2006. Effect of purwoceng (Pimpinella alpina) Extract in stimulating testosterone, luteinizing Hormone (LH) and follicle stimulating hormone (FSH) in Sprague Dawley male rats.
Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXVIII : Bogor, 15 - 16 Sept 2006. Bogor: Balittro – POKJANAS. Direktorat Tanaman Sayuran dan Biofarmaka. Hal 62 – 71.
Toelihere MR. 1981. Fisiologi reproduksi pada ternak. Penerbit Angkasa. Bandung.
Tsourounis C. 2004. Clinical effects of fitoestrogens. Clinical Obstetrict and Gynecology. 44 (4): 836-42.
Lampiran 2. Analisis Variansi Pencekokan Proestrus
T-TEST /TESTVAL=0 /MISSING=ANALYSIS /VARIABLES=proestrus estrus metestrus diestrus
/CRITERIA=CI(.95).
Pencekokan proestrus
Missing Value Handling Definition of Missing User defined missing values are treated as
missing.
Cases Used Statistics for each analysis are based on the
\T-TEST /TESTVAL=0 /MISSING=ANALYSIS /VARIABLES=proestrus estrus metestrus
Missing Value Handling Definition of Missing User defined missing values are treated as
missing.
Cases Used Statistics for each analysis are based on the
T-TEST /TESTVAL=0 /MISSING=ANALYSIS /VARIABLES=proestrus estrus metestrus diestrus /CRITERIA=CI(.95).
Test Value = 0
95% Confidence Interval of the Difference
t df Sig. (2-tailed) Mean Difference Lower Upper
proestrus 16.583 11 .000 15.00000 13.0091 16.9909
estrus 11.663 11 .000 19.50000 15.8200 23.1800
metestrus 17.983 11 .000 21.00000 18.4298 23.5702
One-Sample Statistics
N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
proestrus 12 15.0000 3.13340 .90453
estrus 12 19.5000 5.79184 1.67196
Lampiran 3. Analisis variansi pencekokkan estrus
Missing Value Handling Definition of Missing User defined missing values are treated as
missing.
Cases Used Statistics for each analysis are based on the
One-Sample Test
Test Value = 0
95% Confidence Interval of the Difference
t df Sig. (2-tailed) Mean Difference Lower Upper
proestrus 16.583 11 .000 15.00000 13.0091 16.9909
estrus 11.663 11 .000 19.50000 15.8200 23.1800
metestrus 17.983 11 .000 21.00000 18.4298 23.5702
Lampiran 4. Analisis variansi pencekokan metestrus
T-TEST /TESTVAL=0
/MISSING=ANALYSIS
/VARIABLES=proestrus estrus metestrus diestrus /CRITERIA=CI(.95).
T-Test
Notes
Output Created 27-Jan-2011 10:19:26
Comments
Input Active Dataset DataSet0
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data File 12
Missing Value Handling Definition of Missing User defined missing values are treated as
missing.
Cases Used Statistics for each analysis are based on the
cases with no missing or out-of-range data for any variable in the analysis.
Syntax T-TEST
/TESTVAL=0
/MISSING=ANALYSIS
/VARIABLES=proestrus estrus metestrus diestrus
/CRITERIA=CI(.95).
Resources Processor Time 0:00:00.015
Elapsed Time 0:00:00.018
One-Sample Statistics
N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
proestrus 12 13.5000 2.71360 .78335
estrus 12 14.5000 3.08957 .89188
metestrus 12 26.0000 2.95420 .85280
diestrus 12 66.0000 5.11682 1.47710
One-Sample Test
Test Value = 0
95% Confidence Interval of the Difference
t df Sig. (2-tailed) Mean Difference Lower Upper
proestrus 17.234 11 .000 13.50000 11.7759 15.2241
estrus 16.258 11 .000 14.50000 12.5370 16.4630
metestrus 30.488 11 .000 26.00000 24.1230 27.8770
Lampiran 5. Analisis variansi pencekokan diestrus
T-TEST /TESTVAL=0 /MISSING=ANALYSIS /VARIABLES=proestrus estrus metestrus diestrus /CRITERIA=CI(.95).
Missing Value Handling Definition of Missing User defined missing values are treated as
missing.
Cases Used Statistics for each analysis are based on the
cases with no missing or out-of-range data for any variable in the analysis.
One-Sample Test
Test Value = 0
95% Confidence Interval of the Difference
t df Sig. (2-tailed) Mean Difference Lower Upper
estrus 16.583 11 .000 15.00000 13.0091 16.9909
metestrus 29.712 11 .000 26.50000 24.5370 28.4630
Lampiran 6. Analisis variansi pencekokan dihentikan (PROESTRUS)
T-TEST /TESTVAL=95 /MISSING=ANALYSIS /VARIABLES=proestrus estrus metestrus diestrus /CRITERIA=CI(.95).
Missing Value Handling Definition of Missing User defined missing values are treated as
missing.
Cases Used Statistics for each analysis are based on the
cases with no missing or out-of-range data for any variable in the analysis.
One-Sample Test
Test Value = 95
95% Confidence Interval of the Difference
t df Sig. (2-tailed) Mean Difference Lower Upper
estrus -40.500 5 .000 -81.00000 -86.1412 -75.8588
metestrus -57.712 5 .000 -73.00000 -76.2516 -69.7484
Lampiran 7. Analisis variansi pencekokan dihentikan (ESTRUS)
T-TEST /TESTVAL=0 /MISSING=ANALYSIS /VARIABLES=proestrus estrus metestrus diestrus /CRITERIA=CI(.95).
T-Test
Notes
Output Created 27-Jan-2011 11:12:22
Comments
Input Active Dataset DataSet0
Filter <none>
Weight <none>
Split File <none>
N of Rows in Working Data File 6
Missing Value Handling Definition of Missing User defined missing values are treated as
missing.
Cases Used Statistics for each analysis are based on the
cases with no missing or out-of-range data for any variable in the analysis.
Syntax T-TEST
/TESTVAL=0
/MISSING=ANALYSIS
/VARIABLES=proestrus estrus metestrus diestrus
/CRITERIA=CI(.95).
Resources Processor Time 0:00:00.016
Elapsed Time 0:00:00.024
[DataSet0]
N Mean Std. Deviation Std. Error Mean
proestrus 6 12.0000 .00000a .00000
estrus 6 18.0000 3.79473 1.54919
metestrus 6 20.0000 4.89898 2.00000
diestrus 6 63.0000 9.09945 3.71484
a. t cannot be computed because the standard deviation is 0.
One-Sample Test
Test Value = 0
95% Confidence Interval of the Difference
t df Sig. (2-tailed) Mean Difference Lower Upper
estrus 11.619 5 .000 18.00000 14.0177 21.9823
metestrus 10.000 5 .000 20.00000 14.8588 25.1412
Lampiran 8. Analisis variansi pencekokan dihentikan (METESTRUS)
T-TEST /TESTVAL=0 /MISSING=ANALYSIS /VARIABLES=proestrus estrus metestrus diestrus /CRITERIA=CI(.95).
Missing Value Handling Definition of Missing User defined missing values are treated as
missing.
Cases Used Statistics for each analysis are based on the
cases with no missing or out-of-range data for any variable in the analysis.
One-Sample Test
Test Value = 0
95% Confidence Interval of the Difference
t df Sig. (2-tailed) Mean Difference Lower Upper
estrus 13.000 5 .000 13.00000 10.4294 15.5706
metestrus 25.000 5 .000 25.00000 22.4294 27.5706
Lampiran 9. Analisis variansi pencekokan dihentikan (DIESTRUS)
T-TEST /TESTVAL=0 /MISSING=ANALYSIS /VARIABLES=proestrus estrus metestrus diestrus /CRITERIA=CI(.95).
a. t cannot be computed because the standard deviation is 0. Notes
Missing Value Handling Definition of Missing User defined missing values are treated as
missing.
Cases Used Statistics for each analysis are based on the
One-Sample Test
Test Value = 0
95% Confidence Interval of the Difference
t df Sig. (2-tailed) Mean Difference Lower Upper
estrus 13.000 5 .000 13.00000 10.4294 15.5706
metestrus 15.492 5 .000 24.00000 20.0177 27.9823
Lampiran 10. Analisis variansi ovarium
T-TEST /TESTVAL=0 /MISSING=ANALYSIS /VARIABLES=PROESTRUS ESTRUS METESTRUS DIESTRUS /CRITERIA=CI(.95).
Missing Value Handling Definition of Missing User defined missing values are treated as
missing.
Cases Used Statistics for each analysis are based on the
One-Sample Test
Test Value = 0
95% Confidence Interval of the Difference
t df Sig. (2-tailed) Mean Difference Lower Upper
PROESTRUS 31.997 5 .000 .09833 .0904 .1062
ESTRUS 12.910 5 .000 .10000 .0801 .1199
METESTRUS 30.984 5 .000 .08000 .0734 .0866