• Tidak ada hasil yang ditemukan

The histomorphological of seminiferous tubules and prostat gland of rats (Rattus Norvegicus) and concentration of androgen hormone after given purwoceng extract (Pimpinella alpina Molk.)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "The histomorphological of seminiferous tubules and prostat gland of rats (Rattus Norvegicus) and concentration of androgen hormone after given purwoceng extract (Pimpinella alpina Molk.)"

Copied!
146
0
0

Teks penuh

(1)

KONSENTRASI HORMON ANDROGEN PASCA PEMBERIAN

EKSTRAK PURWOCENG (

Pimpinella alpina

Molk.)

LAURA CHRONIKA HOSIANNA SIMANJUNTAK

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

KONSENTRASI HORMON ANDROGEN PASCA PEMBERIAN

EKSTRAK PURWOCENG

(Pimpinella alpina

Molk.

)

LAURA CHRONIKA HOSIANNA SIMANJUNTAK

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Biologi Reproduksi

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(4)
(5)

Dengan ini saya menyatakaan bahwa tesis berjudul Histomorfologi Tubulus Seminiferus dan Kelenjar Prostat Tikus Jantan (Rattus Norvegicus) serta Konsentrasi Hormon Androgen Pasca Pemberian Ekstrak Purwoceng (Pimpinella

Alpina Molk.) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing

dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya orang lain yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian bogor.

Jakarta, Januari 2013

Laura Chronika Hosianna Simanjuntak

(6)
(7)

i

Seminiferus dan Kelenjar Prostat Tikus (Rattus Norvegicus) Serta Konsentrasi Hormon Androgen Pasca Pemberian Ekstrak Purwoceng (Pimpinella Alpina

Molk.). Dibimbing oleh BAMBANG PURWANTARA dan ADI WINARTO.

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki beragam jenis tanaman herbal. Pimpinella alpina Molk. atau yang dikenal sebagai purwoceng adalah salah satu tanaman herbal indonesia yang memiliki khasiat sebagai afrodisiaka yang mampu meningkatkan libido pada jantan. Selain itu, telah dilaporkan bahwa terjadi peningkatan kadar hormon LH (lutheinizing hormone) dan testosteron dalam serum darah tikus jantan yang diberikan ekstrak purwoceng. Pemberian ekstrak purwoceng diduga selain dapat meningkatkan hormon LH dan testosteron, berpengaruh terhadap organ primer dan sekunder pada jantan serta konsentrasi hormon androgen (testosteron dan dihidrotestosteron). Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari spermatogenesis, kelenjar prostat dan produksi hormon androgen yaitu testosteron dan DHT (dihidrotestosteron) tikus pasca pemberian ekstrak purwoceng serta menentukan dosis terbaik pada masing-masing kelompok umur tikus jantan. Perlakuan dilakukan selama 14 hari dengan mencekok tiga kelompok umur tikus jantan (pubertas, dewasa, dan tua) dengan dosis 25 mg dan 50 mg serta 0 mg sebagai kontrol. Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya peningkatan derajat spermatogenesis dalam tubulus seminiferus setelah semua kelompok umur menerima ekstrak purwoceng. Selain itu, penelitian ini membuktikan adanya peningkatan persentase aktivitas kelenjar prostat dalam memproduksi sekreta. Dosis 50 mg merupakan dosis yang memberikan respon tertinggi bagi semua kelompok umur. Pengaruh ekstrak purwoceng terhadap konsentrasi hormon androgen (testosteron dan DHT) cenderung memberikan peningkatan dan penurunan pada kelompok umur tertentu, namun belum menunjukkan pengaruh yang signifikan (p>0.05). Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini bahwa spermatogenesis, aktivitas kelenjar prostat dan produksi hormon androgen meningkat pada semua umur, sedangkan pada umur pubertas produksi hormon DHT menurun setelah pemberian ekstrak purwaceng.

(8)
(9)

ii

Of Seminiferous Tubules and Prostat Gland Of Rats (Rattus Norvegicus) and Concentration Of Androgen Hormone After Given Purwoceng Extract

(Pimpinella alpina Molk.). Supervised by BAMBANG PURWANTARA and

ADI WINARTO.

Indonesia is one of the countries which has many kinds of herbal plants.

Pimpinella alpina Molk. well known as purwoceng is one of Indonesian herbal

plants which have aphrodisiaca actions may enhance libido in males. Moreover, it has been reported that an increase the levels of LH (lutheinizing hormone) and testosterone in blood serum of male rats given the purwoceng extract. The increase of the LH and testosterone level thought to affect the primary and secondary organs in males and level of androgens hormones (testosterone and dihydrotestosterone or DHT). The objective of these experiment was to determine the spermatogenesis, prostate glands activity and the production of androgen hormone (testosterone and DHT) of rats after given of purwoceng extract and it influence of dose and age. The treatment were given orally for 14 days in three age groups (puberty, adult and old) of male rats by received the dose of 25 mg and 50 mg and 0 mg as control. The results shows an increase of the stage of spermatogenesis in the seminiferous tubules after all age groups received purwoceng extract with 50 mg dose of purwoceng was the best since it had the highest response. In addition, these experiment shows there has been an increase of the percentage of prostate glands activity producing prostate fluid. The animals who received the 50 mg purwoceng extract showed the highest response at any age. The effect of the purwoceng extract on the concentrations of androgens (testosterone and DHT) was higher and lower in some age group, but has not perfomed significant effects (p> 0.05). In conclusion of these experiment shows the stage of spermatogenesis, prostate glands activity and the production of androgen hormones increases at all ages, while at the age of puberty the DHT hormone production decreases after giving purwaceng extract.

(10)
(11)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2011

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(12)
(13)

atas berkatNya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Histomorfologi Tubulus Seminiferus dan Kelenjar Prostat Tikus (Rattus Norvegicus) serta Konsentrasi Hormon Androgen Pasca Pemberian Ekstrak Purwoceng (Pimpinella

Alpina Molk.)” yang telah dilaksanakan sejak bulan Mei hingga Oktober 2012.

Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat untuk menyelesaikan program Magister pada Program Studi Biologi Reproduksi Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan IPB.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada drh. Bambang Purwantara, M.Sc., Ph.D selaku ketua komisi pembimbing dan drh. Adi Winarto, Ph.D selaku anggota komisi pembimbing atas kontribusi dalam memberikan bimbingan, perhatian dan membina penulis sehingga tesis ini dapat penulis selesaikan. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr selaku dekan Pascasarjana IPB, Prof. drh. Bambang Pontjo Priosoeryanto, MS., Ph.D. APVet selaku ketua Departemen KRP Fakultas Kedokteran Hewan, serta Prof. Dr. drh. Mohamad Agus Setiadi selaku ketua Program Studi BRP Fakultas Kedokteran Hewan IPB. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh dosen Program Studi BRP.

Penulis ucapkan terima kasih dengan rasa bangga kepada orang tua penulis Ayahanda terkasih Piter Markus Simanjuntak, S.H., M.Si, yang senantiasa mengiringi penulis dalam doa, dukungan dan kasih sayang dan kepada our

Edelweis, Ibunda terkasih Dumaria Siahaan (Alm). Terima kasih juga kepada

kakak, abang, dan adik tersayang Ezra Triyani Simanjuntak, SE. Ak., Mulia Hizki Hatorangan Simanjuntak, SH. MH., Putri Karolina Pitria Simanjuntak, serta my cher supérieurs Stefanus Jemianus Lepa, S.Pt atas doa dan dukungannya kepada penulis.

Kepada drh. Nuryanto, M.Si, drh. Leni Maylina, M.Si, drh. Mawar Subangkit, M.Si serta Neneng Mardianah, M.Si, sebagai rekan ilmiah terdekat, penulis ucapkan terima kasih atas kebersamaan, kerjasamanya dan atas ide-ide ilmiah serta motivasi yang telah diberikan sampai saat ini. Terima kasih pula penulis sampaikan kepada teknisi dan laboran lab. Histologi, lab. Mikrobiologi SPSS, lab. Patologi dan khususnya SEAMEO BIOTROP. Tak lupa juga penulis sampaikan terimakasih kepada rekan-rekan mayor BRP dan IBH angkatan 2010– 2012 serta seluruh pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu terima kasih atas dukungan yang senantiasa diberikan selama masa studi.

Semoga tesis ini dapat bermanfaat. Terima kasih dan salam.

Jakarta, Januari 2013

(14)
(15)

iv

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

Kerangka Pemikiran 2

Hipotesis 4

TINJAUAN PUSTAKA 5

Tanaman Purwoceng (Pimpinella alpina Molk.) 5

Kandungan Bahan Aktif Purwoceng (Pimpinella alpina Molk.) 6

Tikus (Rattus norvegicus) 7

Spermatogenesis 7

Kelenjar Prostat 10

Hormon Androgen (Testosteron dan Dihidrotestosteron) 13

METODE PENELITIAN 15

Waktu dan Lokasi Penelitian 15

Hewan Coba 15

Bahan Penelitian 15

Persiapan Hewan Coba 15

Protokol Kerja 15

Analisis Histomorfologis Tubulus Seminiferus 16

Analisis Histomorfologis Kelenjar Prostat 17

Prosedur Histomorofologis Tubulus Seminiferus dan Kelenjar Prostat 17 Analisis Hormon 18

Analisis Data 18

HASIL DAN PEMBAHASAN 19

Hasil 19

Derajat Spermatogenesis 19

Aktivitas Kelenjar Prostat 22

(16)

v

SIMPULAN DAN SARAN 37

Simpulan 37

Saran 37

DAFTAR PUSTAKA 38

(17)

vi

1 Deskripsi Tanaman Purwoceng (Pimpinella alpina Molk.) 6

2 Kriteria Penilaian Derajat Spermatogenesis 16

3 Kriteria Histomorfologis Kelenjar Prostat Aktif dan Non Aktif 17

4 Derajat spermatogenesis 21

5 Konsentrasi Hormon Androgen (Testosteron) (ng/mL) 27

6 Hasil Uji Duncan Konsentrasi Hormon Androgen (Testosteron) 27

7 Konsentrasi Hormon Androgen (Dihidrotestosteron) (ng/mL) 28

(18)

vii

1 Bagan Kerangka Pemikiran 4

2 Tanaman Purwoceng (Pimpinella alpina Molk.) 5

3 Histologi Tubulus Seminiferus “10x” 8

4 Histologi Umum Kelenjar Prostat “4x” 12

5 Histologi Ujung Kelenjar Prostat “40x” 12

6 Jalur Biosintesis Testosteron 13

7 Struktur Kimia Testosteron dan Dihidrotestosteron 14

8 Gambaran Histologis Tubulus Seminiferus Tikus Pubertas (HE) 19

9 Gambaran Histologis Tubulus Seminiferus Tikus Dewasa (HE) 20

10 Gambaran Histologis Tubulus Seminiferus Tikus Pubertas (HE) 20

11 Gambaran Histologis Aktivitas Kelenjar Prostat (HE) “10x” 23

12 Gambaran Histologis Aktivitas Kelenjar Prostat (HE) “40x” 24

13 Persentase Aktivitas Ujung Kelenjar Prostat (Aktif dan Non aktif)

(Faktor Dosis Terhadap Aktivitas Kelenjar Prostat) 25

14 Persentase Aktivitas Ujung Kelenjar Prostat (Aktif dan Non aktif)

(19)

viii

1 Analisis sidik ragam dan uji lanjut derajat spermatogenesis

(Dosis-umur pubertas) 44

2 Analisis sidik ragam dan uji lanjut derajat spermatogenesis

(Dosis-umur dewasa) 45

3 Analisis sidik ragam dan uji lanjut derajat spermatogenesis

(Dosis-umur tua) 46

4 Analisis sidik ragam dan uji lanjut derajat spermatogenesis

(Umur-dosis 0) 47

5 Analisis sidik ragam dan uji lanjut derajat spermatogenesis

(Umur-dosis 25 mg) 48

6 Analisis sidik ragam dan uji lanjut derajat spermatogenesis

(Umur-dosis 50 mg) 49

7 Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen

(testosteron) (Dosis-umur pubertas) 50

8 Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen

(testosteron) (Dosis-umur dewasa) 51

9 Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen

(testosteron) (Dosis-umur tua) 52

10 Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen

(testosteron) (Umur-dosis 0) 53

11 Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen

(testosteron) (Umur-dosis 25 mg) 54

12 Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen

(testosteron) (Umur-dosis 50 mg) 55

13 Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen

(DHT) (Dosis-umur pubertas) 56

14 Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen

(DHT) (Dosis-umur dewasa) 57

15 Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen

(DHT) (Dosis-umur tua) 58

16 Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen

(20)

ix

18 Analisis sidik ragam dan uji lanjut konsentrasi hormon androgen

(21)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Salah satu herbal di Indonesia yang telah dikenal sebagai tanaman afrodisiaka adalah purwoceng (Pimpinella alpina Molk.). Herbal dari genus

Apiaceae ini terkenal karena khasiatnya yang dapat meningkatkan stamina dan

meningkatkan libido. Purwoceng telah menjadi salah satu komoditasi tanaman obat komersial yang diolah sebagai obat tradisional (jamu) ataupun minuman khas masyarakat di daerah asalnya yaitu dataran tinggi Dieng. Pada saat ini purwoceng telah diperdagangkan dan dikonsumsi sebagai obat atau jamu diantaranya berupa bubuk dan kapsul atau dijadikan sebagai campuran kopi, teh, dan susu. Seluruh bagian tanaman purwoceng dapat digunakan sebagai obat tradisional. Menurut Heyne (1987), ekstrak purwoceng dapat digunakan sebagai obat diuretik, tonik, dan terutama sebagai afrodisiaka.

Darmawati dan Roostika (2006) melaporkan bahwa beberapa aspek yang telah diteliti sampai tahun 2006 antara lain mengenai budidaya, kultur in vitro, fitokimia serta efek farmakologi sedangkan aspek reproduksi belum banyak dilaporkan. Sidik et al. (1975) melaporkan bahwa dalam akar purwoceng terkandung bergapten, isobergapten, dan spondin yang semuanya termasuk ke dalam kelompok furanokumarin. Caropeboka dan Lubis (1975) melaporkan pula bahwa purwoceng mengandung senyawa kumarin, saponin, sterol, alkaloid, dan beberapa macam senyawa gula (oligosakarida). Penelitian yang dilakukan oleh Suzery et al. (2004) menemukan adanya kandungan senyawa stigmasterol dalam akar purwoceng.

Selain itu, aktivitas farmakologis dari ekstrak purwoceng memiliki daya kerja untuk meningkatkan aktifitas motorik, meningkatkan sensibilitas, merangsang susunan syaraf pusat serta dapat meningkatkan tingkah laku seksual pada jantan (Caropeboka 1980). Beberapa peneliti masih menduga bahwa mekanisme kerja senyawa aktif dari purwoceng berpengaruh langsung untuk merangsang syaraf pusat atau langsung diubah menjadi testosteron di dalam darah. Berbagai penelitian ekstrak purwoceng dalam bidang reproduksi yang telah dilakukan antara lain peningkatan level hormon LH (luteinizing hormone), FSH (follicle stimulating hormone), testosteron (Taufiqqurachman 1999), tingkat libido, spermatogenesis (Juniarto 2004), bobot ovarium dan uterus (Hapsari 2011), efek androgenik terhadap anak ayam jantan (Usmiati 2010) dan androgenik pada organ reproduksi betina dara (Achmadi 2011).

Konsentrasi hormon testosteron akan meningkat secara normal ketika masa pubertas dicapai dan menurun seiring meningkatnya umur. Menurut Taufiqqurachman (1999) peningkatan level hormon LH dan testosteron yang terjadi sebagai akibat dari senyawa bioaktif yang terdapat pada purwoceng berhubungan dengan keadaan tubulus seminiferus dalam proses pembentukan spermatozoa. Selain itu, hormon androgen juga bertanggung jawab terhadap perkembangan kelenjar asesoris diantaranya kelenjar prostat. Pada manusia dengan adanya peningkatan hormon dihidrotestosteron (DHT) yang berlebihan dapat memicu hiperplasia kelenjar prostat dan menyebabkan benign prostatic

(22)

Menurut Sjamsuhidayat dan De Jong (1998), adanya ketidaknormalan kelenjar prostat diduga disebabkan oleh ketidakseimbangan sistem endokrin khususnya golongan androgen yang berkorelasi dengan adanya pertambahan umur dan pola hidup. Informasi mengenai kelanjutan efek dari peningkatan level hormon testosteron terhadap organ reproduksi jantan dan hormon androgen lainnya yaitu DHT masih belum jelas. Hormon DHT diduga berpengaruh terhadap kelenjar prostat. Sampai saat ini penelitian yang menitikberatkan pengaruh pemberian ekstrak purwoceng terhadap organ reproduksi jantan khusunya pada kelenjar asesoris masih jarang dilaporkan. Kelenjar asesoris memiliki peran penting pada hewan jantan. Oleh karena itu diperlukan studi mengenai histomorfologi tubulus seminiferus dan kelenjar prostat tikus (Rattus novergicus) serta konsentrasi hormon androgen pasca pemberian ekstrak purwoceng

(Pimpinella alpina Molk.).

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari tahapan spermatogenesis dalam tubulus seminiferus dan aktifitas kelenjar prostat kelompok umur tikus jantan pasca pemberian ekstrak purwoceng. Tujuan lainnya adalah untuk mempelajari tingkat produksi hormon androgen (testosteron dan DHT) setiap kelompok umur tikus jantan pasca pemberian ekstrak purwoceng serta menentukan dosis yang memberikan pengaruh terbaik pada masing-masing kelompok umur.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi ilmiah mengenai perubahan histomorfologik dan kinerja hormon androgen pada tikus jantan pasca pemberian ekstrak purwoceng. Manfaat lainnya diharapkan dapat memberikan informasi awal mengenai pengaruh ekstrak purwoceng terhadap produksi semen.

Kerangka Pemikiran

Pimpinella alpina Molk. atau lebih dikenal sebagai tanaman purwoceng

(23)

spermatogenesis. Testosteron di produksi melalui rangsangan hipotalamus, hipofisis anterior dan sampai ke organ target yaitu testis. Tingginya konsentrasi testosteron akan memengaruhi stimulasi ke hipotalamus melalui mekanisme umpan balik negatif (negative feedback mechanism) dan secara otomatis menekan pengeluaran GnRH (Gonadothropin Releasing Hormone).

Hormon testosteron kemudian direduksi menjadi hormon DHT melalui suatu mekanisme enzimatis. Enzim yang bertanggung jawab dalam proses tersebut adalah enzim 5α-reductase. DHT adalah metabolit sekunder dari hormon testosteron yang lebih kuat khususnya dalam perkembangan organ kelamin sekunder pada jantan. Hormon DHT memiliki peran yang penting dalam perkembangan kelenjar prostat. Adanya peningkatan level hormon testosteron diduga selain memengaruhi proses spermatogenesis, juga akan memberikan pengaruh terhadap konsentrasi metabolit sekundernya yaitu DHT dan dapat memberikan pengaruh terhadap aktivitas organ sekunder lainnya seperti kelenjar asesoris khususnya prostat dalam memproduksi cairan prostat.

Secara alamiah, pada masa pubertas terjadi peningkatan level hormon testosteron yang optimum dan menurun pada umur tua. Pemilihan umur hewan coba juga menjadi salah satu pertimbangan. Pemilihan umur hewan coba juga menjadi salah satu pertimbangan, karena diketahui bahwa terdapat perbedaan konsentrasi hormonal ketika masa pubertas konsentrasi hormon androgen (testosteron) meningkat dan pada umur tua konsentrasi hormon akan secara alami menurun. Pemberian ekstrak purwoceng akan memengaruhi proses reproduksi pada tikus jantan, yaitu keberadaan hormon androgen dalam sirkulasi darah ataupun organ target dari masing-masing hormon (perubahan morfologi dan aktivitas dari jaringan dan organ reproduksi tertentu).

(24)

Gambar 1 Bagan Kerangka Pemikiran

Hipotesis

Berdasarkan uraian kerangka pemikiran maka dapat diambil hipotesis sebagai berikut, yaitu : (1) terjadi peningkatan derajat spermatogenesis dalam tubulus seminiferus pada setiap kelompok umur tikus putih jantan pasca pemberian ekstrak purwoceng; (2) terjadi peningkatan aktivitas kelenjar prostat pada setiap kelompok umur tikus putih jantan pasca pemberian ekstrak purwoceng; (3) terjadi peningkatan produksi hormon androgen (testosteron dan DHT) pada setiap kelompok umur tikus putih jantan pasca pemberian ekstrak purwoceng.

Hipotalamus

Hipofisa anterior

FSH LH

Testis (sertoli&leydig)

Testosteron

Organ seks primer

(testis : Spermatogenesis)

Organ seks sekunder

(asesoris : prostat) Dihidrotestosteron

Enzim 5α-reduktase

(25)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Purwoceng (Pimpinella alpina Molk.)

Purwoceng memiliki nama latin Pimpinella pruatjan Molk. atau

Pimpinella alpina Molk. Tanaman purwoceng (Gambar 2) merupakan salah satu

tanaman yang termasuk dalam tanaman herba aromatik komersial endemik yang dapat digunakan sebagai afrodisiak, diuretik, dan tonik. Tanaman purwoceng memiliki berbagai nama daerah yaitu Gebangan Depok, Suripandak Abang, atau Antanan Gunung (Soenanto et al. 2009). Tanaman purwoceng termasuk jenis tanaman terna menahun. Tanaman ini dapat ditemukan di dataran tinggi Dieng. Purwoceng juga ditemukan di sekitar gunung Gede Pangrango (Jawa Barat) namun keadaannya sekarang tidak diketahui. Di Jawa Timur, purwoceng ditemukan di pegunungan Anjasmoro dalam keadaan genting (Heyne 1987). Menurut hasil penelitian Hidayat et al. (2007) di kawasan Taman Nasional Bromo Tengger Semeru masih ditemukan 13 jenis tanaman obat langka salah satunya purwaceng, tetapi tanaman ini hanya ditemukan di daerah perkebunan penduduk.

Gambar 2 Tanaman purwoceng

Erosi genetik secara besar-besaran mengakibatkan populasi tanaman purwoceng di Gunung Pangrango Jawa Barat dan area pegunungan di Jawa Timur musnah karena pembabatan bagian akarnya yang dimanfaatkan sebagai viagra Jawa (Darwati dan Roostika 2006). Tahun 1990, Rifai melaporkan bahwa tanaman purwoceng digolongkan sebagai salah satu tumbuhan obat langka dengan kategori genting (endangered species). Daerah pengembangan budidaya purwoceng saat ini hanya di Dataran Tinggi Dieng dengan luasan terbatas, pada ketinggian 1.850 – 2.050m dpl, dan suhu antara 15 – 21°C (Rahardjo et al. 2006). Taksonomi tanaman purwoceng menurut Rahardjo (2003) adalah sebagai berikut :

Kingdom : Plantae

Divisio : Angiospermae

Kelas : Dicotiledonae

Subclass : Rosidae

(26)

Family : Apiaceae (Umbelliferae)

Genus : Pimpinella

Species : Pimpinella alpina Molk.

Tabel 1 Deskripsi Tanaman Purwoceng (Pimpinella alpina Molk.)

Spesifikasi Deskripsi

Habitat Semak, menutup tanah, tinggi ± 25 cm Jenis akar Tunggang seperti gingseng

Jenis batang Terlihat basah, semu (antara batang dan tangkai), bulat, lunak, hijau pucat atau keunguan, panjang ± 20 cm, jumlah tangkai per pohon ± 38-46 buah

Jenis daun Majemuk dan menyirip, berbentuk seperti jantung atau payung (bulat), panjang ± 3 cm, lebar ± 2,5 cm, tepi daun bergerigi, ujung tumpul, pangkal bertoreh, tangkai panjang ± 5 cm, coklat kehijauan, hijau

Bunga Majemuk, bentuk payung, tangkai silindris, panjang + 2 cm, kelopak bentuk tabung, hijau, benang sari putih, putik bulat, hijau, mahkota berambut, coklat

Buah Lonjong, kecil, hijau Biji Lonjong, kecil, coklat

Sumber: Darmawati dan Roostika (2006), Achmadi (2011), Hapsari (2011), Sunanto et al. (2009)

Kandungan Bahan Aktif Purwoceng (Pimpinella alpina Molk.)

Penelitian mengenai kandungan bahan aktif dari tanaman purwoceng telah banyak dilakukan. Purwoceng mengandung metabolit sekunder yaitu turunan kumarin, sterol, saponin, alkaloid (Caropeboka dan Lubis 1975), kelompok furanokumarin seperti bergapten, isobergapten, dan sphondin (Sidik et al. 1975), saponin, alkaloid, glikosida, kumarin, triterpenoid-steroid, flavonoid, dan tanin (Rostiana et al. 2003). Menurut Suzery (2004) dan Henny (2002) terdapat adanya senyawa stigmasterol dalam tanaman purwoceng. Penelitian yang dilakukan oleh Hernani dan Rostiana (2004) menunjukkan bahwa yang teridentifikasi secara kualitatif adalah senyawa turunan kumarin, seperti bergapten, xanthotoksin, mermesin, dan 6,8 dimetoksi umbelliferon.

(27)

Tikus (Rattus norvegicus)

Hewan percobaan yang umum digunakan dalam penelitian ilmiah adalah tikus. Strain tikus laboratorium yang paling umum digunakan khususnya dalam penelitian reproduksi diyakini strain albino hasil domestikasi dari tikus Norwegia yaitu Rattus norvegicus (Hrakiewicz 2007). Tikus (Rattus norvegicus) telah diketahui sifat-sifatnya secara sempurna, mudah dipelihara, dan merupakan hewan yang relatif sehat dan cocok untuk berbagai penelitian. Ciri-ciri morfologi Rattus

norvegicus antara lain memiliki berat 150-600 g, hidung tumpul dan badan besar

dengan panjang 18-25 cm, kepala dan badan lebih pendek dari ekornya, serta telinga relatif kecil dan tidak lebih dari 20-23 mm. Tikus (Rattus norvegicus) sering digunakan pada berbagai macam penelitian karena tikus ini memiliki kemampuan reproduksi yang tinggi, murah serta mudah untuk mendapatkannya (Ballenger 2000). Klasifikasi tikus (Rattus norvegicus) menurut Myers dan Armitage (2004) yaitu :

Kingdom : Animalia Phylum : Chordata Kelas : Mamalia Ordo : Rodentia Subordo : Sciurognathi

Famili : Muridae Subfamili : Murinae Genus : Rattus

Spesies : Rattus norvegicus

Terdapat tiga galur atau varietas tikus yang memiliki kekhususan tertentu yang biasa digunakan sebagai hewan percobaan. Ketiga galur tersebut adalah

Sprague Dawley yang berwarna albino putih, berkepala kecil dan ekornya lebih

panjang dari badannya. Galur Wistar ialah jenis tikus yang ditandai dengan kepala agak besar dan ekor yang lebih pendek. Galur Long Evans ialah jenis tikus yang ukurannya lebih kecil daripada tikus putih dan memiliki warna hitam pada kepala dan tubuh bagian depan (Malole dan Pramono 1989). Galur Sprague Dawley

mempunyai daya tahan terhadap penyakit dan cukup sensitif dibandingkan dengan galur lainnya (Hrakiewicz 2007).

Spermatogenesis

(28)

Gambar 3 Histologi Tubulus Seminiferus “10x” (Ross et al. 2006)

Penurunan kuantitas dan kualitas sperma dipengaruhi oleh produksi hormon sesuai dengan peningkatan umur. Spermatogenesis dimulai dari membran basal tubulus seminiferus, dimana di sepanjang bagian tersebut terdapat spermatogonium yang diakhiri pada bentuk spermatozoa dan akan dilepaskan di lumen (saluran bagian tengah tubulus seminiferus) (Walker 2010). Proses spermatogenesis dibagi menjadi beberapa tahap yang berbeda, masing-masing sesuai jenis dari sel yang terbentuk. Tahapan-tahapan tersebut adalah :

A. Spermatositogenesis

Spermatositogenesis dimulai dengan berkumpulnya spermatogonia primordial pada tepi membran basal dari epitel germinativum dan diproses menuju lumen. Spermatositogenesis merupakan proses dimana spermatogonia yang merupakan struktur primitif mengalami mitosis berkali-kali. Selama proses spermatogenesis berlangsung, spermatogonia akan mengalami tahapan perkembangan selanjutnya menjadi spermatosit, spermatid dan spermatozoa dalam satu siklus. Lapisan sel terdalam dari sel-sel epitelium yang melekat pada membran basal disebut spermatogonium (Adyana 2008). Spermatogonium (jamak: spermatogonia) adalah gametogenium intermediate pada jantan (germ cell) dalam rangkaian proses pembentukan spermatozoa. Setiap pembelahan sel dari spermatogonium ke spermatid, sel-sel tetap terhubung satu sama lain melalui jembatan sitoplasma (Garner dan Hafez 2000). Spermatogonia ini mendapatkan nutrisi dari sel-sel sertoli dan berkembang menjadi spermatosit primer.

Spermatogonia diaktivasi dalam bentuk aktif spermatogonia tipe A, terdapat beberapa generasi dari spermatogonia tipe A, tergantung dari spesiesnya. Sebagian besar spermatogonia tipe A dibagi dalam bentuk spermatogonia intermediate (Pineda dan Faulkner 2003). Spermatogonia tipe A ini akan membelah empat kali untuk berdiferensiasi menjadi spermatogonia tipe B. Spermatogonia tipe B akan bermigrasi ke arah sentral di antara sel-sel Sertoli. Setiap spermatogonia tipe B di dalam lapisan sel Sertoli akan mengalami modifikasi dan melakukan pembelahan mitosis terakhir untuk menjadi spermatosit primer (Guyton dan Hall 2005).

(29)

Deskripsi morfologi dari jenis-jenis spermatogoium yaitu : (a) sel tipe A dengan inti gelap dimana sel-sel ini akan memperbanyak diri untuk memberi pasokan spermatogonium yang konstan untuk kepentingan spermatogenesis ; (b) sel tipe antara (intermediate/In) dengan inti pucat, jenis sel ini akan mengalami pembelahan mitosis untuk menghasilkan sel tipe B; (c) sel tipe B, sel ini akan membelah diri untuk menghasilkan spermatosit primer. Morfologi dari spermatosit primer adalah sel pada lapis berikutnya setelah spermatogonium B yang lebih besar diameternya, intinya lebih besar serta lebih banyak mengandung khromatin. Umur sel tersebut pendek karena segera mengalami pembelahan kedua (mitosis) menjadi spermatid, dari satu sel spermatozoa menjadi empat spermatid yang secara morfologis identik, tetapi gen yang dikandung dapat berbeda. Ukuran sel yang kecil, sedikit kromatin pada inti dan sentriol masih terlihat.

B. Meiosis

Setiap spermatosit primer mengandung kromosom diploid (2n) pada inti selnya dan akan mengalami proses meiosis I. Spermatosit I (primer) akan menjauh dari lamina basalis dan sitoplasma akan semakin banyak Setiap spermatosit primer akan menghasilkan dua sel, yaitu spermatosit sekunder haploid. Masing-masing spermatosit sekunder selanjutnya akan menjalani proses meiosis II untuk menghasilkan 2 buah spermatid haploid (Garner dan Hafez 2000). Sitokinesis pada meiosis I dan II ternyata tidak membagi sel benih yang lengkap terpisah, tapi masih berhubungan lewat suatu jembatan (disebut juga sebagai interceluler

bridge). Dibandingkan dengan spermatosit I, spermatosit II memiliki inti yang

gelap.

C. Spermiogenesis

Merupakan transformasi spermatid menjadi spermatozoa oleh serangkaian perubahan morfologi yang berlangsung dengan cepat secara kolektif dimana setelah kehilangan sebagian dari sitoplasma, spermatid kemudian mengalami diferensiasi menjadi spermatozoa. Spermiogenesis menurut Garner dan Hafez (2000) meliputi 4 tahap yaitu tahap golgi (golgi phase), tahap tudung (cap phase), tahap akrosom (acrosomal phase) dan tahap pematangan (maturation phase).

a. Tahap golgi akan terbentuk badan golgi, axonema dan terjadi kondensasi pada DNA. Tahap ini ditandai dengan pembentukan butiran proacrosomal

dalam aparatus golgi, dari penggabungan butiran menjadi granul akrosom tunggal kemudian granul akrosom menjadi granul inti. Selain itu, sentriol proksimal akan bermigrasi dekat dengan inti yang diperkirakan membentuk dasar dari ekor ke kepala.

b. Tahap tudung dimana saat akrosom makin besar kemudian membentuk lipatan tipis melingkupi bagian kutub yang akan menjadi bagian depan. Pada akhirnya terbentuk semacam tutup pada spermatozoon.

c. Tahap akromosom, terjadi redistribusi bahan akrosom. Nukleoplasma berkondensasi, sementara itu spermatid memanjang. Bahan akrosom kemudian menyebar membentuk lapisan tipis meliputi kepala dan tudung, sampai akrosom dan tudung kepala membentuk tudung akrosom. Akrosom mengandung komponen karbohidrat dan enzim hidrolisa yaitu

hyaluronidase, neuroaminidase, fosfatase, dan protease. Sementara itu inti

(30)

transformasi menjadi filamen-filamen yang lebih pendek dan tebal serta kasar.

d. Tahap pematangan merupakan transformasi akhir dari spermatid yang memanjang ke dalam sel yang akan dilepaskan ke dalam lumen tubulus seminiferus. Tahap ini melibatkan perubahan bentuk spermatid sesuai dengan ciri spesies. Ketika akrosom terbentuk sentriol pun bergerak kekutub yang bersebrangan. Sentriol terdepan membentuk flagellum, sentriol-sentriol membentuk di sekeliling pangkal ekor. Mitokondria membentuk cincin-cincin di bagian middle piece ekor, dan fibrosa pada bagian luar. Mikrotubul muncul dan berkumpul dibagian samping spermatid membentuk satu batang besar. Ketika ekor mengalami diferensiasi, sitoplasma sisa yang diselaputi membran melepaskan diri kesamping (reduksi sitoplasma difagosit oleh sel Sertoli).

Kelenjar Prostat

Organ reproduksi pada jantan dilengkapi dengan kelenjar-kelenjar asesoris yaitu kelenjar vasikularis, kelenjar prostat, dan kelenjar bulbouretralis. Kelenjar ini memiliki konsistensi kenyal, elastis dan banyak saluran berbentuk tubulo alveolar yang merupakan kelenjar-kelenjar submukosa dan kelenjar prostatis. Kelenjar prostat memiliki fungsi sebagai penghasil cairan semen yang menyumbang hingga 30 persen dari volume plasma semen. Kelenjar prostat memproduksi cairan seminal dan sekresi lain yang menjaga kelembaban saluran uretra. Saluran-saluran tersebut berhubungan dengan uretra. Lumen kelenjar-kelenjar dan duktus-duktus dibatasi oleh epitelium silindris sederhana. Kelenjar prostat pada rodensia terdiri dari dua bagian yaitu bagian ventral dan prostat dorsalateral (Roth MY dan Page ST 2011). Menurut Jesik, et al 1982 dalam Mohamad et al. (2001) kelenjar prostat tikus dibagi menjadi beberapa lobus, yaitu dorsal (DP), lateral (LP), dan ventral (VP).

Masing-masing lobus prostat dikelilingi oleh stroma yang sangat tipis dan hanya terdiri dari beberapa lapis sel spindle yang diselingi oleh serat kolagen diantaranya (Harmelin et al. 2005). Prostat berupa kelenjar yang terletak di bawah kantung kemih dan mengelilingi saluran uretra (Gambar 4). Histologi kelenjar prostat terdiri dari stroma dan epitel glandular yang berbentuk kuboid (Gambar 5). Penyebaran prostat meluas sejauh saluran kelenjar bulbourethral. Ukuran prostat berbeda-beda, protat banteng lebih kecil jika dibanding babi hutan (Hafez 2000). Lapisan epitel pada kelenjar prostat berbentuk kuboid, dengan sitoplasma eosinofilik granular dan inti basal kecil yang seragam, lumen kelenjar yang relatif besar dan mengandung partikulat sekresi eosinofilik yang melimpah. Bagian lateral prostat memiliki permukaan luminal yang datar, dengan lipatan mukosa yang tersebar dimana-mana. Prostat bagian dorsal pada tikus terdiri dari saluran bercabang dan kelenjar dilapisi oleh epitel kolumnar sederhana dan terkadang agak berlapis dan berumbai. Prostat bagian ventral juga dilapisi oleh mukosa datar dengan rumbai lipatan sel-sel epitel (Słuczanowska 2006).

(31)

tipis yang memisahkan berbagai lobus dari satu sama lain (Harmelin et al. 2005 dan Santamari 2007). Fungsi kelenjar prostat adalah menambah cairan alkalis pada cairan seminalis untuk melindungi spermatozoa. Teori yang telah dikemukakan berdasarkan faktor histologi, hormon, dan faktor perubahan usia ialah bahwa konsentrasi hormon DHT dalam tubuh merupakan hormon utama yang merangsang pertumbuhan kelenjar prostat (Roth MY dan Page ST 2011). Kelenjar ini merupakan kelenjar yang terletak di bawah vesika urinaria melekat pada dinding bawah vesika urinaria di sekitar uretra bagian atas. Letaknya di bawah kandung kemih mengelilingi uretra dan terdiri dari kelenjar majemuk, saluran dan otot polos.

Berbeda dengan manusia, kelenjar prostat terbungkus oleh stroma dan kapsul ke dalam kelenjar tunggal tanpa jaringan adiposa. Prostat tikus dibagi menjadi empat lobus berbeda. Setiap lobus dikelilingi dan dipisahkan antar bagian oleh fibrosa dan jaringan ikat adiposa (Harmelin 2005). Kelenjar prostat berkembang dari invaginasi epitel dari sinus urogenital posterior di bawah pengaruh mesenkim. Pembentukan dari kelenjar prostat membutuhkan pengaruh

5α-dihydrotestosterone yang disintesa dari testosteron fetal oleh 5α-reductase

(Nevalainen et al. 2000). Enzim ini dijumpai pada sinus urogenital dan genitalia ekternal. Defisiensi 5α-reductase akan menyebabkan prostat yang mengecil atau sama sekali tidak ada, walaupun epididimis, vasa deferentia dan vesika seminalis tetap normal. Sekresi prostat merupakan komponen utama dalam cairan seminal yang kaya akan fosfatase asam, yaitu enzim yang dihasilkan terutama oleh kelenjar prostat dan didapatkan dalam kadar tinggi di dalam semen (Wright et al. 2000).

Pada rodensia, sebagian besar fruktosa yang terdapat dalam plasma ejakulat dihasilkan oleh kelenjar prostat dorsal. Sekreta kelenjar prostat berperan penting untuk meningkatkan motilitas spermatozoa. Semen beberapa spesies mamalia mengalami koagulasi sebelum ejakulasi tetapi kemudian mencair kembali. Hal ini diduga disebabkan oleh kerja enzim-enzim proteolitik kelenjar prostat. Kelenjar koagulasi juga terdapat pada rodensia seperti tikus dan mencit, yaitu merupakan derivat dari kelenjar prostat dan kadang-kadang tampak sebagai lobus anterior prostat (Tenzer 1996). Prostate spesific antigen (PSA) juga merupakan konstituen yang ditemukan dalam cairan prostat .

Stroma atau sel otot polos, fibroblas dan sel endotel berada dalam stroma dan sel-sel epitel yang sekretori sel, sel basal dan sel neuroendokrin (Shappell 2004). Jaringan stroma dan kapsul dipenuhi dengan reseptor adrogenik-α1. Kelenjar-kelenjar seks asesoris jantan menyalurkan sekretanya ke dalam uretra. Pada waktu terjadi ejakulasi, ejakulat yang pertama kali memasuki uretra adalah ejakulat bebas sperma yang berasal dari kelenjar bulbouretra, kemudian disusul dengan ejakulat kedua yang kaya sperma serta mengandung sekresi vesikula seminalis dan kelenjar prostat (Garner dan Hafez 2000).

(32)

relatif asam akibat adanya asam sitrat dan hasil akhir metabolisme. Apabila tidak terjadi penetralan akan berakibat penghambatan fertilisasi sperma. Pada manusia, sekreta vagina bersifat asam (pH 3,5 sampai 4,0), sedangkan sperma tidak akan bergerak secara optimal sampai pH sekitarnya meningkat antara 6 sampai 6,5. Cairan prostat diduga dapat menetralkan sifat asam dari cairan lainnya setelah ejakulasi dan juga meningkatkan motilitas dan fertilitas sperma (Guyton 1997). Kelenjar prostat bekerja dibawah pengaruh hormon androgen.

Sel-sel kelenjar prostat tikus yang dilaporkan oleh Tsukise dan Yamada (1981) dalam Desiani et al. (2000) mengandung karbohidrat netral dengan konsentrasi sedang dan karbohidrat asam dengan konsentrasi lemah. Tidak terdapatnya kandungan karbohidrat asam pada kelenjar prostat diperkirakan karena kelenjar tersebut tidak mengandung karbohidrat asam, telah kehilangan kemampuan mensintesis karbohidrat asam atau sel-sel kelenjar tersebut tidak dalam fase mensintesis karbohidrat (Mohamad et al. 2001).

Gambar 4 Histologi Umum Kelenjar Prostat “4x” (Smith 2006)

Gambar 5 Histologi Ujung Kelenjar Prostat “40x” (Smith 2006)

Prostat fluid

Mucosa ephitelium

Smooth muscle lumen

Mucosa ephitelium Smooth muscle

Uretha

Prostat fluid

(33)

Hormon Androgen (Testosteron dan Dihidrotestosteron)

Fisiologi reproduksi hewan jantan dikontrol secara endokrin oleh sekresi

Gonadothropin Releasing Hormone (GnRH) pada tingkat paracrine di

hipotalamus. Sintesa hormon steroid seks diproduksi terutama oleh gonad dan diatur oleh dua jenis hormon gonadotropik yang dihasilkan oleh hipofisa anterior.

GnRH merangsang kelenjar hipofisa anterior untuk mengekskresikan dua hormon gonadotropin, yaitu LuteinizingHormone (LH) dan Follicle Stimulating Hormone

(FSH). FSH dsn LH dari hipofisa membawa pengaruh baik pada ovarium maupun testis. Hipofisa anterior bertanggung jawab untuk berbagai hormon yang mengontrol banyak aspek dari aktivitas fisiologis. LH merupakan perangsang utama testosteron di dalam testis (Garner dan Hafez 2000).

Salah satu hasil dari proses steroidogenesis pada kelenjar adrenal adalah prekursor androgen, dehidroepiandrosteron dan androstenedion (Murray 2003). Androgen adalah hormon penting untuk jantan karena memiliki peran karakteristik selama diferensiasi seksual jantan, tetapi juga selama pengembangan dan pemeliharaan karakteristik sekunder jantan serta pemeliharaan spermatogenesis. Prekursor langsung bagi hormon steroid adalah kolesterol, proses pembentukan hormon androgen yaitu testosteron yang diawali dengan pengangkutan kolesterol ke membran interna mitokondria oleh protein

Steroidogenic acute regulatory (StAR) (Brinkmann 2009). Kolesterol kemudian

mengalami proses oleh kerja enzim P450scc lalu terjadi konversi kolesterol menjadi pregnenolon. Pregnenolon akan dikonversi menjadi 17-OH pregnenolone dan progesteron yang kemudian akan terbentuk dehidroepiandrosteron dari 17-OH pregnenolon serta androstenedion dari progesteron melalui 17-OH progesteron yang selanjutnya kedua prekursor androgen ini akan dikonversi menjadi testosteron (Gambar 6). (Brinkmann 2009).

Hormon testosteron 95% disintesis oleh sel Leydig dari kolesterol ester yang tersimpan pada lemak yang berada didalam sel Leydig, dan sisanya berasal dari dalam korteks adrenal serta hasil dari konversi prekusor dalam jaringan perifer. Apabila rangsangan awal testosteron yang terjadi hanya sedikit maka testosteron akan mempertahankan spermatogenesis untuk waktu yang lama (Guyton dan Hall 2005). Konsentrasi testosteron yang beredar dalam tubuh secara bertahap meningkat menjelang dewasa dan menurun secara bertahap ketika umur semakin menjelang umur tua (Roth MY dan Page ST 2011).

(34)

Dua androgen yang paling penting dalam reproduksi jantan adalah testosteron dan dihidrotestosteron. Testosteron secara langsung terlibat dalam pengembangan dan diferensiasi struktur duktus wolfii, sedangkan dihidrotestosteron adalah metabolit sekunder dari testosteron (Shaw et al. 2005). Marks (2004) menyimpulkan bahwa testosteron adalah androgen utama yang bersirkulasi tetapi bukan nutrisi utama bagi perkembangan prostat, hormon yang bertanggung jawab adalah DHT yang merupakan turunan atau metabolit sekunder dari testosteron dalam sel prostat. Prinsip dari stimulasi hormon androgen di dalam kelenjar prostat yaitu ketika level testosteron normal atau terjadi sedikit peningkatan di dalam serum sebesar 10%-20% yang merupakan hasil dari pemblokan enzim. Androgen intraprostat yang utama adalah DHT bukan testosteron dan hanya produksi hormon DHT yang ditekan oleh enzim 5a-reductase (Wright et al.1999)

Hormon DHT adalah androgen yang lebih kuat dibandingkan dengan hormon utamanya yaitu testosteron (Roth MY dan Page ST 2011). Testosteron bertanggung jawab dalam diferensiasi duktus wolfii dan turunannya (vesika seminalis, epididimis, dan saluran ejakulasi) setelah pubertas testosteron menyebabkan maskulinasi (pembentukan massa otot, perubahan suara, libido, pertumbuhan seks eksternal, dan spermatogenesis). Hormon DHT bertanggung jawab pada diferensiasi normal genitalia eksternal, sedangkan pada dewasa dan tua bertanggung jawab penuh dalam penyusutan kelenjar prostat, mengurangi LUTS (Lower Urinary Tract Symptoms) (Marks 2004).

Testosteron dalam serum memiliki sekitar 10 kali lebih banyak dibanding konsentrasi DHT, tetapi di dalam kelenjar prostat afinitas DHT terhadap reseptor 10 kali lebih tinggi dibanding level testosteron (Marks 2004). Konversi testosteron menjadi dihidrotestosteron direduksi oleh enzim 5α-reductase (5AR), yang ada dalam 2 bentuk: tipe 1 dan tipe 2, yang keduanya ditemukan dalam prostat. Testoteron diubah menjadi dihidrostestosteron di dalam target jarigan testosteron yang spesifik (Brinkmann 2009). Sebagian hormon dihidrostestosteron dibentuk di jaringan perifer. Adapun struktur dari kedua hormon tersebut dapat dilihat pada Gambar 7. Enzim 5 alfa reduktase menghilangkan ikatan rantai ganda C4-5 yang terdapat pada hormon utamanya dengan penambahan dua atom hidrogen pada struktur yang baru (Brinkmann 2009). Diduga hormon dihidrotestosteron memainkan peran penting dalam menjaga pemeliharaan perkembangan prostat.

(35)

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan lokasi penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Oktober 2012 yang dilakukan pada tiga tempat yaitu Laboratorium Hewan Percobaan SEAMEO BIOTROP, Laboratorium Histologi Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi FKH IPB dan Laboratorium Mikrobiologi PSSP-IPB.

Hewan Coba

Penelitian ini menggunakan hewan coba tikus putih jantan Rattus

norvegicus strain Sprague Dawley dengan tiga umur yaitu pubertas (7-9 minggu)

(Mohamad 2001), dewasa (4-5 bulan), dan tua (16-18 bulan). Jumlah tikus putih jantan yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 27 ekor. Hewan coba tersebut diperoleh dari Laboratorium Patologi FKH IPB.

Bahan Penelitian

Bahan utama yang diperlukan dalam penelitian ini adalah tanaman purwoceng dengan umur panen 1 tahun. Bagian tanaman yang digunakan adalah keseluruhan tanaman (akar, batang dan daun). Tanaman purwoceng diproses dengan cara maserasi menjadi ekstrak kental dengan pelarut etanol 96% di Laboratorium Uji Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat (Balitro) Bogor. Bahan-bahan lainnya adalah aquabidestilata, pakan tikus (pelet), paraformaldehida 4%, kertas tissue, masker, sarung tangan, alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 90%, alkohol 95%, alkohol absolute, xylol, paraffin, hematoksilin dan eosin. Analisis hormon menggunakan bahan-bahan antara lain washing solution (larutan pencuci), substrat solution (chromogen, enzim, buffer), stop solution (larutan penyetop reaksi) H2SO4, dan metanol 80%.

Persiapan Hewan Coba

Tempat pemeliharaan hewan coba yang meliputi kandang (bak plastik) berbentuk segi empat ukuran 30x12x10 yang ditutup dengan ram kawat yang berisi sekam, tempat pakan dan air minum tikus. Hewan coba diadaptasikan dalam kandang pemeliharaan selama 2 minggu sebelum diberi perlakuan ekstrak purwoceng. Pakan yang diberikan adalah pakan standar dan diberikan secara ad libittum.

Protokol Kerja

(36)

selama dua minggu. Pada akhir perlakuan, hewan coba dikorbankan dengan cara dianastesi menggunakan ketamine yang disuntikkan secara intraperitoneal (dosis 50-100 mg/kg BB). Kemudian dilakukan pengambilan darah melalui jantung sebanyak 3-6 cc menggunakan spuit (5 ml, 3 ml, dan 1ml), selanjutnya hewan dinekropsi dan diambil organ testis serta kelenjar prostat.

Tahap selanjutnya dilakukan pemisahan darah untuk mendapatkan serum darah dengan cara mendiamkan selama satu malam. Kemudian dipisahkan untuk disentrifuse, setelah serum diperoleh dipindahkan ke vial eppendorf 1.5 ml dan di simpan di dalam freezer. Organ testis dan prostat disimpan dalam botol spesimen yang berisi paraformaldehida 4% pada suhu ruang. Tahap selanjutnya diproses di laboratorium untuk dilakukan analisis hormon dan histomorfologi.

Analisis Histomorfologis Tubulus Seminiferus

Analisis histomorfologi tubulus seminiferus dilakukan dengan menentukan tahapan sel-sel spermatogenik dalam proses perkembangan spermatogenesis (derajat spermatogenesis) sesuai dengan kriteria Jhonsen (Juniarto, 2004). Evaluasi histomorfologis dilakukan dengan pendekatan pewarnaan hematoksilin eosin (HE). Derajat spermatogenesis yg diamati meliputi spermatogonia, spermatosit, spermatid, dan spermatozoa dalam lumen tubulus seminiferus. Pengamatan derajat spermatogenesis ini diamati dari 25 tubuli seminiferi. Setiap perlakuan diamati dengan konsistensi posisi pengamatan yaitu bagian atas, tengah, bawah, kiri dan kanan masing-masing sebanyak lima kali. Metode pembacaan preparat yang sudah umum digunakan yaitu metode sesuai dengan kriteria Johnsen. Kriteria penilaian diamati secara deskriptif kuantitatif dengan nilai 1 sampai dengan 10 seperti pada Tabel 2.

Tabel 2 Kriteria Penilaian Derajat Spermatogenesis

Nilai Kriteria

10 Spermatogenesis lengkap dan teratur ; spermatozoa banyak mengumpul ditengah lumen, epitel seminiferus normal, lumen tubulus terbuka

9 Spermatozoa banyak mengumpul ditengah lumen, tampak sebagian epitel seminiferus yang lepas (sloughing), dan lumen tubulus tertutup

8 Epitel seminiferus teratur dan lengkap, akan tetapi jumlah spermatozoa dalam tubulus kurang dari 10

7 Tidak tampak spermatozoa dalam tubulus seminiferus, tetapi jumlah spermatid banyak

6 Tidak ada spermatozoa dan jumlah spermatid dalam tubulus seminiferus kurang dari 10

5 Tidak ada spermatozoa dan spermatid dalam tubulus seminiferus, tetapi spermatosit banyak

4 Tidak ada spermatozoa dalam tubulus seminiferus dan jumlah spermatozit kurang dari 5

3 Germinal cell dalam tubulus seminiferus hanya teridiri dari spermatogonium

2 Dalam tubulus seminiferus tidak terdapat germinal cell hanya sel sertoli

1 Dalam tubulus seminiferus tidak terdapat sel

(37)

Analisis Histomorfologis Kelenjar Prostat

Spesimen yang digunakan adalah kelenjar prostat bagian dorsolateral dan ventral (Harmelin et al. 2005, Heyns dan De Moor 1976). Kelenjar prostat di simpan dalam botol spesimen yang berisi paraformaldehida 4%. Tahap selanjutnya dilakukan pembuatan preparat histomorfologi di Laboratorium Histologi Departemen Anatomi, Fisiologi dan Farmakologi FKH IPB. Parameter yang diamati pada pengamatan histomorfologis kelenjar prostat adalah aktivitas kelenjar prostat (aktif dan non aktif) dari setiap lapang pandang. Melalui pengamatan pendahuluan, maka kelenjar prostat aktif di indikasikan dengan adanya cairan prostat yang terwarnai, morfologi mukosa epitel yang meninggi serta lipatan mukosa pada dinding asinus. Hal tersebut menandakan bahwa sel sedang aktif memproduksi cairan prostat. Kelenjar prostat non aktif diindikasikan dengan ujung kelenjar yang tidak memproduksi cairan prostat (tidak terwarnai) dan mukosa epitel yang menipis atau memipih. Kriteria aktivitas kelenjar dapat dilihat pada Tabel 3. Kemudian diamati perbandingannya pada masing-masing kelompok umur setelah diberi perlakuan. Pengamatan dilakukan dengan konsistensi sebanyak lima lapang pandang secara acak untuk setiap preparat, kemudian rerata yang diperoleh dikonversi dalam satuan persen.

Tabel 3 Kriteria Penilaian Histomorfologis Aktivitas Kelenjar Prostat (aktif dan non-aktif)

Aktivitas Kriteria

Aktif a. b. c. d.

Non- aktif

e. f. g.

Ket: a. Lumen ujung kelenjar terisi penuh cairan prostat (terwarnai), b. Lumen ujung kelenjar terdapat sedikit cairan dan mukosa sel tinggi, c. Lumen ujung kelenjar terdapat sedikit cairan dan mukosa sel tipis atau sel memipih, d. Lumen ujung kelenjar kosong namun mukosa sel tinggi (sel sekretori aktif), e-g. Lumen ujung kelenjar kosong dan mukosa sel tipis atau memipih.

Prosedur Histomorfologis Tubulus Seminiferus dan Kelenjar Prostat

(38)

simpan dalam lemari pendingin selama beberapa hari. Pemotongan dengan alat

rotary microtome (ketebalan 4-5 µm). Tahap terakhir yaitu deparafinasi clearing

dan rehidrasi untuk pewarnaan. Pengamatan dilakukan dengan menggunakan mikroskop Olympus CH-20 dengan perbesaran 10x, 20x dan 40x kemudian di foto sebagai data deskriptif.

Analisis Hormon

Spesimen yang digunakan adalah serum darah tikus. Analisis hormon testosteron dan DHT menggunakan metode ELISA. Analisis kedua hormon tersebut menggunakan analisis dan metode yang sama, hanya dibedakan pada kit dan reagen. Prosedur kerja analisis ELISA yaitu mempersiapkan masing-masing 25µL (kit testosteron) atau 50µL (kit DHT) untuk sampel, larutan standar, dan kontrol sesuai sumur (well) yang tepat dengan penggunaan tips yang berbeda-beda. Kemudian menambahkan 200µL konjugat enzim ke dalam setiap sumur. Tahap selanjutnya dilakukan pencampuran selama 10 detik untuk mendapatkan campuran yang sempurna, setelah itu diinkubasi selama 60 menit pada suhu ruang tanpa diberi penutup. Inkubasi tersebut berfungsi agar sampel dan konjugat saling berikatan. Kemudian dilakukan pembilasan well sebanyak 3 kali dengan larutan pencuci (400µL/well) dan secara langsung dikeringkan dengan cara membalikkan

microtitterplate, kemudian ditambahkan 100µL larutan substrat atau kromogen

pada setiap sumur. Substrat rentan terhadap cahaya, maka larutan di simpan di dalam ruangan bebas cahaya. Reaksi tersebut disempurnakan dengan cara diinkubasi kembali selama 15 menit pada suhu ruang. Proses selanjutnya adalah penghentian reaksi enzimatik dengan menambahkan 100 µL larutan penyetop

(stop solution) yaitu H2SO4. Selanjutnya, setelah penambahan stop solution,

microtitterplate dimasukkan ke dalam ELISA reader dengan pembacaan panjang

gelombang (OD) 450 nm selama 10 menit.

Analisis Data

(39)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Derajat Spermatogenesis

Hasil pengamatan histomorfologis tubulus seminiferus disajikan secara deskriptif sesuai dengan penilaian kriteria Jhonsen (Gambar 8,9 dan 10) yang diwakilkan untuk masing-masing umur dan masing-masing dosis serta tabel rerata derajat spermatogenesis (Tabel 4).

v

Gambar 8 Gambaran Histologis Tubulus Seminiferus Tikus Pubertas (HE)

A. Gambaran umum tubulus seminiferus umum kontrol pubertas. Bar : 60 µm. B. Pubertas kontrol (P0) spermatosit dominan, C. Pubertas+ekstrak 25 mg (P25) spermatid dominan, D. Pubertas+ekstrak 50 mg (P50) spermatozoa dominan pada lumen. Bar : 30µm. (1) lumen tubulus seminiferus, (2) spermatid, (3) spermatosit, (4) spermatogonium.

60 µm 30 µm

30 µm 30 µm

A B

C D

1 2

3 4

1 2

3

4 1

2

(40)

Gambar 9 Gambaran Histologis Tubulus Seminiferus Tikus Dewasa (HE)

A.Gambaran umum tubulus seminiferus kontrol umur dewasa. Bar : 60 µm. B. Dewasa kontrol (D0), C. Dewasa+ekstrak 25 mg (D25), D. Dewasa+ekstrak 50 mg (D50), Tahapan spermatogenesis C dan D tidak terlihat begitu berbeda. Pada dewasa sel spermatid lebih dominan. (1) lumen tubulus seminiferus, (2) spermatid, (3) spermatosit, (4) spermatogonium.

Gambar 10 Gambaran Histologis Tubulus Seminiferus Tikus Tua (HE)

A.Gambaran umum tubulus seminiferus kontrol umur tua. Bar : 60 µm, B. Kelompok Tua kontrol (T0) perkembangan spermatogonium terlihat jarang, C.Tua+ekstrak 25 mg (T25) dan D. Tua+ekstrak 50 mg (T50). Gambar C dan D terlihat peningkatan spermatosit dan spermatozoa. Bar : 30µm. (1) lumen tubulus seminiferus, (2) spermatid, (3) spermatosit, (4) spermatogonium.

(41)

Pada Gambar 8 memperlihatkan perbedaan derajat spermatogenesis dalam tubulus seminiferus kelompok pubertas yaitu P0, P25, dan P50. Tubulus seminiferus kelompok P0 memperlihatkan derajat spermatogenesis dengan kriteria yang mendominasi yaitu epitel seminiferus teratur dan lengkap, akan tetapi belum terlihat spermatozoa dalam lumen tubulus seminiferus. Tahap spermatid dan spermatosit terlihat lebih banyak serta spermatogonium yang tersusun rapih di membran basalis. Pada kelompok P25 mulai terlihat spermatozoa di tengah lumen, dan lapisan tahap spermatosit lebih sedikit dan spermatid tetap banyak. Hal tersebut mengindikasikan lebih banyaknya bakal sel spermatozoa, sedangkan pada kelompok P50 terlihat spermatozoa lebih memadati sekeliling lumen dan tampak sebagian epitel seminiferus yang lepas (sloughing) serta lumen tubulus tertutup oleh sisa-sisa sitoplasma. Gambar 9 mewakili pengamatan pada umur dewasa, yang terlihat adalah keadaan bagian lumen tubulus seminiferus yang lebih banyak dipenuhi oleh spermatozoa.

Pada kelompok D0, D25, dan D50 memperlihatkan peningkatan derajat spermatogenesis yang lebih baik antar dosis. Gambaran tubulus seminiferus dewasa kontrol terlihat berbeda dengan pubertas, pada dewasa sel epitel seminiferus telah mencapai tahapan sempurna mulai dari keberadaan spermatogonium, spermatosit, spermatid, sampai spermatozoa dalam lumen tubulus seminiferus. Peningkatan derajat spermatogenesis tertinggi yang diperlihatkan kelompok umur dewasa dengan nilai 9.2 ± 0.25 tidak berbeda jauh dengan hasil Juniarto (2004) yaitu nilai derajat spermatogenesis pada tikus jantan dewasa adalah 9.6 ± 0.5.

Gambar 10 memperlihatkan derajat spermatogenesis pada tubulus seminiferus kelompok umur tua, menunjukan keberadaan epitel seminiferus yang berbeda dengan pubertas dan dewasa. Pada T0 spermatosit tidak teratur dan keberadaan spermatozoa (populasi) dalam lumen tubulus yang jarang atau tidak terlihat (Gambar 10B). Hal tersebut berkaitan dengan konsentrasi hormon yang cenderung rendah pada kelompok T0. Pada kelompok T25 dan T50 (Gambar 10C dan D) susunan epitel seminiferus terlihat lebih rapih jika dibandingkan dengan T0 dan perkembangan epitel seminiferus terjadi perbaikan yaitu adanya peningkatan spermatosit dan pada bagian lumen terdapat spermatozoa yang lebih banyak. Keterangan: P: Umur Pubertas, D: Umur Dewasa, T: Umur Tua, 0: Tanpa perlakuan (kontrol), 25: Dosis purwoceng 25 mg/kg BB, 50: Dosis purwoceng 50 mg/kg BB.

-Huruf yang berbeda dalam satu baris atau kolom yang sama menunjukkan perlakuan berbeda nyata (p<0.05). Perbedaan menyatakan signifikansi faktor dosis dan umur terhadap derajat spermatogenesis. Huruf yang sama dalam satu baris yang sama menunjukkan perlakuan tidak berbeda nyata (p>0.05). Subskrip menyatakan signifikansi dosis terhadap derajat spermatogenesis. Superskrip menyatakan signifikansi umur terhadap derajat spermatogenesis.

(42)

p=0.139 (p>0.05), sedangkan pengaruh tingkat dosis terhadap umur pubertas dan dewasa (Lampiran 1 dan 2) masing-masing yaitu p=0.01 membuktikan bahwa hasil yang diperoleh signifikan (p<0.05). Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 4,5, dan 6) menunjukkan bahwa pengaruh faktor umur (pubertas, dewasa, dan tua) terhadap tingkat dosis menunjukkan hasil yang signifikan (p<0.05).

Dosis ekstrak purwoceng memberikan peningkatan derajat spermatogenesis yang signifikan terhadap umur pubertas dan umur dewasa. Kelompok kontrol merupakan kelompok yang memperlihatkan nilai terendah pada setiap umur. Kelompok umur yang memperlihatkan respon tertinggi ialah kelompok umur dewasa. Kelompok umur dewasa yang diberikan dosis 50 mg memperlihatkan pengaruh derajat spermatogenesis tertinggi jika dibandingkan dengan kelompok kontrol dan yang diberikan dosis 25 mg. Pemberian dosis 25 dan 50 mg terhadap kelompok dewasa memperlihatkan bahwa hasil yang berbeda nyata (p<0.05) terhadap D0 dan D25. Rerata terendah antar umur ataupun antar dosis diperlihatkan pada kelompok T0.

Hasil uji lanjut membuktikan adanya perbedaan yang nyata (p<0.05) pada semua kelompok umur terhadap pemberian dosis, sedangkan hasil uji lanjut antara pemberian dosis terhadap umur, pada kelompok umur tua tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0.05). Kelompok umur tua merupakan kelompok umur yang memiliki derajat spermatogenesis terendah dibanding pubertas dan dewasa. Pasca pemberian ekstrak. Semua kelompok umur memberikan respon terbaik pada pemberian D50.

Aktivitas Kelenjar Prostat

Hasil pengamatan histomorfologi kelenjar prostat disajikan dalam bentuk gambaran histologis ujung kelenjar prostat (Gambar 11 dan 12) serta diagram persentase aktivitas ujung kelenjar prostat (Gambar 13 dan 14). Gambar 11 dan 12 memperlihatkan gambar irisan ujung kelenjar prostat pada satu lapang pandang. Pada kelompok pubertas yaitu P0, P25, dan P50 (Gambar 11A-11C) memperlihatkan aktivitas kelenjar prostat yang sedang memproduksi cairan prostat (lumen terisi penuh dan mukosa cenderung tinggi). Pada kelompok P0, ujung kelejar yang dominan terdapat pada lima lapang pandang ialah ujung kelenjar yang terwarnai penuh dan beberapa ujung kelenjar yang tidak terwarnai tetapi mukosa masih terlihat tinggi. Selain itu belum terlihat lipatan-lipatan mukosa pada ujung kelenjar prostat. Pada P25 dan P50, memperlihatkan ujung kelenjar prostat yang didominasi dengan ujung kelenjar aktif yang ditunjukan dengan adanya cairan prostat pada lumen serta adanya aktivitas kelenjar yang diindikasikan dengan adanya lipatan mukosa pada beberapa ujung kelenjar. Peningkatan dosis memberikan respon yang berbeda terhadap umur pubertas. Pada P0, morfologi bentuk ujung kelenjar prostat masih terlihat homogen dan jarang ditemukannya lipatan mukosa pada dinding asinus.

(43)

asinus yang mengindikasikan kerja kelenjar lebih aktif dalam memproduksi sekretanya. Hasil yang dinyatakan oleh Mohamad et al. (2001) mendukung hasil penelitian yang telah diperoleh dalam penelitian ini. Bertambah banyaknya lipatan mukosa pada dinding asinus dapat dianalogikan bahwa sel kelenjar prostat sedang aktif memproduksi sekreta (pertambahan volume di dalam kelenjar) dengan keterbatasan ruang di sekelilingnya sehingga terjadi lipatan-lipatan mukosa (perubahan bentuk) pada dinding asinus.

Gambar 11 Gambaran Histologis Aktivitas Kelenjar Prostat “10x” (HE)

A. Ujung kelenjar prostat P0, B. Ujung kelenjar prostat P25 lebih memperlihatkan pelepasan sekreta ke dalam lumen, C. Ujung kelenjar prostat P50 memperlihatkan pelepasan sekreta dan bertambahnya lipatan mukosa, D. Ujung kelenjar prostat D0, E. Ujung kelenjar prostat D25, F. Ujung kelenjar prostat D50 memperlihatkan ujung kelenjar yang berukuran kecil didominasi oleh lipatan mukosa yang lebih banyak, G. Ujung kelenjar prostat T0 didominasi dengan ujung kelenjar yang tidak ada sekresi, H. Ujung kelenjar prostat T25 terlihat didominasi oleh ujung kelenjar yang terisi cairan prostat, I. Ujung kelenjar prostat T50 lebih didominasi dengan ujung kelenjar dengan lumen yang terisi penuh cairan prostat dan lipatan mukosa yang lebih banyak disetiap ujung kelenjar. (1). Lumen kelenjar prostat, (2). Lipatan mukosa dinding asinus. Bar 120 µm.

Peningkatan dosis menyebabkan peningkatan aktivitas terhadap ujung kelenjar prostat dalam meghasilkan sekretanya. Selain itu lipatan mukosa di dinding asinus ditemukan lebih banyak jika dibandingkan pada masing-masing umur ataupun dosis. Pada kelompok tua (Gambar 11 dan 12 G, H, I) juga memperlihatkan keadaan kelenjar prostat T0 didominasi oleh ujung kelenjar non aktif dengan semakin menipisnya bagian mukosa dan lumen ujung kelenjar yang

(44)

tidak terwarnai, hal ini mengindikasikan telah terjadi penurunan aktivitas sel atau ketidakmampuan sel kelenjar prostat dalam memproduksi cairan prostat. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa terdapat pengaruh terhadap aktivitas kelenjar prostat pada umur dan dosis yang berbeda pula. Sistem hormonal merupakan salah satu faktor penting dalam perkembangan suatu target organ dalam menghasilkan produk.

Gambar 12 Gambaran Histologis Aktivitas Kelenjar Prostat “40x” (HE)

A. Ujung kelenjar prostat P0, B. Ujung kelenjar prostat P25, memperlihatkan mukosa sel dan sel lebih tinggi dibanding P0 dan lumen terisi penuh, C. Ujung kelenjar prostat P50 memperlihatkan aktivitas sel yang aktif memproduksi sekreta (mukosa sel tinggi) dan lumen yang juga terisi penuh dengan cairan prostat, D. Ujung kelenjar prostat D0, E. Ujung kelenjar prostat D25 memperlihatkan sel yang lebih tinggi dari D0 dan lipatan mukosa lebih banyak dibandingkan D0, F. Ujung kelenjar prostat D50 didominasi dengan mukosa sel yang tinggi dan lipatan mukosa pada dinding asinus lebih banyak disetiap ujung kelenjar, G. Ujung kelenjar prostat T0 didominasi dengan ujung kelenjar tidak terdapat sekreta, H. Ujung kelenjar prostat T25 terisi dengan cairan prostat, I. Ujung kelenjar prostat T50 memperlihatkan lipatan mukosa lebih banyak, sel lebih tinggi (sel sekretori aktif) dan lumen terisi cairan prostat. (1). Lumen kelenjar prostat, (2). Lipatan mukosa dinding asinus. Bar 30 µm.

Pemberian ekstrak purwoceng mampu meningkatkan proses aktivasi sel pada kelenjar prostat tua dengan pemberian dosis 25 mg dan 50 mg. Peningkatan dosis memberikan pengaruh peningkatan aktivitas yang diindikasikan dengan lebih banyaknya lumen yang terisi dengan cairan prostat dan peningkatan lipatan mukosa. Pemberian ekstrak purwoceng membuktikan adanya peningkatan aktivitas kelenjar prostat diperlihatkan dengan bertambah banyaknya mukosa

(45)

yang cenderung lebih tinggi dibandingkan kontrol. Hasil pengamatan secara deskriptif ini membuktikan bahwa adanya pengaruh terhadap produksi sekreta dalam lumen, selain itu juga memberikan informasi bahwa semakin tingginya dosis maka lipatan mukosa bertambah lebih banyak pada setiap ujung kelenjar. Pada bagian lumen kelompok hewan pubertas dan dewasa yang diberikan perlakuan ataupun kontrol terlihat terisi dengan cairan (sekreta), yang ditandai dengan terwarnainya bagian lumen. Akan tetapi terlihat perbedaan pada kontrol hewan tua yang didominasi dengan kosongnya lumen ujung kelenjar prostat.

Hasil pengamatan pada Gambar 11 dan 12 khususnya pada kelompok umur tua (T), ukuran ujung kelenjar relatif tidak sama dalam satu lapang pandang dan keadaan sel yang berbeda jika dibanding kontrol. Selain itu, dapat dilihat ujung kelenjar yang tidak terdapat cairan prostat jika dibandingkan dengan pubertas dan dewasa. Pemberian ekstrak purwoceng pada umur tua membuktikan adanya perbaikan aktivitas kelenjar prostat, dimana gambaran histologis ujung kelenjar prostat T25 dan T50 menunjukkan adanya aktivitas sel sekretori dalam memproduksi sekreta ke dalam lumen.

Gambar 13 dan 14 menunjukkan persentase kelenjar prostat aktif dan non aktif faktor dosis dan faktor umur. Secara umum pemberian dosis ekstrak purwoceng memberikan kecenderungan peningkatan persentase aktivitas kelenjar prostat, khususnya pada umur tua. Pada T0, T25, dan T50 memperlihatkan respon yang berbeda dibanding kelompok pubertas dan dewasa. Pada Gambar 13, terlihat persentase yang tinggi pada kelenjar prostat non aktif umur tua. Pemberian dosis 25 dan 50 mg terlihat mampu memberikan perbaikan terhadap aktivitas kelenjar prostat pada pubertas, dewasa, dan khususya pada umur tua. Pada Gambar 14, memperlihatkan bahwa aktivitas kelenjar prostat tertinggi diperlihatkan pada kelompok umur dewasa dan penurunan diperlihatkan pada umur tua. Hal tersebut berkaitan dengan penurunan fungsi fisiologis.

Gambar 13 Persentase Aktivitas Ujung Kelenjar Prostat (aktif dan non aktif) (faktor dosis terhadap aktivitas kelenjar prostat)

Keterangan :

: Persentase prostat aktif kontrol, dosis 25 mg, dosis 50 mg pada umur pubertas : Persentase prostat aktif kontrol, dosis 25 mg, dosis 50 mg pada umur dewasa : Persentase prostat aktif kontrol, dosis 25 mg, dosis 50 mg pada umur tua : Persentase prostat non aktif

(46)

Gambar 14 Persentase Aktivitas Ujung Kelenjar Prostat (aktif dan non aktif) (faktor umur terhadap aktivitas kelenjar prostat)

Keterangan :

: Persentase prostat aktif pubertas, dewasa, tua kontrol

: Persentase prostat aktif pubertas, dewasa, tua yang diberikan dosis 25 mg : Persentase prostat aktif pubertas, dewasa, tua yang diberikan dosis 50 mg : Persentase prostat non aktif

Konsentrasi Hormon Androgen (Testosteron)

Data analisis hormon androgen (testosteron) disajikan pada Tabel 5 Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 7-12) membuktikan bahwa pengaruh faktor dosis (0, 25, dan 50 mg) terhadap konsentrasi hormon testosteron pada umur pubertas (p=0.99), faktor dosis terhadap konsentrasi hormon testosteron pada umur dewasa (p=0.44), dan faktor dosis terhadap konsentrasi hormon testosteron pada umur tua (p=0.79). Hasil analisis tersebut membuktikan bahwa hasil tidak signifikan (p>0.05). Sama seperti hasil analisis sidik ragam faktor umur terhadap konsentrasi hormon testosteron kelompok kontrol (p=0.38), faktor umur terhadap konsentrasi hormon testosteron pada kelompok dosis 25 mg (p=0.34), dan faktor umur terhadap konsentrasi hormon testosteron pada kelompok dosis 50 mg (p=0.74). Data-data tersebut membuktikan bahwa hasil yang diperoleh tidak signifikan (p>0.05). Uji lanjut pada Tabel 6 memperlihatkan bahwa pengaruh ekstrak purwoceng baik faktor dosis ataupun umur terhadap konsentrasi hormon testosteron tidak berbeda nyata (p>0.05).

Pada kelompok umur pubertas terjadi peningkatan tidak bermakna antar faktor (p>0.05). Kelompok umur dewasa yang diberikan dosis 50 mg memperlihatkan nilai rerata lebih rendah dibanding kelompok hewan yang diberikan dosis 25 mg, peningkatan yang terjadi antar perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (p>0.05). Pada umur tua memperlihatkan peningkatan respon terhadap konsentrasi hormon testosteron seiring peningkatan dosis perlakuan, akan tetapi hasil analisis uji Duncan antar faktor juga tidak memperlihatkan perbedaan yang bermakna (p>0.05). Selain itu, Tabel 5 juga memperlihatkan variasi respon setelah diberikan perlakuan dosis 25 mg dan dosis 50 mg dan dengan meningkatnya umur hewan menunjukan penurunan konsentrasi hormon testosteron secara alami.

(47)

Tabel 5 Konsentrasi Hormon Androgen (Testosteron) (ng/mL)

Ket: Nilai rerata dan range faktor dosis (baris yang sama dari arah kiri ke kanan) dan umur (kolom yang sama dari atas ke bawah). P : Pubertas, D : Dewasa, T : Tua, 0: Tanpa perlakuan (kontrol), 25 : dosis ekstrak purwoceng 25 mg/kg BB, 50 : dosis ekstrak purwoceng 50 mg/kg BB.

Tabel 6 Hasil Uji Duncan Konsentrasi Hormon Androgen (Testosteron)

Umur Dosis

Ket : Huruf yang berbeda dalam satu baris atau kolom yang sama menunjukkan perlakuan berbeda nyata (p<0.05). Perbedaan menyatakan signifikansi faktor dosis dan umur terhadap konsentrasi hormon testosteron. Huruf yang sama dalam satu baris yang sama menunjukkan perlakuan tidak berbeda nyata (p>0.05). Subskrip menyatakan signifikansi dosis terhadap konsentrasi hormon testosteron. Superskrip menyatakan signifikansi umur terhadap konsentrasi hormon testosteron.

Konsentrasi Hormon Androgen (Dihidrotestosteron)

Hasil analisis konsentrasi hormon DHT disajikan pada Tabel 7. Hasil analisis sidik ragam (Lampiran 13-18) membuktikan bahwa pengaruh faktor dosis terhadap konsentrasi hormon DHT pada umur pubertas p=0.52, faktor dosis terhadap konsentrasi hormon DHT pada dewasa p=0.16 dan faktor dosis terhadap konsentrasi hormon DHT pada kelompok tua p=0.990. Hasil analisis tersebut membuktikan bahwa hasil yang diperoleh tidak signifikan (p>0.05). Pengaruh faktor umur terhadap konsentrasi hormon DHT pada kelompok kontrol dengan p=0.59, faktor umur terhadap konsentrasi hormon DHT kelompok dosis 25 mg dengan nilai p=0.21, dan faktor umur terhadap konsentrasi hormon DHT pada kelompok dosis 50 mg p=0.94, data tersebut membuktikan bahwa hasil yang diperoleh tidak signifikan (p>0.05). Uji lanjut pada Tabel 8 memerlihatkan bahwa hubungan antara faktor dosis dan umur terhadap konsentrasi hormon DHT tidak berbeda nyata (p>0.05).

Gambar

Gambar 1 Bagan Kerangka Pemikiran
Gambar 2     Tanaman purwoceng
Gambar 3    Histologi Tubulus Seminiferus “10x”
Gambar 4        Histologi Umum Kelenjar Prostat “4x”
+7

Referensi

Dokumen terkait

ayat (1) dilakukan apabila kebutuhan dasar mustahiq telah terpenuhi. Pendayagunaan dana zakat untuk aktivitas-aktivitas produktif memiliki. beberapa prosedur. Dimana diatur dalam

Menurut kitab Undang-undang Perdata, tidak ada ketentuan yang memberikan pembatasan tentang hibah yang diberikan si pemberi hibah sebagaimana yang diatur dalam Hukum Kompilasi

Dengan skenario dasar, pada tahun 2025 dan 2050 nanti sumber utama pembangkitan listrik sekitar 84 persen tetap berasal dari energi fosil, yakni dari batubara, gas, dan BBM..

14.Mayoritas penduduk Australia adalah bangsa kulit putih yang bermigrasi dari Inggris dan.. 15.Julukan Benua Australia

Pada akhir bagian buku ini, dalam rangka 80 tahun Prof Djuhaendah Hasan, dimuat kesan pesan dari kolega, sahabat, mahasiswa serta keluarga terhadap pribadi beliau sebagai

Untuk lokasi dengan demand terbatas atau kesulitas SITAC kabinet atau kondisi pencabangan dimungkinkan dilakukan design menggunakan ODP splitter dengan keluaran

Dimana karyawan tersebut telah memiliki masing - masing tugasnya yaitu pemilik sebagai seorang marketing yang bertugas untuk mencari konsumen, sebagai pengawas produksi,

REPÚBLICA DEMOCRÁTICA DE TIMOR-LESTE.