• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Pola Penguasaan Sumber Daya Rumah Tangga Dengan Ketahanan Pangan Di Desa Bungku, Jambi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hubungan Pola Penguasaan Sumber Daya Rumah Tangga Dengan Ketahanan Pangan Di Desa Bungku, Jambi"

Copied!
51
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN POLA PENGUASAAN SUMBER DAYA RUMAH

TANGGA DENGAN KETAHANAN PANGAN

DI DESA BUNGKU, JAMBI

SYIFA SELVIA SULISTYONINGRUM

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Hubungan Pola Penguasaan Sumber Daya Rumah Tangga Dengan Ketahanan Pangan di Desa Bungku, Jambi adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(3)

ABSTRAK

SYIFA SELVIA SULISTYONINGRUM. Hubungan Pola Penguasaan Sumber Daya Rumah Tangga dengan Ketahanan Pangan di Desa Bungku, Jambi. Dibimbing oleh TITIK SUMARTI.

Pemberian ruang seluas-luasnya kepada komoditas tanaman untuk industri telah menyingkirkan tanaman-tanaman pangan dari lahannya sendiri. Hal ini menyebabkan perubahan aktivitas nafkah dan ketahanan pangan khususnya pada komunitas suku asli yaitu Suku Anak Dalam (SAD) di Jambi. Sehubungan dengan hal ini, maka tujuan penelitian adalah: (1) mengidentifikasi karakteristik rumah tangga masyarakat berdasarkan etnisitas; (2) mengidentifikasi ketahanan pangan rumah tangga masyarakat; dan (3) menganalisis pola penguasaan sumber daya rumah tangga dan hubungannya terhadap ketahanan pangan rumah tangga. Hasil penelitian menunjukkan masyarakat Desa Bungku yang terbagi menjadi tiga golongan, yaitu (1) SAD; (2) SAD-semendo; dan (3) etnis pendatang memiliki keberagaman dalam ketahanan pangan rumah tangga. Ketahanan pangan rumah tangga pada masyarakat Bungku relatif sudah tahan pangan, namun masih ada 18,2 % yang rawan pangan. Faktor yang memiliki kecenderungan pengaruh terhadap ketahanan pangan rumah tangga adalah besarnya kepemilikan luas lahan, tingkat kekayaan, tingkat pendidikan, pemilikan tabungan, tingkat pendapatan dan tingkat jaringan sosial.

Kata kunci : ketahanan pangan, pola penguasaan sumberdaya, Suku Anak Dalam (SAD) Jambi

ABSTRACT

SYIFA SELVIA SULISTYONINGRUM. Relationship of The Pattern Mastery of Household Resources With Food Security at Desa Bungku, Jambi. Under the guidance of TITIK SUMARTI.

Granting the existence of spaces to commodity crops for industry has been getting rid of food plants of its own. This case makes change activity of living and food security especially on a real communities, namely Suku Anak Dalam (SAD) in Jambi. With respect to this, then research objectives are to: (1) to identify household characteristics based on ethnicity; (2) to identify food security of households; and (3) analyze the pattern mastery of household resources and its relation with food security household. The result of this research shows community at Bungku village divided into three groups, (1) SAD; (2) SAD-Semendo; and (3) newcomers ethnic, having diversity in the resistance of household food. Food security of households in Bungku relatively already hold food, but still 18,2 % that food insecurity. Factors that having a tendency the effect on food security household was the size of the area of land ownership, the level of wealth, the level of education, ownership of savings, income levels and the level of social network.

(4)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

HUBUNGAN POLA PENGUASAAN SUMBER DAYA RUMAH

TANGGA DENGAN KETAHANAN PANGAN

DI DESA BUNGKU, JAMBI

SYIFA SELVIA SULISTYONINGRUM

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIANBOGOR BOGOR

(5)
(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Pola Penguasaan Sumber Daya Rumah Tangga Dengan Ketahanan Pangan di Desa Bungku, Jambi”. Penulisan skripsi ini ditujukan untuk memenuhi syarat memperoleh gelar sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dr. Ir. Titik Sumarti, MC. MS selaku dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikiran dalam memberikan masukan dan bimbingan hingga skripsi ini dapat terselesaikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang mendalam kepada masyarakat Desa Bungku, khususnya para responden dan aparat desa yang telah membantu terlaksananya penelitian ini. Terima kasih penulis sampaikan kepada dosen beserta staf KPM atas ilmu yang telah diberikan.

Penulis juga menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada ayahanda Martono Dharma Wihardja, ibunda Rusmiyarti, serta keempat kakak tersayang Taufiq Wisnu Wihardja, Maradona Bagus Budi Dharma, Dini Wulansari, dan Eri Wijayanti yang selalu memberikan semangat, motivasi, doa, dan dukungan kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman penulis selama kuliah, khususnya Gressayana Suciari, Ajeng Intan Purnamasari, Valentina Sokoastri, Urwatil Wutsqo, Noor Aspasia, Dimas Surya Utama, Rona Mentari, Susi Susanti, Gugi Yogaswara, Ario Sandjoyo, Tio Nugroho, Bagus Dwi Utama, Lulu Hanifah, Arif Rachman, Alfiana Rachmawati, Anggi Lestari Utami, Indra Setiyadi, serta teman-teman Soka 15 dan KPM 46 yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman satu bimbingan skripsi, Yuli Dwi Anggraeni yang telah memberikan banyak masukan dan motivasi dalam penulisan skripsi ini serta teman-teman organisasi dari Sanggar Juara, BicaraDesa.com, dan Forum Indonesia Muda yang selalu mendukung penuh kelancaran skripsi ini. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya.

(7)

DAFTAR ISI

Ketahanan Pangan Rumah Tangga dan Aktor yang Mendukung Ketahanan Pangan

Rumah Tangga 7

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan 9

Konsep Penguasaan Sumber Daya Rumah Tangga 10

Kerangka Pemikiran 11

Pola Penggunaan Lahan dan Kondisi Sarana Prasarana 18

Kondisi Demografi dan Sosial Budaya 19

Hilangnya Sumber-Sumber Penghidupan dan Peminggiran Eksistensi Komunitas

Asli dan Penduduk Lokal 25

Aksesibilitas Pangan 25

Ketersediaan Pangan 27

POLA PENGUASAAN SUMBER DAYA RUMAH TANGGA DAN

HUBUNGANNYA DENGAN KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA 29

Hubungan Tingkat Penguasaan Lahan dengan Tingkat Ketahanan Pangan Rumah

(8)

Hubungan Tingkat Kekayaan dengan Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga

Masyarakat Desa Bungku 30

Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga

Masyarakat Desa Bungku 30

Hubungan Tingkat Pemilikan Tabungan dengan Tingkat Ketahanan Pangan Rumah

Tangga Masyarakat Desa Bungku 31

Hubungan Tingkat Pendapatan dengan Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga

Masyarakat Desa Bungku 32

Hubungan Tingkat Jaringan Sosial dengan Tingkat Ketahanan Pangan Rumah

Tangga Masyarakat Desa Bungku 32

SIMPULAN DAN SARAN 34

Simpulan 34

Saran 35

(9)

DAFTAR TABEL

1 Usia kepala keluarga rumah tangga masyarakat Desa Bungku tahun 2013 2 Angka beban tanggungan rumah tangga masyarakat Desa Bungku tahun

2013

3 Tingkat pendidikan kepala keluarga rumah tangga masyarakat Desa Bungku tahun 2013

4 Pekerjaan rumah tangga masyarakat Desa Bungku tahun 2013

5 Tingkat pendapatan kepala keluarga rumah tangga masyarakat Desa Bungku tahun 2013

6 Tingkat ketahanan pangan rumah tangga masyarakat Desa Bungku tahun 2013

7 Hubungan antara Luas Lahan dengan Ketahanan Pangan Rumah Tangga 8 Hubungan antara Tingkat Kekayaan dengan Tingkat Ketahanan Pangan

Rumah Tangga

9 Hubungan antara Tingkat Pendidikan Kepala Keluarga dengan Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga

10 Hubungan antara Tingkat Pemilikan Tabungan dengan Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga

11 Hubungan antara Tingkat Pendapatan Kepala Keluarga dengan Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga

12 Hubungan antara Tingkat Jaringan Sosial dengan Tingkat Ketahanan Pangan Rumah Tangga

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi

2 Daftar Responden 3 Dokumentasi

20 21 21 22 22 24 29 30 31 31 32 33 28

(10)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Komoditas kelapa sawit di Indonesia dewasa ini telah menjadi tanaman primadona dan memiliki prospek masa depan yang sangat cerah. Hal itu wajar karena agribisnis kelapa sawit ini berorientasi ekspor. Hampir semua negara, dewasa ini menggunakan minyak kelapa sawit untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya. Di samping itu, didukung pula oleh minyak kelapa sawit yang multifungsi, yaitu untuk minyak goreng, bahan makanan ternak, bahan keperluan industri kimia, bahan kosmetik, dan sebagainya (Risza 2010).

Berdasarkan data dari Kementerian Pertanian tahun 2012, produksi kelapa sawit Indonesia sebesar 17,54 juta ton pada tahun 2008 menjadi 23,52 juta ton pada tahun 2012, dengan rata-rata pertumbuhan sebesar 7,7 persen per tahun pada periode 2008-2012. Dengan tingkat produksi kelapa sawit yang cukup tinggi maka tidaklah mengherankan jika Indonesia menjadi salah satu negara penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia. Pada tahun 2011, Indonesia mampu menghasilkan 23.900 ribu ton atau 40,27 persen dari total produksi minyak sawit dunia sebesar 50.894 ribu ton, sementara sisanya di suplai Malaysia, Thailand, Nigeria, dan Colombia (Ermawati dan Saptia 2013). Total volume ekspor CPO Indonesia pada tahun 2012 mencapai 16,8 juta ton. Sementara, volume ekspor CPO Indonesia periode Januari-Juli 2013 mencapai 11,34 juta ton. Data Ditjen Perkebunan Kementerian Pertanian menyebutkan, luas areal lahan kelapa sawit di Indonesia pada 2011 mencapai 8.908.000 hektar, sementara di 2012 angka sementara mencapai 9.271.000 hektar (Situmeang 2013) dan diproyeksikan akan meningkat secara signifikan pada tahun-tahun mendatang.

Menurut Sido (2013) tingkat alih fungsi ataupun penggundulan hutan di Indonesia sedang disorot seksama oleh dunia. Betapa tidak, Indonesia yang separuh wilayahnya terdiri dari hutan (primer dan terkelola) menyumbang 18,7 miliar ton emisi karbon dan efek rumah kaca, hanya satu tingkat di bawah Brasil di urutan pertama, demikian data Food and Agricultural Organization (FAO) melingkup termin waktu sejak 1990 hingga 2010. Indonesia yang pada akhir 1890-an dikagumi sebagai paru-paru Dunia dengan Borneo sebagai sumber oksigen terbesar, kini terancam penggundulan dan alih fungsi hutan yang memprihatinkan. FAO mencatat sebesar 51 persen atau 94.432.000 hektare lahan Indonesia adalah hutan. Setengahnya adalah hutan primer dan sebanyak 3.549.000 hektare hutan perkebunan. Antara 1990 hingga 2010, Indonesia kehilangan 1,02 persen luas hutan per tahun, yang berarti total penggundulan atau alih fungsi dalam 20 tahun terakhir sebesar 20,3 persen.

Penggundulan dan alih fungsi lahan hutan, atau istilahnya deforestasi, untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit ditunding sebagai salah satu penyebab kerusakan hutan. Hutan yang didalamnya terdapat beranekaragam jenis pohon dirubah menjadi tanaman monokultur, menyebabkan hilangnya biodiversitas dan keseimbangan ekologis di areal tersebut. Laju deforestasi hutan di Indonesia menurut perkiraan FAO mencapai 1.315.000 ha per tahun atau setiap tahunnya luas areal hutan berkurang sebesar 1 persen (Irwanto 2012).

(11)

terdapat 49 jenis binatang mamalia dan 43 jenis binatang amfibi. Di wilayah Hutan Harapan juga terdapat permukiman komunitas Suku Anak Dalam. Komunitas ini merupakan suku asli tertinggal yang telah menetap di dalam hutan sejak ratusan tahun lalu, yang hingga kini masih mengandalkan hutan sebagai tempat tinggal dan mencari makan.

PT. Restorasi Ekosistem Konservasi Indonesia (REKI) sebagai pengelola ekosistem Hutan Harapan Jambi menyatakan bahwa 100.000 ha kawasan itu rusak akibat maraknya perambahan untuk perkebunan sawit. Menurut Kepala Jagawana Hutan Harapan, dalam satu bulan, perambah bisa menanam 300-400 ha sawit. Tujuan utama pengelolaan Hutan Harapan yang membentang di Provinsi Jambi dan Sumatra Selatan itu adalah untuk mengembalikan dan meningkatkan fungsi hutan sebagaimana semula. Hanya saja, upaya ini cukup berat karena maraknya gangguan dari luar, khususnya perambah. Banyak kelompok tertentu datang dari berbagai daerah luar Provinsi Jambi untuk kemudian membuka lahan dikawasan Hutan Harapan.Ironisnya, sebagian besar perambah dari luar itu mengatasnamakan sebagai petani. Bahkan sebagian mengatasnamakan komunitas Suku Anak Dalam yang sejak awal justru telah dibina oleh PT. REKI dalam upaya pelestarian hutan (Rizki 2012).

Terjadinya perambahan hutan menyebabkan perubahan aktivitas nafkah pada komunitas Suku Anak Dalam. Mereka yang terbiasa mengandalkan hutan sebagai tempat tinggal dan mencari makan kini setelah deforestasi hutan menjadi perkebunan sawit komunitas Suku Anak Dalam tak lagi mencari makan dengan berburu dan meramu namun dengan berupaya memiliki penghasilan untuk membeli makanan. Misalnya dengan menjual rotan, balam, jernang, damar, atau hewan hasil buruan yang kemudian hasil penjualannya digunakan untuk membeli bahan makanan seperti gula, sayur, garam, kopi, rokok, dsb.

Menurut Rosyani (2009) perkembangan pemanfaatan lahan di Provinsi Jambi saat ini, sangat memprihatinkan, ditandai dengan merebaknya perusahaan-perusahaan perkebunan kelapa sawit. Perkembangan perkebunan kelapa sawit, di satu sisi meningkatkan pendapatan asli daerah, namun di sisi lain, akan menghawatirkan kehidupan masyarakat desa. Masyarakat desa sekitar perusahaan dan perusahaan perkebunan hidup dalam ruang yang sama. Pola-pola yang dikembangkan dalam kerjasama dengan petani pedesaan, telah menghancurkan kebiasaan pola diversifikasi usaha yang sejak lama dikembangkan. Praktik-praktik tanaman monokultur yang sekarang berkembang dengan pesat akan menghancurkan kehidupan petani, lahan pangan berganti, dan ada kecenderungan petani beralih ke tanaman monokultur, peristiwa terakhir ini akan mengancam lingkungan hidup sekitar masyarakat desa sekitar perusahaan. Sehingga muncul permasalahan salah satunya yaitu kerawanan pangan.

(12)

Penelitian ini berfokus pada upaya memahami bagaimana perubahan ketersedian pangan rumah tangga pada masyarakat Desa Bungku yang mengalami perubahan alih fungsi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Hutan yang awalnya berfungsi sebagai penyedia pangan semakin berkurang peranannya. Oleh karena itu perlu dikaji pula bagaimana penguasaan sumber daya rumah tangga mempengaruhi ketahanan pangan rumah tangga. Hal ini menarik minat peneliti untuk mengkaji upaya masyarakat Desa Bungku dalam pemenuhan kebutuhan pangan untuk menyelamatkan rumah tangganya dari kerawanan pangan.

Perumusan Masalah

Masyarakat Desa Bungku terdiri dari tiga komunitas besar etnis, yaitu: Suku Anak Dalam, Suku Ank Dalam-Semendo, dan etnis pendatang, yang memiliki keragaman penduduk, pekerjaan dan pendapatan. Oleh karena itu, penting diketahui bagaimana karakteristik rumah tangga masyarakat desa Bungku berdasarkan etnisitas.

Tiga hal pokok yang menjadi dasar analisis ketahanan pangan menurut Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian (BKP Deptan 2006) yakni (1) ketersediaan pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik jumlah maupun mutunya, serta aman, (2) distribusi, dimana pasokan pangan dapat menjangkau keseluruhan wilayah sehingga harga stabil dan terjangkau oleh rumah tangga, dan (3) konsumsi, yaitu setiap rumah tangga dapat mengakses pangan yang cukup dan mampu mengelola konsumsi kaidah kaidah gizi dan kesehatan, serta prevensinya. Pengalihfungsian lahan di Desa Bungku yang menyebabkan lahan pangan berganti menjadi perkebunan sawit dan karet menyebabkan masalah kerawanan pangan. Untuk itu penting untuk diketahui bagaimana kondisi ketahanan pangan rumah tangga pada masyarakat Desa Bungku dan adakah keterkaitannya dengan etnisitas?

(13)

Tujuan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah dan pertanyaan penelitian yang telah dipaparkan di atas, maka dapat disusun beberapa tujuan penelitian guna menjawab rumusan masalah tersebut, yaitu:

1. Mengidentifikasi karakteristik rumah tangga masyarakat berdasarkan etnisitas. 2. Mengidentifikasi ketahanan pangan rumah tangga masyarakat.

3. Menganalisis pola penguasaan sumber daya rumah tangga dan hubungannya terhadap ketahanan pangan rumah tangga.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi berbagai kalangan, diantaranya:

1. Peneliti dan civitas akademika, penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan terkait ilmu pengembangan masyarakat mengenai penguasaan sumber daya rumah tangga dan hubungannya dengan upaya pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat.

2. Masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat memberikan gambaran terutama masyarakat sekitar kawasan perkebunan kelapa sawit untuk mengetahui penguasaan sumber daya rumah tangga dan hubungannya dengan upaya pemenuhan kebutuhan pangan masyarakat.

(14)

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka

Komunitas Suku Anak Dalam Jambi

Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (2012) ”Orang Rimbo” atau Suku Anak Dalam (SAD) adalah keturunan dari masyarakat Pagaruyung, Sumatera Barat, yang bermigrasi mencari sumber-sumber penghidupan yang lebih baik. Diperkirakan kondisi keamanan yang tidak kondusif dan pasokan pangan yang tidak memadai di Pagaruyung, menjadi penyebab migrasi mereka. Di Kabupaten Tanah Datar sebagai pusat Kerajaan Pagaruyung sendiri, terdapat sebuah daerah, yaitu Kubu Kandang. Merekalah yang diperkirakan bermigrasi ke beberapa wilayah di Jambi bagian Barat.

Perilaku SAD yang kubu disebabkan beratus tahun moyang mereka hidup di tengah hutan, tidak mengenal peradaban yang lain kecuali peradaban mereka sendiri. Kehidupan mereka sangat dekat dan bergantung pada alam. Mereka beranak pinak dalam hutan, makan sirih, berburu, dan meramu obat alam, sehingga tidak tahu dan tidak pula mengenal peradaban orang dusun. SAD hidup seminomaden, karena kebiasaannya berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya memanfaatkan hutan sekitar sebagai pemasok ketersediaan pangan. Perpindahan bisa juga disebabkan karena salah satu anggota keluarganya meninggal (melangun), karena menghindari musuh, atau membuka ladang baru.

SAD yang selama hidup dan segala aktifitasnya dilakukan di hutan, juga memiliki strata budaya dan kearifan lokal yang khas dalam mengelola sumber daya alam. Hutan bagi mereka adalah harta yang tidak ternilai harganya karena tempat hidup, beranak-pinak, sumber pangan, sampai menjadi tempat dilakukannya upacara adat istiadat. Begitupula dengan sungai sebagai sumber air minum dan fungsi lainnya. Dalam hal pengelolaan sumberdaya hutan, mereka mengenal wilayah peruntukan seperti adanya tanoh peranokon, rimbo, ladang, sesap, belukor dan benuaron. Peruntukan wilayah merupakan rotasi penggunaan tanah yang berurutan dan dapat dikatakan sebagai keberlajutan sistem lestari sumber daya hutan yang dapat diolah sebagai ladang untuk suplai makanan pokok seperti ubi kayu, padi ladang, ubi jalar, pisang, tebu, kemudian berubah menjadi sesap.

Saat ini kebanyakan dari SAD tinggal menetap karena adanya penebangan hutan yang masif dan mengganggu habitat mereka. Akibat perubahan wilayah ini mereka terdesak semakin ke pedalaman yang sering kali merupakan kawasan hutan negara. Kondisi terakhir ini menyebabkan komunitas SAD tersudutkan karena di satu pihak ia telah kehilangan wilayah tanah adatnya ditambah hutan sekitarnya, namun kini di tempat yang baru ia terkukung dalam bayang-bayang tanah berkonflik dengan perusahaan. Dengan demikian akibatnya diduga ketersediaan pangan bagi rumah tangga komunitas ini paling rawan, sehingga diperlukan intervensi pemerintah untuk menyelamatkan eksistensi komunitas SAD ini. Namun yang ikut memprihatinkan juga sesungguhnya pemilik kearifan lokal dari hutan tropis di Desa Bungku ini terancam untuk terkikis.

Konsep Ketahanan Pangan

(15)

(1980) dalam Alfiasari (2007) mengembangkan konsep ketahanan pangan tersebut. Ketahanan pangan bukan hanya ditinjau dari aspek suplai (ketersediaan) saja tetapi juga dalam aspek demand, dalam hal ini konsumsi pangan. Aspek suplai (ketersediaan) mencakup kestabilan stok pangan, impor, dan bahkan pemanfaatan pangan di masa depan, termasuk juga peningkatan produksi domestik. Aspek konsumsi pangan merujuk pada pencapaian peningkatan pendapatan ekonomi bagi keluarga miskin. World Food Conference berikutnya pada tahun 1996 menghasilkan rumusan tentang ketahanan pangan yang baru, yakni kondisi dimana semua orang, setiap orang, mempunyai akses fisik dan ekonomi, untuk memperoleh pangan yang cukup, aman, dan bergizi, guna memenuhi kebutuhan pangan dan prevensinya untuk kehidupan yang aktif dan sehat (FAO 1997).

Pengertian lain mengenai ketahanan pangan lebih detail dijelaskan oleh Suryana (2009) dalam Gunawan (2011), yakni:

1. Terpenuhinya pangan yang cukup, yang diartikan sebagai ketersediaan pangan dalam arti luas bukan hanya beras tetapi mencakup pangan yang berasal dari tanaman, ternak, ikan untuk memenuhi kebutuhan atas karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral yang bermanfaat bagi manusia.

2. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang aman, diartikan bebas dari cemaran biologis kimia dan benda zat lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta aman dari kaidah agama.

3. Terpenuhinya pangan dengan kondisi yang merata, dapat diartikan pangan harus tersedia setiap saat dan merata di seluruh tanah air.

4. Terpenuhinya pangan dengan kondisi terjangkau, diartikan pangan mudah diperoleh oleh setiap rumah tangga dengan harga terjangkau.

Pangan dalam setiap pendefinisian dalam konsep ketahanan pangan adalah pengertian pangan dalam arti luas. Pangan tidak terbatas pada beras yang menjadi makanan pokok sehari-hari. Undang-undang Ketahanan Pangan juga telah mendefinisikan pangan sesuai dengan apa yang di ungkapkan Suryana di atas, yakni pangan bukan berarti hanya beras dan komoditas tanaman pangan (padi, jagung, kedelai, dan lain-lain), namun juga mencakup makanan dan minuman yang berasal dari tumbuhan dan hewan termasuk ikan, baik produk primer maupun turunannya. Dengan demikian pengertian pangan dapat dipahami dengan makna yang sangat luas.

Sebagai indikator ketahanan pangan, Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian (BKP Deptan 2006) merumuskan tiga hal pokok yang menjadi dasar analisis ketahanan pangan yakni:

1. Ketersediaan pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh penduduk, baik jumlah maupun mutunya, serta aman.

2. Distribusi, dimana pasokan pangan dapat menjangkau keseluruhan wilayah sehingga harga stabil dan terjangkau oleh rumah tangga

3. Konsumsi, yaitu setiap rumah tangga dapat mengakses pangan yang cukup dan mampu mengelola konsumsi kaidah kaidah gizi dan kesehatan, serta prevensinya.

(16)

Ketahanan Pangan Rumah Tangga dan Aktor yang Mendukung Ketahanan Pangan Rumah Tangga

Perhatian terhadap ketahanan pangan (food security) merupakan respon dari deklarasi PBB tentang Hak Asazi Manusia (HAM) tahun 1948, bahwa hak atas pangan adalah salah satu elemen utama untuk menjalani kehidupan secara ideal. Dalam hal ini, kebutuhan pangan masyarakat dilihat dalam konteks pendekatan hak (right-based), yang bermakna bahwa pemerintah wajib untuk menghormati, melindungi dan memenuhi kecukupan pangan tersebut. Menghormati berarti bahwa pemerintah tidak boleh menghilangkan akses masyarakat terhadap pangan yang cukup. Melindungi berarti bahwa pemerintah harus melindungi masyarakat dari keadaan kehilangan akses tersebut. Pemerintah secara proaktif harus menciptakan lingkungan yang memungkinkan masyarakat untuk dapat mandiri, apabila masyarakat belum mampu melakukannya, maka pemerintah harus menjamin ketersediaan pangannya (FAO 2009).

Widodo (2010) menjelaskan bahwa ketahanan pangan rumah tangga sebagaimana hasil rumusan International Congres of Nutrition (ICN) yang

diselenggarakan di Roma tahun 1992 mendefenisikan bahwa: “Ketahanan pangan

rumah tangga (household food security) adalah kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari”. Dalam sidang Committee on World Food Security 1995 definisi tersebut diperluas dengan menambah persyaratan “Harus diterima oleh budaya setempat (acceptable with given culture)”. Hal lain dinyatakan Hasan (1995) bahwa ketahanan pangan sampai pada tingkat rumah tangga antara lain tercermin oleh tersedianya pangan yang cukup dan merata pada setiap waktu dan terjangkau oleh masyarakat baik fisik maupun ekonomi serta tercapainya konsumsi pangan yang beraneka ragam, yang memenuhi syarat-syarat gizi yang diterima budaya setempat.

Berdasarkan Konferensi Pangan Tingkat Tinggi tahun 1996 yang

diselenggarakan oleh FAO, definisi ketahanan pangan adalah “food security exists when all people, at all times, have physical and economic access to sufficient, safe and nutritious food to meet their distary needs and food preferences for an active and

healthy life” (Dewan Ketahanan Pangan 2011). Makna yang terkandung dalam definisi tersebut adalah setiap orang pada setiap saat memiliki aksesibilitas secara fisik dan ekonomi terhadap pangan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan agar dapat hidup produktif dan sehat.

Indonesia kemudian mengadopsi rumusan ketahanan pangan tersebut dan dituangkan ke dalam Undang-Undang RI Nomor 7 tahun 1996 tentang Pangan. Berdasarkan UU tersebut, ketahanan pangan didefinisikan sebagai kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau.

(17)

Pada Kebijakan Umum Ketahanan Pangan (KUKP) 2010-2014, secara esensial dapat dikatakan bahwa ketahanan pangan adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Pemerintah propinsi, pemerintah kabupaten/kota dan pemerintah desa melaksanakan kebijakan ketahanan pangan dan bertanggung jawab terhadap penyelengaraan ketahanan pangan di wilayahnya masing-masing dengan memperhatikan pedoman, norma, standar dan kriteria yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat (Husni 2009)

Qoriah (2008) menjelaskan secara umum ketahanan pangan mencakup empat aspek, yaitu kecukupan (sufficiency), akses (acces), keterjaminan (security) dan waktu (time).

Ketahanan pangan merupakan suatu sistem yang terdiri atas:

1. Subsistem ketersediaan, dipengaruhi oleh sumber daya dan produksi pangan 2. Subsistem kemudahan memperoleh pangan, dipengaruhi oleh kesempatan

kerja, pendapatan rumah tangga dan sarana transportasi.

3. Subsistem pemanfaatan pangan, dipengaruhi oleh konsumsi pangan dan status gizi.

Ketahanan pangan yang baik memberikan ruang bagi rumah tangga untuk memperoleh gizi yang cukup bagi seluruh anggota rumah tangganya yang sangat penting untuk pembagunan generasi yang berkualitas. Ketahanan pangan merupakan prasyarat bagi bangsa Indonesia untuk dapat membangun sektor lainnya, karena bila kebutuhan masyarakat yang paling asasi ini belum terpenuhi akan sangat mudah terjadinya kerawanan pangan.

Suryana dalam Qoriah (2008) menjelaskan bahwa kerawanan pangan terjadi manakala rumah tangga, masyarakat atau daerah tertentu mengalami ketidakcukupan pangan untuk memenuhi standar kebutuhan para individu anggotanya. Ada dua tipe kerawanan pangan atau ketidaktahanan pangan, yaitu kronis dan transitori. Ketidaktahanan pangan kronis adalah ketidakcukupan pangan secara menetap akibat ketidakmampuan rumah tangga untuk memperoleh pangan yang dibutuhkan melalui pembelian di pasar atau produksi sendiri. Kondisi ini berakar dari kemiskinan. Sedangkan ketidaktahanan pangan transitori adalah penurunan akses terhadap pangan yang dibutuhkan rumah tangga secara temporer. Hal ini disebabkan oleh adanya bencana alam.

Kebijakan di bidang ketahanan pangan dan gizi merupakan bagian integral dari kebijakan pembangunan nasional. Dalam membangun sistem ketahanan pangan yang handal dan berkelanjutan tidak terlepas dari upaya-upaya yang meningkatkan pembangunan manusia dan mengatasi kemiskinan. Oleh karena itu strategi dalam membangun sistem ketahanan pangan tidak hanya berorientasi pada peningkatan produktivitas saja, tetapi juga pada peningkatan SDM melalui pemberdayaan masyarakat sehingga masyarakat memiliki kemampuan untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri secara mandiri dan berkelanjutan.

(18)

swasta dapat mempengaruhi jenis aktifitas nafkah yang dipilih masyarakat dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Sedangkan kelembagaan lokal yang mungkin bisa menopang ketahanan pangan masyarakat bisa berupa Lumbung Padi yang dikelola oleh suatu masyarakat, arisan, koperasi, dan aktivitas lainnya.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Ketahanan Pangan

Membahas ketahanan pangan tidak terlepas dari berbagai faktor yang mempengaruhi. Ada beberapa faktor yang baik secara langsung ataupun tidak, berdampak pada ketahanan pangan. Faktor-faktor tersebut adalah peluang dan tantangan yang dihadapi dalam mencapai ketahanan pangan. Faktor yang menjadi tantangan dalam mencapai ketahanan pangan adalah tekanan penduduk, degradasi lingkungan, serta pola penguasaan sumberdaya rumahtangga.

Pola penguasaan sumberdaya yang dimaksud adalah dalam melakukan strategi bertahan (survival) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, rumahtangga memerlukan semacam modal atau bisa dikatakan sumber nafkah. Lima bentuk modal atau biasa disebut livelihood asset tersebut yaitu, modal sumberdaya alam (natural capital), modal fisik (physical capital), modal manusia (human capital), modal finansial (financial capital and subtitutes), dan modal sosial (social capital) (Ellis 2000).

Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2010 telah mencapai angka 237.556.363 jiwa (BPS 2011). Dari angka tersebut, rata-rata laju pertumbuhan penduduk Indonesia pertahun adalah 1,49 persen. Artinya setiap tahun terdapat peningkatan penduduk Indonesia kurang lebih sebanyak 3.539.000 jiwa. Dengan demikian setiap tahunnya diperlukan tambahan pangan untuk mencukupi pertumbuhan penduduk tersebut. Secara matematis perhitungan untuk memenuhi kebutuhan tambahan pangan tersebut adalah dengan melakukan penambahan lahan pertanian penghasil padi dan sereal sebanyak 100.000 hektar, belum termasuk ribuan hektar untuk memproduksi pertanian lain (Krisnamurti et al. 2003).

Pertumbuhan penduduk yang tidak terkontrol akan menimbulkan berbagai permasalahan. Sanusi (2003) mengemukakan permasalahan yang akan timbul akibat tekanan jumlah penduduk adalah berupa peningkatan biaya hidup masyarakat yang menambah beban secara ekonomi, pemenuhan gizi dengan kualitas dan kuantitas memadai yang makin sulit, masalah dalam pendidikan karena biaya tinggi, dan pemenuhan lapangan kerja yang semakin sulit.

Tekanan penduduk secara nyata juga berdampak pada penurunan kuantitas dan kualitas pertanian sebagai satu-satunya sumber pangan bagi manusia. Degradasi lingkungan mengalami peningkatan akibat kondisi lahan yang mendapatkan pemaksaan produksi melalui penggunaan bahan-bahan yang dapat merusak lahan. Sejalan dengan kerusakan secara kualitas, terjadi pula konversi lahan pertanian menjadi lahan non pertanian. Laju konversi lahan di Indonesia rata-rata mencapai 110.000 hektar pertahun (Kompas online 14 Januari 2012). Konversi lahan dan degradasi lingkungan tentu akan menjadi tantangan yang harus dihadapi guna mewujudkan ketahanan pangan.

(19)

pangannya. Tanpa disadari lingkungan dimana mereka tinggal dapat memberikan bantuan yang menyebabkan mereka terbebas dari rawan pangan.

Alfiasari (2007) menganalisis kasus di atas dengan modal sosial. Konsep modal sosial dalam penelitian tersebut dijelaskan dalam tiga komponen utama yang dikonseptualisasikan oleh Putman, yaitu kepercayaan, jejaring sosial, dan norma sosial. Modal sosial dapat terbentuk karena adanya hungan sosial. Hubungan sosial masyarakat di pedesaan umumnya adalah hubungan ketetanggaan. Basis lain kedekatan masyarakat adalah kekerabatan, yakni di mana masyarakat memiliki hubungan keluarga luas satu dengan yang lain.

Menurut Alfiasari (2007) mekanisme modal sosial dalam penguatan ketahanan pangan rumah tangga dapat dilihat dari: (1) kepercayaan, di mana komponen kepercayaan yang mempunyai hubungan signifikan dengan ketahanan pangan rumah tangga miskin adalah kepercayaan diri rumah tangga untuk menjalin kerja sama tanpa rasa saling curiga. (2) Sifat jaringan sosial, hasil penelitian menunjukkan bahwa semua rumah tangga miskin responden memiliki jaringan sosial yang bersifat informal, baik dalam hubungan sosial keseharian maupun dalam hubungan sosial dalam pemenuhan kebutuhan pangan. (3) Basis jaringan sosial, kekerabatan dan pertetanggaan merupakan basis jaringan sosial yang penting bagi rumah angga miskin untuk pemenuhan pangan.

Penelitian sebelumnya di Amerika Serikat berhasil menjelaskan bahwa hubungan sosial yang diukur dari kepercayaan, hubungan sosial, dan timbal balik pada tingkat rumah tangga berhubungan signifikan terhadap ketahanan pangan rumah tangga. Penelitian tersebut juga menemukan bahwa modal sosial pada tingkat komunitas berhubungan signifikan dengan penurunan resiko kelaparan pada rumah tangga miskin berpendapatan rendah (Alfiasari 2007).

Penganekaragaman pangan dikenal dengan istilah diversifikasi pangan. Suyastiri (2008) menjelaskan diversifikasi pangan diartikan sebagai suatu proses pemilihan pangan yang tidak tergantung pada satu jenis pangan saja, tapi lebih pada berbagai bahan pangan mulai dari aspek produksi, pengolahan, aspek distribusi, hingga aspek konsumsi pada tingkat rumah tangga. Suyastiri (2008) mengungkapkan ada tiga hal manfaat utama dari diversifikasi pangan, yaitu: (1) Dalam lingkup nasional pengurangan konsumsi beras akan memberikan dampak positif terhadap ketergantungan impor beras dari negara lain, (2) diversifikasi konsumsi pangan akan mengubah alokasi sumberdaya ke arah yang efisien, fleksibel, dan stabil kalau didukung oleh pemanfaatan potensi lokal, (3) diversifikasi konsumsi pangan penting dilihat dari segi nutrisi untuk dapat mewujudkan pola pangan harapan.

Keberagaman sumber daya alam yang dimiliki Indonesia menghasilkan banyak pilihan untuk membantu mendorong dalam usaha diversifikasi beras. Beberapa makanan pokok pengganti yang jumlahnya melimpah adalah singkokng, ubi jalar, sagu, kentang, jagung, sukun, dan kacang-kacangan. Variasi makanan pokok tidak hanya akan mengurangi beban produksi beras, namun juga dapat meningkatkan citra makanan-makanan pokok alternatif yang ada di Indonesia.

Beberapa faktor lain yang dapat mendukung pencapaian ketahanan pangan adalah keterlibatan instansi luar seperti LSM dan institusi pendidikan. Kegiatan-kegiatan pengabdian masyarakat yang dilakukan oleh institusi tersebut menjadi salah satu pendorong yang memberikan motivasi dan bantuan kepada masyarakat guna mencapai ketahanan pangan di daerahnya.

Konsep Penguasaan Sumber Daya Rumah Tangga

(20)

nafkah menurut Masithoh (2005) adalah berbagai sumberdaya yang dapat digunakan oleh individu maupun keseluruhan anggota rumahtangga petani untuk melaksanakan strategi nafkah guna mempertahankan keberlangsungan hidupnya paling tidak untuk memenuhi kebutuhan subsisten ataupun dalam rangka meningkatkan kualitas hidup suatu rumah tangga petani.

Dalam melakukan strategi bertahan (survival) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, rumah tangga memerlukan semacam modal atau bisa dikatakan sumber nafkah. Terdapat lima bentuk modal atau biasa disebut livelihood asset. Menurut Ellis (2000), kelima bentuk modal tersebut antara lain:

1. Modal Sumberdaya Alam (Natural Capital)

Modal ini bisa juga disebut sebagai lingkungan yang merupakan gabungan dari berbagai faktor biotik dan abiotik di sekeliling manusia. Modal ini dapat berupa sumber daya yang bisa diperbaharui maupun tidak bisa diperbaharui. Contoh dari modal sumberdaya alam adalah air, pepohonan, tanah, stok kayu dari kebun atau hutan, stok ikan di perairan, maupun sumber daya mineral seperti minyak, emas, batu bara dan lain sebagainya.

2. Modal Fisik (Physical Capital)

Modal fisik merupakan modal yang berbentuk infrastruktur dasar seperti saluran irigasi, jalan, gedung, dan lain sebagainya.

3. Modal Manusia (Human Capital)

Modal ini merupakan modal utama apalagi pada masyarakat yang dikategorikan

“miskin”. Modal ini berupa tenaga kerja yang tersedia dalam rumah tangga yang dipengaruhi oleh pendidikan, ketrampilan, dan kesehatan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya.

4. Modal Finansial (Financial Capital and Subtitutes)

Modal ini berupa uang, yang digunakan oleh suatu rumah tangga.Modal ini dapat berupa uang tunai, tabungan, ataupun akses dan pinjaman.

5. Modal Sosial (Social Capital)

Modal ini merupakan gabungan komunitas yang dapat memberikan keuntungan bagi individu atau rumah tangga yang tergabung di dalamnya. Contoh modal sosial adalah jaringan kerja (networking) yang merupakan hubungan vertikal maupun hubungan horizontal untuk bekerja sama dan memberikan bantuan untuk memperluas akses terhadap kegiatan ekonomi.

Kerangka Pemikiran

(21)

Kelapa sawit juga membuat masyarakat etnis pendatang berdatangan mencari peruntungan hidup melalui tanaman ini, sehingga makin terlihat perbedaan upaya penguasaan sumber daya rumah tangga dari tipe rumah tangga Suku Anak Dalam dan etnis pendatang. Ketahanan pangan rumah tangga adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Perubahan aktivitas nafkah diidentifikasi akan menimbulkan perubahan pola peguasaan sumber daya dan pola pangan rumah tangga. Dalam hal ini, pola penguasaan sumber daya rumah tangga, meliputi tingkat penguasaan luas lahan, tingkat kekayaan, tingkat pendidikan, tingkat pemilikan tabungan, tingkat pendapatan, tingkat jaringan sosial. Secara sederhana, kerangka pemikiran dapat digambarkan sebagai berikut:

Gambar 1 Kerangka Pemikiran

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka pemikiran yang telah dibuat, maka hipotesis dari penelitian ini adalah:

1. Diduga ada hubungan antara antara tingkat penguasaan lahan dan tingkat ketahanan pangan rumah tangga

2. Diduga ada hubungan antara tingkat kekayaan dan tingkat ketahanan pangan rumah tangga

3. Diduga ada hubungan antara tingkat pendidikan kepala keluarga dan tingkat ketahanan pangan rumah tangga

4. Diduga ada hubungan antara tingkat pemilikan tabungan dan tingkat ketahanan pangan rumah tangga

5. Diduga ada hubungan antara tingkat pendapatan kepala keluarga dan tingkat ketahanan pangan rumah tangga

(22)

Definisi Operasional

Penelitian ini menggunakan beberapa istilah operasional yang digunakan untuk mengukur variabel. Masing-masing variabel diberi batasan terlebih dahulu sehingga dapat ditentukan indikator pengukurannya. Istilah-istilah yang digunakan adalah:

(1) Tingkat ketahanan pangan rumah tangga adalah kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata dan terjangkau. Diukur dengan mengkombinasikan antara ketersediaan pangan dan akses pangan.

Rawan pangan : Skor 16 - 23 Tahan pangan : Skor 24 - 32

(2) Pola penguasaan sumber daya adalah kemampuan yang dimiliki rumah tangga yang dapat menunjang ketahanan pangan rumah tangga mengacu pada lima bentuk modal atau biasa disebut livelihood asset. Dalam kaitannya dengan masyarakat Desa Bungku yang terdiri dari berbagai suku yang memiliki kekhasan berbeda dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya, pola penguasaan sumber daya rumah tangga diukur dari tingkat penguasaan lahan, tingkat kekayaan, tingkat pendidikan, tingkat pemilikan tabungan, tingkat pendapatan, dan tingkat jaringan sosial.

a. Tingkat penguasaan lahan merupakan total luas lahan yang dikuasai dan diusahakan untuk menghasilkan kebutuhan pangan, baik berupa sawah, ladang atau kebun serta pekarangan rumah. Luas penguasaan lahan mengacu pada hasil riset rataan luas lahan yang dimiliki masyarakat dengan ukuran:

Sempit : < 2 hektar Luas : ≥ 2 hektar

b. Tingkat kekayaan, adalah segala pemilikan barang yang dimanfaatkan dalam kegiatan mencari nafkah, yaitu mencakup: kepemilikan dan ukuran rumah beserta tipe dinding, atap, dan lantai, kepemilikan toko/warung, kepemilikan alat elektronik (televisi, kipas angin, handphone, kulkas, mesin cuci), dan kepemilikan kendaraan (mobil, motor, sepeda) dan perhiasan (lebih dari 2 gram). Dengan ukuan:

Rendah : Skor 15-26 Tinggi : Skor 27-38

c. Tingkat pendidikan merupakan jenjang pendidikan yang telah ditempuh oleh kepala rumah tangga saat dilakukan pengambilan data, dibedakan menjadi dua kategori berdasarkan hasil survey mayoritas dalam masyarakat, yaitu:

Rendah : tidak sekolah - tamat Sekolah Dasar dan atau sederajat

Tinggi : Sekolah Menengah Pertama atau sederajat - Perguruan Tinggi d. Tingkat pemilikan tabungan adalah besarnya uang yang disimpan berupa uang

tunai maupun debit dari rumah tangga untuk dipergunakan pada kondisi darurat dengan ukuran:

Memiliki : 2

Tidak memiliki : 1

(23)

mengacu pada hasil riset pendapatan mayoritas kepala rumah tangga di lapangan.

Rendah : < 2.000.000 per bulan Tinggi : ≥ 2.000.000 per bulan

f. Tingkat jaringan sosial merupakan jaringan sosial yang dibangun antar masyarakat kesepuhan, dimana rumah tangga membentuk kerja sama dengan rumah tangga lain terkait dengan kegiatan ekonominya. Tingkat jaringan sosial diukur dari pengetahuan rumah tangga terhadap organisasi kemasyarakatan yang ada di daerahnya, keterlibatan dalam organisasi/kelompok, serta norma dan kepercayaan terhadap aktor (organisasi/kelompok).

(24)

METODE PENELITIAN

Pendekatan Penelitian

Penelitian ini mengunakan pendekatan kuantitatif dan didukung data kualitatif. Hal ini dilakukan sebagai upaya memperkaya data dan lebih memahami fenomena sosial yang diteliti dengan menambahkan informasi kualitatif pada data kuantitatif. Penelitian kuantitatif dilakukan dengan metode survey. Pengumpulan data kuantitatif dengan menggunakan kuesioner. Pendekatan kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode studi kasus yang bersifat deskriptif untuk mengetahui ketahanan pangan dan pola penguasaan sumber daya rumah tangga di desa lokasi penelitian. Data kualitatif diperoleh melalui wawancara mendalam dan pengamatan langsung di lokasi penelitian untuk menggali informasi lebih dalam dari pihak informan dan responden.

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Desa Bungku, Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposif) dengan pertimbangan bahwa lahan pangan dilokasi tersebut telah terdeforestasi menjadi perkebunan kelapa sawit. Fokus studi ini dipusatkan pada satu dusun yaitu Dusun Johor Baru 2 yang dinilai merupakan lokasi yang paling strategis dengan alasan dusun tersebut paling heterogen (keragaman etnik) dibandingkan dusun-dusun lain yang relatif heterogenitasnya “kurang

proporsional”. Penyusunan proposal dilakukan pada bulan Februari – April 2013. Pengumpulan data primer dan data sekunder dilakukan pada bulan April – Mei 2013. Pengolahan data dan hasil pembahasan laporan selanjutnya dilakukan pada bulan Januari 2015. Kegiatan penelitian meliputi penyusunan proposal penelitian, kolokium, revisi proposal, pengumpulan data, pengolahan data dan analisis data, penulisan draft skripsi, sidang skripsi, dan perbaikan laporan penelitian. Rencana kegiatan dipaparkan sebagai berikut.

Penentuan Responden dan Informan Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Dusun Johor Baru 2, Desa Bungku dengan unit analisis rumah tangga. Dengan demikian dalam kepentingan survey (studi kuantitatif) unit analisis penelitian ini adalah seluruh entitas rumah tangga. Sementara untuk kepentingan wawancara mendalam (studi kualitatif) informan dan/atau tokoh yang diwawancarai secara sengaja (purposif) dipilih berdasarkan keragaman latar belakang etnik. Terdapat tiga etnis tokoh dan/atau informan asal masyarakat Desa Bungku dengan klasifikasi, kelompok Suku Anak Dalam (SAD), kelompok Suku Anak Dalam (SAD) - Semendo, dan entnis pendatang.

(25)

Sebanyak 22 rumah tangga dijadikan sampel (responden) dengan asumsi responden tersebut dapat menghasilkan gambaran yang dapat dipercaya dari seluruh populasi yang diteliti, dapat menentukan presisi dari hasil penelitian dengan menentukan penyimpangan baku (standar) yang diperoleh, sederhana dan mudah dilaksanakan, serta dapat memberikan keterangan sebanyak mungkin dengan biaya serendah-rendahnya (Teken dalam Singarimbun dan Effendi 1989).

Teknik Pengumpulan dan Analisis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer berupa data kuantitatif dan kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara melalui kuesioner yang ditujukan kepada responden serta melalui wawancara mendalam terhadap responden maupun informan. Data sekunder sebagai data pendukung diperoleh melalui studi literatur, informasi dari internet, dokumen yang berhubungan dengan perkebunan kelapa sawit, deforestasi hutan, ketahanan pangan rumah tangga, serta berbagai dokumen dan pustaka lainnya yang dapat menunjang penelitian.

(26)

GAMBARAN UMUM KOMUNITAS DESA BUNGKU

Kondisi Geografi

Secara administratif, Desa Bungku terletak di Kecamatan Bajubang, Kabupaten Batanghari, Provinsi Jambi. Secara goegrafis pusat desa terletak pada posisi 01 54' 32", 5 dan 103 15' 37", 6 dengan topografi relatif datar sedikit bergelombang. Adapun batas-batas wilayahnya adalah sebagai berikut:

1. Sebelah utara : Desa Pompa Air 2. Sebelah Selatan : Desa Meranti Baru 3. Sebelah Barat : Desa Jebak

4. Sebelah Timur : Desa Unit 5 Sungai Bahar

Desa Bungku merupakan wilayah berstatus perdesaan yang letaknya berada di tepi/sekitar kawasan hutan berjenis fungsi hutan produksi. Lokasi desa berada di hamparan dengan kemiringan lahan sedang (15-25 derajat). Desa Bungku memiliki lima dusun, yaitu Dusun Bungku Indah, Dusun Johor Baru 1, Dusun Johor Baru 2, Dusun Kunangan Jaya 1, dan Dusun Kunangan Jaya 2. Perjalanan menuju Desa Bungku dapat ditempuh melalui jalan darat yang berjarak 30 km dari pusat kecamatan, 30 km dari pusat Kabupaten (Muara Bulian) dan sejauh 100 km dari ibu kota Propinsi Jambi. Akses transportasi untuk menuju dan keluar desa ini tidak terlalu sulit, apalagi kondisi jalan telah beraspal sejak dari pusat ibu kota kabupaten sampai ke desa. Jalur transportasi dilayani oleh angkutan desa yang beroperasi sejak pagi hingga sore hari.

Kondisi Sumber Daya Alam

Desa Bungku berada di tepi/sekitar kawasan hutan berjenis fungsi hutan produksi. Panjang Desa Bungku dari batas ujung-ujung desa mencapai 80 km. Sebagian besar wilayah Desa Bungku adalah perkebunan sawit dan sebagian kecil perkebunan karet. Dari total luas wilayah Desa Bungku yang juga termasuk wilayah perkebunan sawit milik PT. Asiatik Persada adalah tanah adat komunitas SAD sebesar 3.550 ha yang kini menjadi tanah berkonflik antara perusahaan dengan komunitas SAD.

Sebelum perusahaan swasta, PT. Asiatik Persada masuk, Desa Bungku yang dahulu terbagi dengan nama Dusun Padang Salak, Dusun Pinang Tinggi dan Dusun Tanah Menang (dusun tua) didiami oleh masyarakat asli yaitu komunitas SAD. Komunitas SAD hidup dengan berburu dan meramu (hunting and gathering band). Rumah tangga SAD sebagai kelompok-kelompok kecil dari satuan „SAD Kelompok 113‟ mengupayakan penghidupan dengan berburu hewan, berkebun dan bertanam padi, ubi kayu, cabai, sayur mayur, karet, durian, serta buah-buahan, akar-akaran, dan umbi-umbian lainnya dengan aturan rotasi yang telah ditetapkan oleh kepala suku mereka menurut ketentuan tanah adat yang mereka diami.

Perusahaan swasta masuk tahun 1986, sesuai SK Gubernur yang ditindaklanjuti dengan SK Mendagri No.SK.46/HGU/DA/1986 tanggal 1 September 1986 tentang Pemberian HGU kepada PT. Bangun Desa Utama (pada tahun 1992 berganti nama menjadi PT. Asiatik Persada) seluas 20.000 ha yang terletak di Kecamatan Muaro Bulian, Kabupaten Batanghari. Izin HGU itu berlaku sampai dengan 31 Desember 2021.

(27)

Asiatic Persada, terdapat kewajiban hukum untuk melepaskan area pemukiman, perladangan, dan semak belukar milik masyarakat namun kewajiban ini diingkari oleh pihak perusahaan. Perampasan tanah disertai dengan pelanggaran HAM, membuat kehidupan SAD sangat memprihatinkan. Jumlah SAD berdasarkan hasil verfikasi Pemda Batanghari, sebanyak 1.900-an jiwa, yang tersebar di tiga kampung tersebut. Pada Juli 2007, Kanwil BPN Jambi mengadakan penelitian di lapangan. Hasilnya, pihak BPN mengakui keberadaan bekas perkampungan SAD Kelompok 113 tersebut.

Atas dasar konflik agraria yang berkepanjangan ini komunitas SAD yang tergabung dalam SAD Kelompok 113 berupaya menduduki kembali tanah adat mereka yang kini telah berubah menjadi perkebunan sawit milik PT. Asiatik Persada dengan cara membuat patok-patok tanah adat mereka kembali seluas 3.550 ha. Karena tanah tersebut telah ditanami tanaman industri sawit, kepala suku SAD Kelompok 113 mengatur dan membagi-bagi tanah kepada tiap rumah tangga yaitu sebanyak 2 ha. Atas dasar itulah SAD di Desa Bungku mengelola 2 ha perkebunan sawit di tanah konflik tak bertuan tersebut. Sedangkan masyarakat pendatang yang menetap di Desa Bungku, sebagian besar telah memiliki usaha perkebunan sawit atau karet sendiri dan ada pula yang menjadi buruh kecil di perusahaan, PT. Asiatik Persada.

Pola Penggunaan Lahan dan Kondisi Sarana Prasarana

Penggunaan tanah di Desa Bungku sebagian besar diperuntukkan untuk perkebunan sedangkan sisanya digunakan sebagai lokasi bangunan-bangunan fisik seperti 1 buah gedung balai desa, 9 buah bangunan TK/SD, 1 buah gedung poliklinik desa, 6 buah lapangan bola/volly, 23 buah gedung masjid/musholla, dan 2 buah lapangan sepak bola. Sumber penerangan di Desa Bungku 100 persen non PLN, artinya PLN belum masuk ke Desa Bungku dan hanya mengandalkan mesin diesel untuk menghidupkan listrik pada malam hari saja. Tidak ada penerangan di jalan utama dan jalan-jalan setapak. Bahan bakar sebagian besar warga menggunakan minyak tanah.

Pola pemukiman penduduk termasuk pola pemukiman menyebar dalam bentuk kumpulan-kumpulan kecil yang kemudian dikelola dalam sebuah bentuk Rukun Tetangga (RT) dengan total 31 RT. Tipe perumahan masyarakat saat ini telah bercampur antara tipe rumah asli (rumah panggung papan) dan rumah permanen dengan letak rumah yang tidak terlalu jauh.

Sebagian besar keluarga sudah memiliki jamban sendiri walaupun belum permanen. Desa Bungku tidak memiliki Tempat Pembuangan Sampah (TPS) dimana pembuangan sampah dilakukan melalui lubang atau dibakar. Lalu lintas antar desa melalui jalur darat dengan jenis kondisi fisik permukaan jalan beraspal/beton dan dapat dilalui kendaraan roda empat sepanjang tahun. Jumlah jembatan yang ada di Desa Bungku berjumlah 3 jembatan.

(28)

Tidak ada kelompok pertokoan di Desa Bungku. Kios yang menjual sarana produksi pertanian di Desa tersebut sebagian besar bukan milik KUD dan sebagian lainnya milik KUD. Jarak Desa Bungku ke kelompok pertokoan terdekat adalah 21 KM. Desa Bungku tidak memiliki pasar dengan bangunan permanen. Jarak terdekat desa terhadap pasar dengan bangunan permanen adalah 21 KM. Desa Bungku tidak memiliki Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat. Jarak terdekat Desa ke Bank Umum adalah 45 KM sementara jarak terdekat desa ke Bank Perkreditan Rakyat adalah 95 KM (RPJMDes 2013).

Kondisi Demografi dan Sosial Budaya

Berdasarkan data Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Desa Bungku tahun 2013-2017, jumlah penduduk Desa Bungku adalah 9.768 jiwa dengan total penduduk laki-laki adalah 5.429 jiwa dan total penduduk perempuan adalah 4.239 jiwa. Sumber penghasilan utama Desa Bungku adalah sektor pertanian dengan jenis komoditi utama adalah perkebunan khususnya perkebunan karet dan sawit. Walaupun sumber utama masyarakat adalah perkebunan, tapi beberapa masyarakat masih menanam tanaman hortikultura seperti cabai dan sayur-sayuran. Tingkat kesejahteraan masyarakat Desa Bungku terdiri dari 30 persen tergolong kaya, 40 persen tergolong sedang, dan 30 persen tergolong kurang mampu. Tingkat pendidikan masyarakat Desa Bungku terbagi menjadi 20 persen tidak tamat SD, 40 persen lulusan SD, 20 persen lulusan SMP, 15 persen lulusan SMA, dan 5 persen lulusan perguruan tinggi (RPJMDes 2013).

Masyarakat Desa Bungku dapat diklasifikasikan menjadi tiga jenis, pertama yaitu masyarakat asli, komunitas Suku Anak Dalam (SAD) yang tergabung dalam silsilah adat empat nenek puyang delapan, mereka menamakan komunitasnya

„komunitas SAD sub 113‟. Keberadaan perkampungan Suku Anak Dalam sudah ada sejak zaman Belanda. Hal ini diketahui berdasarkan Surat Keterangan tanggal 20 Desember 1940 dari BC Mantri Politic. Surat Keterangan tanggal 20 November 1940 dari Mantri Politic Menara Tembesi di buat di hadapan Gez En Accord Muara Tembesi, di saksikan Penghulu Dusun Singkawang dan Pasirah Pemayung Ulu, menerangkan wilayah perkampungan masyarakat Suku Anak Dalam Dusun Pinang Tinggi, Padang Salak dan Tanah Menang (dusun tua, yang kini bernama Desa Bungku) wilayah Sungai Bahar (Hariri dan Guntoro 2014).

Kedua yaitu masyarakat dengan sebutan SAD-Semendo, merupakan masyarakat yang melakukan perkawinan antara etnis pendatang dengan orang SAD. Adanya pendatang di Desa Bungku dimulai sejak industri perkebunan sawit masuk kedalam desa. Perkawinan antar SAD dengan etnis pendatang juga ditengarai sebagai cara menyiasati diri untuk mendapatkan akses lahan yang dikuasai orang SAD yang ada di pedalaman.

(29)

KARAKTERISTIK RUMAH TANGGA BERDASARKAN

ETNISITAS

Karakteristik rumah tangga yaitu ciri-ciri yang dimiliki oleh rumah tangga, dalam kaitannya dengan masyarakat Desa Bungku yang terdiri dari berbagai suku yang memiliki kekhasan berbeda dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidupnya, karakteristik rumah tangga diukur dari tingkat umur kepala keluarga, angka beban tanggungan, pendidikan, pekerjaan dan pendapatan. Berikut profil rumah tangga dari gambaran responden.

Tingkat usia kepala keluarga

Usia adalah masa hidup seseorang dari lahir sampai dengan penelitian ini berlangsung. Tingkat usia kepala keluarga diukur berdasarkan tingkat produktifitasnya dengan acuan dari PPNPM-MP yaitu usia non produktif, dengan jenjang usia 0-17 tahun dan 55 tahun ke atas, maka dalam penelitian ini terdapat pembatasan usia responden yaitu 17 tahun ke atas, maka yang tergolong usia non produktif adalah 55 tahun ke atas. Usia non produktif termasuk ke dalam kategori rendah dalam pengukuran skala ordinal. Usia produktif, dengan jenjang usia 17-55 tahun. Usia produktif termasuk ke dalam kategori tinggi dalam pengukuran skala ordinal.

Tabel 1 Persentase rumah tangga menurut usia KK dan etnisitas di Desa Bungku tahun 2013

Usia KK Etnisitas

SAD (%) SAD-Semendo (%) Etnis Pendatang (%)

Produktif 71,4 100,0 100,0

Non Produktif 28,6 0,0 0,0

Total 100,0 100,0 100,0

Dari hasil survey, rumah tangga dengan usia kepala keluarga non produktif didapati pada rumah tangga SAD. Hal ini di karenakan SAD merupakan komunitas asli yang menempati Desa Bungku sejak dahulu kala secara turun temurun dari nenek moyang mereka. Dengan demikian kepala keluarga dengan usia non produktif pun selalu ditemukan saat mengunjungi rumah tangga-rumah tangga SAD. Hal berbeda dengan SAD-Semendo dan etnis pendatang yang usia kepala keluarga dalam rumah tangganya masih berusia produktif, dikarenakan SAD-Semendo adalah percampuran rumah tangga antara SAD dengan etnis pendatang yang masih tergolong baru dan produktif rumah tangganya, pun dengan etnis pendatang yang datang dan menetap di Desa Bungku di usia produktif mereka.

Angka beban tanggungan rumah tangga

Angka beban tanggungan rumah tangga adalah jumlah seluruh individu yang tinggal/menetap bersama dalam satu atap dan hidup dari penghasilan yang sama.

Angka beban tanggungan sebuah rumah tangga dikatakan kecil jika jumlahnya ≤ 4

(30)

Tabel 2 Persentase rumah tangga menurut angka beban tanggungan rumah tangga dan etnisitas di Desa Bungku tahun 2013

Angka Beban Tanggungan

Tingkat angka beban tanggungan rumah tangga dengan skala besar masih terdapat di rumah tangga SAD, kemudian level berikutnya adalah SAD-Semendo. Hal ini karena rumah tangga yang masih terdapat SAD sebagai individu belum memiliki pengetahuan KB (Keluarga Berencana) dan belum memiliki manajemen rumah tangga yang baik sebagai strategi hidup di masa depan. Lain halnya dengan etnis pendatang yang lebih memiliki pengetahuan strategi hidup dalam rumah tangga yang cukup baik sehingga membatasi jumlah angka beban tanggungan rumah tangga.

Tingkat pendidikan

Tingkat pendidikan merupakan jenjang pendidikan yang telah ditempuh kepala keluarga saat dilakukan pengambilan data, skala pengukuran mengacu pada hasil riset tingkat pendidikan mayoritas di lapangan, dibedakan menjadi dua kategori yaitu rendah (tidak sekolah- tamat Sekolah Dasar dan atau sederajat) dan tinggi (Sekolah Menengah Pertama atau sederajat - Perguruan Tinggi).

Tabel 3 Persentase rumah tangga menurut tingkat pendidikan KK dan etnisitas di Desa Bungku tahun 2013

Persentase tingkat pendidikan yang tinggi diduduki oleh etnis pendatang, level berikutnya adalah SAD-Semendo. Rumah tangga dengan pendidikan kepala keluarga yang tinggi tergolong rumah tangga yang sadar akan pentingnya pendidikan formal. Karena rumah tangga dengan pendidikan kepala keluarga yang tinggi anak-anaknya pun diupayakan mengenyam pendidikan formal. Lain halnya dengan rumah tangga SAD yang masih merasa asing dengan pendidikan formal, hanya beberapa rumah tangga saja yang menganggap bahwa pendidikan formal itu perlu sehingga mengupayakan agar keturunannya dapat mengenyam pendidikan formal.

Pekerjaan

(31)

kualitas hidup suatu rumah tangga. Pekerjaan masyarakat Desa Bungku dibagi menjadi dua kategori yaitu di sektor pertanian (sawit dan karet) dan non pertanian (nglangsir kayu).

Tabel 4 Persentase rumah tangga menurut pekerjaan dan etnisitas di Desa Bungku tahun 2013

Pekerjaan Etnisitas

SAD (%) SAD-Semendo (%) Etnis Pendatang (%)

Pertanian 100,0 100,0 70,0

Non Pertanian 0,0 0,0 30,0

Total 100,0 100,0 100,0

Seluruh rumah tangga SAD dan SAD-Semendo dapat dikatakan terserap di sektor pertanian, yaitu menjadi petani karet dan kebun sawit. Karena bertani memang kemampuan yang dimiliki dan dipilih komunitas SAD dan SAD-Semendo. Namun menjadi pekebun sawit bagi rumah tangga khususnya SAD seperti tidak ada pilihan, karena lingkungan dan tanah adat mereka sebagian besar telah ditanami sawit oleh perusahaan. Dengan memanen sawit milik perusahaan, rumah tangga SAD ini bisa mendapat tunai untuk kebutuhan keberlangsungan hidup rumah tangganya. Untuk jenis sektor lain yang membutuhkan kemampuan lebih dan variatif kurang bisa diadaptasi oleh komunitas ini. Sehingga untuk di sektor non pertanian hanya terdapat etnis luas yaitu seanyak 30 persen. Etnis pendatang memilih pekerjaan di sektor non pertanian sebagai strategi nafkah rumah tangganya namun mereka rata-rata telah memiliki lahan yang telah ditanami sawit atau pun karet namun belum siap untuk di panen sehingga pekerjaan di sektor non pertanian menjadi alternatif penghidupan rumah tangganya.

Tingkat Pendapatan

Pendapatan merupakan akumulasi jumlah pendapatan rumah tangga dalam satuan rupiah (Rp) per bulan. Skala pengukuran mengacu pada hasil riset pendapatan terendah di lapangan. Tingkat pendapatan rumah tangga masyarakat Desa Bungku dibagi menjadi dua kategori yaitu rendah (< 2.000.000 per bulan) dan tinggi (≥ 2.000.000 per bulan).

Tabel 5 Persentase rumah tangga menurut tingkat pendapatan KK menurut etnisitas di Desa Bungku tahun 2013

Tingkat Pendapatan

Masyarakat Desa Bungku

SAD (%) SAD-Semendo (%) Etnis Pendatang (%)

Rendah 85,7 60,0 10,0

Tinggi 14,3 40,0 90,0

Total 100,0 100,0 100,0

(32)

SAD-Semendo berada di level tengah. Rumah tangga SAD yang kini mengandalkan pendapatan tunai untuk untuk memenuhi kebutuhan hidupnya masih dalam tahap penyesuaian dan upaya keras, selain mereka juga ditengah kondisi berkonflik dengan perusahaan. Akibat banyaknya tekanan dan peluruhan budaya aktifitas nafkah SAD ini pun, rumah tangga SAD harus terus siap untuk menghadapi tantangan di depan dalam upaya pemenuhan kebutuhan hidup rumah tangganya.

(33)

TINGKAT KETAHANAN PANGAN RUMAH TANGGA

Ketahanan Pangan Rumah Tangga adalah kemampuan rumah tangga untuk memenuhi kecukupan pangan anggotanya dari waktu ke waktu agar dapat hidup sehat dan mampu melakukan kegiatan sehari-hari. Dalam penelitian ini, respon masyarakat dilihat melalui dua indikator yaitu tingkat ketersediaan pangan dan akses terhadap pangan. Responden diberikan 21 pernyataan terkait respon, yaitu 9 pernyataan terkait tingkat ketersediaan pangan dan 12 pernyataan terkait tingkat akses pangan. Yang dimaksud dengan ketahanan panan di sini adalah jenis dan keragaman konsumsi pangan, aksesibilitas terhadap sumber pangan, dan tingkat kecukupan pangan. Respon kemudian diukur dengan memberikan skor terhadap jawaban responden dan menghitung jumlah skor tersebut. Skor yang diperoleh dibagi ke dalam dua kategori yaitu rawan pangan dan tahan pangan. Dibagi menjadi dua kategori berdasarkan hasil skor rata-rata yaitu angka-angka kisaran yang didapat dari hasil survey terhadap responden. Tingkat ketersediaan dan akses responden terhadap pangan dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6 Persentase rumah tangga menurut tingkat ketahanan pangan rumah tangga di Desa Bungku tahun 2013

Data pada Tabel 6 menunjukkan bahwa SAD-Semendo dan etnis pendatang seluruhnya (100%) termasuk dalam kategori rumah tangga yang tahan pangan. Sedangkan SAD memiliki persentase rumah tangga rawan pangan lebih besar (57,1%) dari pada rumah tangga tahan pangan (42,9%). Ketahanan pangan diukur dari subsistem ketersediaan, yang dipengaruhi oleh sumber daya dan produksi pangan, dan subsistem kemudahan memperoleh (akses) pangan, yang dipengaruhi oleh kesempatan kerja, pendapatan rumah tangga dan sarana transportasi. Rumah tangga masyarakat Desa Bungku yang termasuk tahan pangan dari segi ketersediaan pangan memiliki pola pemanfaatkan sumber daya untuk mencukupi kebutuhan pangan mereka. Pengeluaran mereka untuk pangan mampu dicukupi oleh pendapatan atau sumber daya yang mereka punya. Dari segi akses pangan, rumah tangga yang termasuk tahan pangan ini juga merasa mudah dalam mengakses pangan karena pangan tersebut bisa didapatkan di desanya yaitu di pasar yang apabila jauh dapat dijangkau dengan kendaraan yang dimiliki rumah tangga.

(34)

jarang ke pasar karena lokasinya cukup jauh dari tempat tinggal mereka dan tidak memiliki kendaraan.

Ketahanan pangan yang baik memberikan ruang bagi rumah tangga untuk memperoleh gizi yang cukup bagi seluruh anggota rumah tangganya yang sangat penting untuk pembagunan generasi yang berkualitas. Ketahanan pangan merupakan prasyarat bagi bangsa Indonesia untuk dapat membangun sektor lainnya, karena bila kebutuhan masyarakat yang paling asasi ini belum terpenuhi akan sangat mudah terjadinya kerawanan pangan.

Tingkat ketahanan pangan masyarakat Desa Bungku menunjukkan bahwa sebagian besar (81,8 %) masyarakat sudah tahan pangan. Namun masih ada 18,2 persen masyarakat Desa Bungku yang tergolong rawan pangan. Hal ini dapat dijelaskan dari kemampuan aksesibilitas pangan dan ketersediaan pangan.

Hilangnya Sumber-Sumber Penghidupan dan Peminggiran Eksistensi Komunitas Asli dan Penduduk Lokal

Berikut akan diuraikan secara khusus apa, bagaimana, dan konsekuensi lebih lanjut yang terjadi sehubungan dengan perubahan-perubahan besar yang dialami Desa Bungku akibat masuknya perkebunan besar kelapa sawit yang dimiliki perusahaan. Dalam hal ini bahasan akan meninjau secara khusus makna hubungan ketahanan pangan dan sumber daya rumah tangga terutama yang menyangkut dua aspek, yaitu aksesibilitas dan ketersediaan pangan. Bahasan akan dihubungkan bagaimana kedua aspek tersebut berimplikasi pada sumber daya rumah tangga ketiga etnis yang hidup di desa Bungku, yaitu komunitas SAD, SAD-Semendo, dan etnis pendatang. Akan dilihat juga sejauh mana terjadi peluruhan terhadap eksistensi kehidupan komunitas asli (SAD) khususnya dan ancamannya terhadap proses peminggiran (marginalisasi) terhadap eksistensi SAD dan penduduk lokal utamanya, SAD-Semendo.

Aksesibilitas Pangan

Melihat hubungan ketahanan pangan dan sumber daya rumah tangga di Desa Bungku seperti telah diuraikan dalam di atas tentu tidak bisa dilepaskan dengan kecenderungan gejala umum yang ada di tingkat nasional. Gejala yang dimaksud yaitu adanya penyusutan jumlah keluarga petani dari 31.17 juta keluarga per 2003 menjadi 26.13 juta keluarga per 2013. Sebaliknya, di periode yang sama perusahaan pertanian bertambah menjadi 1.475 unit, yaitu dari 4.011 perusahaan per 2003 menjadi 5.486 perusahaan per 2013 Dalam kondisi nilai tukar petani yang tak menunjukkan perkembangan berarti, gambaran di atas diduga lebih banyak didorong masuknya pemodal dari perkotaan ke desa sehingga mendorong petani di desa untuk ke luar atau pun jika bertahan di desa hanya sanggup menjadi petani penggarap saja (Soetarto, 2015).

Gambar

Gambar 1 Kerangka Pemikiran
Tabel 2 Persentase rumah tangga menurut angka beban tanggungan rumah tangga dan etnisitas di Desa Bungku tahun 2013

Referensi

Dokumen terkait

Sebelum penelitian ini dilakukan maka diselenggarakannya desiminasi dalam bentuk pelatihan kepada guru kimia SMA/MA di wilayah Propinsi Sumatera Utara, tepatnya di

tergantung pada latihan yang sering dilakukan untuk mengembangkan berpikir kritis (Fakhriyah, 2014) Kenyataan yang ditemui pada mahasiswa PGSD FKIP Universitas

2 Ada siswa menanyakan hal-hal yang belum dipahami namun kurang sesuai dengan materi yang dipelajari.. 1 Tidak ada siswa yang menanyakan hal-hal yang belum dipahami sesuai

Dinas kesehatan kabupaten/kota merekap hasil laporan puskesmas dan mengirimkan laporan LROA dan diare ke dinas kesehatan provinsi setiap triwulan menggunakan Form 13C

Deviation Minimum Maximum Range Interquartile Range Skewness Kurtosis Unstandardized Residual.

Melihat betapa pentingnya pengelolaan ZISWAF yang baik dalam hal mensejahterakan masyarakat dan pemberantasan kemiskinan, maka peneliti tertarik untuk melakukan

Penelitian dilakukan dengan membuat 3 formula pasta gigi ekstrak maserasi daun mahkota dewa dengan etanol 70% dengan konsentrasi Tragakan yang berbeda yaitu 0,5% (F.. I), 1,0% (F