• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Ekonomi Dan Peran Lembaga Keuangan Mikro Dalam Pengelolaan Perikanan Pelagis Di Pesisir Kota Ambon.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis Ekonomi Dan Peran Lembaga Keuangan Mikro Dalam Pengelolaan Perikanan Pelagis Di Pesisir Kota Ambon."

Copied!
176
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS EKONOMI DAN PERAN LEMBAGA KEUANGAN

MIKRO DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN

PELAGIS BESAR DI PESISIR KOTA AMBON

AHADAR TUHUTERU

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis Ekonomi dan Peran Lembaga Keuangan Mikro dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pelagis Besar di Pesisir Kota Ambon adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2016

Ahadar Tuhuteru

(4)

RINGKASAN

AHADAR TUHUTERU. Analisis Ekonomi dan Peran Lembaga Keuangan Mikro dalam Pengelolaan Perikanan Pelagis di Pesisir Kota Ambon. Dibimbing oleh TRIDOYO KUSUMASTANTO dan ACENG HIDAYAT.

Status estimasi pengelolaan potensi lestari sumberdaya ikan pelagis besar (cakalang dan tuna) di wilayah pengelolaan perikanan (WPP-714) Laut Banda sebagai daerah fishing ground dalam kondisi moderat dan fully-exploiteds. Kecenderungan penangkapan yang tinggi terhadap dua komoditas pelagis besar tersebut mengancam keberlanjutan sumberdayanya. Aktor yang mendapat rente ekonomi besar dari kegiatan perikanan tangkap pelagis besar tersebut adalah pelaku usaha/nelayan sekala besar. Pada hal jumlah armada mereka lebih sedikit dibandingkan nelayan kecil yang menguasai 79% armada tangkap di Kota Ambon dengan jenis armada jukung (perahu semang) baik bermesin motor maupun tanpa mesin. Dengan demikian pengembangan ekonomi perikanan dan mengelola sumberdaya perikanan pelagis besar secara lestari penting untuk dievaluasi.

Penelitian ini bertujuan untuk, (a) menganalisis tingkat alokasi optimal sumberdaya perikanan tangkap di Pesisir Kota Ambon, (b) mengkaji dan menganalisis finansial pelaku usaha perikanan dan lembaga keuangan mikro di Pesisir Kota Ambon, (c) menganalisis peran kelembagaan keuangan mikro dalam pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis besar di Pesisir Kota Ambon, (d) mengetahui tingkat keberlanjutan sumberdaya perikanan pelagis besar di Pesisir Kota Ambon, dan (e) menganalisis kebijakan dan strategi pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis besar dan lembaga keuangan mikro di Pesisir Kota Ambon. Penelitian dilakukan di Kota Ambon dengan metode studi kasus dan menggunakan metode pengambilan contoh purposive sampling. Metode analisis yang digunakan meliputi analisis bioekonomi, analisis finansial, analisis peran kelembagaan keuangan mikro, analisis keberlanjutan (Rapfish) dan analisis hirarki proses.

Hasil studi tentang pemanfaatan sumberdaya perikanan di Pesisir Kota Ambon menunjukkan bahwa rente ekonomi tertinggi adalah rezim MEY, yaitu Rp.11.723 juta per tahun dengan tingkat produksi sebesar 1.926 ton dan effort 2.404 trip. Kondisi MEY lebih baik dari MSY yang memiliki rente ekonomi lebih rendah yakni Rp.2.033 juta per tahun, namun memiliki produksi dan effort lebih tinggi (2.491 ton dan 4.589 trip). Tingkat produksi aktual sumberdaya perikanan pelagis besar di Pesisir Kota Ambon sebesar 1.813 ton per tahun dan nilai effort 3.221 trip per tahun dengan nilai rente ekonomi Rp. 2.543 juta per tahun. Tingkat effort aktual lebih tinggi dari rezim MEY menunjukkan bahwa kondisi sumberdaya perikanan pelagis besar di Pesisir Kota Ambon terindikasi overfishing.

(5)

cukup buruk. Persepsi masyarakat pesisir terhadap peran LKM pesisir di Kota Ambon belum maksimal. Motivasi masyarakat untuk menabung di LKM lebih rendah. Mereka memilih menabung uang di bank atau dipergunakan untuk investasi usaha lainnya. Persepsi masyarakat mengakui peran LKM lebih besar untuk pengembangan ekonomi rumah tangga dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Namun belum maksimal memberdayakan masyarakat pesisir yang lebih banyak.

Status keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis besar di Pesisir Kota Ambon dipengaruhi oleh lima dimensi yang berpengeruh secara berurutan adalah dimensi ekologi (64), teknologi (60), sosial (54), hukum dan kelembagaan (54), dan ekonomi (52). Kelima dimensi tersebut menunjukkan status keberlanjutan yang cukup.

Rumusan kebijakan pengelolaan optimal perikanan pelagis besar berkelanjutan di Kota Ambon adalah optimalisasi sumberdaya perikanan dengan mempertimbangkan kesesuaian aspek ekologi, ekonomi, dan sosial, secara berkelanjutan. Arahan kebijakan adalah kebijakan pengaturan quota dan pembatasan penangkapan, pengembangan investasi armada tangkap pancing tonda, peningkatan kapasitas SDM dan manajemen terpadu, penguatan peran lembaga sasi serta penguatan lembaga keuangan mikro

.

(6)

SUMMARY

AHADAR TUHUTERU. Economic Analysis and The Role of Microfinance Institutions for Large Pelagic Fish Resource Management in Coastal of Ambon City. Supervised by TRIDOYO KUSUMASTANTO and ACENG HIDAYAT.

The estimation for the resource potential of the large pelagic fish (skipjack and tuna) management area (WPP 714) of Banda Sea is already in a state of moderate until fully-exploitation. The tendency of increas in fishing of two large pelagic commodities threatens the sustainability of the fish resource. Large-scale fishermen received better advantages for the large pelagic fishing, even though they had Iess small number of fishing fleets in comparing with the small scale fishermen. Meanwhile, small-scale fishermen number is high as 79% of the total fishing fleets in Ambon city. Small-scale fishing boat fleets used to equipped with engine or without engine. Base on thus condition, evaluation of economic of fisheries resources management is important to the sustainability of the large pelagic fish resources.

This study aimed to (a) analyze the optimal allocation of fisheries resources in coastal of Ambon City, (b) analyze financial fisheries business and microfinance institutions in coastal ofAmbon City, (c) to analyze institutional role of microfinance in the management of fishery resources large pelagic in coastal of Ambon City, (d ) determine the level of sustainability of large pelagic fishery resources in coastal of Ambon City, and (e) study the policy strategy of large pelagic fishery resource management and micro finance institutions in coastal of Ambon city. The study was conducted in Ambon. This study used purposive sampling method, and some data analyzing methods including bio-economic analysis, financial analysis, analysis the role of micro-finance institution, the sustainability analysis (Rapfish) and analytical hierarchy process.

Results of the study on the utilization of fishery resources in coastal of Ambon City has shown that the highest economic rent Maximum Ekonomic Yield (MEY) is Rp.11,723 million per year, with a production rate of 1,926 tons and effort is 2,404 trips. MEY condition is better than MSY where it has had a low production value is only Rp.2,033 million, but has a higher production and effort (2,491 tons and 4,589 trip). The actual production rate of fishery resources in coastal of Ambon City is 1,813 tons per year and the value of effort 3,221 trips per year to the economic value of Rp.2,543 million per year. The level of actual effort value is higher than the level of MEY, where it indicates the condition of the pelagic fishery resources in coastal of Ambon City has achived overfishing.

(7)

their financial rastios was in not good position. Even though, Ambonese coastal community have realized the role microfinance institutions in order to develop household income and managing fishery resources, but they have not practice in sharing their investment in such institution. The microfinance institutions members and the community tend to save or invest their money to Bank instead of the microfinance institutions. The microfinance institutions are not success yet in gathering many members from the local people. This situation, therefore, results weak position of the microfinance institutions in Ambon.

Sustainable management of large pelagic species is determined by five dimensions, in the following order 1. ecology dimension, 2. technological dimension , 3. social dimension, 4. legal and institution dimension, and economic dimension. The fifth dimension shows the status of adequate sustainability.

Suggested policy to solve the fisheries management problem for coastal area of Ambon City is addressed to rule number of fishing quota and limited the number of fishing, using technology-environmental-friendly of fishing gear, improving investation for trolling, revitalize the role of local institution sasi and kewang, and empower micro-finance system in coastal community.

(8)

©

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian sumber atau seluruh karya tulisan ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

ANALISIS EKONOMI DAN PERAN LEMBAGA KEUANGAN

MIKRO DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA PERIKANAN

PELAGIS BESAR DI PESISIR KOTA AMBON

AHADAR TUHUTERU

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ekonomi Sumberdaya Kelautan Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)
(11)
(12)

PRAKATA

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat ALLAH SWT, atas rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul Analisis Ekonomi dan Peran Lembaga Keuangan Mikro dalam Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pelagis Besar di Pesisir Kota Ambon. Karya ilmiah ini merupakan salah satu persyaratan dalam menyelesaikan studi magister sains pada Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Penulisan karya ilmiah ini tidak akan terselesaikan tanpa bantuan, dukungan, dan doa dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang tulus dan mendalam kepada Prof. Dr. Ir. H. Tridoyo Kusumastanto, MS dan Dr. Ir. Aceng Hidayat, MT selaku Komisi Pembimbing atas kesediaan meluangkan waktu dalam membimbing dan memberikan arahan penulis untuk menyelesaikan tesis penelitian ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si selaku Dosen Penguji ujian tesis atas bimbingan dan arahan yang telah diberikan sehingga dapat memperkaya pengetahuan penulis. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ir. Irene Sahertian, M.Env, Mgt., PhD dan Adil Mahfudz Firdaus S.Pi M.Si sebagai teman yang ikut membantu selama dalam penulisan tesis penelitian saya.

Penulis menyampaikan rasa hormat setinggi-tingginya kepada Kakek (Imam Mahdi Tuhuteru), Ibunda (Saodah Sangadji), Ayahanda (Rohlanggap Tuhuteru), Paman (M. Boy Ebit T, Mat Guru Tuhuteru dan Sanadjihitu Tuhuteru), Kakak (Gaus Tuhuteru) dan seluruh keluarga atas doa, pengorbanan, pengertian, dan dukungan yang tidak ternilai selama ini. Terima kasih spesial penulis sampaikan kepada istri tercinta (Ubaidah Binti Abdullah) dan keempat putera puteri tercinta (Karel Ubaidillah T, Mukadim Ramadhan T, Assya Latifah T, Syahpinyan T) atas segala doa, kasih sayang dan pengorbanan serta pengertiannya. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Ibu Ferdinanda Louhenapessy bersama keluarga besar Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Ambon, keluarga besar Program Studi ESK, Keluarga Masbantar Sangadji, S.Pi serta pihak lain yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.

Akhirnya, semoga karya ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi civitas akademika, peneliti, pemerintah dan juga bagi berbagai pihak dalam rangka pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis besar yang berkelanjutan dan pengembangan lembaga keuangan mikro.

Bogor, Maret 2016

Ahadar Tuhuteru

(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN xi

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 3

Ruang Lingkup Penelitian 3

Manfaat Penelitian 4

2 TINJAUAN PUSTAKA 4

Model Bioekonomi 4

Modal, Permodalan dan Kredit Nelayan 9

Lembaga Keuangan Mikro 11

Manajemen Finansial 14

Pembangunan Perikanan Berkelanjutan 15

Ekonomi Kelembagaan 20

Proses Hirarki Analitik 23

Studi Terdahulu 24

3 KERANGKA PEMIKIRAN 25

4 METODOLOGI PENELITIAN 28

Metode Penelitian 28

Jenis dan Sumber Data 28

Metode Pengambilan Contoh 29

Metode Analisis Data 30

Batasan Penelitian 51

5 GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 53

Letak Geografis dan Administrasi Wilayah 53

Perekonomian Kota Ambon 55

Perkembangan Perikanan Kota Ambon 56

Jenis Kegiatan dan Kelembagaan Nelayan/Masyarakat Pesisir 64 6 TINGKAT ALOKASI OPTIMAL SUMBERDAYA

PERIKANAN TANGKAP PELAGIS BESAR 66

Analisis Bioekonomi 66

Analisis Optimasi Statik Pemanfaatan Perikanan Pelagis Besar 70 Analisis Optimasi Dinamik Pemanfaatan Perikanan Pelagis Besar 73

Analisis Laju Degradasi dan Depresiasi 74

7 ANALISIS FINANSIAL PELAKU USAHA PERIKANAN

DAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO 75

Analisis Finansial Kapal Ikan/Huhate 77

(14)

DAFTAR ISI (

lanjutan

)

8 ANALISIS PERAN KELEMBAGAAN KEUANGAN MIKRO 81

Sistem Pembiayaan Nelayan 81

Peranan Lembaga Keuangan Mikro 82

9 TINGKAT KEBERLANJUTAN PEMANFAATAN

SUMBERDAYA PERIKANAN PELAGIS BESAR 83

Analisis Status Keberlanjutan Perikanan Pelagis Besar di Kota Ambon 83 Status Keberlanjutan Perikanan Tangkap Ikan Pelagis besar

Kota Ambon 109

Atribut Sensitif dan Respon setiap Dimensi Keberlanjutan 110 10 KEBIJAKAN DAN STRATEGI PENGELOLAAN PERIKANAN

PELAGIS BESAR 115

Isu Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Pelagis Besar 115

Analisis Hirarki Proses 116

Kebijakan dan Arahan Strategi Pengelolaan Pelagis Besar

di Kota Ambon 119

11 SIMPULAN DAN SARAN 123

Simpulan 123

Saran 124

DAFTAR PUSTAKA 125

DAFTAR TABEL

1 Kriteria dan indikator keberlanjutan aspek ekologi sistem perikanan 18 2 Kriteria dan indikator keberlanjutan aspek sosial ekonomi/masyarakat

sistem perikanan 19

3 Kriteria dan indikator keberlanjutran aspek institusional sistem

perikanan 20

4 Skala penilaian perbandingan 23

5 Aspek, jenis dan sumber data penelitian 29

6 Formula perhitungan parameter biologi pada berbagai model estimasi 31 7 Rumus perhitungan dalam pemanfaatan sumberdaya optimal statis

perikanan pelagis besar di Kota Ambon 36

8 Pengkategorian dan nilai kategori untuk masing-masing variabel

dalam analisis persepsi masyarakat terhadap keberadaan LKM 42

9 Skor atribut pada dimensi ekologi 44

10 Skor atribut pada dimensi ekonomi 45

11 Skor atribut pada dimensi sosial 46

12 Skor atribut pada dimensi teknologi 46

13 Skor atribut pada dimensi hukum dan kelembagaan 47 14 Rekapan metode analisis dalam menjawab tujuan penelitian 50

15 Pembagian wilayah Kota Ambon 54

16 Data kependudukan Kota Ambon tahun 2003-2012 55

(15)

DAFTAR TABEL (

lanjutan

)

18 Produksi ikan menurut daerah penangkapan, 2008-2012 (ton) 57 19 Produksi ikan di Kota Ambon menurut Kecamatan Tahun

2003-2012 (ton) 58

20 Perkembangan volume dan nilai produksi pelagis besar Kota

Ambon Tahun 2003-2012 60

21 Perkembangan armada penangkapan ikan di tempat pendaratan

ikan Kota Ambon 61

22 Perkembangan alat penangkapan ikan di Kota Ambon

Tahun 2003-2012 61

23 Rumah Tangga Perikanan Kota Ambon Tahun 2013 64

24 Perkembangan Rumah Tangga Perikanan (RTP) di Kota Ambon

(2003-2012) 65

25 Perbandingan data aktual, parameter biologi, MSY,

uji statistik pada sumberdaya perikanan di Pesisir Kota Ambon 68 26 Data series biaya riil input dan harga riil output sumberdaya

perikanan di Pesisir Kota Ambon tahun 2003-2012 69 27 Hasil analisis optimasi statik perikanan pelagis besar di Pesisir Kota Ambon 70 28 Hasil analisis optimasi dinamik perikanan pelagis besar

di Pesisir Kota Ambon 73

29 Hasil analisis laju depresiasi dan degradasi sumberdaya

perikanan di Pesisir Kota Ambon 74

30 Jenis, nilai dan umur ekonomi investasi usaha perikanan tangkap

pelagis besar dengan menggunakan huhate di Pesisir Kota Ambon 75 31 Perhitungan biaya variabel pada usaha perikanan tangkap

dengan menggunakan huhate per trip penangkapan 76

32 Sistem bagi hasil huhate di Pesisir Kota Ambon 76 33 Kinerja usaha perikanan tangkap huhatedi Pesisir Kota Ambon 77 34 Nilai NPV, B/C dan IRR invetasi armada huhate 77 35 Jenis, nilai dan umur ekonomi investasi usaha pancing tonda di Pesisir

Kota Ambon 78

36 Perhitungan biaya variabel pada usaha perikanan tangkap

dengan menggunakan pancing tonda per trip penangkapan 78 37 Kinerja usaha perikanan tangkap pancing tonda di Pesisir Kota Ambon 79 38 Nilai NPV, B/C dan IRR invetasi armada pancing tonda 79 39 Rasio keuangan Koperasi LEPP M3 Basudara Kota Ambon 80 40 Pengkategorian dan nilai kategori untuk masing-masing variabel

dalam analisis persepsi masyarakat terhadap keberadaan LKM 82 41 Hasil penilaian atribut dalam dimensi ekologi 85 42 Nilai statistik dari hasil analisis Rapfish pada dimensi ekologi 86 43 Musim kalender penangkapan di Pesisir Kota Ambon 89 44 Banyaknya pencari kerja di Kota Ambon yang terdaftar dalam

Kandep Tenaga Kerja 90

45 Hasil penilaian atribut dalam dimensi ekonomi 91 46 Nilai statistik hasil analisis Rapfish pada dimensi ekonomi 92 47 Pertumbuhan RTP di Kota Ambon tahun 2003-2012 95

(16)

DAFTAR TABEL (

lanjutan

)

49 Nilai statistik hasil analisis Rapfish pada dimensi sosial 97 50 Jumlah alat tangkap pelagis besar di Pesisir Kota Ambon tahun 2003-2012 100 51 Hasil penilaian atribut dalam dimensi teknologi 101 52 Nilai statistik hasil analisis Rapfish pada dimensi teknologi 102 53 Hasil penilaian atribut dalam dimensi hukum dan kelembagaan 107 54 Nilai statistik hasil analisis Rapfish pada dimensi hukum dan kelembagaan 108 55 Indeks keberlanjutan usaha perikanan tangkap huhate

di Kota Ambon 109

56 Atribut-atribut sensitif dari setiap dimensi dan respon yang

diperlukan 113

DAFTAR GAMBAR

1 Model kurva pertumbuhan logistik untuk ikan 5

2 Hubungan tangkapan (Catch) dengan upaya (Effort)

(Seijo et al. 1998) 6

3 Kurva statis Schaefer (Clark et al. 1985) 7

4 Hubungan antara Maximum Economic Yield (MEY), Maximum

Sustainable Yield (MSY) dan Open Acces (OA) (Susilowati 2006) 8

5 Perikanan sebagai sebuah sistem (Charles 2001) 15

6 Kerangka Penelitian 27

7 Diagram tahapan kegiatan penelitian 59

8 Produksi ikan di Kota Ambon tahun 2012 60

9 Produksi ikan cakalang dan tuna di Kota Ambon (2002-2013) 67 10 Perbandingan produksi, effort dan CPUE pada sumberdaya ikan

pelagis besar di Pesisir Kota Ambon tahun 2003–2012 67 11 Hubungan antara CPUE dan effort pada sumberdaya ikan

pelagis besar di Pesisir Kota Ambon tahun 2003-2012 69 12 Kurva perbandingan produksi lestari, produksi aktual dan

effort sumberdaya perikanan di Pesisir Kota Ambon tahun 2003-2012 70 13 Kurva optimasi statik sumberdaya perikanan pelagis besar di Pesisir

Kota Ambon 71

14 Perbandingan pemanfaatan optimal statik sumberdaya perikanan

pelagis besar di Pesisir Kota Ambon 72

15 Hubungan tingkat discount rate dan rente ekonomi optimal

dinamik sumberdaya perikanan di Pesisir Kota Ambon 74 16 Laju depresiasi dan degradasi perikanan pelagis besar di Pesisir

Kota Ambon 74

17 Sistem pembiayan perikanan tangkap di Pesisir Kota Ambon 81 18 Hasil analisis MDS untuk dimensi ekologi sumberdaya

perikanan pelagis besar di Pesisir Kota Ambon 86

19 Kestabilan nilai ordinasi hasil Rapfish dengan Monte Carlo pada dimensi

(17)

DAFTAR GAMBAR (

lanjutan

)

20 Analisis distribusi sensitivitas atribut pada dimensi ekologi

sumberdaya perikanan pelagis besar di Pesisir Kota Ambon 87 21 Hasil analisis MDS untuk dimensi ekonomi sumberdaya perikanan

pelagis besar di Pesisir Kota Ambon 92

22 Kestabilan nilai ordinasi hasil Rapfish dengan Monte Carlo pada dimensi

ekonomi sumberdaya perikanan pelagis besar di Pesisir Kota Ambon 92 23 Analisis distribusi sensitivitas atribut pada dimensi ekonomi

sumberdaya perikanan pelagis besar di Pesisir Kota Ambon 93 24 Hasil analisis MDS dengan menggunakan teknik Rapfish untuk

dimensi sosial sumberdaya perikanan pelagis besar di Pesisir Kota Ambon 97 25 Kestabilan nilai ordinasi hasil Rapfish dengan Monte Carlo pada

dimensi sosial sumberdaya perikanan pelagis besar di Pesisir Kota Ambon 98 26 Analisis distribusi sensitivitas atribut pada dimensi sosial

sumberdaya perikanan pelagis besar di Pesisir Kota Ambon 98 27 Hasil analisis MDS dimensi teknologi sumberdaya ikan pelagis besar

di Pesisir Kota Ambon 102

28 Kestabilan nilai ordinasi hasil Rapfish dengan Monte Carlo pada dimensi

teknologi sumberdaya perikanan pelagis besar di Pesisir Kota Ambon 103 29 Analisis distribusi sensitivitas atribut pada dimensi teknologi

sumberdaya perikanan pelagis besar di Pesisir Kota Ambon 103 30 Hasil analisis MDS dimensi hukum dan kelembagaan sumberdaya

ikan pelagis besar di Pesisir Kota Ambon 107

31 Kestabilan nilai ordinasi hasil Rapfish dengan Monte Carlo pada dimensi hukum dan kelembagaan sumberdaya perikanan pelagis

besar di Pesisir Kota Ambon 108

32 Analisis distribusi sensitivitas atribut pada dimensi hukum dan

kelembagaan sumberdaya perikanan pelagis besar di Pesisir Kota Ambon 109 33 Diagram layang status keberlanjutan sumberdaya perikanan pelagis

besar di Pesisir Kota Ambon 110

34 Perbandingan atribut dari setiap dimensi 112

35 Hirarki pemilihan alternatif kebijakan pengelolaan sumberdaya pelagis

besar berkelanjutan di Pesisir Kota Ambon 117

36 Hasil penilaian AHP pemilihan prioritas alternatif kebijakan pengelolaan

sumberdaya pelagis besar berkelanjutan di Pesisir Kota Ambon 117 37 Hasil penilaian AHP terhadap kriteria berpengaruh pada alternatif

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Peta lokasi penelitian 132

2 Hasil standarisasi jumlah dan effort untuk alat tangkap huhate

di Pesisir Kota Ambon (analisis bioekonomi) 133

3 Data produksi, effort dan CPUE sumberdaya perikanan pelagis besar

di Pesisir Kota Ambon (analisis bioekonomi) 134

4 Hasil regresi model Algoritma FOX pengelolaan sumberdaya perikanan

pelagis besar di Pesisir Kota Ambon 135

5 Perhitungan analisis bioekonomi sumberdaya perikanan pelagis besar

di Pesisir Kota Ambon 136

6 Nilai parameter biologi sumberdaya perikanan pelagis besar

di Pesisir Kota Ambon 137

7 Standarisasi biaya pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis besar

di Pesisir Kota Ambon 138

8 Perhitungan biaya per upaya penangkapan sumberdaya perikanan

pelagis besar di Pesisir Kota Ambon 139

9 Hasil regresi analisis biaya pengelolaan sumberdaya perikanan

pelagis besar di Pesisir Kota Ambon 140

10 Hasil perhitungan parameter statik pengelolaan sumberdaya perikanan

pelagis besar di Pesisir Kota Ambon 141

11 Perhitungan porsi konsumsi dan konsumsi per kapita di Kota Ambon 142 12 Perhitungan biaya berdasarkan Indeks Harga Konsumen (IHK) 143 13 Perhitungan produksi, penerimaan, keuntungan aktual dan lestari,

serta laju degradasi dan depresiasi sumberdaya perikanan pelagis besar

di Pesisir Kota Ambon 144

14 Analisis kelayakan usaha skipjack huhate 145

15 Analisis kelayakan usaha pancing tonda 147

16 Analisis Rapfish dimensi ekologi 149

17 Analisis Rapfish dimensi ekonomi 150

18 Analisis Rapfish dimensi sosial 151

19 Analisis Rapfish dimensi teknologi 152

(19)

1 PENDAHULUAN

`

Latar Belakang

Sektor kelautan dan perikanan dapat menjadi kekuatan ekonomi nasional termasuk di Maluku. Sebagai provinsi berbasis kelautan dengan luas laut mencapai 92,4% menjadi penghasil perikanan terbesar Indonesia dengan memiliki tiga Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) yaitu 714 (Laut Banda), WPP-715 (Laut Seram) dan WPP-718 (Laut Arafura). Kegiatan penangkapan ikan yang masif di tiga WPP tersebut berpengaruh terhadap keberlanjutan sumberdaya ikan. Berdasarkan data laporan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Maluku (2013), total potensi yang tersedia di WPP-714 (Laut Banda) adalah sebesar 248.400 ton/tahun dengan jumlah tangkap yang diperbolehkan 198.700 ton/tahun. Pada tahun 2012, total penangkapan WPP-714 (Laut Banda) 1.923,05 ton.

Potensi perikanan tangkap di Kota Ambon yang telah termanfaatkan pada tahun 2013 untuk ikan cakalang 6.452 ton dan ikan tuna 2.106 ton (BPS Kota Ambon, 2014). Ikan-ikan pelagis besar ini memiliki nilai ekonomi penting dan telah diekspor ke berbagai negara dalam bentuk segar maupun olahan. Keberhasilan pemasaran ikan pelagis besar di pasar ekspor menyebabkan harga komoditi tersebut semakin tinggi. Negara tujuan utama ekspor komoditas pelagis besar adalah Singapura, Hongkong, Jepang, Taiwan dan Amerika Serikat.

Dengan meningkatnya ekspor maka tantangan untuk memelihara sumberdaya secara berkelanjutan karena meningkatnya eksploitasi sumberdaya perikanan terutama pelagis besar seperti cakalang dan tuna. Selain itu, jumlah penduduk Kota Ambon meningkat setiap tahunnya sehingga permintaan kebutuhan ikan juga ikut meningkat. Dari tahun ke tahun tingkat pemanfaatan ikan-ikan pelagis besar tersebut di perairan sekitar Kota Ambon terutama sudah melebihi Maximum Sustainable Yield (MSY). Hasil penelitian Waileruny et al.

(2014) menunjukkan tingkat pemanfaatan ikan cakalang di perairan sekitar Kota Ambon saat ini telah melebihi MSY. Pada hal keberlanjutan merupakan kata kunci dalam pembangunan perikanan yang diharapkan dapat memperbaiki kondisi sumberdaya dan kesejahteraan masyarakat perikanan itu sendiri (Fauzi, 2004), sehingga perlu ada kebijakan dan strategi yang menjamin pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis besar yang berkelanjutan.

Salah satu kelemahan dalam menentukan kebijakan pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan di Kota Ambon adalah keterbatasan data yang akurat tentang potensi dan tingkat pemanfaatan sumberdaya perikanan pelagis. Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor KEP. 45/MEN/2011 tentang estimasi potensi sumber daya ikan di WPP negara Republik Indonesia komoditi ikan pelagis besar di Laut Banda (WPP-714) menunjukkan sudah dalam kondisi moderat dan fully-exploited. Keputusan tersebut berbeda dengan hasil penelitian Waileruny et al. (2014) yang menunjukkan status pemanfaatan melebihi MSY.

(20)

ada di Kota Ambon. Nelayan kecil di Kota Ambon belum mampu meningkatkan kapasitas usahanya. Persoalan yang dihadapi adalah keterbatasan modal usaha.

Lemahnya permodalan pelaku usaha mikro kecil di pesisir telah disadari oleh pemerintah dan akhirnya terdorong untuk meluncurkan beberapa program kredit. Sejak tahun 2004, Kementerian Kelautan Perikanan menggulirkan kegiatan penguatan modal finansial (pinjaman/pembiayaan/kredit) melalui LKM Pesisir (Swamitra Mina, BPR pesisir, BRI Unit, BMT, Grameen Bank, dll) yang merupakan salah satu program pengembangan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP) yang selanjutnya dilebur dalam program PNPM berupa Kredit Usaha Rakyat.

Keberadaan LKM telah memberi peluang bagi masyarakat miskin yang berpenghasilan kecil untuk mengembangkan usahanya, meskipun aksesnya belum menyentuh masyarakat paling miskin dan membutuhkan modal finansial. Berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun keuangan mikro relatif berhasil mencapai masyarakat fakir miskin, namun kurang berhasil mencapai golongan yang paling miskin diantara masyarakat miskin tersebut (Hulme & Mosley 1996, Ledgerwood 1996, Morduch 2005 dalam Aryo 2012). Hal yang sama dapat dilihat di wilayah pesisir, ditengarai kredit yang bergulir belum maksimal menjangkau nelayan tradisional. Masih banyak LKM pesisir menganggap usaha nelayan memiliki resiko yang tinggi dan minimnya agunan/jaminan. Dalam pemahaman Bassem (2012) terdapat trade off antara aspek keuangan (orientasi profit) dengan aspek sosial dalam peningkatan tingkat kesejahteraan masyarakat miskin.

Salah satu peranan intermediasi LKM adalah sebagai lembaga simpanan dana untuk menjaga ketersedian modal finansial mandiri dari hasil pendapatan usaha masyarakat. Dalam undang-undang LKM disebutkan salah satu kegiatan usaha LKM adalah pengelolaan simpanan. Usaha tersebut sebagai fungsi intermediasi lembaga keuangan dalam menampung dana masyarakat. Namun LKM belum baik memerankan fungsi tersebut khusus di wilayah pesisir. Dalam hasil penelitian Basuki (2007), persepsi menabung di masyarakat sebagai landasan kemandirian LKM belum terpenuhi dengan baik.

Dalam mengembangkan perikanan di Kota Ambon yang berkelanjutan dan mensejahterakan nelayan kecil maka penelitian tentang analisis ekonomi dan peran lembaga keuangan mikro dalam pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis besar di Pesisir Kota Ambon diperlukan.

Perumusan Masalah

(21)

satunya adalah belum optimalnya peran lembaga keuangan mikro (koperasi) dalam menyediakan kredit modal usaha nelayan lokal.

Sistem ekonomi dunia tergantung pada pasokan sumberdaya alam merupakan sebuah fakta yang terbukti kebenarannya, akan tetapi stok sumberdaya alam tersebut dalam jangka panjang belum tentu dapat dipergunakan secara berkelanjutan. Disamping itu, faktor ekonomi merupakan salah satu faktor pendorong kegiatan penangkapan ikan. Mengelola sumberdaya perikanan yang berkelanjutan membutuhkan keterkaitan berbagai dimensi yakni ekologi, ekonomi, sosial, teknologi serta hukum dan kelembagaan.

Berdasarkan hal tersebut, permasalahan yang akan dikaji dalam penelitian ini meliputi:

1. Bagaimana tingkat alokasi optimal sumberdaya perikanan pelagis besar di Kota Ambon?

2. Bagaimana tingkat kelayakan usaha pelaku usaha perikanan dan kondisi keuangan LKM di Pesisir Kota Ambon?

3. Bagaimana peran kelembagaan keuangan mikro dalam pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis besar di Pesisir Kota Ambon?

4. Bagaimana status pengelolaan perikanan tangkap di Pesisir Kota Ambon berdasarkan hasil analisis lima dimensi keberlanjutan perikanan, seperti ekologi, ekonomi, sosial, teknologi, serta hukum dan kelembagaan? 5. Bagaimana arah kebijakan dan strategi pengelolaan sumberdaya

perikanan pelagis besar dan LKM guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir?

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang diuraikan diatas, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis tingkat alokasi optimal sumberdaya perikanan tangkap di Pesisir Kota Ambon.

2. Mengkaji dan menganalisis finansial pelaku usaha perikanan dan lembaga keuangan mikro di Pesisir Kota Ambon

3. Menganalisis peran kelembagaan keuangan mikro dalam pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis besar di Pesisir Kota Ambon.

4. Mengetahui tingkat keberlanjutan sumberdaya perikanan pelagis besar di Pesisir Kota Ambon

5. Menganalisis kebijakan dan strategi pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis besar dan LKM di Pesisir Kota Ambon.

Ruang Lingkup Penelitian

(22)

analisis yang digunakan adalah analisis bioekonomi untuk menganalisis potensi dan pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis besar, analisis finansial untuk menganalisis kelayakan usaha, analisis rasio keuangan untuk menganalisis tingkat kinerja keuangan LKM, analisis Rapfish (Rapid Appraisal for Fisheries) untuk menganalisis status keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya perikanan pelagis besar, analisis diskripsi untuk mengetahui persepsi masyarakat tentang peran LKM, analisis kebijakan dengan menggunakan Analytical Hierarchy Prosess

(AHP) untuk mengetahui dan merumuskan kebijakan. .

Manfaat Penelitan Manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Meningkatkan pemahaman peneliti terhadap pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis besar dan pengembangan lembaga keuangan mikro di Pesisir Kota Ambon.

2. Sebagai bahan masukan bagi pemerintah daerah (Kota Ambon dan Provinsi Maluku) maupun pemerintah pusat

3. Sebagai informasi bagi stakeholder terkait dalam menjaga keberlanjutan pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis besar di Pesisir Kota Ambon. 4. Memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama

dalam pengelolaan sumberdaya perikanan pelagis besar yang berkelanjutan dan pengembangan LKM yang berorientasi pada perbaikan kesejahteraan nelayan kecil.

2 TINJAUAN PUSTAKA

Model Bioekonomi

Model bioekonomi perikanan pertama kali ditulis oleh Scott Gordon (1954) dalam artikelnya menyatakan bahwa sumberdaya perikanan pada umumnya bersifat terbuka (open acces) sehingga setiap orang dapat memanfaatkannya atau tidak seorangpun memiliki hak khusus untuk memanfaatkan sumberdaya alam ataupun melarang orang lain untuk ikut memanfaatkan (common property). Pendekatan bioekonomi diperlukan dalam pengelolaan sumberdaya karena selama ini permasalahan perikanan terfokus pada maksimalisasi penangkapan dengan mengabaikan faktor produksi dan biaya yang dipergunakan dalam usaha perikanan. Dengan permasalahan tersebut maka Gordon melakukan analisis berdasarkan konsep produksi biologi yang kemudian dikembangkan oleh Schaefer (1957), kemudian konsep dasar bioekonomi ini dikenal dengan teori Gordon-Schaefer. Teori Gordon-Schaefer mengemukakan konsep dasar biologi sebagai berikut.

Dimisalkan bahwa pada suatu perairan tertentu tidak ada penangkapan ikan, maka laju netto biomasa ikan (dx/dt) adalah :

(23)

= ... (2.1)

Dengan F (x) adalah laju biomassa yang merupakan fungsi dari ukuran biomassa. Jika diasumsikan bahwa daerah tersebut terbatas, secara rasional dapat kita asumsikan bahwa populasi tersebut tumbuh secara proporsional terhadap populasi awal, secara matematis dapat ditulis :

= ... (2.2)

Dengan r dalam istilah biologi perikanan sering disebut intristic growth rate

yaitu pertumbuhan alamiah (natalitas dikurangi mortalitas) atau yang sering disebut laju pertumbuhan tercepat yang dimiliki oleh suatu jenis ikan. Dalam kondisi yang ideal, laju pertumbuhan ikan dapat terjadi secara eksponensial, namun karena keterbatasan daya dukung lingkungan maka ada titik maksimum dimana laju pertumbuhan akan mengalami penurunan atau berhenti. Pada titik maksimum ini disebut carrying capacity. Dalam model kuadratik (logistik), maka fungsi logistis tersebut secara matematis ditulis sebagai berikut:

= − ... (2.3)

Dengan r adalah laju pertumbuhan intristik (intistik growth rate) dan K adalah carrying capacity. Dari persamaan (2.3) di atas terlihat bahwa dalam kondisi keseimbangan (ekuilibrium) laju pertumbuhan sama dengan nol (dt/dx=0) maka populasi sama dengan carrying capacity sedangkan pertumbuhan maksimum akan terjadi pada setengah dari carrying capacity. Pada kondisi ini disebut juga sebagai Maximum Sustainable Yield (MSY) (dapat dilihat pada Gambar 1 berikut).

Gambar 1 Model kurva pertumbuhan logistik untuk ikan

Bila pada suatu daerah tertentu dilakukan penangkapan ikan maka laju perubahan netto biomassa ikan (dx/dt) ditentukan oleh kemampuan reproduksi alamiah dan jumlah ikan yang ditangkap dari stok ikan tersebut. Secara matematis, laju perubahan netto biomassa dapat dirumuskan sebagai berikut:

= − ... (2.4) Dengan F (x) adalah laju pertumbuhan alami dari stok ikan, x dan C adalah jumlah ikan yang ditangkap pada waktu tertentu (C = c(t)) memiliki hubungan

C

hange

in St

oc

k

size

Stock size

(biomass)

(24)

yang proporsional dengan upaya penangkapan (E). Bila E merupakan indeks dari sarana produksi termasuk kapal dan alat tangkap, maka jumlah ikan yang ditangkap dalam kurun waktu tertentu (C) dapat dihitung dengan persamaan:

C = q.Ex...(2.5) Dengan adanya aktivitas penangkapan ikan, persamaan (2.4) dapat dituliskan sebagai berikut:

= − = − − . ... (2.6) Persamaan (2.6) dapat diilustrasikan pada Gambar 1 yang menunjukkan bahwa jika kegiatan penangkapan tetap bertambah, ternyata tidak menghasilkan produksi yang lebih besar. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tingkat eksploitasi seperti ini tidak efisien secara ekonomis, karena tingkat eksploitasi yang sama dilakukan dengan upaya yang lebih besar. Hal ini disebabkan oleh biaya yang dikeluarkan pada saat melakukan penangkapan ikan C3 lebih besar dibandingkan dengan biaya C1. Untuk itu perlu dijelaskan dengan aspek ekonomi mengenai tingkat efisiensi dan optimasi penangkapan.

Gambar 2 Hubungan tangkapan (catch) dengan upaya (effort) (Seijo et al. 1998)

Sebelum menjelaskan aspek ekonomi perikanan, perlu dijelaskan penurunan kurva tangkap lestari pada Gambar 2. Dalam kondisi keseimbangan jangka panjang (long run) maka persamaan (2.6) berubah menjadi:

. = − ... (2.7)

sehingga kalau kita pecahkan persamaan diatas untuk x, akan diperoleh persamaan sebagai berikut

= � − . ... (2.8)

kemudian dengan mensubstitusikan persamaan (2.8) ke dalam persamaan (2.5) maka akan diperoleh fungsi tangkap lestari (sustainable yield):

= � − ... (2.9) = � − � ... (2.10)

TC3

TC1

(25)

Persamaan diatas (2.9) merupakan persamaan kuadratik. C (catch) kuadratik terhadap effort dan jika digambarkan menunjukkan sebuah parabola yang menggambarkan fungsi produksi perikanan dalam jangka panjang, dimana

yield tergantung dari tingkat fishing effort dalam sebuah keseimbangan populasi yang disebut sustainable yield. Kurva produksi lestari disajikan pada gambar berikut :

Gambar 3. Kurva statis Schaefer (Clark et al. 1985)

Bila diasumsikan α = qK dan = rq2 K maka persamaan (10) dapat dituliskan: C = αE – Eβ ...(2.11) Titik MSY pada Gambar 4 dapat diperoleh dengan menurunkan persamaan hasil tangkapan lestari (2.11) terhadap upaya tangkap, sehingga:

EMSY= α/β , CMSY= αβ/4 ...(2.12)

Koefisien parameter lestari (α dan ) dapat diestimasi dengan regresi sederhana model Shaefer berikut:

=∝ − ...(2.13) Dari Gambar 4 terlihat bahwa jika tidak ada aktivitas perikanan ( upaya = 0) produksi juga nol. Ketika upaya terus dinaikan pada titik EMSY akan diperoleh

produksi maksimum. Produksi pada titik ini disebut Maximum Sustainable Yield. Karena sifat kurva yield-effort yang berbentuk kuadratik, maka peningkatan upaya yang terus menerus melewati titik EMSY maka produksi akan turun kembali,

bahkan mencapai nol (pada titik upaya maximum EMSY). Berdasarkan nilai MSY

yang diperoleh dari model Schaefer maka Gordon menambahkan faktor ekonomi dengan memasukan harga dan biaya.

Dalam mengembangkan model Gordon-Schaefer menurut Fauzi (2004) digunakan asumsi-asumsi untuk memudahkan pemahaman yaitu:

a. Harga per satuan upaya output diasumsikan konstan atau kurva permintaan diasumsikan elastis sempurna

b. Biaya per satuan upaya (c) dianggap konstan

c. Spesies sumberdaya ikan bersifat tunggal (single species) d. Struktur pasar bersifat kompetitif

e. Hanya faktor penangkapan yang diperhitungkan (tidak termasuk faktor pasca panen dan lain sebagainya).

MSY

Catch, C

(26)

Dengan menggunakan asumsi-asumsi tersebut dan kurva Sustainable yield effort maka dengan mengalikan harga tersebut dengan MSY (C) maka akan diperoleh kurva penerimaan sebagai Total Revenue (TR) = p.C, sedangkan kurva biaya kita asumsikan linear terhadap effort, sehingga fungsi biaya menjadi TC = c.E. Bila diasumsikan harga ikan dan biaya dari upaya konstan, maka akan diperoleh keuntungan (rente) bersih suatu industri perikanan, melalui persamaan berikut (Clark, 1980):

П = pCt – cEt = (pqxt – c)Et... (2.14)

Dalam kondisi akses terbuka, rente ekonomi sama dengan nol (П=0) atau

̅ = ... (2.15)

jika digabungkan fungsi penerimaan dan biaya tersebut dalam suatu gambar, akan diperoleh kurva seperti Gambar 5 yang akan menguraikan inti dari model Gordon - Schaefer mengenai keseimbangan ekonomi.

Gambar 4 Hubungan antara Maximum Economic Yield (MEY), Maximum Sustainable Yield (MSY) dan Open Acces (OA). (Susilowati 2006) Gambar 4 merupakan inti dari teori Gordon mengenai keseimbangan bioekonomi pada kondisi open acces suatu perikanan akan berada pada titik keseimbangan pada tingkat effort open acces (EOA) dimana penerimaan total (TR)

sama dengan biaya total (TC). Dimana pelaku perikanan hanya menerima rente ekonomi sumberdaya sama dengan nol. Tingkat upaya pada posisi ini adalah tingkat dalam kondisi keseimbangan oleh Gordon disebut sebagai ”bionomic equilibrium of open acces fishery” atau keseimbangan bionomik dalam kondisi

akses terbuka.

Pada setiap upaya yang lebih rendah dari EOA (sebelah kiri dari EOA) maka

penerimaan total lebih besar dari biaya total. Pada kondisi ini pelaku perikanan (nelayan) akan tertarik untuk menangkap ikan karena akses yang tidak dibatasi dan bertambahnya pelaku usaha perikanan tangkap masuk (entry) ke industri perikanan. Bila dilihat dari pendapatan rata-rata maka penerimaan marginal dan

Average Yield Tangkap/

Pertumbuhan

E

MSY

T4

T3

T2

T1

SYC TC

TR Y3

Y2

Y1

EMY

OA

Marginal Yield Curva

MSY

F

F1

E1 E2 EEMY EMSY 1 EOA

Upaya/ Waktu

MSY

Keterangan :

SYC = Sustainable Yield Curva MEY = Maximum Economic Yield MSY = Maximum Sustainable Yield OE = Open Acces (Break Even Point) Ti = Tahap Produksi (i)

(27)

biaya marginal dari penurunan konsep penerimaan total dan biaya total seperti pada Gambar 4 (setiap titik disebelah kiri EOA), penerimaan rata-rata setiap unit effort lebih besar dari biaya rata-rata per unit. Rente yang diperoleh dari pengelolaan sumberdaya T1 untuk titik effort maximum economic yield (EMEY)

lebih besar. Keadaan ini akan memungkinkan terjadinya entry atau pelaku perikanan yang sudah ada untuk memaksimalkan manfaat ekonomi yang diperoleh. Sebaliknya pada titik-titik sebelah kanan EOA biaya rata-rata persatuan

upaya lebih besar dibandingkan penerimaan rata-rata per unit. Pada kondisi ini akan menyebabkan nelayan keluar atau entry tidak ada.

Pada Gambar 5, jelas bahwa tingkat EOA terjadi keseimbangan pada

pengelolaan perikanan, maka pada kondisi ini entry dan exit tidak terjadi. Jika pada Gambar 5 keuntungan lestari (sustainable profit) akan diperoleh secara maksimum pada tingkat effort Maximum Economic Yield (MEY), dimana dapat dilihat pada jarak horisontal terbesar antara penerimaan dan biaya yang diperoleh (T1), dalam literatur ekonomi sumberdaya ikan, tingkat upaya ini sering disebut

sebagai MEY produksi yang maksimum secara ekonomi. Pada titik EOA tingkat

upaya (effort) yang dibutuhkan jauh lebih besar dari upaya MSY dan MEY untuk memperoleh keuntungan yang optimal dan lestari. EOA memberikan tingkat upaya

yang optimal secara sosial (social optimum). Dari sudut pandang ilmu ekonomi, kesimbangan open acces menimbulkan terjadi alokasi yang tidak tepat (misallocation) karena kelebihan faktor produksi (tenaga kerja dan modal) dalam perikanan yang seharusnya bisa digunakan untuk ekonomi produktif lain. Inilah sebenarnya inti prediksi Gordon bahwa perikanan open acces akan menyebabkan terjadinya kondisi economic overfishing. Selain itu juga bahwa keseimbangan

open acces dicirikan dengan terlalu banyak input sehingga stok sumberdaya akan diekstraksi sampai pada titik yang terendah sebaliknya pada tingkat MEY input tidak terlalu banyak tetapi keseimbangan biomas pada tingkat yang lebih tinggi.

Modal, Permodalan dan Kredit Nelayan

Pada dasarnya permodalan merupakan salah satu usaha untuk menyediakan modal yang dipergunakan dengan cara yang paling efisien untuk mempertahankan arus pendapatan guna kelangsungan kehidupan perusahaan. Masalah permodalan dapat ditinjau dari dua segi yaitu : masalah keseimbangan dan masalah perputaran. Masalah keseimbangan mencakup hal-hal sebagai berikut (Tohar 2000), keseimbangan kuantitatif yaitu berupa jumlah modal yang akan ditarik disesuaikan dengan kebutuhan akan barang modal untuk menjaga struktur modalnya. Keseimbangan internal, kesimbangan dalam rumah tangga perusahaan antara kebutuhan akan barang modal dan penarikan kekayaan. Keseimbangan eksternal adalah keseimbangan jumlah modal yang akan ditarik dengan jumlah modal yang tersedia dalam masyarakat.

(28)

atau dana yang diperoleh dalam perusahan itu sendiri. Sumber eksternal merupakan modal yang diperoleh dari luar perusahaan baik diambil dari pemilik maupun dari para debitur, seperti berasal dari lembaga keuangan baik bank maupun bukan bank. Hutang-hutang yang diperoleh dari pihak kreditur merupakan hutang dari perusahaan yang dikenal sebagai modal asing. Dengan demikian sumber eksternal terdiri dari modal sendiri dan modal asing.

Melirik skala usaha subsektor perikanan, khususnya nelayan penangkapan, pembudidaya, pengolahan dan pedagang ikan/pembakul adalah tergolong Usaha Mikro Kecil (UMK). Sebagian besar nelayan yang tergolong miskin merupakan nelayan tradisional yang memiliki keterbatasan kapasitas usaha baik penguasaan teknologi, metode usaha, maupun permodalan. Pada klasifikasi pengusaha mikro masyarakat pesisir dapat dicirikan dengan (a) pemilik dan pelaku usaha secara informal (kekeluargaan/perorangan), (b) bergerak dibidang produksi (nelayan, pembudidaya dan pengolahan), perdagangan/jasa dan (c) aset/omsetnya kecil. Lebih khusus lagi, pelaku usaha mikro dalam berproduksi hanya untuk kebutuhan lokal (subsistem) dengan menggunakan bahan baku lokal, tenaga kerja masih melibatkan anggota keluarga atau kerabat/famili terdekat, pola pikirnya masih sederhana dan tidak mau berurusan dengan administrasi, mereka jarang memiliki aset sebagai agunan sehingga menyebabkan keterbatasan dalam mengakses modal di perbankan. Fenomena ini memungkinkan pelaku usaha di masyarakat pesisir lebih memilih berhubungan dengan pelepas uang (tengkulak/pengijon/papalele) karena hanya dengan modal “ketuk pintu” mereka mudah mendapatkan modal finansial dari pelepas uang (Tuhuteru 2011).

Akses usaha mikro kecil di pesisir dalam memperoleh modal finansial mudah dijangkau, karena pada dasarnya kelompok inilah yang selalu menjadi korban eksploitasi oleh pelepas uang dengan bunga yang tinggi. Salah satu sebabnya adalah ketiadaan pasar keuangan yang sehat bagi masyarakat lapisan bawah, sehingga setiap upaya untuk mendorong produktivitasnya, nilai tambahnya dinikmati para pelepas uang. Adanya pasar keuangan yang sehat tidak terlepas dari keberadaan lembaga keuangan yang hadir ditengah masyarakat. Harapan satu-satunya adalah campur tangan lembaga keuangan baik perbankan maupun non perbankan. Namun realitasnya perbankan umumnya tidak berminat untuk membiayai usaha kecil mikro di wilayah pesisir. Sektor perikanan dianggap memiliki resistensi yang tinggi dan tidak menguntungkan bagi pelaku usaha kredit. Rendahnya akses permodalan terhadap lembaga keuangan formal (bank dan non bank) karena:

1. Produk bank tidak sesuai dengan kebutuhan dan kondisi usaha mikro kecil di pesisir.

2. Adanya anggapan berlebihan terhadap besarnya resiko kredit usaha mikro kecil di pesisir.

3. Biaya transaksi kredit usaha mikro kecil di pesisir relatif tinggi. 4. Persyaratan bank teknis kurang dipenuhi (agunan dan proposal).

5. Terbatasnya akses usaha mikro kecil di pesisir terhadap pembiayaan

equity.

6. Monitoring dan koleksi kredit usaha mikro kecil di pesisir tidak efisien. 7. Bantuan teknis belum efektif dan masih harus disediakan oleh bank sendiri

(29)

8. Bank pada umumnya belum terbiasa dengan pembiayaan kepada usaha mikro kecil di pesisir.

Kegiatan pinjaman oleh individu atas dasar non-profit sangat umum di kalangan nelayan, terlepas dari status sosial profesional mereka. Dalam New Directions in Fisheries A Series of Policy Briefs On Development Issues-FAO (2006), kegiatan pinjaman dilakukan antara anggota keluarga, teman dan orang-orang yang terlibat dalam kegiatan yang sama, seperti nahkoda kapal meminjamkan kepada awak kapal dan pengolah ikan dan pedagang untuk buruh mereka. Pinjaman ini digunakan untuk membiayai kebutuhan sehari-hari seperti meningkatkan modal kerja, membayar tagihan medis atau biaya sekolah, atau tabungan harian dengan kolektor simpanan. Ketentuan pembayaran yang fleksibel dan sering diserahkan kepada peminjam.

Kegiatan pengumpulan simpanan dan pergulirannya untuk pinjaman dengan kelembagaan informal sudah banyak dilakukan di komunitas nelayan namun memiliki kelemahan dalam mengatasi keterbatasn modal nelayan. Dalam FAO (2006), kegiatan pengelolaan jasa keuangan mikro informal populer namun memilik kelemahan, terutama:

a. Akses jasa keuangan bersyarat dan tidak tersedia untuk semua. Akses jasa keuangan tergantung hubungan pribadi, reputasi dan jaringan sosial. Kegiatan nelayan yang mobilitas tinggi yang mempercayakan tabungan mereka kepada kelompok, namun tetap dibatasi pinjamannya. Selain itu kegiatan jasa keuangan kemungkinan lebih rentan.

b. Nelayan yang telah memenuhi syarat keanggotaan untuk kelompok tabungan dan kelompok kredit tidak selalu menerima layanan yang dibutuhkan. Keterbatasan plafon pinjaman tidak cukup untuk memenuhi lumpsum, menggantikan mesin tempel atau alat penangkapan ikan.

c. Keuangan informal tidak membantu nelayan menangani semua jenis gangguan dan risiko (menyediakan asuransi). Keterbatasan keuangan formal dalam menangani risiko rumah tangga tertentu seperti kehilangan pendapatan melalui penyakit, kehilangan peralatan memancing karena kecelakaan atau cuaca buruk, biaya medis mendesak, kematian pencari nafkah dalam keluarga, pencurian dan kondisi kerja tidak aman.

Lembaga Keuangan Mikro Defenisi dan Praktek LKM

Banyak literatur yang menguraikan keuangan mikro, kredit mikro dan lembaga keuangan mikro yang bersentuhan dengan masyarakat/nasabah miskin dan berpenghasilan rendah. Skema ketiga-tiganya memberikan masyarakat miskin mengakses kredit keuangan mikro dan kecil untuk mendukung kegiatan ekonomi mereka. Sebagaimana dinyatakan oleh Naila Kabeer (1998), program keuangan mikro merupakan intervensi yang kian penting untuk mengatasi kemiskinan melalui strategi pemberian pinjaman langsung dan kegiatan pemberdayaan. Dalam defenisi lainnya, keuangan mikro adalah penyedia jasa keuangan untuk nasabah berpenghasilan rendah termasuk para pekerja mandiri (Ledgerwood 1999).

(30)

Microcredit summit (1997) dalam Wijono (2004), kredit mikro adalah program pemberian kredit berjumlah kecil kepada warga miskin untuk membiayai kegiatan produktif yang dia kerjakan sendiri agar menghasilkan pendapatan, yang memungkinkan mereka peduli terhadap diri sendiri dan keluarganya. Bank Indonesia (BI) mendefinisikan kredit mikro sebagai kredit yang diberikan kepada para pelaku usaha produktif baik perorangan maupun kelompok yang mempunyai hasil penjualan paling banyak Rp.100 juta per tahun. Sementara oleh Bank Rakyat Indonesia (BRI) kredit mikro didefinisikan sebagai pelayanan kredit dibawah Rp.50 juta.

Lembaga keuangan yang terlibat dalam penyaluran kredit mikro ini umumnya disebut dengan Lembaga Keuangan Mikro (LKM). Asian Development Bank (2006) mendefinisikan LKM sebagai lembaga yang menyediakan jasa penyimpanan (deposits), kredit (loan), pembayaran berbagai transaksi jasa (payment services) serta money transfer yang ditujukan bagi masyarakat miskin dan pengusaha kecil. Dengan demikian LKM memiliki fungsi sebagai lembaga yang memberikan berbagai jasa keuangan bagi masyarakat berpenghasilan rendah serta usaha mikro. Berdasarkan fungsinya, maka jasa keuangan mikro yang dilaksanakan oleh LKM memiliki ragam yang luas yaitu dalam bentuk kredit maupun pembiayaan lainnya.

Menurut Undang-Undang Nomor I Tahun 2013 Tentang Lembaga Keuangan Mikro, definisi lembaga keuangan mikro (LKM) adalah lembaga keuangan yang khusus didirikan untuk memberikan jasa pengembangan usaha dan pemberdayaan masyarakat, baik melalui pinjaman atau pembiayaan dalam usaha skala mikro kepada anggota dan masyarakat, pengelola simpanan, maupun pemberian jasa konsultasi pengembangan usaha yang tidak semata-mata mencari keuntungan.

Menurut Krishnamurti (2005), walaupun terdapat banyak definisi lembaga keuangan mikro, namun secara umum terdapat tiga elemen penting dari berbagai definisi tersebut. Pertama, menyediakan beragam jenis pelayanan keuangan. Keuangan mikro dalam pengalaman masyarakat tradisional Indonesia seperti lumbung desa, lumbung pitih nagari dan sebagainya menyediakan pelayanan keuangan yang beragam seperti tabungan, pinjaman, pembayaran, deposito maupun asuransi. Kedua, melayani rakyat miskin. Keuangan mikro hidup dan berkembang pada awalnya memang untuk melayani rakyat yang terpinggirkan oleh sistem keuangan formal yang ada sehingga memiliki karakteristik konstituen yang khas. Ketiga, menggunakan prosedur dan mekanisme yang kontekstual dan fleksibel. Hal ini merupakan konsekuensi dari kelompok masyarakat yang dilayani, sehingga prosedur dan mekanisme yang dikembangkan untuk keuangan mikro akan selalu kontekstual dan fleksibel.

(31)

intermediasi keuangan dan pelatihan serta bantuan teknis, peningkatan kesadaran, layanan kesehatan, gizi dan lainnya. LKM yang sukses dengan pendekatan ini diantaranya adalah Grameen Bank dan Building Reosurces Across Communities

(BRAC) di Bangladesh, Self-Employed Women Associtaion Bank di India, dan

Foundation for International Community Assitance (FINCA) di Afrika

Berdasarkan bentuknya, secara umum LKM dibagi menjadi tiga (Wijono 2005 dan Direktorat Pembiayaan 2004) yaitu: (1) lembaga formal seperti bank desa dan koperasi, (2) lembaga semi formal misalnya organisasi non pemerintah, dan (3) sumber-sumber informal, misalnya pelepas uang. Sedangkan menurut Bagus Aryo (2012), terdapat tiga jenis LKM yang memberikan layanan keuangan yakni: (1) program yang disponsori oleh negara, (2) LSM dan (3) bank komersial. Sementara Usman et al. (2004) membagi LKM di Indonesia menjadi 4 golongan besar, yaitu (1) LKM formal, baik bank maupun non bank; (2) LKM non formal, baik berbadan hukum ataupun tidak; (3) LKM yang dibentuk melalui program pemerintah; dan (4) LKM informal seperti rentenir ataupun arisan. Adapun BI hanya membagi LKM menjadi 2 kategori saja yaitu LKM yang berwujud bank dan nonbank.

Jumlah LKM di Indonesia pada tahun 2005 menurut Kusmuljono (2009) mencapai 83.975 unit yang tersebar hingga pelosok pedesaan. LKM yang tumbuh menjamur di Indonesia oleh Soetrisno (2003) menunjukkan bahwa:

1. Tumbuh dan berkembang di masyarakat serta melayani UKM 2. Diterima sebagai sumber pembiayaan anggotanya (UKM) 3. Mandiri dan mengakar di masyarakat

4. Jumlah cukup banyak dan penyebarannya meluas

5. Berada dekat dengan masyarakat, dapat menjangkau (melayani) anggota dan masyarakat

6. Memiliki prosedur dan persyaratan peminjaman dana yang dapat dipenuhi anggotannya (tanpa agunan)

7. Membantu memecahkan masalah kebutuhan dana yang selama ini tidak bisa dijangkau oleh kelompok miskin

8. Mengurangi berkembangnya pelepas uang (informal money lenders) 9. Membantu menggerakan usaha produktif masyarakat dan

10. LKM dimiliki sendiri oleh masyarakat sehingga setiap surplus yang dihasilkan dinikmati oleh para nasabah sebagai pemilik.

Jenis LKM yang disponsori oleh negara (pemerintah) sudah dikembangkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Kegiatan KKP dalam bentuk program pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP) berlangsung sejak tahun 2000. Pola pengembangan LKM dalam program PEMP adalah bermitra dengan lembaga perbankan seperti Swamitra Mina ( Bukopin), Mitra BRI, Mitra Bank Papua, Mitra Bank Maluku, Baitul Qiradh, dan BPR pesisir. Dalam perkembangan jenis LKM Grameen Bank telah di adopsi KKP. Jumlah LKM yang disponsori KKP hingga tahun 2010 tercatat 256 unit.

(32)

a. Membantu nelayan terkait dengan kerentanan, sehingga meningkatkan kapasitas dan kepentingan untuk berpartisipasi dalam pengelolaan perikanan mereka.

b. Mempromosikan atau mendukung diversifikasi mata pencaharian dari sektor perikanan dengan mengembangkan produk keuangan untuk tujuan tertentu. c. Berkontribusi untuk investasi perikanan skala kecil menggunakan rencana

pengelolaan perikanan sebagai panduan mengevaluasi aplikasi pinjaman. Permasalahan LKM

Permasalaan yang dihadapi LKM berdasarkan studi kasus dan pengalaman praktek adalah kerangka hukum keuangan mikro yang masih terbatas, kurang memadainya peraturan dan pengawasan, serta masih ditarapkannya “paradigma lama” dalam bentuk kredit bersubsidi dengan target sasaran tertentu yang berjalan bersamaan dengan penerapan “paradigma baru” yaitu paradigma lembaga keuangan mikro yang dikembangkan secara komersial dan berorientasi pasar (Kusmuljono 2009). Menurut Wijono (2005) permasalahan eksternal yang dihadapi LKM adalah aspek kelembagaan, yang antara lain mengakibatkan bentuk LKM yang beraneka ragam. BRI Udes dan BPR, misalnya adalah bentuk LKM yang secara kelembagaan lebih jelas karena mengacu pada ketentuan perbankan dengan pembinaan dari Bank Indonesia. Sementara itu, pada LKM yang berbentuk koperasi simpan pinjam atau unit simpan pinjam, segala ketentuan operasional dan arah pengembangannya mengikuti ketentuan yang ditetapkan oleh kementerian KUMK. Ditetapkannya undang-undang No.1 Tahun 2013 tentang LKM sehinggga dapat mengatasi problem tersebut. Selain menghadapi permasalahan eksternal, LKM juga dihadapkan pada masalah internal yang menyangkut aspek operasional dan pemberdayaan usaha. Diantara permasalahan internal adalah menyangkut kemampuan LKM dalam menghimpun dana.

Manajemen Finansial

Manajemen finansial merupakan salah satu aspek yang tidak dapat ditinggalkan dalam setiap proses pengambilan keputusan bisnis. Demikian banyak alat-alat analisis finansial yang dapat digunakan dalam proses pengambilan keputusan, namun alat yang lebih banyak digunakan adalah pendekatan aliran kas. Pendekatan menggunakan alat analisis internal rate of return dan net present value merupakan dua alat analisis yang sering melengkapi dan sering digunakan dalam analisis finansial suatu perencanaan bisnis (Arthur et al. 1985).

Internal rate of return (IRR) adalah tingkat suku bunga yang menyamakan

present value aliran kas keluar yang diharapkan (expected cash outflow) dengan

present value aliran kas masuk yang diharapkan (expected cash inflow) (Arthur et al. 1985).

The internal rate of return (IRR) defined as the discount rate that equates the present value of the project’s future net cash flows with the project’s initial cash outlay.

(33)

Demikian juga sebaliknya net present value adalah selisih present value proceeds

dengan value initial investment (outlay). Metode ini seperti halnya metode

internal rate of return, merupakan metode discount rate casflow (Sartono 1994).

The Net Present Value (NPV) of an investment proposal is equal to the present value of its annual net cash flows after tax less the investment’s initial outlay (Arthur et al. 1985)

Pengertian dari definisi tersebut adalah apabila hasil perhitungan present value suatu poyek menunjukkan lebih besar dari inisial investment (outlay), maka usulan proyek tersebut dapat diterima atau dengan kata lain layak untuk dijalankan dan demikian sebaliknya.

Pembangunan Perikanan Berkelanjutan Perikanan Sebagai Sebuah Sistem

Satu hal yang banyak menimbulkan salah persepsi dikalangan publik bahkan dari kalangan akademisi bahwa perikanan dan kelautan dianggap sebagai komoditas semata. Hal ini tidak terlepas dari pandangan klasik tentang struktur produksi ekonomi yang menempatkan perikanan, pertanian, kehutanan, dan peternakan sebagai primary sector yang berkonotasi pada produksi “komoditas” belaka. Padahal sejarah membuktikan bahwa perikanan merupakan kegiatan ekonomi yang memiliki banyak keterkaitan langsung (direct interlinkages) antar faktor penyusunnya yaitu ekosistem, ekonomi, dan komunitas serta institusi yang terkait dengannya. Keempat dimensi dengan segenap dinamikanya tersebut tidak dapat dipisahkan dalam semua pembicaraan tentang perikanan dan kelautan (Hanna 1999 dalam Adrianto 2005).

Gambar 5 Perikanan sebagai sebuah sistem (Charles 2001)

NATURAL ECOSYSTEM MANAGEMENT SYSTEM

External forces (e.g. climate change)

HUMAN SYSTEM

Aquatic environment Fish population

Policy Management

Development Research

Community Post Harvest Post

Harvest

External forces (e.g. macroeconomics policy)

(34)

Charles (2001) menegaskan bahwa sistem perikanan merupakan sebuah kesatuan dari 3 komponen utama yaitu (1) sistem alam (natural system) yang mencakup ekosistem, ikan dan lingkungan biofisik; (2) sistem manusia (human system) yang terdiri dari unsur nelayan atau petani ikan, pelaku pasar dan konsumen, rumah tangga perikanan dan komunitas pesisir serta lingkungan sosial, ekonomi dan budaya yang terkait dengan sistem ini; (3) sistem pengelolaan perikanan (fishery management system) yang mencakup unsur-unsur kebijakan dan perencanaan perikanan, pembangunan perikanan, rezim pengelolaan perikanan, dan riset perikanan. Dalam konteks ini maka dapat dikatakan bahwa sistem perikanan adalah sistem yang kompleks. Dengan menggunakan perspektif informal, sistem dikatakan kompleks apabila struktur dan fungsi dari sistem tersebut tidak diketahui dengan baik sebagaimana terjadi untuk sistem perikanan. Selain itu, definisi kompleks adalah apabila sistem tersebut memiliki sejumlah unsur yang terkait satu sama lain secara dinamik maupun statis. Semakin banyak jumlah unsur dalam struktur sebuah sistem maka semakin kompleks sistem tersebut (Charles 2001 dalam Adrianto 2005).

Pembangunan Perikanan Berkelanjutan

Problematika pembangunan di negara-negara berkembang seperti Indonesia diperhadapkan pada trade off. Pilihan antara mengejar pertumbuhan ekonomi dan tuntutan untuk menjaga keberlangsungan sumberdaya alam. Orientasi pada pertumbuhan ekonomi yang tinggi berdampak pada kerusakan lingkungan dan hilangnya kontrol keberlanjutan sumberdaya alam dunia. Hasil kesepakatan dunia dalam KTT Bumi di Rio de Janeiro, Brazilia pada tahun 1992 telah menyepakati perubahan sebuah paradigma pembangunan yang selama ini dilaksanakan. Sebuah perubahan yang bertumpu pada pertumbuhan ekonomi (economic growth) yang telah dan sedang dilaksanakan oleh negara-negara dunia ketiga, menjadi pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development). Gagasan ini bertolak pada semakin menipisnya sumberdaya lingkungan, akibat pemanfaatan besar-besaran pada program pembangunan sebelumnya. Kondisi ini juga mendorong dilakukannya teknik-teknik baru dan organisasi sosial baru guna menjaga kesinambungan pembaharuan sumberdaya, dengan cara mencari dan menciptakan alternatif terhadap sumberdaya yang terbatas termasuk dalam memanfaatkan sumberdaya perikanan.

Konsep berkelanjutan (sustainable) menjadi menonjol dengan adanya publikasi dari laporan Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (Word

Commission on Environment Development=WCED). Kelompok WCED dipimpin

oleh Gro Harlem Brundtland, sehingga laporan tersebut dikenal dengan sebutan

Brundtland Report yang mendefenisikan pembangunan berkelanjutan adalah “pembangunan untuk hidup saat ini tanpa merusak atau menurunkan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (WCED 1987, Dahuri

et al. 1996). Pembangunan yang harus menjaga keseimbangan lingkungan, efisiensi dan pemerataan pendapatan termasuk kemakmuran untuk generasi yang akan datang baik secara ekonomi, sosial dan budaya.

Suatu aturan kunci keberlanjutan yang dikutip dari pendapatan Pearce et al.

(35)

kurang dari apa yang diwarisi oleh generasi sekarang. Selanjutnya Young (1992) yang diacu dalam Key and Alders (1999), mengakui sejumlah tema yang mendasari konsep berkelanjutan yang didasari sebagai : (1) integritas lingkungan; (2) efisiensi ekonomi; (3) keadilan yang mencakup bagi generasi masa kini dan masa datang serta mengakui adanya pertimbangan-pertimbangan budaya dan ekonomi.

Pembangunan yang merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan tarap hidup manusia tidak terlepas dari aktifitas pemanfaatan sumberdaya alam. Didalam aktifitas ini sering kali perubahan-perubahan dilakukan tentunya akan memberikan pengaruh pada lingkungan hidup. Oleh karena itu, perencanaan pembangunan sumberdaya alam, perlu dilakukan kaidah-kaidah ekologis yang berlaku untuk mengurangi akibat-akibat negatif yang merugikan bagi kelangsungan pembangunan itu sendiri secara menyeluruh. Perencanaan pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya alam perlu dipertimbangkan secara cermat dan terpadu dalam setiap perencanaan pembangunan, sehingga dapat dicapai suatu pengembangan lingkungan hidup dalam lingkungan pembangunan (Bengen 2001).

Ada tiga alasan pentingnya perencanaan diperlukan dalam pembangunan ekonomi suatu wilayah (Kusumastanto 2000). Pertama, terdapatnya mobilitas faktor produksi yang tidak sempurna, atau dengan kata lain bahwa tidak semua wilayah memiliki sumberdaya yang sama sebagai faktor produksi, sehingga timbul istilah “comparative advantages” atau keunggulan/keuntungan suatu daerah karena sumberdaya alam yang dimilikinya. Kedua, adanya pembagian yang tidak sempurna (imperfect divisibility) dalam hal konsentrasi ekonomi baik dalam hal faktor-faktor produksi maupuan distribusi produksi terhadap barang dan jasa. Ketiga, adalah terjadinya mobilitas barang dan jasa yang tidak sempurna (biaya transport dan komunikasi) yang ditimbulkan karena adanya jarak dalam kegiatan input produksi, proses produksi dan output produksi.

Konsep dasar dari sustainability adalah penggunaan suatu sumberdaya alam sedemikian rupa sehingga tidak terkuras atau rusak secara permanen. Menurut Charles (2001) untuk mendukung keberlanjutan perikanan diperlukan keberlanjutan aspek ekologi, sosio-ekonomi, komunitas dan institusi, yaitu :

1. Ecological sustainability (keberlanjutan ekologis), yaitu memelihara keberlanjutan stok ikan sehingga tidak melewati daya dukungnya serta meningkatkan kapasitas dan kualitas dari ekosistem.

2. Socioeconomic sustainability (keberlanjutan sosial ekonomi), yaitu mempertahankan keberlanjutan kesejahteraan baik individu maupun masyarakat.

3. Community sustainability (keberlanjutan komunitas), yaitu

mempertahankan keberlanjutan kesejahteraan dari sisi masyarakat.

4. Institutional Sustainability (keberlanjutan institusional), yaitu memelihara aspek finansial dan administrasi yang sehat yang merupakan prasyarat dari ketiga pembangunan berkelanjutan di atas.

(36)

menyesuaikan dalam hubungan dengan ekosistem; (2) mengenali kebutuhan untuk menggabungkan aktivitas manusia dengan siklus alam; dan (3) aktivitas utama didasarkan pada sumberdaya yang dapat diperbaharui. Pendekatan aspek manusia dilakukan dengan tiga cara¸ yaitu : (1) pemenuhan kebutuhan dasar manusia; (2) menerapkan asas kesamaan dan keadilan sosial; dan (3) peraturan yang pasti.

Gambar

Tabel 1 Kriteria dan indikator keberlanjutan aspek ekologi sistem perikanan
Tabel 2 Kriteria dan indikator keberlanjutan aspek sosial ekonomi/masyarakat    sistem perikanan
Tabel 3 Kriteria  dan  indikator  keberlanjutran  aspek  institusional  sistem
Gambar 6 Kerangka penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

dijabarkan sebagai berikut : 1) sebagian kecil anak belum mampu untuk membaca gambar. Anak salah dalam membaca gambar yang bentuk dan warnanya hampir sama, misal

Perlakuan Akuntansi terhadap Jenis Beban dan Harga Perolehan ATP Kegiatan pengolahan meliputi semua kegiatan dalam rangka proses pengolahan minyak mentah dan gas bumi menjadi

Hutan mangrove juga disebut hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau, atau hutan bakau.Hutan mangrove merupakan tipe hutan tropika yang khas

Kepada peserta yang berkeberatan atas penetapan pemenang pelelangan sederhana diberikan kesempatan untuk mengajukan sanggahan Secara Elektronik (SPSE) melalui situs

Adapun manfaat untuk mendapatkan sertifikasi ISO telah ditabulasi dan dibahas, keuntungan mendapatkan sertifikasi ISO antara lain memperoleh reputasi yang lebih baik,

Pada hasil analisa juga diperoleh bahwa perlakuan terbaik untuk uji bakteri ini adalah pada konsentrasi cuka kayu 10% dan lama perendaman 1 jam pada penyimpanan

Muncul permasalahan dari penerbitan Red Clause L/C ini, yaitu: faktor-faktor yang menjadi alasan pihak importir maupun eksportir untuk memilih pembayaran melalui pembukaan

Tahap persiapan dimulai dengan membuat kandang dari kerangka besi dengan kardus ukuran 50 x 25 x 25 cm yang disusun menjadi 6 tingkat dengan jumlah 3 kandang