• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembuatan Label Cerdas Pendeteksi Staphylococcus Aureus Pada Daging

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pembuatan Label Cerdas Pendeteksi Staphylococcus Aureus Pada Daging"

Copied!
52
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBUATAN LABEL CERDAS PENDETEKSI

Staphylococcus aureus PADA DAGING

RIA OCTAVIA

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pembuatan Label Cerdas Pendeteksi Staphylococcus aureus pada Daging adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

ABSTRAK

RIA OCTAVIA. Pembuatan Label Cerdas Pendeteksi Staphylococcus aureus pada Daging. Dibimbing oleh ENDANG WARSIKI dan MULYORINI RAHAYUNINGSIH.

(6)

ABSTRACT

RIA OCTAVIA. Producing a Smart Label as Staphylococcus aureus Detector on Meat. Supervised by ENDANG WARSIKI and MULYORINI RAHAYUNINGSIH.

A pathogenic bacterium is harmful for human and among them is Staphylococcus aureus. This bacteria can produce enterotoxin and this toxin can cause food poisioning. The study was aimed to produce a label to detect S. aureus growth on meat. Preliminary studies was carried out to obtain the main material for label producing which it can detect to S. aureus. Type of material composed to (i) mannitol; (ii) sorbitol; (iii) gliserol. Mannitol produced a label that more sensitive to S. aureus growth compare to other material. The best formula consisted of 1% agar powder, 0.5% tapioca, 1% manitol, 1% egg yolk, 6% salt, and 1% indicator phenol red. This label can detect S. aureus in 12-16 hours with a color change from red to orange- yellow. Based on result of label application on meat, the label showed that meat stored already spoiled and it could detect by color changing of the label. H2S concentration increased during storage. There were significant different in the value of L, a, b, and ºhue on the color of label along storage and it seemed to be affected by the increasing of H2S. S. aureus was also detected to increase in number during storage. The growth in the beginning was 0,5 × cfu/gram and became 2,45 × cfu/gram at the time of the eighth.

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian

pada

Departemen Teknologi Industri Pertanian

PEMBUATAN LABEL CERDAS PENDETEKSI

Staphylococcus aureus PADA DAGING

RIA OCTAVIA

DEPARTEMEN TEKNOLOGI INDUSTRI PERTANIAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Pembuatan Label Cerdas Pendeteksi Staphylococcus aureus pada Daging

Nama : Ria Octavia NIM : F34110090

Disetujui oleh

Dr Endang Warsiki, STP MSi Pembimbing I

Dr Ir Mulyorini Rahayuningsih, MSi Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Nastiti Siswi Indrasti Ketua Departemen

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan rahmat-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penulis mengambil tema pengemasan, dengan judul skripsi Pembuatan Label Cerdas Pendeteksi Staphylococcus aureus pada Daging yang telah dilakukan dari bulan Februari hingga Juli 2015.

Ucapan terimakasih serta penghargaan penulis ucapkan kepada :

1. Ibu Dr Endang Warsiki, STP MSi selaku dosen pembimbing I atas perhatian dan bimbingannya selama penelitian dan penyelesaian skripsi.

2. Ibu Dr Ir Mulyorini Rahayuningsih, MSi selaku dosen pembimbing II yang telah mengarahkan dan membimbing dalam penelitian.

3. Ibu Prof Dr Ir Erliza Noor selaku dosen penguji atas masukan dan arahannya dalam penyelesaian skripsi ini.

4. Ayahanda Totok Sujono, Ibunda Sri Katon, dan kakak Royyan Herlambang, beserta seluruh keluarga besar atas doa, semangat, dan kasih sayangnya. 5. Sapto Pujo Sejati yang selalu memberi dukungan penuh dalam penyelesaian

skripsi ini.

6. Paguyuban Mahasiswa Bandung (PAMAUNG) 48 dan Jeko yang selalu memberi motivasi penuh dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Keluarga besar Teknologi Industri Pertanian 48 atas bantuan, kritik, dukungan, informasi, dan kebersamaannya selama ini.

8. Seluruh sanak dan kerabat yang tidak bisa disebutkan satu – persatu. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, September 2015

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI iii

DAFTAR TABEL xii

DAFTAR GAMBAR xii

DAFTAR LAMPIRAN xii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 2

Tujuan Penelitian 2

Ruang Lingkup Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

Kemasan Cerdas 2

Staphylococcus aureus 4

Staphylococcus aureus pada Daging 5

Fermentasi Karbohidrat dan Gula 5

METODE 7

Bahan 7

Alat 8

Metodologi 8

HASIL DAN PEMBAHASAN 10

Label Cerdas 10

Konsentrasi Garam Terbaik 12

Nilai Chroma Label 14

Pengemasan Label 17

Sensitifitas Label Terhadap Suhu Penyimpanan 18

Aplikasi Label Pada Daging Sapi 19

SIMPULAN DAN SARAN 26

Simpulan 26

Saran 26

DAFTAR PUSTAKA 27

LAMPIRAN 30

(14)

DAFTAR TABEL

1 Contoh indikator eksternal, internal, dan prinsip kerja dalam kemasan

cerdas 3

2 Syarat mutu mikrobiologi daging sapi 5

3 Indikator warna untuk media fermentasi karbohidrat dan gula 6

4 Kode formula berdasarkan konsentrasi garam 9

5 Hasil uji sensitifitas terhadap pertumbuhan S. aureus 12 6 Respon pertumbuhan S. aureus pada jam ke -24 dari berbagai formula 13 7 Nilai L, a, b, dan °Hue label terhadap lama penyimpanan 14

8 Uji sensitifitas label cerdas yang dikemas 18

9 Jumlah koloni S. aureus pada suhu (25 ± °C 22 10 Jumlah koloni S. aureus pada suhu (4 ± 2)°C 22 11 Nilai °hue dan daerah kisaran warna kromatis (Hutchings 1999) 31

DAFTAR GAMBAR

1 Perubahan warna phenol red berdasarkan pH 6

2 Stuktur kimia manitol 7

3 Stuktur kimia sorbitol 7

4 Rumus molekul gliserol 7

5 Diagram alir pembuatan label 8

6 Langkah uji sensitifitas label terhadap S. aureus 9

7 Aplikasi label cerdas pada daging 10

8 Perubahan warna phenol red pada pH (a) 12 ; (b) 6 ; (c) 3 11

9 Batas pH indikator warna phenol red 11

10 Perubahan visual warna label selama penyimpanan: (a) merah; (b) merah

kekuningan; (c) kuning 14

11 Nilai L label selama penyimpanan 15

12 Nilai a label selama penyimpanan 15

13 Nilai b label selama penyimpanan 16

14 Nilai °hue label selama penyimpanan 17

15 Label dikemas dengan plastik (a) LDPE ; (b) cling PVC 17

16 Grafik pertumbuhan S. aureus 19

17 Aplikasi label cerdas pada penyimpanan daging sapi 19 18 Perubahan pH daging dan label pada penyimpanan suhu ruang (25± °C

20 19 Perubahan pH daging dan label pada penyimpanan suhu dingin (4± °C

20 20 Respon label (a) jam ke-0 ; (b) jam ke-72 suhu (4 ± 2) °C ; (c) jam ke-72

suhu (25 ± 2) °C 21

21 Hubungan jumlah H₂S dalam kemasan dengan ºHue label pada suhu (4

± °C 23

22 Hubungan jumlah H₂S dalam kemasan dengan ºHue label pada suhu (25

(15)

23 Nilai kekerasan daging sapi pada suhu (4 ± 2) °C 24 24 Nilai kekerasan daging sapi pada suhu (25 ± 2) °C 24

DAFTAR LAMPIRAN

1 Prosedur pengujian 30

2 Hasil pengaruh konsentrasi garam pada label 32

3 Jumlah koloni pada sensitifitas suhu penyimpanan 33 4 Hasil pengamatan daging mengalami pembusukan pada suhu (4 ± 2) °C

dan (25 ± 2) °C 34

5 Hasil pengamatan daging mengalami pembusukan pada suhu (4 ± 2) °C

(16)
(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kemasan cerdas merupakan salah satu teknologi yang dikembangkan dalam bidang pengemasan. Kemasan cerdas bertujuan untuk memberikan informasi mengenai kualitas makanan yang dikemas. Beberapa kemasan cerdas yang telah ada yaitu pembuatan label cerdas pendetekasi Escherichia coli (Lestari 2013), label pendeteksi Escherichia coli dari berbagai indikator warna (Dwirianti 2014), label indikator kerusakan buah potong menggunakan pewarna natural dan sintetik (Warsiki dan Putri 2012), dan label pendeteksi kebusukan fillet ikan nila (Hasnedi 2009). Lestari (2013) mengembangkan label indikator pendeteksi Escherichia coli dengan mengggunakan indikator warna eosin dan methylene blue, sedangkan Dwirianti (2014) menggunakan berbagai indikator warna yaitu methyl red, Brain Heart Infusion Broth (BHI)-laktosa, dan Eosin Methylene Blue Agar. Methyl red memberikan perubahan warna label yang terlihat jelas dari jingga menjadi merah muda. Contoh lain dari kemasan cerdas dengan indikator warna adalah label indikator pendeteksi Staphylococcus aureus berbahan BPA (Baird Parked Agar) dan egg yolk tellurite oleh Latifah (2014). Dengan memanfaatkan BPA dan egg yolk tellurite, label dapat menunjukkan adanya pertumbuhan S. aureus dengan timbulnya koloni abu – abu gelap sampai hitam pada permukaan label. Label indikator Latifah (2014) belum dapat diaplikasikan pada produk pangan karena waktu yang dibutuhkan untuk mendeteksi S. aureus masih cukup lama sekitar 48 jam dengan jumlah koloni sebesar 1,8 × cfu/g, jauh diatas angka batas SNI yang sebesar cfu/g. Oleh karena itu, label ini perlu dikembangkan lebih lanjut karena S. aureus salah satu bakteri pathogen yang dapat membahayakan manusia.

Staphylococcus aureus merupakan bakteri pathogen yang dapat menyebabkan kebusukan pada produk pangan. S. aureus sangat mudah tumbuh di makanan yang mengandung protein tinggi dan tidak diolah dengan baik, seperti daging segar, daging yang telah diawetkan, serta produk panggang yang mengandung krim, saus, dan keju. Selain itu, bakteri ini juga dapat ditemukan di udara dan lingkungan sekitar. Menurut Robinson et al (2000), keberadaan S. aureus dalam bahan pangan erat kaitannya dengan sanitasi pekerja serta kebersihan lingkungan dan peralatan pengolahan. S. aureus terdapat luas di alam pada bahan baku pangan sehingga penanganan yang kurang tepat dapat meningkatkan risiko keracunan pangan.

Brooks et al. (1995) menyatakan S. aureus dapat menimbulkan penyakit melalui kemampuan berkembang biak dan menyebar luas dalam jaringan dan melalui pembentukan berbagai zat ekstraseluler seperti enzim dan toksin. S. aureus dapat menghasilkan enterotoksin dan toksin ini adalah racun. Toksin ini menyebabkan gastroenteritis atau inflamasi pada mukosa usus. Jumlah toksin yang dapat menyebabkan keracunan adalah 1,0 µg/gr makanan.

(18)

2

warna yang sensitif terhadap perubahan pH. Label diharapkan mengalami perubahan warna ketika mendeteksi keberadaan S. aureus yang signifikan secara visual. Perubahan warna terjadi karena adanya fermentasi gula pada label oleh S.aureus yang memproduksi asam organik sehingga pH label turun dan warna indikator berubah dari merah menjadi kuning.

Perumusan Masalah

Keberadaan S. aureus dalam produk pangan harus dideteksi dan diinformasikan kepada konsumen dengan menggunakan label pendeteksi S. aureus. Label pendeteksi S. aureus merupakan label yang direkatkan pada bagian permukaan sisi dalam kemasan suatu produk. Label ini mampu mendeteksi pertumbuhan S. aureus dengan perubahan warna secara signifikan dan dapat terlihat secara visual. Label ini dapat menjadi sumber informasi bagi konsumen untuk mengetahui kondisi pangan yang dikemas akibat keberadaan bakteri S. aureus.

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Menghasilkan label indikator pendeteksi S. aureus

2. Mengevaluasi perubahan warna label karena keberadaan S. aureus 3. Mengaplikasikan label pendeteksi S. aureus pada daging segar

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini dibatasi pada perlakuan konsentrasi garam pada formula label dan uji sensitifitas label terhadap S. aureus. Selanjutnya, aplikasi label pada daging segar juga dilakukan pada penelitian ini.

TINJAUAN PUSTAKA

Kemasan Cerdas

(19)

3 Day (2003) menjelaskan bahwa kemasan aktif memiliki definisi yang berbeda dengan kemasan cerdas. Menurut Robertson (2006), kemasan cerdas merupakan kemasan yang memiliki indikator, baik yang diletakkan secara internal maupun secara eksternal dan mampu memberikan informasi tentang keadaan kemasan atau kualitas makanan didalamnya. Contoh dari indikator eksternal, internal, dan prinsip kerja dalam kemasan cerdas dapat dilihat pada Tabel 1. Kerry dan Butler (2008) menyebutkan bahwa terdapat tiga kelompok indikator yaitu:

1. Indikator eksternal, merupakan indikator yang melekat di luar kemasan, seperti indikator suhu, waktu, dan indikator fisik

2. Indikator internal, berada di dalam kemasan seperti indikator kebocoran oksigen dan indikator mikrobial

3. Indikator yang meningkatkan efisiensi arus informasi dan komunikasi yang efektif antara produk dengan konsumen, seperti masa kadaluarsa, kandungan gizi, dan barcode.

Tabel 1 Contoh indikator eksternal, internal, dan prinsip kerja dalam kemasan cerdas

Teknik Prinsip/ Reagen Informasi Aplikasi

Indikator waktu

Kebusukan produk Penyimpanan dalam kemasan dengan

Beragam kimia Bakteri pathogen yang spesifik

(20)

4

Media indikator pendeteksi S. aureus termasuk ke dalam kelompok indikator pertumbuhan mikroba dengan mekanisme perubahan warna akibat terjadinya perubahan pH. Perubahan warna label terjadi karena penurunan pH media sehingga merubah indikator warna yang terdapat pada label. Saat ini telah dikembangkan indikator pertumbuhan mikroba dengan berbagai indikator warna untuk mendeteksi E. coli oleh Dwirianti (2014) dan label pendeteksi S. aureus berbahan BPA dan egg yolk tellurite oleh Latifah (2014).

Staphylococcus aureus

Staphylococcus aureus merupakan bakteri gram positif pada pengecatan gram terlihat berbentuk kokus/bulat dengan ukuran 0,8 – 1,0 mm dan berdiameter 0.7 – 0.9 mikron ( Ray 2004). S. aureus terkadang hidup berpasangan tetapi lebih sering bergerombol berbentuk tidak teratur seperti anggur. S. aureus tidak bergerak dan tidak membentuk spora. Bakteri ini hidup bebas dalam lingkungan dan tumbuh dengan baik pada berbagai media bakteriologi dibawah suasana aerobik atau microaerofilik. Koloni S. aureus berwarna abu – abu sampai kuning keemasan dan akan tumbuh cepat pada temperatur 37ºC dan pH 7,4 namun pembentukan pigmen yang terbaik adalah pada temperatur kamar (20-35 ºC). Golongan taksonomi S. aureus adalah sebagai berikut.

Dunia : Bacteria Kerajaan : Eubacteria Filum : Firmicutes Kelas : Bacilli Ordo : Bacillales

Famili : Staphylococcaceae Genus : Staphylococcus

Spesies : Staphylococcus aureus

Menurut Ray (2004), S. aureus merupakan bakteri halofilik sedang, kebutuhan garam untuk pertumbuhan optimum sekitar 5 – 20%. Bakteri halofilik ini dapat ditemukan pada makanan dengan kadar garam tinggi. S. aureus aktif melakukan metabolisme, mampu melakukan fermentasi karbohidrat dan menghasilkan bermacam – macam pigmen dari putih hingga kuning. Menurut Beishir (1991), S. aureus bersifat katalase positif. Enzim katalase dapat memecah hidrogen peroksida menjadi air dan oksigen karena menghasilkan enzim katalase.

(21)

5 salami, daging barbeque, salad, dan produk panggang yang mengandung krim, saus, dan keju.

Staphylococcus aureus pada Daging

Daging merupakan semua jaringan hewan beserta produk hasil pengolahanya yang dapat dimakan dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Menurut Soeparno (2005), daging tersusun dari jaringan ikat, epitel, jaringan – jaringan saraf, pembuluh darah, dan lemak. Daging merupakan bahan pangan yang memiliki kadar air tinggi sehingga mudah ditumbuhi oleh mikroba. Mikroba yang tumbuh pada daging dapat merusak kondisi daging menjadi tidak segar sehingga berwarna keabuan dan juga menjadi tidak layak untuk dikonsumsi. Selain kadar air yang tinggi, kondisi yang mendukung mikroba untuk tumbuh pada daging adalah ada atau tidaknya oksigen, terutama pada kondisi aerobik. Menurut Lawrie (1995) bakteri pencemar daging yang paling sering ditemukan adalah Salmonella, Shigella, Escherichia coli, Bacillus cereus, Bacillus proteus, Staphylococcus albus, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus dari feses.

Keberadaan dan keberlangsungan hidup dari bakteri pathogen yang terdapat pada daging segar dapat berkontribusi dalam meningkatkan resiko kesehatan terhadap manusia saat daging siap untuk dikonsumsi. Mikroba dapat merusak daging pada kondisi anaerobik terutama pada saat daging dikemas dalam kondisi vakum. Hal ini dapat terjadi karena bakteri anaerobik dapat menempel pada kemasan dan kemudian mengkontaminasi daging yang dikemas. Standar mutu mikrobiologi daging segar menurut SNI 3932 dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Syarat mutu mikrobiologi daging sapi

Jenis Uji Satuan Persyaratan

Total Plate Count cfu/g Maksimum 1 × Coliform cfu/g Maksimum 1 × Staphylococcus aureus cfu/g Maksimum 1 × Salmonella sp per 25 gram Negatif Escherichia coli cfu/g Maksimum 1 ×

Sumber : BSN (2008)

Fermentasi Karbohidrat dan Gula

(22)

6

purple (BCP), bromthymol blue (BTB) dan andrade. Indikator warna untuk media fermentasi karbohidrat dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Indikator warna untuk media fermentasi karbohidrat dan gula Indikator

Warna

Netral Fermentasi Asam Alkaline (Basa)

pH Warna pH Warna pH Warna Menurut Narumi dan Soehartojo (1987), Staphylococcus aureus merupakan salah satu bakteri yang berperan dalam proses fermentasi karbohidrat dan gula secara bergantian. Oleh karena itu, dibutuhkan indikator warna yang dapat mengidentifikasi keberadaan S. aureus. Phenol red merupakan indikator yang memiliki rentang pH yang paling kecil dibandingkan indikator warna yang lain sehingga sangat cocok untuk mengidentifikasi keberadaan S. aureus dengan cepat. Menurut MacFaddin (2000), phenol red umumnya digunakan sebagai indikator pH untuk menguji fermentasi karbohidrat dan fermentasi gula karena sebagian besar produk akhir dari fermentasi keduanya adalah asam organik. Jika menggunakan phenol red sebagai indikator pH, warna kuning menunjukkan produk asam telah dihasilkan pada fermentasi dan menurunkan pH hingga kurang dari 6,8. Apabila reaksi fermentasi tertunda maka dapat menghasilkan warna orange. Perubahan warna phenol red dapat dilihat pada Gambar 1.

(23)

7 dalam alkohol, dan hampir tidak larut dalam pelarut organik. Rumus struktur kimia manitol dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2 Struktur kimia manitol (Merck &Co, Inc 2001)

Sorbitol adalah senyawa monosakarida polyhydric alcohol. Nama kimia lain dari sorbitol adalah hexitol atau glusitol dengan rumus kimia C H O . Struktur molekul sorbitol mirip dengan stuktur molekul glukosa hanya berbeda gugus aldehid pada glukosa diganti menjadi gugus alkohol. Rumus struktur kimia sorbitol dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Struktur kimia sorbitol (Merck &Co, Inc 2001)

Gliserol adalah suatu trihidroksi alkohol yang terdiri atas 3 atom karbon dan tiap atom karbon mempunyai gugus –OH. Poedjiadi (2006) menyatakan bahwa gliserol diperoleh dari hasil penyabunan lemak atau minyak yang tidak berwarna, mempunyai rasa agak manis, larut dalam air, dan tidak larut dalam eter. Rumus molekul gliserol dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Rumus molekul gliserol (Poedjiadi 2006)

METODE

Bahan

(24)

8

Alat

Alat – alat yang digunakan dalam pembuatan label pendeteksi S. aureus antara lain, gelas piala, botol scotch, otoklaf, hot stirrer, magnetic stirrer, erlenmeyer, pipet volumetrik dan pipet mikro. Selain itu juga dibutuhkan neraca analitik, cawan petri, batang pengaduk, inkubator, lemari pendingin, dan chromameter.

Metodologi

Pembuatan Label

Pembuatan label dilakukan dengan memodifikasi metode yang telah dikembangkan oleh Lestari (2003). Modifikasi yang dilakukan yaitu dengan menambahkan garam, indikator warna phenol red, dan kuning telur. Selain itu, modifikasi juga dilakukan dengan mengganti gliserol dengan manitol dan sorbitol.

Label dibuat dengan variasi penambahan yaitu (i) gliserol; (ii) manitol; (iii) sorbitol. Label dibuat dengan menghomogenkan akuades dengan bahan – bahan yang terdiri dari garam, tapioka, agar bubuk, kuning telur, dan phenol red, kemudian campuran ditambahkan dengan variasi gula. Setelah itu larutan disterilisasi pada 121°C selama 15 menit. Setelah dilakukan sterilisasi, larutan ditambahkan kuning telur kemudian dihomogenisasi kembali. Larutan dicetak dengan ukuran 3 × 3 cm² dan dikemas dengan LDPE dan cling film PVC. Diagram alir pembuatan label cerdas dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 Diagram alir pembuatan label

*Keterangan : Campuran bahan terdiri dari garam, tapioka, agar bubuk, kuning telur, dan phenol red

Gula yaitu manitol, gliserol, dan sorbitol

Campuran Bahan*

Homogenisasi

Akuades Gula*

Sterilisasi suhu 121°C, 15 menit Larutan Agar

Penuangan pada cawan petri Pendinginan

Pencetakan ukuran 3×3 cm

(25)

9 Pemilihan formulasi terbaik didasarkan pada uji sensitifitas pertumbuhan S.aureus pada label yang menyebabkan terjadinya perubahan warna dari merah menjadi kuning dengan waktu tercepat. Uji sensitifitas label terhadap S. aureus dilakukan untuk mengetahui bahan yang terbaik sebagai pemilihan bahan pembuatan label cerdas yang dapat mendeteksi S. aureus secara signifikan. Selain itu, uji sensitifitas label terhadap S. aureus bertujuan agar label dapat dijadikan sebagai indikator S. aureus. Label diuji dengan cara menginokulasikan 1 mL kultur S. aureus pada cawan yang berisi media Nutrient Agar (NA)dan label diletakkan pada tutup cawan petri. Setelah itu media diinkubasi pada suhu ruang (25±2°C) selama 24 jam. Langkah uji sensitifitas label terhadap pertumbuhan S.aureus dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Langkah uji sensitifitas label terhadap S. aureus

Pengaruh Konsentrasi Garam terhadap Pertumbuhan S. aureus

Tahap ini bertujuan untuk menguji pengaruh konsentrasi garam pada larutan label terhadap pertumbuhan S. aureus. Sebanyak 1 mL kultur S. aureus diinokulasikan pada permukaan label dan disimpan pada suhu ruang 25±2°C. Pengaruh konsentrasi garam dilihat dari perubahan warna yang terjadi pada label tersebut. Kode formula dapat dilihat pada Tabel 4. Formula terbaik dipilih berdasarkan sensitifitas label dalam mendeteksi S. aureus paling cepat dengan perubahan warna yang signifikan secara visual.

Tabel 4 Kode formula berdasarkan konsentrasi garam Konsentrasi Garam (%) Kode Formula

6 G6

7 G7

8 G8

Uji Kuantifikasi Warna Label

Pengukuran warna secara kuantitatif dilakukan dengan menggunakan alat chromameter. Kalibrasi chromameter dilakukan dengan cara membaca nilai kroma kertas warna putih yang telah tersedia untuk kalibrasi. Hasil pengukuran yang terbaca adalah L (lightness), A (redness) dan B (yellowness). Pengukuran dilakukan setiap 4 jam sehingga degradasi perubahan warna label dapat diamati. Nilai ini kemudian digunakan untuk mengetahui nilai ºHue dengan menggunakan rumus seperti pada Lampiran 1.

Label cerdas

Cawan Petri

(26)

10

Pengemasan Label

Label dikemas dengan LDPE (Low Density Polyethylene) dan plastik cling flim PVC dan kemudian label diletakkan pada tutup cawan petri. Sebelumnya, cawan petri dimasukkan 1 mL kultur S. aureus dan diinokulasikan pada media Nutrient Agar (NA). Setelah itu, cawan diinkubasikan pada suhu ruang (25 ± °C. Perlakuan terbaik adalah label yang dapat mendeteksi S. aureus paling cepat dengan perubahan warna signifikan.

Uji Sensitifitas Label Cerdas Terhadap Suhu Penyimpanan

Label pendeteksi terbaik diuji sensitifitasnya terhadap suhu penyimpanan untuk mengetahui berapa lama waktu yang dibutuhkan label dalam mendeteksi S.aureus pada berbagai suhu penyimpanan. Suhu penyimpanan yang digunakan yaitu suhu (4 ± °C dan (25 ± °C. Sebanyak 1 mL kultur S. aureus diinokulasikan pada media Nutrient Agar (NA). Kemudian label ditempelkan pada tutup cawan petri. Setelah itu diinkubasikan pada suhu (4 ± °C dan (25 ± °C. Pengamatan pada suhu (4 ± °C dilakukan setiap 2 jam selama 3 hari, sedangkan pada suhu (25± °C dilakukan setiap 24 jam selama 7 hari.

Aplikasi Label Indikator pada Daging Sapi

Daging sebanyak 50 gram diletakkan pada styrofoam dan ditutup dengan plastik cling film PVC yang sebelumnya telah direkatkan label indikator (Gambar 7). Selanjutnya daging disimpan pada suhu (4 ± °C dan (25 ± °C. Uji yang dilakukan meliputi perubahan warna label, konsentrasi gas dalam kemasan, dan penurunan mutu daging yang terdiri dari kekerasan, pH, dan uji total S. aureus pada daging. Prosedur analisis disajikan pada Lampiran 1. Pengamatan pada suhu (25 ± °C dilakukan setiap 2 jam untuk melihat perubahan warna label, sedangkan pengamatan pada suhu (4 ± °C dilakukan setiap 24 jam sekali. Sampel diuji secara duplo. Ilustrasi aplikasi label pada daging dapat dilihat pada Gambar 7.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Label Cerdas

Pada penelitian ini, pemilihan bahan pembuat label dilakukan sebagai penelitian pendahuluan. Pemilihan bahan ini bertujuan untuk mendapatkan bahan pembuat label terbaik yang dapat mendeteksi S. aureus, sehingga label tersebut dapat digunakan sebagai label indikator pendeteksi S. aureus. Menurut Lestari (2013), bahan pembuat label indikator yaitu agar bubuk, tapioka, gliserol, dan Cling film PVC

Styrofoam

Daging

Label Cerdas

(27)

11 EMB. Bahan – bahan tersebut dapat menghasilkan sifat fisik label yang lebih baik dan sensitif terhadap pertumbuhan E. coli. Pada penelitian ini dilakukan modifikasi pada bahan pembuat label indikator, yaitu penambahan garam, indikator phenol red, dan kuning telur serta mengganti gliserol dengan manitol dan sorbitol.

Menurut Ray (2004), S. aureus merupakan bakteri gram positif dan berbentuk bulat dengan ukuran 0.8 – 1.0 mm dengan diameter 0.7 - 0.9 mikron. S. aureus merupakan bakteri halofilik sedang dengan kebutuhan garam untuk pertumbuhan optimum S. aureus sekitar 5 – 20%. Oleh karena itu dilakukan penambahan garam dalam pembuatan label pendeteksi S. aureus. Penambahan garam bertujuan untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain didalam label karena hanya beberapa organisme yang dapat tumbuh pada konsentrasi garam tinggi.

Pada pertumbuhan S. aureus dibutuhkan juga sumber karbon. Sumber karbon yang ditambahkan pada pembutan label ini adalah gula. Menurut Sudirman (2014), S. aureus dapat memfermentasi gula dan menghasilkan asam laktat. Asam laktat hasil fermentasi tersebut akan dideteksi oleh indikator warna phenol red sehingga terjadi perubahan warna dalam label. Menurut MacFaddin (2000), pada suasana netral dengan pH 7,4 indikator phenol red menghasilkan warna merah sedangkan pada suasana asam dengan pH 6,8 akan berubah menjadi kuning. Gambar 8 menunjukkan perubahan warna pada indikator phenol red.

(a) (b) (c)

Gambar 8 Perubahan warna phenol red pada pH (a) 12 ; (b) 6 ; (c) 3 Dari hasil pengamatan, perubahan warna indikator phenol red diikuti dengan adanya perubahan pH. Warna menunjukkan transisi bertahap dari merah ke kuning selama rentang pH 12 – 3. Diatas pH 8, phenol red memperlihatkan warna merah keunguan, sedangkan dibawah pH 6, phenol red berubah menjadi warna kuning. Berikut adalah gambar batas pH dari indikator warna phenol red.

Phenol red akan berubah warna menjadi kuning apabila mikroba memproduksi asam organik saat mensintesis gula. Asam organik akan membuat pH label turun sehingga warna label mengalami perubahan. Narumi dan Soehartojo (1987) menyatakan bahwa S. aureus dapat memfermentasi gula seperti glukosa, manitol, laktosa, gliserol, sorbitol, dan sukrosa dengan baik, memfermentasi karbohidrat dengan lambat, serta tidak memfermentasi salicin, rafinosa, dan inulin. Oleh karena itu, dipilih manitol, gliserol, dan sorbitol sebagai gula untuk sumber fermentasi S. aureus.

pH 7,2 pH 6,8

(28)

12

Perbedaan jenis gula yang ditambahkan pada larutan pembuat label tidak memperlihatkan warna awal label yang signifikan. Namun demikian, setelah diinkubasi ada beberapa perbedaan sensitifitas ketika label mendeteksi pertumbuhan S. aureus. Adanya pertumbuhan S. aureus ditandai dengan adanya perubahan warna dari merah menjadi kuning. Dari penelitian ini, hasil uji sensitifitas label terhadap S. aureus dengan berbagai macam gula yang ditambahkan ditunjukkan pada Tabel 5.

Tabel 5 Hasil uji sensitifitas terhadap pertumbuhan S. aureus Bahan Sebelum Uji Setelah Uji Keterangan

Manitol +++

Sorbitol ++

Gliserol +

Keterangan : +++ : Perubahan warna terjadi pada jam ke-16

++ : Perubahan warna terjadi pada jam ke-24

+ : Pertumbuhan S. aureus kurang baik dan perubahan warna terjadi lebih

dari jam ke-24

Dari tabel 5 terlihat bahwa manitol difermentasi sempurna oleh S. aureus dan memproduksi asam laktat. Asam laktat ini menurunkan pH label dari 7.4 menjadi 6.3 dan merubah warna indikator phenol red dari merah menjadi kuning. Terlihat dari hasil uji bahwa perubahan warna yang ditunjukkan oleh label berbahan manitol terlihat lebih signifikan dibandingkan label berbahan sorbitol dan gliserol. Hal ini sesuai dengan Johnson dan Case (1995) yang menjelaskan bahwa bakteri Staphylococcus aureus dapat menghasilkan enzim koagulase atau bersifat koagulase positif dan dapat memfermentasi manitol. Oleh karena itu, manitol dipilih sebagai sumber gula untuk proses fermentasi oleh S. aureus.

Konsentrasi Garam Terbaik

(29)

13 Menurut Lestari (2013), bahan pembuat label yaitu dibutuhkan 2% agar bubuk yang memiliki nilai � (activity water) dibawah 0,83 agar karakteristik fisik mekanis label menjadi lebih baik. Dalam hal ini, S. aureus membutuhkan nilai ��minimal 0,83 untuk melakukan pertumbuhan sehingga konsentrasi agar bubuk diturunkan menjadi 1%. Sedangkan penambahan konsentrasi garam belum diketahui sehingga dilakukan penelitian ini untuk mendapatkan konsentrasi dari garam tersebut.

Garam dapat berfungsi sebagai penghambat pertumbuhan mikroorganisme pathogen lain selain S. aureus karena hanya mikroorganisme tertentu yang dapat tumbuh pada media dengan konsentrasi garam tinggi. Menurut Ray (2004) garam yang dibutuhkan oleh S. aureus antara 5 – 10%, dan dalam penelitian ini garam yang ditambahkan adalah 6 - 8%. Tabel 6 menunjukkan respon pertumbuhan S. aureus pada jam ke-24 dari berbagai konsentrasi garam. Sedangkan gambar hasil pengaruh konsentrasi garam pada label dapat dilihat pada Lampiran 2.

Tabel 6 Respon pertumbuhan S. aureus pada jam ke - 24 dari berbagai formula Kode Konsentrasi

Garam (%)

Keterangan Sebelum Uji Setelah Uji

G6 6 +++

G7 7 ++

G8 8 +

Keterangan : +++ : Pertumbuhan S. aureus sangat baik dan terjadi perubahan warna yang

signifikan

++ : Pertumbuhan S. aureus baik tetapi perubahan warna lambat dan kurang

signifikan

+ : Pertumbuhan S. aureus kurang baik dan tidak terjadi perubahan warna

yang signifikan

(30)

14

Nilai Chroma Label

Pada penyimpanan suhu ruang (25±2) °C, label mengalami perubahan warna dari merah menjadi kuning dalam waktu 24 jam. Hasil uji yang dilakukan, warna label secara visual menunjukkan degradasi warna dari merah, merah kekuningan, dan akhirnya kuning (Gambar 10). Warna merah menunjukkan bahwa S. aureus belum tumbuh pada label dan seiring dengan lama penyimpanan, warna label berubah karena adanya S. aureus. Meningkatnya jumlah S. aureus pada label menyebabkan manitol dalam label difermentasi oleh S. aureus dan menghasilkan asam laktat. Asam laktat ini yang menyebabkan pH label turun dan warna indikator menjadi kuning. Perubahan warna pada label ini akan menentukan kelayakan label untuk digunakan sebagai media informasi. Perubahan warna yang signifikan akan semakin mudah untuk menginformasikan kondisi produk yang dikemas.

Gambar 10 Perubahan visual warna label selama penyimpanan: (a) merah; (b) merah kekuningan; (c) kuning

Label yang disimpan pada suhu ruang ruang (25±2) °C, secara visual berubah dari warna merah menjadi kekuningan dalam waktu kurang dari 24 jam dan terjadi perubahan warna menjadi kuning setelah disimpan selama 16 jam. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Ray (2004),S. aureus membutuhkan waktu untuk melakukan pembelahan yaitu 0,47jam sehingga pada jam ke-16 jumlah S. aureus semakin meningkat. Dari hasil pengamatan warna secara visual, perubahan warna kemudian dianalisis menjadi empat parameter warna yaitu tingkat kecerahan, parameter kemerahan, parameter kekuningan, dan °hue. Nilai dari keempat parameter tersebut ditunjukkan pada Tabel 7.

(31)

15

Nilai L

Nilai L (lightness) menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih, abu – abu, dan hitam. Interval skala nilai L berkisar antai 0 - 100. Semakin tinggi nilai L maka sampel bisa diartikan memiliki warna yang semakin terang. Grafik nilai L pada perubahan warna label dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11 Nilai L label selama penyimpanan

Dari hasil analisis warna yang ditunjukkan pada Gambar 11 diketahui bahwa parameter kecerahan L yang diukur mengalami peningkatan seiring lama waktu penyimpanan. Peningkatan nilai L dari 57,27 pada jam ke-0 menjadi 66,76 pada jam ke-24. Penelitian yang mirip juga dilakukan oleh Hong dan Park (2000), perubahan warna indikator methyl red dari orange menjadi merah dan terjadi penurunan nilai L. Pergerakan nilai L pada penelitian ini berbanding terbalik dengan penelitian Hong dan Park (2000), karena perubahan warna phenol red juga berbanding terbalik yaitu dari merah menjadi kuning. Dari data yang diperoleh dapat digambarkan bahwa semakin lama penyimpanan maka semakin banyak bakteri yang tumbuh dan warna berubah dari merah menjadi kuning sehingga nilai L semakin meningkat.

Nilai a

Nilai a (redness) mengidentifikasikan intensitas kemerahan pada label cerdas. Menurut Nofrida (2013), nilai a positif (+ a) menunjukkan sampel memiliki derajat kemerahan, sedangkan nilai a negatif (- a) menunjukkan sampel memiliki derajat kehijauan. Phenol red merupakan indikator warna yang memiliki nilai a positif. Hal ini dapat dibuktikan dari pengujian nilai a pada label cerdas, indikator warna yang dihasilkan berada pada kisaran nilai a positif (+ a) yang berarti label cerdas indikator phenol red berada pada kisaran warna merah. Grafik nilai a pada perubahan warna label cerdas dapat dilihat pada Gambar 12.

(32)

16

Menurut Nofrida (2013), nilai a akan meningkat ketika warna sampel menjadi kemerahan dan akan menurun ketika warna sampel menjadi kekuningan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian ini. Pada penelitian ini, nilai a pada perubahan warna label cerdas turun dari 32,41 pada jam ke-0 menjadi 12,72 pada jam ke- 24. Penurunan nilai a menunjukkan terjadinya penurunan derajat kemerahan. Penurunan pada nilai a dapat dilihat secara visual bahwa label cerdas berubah warna dari merah menjadi kekuningan. Penurunan nilai a ini juga sejalan dengan Warsiki dan Putri (2012), dimana terjadi penurunan nilai a pada label pendeteksi kerusakan buah potong dari merah menjadi merah muda, sedangkan Hong dan Park (2000) menemukan terjadi kenaikan nilai a pada perubahan warna indikator methyl red dari orange menjadi merah.

Nilai b

Nilai b (yellowness) mengidentifikasikan intesitas warna kekuningan pada sampel. Menurut Nofrida (2013), nilai b positif (+b) menunjukkan sampel memiliki derajat kekuningan, sedangkan nilai b negatif (-b) menunjukkan sampel memiliki derajat kebiruan. Label cerdas ini memiliki nilai b positif (+b). Hal ini terbukti dari pengujian perubahan warna, nilai b pada sampel menunjukkan positif dan tidak ada yang menunjukkan nilai negatif. Grafik nilai b pada perubahan warna label cerdas dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13 Nilai b label selama penyimpanan

Dari hasil uji nilai b, terjadi peningkatan nilai selama penyimpanan. Pada perubahan label cerdas didapatkan nilai b yang meningkat dari nilai 24,16 pada jam ke-0 menjadi 37,90 pada jam ke-24. Secara umum rata – rata nilai b (derajat kekuningan) label cerdas semakin lama semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa derajat kekuningan pada label cerdas berubah kearah positif. Perubahan ini terlihat juga secara visual, perubahan label berubah dari merah menjadi kuning sehingga nilai b (yellowness) meningkat.

Nilai °Hue

Setelah mendapatkan nilai a dan nilai b, dapat ditentukan nilai °hue dari nilai invers tangen dari perbandingan nilai b dan nilai a sesuai dengan Lampiran 1. Nilai °hue menunjukkan derajat warna yang dilihat oleh indra penglihatan. MacDougall (2002) menyatakan nilai °hue merupakan gambaran dari sumbu 360°

(33)

17 di mana daerah kuadran 1 menunjukkan warna kemerahan, daerah kuadran 2 menunjukkan warna kuning hijau, daerah kuadran 3 menunjukkan warna hijau biru, dan daerah kuadran 4 menunjukkan warna ungu. Grafik perubahan nilai °hue dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14 Nilai °hue label selama penyimpanan

Dari hasil uji nilai °hue yang didapatkan terhadap lama penyimpanan, maka dapat diketahui warna kromatik visual yang terlihat oleh indera penglihatan. Pada jam ke-0, °hue menunjukkan nilai °hue sebesar 36,71° hingga jam ke-12 nilai °hue menunjukkan 53,45°. Nilai °hue hingga jam ke-12 menunjukkan daerah kisaran warna merah. Pada jam jam ke-24 menunjukkan nilai °hue sebesar 71,45° sehingga daerah kisaran warna kuning – merah.

Pengemasan Label

Pengemasan adalah suatu perlakuan pengamanan terhadap produk, baik yang belum maupun sudah mengalami pengolahan hingga sampai ke tangan konsumen. Label cerdas pun membutuhkan pengemasan agar tidak terkontaminasi dengan kotoran dan pencemaran lainnya. Bahan kemasan yang digunakan untuk mengemas label cerdas yaitu plastik LDPE dan cling film PVC. Kedua bahan pengemas ini dipilih karena memiliki sifat permeabilitas yang tinggi, warna yang transparan, bersifat lentur, dan mempunyai pori – pori yang lebih besar dari S. aureus.

Pada penelitian ini, label dikemas dengan plastik LDPE dan cling film PVC, kemudian diuji sensitifitas label terkemas terhadap aktivitas S. aureus. Penampakan label indikator dapat dilihat pada Gambar 15. Sedangkan Tabel 8 menunjukkan hasil uji sensitifitas label cerdas yang telah dikemas.

(a) (b)

(34)

18

Tabel 8 Uji sensitifitas label cerdas yang dikemas Waktu

Dari hasil uji,terlihat sensitifitas label yang dikemas dengan plastik LDPE dan cling film PVCmemiliki sensitifitas yang sama dan perubahan warna yang terjadi hampir terlihat sama. Joseph (1984) menyatakan bahwa plastik LDPE dan cling film PVC memiliki tingkat permeabilitas yang tinggi dengan laju uap air yang rendah sehingga kedua plastik ini merupakan kemasan terbaik sebagai pengemas label. Namun secara teknik dan penampilan label, plastik LDPE terlihat lebih mudah dan lebih baik dibandingkan label dengan kemasan cling film PVC. Oleh karena itu, plastik LDPE digunakan untuk mengemas label cerdas.

Sensitifitas Label Terhadap Suhu Penyimpanan

Label cerdas terbaik yang dibuat adalah label manitol dengan konsentrasi garam 6%. Label tersebut dapat berubah warna setelah diinkubasi dalam cawan selama 12 jam. Dari formula label terbaik, kemudian dilakukan uji sensitifitas label cerdas pada suhu penyimpanan. Uji sensitifitas label pada suhu penyimpanan perlu dilakukan untuk mengetahui sensitifitas label dalam mendeteksi S. aureus pada berbagai suhu penyimpanan. Selain itu, uji sensitifitas ini bertujuan untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan oleh label untuk berubah warna saat mendeteksi S. aureus. Suhu (4 ± °C dan (25 ± °C pada umumnya masyarakat terbiasa menyimpan makanan pada suhu – suhu tersebut.

(35)

19 menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dan mencegah hampir semua bakteri pathogen (Koswara 2001). Data pertumbuhan koloni S. aureus pada uji ini ditunjukkan pada Lampiran 3. Grafik pertumbuhan koloni pada dua suhu yaitu (4 ± °C dan (25 ± °C ditunjukkan pada Gambar 16.

Gambar 16 Grafik pertumbuhan S. aureus

Pada suhu 25± °C, S. aureus lebih banyak tumbuh dibandingkan pada suhu 4± °C. Jumlah S. aureus pada suhu 25± °C jam ke-24 hingga jam ke-72 meningkat dari 55 cfu/ 9 cm² menjadi 136 cfu/ 9 cm², sedangkan pada jam ke-72 hingga jam ke-120 terjadi penurunan dari 136 cfu/ 9 cm² menjadi 27 cfu/ 9 cm².

Hal yang sama terjadi pada suhu 4± °C, jumlah S. aureus jam ke-24 hingga jam ke-72 meningkat dari 6 cfu/ 9 cm² menjadi 64 cfu/ 9 cm² dan menurun pada jam ke-72 hingga jam ke-120.

Aplikasi Label Pada Daging Sapi

Label pendeteksi S. aureus dapat digunakan untuk jumlah pertumbuhan S.aureus pada daging segar, ikan, daging unggas, dan produk olahan daging lainnya. Label ini digunakan untuk memberikan informasi atas penurunan kualitas, aktivitas S. aureus selama penyimpanan, distribusi dan transportasi. Label diaplikasikan pada daging sapi segar seperti yang terlihat pada Gambar 17. Pengemasan yang dilakukan untuk aplikasi label ini dibuat semirip mungkin dengan kemasan daging sapi ketika dijual di supermarket. Penyimpanan dilakukan pada suhu ruang (25± °C) dan suhu dingin (4± °C) agar dapat terlihat respon yang ditunjukkan label pada saat suhu – suhu tersebut.

Gambar 17 Aplikasi label cerdas pada penyimpanan daging sapi

(36)

20

Soeparno (2005) menyatakan daging merupakan semua jaringan hewan beserta produk hasil pengolahannya yang dapat dimakan dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Daging tersusun dari jaringan ikat, epitel, jaringan – jaringan syaraf, pembuluh darah, dan lemak. Selama 24 – 36 jam pertama postmortem, proses yang dominan adalah glikolisis postmortem. Perubahan degradatif termasuk denaturasi protein dan proteolisis terjadi sebelum pH akhir karkas atau daging tercapai. Penurunan pH karkas postmortem mempunyai hubungan yang erat dengan temperatur lingkungan. Pada dasarnya, temperatur tinggi meningkatkan laju penurunan pH, sedangkan temperatur rendah menghambat laju penurunan pH.

Kualitas daging dipengaruhi oleh faktor sebelum pemotongan, saat pemotongan, dan setelah pemotongan. Faktor yang mempengaruhi kualitas daging setelah pemotongan adalah pH dan daya mengikat air pada daging. Adanya perubahan pH daging berhubungan dengan penurunan kualitas daging sehingga label cerdas ini sangat berpotensi untuk diaplikasikan pada daging segar. Gambar 18 menunjukkan perubahan pH yang terjadi pada label dan daging di suhu ruang (25 ± °C, sedangkan Gambar 19 menunjukkan perubahan pH yang terjadi pada label dan daging di suhu (4 ± °C.

Gambar 18 Perubahan pH daging dan label pada penyimpanan suhu ruang (25± °C

Gambar 19 Perubahan pH daging dan label pada penyimpanan suhu dingin (4± °C

Berdasarkan data perubahan pH tersebut, waktu penyimpanan menyebabkan pH daging semakin lama semakin menurun. Namun, setelah itu akan terjadi peningkatan nilai pH yang terjadi. Menurut Lawrie (1995), pH pascamati akan ditentukan oleh jumlah asam laktat yang dihasilkan dari glikogen selama proses

(37)

21 glikolisis anaerob. Asam laktat dihasilkan dari aktivitas S. aureus sehingga menyebabkan pH semakin lama semakin rendah. Setelah nutrisi untuk S. aureus dalam daging telah habis, maka aktivitas pertumbuhan S. aureus menurun. Pada saat proses penurunan aktivitas S. aureus, timbul mikroorganisme pembusuk seperti Pseudomonas yang menyebabkan pH daging menjadi basa.

Perubahan nilai pH pada daging akan menyebabkan perubahan nilai pH pada label. Asam organik dari pemecahan senyawa daging akan menyebabkan pH label turun dan warna label akan berubah. Perubahan nilai pH dapat dijadikan informasi pada konsumen jika daging tersebut memiliki jumlah S. aureus yang melebihi ambang batas yang dipersyaratkan.

Respon Label Terhadap Pertumbuhan S. aureus Pada Daging

Menurut Lawrie (1995), bakteri pencemar daging yang paling sering ditemukan adalah Salmonella, Shigella, Escherichia coli, Bacillus cereus, Bacillus proteus, Staphylococcus albus, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus dari feses. Clostridium botulinum yang berasal dari tanah juga dapat mencemari daging tersebut. Menurut BSN (2008), jumlah S. aureus pada daging segar yaitu maksimal 1 × cfu/g. Semakin banyak jumlah mikroba maka kualitas daging akan semakin menurun. Apabila mikroba – mikroba tersebut dikonsumsi manusia maka akan berbahaya untuk kesehatan.

Respon label terhadap pertumbuhan S. aureus pada daging bertujuan untuk mengetahui respon perubahan warna dan waktu yang dibutuhkan label dalam mendeteksi S. aureus. Pengamatan dilakukan pada dua suhu yaitu (4 ± °C dan (25 ± °C. Pengamatan respon label pada jam ke-0 dan jam ke-72 pada suhu (4 ± °C dan suhu (25 ± °C dapat dilihat pada Gambar 20. Sedangkan hasil pengamatan hingga daging mengalami pembusukan pada suhu (4 ± °C dan (25 ± °C dapat dilihat pada Lampiran 4 .

(a) (b) (c)

Gambar 20 Respon label (a) jam 0 ; (b) jam 72 suhu (4 ± 2)°C ; (c) jam ke-72 suhu (25 ± 2)°C

(38)

22

Tabel 9 Jumlah koloni S. aureus pada suhu (25 ± °C Lama

Penyimpanan (Jam)

Jumlah Koloni (× cfu/gram)

Keterangan optimum pertumbuhan S. aureus pada suhu 20-40°C. Pada suhu (4 ± °C, jumlah S. aureus sudah pada ambang batas SNI (1 × 10²) pada hari ke-2 sehingga lebih dari hari ke-2 daging sudah tidak layak konsumsi. Tabel 10 menunjukkan data jumlah koloni S. aureus pada suhu (4 ± °C).

Tabel 10 Jumlah koloni S. aureus pada suhu (4 ± 2)°C Lama

Penyimpanan (Hari)

Jumlah Koloni (× cfu/gram)

Keterangan

Hasil dari perhitungan jumlah koloni, terdapat S. aureus pada label jam ke-0 sebanyak 0,09 × cfu/gram. Hal ini dapat disebabkan keberadaan S. aureus di lingkungan sehingga dapat mengkontaminasi label secara cepat. Adanya S. aureus dapat menyebabkan perubahan warna pada label yang lebih cepat.

Respon Warna Label Cerdas Terhadap Konsentrasi Gas dalam Kemasan

(39)

23 Kerusakan daging dapat diketahui dari aroma yang tidak sedap. Menurut Lawrie (1995), bau busuk dibentuk terutama oleh organisme anaerob dengan jalan dekomposisi protein dan asam amino yang menghasilkan indole, metilamine, dan H S sedangkan bau asam terbentuk dari proses dekomposisi gula dan molekul kecil lainnya. Jensen (1987) menyatakan ada banyak tipe mikroorganisme yang menyebabkan pembusukan dengan pembentukan asam – asam lemak bebas dan pigmen kuning atau hijau. Beberapa organisme yang menyebabkan pembusukan adalah Pseudomonas, Citrobacter, Aeromonas, Salmonella, S. aureus, dan E.coli.

Produksi gas H S dapat membuat suasana asam pada media sehingga kondisi ruangan kemasan juga bersifat asam. Selain H S terdapat gas – gas lain dalam kemasan hasil pembusukan yang bersifat asam seperti SO dan CO . Tingginya konsentrasi gas mengidentifikasikan jumlah organisme penghasil asam semakin banyak. Perubahan konsentrasi gas dalam kemasan dapat dihubungkan dengan perubahan warna label yang terjadi pada label selama penyimpanan berlangsung. Hubungan antara produksiH S dalam kemasan dengan ºhue label dapat dilihat pada Gambar 21 untuk suhu (4 ± °C dan Gambar 22 untuk suhu (25 ± °C.

Gambar 21 Hubungan jumlah H S dalam kemasan dengan ºHue label pada suhu (4 ± °C

Gambar 22 Hubungan jumlah H S dalam kemasan dengan ºHue label pada suhu (25± °C

Pada suhu (4 ± °C hari ke-0, °hue menunjukkan nilai sebesar 36,16° hingga hari ke-3 nilai °hue menunjukkan 53.37°. Nilai °hue hingga hari ke-3 menunjukkan daerah kisaran warna merah. Pada hari ke-4 dan ke-5 terjadi peningkatan nilai °hue sebesar 70,31° sehingga daerah kisaran warna merah – kuning. Nilai °hue dipengaruhi juga oleh konsentrasi H S. Pada saat konsentrasi H S sekitar 0 – 1 ppm, nilai °hue 53,37°. Hal ini menunjukkan bahwa warna kromatis indikator label pada mulanya adalah merah. Semakin tinggi konsentrasi H S maka °hue semakin tinggi. Hal ini dapat dilihat ketika konsentrasi H S1,7 ppm, nilai °hue naik menjadi 70,31°.

(40)

24

Hampir sama dengan hasil pada suhu (4 ± °C, suhu (25 ± °C nilai °hue menunjukkan nilai °hue sebesar 36,16° pada jam ke-0 hingga jam ke-6 nilai °hue menunjukkan 53.86°. Nilai °hue hingga jam ke-6 menunjukkan daerah kisaran warna merah. Pada jam ke-8 hingga jam ke-24 terjadi peningkatan nilai °hue sebesar 71,58° sehingga daerah kisaran warna merah – kuning. Pada suhu (25 ± °C, nilai °hue dipengaruhi juga oleh konsentrasi H S. Pada saat konsentrasi H S sekitar 0 – 0.2 ppm, nilai °hue 53,86°. Hal ini menunjukkan bahwa warna kromatis indikator label pada mulanya adalah merah. Semakin tinggi konsentrasi H S maka °hue semakin tinggi. Hal ini dapat dilihat ketika konsentrasi H S4,4 ppm, nilai °hue naik menjadi 71,49°.

Kekerasan Daging Sapi Selama Penyimpanan

Tekstur daging merupakan salah satu indikator untuk mengetahui kekerasan dan keempukan daging. Lawrie (1995) menyebutkan bahwa struktur daging sebagian besar terdiri dari protein maskulus (aktin dan myosin) dan jaringan pengikat (kolagen dan rekulin). Selain itu, kekerasan daging juga sangat bervariasi tergantung pada spesies dan ototnya. Sehubungan dengan variasi tersebut, nilai kekerasan tidak dicantumkan sebagai salah satu parameter pada SNI daging sapi.

Nilai kekerasan ditunjukkan oleh kedalaman jarum penetrometer yang dapat masuk ke dalam sampel selama 10 detik (Iskandar 2014). Oleh karena itu, semakin dalam jarum, maka semakin tinggi nilai kekerasan yang dihasilkan. Sementara semakin dalam jarum dapat masuk, maka tekstur sampel semakin empuk. Hal tersebut menunjukkan nilai kekerasan berbanding terbalik dengan tingkat keempukan sampel. Hasil dari uji kekerasan pada suhu (4 ± °C dapat dilihat pada Gambar 23 dan Gambar 24 untuk hasil uji kekerasan suhu (25 ± °C.

Gambar 23 Nilai kekerasan daging sapi pada suhu (4 ± 2) °C

(41)
(42)

26

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, dapat disimpulkan bahwa label cerdas pendeteksi S. aureus dapat dibuat menggunakan formulasi sebagai berikut 1% agar, 1% manitol, 6% garam, 1% indikator phenol red, 0,5% tapioka, 1% kuning telur, dan 100 mL akuades. Respon label cerdas dalam mendeteksi S. aureus ditandai dengan perubahan warna dari merah menjadi kuning karena S. aureus melakukan proses fermentasi manitol menjadi asam laktat sehingga pH media turun dan menyebabkan indikator phenol red berubah warna menjadi kuning. Sensitifitas label cerdas dalam mendeteksi S. aureus sudah sangat sensitif, hal ini dapat dilihat dari perubahan warna label dalam waktu kurang dari 8jam pada suhu (25 ± °C. Perubahan warna label cerdas ditunjukkan dengan nilai L, a, b, dan ºhue yang berubah secara signifikan dengan lama penyimpanan.

Pada aplikasi daging sapi, label dapat menunjukkan hubungan antara penurunan kualitas daging dengan perubahan warna label. Daging sapi yang dilakukan penyimpanan akan mengalami peningkatan kekerasan. Selain itu, daging juga mengalami peningkatan jumlah S. aureus selama penyimpanan. Akibat meningkatnya jumlah S. aureus selama proses peningkatan, produksi H₂S juga semakin meningkat seiring dengan lamanya proses penyimpanan. Berdasarkan hasil penelitian, warna label cerdas dapat berubah sesui dengan penurunan kualitas daging sehingga label dapat digunakan untuk mendeteksi S. aureus pada daging sapi.

Saran

(43)

27

DAFTAR PUSTAKA

Badan Standarisasi Nasional. 2008. SNI 3932:2008, Mutu Karkas Dan Daging Sapi. Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.

Beishir L. 1991. Microbiology in practice: a self-instructional laboratory course. fifth edition. New York: Harper Collins Publisher Inc.

Brooks GF, Butel JS, Morse SA. 1995. Mikrobiologi kedokteran. Jawetz, Melnick dan Adelberg, ed. 20. Edi Nugroho (alih bahasa), 1996. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Buckle KA, Edward, Fleet GH, and Wooton M. 1987. Ilmu pangan. Hari Purnomo dan Adiono penerjemah. Jakarta (ID). UI Press.

Chotiah S. 2009. Cemaran Staphylococcus aureus pada daging ayam dan olahannya. Balai Besar Penelitian Veteriner. Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. 628-687.

Day BPF. 2003. Active packaging. In: Food Packaging Technologies (eds Coles R, McDowell D and Kirwan M). CRC Press, Boca Raton, USA: 282-302

Dwirianti H. 2014. Label cerdas pendeteksi Escherichia coli dari berbagai indikator warna. [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

European Commission. 2009. Commission regulation (EC) No 450/2009 of 29 May 2009 on active and intelligent materials and articles intended to come into contact with food. Official Journal of the European Union. L 135, 1- 11.

Fardiaz S. 1992. Mikrobiologi pangan I. Jakarta: Gramedia.

Hasnaedi YW. 2009. Pengembangan kemasan cerdas (smart packaging) dengan sensor berbahan dasar kitosan-asetat, polivinil alkohol, dna perwana indikator bromthymol blue sebagai pendeteksi kebusukan fillet ikan nila. [Skripsi]. Bogor (ID): Program Studi Teknologi Hasil Perikanan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Hall SW, Hardenburg RE, Pantastico EB. 1986. Pengemasan untuk konsumen dengan plastik, hal 478-480. Dalam: E.R.B. Pantastico (Ed.) Fisiologi Pasca Panen Penanganan dan Pemanfaatan Buah-buahan dan Sayur-sayuran Tropika dan Subtropika. Yogyakarta: UGM Pr.

Hong SI, Park WS. 2000. Use Of Color Indicators As An Active Packaging System For Evauating Kimchi Fermentation. J Food Eng. 46(1): 67-72.

Hutching JB. 1999. Food Color and Appearance. Second Edition. Maruland (US): Chapman Hall Food Sci.

Iskandar AYS. 2014. Label indikator besi (II) sulfat (FeSO₄) pendeteksi kebusukan daging. [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Jensen L. 1987. Modern food microbiology. Second Edition. Maruland (US): Chapman Hall Food Sci.

Johnson TR, Case CL. 1995. Laboratory experiments in microbiology. 4th ed. The Benjamin/Cummings Publishing Company, Inc. California. USA. 39 - 41, 101 - 103, 313 - 314.

(44)

28

Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Kearsley MW, Deis RC. 2006. Dasar kromatografi cair. Bandung : Penerbit ITB Kerry JP, Day BPF, Lagaron JM, Ocio MJ, Hogan SA, Taoukis PS, Pacquit K,

Crowley K, Diamond D, Butler P, et al. 2008. Smart packaging technologies. UK: John Willey & Sons Ltd.

Koswara E. 2001. Studi tentang lama simpan bakso daging sapi dengan tipe pengemasan dan tingkat suhu penyimpanan yang berbeda pada kegiatan magang di pusat inkubator agribisnis dan agroindustri. [Skripsi]. Bogor (ID): IPB Latifah N. 2014. Label indikator pendeteksi Staphylococcus aureus berbahan BPA

(Baird Parked Agar) dan egg yolk tellurite. [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Lawrie RA. 1995. Ilmu daging. Ed ke-5. Parakkasi A, penerjemah. Jakarta (ID): UI Pr.

Lestari IA. 2013. Pembuatan label cerdas pendeteksi Escherichia coli. [Skripsi]. Bogor (ID): Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

MacDougall. 2002. Colour in food: Improving quality. Washington (US): CRC Press.

MacFaddin JF. 2000. Biochemical test for identification of medical bacteria, 3rd ed. Lippincott Williams&Wilkins. Philadelphia.

Mahon CR, Lehman DC, Manuselis G. 2011. Textbook of Diagnostic Microbiology. 4th ed. Philadelphia: WB Saunders Co.

Narumi HE, Soehartono R. 1987. Studi awal pemeriksaan bakteriologis daging sapi yang dipasarkan di Kotamadya Surabaya. Surabaya (ID): Universitas Airlangga. Nofrida R, Warsiki E, Yuliasih I. 2003. Pengaruh suhu penyimpanan terhadap perubahan warna label cerdas indikator warna dari label daun erpa (Aerva sanguinolenta). Jurnal Teknologi Industri Pertanian. 23(3):232-241

Nollet LML, Toldra F. 2010. Handbook of seafood and seafood products analysis. Boca Raton: CRC Press and Taylor & Francis Group LLC.

Poedjiadi A. 2006. Dasar – dasar biokimia. Edisi Revisi. Jakarta. UI:Press

Ray B. 2004. Fundamental Food Micrbiology, Third Edition. USA: CRC Press LLC

Robetson GL. 2006. Food Packaging – Principles and Practice. Second edition. CRC Press, Boca Raton, FL, USA.

Robinson RK. 2000. Encyclopedia of food microbiology. London : Academic Pr. Soekarto ST. 1990. Penilaian organoleptic untuk industri pangan dan hasil

pertanian. Jakarta: Bharata Karya Aksara.

Soeparno. 2005. Ilmu dan teknologi daging. Yogyakarta: UGM Press

Stanier RY, Doudoroff M, Adelberg EA. 1963. The microbial world (2nd ed.). Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

Sudirman TA. 2014. Uji efektivitas ekstrak daun salam (Eugenia polyantha) terhadap pertumbuhan Staphylococcus aureus secara in vitro. [Skripsi]. Makassar (ID): Fakultas Kedokteran Gigi, Universitas Hasanuddin.

(45)

29 Prosiding Seminar Hasil – Hasil Penelitian IPB 2009, Buku 5 Sidang Teknologi dan Rekayasa Pangan, Bogor Indonesia, 22 – 23 Desember 2010.

Warsiki E, Putri CDW. 2012. Colored label indicator using natural and synteticyde. J TIP. 1 (2): 82-87.

(46)

30

LAMPIRAN

Lampiran 1 Prosedur pengujian

1. Uji Kekerasan dengan Penetrometer

Sebanyak 50 gram daging sapi disimpan didalam wadah styrofoam dan ditutup plastik wrapping. Sampel dibuat sebanyak 18 buah, 7 buah untuk suhu (4 ± °C dan 11 buah untuk suhu (25 ± °C. Proses pengujian dilakukan dengan dengan 3 titik. Prosedur pengujian kekerasan yaitu:

1. Penetrometer dihubungkan pada arus listrik dan diubah posisi switch ke ON 2. Atur posisi jarum dengan menekan tombol CLUTCH

3. Daging yang akan diuji diletakkan pada tempat yang disediakan

4. Ujung jarum diatur hingga menyentuh batas permukaan sampel dengan memutar knop

5. Tekan tombol RUN dan biarkan alat menghitung hingga 10 detik 6. Atur pengukur hingga menyentuh batas jarum

7. Nilai kekerasan tertera pada layar dengan satuan mm/10 detik. 2. Uji Total S. aureus

1. Sampel diambil dan ditimbang sebanyak 25 g secara aseptic

2. Sampel dimasukkan dalam botol yang berisi 225 ml larutan butterfield’s phosphate buffered kemudian dihomogenkan selama 2 menit ( − ) 3. Pengenceran dilakukan dengan memindahkan 1 ml larutan sebelunya ke

dalam 9 ml butterfield’s phosphate buffered selanjutnya hingga diperoleh pengenceran −

4. Sebanyak 1 ml larutan dari tabung pengencer − dipipet ke dalam cawan petri dan dilakukan secara duplo

5. Baird Parked Agar yang sudah dilarutkan dalam air dimasukkan ke dalam cawan petri secukupnya

6. Cawan petri diinkubasi selama 48jam pada suhu 37 °C

7. Koloni yang terbentuk pada cawan petri dihitung dengan menggunakan Quebec coloni counter

8. Jumlah koloni sebenarnya dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut,

∑ �

[ × � + . × � ] × dengan :

∑ C adalah jumlah koloni pada semua cawan yang dihitung � adalah jumlah cawan pada pengenceran pertama yang dihitung � adalah jumlah cawan pada pengenceran kedua yang dihitung d adalah pengenceran pertama yang dihitung

3. Uji Perubahan pH

(47)

31 pH meter. Nilai pH yang didapatkan dengan menguji sampel secara duplo. Perubahan nilai pH label cerdas yang didapatkan digunakan untuk mengetahui perubahan pH dari perubahan warna label tersebut sedangkan perubahan nilai pH daging digunakan untuk mengetahui perubahan mutu daging tersebut. 4. Uji Total S. aureus

Daging dan label disimpan seperti Gambar 3 kemudian diuji dengan BPA (Lampiran 1) setiap 4 jam sekali untuk suhu (25 ± °C dan setiap 1 hari sekali untuk suhu (4 ± °C. Pengujian dilakukan hingga pengenceran − . Jumlah total S. aureus dinyatakan dalam cfu/g.

5. Pengukuran Konsentrasi Gas – Gas dalam Kemasan

Uji konsentrasi gas dilakukan dengan menggunakan gas analyzer. Hasil aplikasi penyimpanan dibuka sedikit untuk memasukan sensor gas analyzer. Hasil pengukuran akan tertera pada panel layar dan ditunggu hingga menunjukkan nilai stabil.

6. Uji Warna Label Cerdas

Respon perubahan warna label cerdas pendeteksi S. aureus diuji setiap 24 jam sekali pada suhu (25 ± °C dan diuji setiap 2 jam sekali pada suhu (4 ± °C. Label indikator dianalisis warna (Hunter 1958) sesuai dengan prosedur pengujian sebagai berikut:

1. Sampel diletakkan dibawah sensor warna

2. Tekan tombol power untuk menyalakan colorimeter

3. Tekan tombol SCAN warna hijau untuk memulai perhitungan 4. Pada layar akan muncul nilai L, a dan b

5. Nilai °hue kemudian dihitung dengan rumus sebagai berikut, a. °ℎ = ��−

6. Penentuan daerah kisaran warna kromatis visual dilakukan dengan menghubungkan nilai °hue pada tabel berikut

Tabel 11 Nilai °hue dan daerah kisaran warna kromatis (Hutchings 1999)

Niai °hue Daerah kisaran warna

(48)

32

Lampiran 2 Hasil pengaruh konsentrasi garam pada label Waktu

(jam)

R1 R2 R3

0

6

15

24

33

(49)

33

Lampiran 3 Jumlah koloni pada sensitifitas suhu penyimpanan Lama

Pengamata n (jam)

∑ Koloni Gambar

4 ºC 25 ºC 4 ºC 25 ºC

0 0 0

24 9 55

48 27 64

72 64 136

96 45 73

(50)

34

Lampiran 4 Hasil pengamatan daging mengalami pembusukan pada suhu (4 ± 2) °C dan (25 ± 2) °C

Suhu Ruang ((25 ± °C) Waktu

Pengamatan (Jam

Jumlah Koloni (× cfu/gram)

Gambar

Daging Label

0 0.50 0.09

2 0.68 0.31

4 0.72 0.45

6 0.95 0.86

8 2.45 2.13

12 16.86 10.77

16 750.00 436.36

20 909.09 659.09

24 1595.45 1422.72

48 709.09 550.00

(51)

35 Lampiran 5 Hasil pengamatan daging mengalami pembusukan pada suhu (4 ± 2) °C

dan (25 ± 2) °C (lanjutan) Suhu Dingin ((4 ± °C)

Waktu Pengamatan

(Hari)

Jumlah Koloni (× cfu/gram)

Gambar

Daging Label

0 0.50 0.09

1 0.59 0.31

2 0.90 0.95

3 3.63 1.36

4 68.18 34.54

5 1600.00 1318.18

6 822.72 645.45

(52)

36

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Ria Octavia yang dilahirkan di Bandung pada tanggal 21 Oktober 1993 merupakan anak kedua dari dua bersaudara. Orang tua penulis bernama Totok Sujono (ayah) dan Sri Katon (ibu). Pendidikan formal penulis dimulai di TK Angkasa I (1995-1997), SD Angkasa III (1997-2005), SMP Negeri 26 Bandung (2005-2008), SMA Negeri 9 Bandung (2008-2011), dan pada tahun yang sama penulis masuk Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Petanian.

Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam beberapa organisasi dan perkuliahan. Penulis aktif dalam berbagai kegiatan seperti menjadi asisten praktikum Bioproses dan asisten praktikum Bioindustri pada tahun 2014. Penulis juga aktif dalam organisasi yaitu pernah menjadi sekertaris II Paguyuban Mahasiswa Bandung (PAMAUNG) Periode 2012-2013, pernah menjadi wakil bendahara di Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN) Periode 2012-2013, dan pernah menjadi bendahara di Himpunan Mahasiswa Teknologi Industri (HIMALOGIN) Periode 2013-2014. Kepanitiaan yang pernah diikuti oleh penulis yaitu One Day Technopreneurship Workshop (One Step RAMP IPB) sebagai staf Publikasi pada tahun 2012, Fateta Art Contest (FAC) sebagai staf Publikasi pada tahun 2013, Hari Warga Industri (Hagatri) Masa Perkenalan Departemen Teknologi Industri Pertanian tahun 2013 sebagai Tim Kreatif, dan Agroindustrial Fair sebagai staf Dana Usaha pada tahun 2013.

Gambar

Tabel 1 Contoh indikator eksternal, internal, dan prinsip kerja dalam kemasan
Gambar 5  Diagram alir pembuatan label
Tabel 7  Nilai L, a, b, dan °Hue label terhadap lama penyimpanan
Gambar 13 Nilai b label selama penyimpanan
+7

Referensi

Dokumen terkait