• Tidak ada hasil yang ditemukan

Label Cerdas

Pada penelitian ini, pemilihan bahan pembuat label dilakukan sebagai penelitian pendahuluan. Pemilihan bahan ini bertujuan untuk mendapatkan bahan pembuat label terbaik yang dapat mendeteksi S. aureus, sehingga label tersebut dapat digunakan sebagai label indikator pendeteksi S. aureus. Menurut Lestari (2013), bahan pembuat label indikator yaitu agar bubuk, tapioka, gliserol, dan Cling film PVC

Styrofoam Daging

Label Cerdas

11 EMB. Bahan – bahan tersebut dapat menghasilkan sifat fisik label yang lebih baik dan sensitif terhadap pertumbuhan E. coli. Pada penelitian ini dilakukan modifikasi pada bahan pembuat label indikator, yaitu penambahan garam, indikator phenol red, dan kuning telur serta mengganti gliserol dengan manitol dan sorbitol.

Menurut Ray (2004), S. aureus merupakan bakteri gram positif dan berbentuk bulat dengan ukuran 0.8 – 1.0 mm dengan diameter 0.7 - 0.9 mikron. S. aureus merupakan bakteri halofilik sedang dengan kebutuhan garam untuk pertumbuhan optimum S. aureus sekitar 5 – 20%. Oleh karena itu dilakukan penambahan garam dalam pembuatan label pendeteksi S. aureus. Penambahan garam bertujuan untuk menghambat pertumbuhan mikroorganisme lain didalam label karena hanya beberapa organisme yang dapat tumbuh pada konsentrasi garam tinggi.

Pada pertumbuhan S. aureus dibutuhkan juga sumber karbon. Sumber karbon yang ditambahkan pada pembutan label ini adalah gula. Menurut Sudirman (2014), S. aureus dapat memfermentasi gula dan menghasilkan asam laktat. Asam laktat hasil fermentasi tersebut akan dideteksi oleh indikator warna phenol red sehingga terjadi perubahan warna dalam label. Menurut MacFaddin (2000), pada suasana netral dengan pH 7,4 indikator phenol red menghasilkan warna merah sedangkan pada suasana asam dengan pH 6,8 akan berubah menjadi kuning. Gambar 8 menunjukkan perubahan warna pada indikator phenol red.

(a) (b) (c)

Gambar 8 Perubahan warna phenol red pada pH (a) 12 ; (b) 6 ; (c) 3 Dari hasil pengamatan, perubahan warna indikator phenol red diikuti dengan adanya perubahan pH. Warna menunjukkan transisi bertahap dari merah ke kuning selama rentang pH 12 – 3. Diatas pH 8, phenol red memperlihatkan warna merah keunguan, sedangkan dibawah pH 6, phenol red berubah menjadi warna kuning. Berikut adalah gambar batas pH dari indikator warna phenol red.

Phenol red akan berubah warna menjadi kuning apabila mikroba memproduksi asam organik saat mensintesis gula. Asam organik akan membuat pH label turun sehingga warna label mengalami perubahan. Narumi dan Soehartojo (1987) menyatakan bahwa S. aureus dapat memfermentasi gula seperti glukosa, manitol, laktosa, gliserol, sorbitol, dan sukrosa dengan baik, memfermentasi karbohidrat dengan lambat, serta tidak memfermentasi salicin, rafinosa, dan inulin. Oleh karena itu, dipilih manitol, gliserol, dan sorbitol sebagai gula untuk sumber fermentasi S. aureus.

pH 7,2 pH 6,8

12

Perbedaan jenis gula yang ditambahkan pada larutan pembuat label tidak memperlihatkan warna awal label yang signifikan. Namun demikian, setelah diinkubasi ada beberapa perbedaan sensitifitas ketika label mendeteksi pertumbuhan S. aureus. Adanya pertumbuhan S. aureus ditandai dengan adanya perubahan warna dari merah menjadi kuning. Dari penelitian ini, hasil uji sensitifitas label terhadap S. aureus dengan berbagai macam gula yang ditambahkan ditunjukkan pada Tabel 5.

Tabel 5 Hasil uji sensitifitas terhadap pertumbuhan S. aureus Bahan Sebelum Uji Setelah Uji Keterangan

Manitol +++

Sorbitol ++

Gliserol +

Keterangan : +++ : Perubahan warna terjadi pada jam ke-16

++ : Perubahan warna terjadi pada jam ke-24

+ : Pertumbuhan S. aureus kurang baik dan perubahan warna terjadi lebih

dari jam ke-24

Dari tabel 5 terlihat bahwa manitol difermentasi sempurna oleh S. aureus dan memproduksi asam laktat. Asam laktat ini menurunkan pH label dari 7.4 menjadi 6.3 dan merubah warna indikator phenol red dari merah menjadi kuning. Terlihat dari hasil uji bahwa perubahan warna yang ditunjukkan oleh label berbahan manitol terlihat lebih signifikan dibandingkan label berbahan sorbitol dan gliserol. Hal ini sesuai dengan Johnson dan Case (1995) yang menjelaskan bahwa bakteri Staphylococcus aureus dapat menghasilkan enzim koagulase atau bersifat koagulase positif dan dapat memfermentasi manitol. Oleh karena itu, manitol dipilih sebagai sumber gula untuk proses fermentasi oleh S. aureus.

Konsentrasi Garam Terbaik

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Warsiki et al (2010), formula label terbaik terbuat dari 0,5% tapioka dan 1% gliserol. Dari hasil penelitian pendahuluan, manitol merupakan gula terbaik untuk pembuatan label. Menurut Johnson dan Case (1995), manitol merupakan media differensial yang cocok untuk membedakan S. aureus dengan bakteri Staphylococcus lainnya sedangkan gliserol merupakan media umum yang dapat difermentasikan oleh bakteri gram negatif maupun positif. Oleh karena itu, penambahan manitol dilakukan sebagai substitutor gliserol.

13 Menurut Lestari (2013), bahan pembuat label yaitu dibutuhkan 2% agar bubuk yang memiliki nilai � (activity water) dibawah 0,83 agar karakteristik fisik mekanis label menjadi lebih baik. Dalam hal ini, S. aureus membutuhkan nilai �minimal 0,83 untuk melakukan pertumbuhan sehingga konsentrasi agar bubuk diturunkan menjadi 1%. Sedangkan penambahan konsentrasi garam belum diketahui sehingga dilakukan penelitian ini untuk mendapatkan konsentrasi dari garam tersebut.

Garam dapat berfungsi sebagai penghambat pertumbuhan mikroorganisme pathogen lain selain S. aureus karena hanya mikroorganisme tertentu yang dapat tumbuh pada media dengan konsentrasi garam tinggi. Menurut Ray (2004) garam yang dibutuhkan oleh S. aureus antara 5 – 10%, dan dalam penelitian ini garam yang ditambahkan adalah 6 - 8%. Tabel 6 menunjukkan respon pertumbuhan S. aureus pada jam ke-24 dari berbagai konsentrasi garam. Sedangkan gambar hasil pengaruh konsentrasi garam pada label dapat dilihat pada Lampiran 2.

Tabel 6 Respon pertumbuhan S. aureus pada jam ke - 24 dari berbagai formula Kode Konsentrasi

Garam (%)

Keterangan Sebelum Uji Setelah Uji

G6 6 +++

G7 7 ++

G8 8 +

Keterangan : +++ : Pertumbuhan S. aureus sangat baik dan terjadi perubahan warna yang

signifikan

++ : Pertumbuhan S. aureus baik tetapi perubahan warna lambat dan kurang

signifikan

+ : Pertumbuhan S. aureus kurang baik dan tidak terjadi perubahan warna

yang signifikan

Kode formula G6 dengan konsentrasi garam 6% memiliki hasil terbaik dengan perubahan warna label yang jelas. Selain perbedaan warna, waktu mendeteksi S. aureus lebih cepat dibandingkan formula lainnya Pada jam ke-12, warna label terlihat berbeda nyata dari kontrol (sebelum uji). Selain itu, terjadi perbedaan warna antara kontrol (sebelum uji) dengan label setelah uji. Semakin banyak konsentrasi garam yang ditambahkan, warna label akan semakin kurang merah karena garam dalam medium dapat menjernihkan kuning telur sehingga warna merah akan semakin memudar.

14

Nilai Chroma Label

Pada penyimpanan suhu ruang (25±2) °C, label mengalami perubahan warna dari merah menjadi kuning dalam waktu 24 jam. Hasil uji yang dilakukan, warna label secara visual menunjukkan degradasi warna dari merah, merah kekuningan, dan akhirnya kuning (Gambar 10). Warna merah menunjukkan bahwa S. aureus belum tumbuh pada label dan seiring dengan lama penyimpanan, warna label berubah karena adanya S. aureus. Meningkatnya jumlah S. aureus pada label menyebabkan manitol dalam label difermentasi oleh S. aureus dan menghasilkan asam laktat. Asam laktat ini yang menyebabkan pH label turun dan warna indikator menjadi kuning. Perubahan warna pada label ini akan menentukan kelayakan label untuk digunakan sebagai media informasi. Perubahan warna yang signifikan akan semakin mudah untuk menginformasikan kondisi produk yang dikemas.

Gambar 10 Perubahan visual warna label selama penyimpanan: (a) merah; (b) merah kekuningan; (c) kuning

Label yang disimpan pada suhu ruang ruang (25±2) °C, secara visual berubah dari warna merah menjadi kekuningan dalam waktu kurang dari 24 jam dan terjadi perubahan warna menjadi kuning setelah disimpan selama 16 jam. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Ray (2004),S. aureus membutuhkan waktu untuk melakukan pembelahan yaitu 0,47jam sehingga pada jam ke-16 jumlah S. aureus semakin meningkat. Dari hasil pengamatan warna secara visual, perubahan warna kemudian dianalisis menjadi empat parameter warna yaitu tingkat kecerahan, parameter kemerahan, parameter kekuningan, dan °hue. Nilai dari keempat parameter tersebut ditunjukkan pada Tabel 7.

Tabel 7 Nilai L, a, b, dan °Hue label terhadap lama penyimpanan Jam

ke -

Nilai Perubahan Warna

Foto L a b °Hue 0 57.12 32.41 24.16 36.71 4 59.48 28.76 24.54 40.47 8 61.15 27.99 25.07 41.84 12 61.84 23.73 32.01 53.45 16 62.83 23.53 34.72 55.87 20 63.24 13.07 36.75 70.43 24 66.83 12.72 37.90 71.45

0 Jam 4 Jam 8 Jam 12 Jam 16 Jam 20 Jam 24 Jam

15

Nilai L

Nilai L (lightness) menyatakan cahaya pantul yang menghasilkan warna akromatik putih, abu – abu, dan hitam. Interval skala nilai L berkisar antai 0 - 100. Semakin tinggi nilai L maka sampel bisa diartikan memiliki warna yang semakin terang. Grafik nilai L pada perubahan warna label dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11 Nilai L label selama penyimpanan

Dari hasil analisis warna yang ditunjukkan pada Gambar 11 diketahui bahwa parameter kecerahan L yang diukur mengalami peningkatan seiring lama waktu penyimpanan. Peningkatan nilai L dari 57,27 pada jam ke-0 menjadi 66,76 pada jam ke-24. Penelitian yang mirip juga dilakukan oleh Hong dan Park (2000), perubahan warna indikator methyl red dari orange menjadi merah dan terjadi penurunan nilai L. Pergerakan nilai L pada penelitian ini berbanding terbalik dengan penelitian Hong dan Park (2000), karena perubahan warna phenol red juga berbanding terbalik yaitu dari merah menjadi kuning. Dari data yang diperoleh dapat digambarkan bahwa semakin lama penyimpanan maka semakin banyak bakteri yang tumbuh dan warna berubah dari merah menjadi kuning sehingga nilai L semakin meningkat.

Nilai a

Nilai a (redness) mengidentifikasikan intensitas kemerahan pada label cerdas. Menurut Nofrida (2013), nilai a positif (+ a) menunjukkan sampel memiliki derajat kemerahan, sedangkan nilai a negatif (- a) menunjukkan sampel memiliki derajat kehijauan. Phenol red merupakan indikator warna yang memiliki nilai a positif. Hal ini dapat dibuktikan dari pengujian nilai a pada label cerdas, indikator warna yang dihasilkan berada pada kisaran nilai a positif (+ a) yang berarti label cerdas indikator phenol red berada pada kisaran warna merah. Grafik nilai a pada perubahan warna label cerdas dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12 Nilai a label selama penyimpanan y = 0.3423x + 57.673 R² = 0.9347 0 20 40 60 80 0 4 8 12 16 20 24 Nilai L

Lama Penyimpanan (Jam)

Nilai L Linear (Nilai L) y = -0.8474x + 33.34 R² = 0.9151 0 10 20 30 40 0 4 8 12 16 20 24 Nilai a

Lama Penyimpanan (Jam)

Nilai a Linear (Nilai a)

16

Menurut Nofrida (2013), nilai a akan meningkat ketika warna sampel menjadi kemerahan dan akan menurun ketika warna sampel menjadi kekuningan. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian ini. Pada penelitian ini, nilai a pada perubahan warna label cerdas turun dari 32,41 pada jam ke-0 menjadi 12,72 pada jam ke- 24. Penurunan nilai a menunjukkan terjadinya penurunan derajat kemerahan. Penurunan pada nilai a dapat dilihat secara visual bahwa label cerdas berubah warna dari merah menjadi kekuningan. Penurunan nilai a ini juga sejalan dengan Warsiki dan Putri (2012), dimana terjadi penurunan nilai a pada label pendeteksi kerusakan buah potong dari merah menjadi merah muda, sedangkan Hong dan Park (2000) menemukan terjadi kenaikan nilai a pada perubahan warna indikator methyl red dari orange menjadi merah.

Nilai b

Nilai b (yellowness) mengidentifikasikan intesitas warna kekuningan pada sampel. Menurut Nofrida (2013), nilai b positif (+b) menunjukkan sampel memiliki derajat kekuningan, sedangkan nilai b negatif (-b) menunjukkan sampel memiliki derajat kebiruan. Label cerdas ini memiliki nilai b positif (+b). Hal ini terbukti dari pengujian perubahan warna, nilai b pada sampel menunjukkan positif dan tidak ada yang menunjukkan nilai negatif. Grafik nilai b pada perubahan warna label cerdas dapat dilihat pada Gambar 13.

Gambar 13 Nilai b label selama penyimpanan

Dari hasil uji nilai b, terjadi peningkatan nilai selama penyimpanan. Pada perubahan label cerdas didapatkan nilai b yang meningkat dari nilai 24,16 pada jam ke-0 menjadi 37,90 pada jam ke-24. Secara umum rata – rata nilai b (derajat kekuningan) label cerdas semakin lama semakin meningkat. Hal ini menunjukkan bahwa derajat kekuningan pada label cerdas berubah kearah positif. Perubahan ini terlihat juga secara visual, perubahan label berubah dari merah menjadi kuning sehingga nilai b (yellowness) meningkat.

Nilai °Hue

Setelah mendapatkan nilai a dan nilai b, dapat ditentukan nilai °hue dari nilai invers tangen dari perbandingan nilai b dan nilai a sesuai dengan Lampiran 1. Nilai °hue menunjukkan derajat warna yang dilihat oleh indra penglihatan. MacDougall (2002) menyatakan nilai °hue merupakan gambaran dari sumbu 360°

y = 0.6723x + 22.665 R² = 0.9256 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40 0 4 8 12 16 20 24 Nilai b

Lama penyimpanan (Jam)

Nilai b Linear (Nilai b)

17 di mana daerah kuadran 1 menunjukkan warna kemerahan, daerah kuadran 2 menunjukkan warna kuning hijau, daerah kuadran 3 menunjukkan warna hijau biru, dan daerah kuadran 4 menunjukkan warna ungu. Grafik perubahan nilai °hue dapat dilihat pada Gambar 14.

Gambar 14 Nilai °hue label selama penyimpanan

Dari hasil uji nilai °hue yang didapatkan terhadap lama penyimpanan, maka dapat diketahui warna kromatik visual yang terlihat oleh indera penglihatan. Pada jam ke-0, °hue menunjukkan nilai °hue sebesar 36,71° hingga jam ke-12 nilai °hue menunjukkan 53,45°. Nilai °hue hingga jam ke-12 menunjukkan daerah kisaran warna merah. Pada jam jam ke-24 menunjukkan nilai °hue sebesar 71,45° sehingga daerah kisaran warna kuning – merah.

Pengemasan Label

Pengemasan adalah suatu perlakuan pengamanan terhadap produk, baik yang belum maupun sudah mengalami pengolahan hingga sampai ke tangan konsumen. Label cerdas pun membutuhkan pengemasan agar tidak terkontaminasi dengan kotoran dan pencemaran lainnya. Bahan kemasan yang digunakan untuk mengemas label cerdas yaitu plastik LDPE dan cling film PVC. Kedua bahan pengemas ini dipilih karena memiliki sifat permeabilitas yang tinggi, warna yang transparan, bersifat lentur, dan mempunyai pori – pori yang lebih besar dari S. aureus.

Pada penelitian ini, label dikemas dengan plastik LDPE dan cling film PVC, kemudian diuji sensitifitas label terkemas terhadap aktivitas S. aureus. Penampakan label indikator dapat dilihat pada Gambar 15. Sedangkan Tabel 8 menunjukkan hasil uji sensitifitas label cerdas yang telah dikemas.

(a) (b)

Gambar 15 Label dikemas dengan plastik (a) LDPE ; (b) cling PVC y = 1.5908x + 33.797 R² = 0.9453 20 30 40 50 60 70 80 0 4 8 12 16 20 24 Nilai ° Hu e

Lama penyimpanan (Jam)

°Hue Linear (°Hue)

18

Tabel 8 Uji sensitifitas label cerdas yang dikemas Waktu

Pengamatan (Jam)

Respon Kemasan

LDPE Cling Film

PVC LDPE Cling Film PVC 0 - - 4 + + 16 ++ ++ 20 ++ ++ 24 ++ ++ 48 ++ ++

Dari hasil uji,terlihat sensitifitas label yang dikemas dengan plastik LDPE dan cling film PVCmemiliki sensitifitas yang sama dan perubahan warna yang terjadi hampir terlihat sama. Joseph (1984) menyatakan bahwa plastik LDPE dan cling film PVC memiliki tingkat permeabilitas yang tinggi dengan laju uap air yang rendah sehingga kedua plastik ini merupakan kemasan terbaik sebagai pengemas label. Namun secara teknik dan penampilan label, plastik LDPE terlihat lebih mudah dan lebih baik dibandingkan label dengan kemasan cling film PVC. Oleh karena itu, plastik LDPE digunakan untuk mengemas label cerdas.

Sensitifitas Label Terhadap Suhu Penyimpanan

Label cerdas terbaik yang dibuat adalah label manitol dengan konsentrasi garam 6%. Label tersebut dapat berubah warna setelah diinkubasi dalam cawan selama 12 jam. Dari formula label terbaik, kemudian dilakukan uji sensitifitas label cerdas pada suhu penyimpanan. Uji sensitifitas label pada suhu penyimpanan perlu dilakukan untuk mengetahui sensitifitas label dalam mendeteksi S. aureus pada berbagai suhu penyimpanan. Selain itu, uji sensitifitas ini bertujuan untuk mengetahui waktu yang dibutuhkan oleh label untuk berubah warna saat mendeteksi S. aureus. Suhu (4 ± °C dan (25 ± °C pada umumnya masyarakat terbiasa menyimpan makanan pada suhu – suhu tersebut.

Menurut Fardiaz (1992) S. aureus merupakan bakteri mesofil yang dapat hidup pada suhu 10 – 45°C. Namun, Sudirman (2014) menyatakan bahwa Staphylococcus aureus tumbuh optimum pada suhu 37°C, tetapi pigmen paling optimum terbentuk pada suhu kamar (20 - 25°C). Pada umumnya, masyarakat menyimpan makanan pada refrigerator untuk memperpanjang umur simpan makanan tersebut. Suhu (4 ± °C merupakan suhu refrigerator yang dapat

19 menghambat pertumbuhan mikroorganisme pembusuk dan mencegah hampir semua bakteri pathogen (Koswara 2001). Data pertumbuhan koloni S. aureus pada uji ini ditunjukkan pada Lampiran 3. Grafik pertumbuhan koloni pada dua suhu yaitu (4 ± °C dan (25 ± °C ditunjukkan pada Gambar 16.

Gambar 16 Grafik pertumbuhan S. aureus

Pada suhu 25± °C, S. aureus lebih banyak tumbuh dibandingkan pada suhu 4± °C. Jumlah S. aureus pada suhu 25± °C jam ke-24 hingga jam ke-72 meningkat dari 55 cfu/ 9 cm² menjadi 136 cfu/ 9 cm², sedangkan pada jam ke-72 hingga jam ke-120 terjadi penurunan dari 136 cfu/ 9 cm² menjadi 27 cfu/ 9 cm².

Hal yang sama terjadi pada suhu 4± °C, jumlah S. aureus jam ke-24 hingga jam ke-72 meningkat dari 6 cfu/ 9 cm² menjadi 64 cfu/ 9 cm² dan menurun pada jam ke-72 hingga jam ke-120.

Aplikasi Label Pada Daging Sapi

Label pendeteksi S. aureus dapat digunakan untuk jumlah pertumbuhan S.aureus pada daging segar, ikan, daging unggas, dan produk olahan daging lainnya. Label ini digunakan untuk memberikan informasi atas penurunan kualitas, aktivitas S. aureus selama penyimpanan, distribusi dan transportasi. Label diaplikasikan pada daging sapi segar seperti yang terlihat pada Gambar 17. Pengemasan yang dilakukan untuk aplikasi label ini dibuat semirip mungkin dengan kemasan daging sapi ketika dijual di supermarket. Penyimpanan dilakukan pada suhu ruang (25± °C) dan suhu dingin (4± °C) agar dapat terlihat respon yang ditunjukkan label pada saat suhu – suhu tersebut.

Gambar 17 Aplikasi label cerdas pada penyimpanan daging sapi

0 50 100 150 0 2 4 4 8 7 2 9 6 1 2 0 Ju m lah k o lo n i c fu / 9 cm ²

Lama penyimpanan (jam)

4 ºC 25 ºC Styrofoam Daging Segar Label Cerdas Cling film PVC

20

Soeparno (2005) menyatakan daging merupakan semua jaringan hewan beserta produk hasil pengolahannya yang dapat dimakan dan tidak menimbulkan gangguan kesehatan bagi yang memakannya. Daging tersusun dari jaringan ikat, epitel, jaringan – jaringan syaraf, pembuluh darah, dan lemak. Selama 24 – 36 jam pertama postmortem, proses yang dominan adalah glikolisis postmortem. Perubahan degradatif termasuk denaturasi protein dan proteolisis terjadi sebelum pH akhir karkas atau daging tercapai. Penurunan pH karkas postmortem mempunyai hubungan yang erat dengan temperatur lingkungan. Pada dasarnya, temperatur tinggi meningkatkan laju penurunan pH, sedangkan temperatur rendah menghambat laju penurunan pH.

Kualitas daging dipengaruhi oleh faktor sebelum pemotongan, saat pemotongan, dan setelah pemotongan. Faktor yang mempengaruhi kualitas daging setelah pemotongan adalah pH dan daya mengikat air pada daging. Adanya perubahan pH daging berhubungan dengan penurunan kualitas daging sehingga label cerdas ini sangat berpotensi untuk diaplikasikan pada daging segar. Gambar 18 menunjukkan perubahan pH yang terjadi pada label dan daging di suhu ruang (25 ± °C, sedangkan Gambar 19 menunjukkan perubahan pH yang terjadi pada label dan daging di suhu (4 ± °C.

Gambar 18 Perubahan pH daging dan label pada penyimpanan suhu ruang (25± °C

Gambar 19 Perubahan pH daging dan label pada penyimpanan suhu dingin (4± °C

Berdasarkan data perubahan pH tersebut, waktu penyimpanan menyebabkan pH daging semakin lama semakin menurun. Namun, setelah itu akan terjadi peningkatan nilai pH yang terjadi. Menurut Lawrie (1995), pH pascamati akan ditentukan oleh jumlah asam laktat yang dihasilkan dari glikogen selama proses

1 3 5 7 9 0 2 4 6 8 10 12 16 20 22 24 48 72 pH

Lama Penyimpanan (Jam)

pH daging pH label 0 2 4 6 8 10 0 1 2 3 4 5 6 7 pH

Lama Penyimpanan (Hari)

21 glikolisis anaerob. Asam laktat dihasilkan dari aktivitas S. aureus sehingga menyebabkan pH semakin lama semakin rendah. Setelah nutrisi untuk S. aureus dalam daging telah habis, maka aktivitas pertumbuhan S. aureus menurun. Pada saat proses penurunan aktivitas S. aureus, timbul mikroorganisme pembusuk seperti Pseudomonas yang menyebabkan pH daging menjadi basa.

Perubahan nilai pH pada daging akan menyebabkan perubahan nilai pH pada label. Asam organik dari pemecahan senyawa daging akan menyebabkan pH label turun dan warna label akan berubah. Perubahan nilai pH dapat dijadikan informasi pada konsumen jika daging tersebut memiliki jumlah S. aureus yang melebihi ambang batas yang dipersyaratkan.

Respon Label Terhadap Pertumbuhan S. aureus Pada Daging

Menurut Lawrie (1995), bakteri pencemar daging yang paling sering ditemukan adalah Salmonella, Shigella, Escherichia coli, Bacillus cereus, Bacillus proteus, Staphylococcus albus, Staphylococcus aureus, dan Streptococcus dari feses. Clostridium botulinum yang berasal dari tanah juga dapat mencemari daging tersebut. Menurut BSN (2008), jumlah S. aureus pada daging segar yaitu maksimal 1 × cfu/g. Semakin banyak jumlah mikroba maka kualitas daging akan semakin menurun. Apabila mikroba – mikroba tersebut dikonsumsi manusia maka akan berbahaya untuk kesehatan.

Respon label terhadap pertumbuhan S. aureus pada daging bertujuan untuk mengetahui respon perubahan warna dan waktu yang dibutuhkan label dalam mendeteksi S. aureus. Pengamatan dilakukan pada dua suhu yaitu (4 ± °C dan (25 ± °C. Pengamatan respon label pada jam ke-0 dan jam ke-72 pada suhu (4 ± °C dan suhu (25 ± °C dapat dilihat pada Gambar 20. Sedangkan hasil pengamatan hingga daging mengalami pembusukan pada suhu (4 ± °C dan (25 ± °C dapat dilihat pada Lampiran 4 .

(a) (b) (c)

Gambar 20 Respon label (a) jam 0 ; (b) jam 72 suhu (4 ± 2)°C ; (c) jam ke-72 suhu (25 ± 2)°C

Daging segar memiliki jumlah koloni S. aureus sebanyak 50 cfu/gram dan pada label jam ke-0 memiliki jumlah koloni S. aureus sebanyak 9 cfu/gram. Data jumlah koloni S. aureus pada suhu (25 ± °C dapat dilihat pada Tabel 9. Dari hasil pengamatan pada suhu (25 ± °C, pada jam ke-6 jumlah koloni S. aureus sudah dalam ambang batas SNI (1 × 10² cfu/g) sehingga lebih dari jam ke-6 jumlah koloni sudah melebihi batas SNI dan daging tidak layak dikonsumsi. Jumlah S.aureus ini terus meningkat hingga jam ke-24, dan setelah itu jumlah S. aureus menurun. Penurunan terjadi karena nutrisi metabolisme sel dalam media semakin sedikit sehingga sel mengalami kematian sedikit demi sedikit.

22

Tabel 9 Jumlah koloni S. aureus pada suhu (25 ± °C Lama

Penyimpanan (Jam)

Jumlah Koloni (× cfu/gram)

Keterangan

Daging Label

0 0.50 0.09 Masih dalam batas

SNI

2 0.68 0.31

4 0.72 0.45

6 0.95 0.86

8 2.45 2.13 Sudah tidak layak

konsumsi karena S. aureus melebihi batas SNI 12 16.86 10.77 16 750.00 436.36 20 909.09 659.09 24 1595.45 1422.72 48 709.09 550.00 72 113.63 81.81

Proses pembusukan daging pada suhu (4 ± °C memerlukan waktu lebih lama dibandingkan pada suhu (25 ± °C. Menurut Fardiaz (1992), S. aureus merupakan bakteri mesofil yang dapat hidup pada suhu 10 – 45°C dan suhu optimum pertumbuhan S. aureus pada suhu 20-40°C. Pada suhu (4 ± °C, jumlah S. aureus sudah pada ambang batas SNI (1 × 10²) pada hari ke-2 sehingga lebih dari hari ke-2 daging sudah tidak layak konsumsi. Tabel 10 menunjukkan data jumlah koloni S. aureus pada suhu (4 ± °C).

Tabel 10 Jumlah koloni S. aureus pada suhu (4 ± 2)°C Lama

Penyimpanan (Hari)

Jumlah Koloni (× cfu/gram)

Keterangan

Daging Label

0 0.50 0.09 Masih dalam Batas

SNI

1 0.59 0.31

2 0.90 0.95

3 3.63 1.36 Sudah tidak layak

konsumsi karena S. aureus melebihi batas SNI 4 68.18 34.54 5 1600.00 1318.18 6 822.72 645.45 7 386.36 322.72

Hasil dari perhitungan jumlah koloni, terdapat S. aureus pada label jam ke-0 sebanyak 0,09 × cfu/gram. Hal ini dapat disebabkan keberadaan S. aureus di

Dokumen terkait