• Tidak ada hasil yang ditemukan

Efektivitas Anestesi Berulang Ketamin Pada Landak Mini (Atelerix Albiventris)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Efektivitas Anestesi Berulang Ketamin Pada Landak Mini (Atelerix Albiventris)"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

EFEKTIVITAS ANESTESI BERULANG KETAMIN PADA

LANDAK MINI (

Atelerix albiventris)

INTAN MARIA PARAMITA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Efektivitas Anestesi Berulang Ketamin pada Landak Mini (Atelerix albiventris) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, September 2015

Intan Maria Paramita

(4)
(5)

ABSTRAK

INTAN MARIA PARAMITA. Efektivitas Anestesi Berulang Ketamin pada Landak Mini (Atelerix albiventris). Dibimbing oleh RIKI SISWANDI dan HUDA SHALAHUDIN DARUSMAN.

Penelitan ini bertujuan untuk menerangkan hasil evaluasi anestesi berulang dilihat dari parameter onset, durasi serta tahapan anestesi pada landak mini (Atelerix albiventris) dengan menggunakan ketamin intramuskular. Empat ekor landak mini (Atelerix albiventris) dianestesi dengan ketamin dosis 80 mg/kg BB di m. gluteus. Pengulangan injeksi dilakukan dengan penyuntikan anestesi berulang tiga kali dengan selang waktu empat hari. Hasil menunjukkan bahwa penggunaan ketamin pada landak mini memiliki onset 3 menit 53 detik ± 57 detik, dengan durasi anestesi 13 menit 52 detik ± 58 detik dan waktu pemulihan 30 menit 48 detik ± 6 menit 8 detik. Ketamin berulang menunjukkan kecenderungan percepatan onset, peningkatan durasi dan waktu pemulihan. Pengulangan mengakibatkan durasi anestesi menjadi lebih lama secara signifikan pada pengulangan pertama dan ketiga (P<0.05). Waktu pemulihan menjadi lebih lama seiring dengan dilakukan pengulangan namun tidak berbeda nyata. Pengulangan memengaruhi beberapa gejala klinis menjadi lebih cepat terjadi baik periode induksi maupun pemulihan. Refleks okular menunjukkan refleks yang berbeda beda yang ditandai dengan penekanan refleks pupil di semua individu namun penekanan refleks kornea dan palpebra hanya pada setengah total individu. Ketamin memiliki efek samping menyebabkan hipersalivasi dan peningkatan tonus otot sehingga diperlukan penggunaan premedikasi dan kombinasi obat.

(6)

ABSTRACT

INTAN MARIA PARAMITA. The Effectiveness of Ketamin Repeated Anaesthesia in African Pigmy Hedgehog (Atelerix albiventris). Supervised by RIKI SISWANDI and HUDA SHALAHUDIN DARUSMAN.

The aim of this research was to explain the result of repeated anaethesia evaluation using onset, duration and observed clinical signs in African pigmy hedgehog (Atelerix albiventris) using intramuscular ketamine. Four hedgehogs (Atelerix albiventris) were anaesthetized using 80 mg/kg ketamine in musculus gluteus. Repeat anesthesia was done by injecting ketamine three times at intervals of four days. The result showed that the used of ketamine in hedgehog had 3 minutes 53 seconds ± 57 seconds in onset, the duration of anaethesia was 13 minutes 52 seconds ± 58 seconds and recovery time was 30 minutes 48 seconds ± 6 minutes 8 seconds. Repeated ketamine showed a tendency in accelerated onset, increased duration and recovery time. Repetition resulted in a significantly longer duration of anesthesia in the first and third repetition (P <0.05). The recovery time was longer due to repetition, but not significantly different. Repetition showed faster clinical symptoms occur both induction and recovery periods. Ocular reflex showed different reflex in some parts characterized by an emphasis of pupillary reflex in all different individuals but the emphasis of corneal and palpebral reflexes only in a half individual. Ketamine has side effects caused hypersalivation and increased muscle tone that is necessary to use premedication and drug combinations.

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

EFEKTIVITAS ANESTESI BERULANG KETAMIN PADA

LANDAK MINI (

Atelerix albiventris)

INTAN MARIA PARAMITA

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Efektivitas Anestesi Berulang Ketamin pada Landak Mini (Atelerix albiventris)

Nama : Intan Maria Paramita NIM : B04110015

Disetujui oleh

Drh Riki Siswandi, MSi Pembimbing I

Drh Huda S Darusman, MSi, PhD Pembimbing II

Diketahui oleh

Drh Agus Setiyono, MS, PhD, APVet Wakil Dekan Bidang Akademik dan Kemahasiswaan

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah “Efektivitas Anestesi Berulang Ketamin Pada Landak Mini (Atelerix albiventris)”.

Terimakasih penulis ucapkan kepada ayahanda Alm Bambang Suyadi, ibunda Sutitah Rahaju, dan kakak terkasih Novin Maria Purwanita beserta kakak ipar Samsul Arifin atas segala bentuk dukungan dan kasih sayang yang berlimpah kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada Bapak Drh. Riki Siswandi, MSi dan Bapak Drh. Huda S Darusman, MSi, PhD selaku pembimbing yang selalu sabar dan bersedia meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan dukungan dalam menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih kepada Bapak Dr. Drh. H. Akhmad Arif Amin selaku dosen pembimbing akademik atas dukungan, bimbingan, dan kasih sayangnya. Terimakasih Bapak Mardikanto dan Ibu Ninut terkasih yang selalu memberikan dukungan dan nasihat selama menempuh masa studi. Sahabat yang selalu mendampingi di kala suka dan duka, Melpa, Zahra, Cerelia, Faisal, Fiqi, Keluarga Cempaka 13, Keluarga Paguyuban Karya Salemba Empat IPB, Tim Panitia Pemeriksa Hewan dan daging Kurban, serta Tim pecinta hewan eksotik Rifky, dan Kenda. Kakak kakak yang selalu menyemangati, Kak Hiro, Kak Putra, Kak Talitha, dan Kak Kukuh. Tak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada keluarga besar Ganglion FKH 48 atas segala dukungan moril yang telah diberikan.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, sehingga penulis terbuka atas saran yang diberikan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis maupun bagi pembaca.

Bogor, September 2015

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL x

DAFTAR GAMBAR x

DAFTAR LAMPIRAN x

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

TINJAUAN PUSTAKA 2

BAHAN DAN METODE 5

Waktu dan Tempat Penelitian 5

Alat dan Bahan 5

Metode Penelitian 5

Prosedur Analisis Data 6

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Gejala Klinis Anestesi Periode Induksi 8

Gejala Klinis Anestesi pada Periode Pemulihan 12

SIMPULAN DAN SARAN 14

Simpulan 14

Saran 14

DAFTAR PUSTAKA 15

LAMPIRAN 17

(12)

DAFTAR TABEL

1 Nilai rataan onset anestesi, durasi anestesi, dan waktu pemulihan

anestesi antar pengulangan 7

2 Gejala klinis anestesi pada landak mini 8

3 Nilai raataan onset gejala klinis induksi mata membesar, inkoordinasi,

refleks pupil hilang 9

4 Nilai raataan onset gejala klinis induksi refleks pupil hilang, refleks

penegakan tubuh, pili recti hilang 10

5 Nilai raataan onset gejala klinis induksi pili recti hilang, refleks

kornea hilang, nyeri hilang 10

6 Nilai raataan onset gejala klinis pemulihan nyeri timbul, pili recti

timbul, refleks kornea kembali 12

7 Nilai raataan onset gejala klinis pemulihan refleks kornea kembali, refleks palpebrae kembali, relaksasi kaki depan 12 8 Nilai raataan onset gejala klinis pemulihan relaksasi kaki depan, mata

mengecil, refleks pupil kembali 13

9 Nilai raataan onset gejala klinis pemulihan refleks pupil kembali, refleks penegakan leher, refleks penegakan tubuh 13

DAFTAR GAMBAR

1 Landak Mini 3

2 Metode Pengekangan Landak Mini (Hudelson 2008) 3

3 Struktur kimia ketamin HCl C13H16ClNO.HCl 4

4 Urutan onset gejala klinis pembiusan tahap induksi 11 5 Urutan onset gejala klinis pemulihan anestesi 14

DAFTAR LAMPIRAN

1. Hasil uji ANOVA onset, durasi, dan pemulihan anestesi 17 2. Hasil uji ANOVA onset gejala anestesi periode induksi (Mata

membesar, Inkoordinasi, Refleks pupil hilang) 18 3. Hasil uji ANOVA onset gejala anestesi periode induksi (Refleks

pupil hilang, Refleks Penegakan tubuh hilang, Pili recti) 18 4. Hasil uji ANOVA onset gejala anestesi periode induksi (Pili recti,

Refleks Kornea hilang, Nyeri hilang) 19

5. Hasil uji ANOVA onset gejala anestesi periode pemulihan (Nyeri

timbul, Pili recti, Refleks kornea) 20

6. Hasil uji ANOVA onset gejala anestesi periode pemulihan (Refleks kornea, Refleks palpebrae, Relaksasi kaki depan) 20 7. Hasil uji ANOVA onset gejala anestesi periode pemulihan (Relaksasi

kaki depan, Mata mengecil, Refleks pupil) 21

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hewan eksotik adalah hewan liar yang dijadikan hewan kesayangan karena memiliki karakteristik bentuk yang unik dan langka sehingga orang memelihara hewan tersebut untuk kesenangan atau kepuasan yang memelihara. Indonesia memiliki peningkatan jumlah pemelihara hewan eksotik yang tinggi. Salah satu hewan eksotik yang dipelihara adalah landak mini. Landak mini terdiri dari berbagai macam spesies, namun yang sering dipelihara hanya dua spesies. Landak mini Eropa (Erinaceus europaeus) dan landak mini Afrika (Atelerix albiventris) yang lebih kecil. Landak mini di Indonesia lebih banyak berasal dari Afrika dengan ciri khas warna putih pada rambut halus di wajah dan abdomen. Sedangkan landak mini Eropa (Erinaceus europaeus) memiliki ciri khas warna hitam di rambut halusnya (Santana et al. 2010).

Landak mini dengan durinya bukan hewan yang mudah ditangani. Landak mini memiliki kebiasaan menggulung seperti bola dan mengeluarkan suara khas

hissing dan huffing sebagai suara peringatan yang dihasilkan dari hidung saat merasa terganggu (Hoefer 1992). Kebiasaan ini dapat menyulitkan ketika melakukan tindakan medis. Tindak restraint kimiawi adalah salah satu cara pengendalian hewan dengan menggunakan prinsip meniadakan kesadaran, refleks, dan rasa nyeri (Dugdale 2012). Dengan menggunakan teknik serta sediaan anestesi yang tepat, seekor hewan dapat ditangani dengan lebih baik.

Landak mini memiliki perilaku khas self-anointing dan hibernasi. Self-anointing adalah pengeluaran saliva berlebih yang dibalurkan ke seluruh tubuh terjadi saat landak mini bertemu dengan hal baru. Hibernasi atau tidur panjang dilakukan saat landak mini berada di lingkungan yang dingin dan langka makanan (Mori dan O‟Brien 1997). Self-anointing dapat memicu terjadinya pneumonia aspirasi bila tidak menggunakan agen anestetikum yang mempertahankan refleks menelan. Hibernasi landak mini dapat menurunkan fungsi kardiovaskular, sehingga penting melakukan pemilihan sediaan depresan sistem syaraf pusat yang mampu mempertahankan refleks menelan dan menjaga fungsi kardiovaskular. Salah satu agen yang dapat digunakan untuk aplikasi pada satwa eksotik adalah ketamin.

Belum banyak studi dan literatur terkait anestesi pada landak mini. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian mengenai efektivitas anestesi berulang ketamin pada landak mini sehingga dapat diterapkan dalam penanganan landak mini.

Perumusan Masalah

(14)

2

Periaku landak mini seperti menggulung badan, dan self-anointing saat bertemu orang baru dan hibernasi mengharuskan pemilihan anestetikum yang aman dalam menghadapi perlaku khas tersebut. Salah satu anestetikum yang disarankan adalah sediaan ketamin. Penggunaan anestesi berulang sering kali digunakan pada operasi radikal atau pada operasi multi penyakit. Efek dari penggunaan ketamin dengan dosis berulang masih belum banyak dilaporkan terutama pada dunia kedokteran hewan.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk menerangkan hasil evaluasi anestesi dilihat dari parameter onset, durasi serta tahapan anestesi pada landak mini (Atelerix albiventris) dengan menggunakan ketamin intramuskular. Anestesi berulang bertujuan menerangkan ada tidaknya perubahan potensi dan keamanan anestetikum ketamin pada landak mini.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi tentang pengaruh ketamin pada hewan eksotik seperti landak mini. Selain itu diharapkan dapat digunakan sebagai modal bagi penelitian selanjutnya, serta referensi dalam upaya pembelajaran penanganan hewan eksotik untuk pengambilan tindakan medis selanjutnya.

TINJAUAN PUSTAKA

Landak Mini (Atelerix albiventris) Indonesia

Landak mini adalah hewan yang berbeda dengan landak hutan (Hystrix javanica). Landak mini (erinaceines) adalah mamalia kecil berduri, hidup nokturnal di Eurasia dan Afrika. Habitat landak mini tersebar dari padang pasir hingga daerah tropis. Landak mini memiliki kebiasaan hibernasi saat cuaca menjadi dingin. Kebiasaan ini juga dilakukan saat jumlah makanan berkurang. Kekerabatan terdekat dari landak mini adalah tikus hutan (He et al. 2002).

Atelerix albiventris (gambar 1) adalah salah satu dari empat anggota genus

(15)

3

Gambar 1 Landak Mini (Dokumen pribadi)

Landak mini adalah hewan yang memiliki kebiasaan menggulung badannya ketika ketakutan atau bertemu orang baru. Hewan ini mengandalkan duri duri di tubuhnya sebagai bagian dari upaya perlindungan diri saat merasa terancam. Tingkah laku ini dapat menyulitkan dalam melakukan tindakan medis seperti menyuntik dan mengamati bagian abdomen. Cara yang baik untuk mengekang landak mini tanpa menimbulkan trauma adalah dengan meletakkan bagian wajah ke arah bawah. Posisi ini akan memancing landak mini membuka gulungan dan menyentuh meja atau alas lainnya. Saat kaki depan landak terbuka, kaki belakang landak segera di jepit diantara telunjuk dan ibu jari (gambar 2).

Gambar 2 Metode Pengekangan Landak Mini (Hudelson 2008)

Ketamin Hidroklorida(HCl)

(16)

4

2002). Ketamin HCl larut dalam air dan lemak sehingga cepat disalurkan ke organ yang mengandung banyak vaskularisasi, termasuk otak dan jantung (Gunawan et al. 2009).

Gambar 3 Struktur kimia ketamin HCl C13H16ClNO.HCl (Erhardt et al. 1984)

Ketamin berikatan dengan reseptor kompleks N-metil-D-aspartat (NMDA) yang terletak di kanal ion. Ikatan ini menyebabkan kerja ketamin antagonis terhadap reseptor NMDA. Agonis endogen dari reseptor ini adalah asam amino seperti asam glutamat, asam aspartat dan glisin. Aktivasi reseptor ini akan membuka gerbang kanal dan membentuk depolarisasi neuron. Ketamin diharapkan mampu menghambat dan mengganggu pemasukan sensor di pusat sensoris otak (Dugdale 2012). Ketamin berperan dalam menghambat sentisisasi sentral. Salah satu neurotransmiter eksitatori yang berperan adalah glutamat. Melekatnya glutamat di membran post synaps akan menyebabkan terjadinya transmisi impuls saraf dan menyebabkan saraf turun ambang nyerinya. Ketamin akan menduduki reseptor NMDA menggantikan glutamat, sehingga menghambat penyampaian impuls, mengurangi fase awal dari sensitisasi sentral (Stoelting & Hillier 2006).

Ketamin memiliki sedikit efek depresan pada organ respirasi. Ketamin HCl untuk anestesi umum pada bedah veteriner sering digunakan pada hampir semua jenis hewan. Pertimbangan pemakaian ketamin HCl antara lain tingkat keamanan yang relatif tinggi, interval dosis efektif yang luas dan teknik pemberian yang mudah. Keuntungan ini menjadikan ketamin banyak diaplikasikan di satwa liar dan eksotik baik tunggal maupun kombinasi contohnya pada rakun (Bigler dan Haff 1974), singa gunung (Logan et al. 1986), linsang (Fernandes-Moran et al.

2001), tupai dan musang (Jalanka dan Roeken 1990). Salah satu efek samping yang ditimbulkan oleh ketamin adalah meningkatkan tekanan arterial yang akan menyebabkan peningkatan tekanan intraokuler (Yudaniayanti et al. 2012)

(17)

5

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Divisi Bedah dan Radiologi, Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor pada bulan Juli 2014.

Alat dan Bahan

Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah empat ekor landak mini (Atelerix albiventris) berjenis kelamin jantan. Landak mini dengan kondisi normal secara fisiologis berusia 5 bulan sampai 1 tahun. Anestetikum yang digunakan adalah ketamin HCL 10% (Ilium Ketamil© 100, Troy). Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan hewan kecil, syringe insulin 0,5 ml (Ultra-Fine™) dengan jarum 29 gauge, stetoskop, penlight, rat tooth tissue forceps, kapas beralkohol, dan kamera digital.

Metode Penelitian

Tahap Persiapan

Empat ekor landak mini diletakkan dalam kandang individu berukuran 40 cm x 25 cm x 27 cm. Adaptasi hewan dilakukan selama satu minggu. Selama proses adaptasi, masing-masing feses hewan diperiksa keberadaan parasitnya melalui pemeriksaan natif menggunakan mikroskop.

Pengambilan Data

Pengambilan data dilakukan dari tahap induksi, anestesi hingga pemulihan. Variabel yang diamati yaitu onset, durasi, dan tahapan anestesi. Tahap pertama, hewan ditimbang bobot badannya dan dipastikan tidak mengalami kelainan melalui pemeriksaan fisik dan pengamatan tingkah laku. Landak mini adalah hewan nokturnal yang aktif pada malam hari. Landak mini yang dipelihara akan terbiasa bermain di siang hari. Landak mini yang sehat, pada malam hari akan aktif memutari kandang atau mencari makan, sedangkan pada siang hari cenderung tidur. Namun jika dibangunkan landak mini akan aktif berjalan didalam kandang lalu tidur kembali. Dengan mengetahui kebiasaan ini dapat ditentukan individu yang tidak mengalami kelainan.

(18)

6

penegakan tubuh hingga hewan mampu merespons nyeri. Respon nyeri diamati dengan menjepitkan rat tooth tissue forcep di jari landak mini. Waktu pemulihan adalah sejak respons nyeri muncul sampai hewan mampu mengembalikan refleks penegakan tubuh. Pengamatan pasca induksi dilakukan dengan metode focal animal sampling.

Focal animal sampling adalah teknik pengamatan langsung yang digunakan untuk mengamati semua penampakan aksi spesifik dari satu individu atau kelompok individu tertentu berdasarkan periode waktu yang telah ditentukan (Altman 1973). Perilaku yang diamati adalah seluruh perilaku yang dilakukan secara naluri tanpa ada gangguan.

Penentuan keamanan dan perubahan potensi anestesi pada landak mini selama pengulangan dilakukan dengan penyuntikan anestesi berulang tiga kali. Landak mini yang sudah dianestesi pada hari pertama diinduksi lagi menggunakan ketamin dengan dosis yang sama pada hari keempat dan ketujuh. Pengamatan dilakukan hingga landak mini pulih dari fase pemulihan anestesi. Variabel yang diamati yaitu onset, durasi dan gejala anestesi setiap pengulangan. Seluruh pengamatan direkam dengan kamera digital dan diamati dengan ketelitian satuan detik.

Prosedur Analisis Data

Data parameter onset dan durasi diolah menggunakan IBM SPSS Statistics 20 dan Microsoft Excel 2013. Hasil pengukuran dinyatakan dalam rata-rata dan simpangan baku. Data hasil pengamatan perilaku antar pengulangan dan antar gejala diuji secara statistika menggunakan analisis ragam (Analyse of Variant/ ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji Tukey Honestly Significant Difference

(HSD) pada selang kepercayaan 95%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pemakaian ketamin untuk anestesi umum pada bedah veteriner sering digunakan pada hampir semua jenis hewan karena memiliki tingkat keamanan yang relatif tinggi, interval dosis efektif yang luas dan teknik pemberian yang mudah (Yudaniayanti et al. 2012). Pertimbangan ini digunakan dasar dalam memilih anestetikum yang digunakan untuk landak mini. Landak mini sebelum disuntik menunjukkan keadaan tanpa kelainan.

(19)

7

Tabel 1 Nilai rataan onset anestesi, durasi anestesi, dan waktu pemulihan anestesi antar pengulangan

Parameter Pengulangan I Pengulangan II Pengulangan III

Onset 3‟53” ± 57”a 3‟20” ± 1‟7”a 3‟39” ± 46”a

Durasi 13‟52” ± 58”a 17‟35” ± 3‟20”ab 19‟22” ± 44”b

Waktu Pemulihan 30‟48” ± 6‟8”a 42‟23” ± 16‟18”a 39‟20” ± 10‟7”a

Keterangan: Huruf superscript yang berbeda (a,b) pada baris yang sama menyatakan ada

perbedaan yang nyata (P<0.05) antar pengulangan. ‟ = satuan menit; ” = satuan detik.

Nilai rataan durasi anestesi menunjukkan waktu yang semakin lama pada setiap pengulangan dengan nilai rataan durasi penyuntikan pertama adalah 13

menit 52 detik ± 58 detik. Secara umum pengulangan injeksi mengakibatkan

meningkatnya waktu durasi. Wai et al. (2012) menyatakan bahwa penggunaan ketamin dalam jangka waktu lama dan berulang mengakibatkan kerusakan hati yang signifikan berupa degenerasi lemak dan fibrosis. Kerusakan ini yang diduga mengakibatkan terjadinya perpanjangan durasi pengulangan pertama dan ketiga akibat hati lambat memetabolisme ketamin dalam tubuh. Gejala perpanjangan durasi ini mirip dengan gejala yang terjadi pada pecandu alkohol yang dianestesi. Kerusakan berbagai organ akibat alkohol akan memperpanjang durasi anestesi (Keilty 1969; Lee et al. 1964). Perlu dilakukan pengujian histopatologi dan pengulangan kembali dalam frekuensi yang lebih banyak untuk dapat memastikan kerusakan hati yang terjadi akibat pengulangan ketamin.

Hedenqvist et al. (2000) menyatakan bahwa efek anestesi berulang sangat kompleks dan berbeda tergantung dari jenis hewan dan agen anestesi. Pada tikus yang diinduksi dengan ketamin dan buprenorfin berulang mengalami penurunan

sleep time dan durasi anestesi yang berbeda nyata. Tikus yang diinduksi menggunakan ketamin berulang tanpa buprenorfin mengalami peningkatan sleep time namun tidak mengalami perubahan durasi yang signifikan. Sleep time adalah durasi hilangnya refleks penegakan tubuh. Bree et al. (1967) melakukan penelitian mengenai keamanan dan toleransi monyet terhadap anestesi berulang dengan agen ketamin. Monyet menunjukkan kecenderungan penurunan sleep time

dan durasi anestesi setelah pengulangan injeksi ketamin.

Waktu pemulihan pada landak mini adalah 30 menit 48 detik ± 6 menit 8

detik pada pengulangan pertama. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengulangan

(20)

8

Gejala Klinis Anestesi Periode Induksi

Pengamatan gejala klinis menjadi hal yang perlu dilakukan untuk dapat mengevaluasi kedalaman anestesi dan kerja obat pada reseptor. Pengamatan gejala klinis dapat dilakukan dengan pengamatan menggunakan panca indera. Data pengamatan terhadap gejala klinis periode induksi disajikan dalam tabel 2.

Tabel 2 Gejala klinis anestesi pada landak mini

Gejala klinis Hasil pengamatan Definisi

Mata membesar Mata landak mini membesar

melebihi ukuran normal sete-lah diinduksi menggunakan ketamin.

Inkoordinasi Landak mini kehilangan

kese-imbangan tubuh dalam berja-lan namun masih dapat me-ngembalikan tubuh ke keadaan semula. Menunjukkan kondisi tonus otot.

Refleks pupil hilang Pupil tidak mampu

berkon-traksi menanggapi rangsang datangnya cahaya yang berle-bihan sehingga pupil tetap

ber-Hipersalivasi Landak mini memproduksi

(21)

9

Discharge hidung Landak mini mengeluarkan cairan dari hidung, diduga aki-bat dari saliva yang mengalir melalui hidung karena posisi landak dalam keadaan dorso-ventral.

Onset gejala klinis induksi adalah waktu yang dihitung sejak injeksi ketamin hingga gejala tertentu muncul. Mata adalah organ yang penting diamati karena menunjukkan refleks yang berbeda beda terhadap anestetikum. Mata membesar dan palpebrae mata tidak menutup ketamin diinjeksikan. Membesarnya mata diduga akibat terjadinya peningkatan tekanan intra okuler. Salah satu efek negatif yang ditimbulkan oleh ketamin adalah meningkatnya tekanan arterial yang akan menyebabkan peningkatan tekanan intra okuler (Yudaniayanti et al. 2012). Efek ketamin ini dapat menjadi buruk pada pasien yang menderita glaukoma karena akan menambah tekanan pada bola mata yang menyebabkan nyeri sehingga dibutuhkan kombinasi anestetikum.

Gejala mata membesar dan inkordinasi mengalami percepatan onset pada setiap pengulangan walaupun tidak berbeda nyata namun onset refleks pupil semakin lama hilang. Pada pengulangan ketiga, satu individu tidak menunjukkan gejala hilangnya refleks pupil. Hilang tidaknya refleks pupil merupakan refleksi dari kedalaman anestesi (tabel 3). Kemampuan pupil berkontraksi menanggapi rangsang datangnya cahaya akan berkurang seiring dengan meningkatnya kedalaman anestesi (McKelvey dan Hollingshead 2003). Hasil penelitian ini menunjukkan ada penurunan kemampuan agen anestesi dalam menekan refleks pupil akibat pengulangan injeksi.

Tabel 3 Nilai rataan onset gejala klinis induksi mata membesar, inkoordinasi, reflex pupil hilang

Parameter Pengulangan I Pengulangan II Pengulangan III

Mata membesar 1‟20” ± 12”ax 1‟1” ± 56”ax 59” ± 17” ax

Inkoordinasi 1‟20” ± 39”ax 1‟9” ± 25”ax 49” ± 33”ax

Refleks pupil hilang 1‟23” ± 17”ax 1‟30” ± 1‟3”ax 2‟53” ± 1‟18”ay*

Keterangan: Huruf superscript yang berbeda (a,b) pada baris yang sama menyatakan

adanya perbedaan yang nyata (P<0.05) antar pengulangan. Huruf superscript berbeda

(x,y) pada kolom yang sama menyatakan ada perbedaan nyata (P<0.05) antar gejala

klinis. (*)= Gejala ditemukan pada ¾ individu; ‟ = satuan menit; ” = satuan detik.

(22)

10

eferen dari refleks pupil sehingga pupil tidak berkontraksi saat diberikan cahaya dalam masa anestesi.

Tabel 4 Nilai rataan onset gejala klinis induksi refleks pupil hilang, refleks penegakan tubuh, pili recti hilang

Parameter Pengulangan I Pengulangan II Pengulangan III

Refleks pupil hilang 1‟23” ± 17”ax 1‟30” ± 1‟3”ax 2‟53” ± 1‟18”ax*

Refleks penegakan tubuh 2‟14” ± 40”ax 1‟35” ± 33”ax 1‟47” ± 23”ax

Pili Recti hilang 2‟38” ± 51” ax 2‟17” ± 1‟10”ax 1‟18” ± 24”ax

Keterangan: Huruf superscript yang berbeda (a,b) pada baris yang sama menyatakan

adanya perbedaan yang nyata (P<0.05) antar pengulangan. Huruf superscript berbeda

(x,y) pada kolom yang sama menyatakan ada perbedaan nyata (P<0.05) antar gejala

klinis. (*)= gejala ditemukan pada ¾ individu; ‟ = satuan menit; ” = satuan detik

Refleks kornea diuji dengan menyentuhkan benda steril ke permukaan kornea. Refleks dapat berupa menutupnya kelopak mata, atau tertariknya mata ke fossa orbita. Refleks ini menguji keadaan anestesi yang terlalu dalam dan biasanya hilang pada anestesi fase ketiga hingga keempat (McKelvey dan Hollingshead 2003). Ketamin hanya menekan setengah total populasi pada pengulangan pertama dan ketiga, dan tidak menekan refleks kornea pada pengulangan kedua (tabel 5). Keadaan ini diduga akibat kedalaman anestesi berada pada taraf ringan hingga sedang, sehingga dosis ini aman digunakan pada landak mini.

Berdasarkan gejala, kedalaman anestesi agen disosiasi dapat dibedakan menjadi tiga yaitu ringan, sedang, dan berat. Gejala paling akurat dalam mengamati kedalaman anestesi adalah melalui pengamatan pada mata dan tonus rahang. Refleks palpebrae dapat teramati pada anestesi ringan, sedangkan kelembaban kornea teramati hingga anestesi sedang (Moens dan Coppens 2007). Wanamaker dan Massey (2009) menyatakan refleks oral, okular dan laring tetap terpelihara pada penggunaan ketamin tunggal kecuali pada dosis yang sangat tinggi. Gejala ini merupakan suatu kelebihan dari agen anestetikum ketamin. Terpeliharanya refleks oral dan laring akan mencegah hewan mengalami slik pneumonia bila agen anestetikum memiliki efek hipersalivasi dan muntah.

Tabel 5 Nilai rataan onset gejala klinis induksi pili recti hilang, refleks kornea hilang, nyeri hilang

Parameter Pengulangan I Pengulangan II Pengulangan III

Pili Recti hilang 2‟38” ± 51”ax 2‟17” ± 1‟10”ax 1‟18” ± 24”ax

Refleks kornea hilang 1‟36” ± 14”* - 4‟5” ± 18”*

Nyeri hilang 3‟53” ± 57”ax 3‟20” ± 1‟7”ax 3‟39” ± 54”ay

Keterangan: Huruf superscript yang berbeda (a,b) pada baris yang sama menyatakan

adanya perbedaan yang nyata (P<0.05) antar pengulangan. Huruf superscript berbeda

(x,y) pada kolom yang sama menyatakan ada perbedaan nyata (P<0.05) antar gejala

klinis. (*)=gejala ditemukan pada ½ individu; (-)=gejala tidak muncul; ‟ = satuan menit; ”

= satuan detik.

(23)

11 motoris (nervus fascialis) yang menggerakkan kelopak mata. Ketika stimulus diberikan pada kelopak mata, sinyal diolah dan dikembalikan melalui nervus fascialis yang menginervasi musculus orbicularis oculi. Otot ini juga berada dibawah kendali nervus occulomotor. Refleks palpebrae menandakan kedalaman anestesi. Hilangnya refleks palpebrae bervariasi tergantung agen anestetikum (McKelvey dan Hollingshead 2003).

Gejala hipersalivasi pada masa anestesi ditandai dengan adanya busa-busa saliva pada mulut. Posisi landak mini yang berbaring dorsoventral diduga menyebabkan saliva mengalir menuju rongga hidung membentuk discharge

hidung. Gejala ini kurang menguntungkan sehingga perlu dilakukan pemberian premedikasi. Wanamaker dan Massey (2009) menyatakan bahwa ketamin meningkatkan produksi saliva dan dapat dicegah dengan menggunakan atropin atau glycopyrolat.

Selama masa anestesi, landak mini mengalami kekakuan otot ditandai dengan kembalinya ekstremitas ke posisi semula saat dilakukan manipulasi gerakan seperti tarikan. Kruse-Elliott (2008) menyatakan ketamin kurang memberikan efek relaksasi pada otot sehingga otot menjadi kaku pada saat anestesi. Gejala ini merupakan efek samping pemakaian ketamin tunggal sehingga diperlukan kombinasi dengan obat lainnya untuk mengurangi efek buruk tersebut. Secara umum tiga tabel onset gejala induksi dirangkum dalam gambar 4. Gejala yang pertama terlihat adalah pembesaran mata, dilanjutkan dengan hilangnya refleks gerak dan timbulnya kekakuan otot yang ditandai dengan adanya inkoordinasi. Ketamin mempengaruhi ikatan neurotransmitter di bagian frontal otak yang menghambat pengaturan dan pemasukan sensor di pusat sensoris otak. Keadaan ini akan menghambat kemampuan motoris otot, mempengaruhi thalamus yang mengatur sistem limbik dan aktivasi retikular serta hipotalamus yang mengatur aktivitas somatik (Dugdale 2012). Pengulangan mengakibatkan kedua gejala ini mencul lebih cepat. Gejala yang hilang selanjutnya adalah refleks pupil, refleks penegakan tubuh, pili recti dan refleks kornea. Hilangnya refleks kornea tidak terjadi pada semua individu sehingga tidak dapat digunakan sebagai indikator dimulainya fase anestesi. Gejala hilangnya respon pili recti terjadi sebelum hilangnya nyeri walaupun tidak signifikan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa hilangnya pilirecti dapat menjadi penanda awal dimulainya fase anestesi.

(24)

12

Gejala Klinis Anestesi pada Periode Pemulihan

Periode pemulihan dicatat sejak respon nyeri timbul hingga gejala klinis muncul. Setelah nyeri hadir, gejala yang timbul adalah pili recti lalu diikuti refleks kornea. Nilai negatif pada onset timbulnya pili recti menunjukkan bahwa gejala tersebut terjadi sebelum nyeri hadir (tabel 6). Gejala ini adalah akibat dari penggunaan anestesi berulang.

Tabel 6 Nilai rataan onset gejala klinis pemulihan nyeri timbul, pilirecti timbul, refleks kornea kembali

Parameter Pengulangan I Pengulangan II Pengulangan III

Nyeri timbul 0” ± 0”ax 0” ± 0”ax 0” ± 0”ax

Pili recti timbul 2‟24” ± 3‟14”ax -48” ± 1‟49”ax -1‟26” ± 2‟23”ax

Refleks kornea

kembali

3‟7” ± 21”ax* - 10” ± 5‟18”ax*

Keterangan: Huruf superscript yang berbeda (a,b) pada baris yang sama menyatakan

adanya perbedaan yang nyata (P<0.05) antar pengulangan. Huruf superscript berbeda

(x,y) pada kolom yang sama menyatakan ada perbedaan nyata (P<0.05). (*)=gejala

ditemukan pada ½ individu; (-)=gejala tidak muncul; ‟ = satuan menit; ” = satuan detik.

Tabel 7 menunjukkan refleks kornea kembali setelah pili recti muncul dan dilanjutkan dengan munculnya refleks palpebrae. Pengulangan anestesi mengakibatkan refleks kornea kembali lebih lama sedangkan refleks palpebrae cepat kembali dan kedalaman anestesi menjadi berkurang. Relaksasi kaki depan menjadi awal relaksasi otot setelah ketamin membuat tonus otot meningkat selama anestesi.

Tabel 7 Nilai rataan onset gejala klinis pemulihan refleks kornea kembali, refleks palpebrae kembali, relaksasi kaki depan

Parameter Pengulangan I Pengulangan II Pengulangan III

Refleks kornea kembali 3‟7” ± 21”* - 10” ± 5‟18”*

Refleks palpebrae kembali 3‟11” ± 19”* - 1‟34” ± 0”**

Relaksasi kaki depan 5‟51” ± 5‟14”a 29” ± 19”a 33” ± 45”a

Keterangan: Huruf superscript yang berbeda (a,b) pada baris yang sama menyatakan

adanya perbedaan yang nyata (P<0.05) antar pengulangan. (*)=gejala ditemukan pada ½ individu; (**)=gejala ditemukan pada ¼ individu; (-)=gejala tidak muncul; ‟ = satuan menit; ” = satuan detik.

(25)

13 Tabel 8 Nilai rataan onset gejala klinis pemulihan relaksasi kaki depan, mata

mengecil, refleks pupil kembali

Parameter Pengulangan I Pengulangan II Pengulangan III

Relaksasi kaki depan 5‟51” ± 5‟14”ax 29” ± 19”ax 33” ± 45”ax

Mata mengecil 6‟52” ± 1‟51”ax 5‟16” ± 5‟13”axy 4‟17 ± 2‟40”ax

Refleks pupil kembali 5‟33” ± 2‟25”ax 16‟30” ± 15‟37”az 5‟16” ± 2‟52”ax

Keterangan: Huruf superscript yang berbeda (a,b) pada baris yang sama menyatakan

adanya perbedaan yang nyata (P<0.05) antar pengulangan. Huruf superscript berbeda

(x,y) pada kolom yang sama menyatakan ada perbedaan nyata (P<0.05) antar gejala klinis. „ = satuan menit; “ = satuan detik.

Tabel 9 menunjukkan kembalinya tonus otot yang dimulai dengan kembalinya relaksasi kaki depan, refleks penegakan leher lalu refleks penegakan tubuh. Refleks penegakan tubuh merupakan gejala khas pada landak mini. Refleks ini menandakan landak benar benar telah pulih.

Tabel 9 Nilai rataan onset gejala klinis pemulihan refleks pupil kembali, refleks penegakan leher, refleks penegakan tubuh

Parameter Pengulangan I Pengulangan II Pengulangan III

Refleks pupil kembali 5‟33” ± 2‟25”ax 16‟30” ± 15‟37”ax 5‟16” ± 2‟52”ax

Refleks penegakan leher 15‟11” ± 8‟5”ax 5‟6” ± 4‟33”ax 10‟25” ± 2‟29”ax

Refleks penegakan tubuh 30‟47” ± 6‟8”ay 42‟23” ± 16‟18”ay 39‟20” ± 10‟8”ay

Keterangan: Huruf superscript yang berbeda (a,b) pada baris yang sama menyatakan

adanya perbedaan yang nyata (P<0.05) antar pengulangan. Huruf superscript berbeda

(x,y) pada kolom yang sama menyatakan ada perbedaan nyata (P<0.05) antar gejala klinis. ‟ = satuan menit; ” = satuan detik.

(26)

14

Gambar 5 Urutan onset gejala klinis pemulihan anestesi.

Keterangan: (*) = Gejala ditemukan pada beberapa individu tertentu.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Ketamin intramuskuler pada dosis 80 mg/kg bobot badan memberikan efek anestesi ringan yang ditandai dengan onset yang cepat dan durasi sedang. Ketamin berulang menunjukkan kecenderungan percepatan onset, peningkatan durasi dan waktu pemulihan. Pengulangan mengakibatkan durasi anestesi menjadi lebih lama secara signifikan pada pengulangan pertama dan ketiga secara berbeda nyata. Waktu pemulihan menjadi lebih lama seiring dengan dilakukan pengulangan namun tidak berbeda nyata. Pengulangan juga memengaruhi beberapa gejala menjadi lebih cepat dalam periode induksi dan pemulihan. Ketamin memberikan efek berbeda-beda terhadap refleks okular. Refleks pupil hilang terjadi pada seluruh landak, berbeda dengan refleks kornea dan palpebrae yang hanya terjadi pada setengah total landak mini. Penggunaan ketamin tunggal memiliki efek samping yaitu hipersalivasi dan peningkatan tonus otot sehingga mutlak diperlukan penggunaan premedikasi dan kombinasi obat. Ketamin intramuskuler memiliki potensi menjadi anestetikum pada landak mini.

Saran

(27)

15

DAFTAR PUSTAKA

Altman J. 1973. Observational Study of Behavior: Sampling Methods. Chicago (US): University of Chicago.

Bigler WJ, Haff GL. 1974. Anesthesia of raccoons with ketamine hydrochloride. The Journal of Wildlife Management. 38(2):364-366.

Bree M, Feller I, Corssen G. 1967. Safety and tolerance of repeated anesthesia with CI 581 (ketamine) in monkeys. Anesthesia and Analgesia. 46(5):596-600. Demirkan I, Atalan G, Gokce H, Ozaydin I, Celebi F. 2002. Comparative study of

butorphanol-ketamin HCl and xylazine-ketamin HCl combinations for their clinical and cardiovascular/respiratory effects in healthy dogs. Turkish Journal of Veterinary and Animal Sciences. 26:1073-1079.

Dugdale A. 2012. Veterinary Anaesthesia : Principles to Practice. West Sussex (UK): Blackwell Publishing Ltd.

Erhardt W, Hebestedt A, Aschenbrenner G, Pichotka B, Blumel G. 1984. A comparative study with various anesthetics in mice (pentobarbitone, ketamine-xylazine, carfentanyl-etomidate). Research in Experience Medicine. 184(3):159-169.

Fernandes-moran J, Peres E, San-martin M, Saavedra D, Manteca-vilanova X. 2001. Reversible immobilization of eurasian otter with combination of ketamine and medetomidine. Journal of Wildlife Disease. 37(3):561-565. Gunawan G, Rianto S, Elysabeth. 2009. Farmakologi dan Terapi. Jakarta (ID): UI

Pr.

He K, Chen J, Gould G, Yamaguchi N, Ai H, Wang YX, Zhang YP, Jiang XL. 2002. An Estimation of Erinaceidae Phylogeny: A combined analysis approach. PloSONE. 7(6):1-14. doi:10.1371/journal.pone.0039304

Hedenqvist P, Roughan J, Flecknell P. 2000. Effects of repeated anaesthesia with ketamine/medetomidine and of pre-anaesthetic administration of buprenorphine in rats. Laboratory Animals, 34, 207-211.

Hoefer H. 1992. Hedgehogs. Veterinary Clinical North America: Small Animal Practices. 24(1):113–20.

Hudelson SK. 2008. Exotic Companion Medicine Handbook for Veterinarians.

Florida (UK): Zoological Education Network.

Jalanka HH, Roeken BO. 1990. The use of medetomidine, medetomidine-ketamine combinations, and atipamezole in nondomestic mammals: A review. Journal of Zoo and Wildlife Medicine. 21(3):259-282.

Katzung B. 2002. Farmakologi Dasar dan Klinik. Jakarta: Bagian Farmakologi Kedokteran Universitas Airlangga.

Keilty SR. 1969. Anesthesia for the alcoholic patient. Anesthesia and Analgesia.

48(24):659-664.

Kruse-Elliott K. 2008. Induction Agents and Total Intravenous Anesthesia. Di dalam: Carrol G. Small Animal Anesthesia and Analgesia. Iowa (US): Blackwell Publishing.

(28)

16

Lepore M, Pampanelli S, Fanelli C, Porcellati F, Bartocci L, Vincenzo AD, Cordoni C, Costa E, Brunetti P, Bolli GB et al. 2000. Pharmacokinetics and pharmacodynamics of subcutaneous injection of long-acting human insulin analog glargine, NPH insulin, and ultralente human insulin and continuous subcutaneous infusion of insulin lispro. Diabetes. 49:2142-2148.

Logan KA, Thome T, Irwin LL, Skinner R. 1986. Immobilizing wild mountain lions with ketamin hydrochloride and xylazine hydrochloride. Journal of Wildlife Disease. 22(1):97-103.

McKelvey D, Hollingshead K. 2003. Veterinary Anesthesia and Analgesia.

Missouri (US): Mosby Inc.

Messonnier S. (2000). Veterinary Neurology. Texas (US): Butterwort Heinemann. Moens Y, Coppens P. 2007. Patient Monitoring and Monitoring Equipment. Di

dalam Chris Seymour dan Tanya Duke-Novakovski (editor). BSAVA Manual of Canine and Feline Anaesthesia and Analgesia. Ed ke-2. Waterwells (GB): British Small Animal Veterinary Association.

Mori M, O'Brien SE. 1997. Husbandry and medical management of African hedgehogs. Iowa State University Veterinarian. 59(2):64--72.

Robinson I, Routh A. 1999. Veterinary care of the hedgehog in practice. Journal of Veterinary Post Graduate Clinical Study. 21(3):128-137.

Santana E, Jantz H , Best T. 2010. Atelerix albiventris (Erinaceomorpha: Erinaceidae). Mammalian Species. 42(1):99-110.

Stoelting R, Hillier S. 2006. Pharmacology & Physiology in Anesthetic Practice. 4th Ed. Philadephia (US): Lippincott Williams & Wilkins.

Wai M, Chan W, Zhang A, Wu Y,Yew D. 2012. Long-term ketamine and ketamine plus alcohol treatments produced damaged in liver and kidney.

Human and Experience Toxicology. 31(9):877-886. doi:10.1177/096032711 2436404

Wanamaker B, Massey K. 2008. Applied Pharmacology for Veterinary Technicians. Columbia (NY): Saunders.

(29)

17

LAMPIRAN

Lampiran 1 Hasil uji ANOVA onset, durasi, dan pemulihan anestesi

Sum of

Duncan Post hoc Test untuk Onset anestesi

Pengulangan N Subset for alpha = 0.05

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Duncan Post hoc Test untuk Durasi anestesi

Pengulangan N Subset for alpha =

Means for groups in homogeneous subsets are displayed.

Duncan Post hoc Test untuk Pemulihan anestesi Pengulangan N Subset for

(30)

18

Lampiran 2 Hasil uji ANOVA onset gejala anestesi periode induksi (Mata membesar, Inkoordinasi, Refleks pupil hilang)

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 33175.576 8 4146.947 2.370 .046 Within Groups 45493.167 26 1749.737

Total 78668.743 34

Duncan Post hoc Test untuk gejala induksi mata membesar, inkoordinasi, refleks pupil hilang

Gejala N Subset for alpha =

0.05

1 2

Tukey HSDa,b

Inkoordinasi 3 4 49,25

Mata membesar 3 4 58,75

Mata membesar 2 4 61,00

Inkoordinasi 2 4 78,75 78,75

Mata membesar 1 4 79,75 79,75

Inkoordinasi 1 4 79,75 79,75

Refleks pupil 1 4 83,00 83,00

Refleks pupil 2 4 89,75 89,75

Refleks pupil 3 3 172,67

Sig. ,908 ,087

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,857.

b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.

Lampiran 3 Hasil uji ANOVA onset gejala anestesi periode induksi (Refleks pupil hilang, Refleks Penegakan tubuh hilang, Pili recti)

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 34503.969 8 4312.996 1.894 .104 Within Groups 59209.917 26 2277.304

(31)

19 Duncan Post hoc Test untuk gejala induksi refleks pupil hilang refleks penegakan tubuh, pili recti

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,857.

b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.

Lampiran 4 Hasil uji ANOVA onset gejala anestesi periode induksi (Pili recti, Refleks Kornea hilang, Nyeri hilang)

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 89930.107 7 12847.158 4.728 .003 Within Groups 54348.750 20 2717.438

Total 144278.857 27

Duncan Post hoc Test untuk gejala induksi pili recti, refleks kornea hilang, nyeri hilang

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,200.

(32)

20

Lampiran 5 Hasil uji ANOVA onset gejala anestesi periode pemulihan (Nyeri timbul, Pili recti, Refleks kornea)

Sum of

Squares df Mean Square F Sig.

Between Groups 185336.714 7 26476.673 1.700 .166 Within Groups 311512.250 20 15575.612

Total 496848.964 27

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,200.

b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.

Lampiran 6 Hasil uji ANOVA onset gejala anestesi periode pemulihan (Refleks kornea, Refleks palpebrae, Relaksasi kaki depan)

Sum of

(33)

21 Duncan Post hoc Test untuk gejala pemulihan refleks kornea, refleks palpebrae, relaksasi kaki depan

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 2,667.

b. The group sizes are unequal. The harmonic mean of the group sizes is used. Type I error levels are not guaranteed.

Lampiran 7 Hasil uji ANOVA onset gejala anestesi periode pemulihan (Relaksasi kaki depan, Mata mengecil, Refleks pupil)

Sum of Squares df Mean Square

F Sig.

Between Groups 2506209.993 8 313276.249 2.350 .047 Within Groups 3465328.750 26 133281.875

Total 5971538.743 34

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,857.

(34)

22

Lampiran 8 Hasil uji ANOVA onset gejala anestesi periode pemulihan (Refleks pupil kembali-Refleks penegakan leher-Refleks penegakan tubuh)

Sum of Squares

df Mean Square F Sig.

Between Groups 2.460E7 8 3075015.731 9.826 .000

Within Groups 8136729.750 26 312951.144

Total 3.274E7 34

Duncan Post hoc Test untuk gejala pemulihan refleks pupil, refleks penegakan leher, refleks penegakan tubuh

Gejala N Subset for alpha = 0.05

1 2 3

Tukey HSDa,b

Neck righting refleks 2 4 306,00

Refleks pupil 3 3 316,00

Refleks pupil 1 4 332,75

Neck righting refleks 3 4 625,00 625,00 Neck righting refleks 1 4 911,00 911,00

Refleks pupil 2 4 989,75 989,75

Righting refleks 1 4 1847,25 1847,25

Righitng refleks 3 4 2360,25

Righting refleks 2 4 2542,75

Sig. ,743 ,103 ,726

Means for groups in homogeneous subsets are displayed. a. Uses Harmonic Mean Sample Size = 3,857.

(35)

23

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 26 Mei 1993 di Bondowoso. Penulis merupakan anak kedua dari dua bersaudara pasangan Bapak (Alm) Bambang Suyadi dan Ibu Sutitah Rahaju. Penulis menyelesaikan pendidikan sekolah dasar di SDN Dabasah V pada tahun 2005. Pendidikan menengah pertama diselesaikan di SMPN 2 Bondowoso pada tahun 2008 dan pendidikan menengah atas diselesaikan pada tahun 2011 di SMAN 2 Bondowoso. Penulis melanjutkan pendidikan perguruan tinggi di Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor melalui Jalur Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri Undangan (SNMPTN Undangan) di tahun yang sama.

Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis menjabat sebagai penanggung jawab Cluster Wild Aquatic Himpro Satwaliar periode kepengurusan 2013-2014. Penulis juga aktif menjadi ketua divisi Pengelolaan Sumber Daya Masyarakat Paguyuban Karya Salemba Empat IPB tahun kepengurusan 2014-2015. Penulis aktif menjadi asisten praktikum beberapa mata kuliah, antara lain Anatomi Veteriner I dan II, Anatomi Topografi, Histologi, Ilmu Bedah Umum Veteriner, Ilmu Bedah Khusus Veteriner I dan Higiene Pangan.

Gambar

Gambar 1 Landak Mini (Dokumen pribadi)
Gambar 3 Struktur kimia ketamin HCl C 13H16ClNO.HCl  (Erhardt et al. 1984)
Tabel 1  Nilai rataan onset anestesi, durasi anestesi, dan waktu pemulihan anestesi antar pengulangan
Tabel 2 Gejala klinis anestesi pada landak mini
+6

Referensi

Dokumen terkait

Mungkin termasuk dalam salah satu kelebihan tokoh, tetapi tidak dapat dikatakan istemewa karena masih bisa dilakukan oleh orang lainc. Bacalah

Syukur Allhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT, karena berkat rahmat, hidayah dan ridho-Nya, Tugas Akhir yang berjudul: “Perancangan Sistem Pengukuran Kinerja

Dengan hasil positif yang didapat pada penelitian seleksi, seleksi famili yang telah dilakukan dapat dijadikan sebagai salah satu program pemuliaan ikan nila di Indonesia

Saat ini dalam melaksanakan tugas dan fungsinya masih berpedoman pada Peraturan Gubernur Banten Nomor 24 Tahun 2008 tentang Uraian tugas dan Tata Kerja

Berbeda dengan jaringan konvensional umumnya dimana setiap device akan dipasang sistem firewall-nya sendiri, di jaringan SDN firewall dapat dipasang secara terpusat pada

Kepada fungsionaris partai mulai tingkatan DPP, DPW, DPC, PAC dan Ranting serta kader dan Caleg Partai Persatuan Pembangunan di seluruh Indonesia agar mempelajari, memahami

wasallamdariku?” Thalq menjawab, “Tidak demi Allah, bahkan engkau lebih paham terhadap Kitab Allah dan lebih mengetahui tentang sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam

(2011) membagi perkembangan bunga jarak pagar dalam beberapa fase, pada fase awal teridentifikasi bahwa primordia bunga memiliki potensi untuk berkembang menjadi