• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis bahaya pelapukan kayu pada perumahan di Pulau Jawa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis bahaya pelapukan kayu pada perumahan di Pulau Jawa"

Copied!
191
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS BAHAYA PELAPUKAN KAYU PADA PERUMAHAN

DI PULAU JAWA

TRISNA PRIADI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Analisis Bahaya Pelapukan Kayu pada Perumahan di Pulau Jawa adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Agustus 2011

Trisna Priadi

(4)

ABSTRACT

TRISNA PRIADI. Wood Decay Hazard Analyses of Residential Buildings in Java Island. Under direction of DODI NANDIKA, KURNIA SOFYAN, ACHMAD, and ARIF BUDI WITARTO.

Wood decay in residential buildings can lead to economic loss and risk human safety. This research was aimed to determine wood decay hazard in Java Island, Indonesia. It was based on the analyses of climate factors, fungal decay as well as building characteristics in the island. The hazard class of wood decay in Java was analysed based on Scheffer’s method using seven years (2002-2008) climatic data. In addition, a field survey was conducted to evaluate wood decay occurance in 500 houses distributed in 10 cities representing various temperature and humidity conditions. Identification and growth test of decay fungi frequently attacking houses were also conducted. Laboratory examination and field test on the decay of sengon and kamper woods were carried out to evaluate the impact of fungal attack on the basic properties of wood. It was found that approximately 47% and 40% cities in Java were classified as very high and high decay hazard, respectively. About 87% houses were severely attacked by decay fungi. Precipitation was the most influencing climatic factor on the wood decay in house construction. The fungi preferred to attack wooden components of houses intermittently wetted either by rain or water uses. Ganoderma applanatum and Schizophyllum commune were the most important decay fungi for residential buildings in Java. The decay fungi have caused the degradation of residential buildings with economic loss in the amount of over Rp 411 billion/year.

(5)

RINGKASAN

TRISNA PRIADI. Analisis Bahaya Pelapukan Kayu pada Perumahan di Pulau Jawa. Dibimbing oleh DODI NANDIKA, KURNIA SOFYAN, ACHMAD, dan ARIF BUDI WITARTO.

Dengan jumlah penduduk 136.563.000 jiwa, Pulau Jawa merupakan pulau yang terbanyak dan terpadat penduduknya di Nusantara. Sebagian besar penduduknya tinggal di rumah-rumah yang beresiko tinggi terserang jamur pelapuk kayu karena banyak menggunakan kayu yang tidak awet (non durable species), selain itu juga karena berada di daerah beriklim tropis yang sangat kondusif bagi pertumbuhan jamur pelapuk. Namun hingga kini belum ada informasi ilmiah yang mengungkapkan kelas bahaya pelapukan kayu maupun dampaknya secara teknis dan ekonomis pada perumahan di Pulau Jawa yang sesungguhnya sangat diperlukan sebagai pertimbangan bagi para arsitek, perusahaan konstruksi, instansi pemerintah terkait dan masyarakat umum dalam mengendalikan serangan jamur pelapuk pada bangunan. Suatu penelitian telah dilakukan untuk mengetahui tingkat bahaya pelapukan kayu pada perumahan di Pulau Jawa berdasarkan analisis terhadap kondisi iklim, potensi jamur pelapuk kayu, dan karakteristik bangunan perumahan di Pulau Jawa.

Analisis potensi ancaman pelapukan kayu di Pulau Jawa dilakukan berdasarkan metode Scheffer (1971) yaitu dengan menentukan indeks pelapukan berdasarkan data iklim dari tahun 2002 hingga tahun 2008 yang kemudian digunakan sebagai dasar pembuatan peta bahaya pelapukan kayu di Pulau Jawa. Survey pelapukan kayu dilakukan pada 500 bangunan rumah yang ditentukan secara purposive sampling di sepuluh kota dan kabupaten yang mewakili variasi suhu dan kelembaban di Pulau Jawa, yaitu di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Tegal, Serang, Bogor, Subang, Gresik, Malang, dan Lembang. Data volume kayu yang terserang jamur pelapuk dianalisis secara statistik deskriptif. Nilai kerugian akibat pelapukan kayu dihitung berdasarkan biaya bahan dan upah perbaikannya. Identifikasi jamur pelapuk yang sering menyerang perumahan dilakukan berdasarkan ciri morfologisnya mengacu pada Emberger (2006) dan Hutchings (2010) serta secara molekuler berdasasrkan metode Afrida et al. (2008). Sifat oksidasi jamur pelapuk diuji dengan media guaiacol berdasarkan metode Nishida et al. (1988). Sementara itu kecepatan pertumbuhan jamur pelapuk diuji pada variasi suhu 20 oC, 25 oC , 30 oC, 35 oC, 40 oC, 45 oC dan 50 oC, serta variasi pH

(6)

pelapuk berdasarkan Standar TAPPI T 20 om-88 dan Standar TAPPI T 13 wd-74. Dampak serangan jamur pelapuk terhadap sifat fisis kayu dianalisis berdasarkan metode Huang et al. (2004), sedangkan dampak terhadap sifat mekanis kayu dianalisis berdasarkan Schrip dan Wolcott (2004) setelah pengumpanan selama 12 minggu. Contoh uji kayu kamper (Dryobalanops sp.), pinus, dan sengon digunakan untuk uji penurunan berat, uji berat jenis (BJ), dan uji modulus lentur (MOE), dan modulus patah (MOR). BJ kayu ditentukan secara gravimeteri, sedangkan pengujian MOE dan MOR kayu menggunakan universal testing machine INSTRON. Selain itu, uji lapang pelapukan kayu dilakukan selama 12 minggu di Jakarta, Semarang, Tegal, Serang, Bogor, Malang, dan di Lembang. Dalam hal ini, pengumpanan contoh uji kayu sengon dan kamper didasarkan atas metode Rapp et al (2001) pada ketinggian satu meter dari tanah permukaan tanah. Evaluasi degradasi kayu yang terjadi didasarkan pada nilai MOE dan MOR-nya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ancaman pelapukan kayu pada bangunan rumah di Pulau Jawa sangat tinggi. Hal ini tercermin dari kenyataan bahwa sebagian besar kota dan kabupaten di Pulau Jawa tergolong kelas bahaya pelapukan sangat tinggi (47%) dan kelas bahaya pelapukan tinggi (40%). Daerah lainnya tergolong kelas bahaya pelapukan sedang, sedangkan daerah yang tergolong kelas bahaya pelapukan rendah tidak ada. Kelas bahaya pelapukan sangat tinggi berada di wilayah Barat dan Selatan Jawa Barat, Banten, dan DKI Jakarta; Jawa Tengah bagian Utara dan Timur; serta sebagian kecil wilayah Selatan Jawa Timur. Sementara itu Bogor, Malang, Jakarta, dan Semarang merupakan daerah yang tergolong kelas bahaya pelapukan sangat tinggi. Daerah yang tergolong kelas bahaya pelapukan tinggi diantaranya adalah Tasikmalaya dan Gresik, sedangkan yang tergolong kelas bahaya pelapukan sedang diantaranya adalah Indramayu dan Pati.

Pelapukan kayu pada bangunan rumah merupakan masalah yang serius terbukti dari hasil survey bahwa sekitar 87% rumah mengalami kerusakan oleh jamur pelapuk. Serangan jamur pelapuk terjadi pada berbagai komponen rumah yang sering mengalami pembasahan. Komponen rumah yang paling banyak diserang jamur pelapuk adalah lisplang dan rangka atap, terutama pada bagian yang cat pelindungnya terkelupas, pada bagian sambungan, dan pada bagian ujung komponen. Masuknya air ke dalam struktur bangunan terutama disebabkan oleh sistem atap dan saluran air yang rusak dan tidak berfungsi dengan baik.

Pelapukan kayu pada perumahan telah membebani masyarakat luas karena sangat merugikan, misalnya di Tegal senilai Rp0,4 milyar/tahun, di Bogor Rp3,7 milyar/tahun dan di Semarang Rp7,7 milyar/tahun, bahkan dalam lingkup Pulau Jawa kerugian tersebut mencapai lebih dari Rp411,2 milyar/tahun. Nilai tersebut belum mencakup kerugian tidak langsung akibat tidak berfungsinya bangunan karena pelapukan dan proses perbaikannya.

G. applanatum dan S. commune merupakan jenis jamur pelapuk yang paling sering menyerang bangunan rumah di Pulau Jawa, tumbuh optimum pada suhu 37

oC dan 29 oC, sedangkan pH optimumnya masing-masing 4,6 dan 4,8. Kedua

(7)

dari perkecambahan spora menjadi hifa-hifa yang masuk ke dalam kayu pada arah longitudinal terutama melalui sel pembuluh (kayu daun lebar) atau saluran interseluler (kayu daun jarum). Pergerakan hifa pada arah lateral terutama terjadi melalui sel jari-jari, sedangkan pergerakannya antar sel kayu melalui noktah pada dinding sel pembuluh, sel jari-jari, dan sel parenkim lainnya. Hifa jamur masuk ke dalam sel kayu paling cepat melalui noktah dengan mendegradasi membran tipis secara fisik maupun enzimatik. Hifa yang masuk ke dalam lumen, tumbuh dan mendegradasi dinding sel dari dalam. Banyaknya sel kayu yang terdegradasi mengakibatkan terbentuknya rongga-rongga terutama di sekitar sel-sel parenkim. Terbukti bahwa G. applanatum lebih destruktif dalam menyebabkan kehilangan masa kayu (12,6%) daripada S. commune (6,7%) selama 12 minggu inkubasi. Penurunan sifat mekanis (MOE dan MOR) kayu oleh kedua jamur tersebut juga cukup besar yaitu lebih dari 14%.

Hasil peelitian juga menunjukkan bahwa seluruh kayu yang diumpankan di lapangan mengalami pelapukan. Hasil uji beda rata-rata Tukey menunjukkan bahwa kayu yang diumpankan di Bogor mengalami degradasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang diumpankan di daerah lainnya. Nilai koefisien determinasi dalam hubungan indeks pelapukan daerah dengan MOE dan MOR kayu cukup tinggi (> 0,80). Nilai korelasi MOE kamper, MOE sengon, MOR kamper, dan MOR sengon dengan indeks pelapukan lebih tinggi daripada nilai korelasi dengan masing-masing faktor iklim. Selain itu, degradasi kayu yang dinyatakan dengan nilai MOE dan MOR berkorelasi lebih kuat dengan jumlah hari hujan per bulan dibandingkan dengan faktor iklim lainnya.

Pemerintah perlu meningkatkan sosialisasi bahaya pelapukan kayu pada bangunan rumah dalam rangka meningkatkan kepedulian masyarakat terhadap upaya pengendalian pelapukan kayu terutama di daerah yang tergolong kelas bahaya pelapukan tinggi. Sudah saatnya peraturan konstruksi kayu diterapkan secara lebih serius terutama di daerah yang tergolong kelas bahaya pelapukan sangat tinggi dan tinggi. Pemerintah juga harus mendorong pengembangan dan penerapan teknologi pengawetan yang tepat guna dan ramah lingkungan. Selain itu, peta kelas bahaya pelapukan kayu di Jawa dapat menjadi acuan bagi perumusan kebijakan pemerintah dalam pembangunan perumahan berbasis kondisi wilayah. Dengan demikian penggunaan kayu diharapkan dapat lebih efisien dan umur pakai komponen kayu bangunan dapat ditingkatan.

(8)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(9)

ANALISIS BAHAYA PELAPUKAN KAYU PADA PERUMAHAN

DI PULAU JAWA

TRISNA PRIADI

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Ilmu dan Pengetahuan Kehutanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Anita Firmanti

(Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Permukiman, Kementerian Pekerjaan Umum)

Dr. Ir. Bonny PW Soekarno

(Staf Pengajar Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian Bogor)

Penguji pada Ujian Terbuka :

Dr. Ir. Iskandar Saleh, MCP. MA

(Sekretaris Kementerian Negara Perumahan Rakyat) Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS

(11)

Judul Disertasi : Analisis Bahaya Pelapukan Kayu pada Perumahan di Pulau Jawa

Nama : Trisna Priadi NRP : E. 061040011

Disetujui Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. H. Dodi Nandika, MS Ketua

Prof. Dr. Ir. H. Kurnia Sofyan Dr. Ir. H. Achmad, MS

Anggota Anggota

Dr. Arief Budi Witarto, M.Eng Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Prof. Dr. Ir. Fauzi Febrianto, MS Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr

(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga rangkaian penelitian dan karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Karya ilmiah berjudul Analisis Bahaya Pelapukan Kayu pada Perumahan di Pulau Jawa ini, selain didasarkan atas penelitian lapang yang dilakukan di sejumlah daerah di Pulau Jawa, juga didasarkan atas penelitian skala laboratorium di Institut Pertanian Bogor dan di Hokkaido University.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Dodi Nandika, MS, Bapak Prof. Dr. Ir. Kurnia Sofyan, Bapak Dr. Ir. Achmad, MS, dan Bapak Dr. Arief Budi Witarto, M.Eng selaku pembimbing atas arahan dan motivasi yang diberikan selama proses studi doktor. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Dirjen Pendidikan Tinggi atas pemberian Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS) dan dukungan bagi program sandwich ke Hokkaido University. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Yutaka Tamai, PhD yang telah memberikan bimbingan dan fasilitas penelitian di Hokkaido University. Penghargaan yang tinggi penulis sampaikan juga kepada Ibu Dr. Ir. Anita Firmanti, MT dan Bapak Dr. Ir. Bonny PW Soekarno sebagai penguji luar komisi dalam ujian tertutup serta Dr. Ir. Iskandar Saleh, MCP. MA dan Dr. Ir. Naresworo Nugroho, MS sebagai penguji luar komisi dalam ujian terbuka.

Ungkapan terima kasih disampaikan kepada ayahanda Adang Hermawan (alm), ibunda Entin Surtiati, istri tercinta Nunun Nurlaila, anak-anak permata hati Maryam Hanifah Mardliyyah, Muhammad Shiddiq Abdussalam, dan Asma Taqiyyah serta seluruh keluarga dan sahabat atas segala dukungan, kesabaran, kasih sayangnya dan do’anya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(14)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Sukabumi pada tanggal 25 April 1967 dari ayah Drs. Adang Hermawan dan ibu Entin Surtiati. Penulis merupakan anak ke enam dari sepuluh bersaudara. Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB), lulus pada tahun 1990. Penulis melanjutkan studi di School of Engineering, University of Tasmania dan menamatkannya pada tahun 2002. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Ilmu dan Pengetahuan Kehutanan diperoleh pada tahun 2004 dengan Beasiswa Program Pascasarjana (BPPS), Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan Nasional.

Penulis bekerja sebagai dosen di Fakultas Kehutanan IPB sejak tahun 1994. Bidang pengajaran dan penelitian yang ditekuni pada mulanya adalah struktur dan sifat kayu, namun kemudian penulis lebih banyak mendalami bidang biodeteriorasi dan peningkatan mutu kayu khususnya melalui pengeringan dan pengawetan kayu.

Selama mengikuti program S3, penulis juga menjadi anggota MAPEKI (Masyarakat Peneliti Kayu Indonesia) yang setiap tahun menyelenggarakan seminar nasional. Karya ilmiah berjudul Above Ground Degradation of Woods in Some Cities in Java telah dipresentasikan dalam The 2nd International Symposium

(15)

DAFTAR ISI

Halaman

I. PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Rumusan Permasalahan ... 3

Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Kayu sebagai Bahan Bangunan ... 4

Bahaya Pelapukan Kayu pada Bangunan Rumah ... 6

Deteriorasi Kayu oleh Jamur Pelapuk ... 8

Diagnosis Pelapukan Kayu ... 16

III. BAHAN DAN METODE ... 18

Analisis Kelas Bahaya Pelapukan Kayu di Pulau Jawa ... 18

Survey Pelapukan Kayu pada Bangunan Rumah ... 19

Identifikasi Jenis dan Karakteristik Jamur Penyebab Pelapukan Pada Bangunan Rumah ... 22

Analisis Dampak Degradasi Kayu oleh Jamur Pelapuk ... 29

IV. KELAS BAHAYA PELAPUKAN KAYU DI PULAU JAWA ... 37

V. FREKUENSI DAN INTENSITAS SERANGAN JAMUR PELAPUK PADA BANGUNAN RUMAH SERTA KERUGIAN YANG DITIMBULKANNYA ... 44

VI. JENIS DAN KARAKTERISTIK JAMUR PENYEBAB PELAPUKAN PADA BANGUNAN RUMAH ... 56

Identifikasi Jamur Pelapuk Kayu ... 56

Uji Oksidasi Jamur Pelapuk Kayu ... 65

Pertumbuhan Jamur Pelapuk pada Berbagai Suhu Inkubasi ... 67

Pertumbuhan Jamur Pelapuk pada Berbagai pH Media ... 69

VII. DAMPAK SERANGAN JAMUR PELAPUK TERHADAP SIFAT-SIFAT KAYU ... 71

Pengaruh Serangan Jamur Pelapuk terhadap Struktur Anatomi Kayu ... ... 71

Pengaruh Serangan Jamur Pelapuk terhadap Sifat Kimia Kayu ... ... 80

Pengaruh Serangan Jamur Pelapuk terhadap Berat Kayu ... ... 84

Pengaruh Serangan Jamur Pelapuk terhadap Berat Jenis Kayu ... .... 87

Pengaruh Serangan Jamur Pelapuk terhadap Modulus Lentur dan Modulus Patah Kayu ... ... 88

(16)

Halaman

VIII. PEMBAHASAN UMUM ... 96

IX. KESIMPULAN... 105

DAFTAR PUSTAKA ... 107

(17)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Kriteria kelas bahaya pelapukan kayu... 18 2 Klasifikasi pelapukan kayu berdasarkan karakteristik yang nampak

pada kayu ... 21 3 Siklus pemanasan dalam PCR ... 26 4 Kelas kecepatan pertumbuhan miselium jamur pelapuk kayu pada

media PDA ... 29 5 Klasifikasi tingkat deteriorasi kayu oleh jamur pelapuk berdasarkan

(18)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Pengujian sifat mekanis kayu yang telah diumpankan terhadap

jamur pelapuk kayu ... 35

2 Susunan contoh uji kayu kamper dan sengon pada pengujian lapangan pelapukan kayu tidak menyentuh tanah ... 36

3 Peta kelas bahaya pelapukan kayu di Pulau Jawa ... 39

4 Persentase rumah terserang jamur pelapuk di 10 daerah survey ... 44

5 Persentase komponen lapuk pada bangunan rumah ... 45

6 Pengelupasan cat dan serangan jamur pada lisplang ... 46

7 Genting yang bergeser menyebabkan pembasahan lisplang dan memicu pelapukan kayu ... 48

8 Volume kerusakan kayu oleh jamur pelapuk pada berbagai kelas umur bangunan rumah ... 50

9 Persentase jenis pelapukan kayu pada bangunan rumah ... 51

10 Kerugian ekonomi per unit rumah akibat pelapukan kayu ... 53

11 Kerugian ekonomi akibat pelapukan kayu pada bangunan rumah di sepuluh kota di Pulau Jawa ... 54

12 Isolat jamur DE, SC, dan PB pada media PDA (potato dextrose agar) ... 57

13 Hifa jamur DE, SC, dan PB ... 58

14 Pertumbuhan miselia jamur PB, SC dan DE pada media serbuk kayu sengon dan pinus ... 59

15 Tubuh buah jamur SC pada kayu sengon, lamela pada permukaan bagian bawah tubuh buah, dan jejak spora ... 61

16 Tubuh buah jamur DE pada rangka plafon dan pori-pori pada permukaan bagian bawah tubuh buah ... 62

17 Tubuh buah jamur PB pada kusen pintu, penampang irisan melintang tubuh buah, dan pori-pori pada permukaan bagian bawah tubuh buah ... 63

18 Hasil gel electrophoresis produk PCR dari rDNA jamur PB, jamur SC dan jamur DE ... 65

19 Pewarnaan yang terjadi pada media guaiacol setelah diinokulasi jamur DE, jamur SC, dan jamur PB ... 66

(19)

21 Pertumbuhan miselia jamur pelapuk S. commune pada media

PDA (pH7) hingga 10 hari inkubasi dan setelah 34 hari inkubasi ... 69 22 Pertumbuhan diameter miselia jamur pelapuk S. commune dan G.

applanatum pada berbagai pH media ... 70 23 Hifa (h) jamur pelapuk G. applanatum dalam saluran interseluler

(i) dan sel jari-jari (j) kayu pinus serta dalam sel pembuluh kayu

sengon ... 71 24 Hifa (h) jamur pelapuk S. commune dalam saluran interseluler (i)

dan sel jari-jari (j) kayu pinus serta dalam sel pembuluh (p) kayu

sengon ... 72 25 Noktah sederhana (a) menghubungkan dua sel parenkim; noktah

halaman (b) menghubungkan rongga antar dua sel trakeid; dan noktah setengah halaman (c) menghubungkan sel trakeid dengan

sel parenkim ... 74 26 Bagian noktah pada dinding sel kayu pinus yang terdegradasi oleh

jamur pelapuk G. applanatum ... 76 27 Bagian noktah pada dinding sel kayu pinus yang terdegradasi oleh

jamur pelapuk S. commune... 77 28 Bagian noktah pada dinding sel kayu sengon yang terdegradasi

oleh jamur pelapuk G. applanatum ... 77 29 Rongga-rongga (r) yang terbentuk oleh jamur pelapuk G.

applanatum pada kayu sengon (a) dan pinus (b) . ... 78 30 Rongga-rongga (r) yang terbentuk oleh jamur pelapuk S.

commune pada kayu sengon (a) dan pinus (b) . ... 79 31 Perubahan warna media serbuk kayu setelah diinokulasi dengan

jamur G. applanatum (GS) dan S. commune (SS) selama dua

minggu (S=kontrol) ... 80 32 Kadar selulosa dan lignin media serbuk kayu pinus (a) dan sengon

(b) setelah 12 minggu uji biodeteriorasi dengan jamur pelapuk G.

applanatum dan S. commune ... 81 33 Kolonisasi jamur G. applanatum (a) dan S. commune (b) pada

contoh uji kayu ... 84 34 Penurunan berat kering kayu kamper (a), pinus (b), dan sengon

(c) oleh jamur pelapuk G. applanatum dan S. commune ... 85 35 Berat jenis kayu kamper, pinus, dan sengon setelah pengumpanan

terhadap jamur pelapuk G. applanatum dan S. commune ... 87 36 MOE (modulus lentur) kayu kamper, pinus, dan sengon setelah

pengumpanan terhadap jamur pelapuk G. applanatum dan S.

(20)

37 MOR (modulus patah) kayu kamper, pinus, dan sengon setelah pengumpanan terhadap jamur pelapuk G. applanatum dan S.

commune ... 90 38 Pengaruh indeks pelapukan daerah terhadap modulus lentur

(MOE) kayu dalam uji lapang pelapukan . ... 92 39 Pengaruh indeks pelapukan daerah terhadap modulus patah

(MOR) kayu dalam uji lapang pelapukan . ... 93 40 Pewarnaan pada kayu kamper (K) dan sengon (S) dalam uji

lapangan pelapukan ... 94 41 Diagram keterkaitan empat faktor resiko pelapukan kayu pada

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Suhu udara, kelembaban udara, curah hujan bulanan, dan jumlah

hari hujan bulanan di kabupaten/ kota di Pulau Jawa ... 116

2 Indeks pelapukan dan kelas bahaya pelapukan di kabupaten/ kota di Pulau Jawa ... 118

3 Lembar survey biodeteriorasi pada bangunan rumah contoh ... 120

4 Tally sheet diagnosa biodeteriorasi pada bangunan rumah contoh ... 122

5 Contoh perhitungan kerugian ekonomi akibat serangan jamur pelapuk pada rumah contoh . ... 123

6 Perbandingan volume asam sitrat 0,1 M dan sodium fospat 0,2 M dalam pengaturan pH media PDA ... 124

7 Jumlah bangunan rumah terserang jamur pelapuk di sepuluh daerah di Pulau Jawa ... 125

8 PCR Sequences dari tiga spesimen jamur yang diisolasi dari komponen bangunan yang lapuk ... 126

9 Electropherogram hasil sequensing jamur DE dengan ITS1F ... 128

10 Electropherogram hasil sequensing jamur DE dengan ITS4B ... 129

11 Electropherogram hasil sequensing jamur PB dengan ITS1F ... 130

12 Electropherogram hasil sequensing jamur PB dengan ITS4B ... 131

13 Electropherogram hasil sequensing jamur SC dengan ITS1F ... 132

14 Electropherogram hasil sequensing jamur SC dengan ITS4B ... 133

15 Diameter dan pertumbuhan miselium S. commune dan G. applanatum pada media PDA dalam variasi suhu ... 134

16 Diameter dan pertumbuhan miselium S. commune dan G. applanatum pada media PDA dalam variasi pH ... 135

17 Analisis ragam kadar lignin dan selulosa media serbuk kayu dalam uji biodeteriorasi oleh jamur pelapuk. ... 136

18 Analisis ragam penurunan berat kayu dalam uji biodeteriorasi oleh jamur pelapuk ... 138

19 Analisis ragam berat jenis kayu dalam uji biodeteriorasi oleh jamur pelapuk kayu ... 140

(22)

Halaman

21 Analisis ragam dan uji korelasi indeks pelapukan daerah dengan nilai modulus lentur (MOE) dan modulus patah (MOR) sebagai

indikator degradasi kayu dalam uji lapang pelapukan kayu ... 143 22 Hubungan beberapa unsur iklim dengan modulus lentur (MOE)

dan modulus patah (MOR) kayu dalam uji lapang biodeteriorasi

(23)

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pulau Jawa merupakan pulau kelima terbesar dan terpadat penduduknya di Indonesia. Luas daratannya 129.438,28 km2 dengan jumlah penduduk mencapai 136.563.142 jiwa atau 57,5% dari jumlah penduduk Indonesia. Pulau ini juga merupakan yang terpadat penduduknya (1.055 jiwa/km2) dengan laju pertumbuhan 1,19% per tahun (Badan Pusat Statistik 2010a). Dengan demikian pada tahun 2025 jumlah penduduknya diperkirakan mencapai 163 juta jiwa.

Secara ekonomis posisi Pulau Jawa juga sangat strategis karena sebagian besar industri dan simpul-simpul perdagangan terletak di pulau ini. Bahkan kota-kota besar, termasuk ibu kota-kota negara terletak di Pulau Jawa. Dengan perkataan lain, Pulau Jawa merupakan pusat perekonomian terbesar di Indonesia. Pada triwulan kedua tahun 2010 kontribusi terhadap PDB (Produk Domestik Bruto) dari Pulau Jawa mencapai 57,5% (Badan Pusat Statistik 2010b). Ketersediaan infrastruktur di Pulau Jawa juga relatif paling baik di Indonesia. Demikian juga pendapatan perkapitanya. Pada tahun 2008 nilai investasi dalam negeri dan luar negeri di pulau ini berturut-turut mencapai 12,2 triliun rupiah dan 13,6 milyar dollar Amerika atau sekitar 60% dan 91% dari total investasi di Indonesia. Tingginya laju pembangunan di Pulau Jawa juga tercermin dari indeks pembangunan manusia (IPM). Di keenam propinsi di Pulau Jawa yaitu Banten, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, dan Jawa Timur, IPM rata-ratanya berkisar antara 69,3 sampai 76,6, lebih baik dibandingkan dengan IPM di pulau-pulau lainnya di Indonesia (Badan Pusat Statistik 2009).

(24)

2

sekitar 32,1 juta unit rumah (Badan Pusat Statistik 2008), kemudian meningkat menjadi 32,9 juta unit rumah pada tahun 2010. Bahkan pada tahun 2025 di Pulau Jawa diperkirakan terdapat sekitar 39,4 juta unit rumah. Besarnya populasi rumah tersebut sejalan dengan besarnya nilai pembangunan konstruksi dan instalasi di Pulau Jawa yang mencapai 59,4 triliun rupiah atau sekitar 62% dari nilai konstruksi dan instalasi di Indonesia.

Pembangunan perumahan, gedung dan berbagai konstruksi lainnya tidak terlepas dari penggunaan bahan kayu yang pada kenyataannya di pasaran sekarang ini lebih didominasi oleh jenis kayu yang tidak awet (non-durable species). Selain itu penggunaan kayu dari pohon-pohon berumur muda sejak dua puluh tahun terakhir ini semakin memperburuk kerentanan bangunan rumah terhadap ancaman pelapukan kayu (wood decay). Padahal pelapukan dapat menyebabkan penurunan kemampuan kayu dalam menahan beban pada struktur bangunan rumah. Bangunan dapat menjadi tidak stabil bahkan mengalami kerusakan. Hal ini membahayakan bagi keselamatan penghuni bangunan tersebut. Secara ekonomis pelapukan kayu pada bangunan rumah juga merugikan, karena masyarakat harus mengeluarkan biaya perbaikan dan biaya tidak langsung terkait dengan kerusakan struktur bangunan. Biaya perbaikan kerusakan akibat jamur pelapuk kering di Inggris setidaknya 156 juta pound sterling per tahun (Schmidt 2007). Di Amerika Serikat, untuk perbaikan bangunan-bangunan yang lapuk oleh jamur menggunakan 10% produksi kayu tahunannya (Lyon 1991). Adapun di wilayah bekas Jerman Timur pelapukan kayu pada rumah-rumah tua senilai 1,5 milyar Euro (Huckfeldt 2003a).

(25)

3

Rumusan Permasalahan

Ditinjau dari aspek demografis, sosial, ekonomi, dan politis bahkan pertahanan dan keamanan, Pulau Jawa dapat dikatakan merupakan daerah paling strategis di Indonesia. Tingginya populasi dan pertumbuhan penduduk, tingginya pertumbuhan permukiman, serta besarnya konsumsi kayu bangunan di Pulau Jawa menyebabkan perhatian akan pengendalian pelapukan kayu bangunan rumah di Pulau Jawa sangat penting dan strategis. Ancaman pelapukan kayu yang tinggi tersebut didukung oleh iklim tropis yang hangat dan lembab serta keberadaan aneka jenis mikroorganisme penyebab pelapukan kayu bangunan.

Secara teknis pelapukan mengakibatkan struktur bangunan menjadi tidak kokoh dan membahayakan bagi penghuninya. Masyarakat juga mengalami kerugian karena harus memperbaiki kerusakan rumahnya akibat pelapukan. Selain itu pelapukan kayu pada bangunan rumah juga menambah beban ekologis karena umur pakai kayu menjadi pendek dan konsumsi kayu dari hutan menjadi tinggi. Sementara itu pengetahuan tentang potensi pelapukan kayu pada bangunan rumah di Indonesia sangat langka, khususnya tentang kelas bahaya pelapukan (decay hazard class). Padahal informasi tersebut sangat penting sebagai salah satu landasan ilmiah bagi perumusan kebijakan pemerintah dalam pengendalian pelapukan kayu pada bangunan rumah di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa.

Tujuan dan Manfaat Penelitian

(26)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Kayu sebagai Bahan Bangunan

Isu green building (bangunan ramah lingkungan) kini semakin meningkat terutama di negara-negara maju. Dalam sebuah survey di Kanada tahun 2004, sekitar 48,7% responden meyakini bahwa produk kayu merupakan pilihan yang paling ramah lingkungan dibandingkan produk dari baja dan beton, karena kayu dapat diperbaharui dan didaur ulang serta dapat mengurangi gas karbon. Setiap tahun manusia melepaskan 8 miliyar ton kubik karbon ke udara dalam penggunaan energi hariannya. Pepohonan dan lautan menyerap sebagian besar karbondioksida tersebut. Ketika pohon ditebang karbon tersimpan selama penggunaanya sebagi rumah, bangunan, furniture, dan sebagainya. Sekitar 216 m2 bangunan berangka kayu menyimpan 28,5 ton CO2 yang setara dengan emisi mobil kecil selama lebih dari tujuh tahun. Pengolahan kayu juga relatif rendah penggunaan energinya. Kayu juga merupakan isolator panas yang lebih baik daripada baja dan beton sehingga dapat menghemat energi pemanasan dan ventilasi dalam bangunan. Selain itu bangunan kayu paling kecil resikonya dari bencana gempa dan badai dibandingkan dengan bangunan dari bahan lainnya (The Canadian Wood Council 2010). Konstruksi kayu teruji baik dalam stabilitas dan keamanan dalam simulasi 7,5 skala gempa selama 40 detik (American Wood Council 2009).

(27)

5

bahan kayu, sedangkan konstruksi beton menimbulkan 51% lebih banyak limbah padat daripada konstruksi kayu (Oregon State University 2004).

Sebagai bahan alami, kayu memiliki karakteristik yang harus difahami agar penggunaannya dapat secara rasional. Sifat-sifat unggul kayu telah menjadikannya sebagai bahan yang senantiasa diminati masyarakat dan semakin tinggi permintaannya di pasaran. Holley (2009) menjelaskan bahwa walaupun metal, beton, dan plastik banyak menggantikan penggunaan kayu, tapi kekuatan, sifat isolasi, daya guna, kemudahan pengerjaan, dan keindahan alaminya masih menjadikan kayu sebagai bahan bangunan pilihan. Oleh karena itu setengah dari produksi kayu di Amerika Serikat dijadikan kayu gergajian terutama untuk bangunan dan banyak juga untuk perabot rumah.

Kayu adalah bahan yang relatif ringan tapi sangat kuat sebagai bahan bangunan. Balok kayu besar lebih tahan dalam kebakaran, karena lapisan arang yang terbentuk melindungi bagian dalamnya sehingga memperlambat penurunan kekuatannya. Selain itu kayu juga dapat terurai alami (FWC 2005). Kayu merupakan bahan bangunan yang paling banyak digunakan di Amerika Serikat karena karakteristiknya yang cocok untuk berbagai penggunaan. Tapi hal terpentingnya adalah kayu merupakan bahan alam yang bisa diperbaharui. Dengan manajemen hutan dan praktek pemanenan secara lestari, sumber kayu akan tersedia selamanya (Falk 2009).

Sebagai bahan baku, kayu memiliki kelemahan, diantaranya adalah dapat terbakar, dapat menyusut, dan adanya variasi sifat dalam jenis yang sama, bahkan dalam batang pohon yang sama (Aghayere & Vigil 2007). Namun kelemahan kayu yang terpenting yaitu dalam kondisi tertentu kayu terdegradasi oleh organisme sebagai bagian dari siklus biologis (Schmidt 2006).

(28)

6

Kehangatan dan sifat alami kayu memberi kesan lingkungan yang tenang. Oleh karena itu The Thunder Bay Regional Health Sciences Centre, Kanada, membangun 18.600 m2 koridor utama yang terbuat dari kayu dengan pengaturan cahaya siang secara alami dari matahari (The Canadian Wood Council 2010).

Volume kayu yang dibutuhkan untuk konstruksi rumah bergantung pada tipe dan ukuran bangunan rumah tersebut. Berdasarkan Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 403/KPTS/M/2002, konstruksi rumah beton yang dindingnya dari batu bata, merupakan konstruksi dengan penggunaan bahan kayu paling minimal dibanding konstruksi rumah kayu. Konsumsi kayu untuk sebuah rumah beton minimal adalah 4 m3 kayu gergajian. Dengan pertumbuhan penduduk Pulau Jawa 1,19% per tahun, maka kebutuhan rumah setiap tahunnya lebih dari 400.000 unit rumah. Berarti kebutuhan kayu untuk konstruksi rumah di Pulau Jawa setiap tahunnya lebih dari 1,6 juta m3.

Bahaya Pelapukan Kayu pada Bangunan Rumah

Menurut The American Heritage (2009), istilah decay atau rot (lapuk) diartikan sebagai kerusakan atau penguraian bahan organik sebagai akibat aktivitas bakteri atau jamur. Sedangkan istilah hazard (bahaya), menurut Agius (2009) dalam Oxford Dictionary sama dengan risk, chance, bad consequences, loss, dan expose to mischance. Tapi dalam bidang kesehatan lingkungan dan tempat tinggal istilah hazard bukan sinonim risk, tapi merupakan penentu penting bagi risk. Hazard merupakan potensi yang dapat menyebabkan kerusakan atau kecelakaan, sedangkan risk adalah kemungkinan terjadinya kerusakan atau kecelakaan tersebut. Sebagai contoh, potasium dikromat merupakan bahan kimia karsinogenik yang sangat beracun. Bahan ini digunakan untuk analisis kandungan alkohol melalui pernafasan. Untuk keperluan ini bahan tersebut disimpan dalam tabung sehingga walaupun bahan tersebut sangat berbahaya (highly hazardous substance), tidak menimbulkan resiko (risk) bagi penggunanya.

(29)

7

pelapukan tinggi adalah wilayah Tenggara yang memiliki curah hujan tinggi, suhu yang hangat dan lembab. Di wilayah Timur Laut pelapukan agak lambat, sedangkan di wilayah Barat Daya bahaya pelapukan rendah karena cuacanya sangat kering (FPL 2000).

Keberadaan air dan suhu merupakan faktor penting dalam proses pelapukan kayu. Sebagaimana yang dilaporkan oleh Gonzales et al.(2008) dari hasil uji pelapukan kayu aspen (Populus tremuloides) di hutan kering dan hutan lembab Utara (Alaska dan Minnesota), di daerah iklim temperate (iklim sedang) (Washington dan Idaho) dan daerah tropis (Puerto Rico). Kayu aspen paling cepat lapuk di daerah tropis, sedangkan yang paling lambat di daerah temperate. Daerah tropis lebih hangat dan lebih lembab dibandingkan dengan daerah temperate. Masa kayu tersisa lebih tinggi di daerah Utara yang kering dibandingkan daerah yang lembab. Ini juga menunjukkan pengaruh kelembaban udara terhadap pelapukan kayu. Luas areal hutan percobaan tidak berpengaruh terhadap pelapukan kayu. Selain itu tidak ada perbedaan laju pelapukan kayu aspen di pinggir dan di tengah hutan.

Di daerah beriklim hangat dan lembab, komponen kayu pada umumnya lebih rawan terhadap pelapukan daripada di daerah yang dingin dan kering. Oleh arena itu perlindungan komponen kayu perlu lebih kuat di daerah lembab daripada di daerah kering. Menurut Lyon (1991), untuk mengganti kayu yang lapuk oleh jamur di Amerika Serikat dibutuhkan hampir 10% produksi kayu tahunan di Amerika Serikat.

Kumi-Woode (1996) memetakan potensi bahaya pelapukan (decay hazard) kayu yang dipasang tanpa menyentuh tanah di berbagai zona ekologi di Ghana. Potensi bahaya pelapukan kayu di Ghana bervariasi dari kelas bahaya sedang hingga kelas bahaya sangat tinggi. Wilayah bagian Barat memiliki potensi pelapukan lebih tinggi dari wilayah bagian Timur. Sedangkan bagian Selatan berpotensi pelapukan lebih tinggi dibanding daerah Utara. Curah hujan dan kelembaban udara lebih mempengaruhi indeks pelapukan dibanding faktor suhu.

(30)

8

merupakan fungsi dari curah hujan dan suhu rata-rata tahunan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa Australia terbagi menjadi empat zona bahaya pelapukan. Zona A yang paling rendah potensi pelapukannya berada di bagian tengah benua. Semakin ke tepi benua potensi pelapukan kayu semakin besar. Zona D yang paling tinggi potensi bahaya pelapukannya berada di tepi benua bagian Utara hingga Timur.

Kondisi permukaan kayu yang basah dibutuhkan oleh spora jamur agar bisa berkecambah menjadi hifa. Selanjutnya pertumbuhan hifa pada kayu bergantung pada kadar air kayu dan suhu. Setiap jenis jamur membutuhkan kondisi pertumbuhan yang dapat berbeda satu sama lain. Tapi secara umum di bawah suhu 5 oC jamur dorman, sedangkan di atas 65 oC jamur pada umumnya mati dalam beberapa jam. Pertumbuhan jamur juga sangat lambat pada kadar air kayu di bawah titik jenuh serat. Batas terendah kadar air kayu untuk pertumbuhan jamur adalah 19%, sedangkan batas tertingginya adalah ketika 80% rongga sel kayu terisi air. Kondisi lainnya yang mempengaruhi kecepatan pertumbuhan jamur adalah pH, ketersediaan nitrogen dan ketiadaan oksigen (Leicester 2001).

Deteriorasi Kayu oleh Jamur Pelapuk

(31)

9

Secara umum kolonisasi kayu oleh organisme terjadi secara dinamis oleh bakteri, jamur pewarna dan pelapuk lunak, kemudian Basidiomycetes. Urutan kolonisasi ini dalam kayu yang tidak diawetkan bisa terjadi dalam masa 70 hari. Adapun pelapukan yang terlihat memerlukan waktu lebih lama, yaitu sekitar 6 bulan pada kayu gubal yang tidak menyentuh tanah. Waktu lama tersebut terutama disebabkan oleh berkurangnya nutrisi yang diperlukan karena dipakai organisme lain. Selain itu ada juga efek antagonis organisme lain, misalnya Actinomycetes dan eubacteria. Kemampuan Actinomycetes, Ascomycetes dan bakteri mengawali serangan pada kayu juga disebabkan kemampuannya dalam mendetoksifikasi ekstraktif atau bahan pengawet (Nicholas & Crawford 2003).

Menurut Harris (2001), kerusakan kayu oleh jamur pelapuk bisa semakin berat karena dapat mengundang serangan serangga perusak kayu. Banyak serangga yang tertarik menyerang kayu berkadar air tinggi, contohnya adalah rayap tanah. Hal lain yang disukai jamur adalah kondisi lembab dan hangat. Oleh karena itu sarang rayap yang kondisinya hangat dan lembab sangat ideal untuk pertumbuhan jamur yang menjadi sumber protein dan vitamin bagi koloni rayap. Sementara itu akumulasi kotoran rayap dalam sarang membantu pertumbuhan jamur.

Serangan jamur mengakibatkan kayu mengalami perubahan warna, struktur, komposisi kimia dan sifat kayu (Harris 2001). Jamur yang menyerang kayu di dalam dan di sekitar bangunan umumnya dikelompokkan menjadi pelapuk kering dan pelapuk basah. Jamur basah yang sering menyerang kayu adalah jamur berkantung (Coniophora puteana), dan jamur berpori putih atau jamur pertambangan (Fibroporia vailantii). Contoh jamur pelapuk basah lainnya Amyloporia xantha, Poria placenta, Phellinus contiguus, Donkioporia expansa, Pleurotus ostreatus, Asterostroma spp, Paxillus pnuoides (Watt 1999).

(32)

10

di bagian ekstrenal. Biasanya lebih kecil daripada pelapuk kering, berwarna cokelat dan tipis melekat pada kayu yang terserang. Komponen yang terserang pelapuk basah harus segera diganti dengan kayu yang diawetkan (Glover 2006).

Jamur pelapuk kering dapat menyalurkan air dari tempat lain sehingga bisa menyerang kayu kering. Kayu yang diserangnya menjadi kering pada pelapukan lanjut. Di awal serangan kayu menjadi kusam, kemudian menjadi cokelat. Pada akhir pelapukan kayu mengalami retak-retak melintang serat, penyusutan berlebihan, dan mudah hancur. Hifa biasanya tidak tampak pada permukaan kayu, hanya pada kondisi tertentu terlihat miselium. Hifa yang dimilikinya dapat panjang sekali (10–20 m), dinamakan rhizomorph. Hifa ini dapat menembus batu-bata, tembok dan dibalik plester yang lembab untuk mencari sumber kayu (Harris 2001).

Jamur jamur pelapuk kering, Serpula lacrimans (Schumach. Ex Fr. Gray) merupakan jamur pelapuk yang terpenting yang menyerang bangunan di Eropa bagian Utara dan Tengah, juga di Jepang dan Australia. Selain kemampuannya yang kuat mendegradasi kayu, jamur ini juga dapat berpindah dari satu kayu ke kayu lainnya melewati permukaan bahan tanpa nutrisi (Singh 2002).

Serangan pelapuk kering sering terjadi pada lantai, dibelakang panel dinding atau di dalam ruang atap yang udaranya hangat dan lembab karena ventilasi yang buruk. Miselium lapuk kering yang berwarna putih dapat menjalar ke mana-mana, selain itu juga memiliki rhizomorf yang dapat mengangkut air dari kayu lembab melalui daerah kering. Penanggulangannya tidak cukup dengan penggantian komponen terserang dengan kayu yang diawetkan, tapi juga harus disertai pengendalian bagian lain yang berhubungan dan mendukung lapuk tersebut (Glover 2006).

(33)

11

Pelapukan Kayu oleh Jamur Pelapuk Putih

Jamur pelapuk putih banyak berasal dari Basidiomycetes dan jarang dari Ascomycetes. Beberapa jamur pelapuk putih yang penting diantaranya adalah Armilaria melea, Donkioporia expansa, Fomes fomentraius, Heterobasidion annosum, Meripilus giganteus, Phellinus pini, Polyporus squamosus, Schizophyllum commune, Stereum sanguinolentum, Trametes versicolor (Schmidt 2006). Jamur pelapuk putih sering menyerang bagian gubal dan teras dari kayu daun lebar (Wong et al. 2004).

Jamur pelapuk putih lebih banyak menyerang kayu daun lebar daripada kayu daun jarum. Pada pelapukan lanjut kayu tampak seperti spong atau massa berserabut dengan kantung-kantung atau garis-garis putih di antara bagian kayu yang masih utuh (Harris 2001). Selain itu ciri serangan jamur pelapuk putih adalah tidak ada retak melintang serat. Kayu yang terserang jamur pelapuk putih mengalami penurunan kekuatan secara bertahap hingga pada akhirnya berbentuk spong. Serangan jamur pelapuk ini mengakibatkan kehilangan berat kayu, karena ada bagian dinding sel yang hilang. Secara umum kayu lapuk putih tidak terlihat mengalami penyusutan dan collapse. Bentuk kayu relatif tidak berubah walau pada pelapukan lanjut.

Luna et al. (2004) menjelaskan bahwa setelah inkubasi selama 75 dan 150 hari, penurunan berat kayu poplar oleh Pycnoporus sanguineus dan Ganoderma lucidum relatif sama (50-60%), tapi pengamatan dengan mikroskop menunjukkan perbedaan pola pelapukan. Serangan P. sanguineus merupakan delignifikasi selektif, sedangkan serangan G. lucidum merupakan kombinasi pelapukan simultan dan delignifikasi selektif. Dalam delignifikasi selektif, terjadi pemisahan antar sel, sedangkan dalam pelapukan simultan, terjadi erosi, penipisan dinding sel, pelubangan, erosi noktah, dan erosi saluran-saluran.

(34)

12

chrysosporium juga menyerang lignin dan hemiselulosa dalam kecepatan yang sama (Huang et al. 2004).

Proses dekomposisi kayu terjadi secara hidrolisis dan oksidasi sehingga ikatan kimia terpecah melalui dehidrogenasi oleh oksigen. Jamur pelapuk memiliki enzim selulase (endoselulase dan eksoselulase), hemiselulase, B-glukosidase, oksidase, dan enzim perusak lignin, yang digunakan secara simultan untuk menguraikan polimer kayu (Harris 2001).

Pendegradasi polisakarida, selulase dan hemiselulase memfasilitasi reaksi hidrolisis dan oksidasi. Selulase menghidrolisis polimer selulosa menjadi monomer sakarida. Dalam hal ini terjadi reaksi sinergis, eksoselulase menghidrolisis selulosa kristalin menjadi selobiosa, sedangkan endoselulase menghidrolisis selulosa amorf menjadi oligosakarida. Selobiosa diubah menjadi glukosa oleh glukohidrolase yang merupakan bentuk hidrolisis dari B-glukosidase. Adapun enzim oksidase mereduksi selulosa menjadi selobiosa dan glukosa. Enzim oksidase ini berperan dalam mencegah akumulasi hasil akhir hidrolisis, yang dapat menghentikan reaksi kimia dan menurunkan ketersediaan monomer glukosa sebagai nutrisi utamanya (Harris 2001).

Hemiselulosa yang terbentuk dari xylan, manan, dan galaktan harus diuraikan dengan enzim xylanase, manase, dan galaktanase. Degradasi lignin terjadi oleh mekanisme radikal pengoksidasi, melibatkan lignin peroksidase (ligninase) dan hidrogen peroksida (Harris 2001).

(35)

13

Pelapukan Kayu oleh Jamur Pelapuk Cokelat

Jamur pelapuk yang banyak menyerang bangunan di Finlandia adalah Serpula lacrimans, Poria/Antrodia sp. dan Coniophora puteana yang semuanya tergolong jamur pelapuk cokelat (Venalainen et al. 2002). Di Malaysia serangan jamur pelapuk cokelat jarang ditemui pada kayu daun lebar, kecuali dalam pohon berdiri, berupa lapuk hati (Wong et al. 2004).

Beberapa jamur pelapuk cokelat memiliki struktur seperti akar dinamakan rhizomorphs yang berfungsi sebagai pipa penyalur air sehingga bisa menyerang kayu yang relatif kering. Dengan demikian jamur ini dinamakan juga jamur pelapuk kering (dry rot fungus). Dua jamur pelapuk cokelat yang penting di Amerika adalah pelapuk basah (Coniophora cerebella) dan pelapuk kering (Merulius lacrimans). Terdapat lebih dari 100 jenis jamur pelapuk cokelat yang pada umumnya dari subdivisi Basidiomycetes. Sebagai contoh yang umum di Amerika Utara adalah: cellular fungus, scaly lentinus, Oligoporus placenta, Gloephyllum trabeum, maze gill, dan jamur pelapuk kering (Meruliporia incrasata) (Harris 2001). Sedangkan di Inggris menurut Watt (1999), jamur pelapuk cokelat penting yang menyerang produk kayu adalah jamur pelapuk kering (Serpula lacrymans), jamur berkantung (Coniophora puteana), dan jamur berpori putih atau jamur pertambangan (Fibroporia vaillanti).

Ridout (2004) menyatakan bahwa jamur pelapuk cokelat dapat masuk ke dalam kayu, sehingga terkadang bagian luar kayu tampak masih baik. Jamur tumbuh dalam rongga-rongga kayu. Enzim yang dihasilkannya menyebabkan depolimerisasi dinding sel sekunder secara cepat. Hal ini menyebabkan penurunan kekuatan drastis diawal pelapukan.

(36)

14

2003). Pelapuk cokelat dapat mengkonsumsi hingga 2/3 total bahan kayu (Bowyer et al. 2003).

Jamur pelapuk cokelat lebih menyerang selulosa dan hemiselulosa, tapi tidak mampu mengurai lignin, kecuali sekedar memodifikasinya (menurunkan kandungan metoksil dan meningkatkan kelarutannya). Matriks lignin cokelat yang rapuh disisakan sehingga ketika kering terjadi retakan dan membentuk kubus-kubus. Jamur pelapuk cokelat umumnya menyerang kayu daun jarum (Ridout 2004).

Huang et al. (2004) juga melaporkan bahwa Coniophora puteana lebih melapukkan selulosa dan hemiselulosa daripada lignin. Selulosa dalam dinding sel kayu dirusak secara acak sejak tahap awal pelapukan, sehingga kekuatan kayu berkurang secara nyata .

Jamur pelapuk cokelat tidak punya exo-1,4-glucanase (enzim penghidrolisis kristal selulosa atau selulosa alam). Selain itu ukuran rongga-rongga dinding sel kayu terlalu kecil untuk dapat dilewati secara bebas oleh enzim jamur pelapuk cokelat. Polisakarida dalam dinding sel kayu dapat terdegradasi dengan mudah pada jarak tertentu dari hifa jamur pelapuk cokelat. Berarti jamur pelapuk cokelat dapat menghasilkan agen ekstraseluler berbobot molekul rendah yang dapat berdifusi ke dalam dinding sel kayu dan mengawali proses degradasi. (Kim et al. 2002). Haris (2001) juga menjelaskan bahwa enzim pendegradasi dinding sel terlalu besar untuk berpenetrasi pada dinding sel kayu. Maka digunakan radikal bebas pengoksidasi dalam mekanisme awal deteriorasi oleh jamur pelapuk cokelat sehingga enzim kemudian bisa memasuki sel (Harris 2001).

(37)

15

Produksi asam oksalat memberi kemampuan pada jamur dalam mengkolonisasi dan mendegradasi kayu yang diawetkan. Toleransi merupakan kemampuan relatif suatu organisme untuk tumbuh dan hidup ketika mendapat faktor lingkungan yang tidak sesuai atau racun. Asam oksalat berperan dalam mekanisme toleransi terhadap tembaga. Jamur yang toleran terhadap tembaga dapat digunakan untuk remediasi kayu yang diawetkan. Dalam suatu percobaan selama 2 minggu pengumpanan kayu Southern yellow pine yang diawetkan dengan ammonical copper citrate (CC), terdapat 11 jamur pelapuk cokelat yang tergolong toleran atau tahan terhadap tembaga, sedangkan empat jamur pelapuk cokelat lainnya tergolong sensitif dengan kehilangan berat kayu yang diawetkan yang rendah dan produksi asam oksalat yang relatif rendah (Green & Clausen 2003).

Pada degradasi lanjut oleh jamur pelapuk cokelat, dinding sel kayu collapse, terjadi retakan pada dinding sekunder (S2). Urutan kehilangan lapisan dinding sel adalah S2, S1, dan S3, sedangkan rangka lignin ditinggalkan. Jamur pelapuk cokelat lebih umum menyerang kayu daun jarum, tapi dapat juga menyerang kayu daun lebar (Harris 2001).

Pelapukan Kayu oleh Jamur Pelapuk Lunak

(38)

16

Jamur pelapuk lunak mengakibatkan pelunakan pada bagian permukaan kayu, namun dapat dihilangkan dengan penyerutan atau pengamplasan. Kekuatan kayu tidak terlalu banyak berkurang kecuali keteguhan permukaannya. Selain itu terjadi pewarnaan sehingga kayu menjadi hitam, hijau, oranye, dll. Ketika kering, permukaan kayu menjadi retak dan rapuh. Baik kayu daun jarum maupun kayu daun lebar dapat diserang jamur pelapuk lunak ini, terutama bila kayu dalam kondisi basah (Harris 2001). Walaupun tidak seberat kerusakan lapuk putih dan lapuk cokelat, jamur pelapuk lunak sering menimbulkan masalah.

Secara mikroskopik, serangan yang ditimbulkan jamur pelapuk lunak pada kayu ditandai dengan pembentukan rongga-rongga dalam dinding sekunder atau pengikisan dinding sel, kecuali lamela tengah yang ditinggalkan (Watt 1999). Erosi dinding sel kayu bermula dari dalam lumen, kemudian terbentuk rongga-rongga pada lapisan S2. Awal serangan jamur pelapuk lunak melalui sel jari-jari, parenkim aksial dan pembuluh. Ciri khas serangan jamur pelapuk lunak ini adalah terbentuknya rongga-rongga berujung runcing di sekitar hifa (Harris 2001).

Diagnosis Pelapukan Kayu

Untuk memahami proses pelapukan kayu oleh jamur, perlu dikembangkan metode diagnosis pelapukan kayu yang terdiri dari pendeteksian dini pelapukan dan pengukuran tingkat pelapukan secara cepat, mudah dan akurat. Untuk itu berbagai metode pengujian baik di laboratorium maupun di lapangan dikembangkan untuk diaplikasikan lebih luas, misalnya untuk pengujian keawetan alami kayu, teknik pengujian efikasi pengawet ataupun untuk pengenalan karakteristik pelapukan berbagai jenis jamur pelapuk kayu.

(39)

17

kerusakan bangunan yang dapat menyebabkan terganggunya kegunaan bangunan atau kecelakaan manusia (Singh 2002).

Metode observasi visual dalam pelapukan kayu sering digunakan dalam penelitian lapangan. Namun, metode ini agak subjektif dan tidak dapat mendeteksi pelapukan secara dini (Nicholas & Crawford 2003). Selain itu ada juga penilaian berdasarkan penurunan berat kayu. Cara ini banyak digunakan dalam uji pelapukan di laboratorium, misalnya soil block test. Hasilnya cukup baik, tapi ketelitiannya dapat terganggu dengan variasi kadar air, hilangnya ekstraktif, dan pertambahan masa oleh koloni jamur. Metode ini juga tidak bisa mendeteksi pelapukan awal. Bila penurunan berat kurang dari 2% sering kali tidak nyata secara statistik. Bahkan pada kasus pelapukan kayu oleh jamur pelapuk cokelat, penurunan berat ini relatif kecil dibanding penurunan kekuatan kayu (Nicholas & Crawford 2003).

Evaluasi tingkat pelapukan berdasarkan pengujian sifat mekanis kayu dapat mengevaluasi pelapukan dini. Pengujian sifat mekanis kayu tersebut merupakan metode yang paling baik mendeteksi pelapukan yang terjadi baik dalam uji lapangan ataupun laboratorium, misalnya dengan keteguhan tekan, keteguhan lentur dan torsion strength (Nicholas & Crawford 2003). Jurgensen et al. (2003) melaporkan bahwa dalam uji lapang, tingkat pelapukan kayu berkorelasi lebih baik dengan nilai kekuatan tekan radial kayu daripada dengan penurunan berat kayu. Berdasarkan laporan Clausen dan Kartal (2003) nilai keteguhan tekan dan MOE (modulus lentur) kayu berkurang 21% dan 13% dalam waktu inkubasi 2 minggu. Kayu yang diinkubasi jamur selama 4 minggu berkurang MOE dan MOR nya sebesar 9% dan 19%. Adapun nilai kehilangan berat kayu dalam soil block test/ cake pan test tidak teliti tapi nyata (18%).

(40)

BAB III

BA

HAN DAN METODE

Analisis Kelas Bahaya Pelapukan Kayu di Pulau Jawa

Pendugaan potensi/ancaman pelapukan mengacu pada metode Scheffer (1971), yaitu dengan penentuan indeks pelapukan (IP) dengan rumus:

Dalam penentuan indeks pelapukan ini menggunakan data iklim dari tahun 2002 sampai 2008 yang diperoleh dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Berdasarkan indeks pelapukan tersebut kelas bahaya pelapukan berbagai daerah ditentukan sebagaimana kriteria pada Tabel 1 dan disusun petanya. Pembuatan peta menggunakan Program ArcView GIS 3.3 dengan peta dasar Pulau Jawa yang diperoleh dari Bakosurtanal.

Tabel 1 Kriteria kelas bahaya pelapukan kayu

Indeks

Pelapukan Kelas Bahaya Pelapukan (Decay Hazard Class)

< 35 rendah

35-65 sedang/ menengah

66-100 tinggi

> 100 sangat tinggi Sumber: Scheffer (1971)

Indeks pelapukan yang kurang dari 35 menunjukkan kelas bahaya pelapukan rendah atau kondisi yang paling tidak sesuai untuk pelapukan. Daerah yang berindeks pelapukan 35 hingga 64 (kelas bahaya pelapukan sedang) merupakan kondisi yang agak mendukung pelapukan kayu. Untuk indeks pelapukan 66 hingga 100 menunjukkan daerah yang mendukung terjadinya pelapukan kayu. Sedangkan indeks pelapukan lebih tinggi dari 100 adalah kondisi yang sangat mendukung terjadinya pelapukan kayu.

Keterangan:

T : suhu rata-rata bulanan (oC)

(41)

Survey Pelapukan Kayu pada Bangunan Rumah

Survey dilakukan pada 500 rumah yang tersebar di kota dan kabupaten yang mewakili variasi iklim (suhu dan kelembaban) di Pulau Jawa. Hasil cluster analyses (analisis gerombol) data iklim menggunakan program Minitab 14 diperoleh 10 kelompok kota dan kabupaten yang kemudian diambil satu daerah secara acak dari masing-masing kelompok tersebut untuk dijadikan daerah survey, yaitu Lembang, Malang, Gresik, Subang, Bogor, Serang, Tegal, Yogyakarta, Semarang, dan Jakarta Utara. Survey di setiap daerah tersebut dilakukan terhadap 50 bangunan rumah yang ditentukan secara purposive sampling (Teddie & Tashakkori 2009).

Dalam penelitian ini aspek yang diteliti adalah kerusakan yang disebabkan oleh jamur pelapuk pada berbagai komponen kayu bangunan rumah. Komponen yang diobservasi adalah kusen jendela, kusen pintu, daun jendela, daun pintu, lisplang, plafon, tiang, rangka atap dan komponen bangunan lainnya yang menggunakan kayu. Bangunan rumah yang disurvey diklasifikasikan ke dalam empat kelas umur, yaitu : 0-10 tahun; 11-20 tahun; 21-30 tahun; dan lebih dari 30 tahun.

Pengamatan, pengukuran dan dokumentasi dilakukan terhadap objek pelapukan komponen bangunan rumah. Dalam kegiatan tersebut digunakan peta daerah-daerah penelitian, lembar survey dan tally sheet (Lampiran 3 dan 4). Selain itu digunakan juga meteran, palu, lampu senter untuk memeriksa kerusakan kayu pada bangunan, kamera dan alat dokumentasi lainnya. Observasi pelapukan kayu pada bangunan rumah juga mencakup diagnosis terhadap faktor-faktor pendukung terjadinya serangan jamur pelapuk kayu tersebut. Pelapukan kayu oleh jamur diklasifikasikan menjadi lapuk putih, lapuk coklat dan lapuk lunak berdasarkan deskripsi dari Eaton dan Hale (1993) dalam Tabel 2.

(42)

upah perbaikan kerusakan dan sebagainya. Volume kayu lapuk di setiap komponen bangunan rumah dihitung dan dianalisis statistik deskriptif.

Perhitungan kerugian ekonomi akibat pelapukan pada bangunan rumah ditentukan berdasarkan nilai bahan kayu pengganti dan biaya upah kerja perbaikan. Ukuran dan volume setiap komponen kayu lapuk diukur sehingga bisa ditentukan ukuran dan volume kebutuhan bahan kayu untuk mengganti komponen kayu yang lapuk tersebut. Kemudian banyaknya bahan kayu yang dibutuhkan dikalikan dengan harga bahan kayu tersebut sehingga diperoleh total biaya bahan. Harga kayu yang digunakan untuk mengkonversi kerusakan ke dalam nilai kerugian berdasarkan jenis kayu yang digunakan di rumah tersebut. Apabila tidak diketahui jenis kayu yang digunakan sebagai bahan bangunan maka menggunakan harga kayu borneo yang banyak digunakan masyarakat dan banyak tersedia di pasaran. Selain itu biaya upah perbaikan dihitung berdasarkan jumlah hari kerja yang diperlukan untuk memperbaiki komponen bangunan yang lapuk dikalikan dengan nilai upah harian tukang. Selanjutnya, total nilai kerugian pelapukan dihitung sebagai jumlah total biaya bahan kayu yang diperlukan dengan biaya upah perbaikan (Remran 1993; Herdiansyah 2007). Secara ringkas perhitungan kerugian tersebut dirumuskan sebagai berikut:

H

X

UY

K

i i

Keterangan:

K = Nilai kerugian (Rp)

H = Harga sortimen kayu gergajian (Rp/sortimen) X = Jumlah sortimen kayu yang diperlukan (sortimen) i = Jenis sortimen (papan 2 x 20; balok 6 x 12, atau yang

lainnya)

U = Upah harian tukang kayu (Rp 50.000,-/ hari) Y = Jumlah hari kerja (hari)

(43)

rumah per tahun. Prediksi kerugian ekonomi akibat serangan jamur pelapuk di setiap daerah diperhitungkan berdasarkan data jumlah rumah di masing-masing daerah tersebut.

Tabel 2 Klasifikasi pelapukan kayu berdasarkan karakteristik yang nampak pada kayu

Sumber : Eaton dan Hale (1993)

Identifikasi Jenis dan Uji Karakteristik Jamur Penyebab Pelapukan pada Bangunan Rumah

Isolasi dan Pemeliharaan Jamur Pelapuk Kayu

Untuk mempelajari karakteristik degradasi kayu oleh jamur pelapuk, diisolasi jamur pelapuk yang sering ditemukan menyerang komponen kayu bangunan rumah selama survey, yaitu spesimen jamur DE, PB dan SC. Isolasi dilakukan dari tubuh buah (basidiokarp) jamur pelapuk sehingga bisa dibandingkan dan dipastikan bahwa isolat adalah sama dengan yang di lapangan. Setelah dilakukan pembelahan bagian basidiokarp berdaging, sepotong kecil jaringan dari dalam basidiokarp diambil dan dipindahkan dengan pinset ke media Kriteria Lapuk Putih Lapuk Coklat Lapuk Lunak

Warna

kayu Menjadi lebih pucat atau lebih muda warnanya

Menjadi lebih gelap: coklat

kemerahan hingga coklat gelap Menjadi lebih gelap

Tingkat

dini Banyak garis dan noda coklat Berupa lapuk bagian-bagian kecil/ kantong atau berupa lapuk dalam, dengan permukaan kayu tampak bagus ketika kering

Tingkat

lanjut Permukaan kayu jadi lunak, terjadi penyusutan

Ketika basah, kayu menjadi lunak

hingga kedalaman tertentu Ketika basah, permukaan kayu jadi lunak dan gelap warnanya, tapi di bawahnya kayu masih utuh.

Adanya serabut-serabut lepas sejajar serat karena pemisahan di lamela tengah; menjadi seperti pulp

Ketika kering, terjadi retakan yang dalam melintang dan sejajar serat pada kayu ketika kering, disebabkan penyusutan (cuboidal cracks). Kayu mudah hancur menjadi tepung dengan cubitan jari

Ketika kering permukaan kayu mengalami retak dangkal melintang dan sejajar serat

Kondisi Kayu daun lebar lebih rawan daripada kayu daun jarum

[image:43.595.78.516.125.803.2]
(44)

PDA (Potato Dextrose Agar). Isolasi jamur dan pemurniannya dilakukan dengan metode yang dijelaskan Shivas dan Beasley (2005). Dalam pembuatan tiap liter media PDA dipergunakan bahan-bahan berikut: potongan kentang (200 g), agar-agar (15 g), dekstrosa (20 g), dan antibiotik kloramfenikol (250 mg/l).

Inkubasi dilakukan pada suhu ruang (28 oC) sehingga tumbuh miseliumnya.

Kemudian dilakukan pemurnian dengan memisahkan organisme target dari organisme lainnya. Organisme target adalah jamur pelapuk yang pada umumnya termasuk dalam Basidiomycota. Isolat terus dipelihara sebagai bahan penelitian.

Untuk meyakinkan bahwa isolat sama dengan jamur yang diisolasi dari lapang, maka isolat ditumbuhkan pada media baglog sehingga tumbuh tubuh buahnya. Dengan demikian tubuh buah isolat bisa dibandingkan dengan tubuh buah yang di lapang. Media baglog terdiri dari 82,5% serbuk gergaji kayu sengon atau pinus, 15% dedak, 1,5% gips atau kalsium sulfat, 1% kapur atau kalsium karbonat dan air secukupnya (Herliyana 2007). Tiap kantong plastik berisi ± 200 gram media dan disterilisasi dalam autoklaf pada tekanan 15 psi, suhu 121 oC,

selama 15 menit. Setiap media diinokulasi dengan isolat dari PDA lalu diinkubasikan pada suhu ruang.

Kegiatan isolasi dan penumbuhan tubuh buah jamur pelapuk ini dilakukan di Laboratorium Penyakit Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Sedangkan identifikasi berdasarkan ciri-ciri morfologis dilakukan pada struktur somatik dan reproduktif ketiga jenis jamur dilakukan di Laboratorium Struktur dan Anatomi Kayu, Fakultas Kehutanan. Tahapan selanjutnya, yaitu identifikasi molekuler dilakukan di Laboratory of Forest Resource Biology, Graduate School of Agriculture, Hokkaido University, Jepang.

Identifikasi Jamur Pelapuk Kayu Berdasarkan Ciri Morfologis

(45)

Kecepatan tumbuh miselium ditentukan pada media PDA dengan pH 5,6 dan suhu 30 oC. Kecepatan pertumbuhan (cm/hari) dihitung sebagai hasil

pembagian diameter miselium (cm) dengan waktu inkubasi (hari). Adapun tipe pertumbuhan miselium ditentukan berdasarkan kriteria Stamets (2000), yaitu:

1 Linier: terdiri dari garis-garis memanjang radial secar homogen, seperti pada

Lentinula edodes, Pleurotus ostreatus (pertumbuhan awal)

2 Rhizomorfik (ropey): terdiri dari jalinan benang-benang terpilin dalam diameter berbeda, contohnya pada Agaricus brunnescens.

3 Cottony (tomentose): seperti kapas, aerial. Miselia rizomorfik yang sudah tua sering jadi cottony, contohnya pada Pleurotus sp.

4 Zonate: miselium cottony yang membentuk lingkaran-lingkaran konsentrik

(tebal-tipis), seperti pada Ganoderma sp.

5 Matted (Oppressed): miselium padat, sulit dibelah, biasanya kultur yang sudah lama, contoh pada G. lucidum

6 Powdered: miselia terurai jika kena angin, contohnya pada Polyporus sulphureus.

7 Bentuk Unik: hyphal agregat

Untuk pengamatan struktur somatik jamur, miselium dari kultur PDA diambil dengan jarum dan diuraikan pada bagian tengah gelas objek steril. Setetes air steril diberikan pada hifa tersebut, kemudian kaca penutup diletakkan dibagian atasnya dan diatur posisinya secara perlahan sehingga tidak ada gelembung udara yang terjebak di bawah gelas penutup. Selanjutnya hifa diamati dibawah mikroskop cahaya dengan pembesaran 400 dan 1000 kali. Untuk pembesaran 1000 kali di atas kaca penutupnya diberi immersion oil.

Pengamatan juga dilakukan pada struktur reproduktif, yaitu basidiokarp jamur. Bentuk, warna dan ukuran tubuh buah dicatat. Demikian pula halnya dengan bentuk, ukuran dan jumlah pori per mm2 yang dimiliki tubuh buah jamur

(46)

(putih atau hitam). Selanjutnya spora diamati dengan mikroskop stereo. Data morfologi struktur somatik dan reproduktif jamur yang diuji digunakan untuk menentukan jenisnya mengacu pada Emberger (2006) dan Hutchings (2010).

Identifikasi Jamur dengan Metode Molekuler

Identifikasi molekuler terhadap jamur pelapuk dapat dilakukan walaupun tidak ditemukan tubuh buahnya (Schmidt & Moreth 2003). Identifikasi molekuler juga mengatasi subjektivitas yang sering terjadi pada identifikasi secara berdasarkan ciri-ciri morfologis. Identifikasi molekuler jamur pelapuk dilakukan dalam lima tahapan sebagaimana diuraikan dalam Afrida et al. (2008), yaitu ekstraksi DNA, Polymerase Chain Reaction Amplification, Agarose Gel Electrophoresis, purifikasi produk PCR, dan DNA sequencing.

Ekstraksi DNA. Miselia ketiga spesimen jamur diambil dari prakultur PDA, diinokulasikan, dan diinkubasikan pada suhu 25 oC selama 7 hari pada 20

ml media PDB (Potato Dextrose Broth). Medium PDB terdiri dari tepung kentang 4 g/l dan dextrose 20 g/l: Difco dalam labu Erlenmeyer. Media yang dihasilkan memiliki pH 5,1 ± 0,2. Ketiga kultur jamur dari media PDB selanjutnya dipanen dengan filtrasi menggunakan bahan penyaring Miracloth, Calbiocem. Bahan penyaring dan kertas saring disterilasi sebelum digunakan. Miselia dari ketiga jamur dibilas dengan air steril dan dikeringkan pada kertas saring. Miselium kering dari setiap jamur dibagi tiga untuk ulangan dan ditempatkan dalam tabung Efendorf dan disimpan dalam freezer.

Setelah meja kerja dan peralatan disterilkan dengan etanol 70%, pastle penghomogen dipasang pada mesin pemutar. Kemudian 300 µl “larutan I” ditambahkan ke miselium beku dan dihaluskan dengan pastle. Lalu 150 µl “larutan II” ditambahkan diikuti 10 menit vortex dan inkubasi pada 50 oC selama

10 menit pada blok pemanas. Setelah merata, 100 µl “larutan III-A” ditambahkan dengan pipet yang dipotong ujungnya. “Larutan III-B” ditambahkan, diikuti 1-2 detik vortex dan inkubasi dalam es selama 10 menit. Sampel lysate disentrifugasi pada 14000 xg, 4 oC selama 10 menit. Supernatan dipindahkan ke microtube

(47)

dengan vortex. Lalu campuran disentrifugasi pada 6000 xg, suhu ruang (20 oC) selama 5 menit. Setelah supernatan dibuang, 1 ml etanol 70% ditambahkan diikuti vortex. Campuran disentrifugasi lagi pada 6000 xg, suhu ruang selama 1 menit. Setelah supernatan dibuang, endapan dikeringkan pada suhu ruang. Selanjutnya, 50 µl TE buffer dan 1 µl RNaseA ditambahkan ke dalam endapan dan dicampur merata. Kemudian campuran diinkubasi pada 37 oC selama 30

menit. Larutan DNA yang terekstrak dari sampel (template DNA solution) disimpan pada suhu -20 oC.

Polymerase Chain Reaction (PCR) Amplification. Pasangan forward

primer ITS1F (5’-CTT GGT CAT TTA GAG GAA GTA A-3’) dan reverse

primer ITS4B (5’-CAG GAG ACT TGT ACA CGG TCC AG-3’) yang

merupakan primer spesifik untuk Basidiomycetes digunakan dalam amplifikasi

Internal Transcribed Spacer (ITS) dari DNA jamur. Pertama, semua reagent beku

dibiarkan mencair kemudian disentrifugasi dengan singkat. “Master mix” dipersiapkan dalam microtube steril (yang didinginkan dalam es). “Master mix” (untuk satu reaksi) terdiri dari:

1) Sterilized water 26,5 µl 2) Tuning buffer 10 µl 3) G-Taq buffer 5 µl 4) Forward primer (ITS1F) 1 µl 5) Reverse primer (ITS4B) 1 µl

6) dNTP 4 µl

7) G-Taq polymerase 0,5 µl 8) Template DNA solution 2 µl

Volume total 50 µl

(48)

steril. Semua larutan dicampur merata dalam masing-masing tabung PCR untuk menghasilkan campuran reaksi yang homogen. Kemudian proses PCR segera dimulai berdasarkan siklus pemanasan PCR (Tabel 3).

Tabel 3 Siklus pemanasan dalam PCR

Temperatur

(oC) (menit) Durasi Siklus Tujuan

94 3 1 Denaturasi fragmen DNA panjang (>1Kb) 94 1 30 Denaturasi – pemisahan dua DNA strands dan

membuka daerah sasaran

50 1 30 Annealing – ke 2 primers dihibridisasikan ke sekuens target dalam 3 arah pada suhu dibawah 5-10 dari M.P. nya

72 3 30 Extension – heat stable Taq DNA polymerase mereplikasi DNA strands baru dalam arah 5’ ke 3’

72 10 1 Pemanjangan akhir

8 Selamanya ∞ Penyimpanan

Agarose Gel Electrophoresis. Dalam 100 ml Conical flask, 0,3 g agarose S ditambah 30 ml 0,5xTBE. Bahan tersebut diaduk hingga tercampur dan dipanaskan dengan microwave selama 1 menit untuk melarutkan agarose. Flask

didinginkan selama 5 menit hingga 60oC sehingga bisa dipegang tangan. Gel

dituangkan perlahan ke dalam gel tray. Tip steril digunakan untuk mendorong gelembung jauh ke samping. Sisir yang sesuai disisipkan ke dalam gel untuk membuat beberapa sumur. Gel dibiarkan mengeras selama paling tidak 30–6

Gambar

Tabel 2 Klasifikasi pelapukan kayu berdasarkan karakteristik yang nampak pada
Gambar 1 Pengujian sifat mekanis kayu yang telah diumpankan terhadap
Gambar 2  Susunan contoh uji kayu kamper (a) dan sengon (b) pada
Gambar 3  Peta kelas bahaya pelapukan kayu di Pulau Jawa
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan sejumlah tantangan yang akan dihadapi oleh bisnis ritel Indonesia ssaat ini dan kedepan nantinya maka para stakeholder bisnis ritel harus juga aware

2.3.2 Sifat dan Dampak dari PHC terhadap Tumbuhan Menurut (Bossert dan Bartha,1984 dalam Herdiyanto 2005) tumpahan crude oil yang komponen utamanya terdiri dari senyawa PHC

Pada prarencana pabrik minuman sari buah semangka berkarbonasi tidak hanya membutuhkan utilitas, akan tetapi juga membutuhkan unit pengolahan limbah, dimana setiap pabrik

kelompok eskperimen (layanan informasi) digunakan teknik Kolmogorov Smirnov Z Independent Samples dengan bantuan program SPSS versi 20.00. Sig 2 tailed) sebesar 0,000

 Untuk menambah lembar sebar di awal dari daftar lembar sebar yang ada, pilih lembar sebar (yang akan disisipi lembar sebar baru didepannya), kemudian pada

House Index lebih menggambarkan luasnya penyebaran nyamuk di suatu wilayah.. Container adalah tempat atau bejana yang dapat menjadi tempat perindukan nyamuk Aedes aegypti. 4)

Demikian juga gempa dengan magnitude 8,8 yang terjadi tahun lalu di Chile, waktu dalam satu hari telah dipangkas sebesar 1,26 mikrodetik dan menggeser poros Bumi sekitar 8 cm..

(1) Pemerintah menugaskan BSNP untuk menyelenggarakan Ujian nasional yang diikuti peserta didik pada setiap satuan pendidikan jalur formal pendidikan dasar dan menengah, dan