TIPOLOGI MANGROVE DAN KETERKAITANNYA DENGAN POPULASI GASTROPODA Littorina neritoides (LINNE, 1758) DI KEPULAUAN TANAKEKE, KABUPATEN TAKALAR, SULAWESI
SELATAN
MUSAYYADAH TIS’IN
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS
DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis “Tipologi Mangrove dan Keterkaitannya dengan Populasi Gastropoda Littorina neritoides (LINNE, 1758) di Kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan” adalah karya saya sendiri di bawah bimbingan Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal dan/atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Januari 2008
RINGKASAN
Musayyadah Tis’in. TIPOLOGI MANGROVE DAN KETERKAITANNYA DENGAN POPULASI GASTROPODA Littorina neritoides (LINNE, 1758) DI KEPULAUAN TANAKEKE, KABUPATEN TAKALAR, SULAWESI SELATAN. Di bawah bimbingan : Prof. DR. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA dan DR. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kondisi mangrove, populasi gastropoda Littorina neritoides dan keterkaitan antara keduanya. Pada lokasi penelitian ditemukan jenis gastropoda yang dominan adalah Littorina neritoides
dengan kepadatan yang cukup tinggi, sehingga diperlukan suatu analisis mengenai keterkaitan antara ekosistem mangrove dengan Littorina neritoides.
Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan April sampai Juni 2007 di Pulau Bauluang dan Lantangpeo, kepulauan Tanakeke, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Pengukuran kondisi ekosistem mangrove dilakukan dengan menggunakan transek kuadrat berukuran 10 m x 10 m (kategori pohon), 5 m x 5 m (kategori anakan) dan 1 m x 1 m (kategori semai), sementara populasi Littorina neritoides menggunakan transek kuadrat berukuran 1 m x 1 m . Analisis regresi digunakan untuk mendeterminasi hubungan antara ekosistem mangrove dengan
Littorina neritoides, dan percobaan dilakukan untuk mengetahui kontribusi mangrove berupa nitrat dan fosfat terhadap Littorina neritoides. Analisis Komponen Utama digunakan untuk mengetahui hubungan antara kondisi fisika kimia lingkungan dengan biologi dalam hal ini kerapatan mangrove, kepadatan
Littorina neritoides dan produktivitas serasah.
Ekosistem mangrove di lokasi penelitian relatif homogen dan didominasi oleh Rhizophora mucronata, sementara jenis mangrove lain seperti Lumnitzera racemosa, Sonneratia alba, Rhizophora apiculata and Rhizophora stylosa
ditemukan dalam jumlah yang relatif lebih kecil. Kerapatan mangrove tertinggi didapatkan di Pulau Bauluang, kepadatan gastropoda Littorina neritoides juga terdapat di Pulau Bauluang.
Kontribusi mangrove terhadap Littorina neritoides berupa nitrat sebesar 0.71 mg/ind/thn dan fosfat sebesar 0.44 mg/ind/thn. Kerapatan mangrove dengan kepadatan Littorina neritoides memiliki hubungan yang kuat dengan korelasi 0.81 sementara penutupan mangrove dan kepadatan Littorina neritoides memiliki korelasi 0.97.
Kondisi fisika kimia lingkungan di Pulau Bauluang dicirikan dengan suhu, salinitas, Oksigen terlarut (DO) yang tinggi serta didominasi oleh fraksi pasir kasar. Sementara di Pulau Lantangpeo dicirikan dengan kandungan nitrat, fosfat dan produktivitas serasah yang tinggi, serta proporsi pasir halus dan lumpur yang tinggi.
ABSTRAK
Musayyadah Tis’in. TIPOLOGI MANGROVE DAN KETERKAITANNYA DENGAN POPULASI GASTROPODA Littorina neritoides (LINNE, 1758) DI KEPULAUAN TANAKEKE, KABUPATEN TAKALAR, SULAWESI SELATAN. Di bawah bimbingan : Prof. DR. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA dan DR. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc.
Ekosistem mangrove memegang peranan penting sebagai habitat berbagai organisme, diantaranya gastropoda Littorina neritoides. Kebutuhan untuk mendapatkan informasi tentang pentingnya ekosistem mangrove terhadap gastropoda Littorina neritoides dan untuk mengetahui sejauh mana keterkaitan antara ekosistem mangrove dengan jenis gastropoda ini merupakan dasar dari penelitian ini. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kondisi mangrove, populasi Littorina neritoides dan keterkaitan antara keduanya. Pengukuran kondisi ekosistem mangrove dilakukan dengan menggunakan transek kuadrat berukuran 10 m x 10 m, 5 m x 5 m dan 1 m x 1 m, populasi Littorina neritoides
menggunakan transek kuadrat berukuran 1 m x 1 m . Analisis regresi digunakan untuk mendeterminasi hubungan antara ekosistem mangrove dengan Littorina neritoides, dan percobaan dilakukan untuk kontribusi mangrove berupa nitrat dan fosfat terhadap Littorina neritoides. Analisis Komponen Utama digunakan untuk mengetahui hubungan antara kondisi fisika kimia lingkungan dengan biologi dalam hal ini kerapatan mangrove, kepadatan Littorina neritoides dan produktivitas serasah.
Ekosistem mangrove di lokasi penelitian relatif homogen dan didominasi oleh Rhizophora mucronata, sementara jenis mangrove lain seperti Lumnitzera racemosa, Sonneratia alba, Rhizophora apiculata and Rhizophora stylosa
ditemukan dalam jumlah yang relatif lebih kecil. Kontribusi mangrove terhadap
ABSTRACT
Musayyadah Tis’in. MANGROVE TYPOLOGY AND ITS RELATION WITH GASTROPOD Littorina neritoides (LINNE, 1758) IN TANAKEKE ISLANDS, TAKALAR REGENCY, SOUTH SULAWESI. Under supervision of Prof. DR. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA and DR. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc.
Mangrove ecosystem plays an important role as habitat for divers living such as gastropod Littorina neritoides. The need to get information about mangrove ecosystem condition which important for gastropod Littorina neritoides and to identify its relation is the principal reason of this research. The research aims to analyse mangrove condition, Littorina neritoides population, and relation of both. Mangrove ecosystem condition was measure using square transect of 10 m x 10 m, 5 m x 5 m and 1 m x 1 m, and population of Littorina neritoides using square transect of 1 m x 1 m. Regretion analysis was used to determine the relation between mangrove and Littorina neritoides, and an experiment the was undertaken to analyse mangrove contribution (nitrat and phosphate) to Littorina neritoides. Principal Components Analysis (PCA) was used to explore relation between environment condition and biologycal condition.
Mangrove of the research location are relatively homogenous and dominated by Rhizophora mucronata, while the others mangrove species such as
Lumnitzera racemosa, Sonneratia alba, Rhizophora apiculata and Rhizophora stylosa were found in relatively smaller number. The mangrove contribution to
@ Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2008 Hak Cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebut sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan
karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu
masalah
b. Pengutipan tidak merugikan dan memperbanyak sebagian atau seluruh
karya tulis dalam bentuk apapun tanpa ijin Institut Pertanian Bogor
2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya
TIPOLOGI MANGROVE DAN KETERKAITANNYA DENGAN POPULASI GASTROPODA Littorina neritoides (LINNE, 1758) DI KEPULAUAN TANAKEKE, KABUPATEN TAKALAR, SULAWESI
SELATAN
MUSAYYADAH TIS’IN
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Progarm Studi Ilmu Kelautan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul : Tipologi Mangrove dan Keterkaitannya dengan Populasi
Gastropoda Littorina neritoides (LINNE, 1758) di Kepulauan
Tanakeke, Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan.
N a m a : Musayyadah Tis’in
N R P : C651050051
Disetujui
Komisi Pembimbing
Prof. Dr.Ir. Dietriech G. Bengen, DEA Ketua
Dr.Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Imu Kelautan Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr. Ir. Djisman Manurung, M.Sc Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, M.S
PRAKATA
Puji syukur dari segenap keikhlasan hati kepada Allah Maha Pengasih,
Maha Penyayang, Maha Besar, yang mengajarkan makhluknya melalui
perantara Kalam-Nya, yang tiada hentinya mengurus dan memelihara
mahluk-Nya siang dan malam, yang memberikan pelajaran dan petunjuk pada yang
dikehendaki-Nya dan membebani mahluknya sesuai kemampuannya, sehingga
penulisan Tesis ini dapat diselesaikan.
Tesis ini adalah hasil penelitian yang InsyaAllah memberikan pengayaan
dan manfaat bagi pembaca, terutama bagi penulis. Dalam pelaksanaan
penelitian ini, penulis telah mendapatkan kemudahan dan bantuan dari berbagai
pihak, olehnya tidaklah berlebihan untuk menghaturkan ucapan terima kasih
kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA, selaku ketua komisi
pembimbing dan Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc, selaku anggota
komisi pembimbing yang telah meluangkan waktu, memberikan bimbingan,
arahan, dan masukan;
2. Bapak/ibu staf pengajar dan administrasi PS. Ilmu Kelautan (PS-IKL) IPB
yang membantu proses penyelesaian studi penulis;
3. Suamiku Kasim Mansyur, orang tua tercinta, Ayahanda Tis’in dan ibundaku
Nurbayti, ayahanda mertuaku Mansyur Djima dan ibunda mertuaku Saharia
(alm), untuk semua keikhlasan, doa dan dukungannya.
4. Segenap keluarga besar penulis atas kasih sayang, cinta dan motivasi yang
tiada hentinya.
5. Teman-teman seperjuangan di IKL-IPB atas dukungan dan kerjasamanya.
6. Staf sekretariat dan perpustakaan yang membantu dengan koleksi
buku-bukunya serta semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Akhir kata, penulis mengharapkan saran dan koreksi dari pembaca dan
penggunanya atas kekurangan penulisan tesis ini.
Semoga Allah SWT senantiasa memberi kita petunjuk dan karunia serta
meridhoi segala aktivitas kita, amin
Bogor, Januari 2008
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Murante pada tanggal 11 Oktober 1980 dari Ayah
Tis’in dan Ibu Nurbayti. Penulis adalah anak kedua dari 2 orang bersaudara.
Pendidikan Sarjana (S1) ditempuh di Program Studi Eksplorasi
Sumberdaya Kelautan, Jurusan Ilmu Kelautan, Fakultas Ilmu Kelautan dan
Perikanan Universitas Hasanuddin, Makassar dan berhasil menyelesaikan studi
pada tahun 2004. Penulis diterima di Program Studi Ilmu Kelautan IPB pada
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... xii
DAFTAR GAMBAR ... xiii
DAFTAR LAMPIRAN ... xiv
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang... 1
1.2. Perumusan Masalah... 2
1.3. Tujuan Penelitian ... 3
1.4. Manfaat Penelitian ... 3
1.5. Hipotesis ... 3
1.6. Kerangka Pemikiran ... 4
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Ekosistem mangrove ... 6
2.2. Produktivitas Ekosistem Mangrove... 8
2.3. Peran Mangrove sebagai Habitat Moluska ... 10
2.4. Nilai Penting Gastropoda Littorina spp ... 14
III. METODE PENELITIAN 3.1. Waktu dan Tempat ... 16
3.2. Alat dan Bahan ... 18
3.3. Prosedur penelitian... 18
3.4. Analisis Data ... 21
3.4.1 Ekosistem Mangrove ... 21
3.4.2 Kepadatan Individu Gastropoda ... 23
3.4.3. Pola Sebaran ... 23
3.4.4 Pemanfaatan Nutrien ... 23
3.4.5 Pemanfaatan alga ... 24
3.4.6 Analisis Parameter Lingkungan ... 24
3.4.7 Hubungan antara kerapatan dan penutupan mangrove dengan kepadatan L. neritoides... 27
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Karakteristik Mangrove di Pulau Bauluang dan Pulau Lantangpeo... 28
4.2. Karakteristik Fisika Kimia Air dan Sedimen ... 31
4.3. Karakteristik Populasi Gastropoda Littorina neritoides ... 34
4.4. Keterkaitan Populasi Littorina neritoides dengan Ekosistem Mangrove 39 4.4.1. Kepadatan L. neritoides berdasarkan Zona Vertikal Mangrove dan Hubungannya dengan Kerapatan Mangrove ... 39
4.4.2. Pemanfaatan Alga oleh L. neritoides... 45
4.4.3. Pola Hubungan antara Kepadatan L. neritoides dengan Kerapatan dan Penutupan Mangrove ... 46
KESIMPULAN DAN SARAN ... 54
DAFTAR PUSTAKA ... 56
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Parameter alat dan bahan penelitian ... 18
2 Sebaran jenis mangrove yang dijumpai di lokasi penelitian ... 29
3 Parameter fisika kimia air dan sedimen... 31
4 Kepadatan L. neritoides berdasarkan zona vertikal mangrove ... 40
5 Pemanfaatan alga oleh L. neritoides... 45
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Kerangka pemikiran ... 5
2. Tipe-tipe mangrove... 8
3 Peta lokasi pengamatan di Kepulauan Tanakeke ... 17
4 Contoh penempatan transek pengukuran vegetasi mangrove ... 19
5 Kerapatan mangrove di lokasi penelitian... 28
6 Indeks nilai penting (INP) jenis mangrove di lokasi penelitian ... 30
7 Produktivitas serasah di lokasi penelitian ... 34
8 Kepadatan L. neritoides pada masing-masing jenis mangrove di lokasi penelitian ... 35
9 Kepadatan Littorina neritoides pada tegakan mangrove (Rhizophora spp) saat pasang terendah ... 36
10 Kepadatan Littorina neritoides pada tegakan mangrove (Rhizophora spp) saat pasang tertinggi (Bulan purnama) ... 37
11 Kepadatan Littorina neritoides pada tegakan mangrove (Rhizophora spp) saat pasang tertinggi (Bulan baru) ... 37
12 Perbandingan kepadatan L. neritoides pada masing-masing zona vertikal mangrove di Pulau Bauluang ... 41
13 Hubungan kepadatan L. neritoides dengan kerapatan mangrove pada masing-masing zona vertikal mangrove di Pulau Bauluang ... 42
14 Perbandingan kepadatan L. neritoides pada masing-masing zona vertikal mangrove di Pulau Lantangpeo... 43
15 Perbandingan kepadatan L. neritoides pada masing-masing zona vertikal mangrove di Pulau Lantangpeo (terlindung) ... 43
16 Hubungan kepadatan L. neritoides dengan kerapatan mangrove pada masing-masing zona vertikal mangrove di Pulau Lantangpeo ... 44
17 Hubungan kepadatan L. neritoides dengan kerapatan mangrove ... 46
18 Hubungan kepadatan L. neritoides dengan penutupan mangrove ... 47
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Hasil perhitungan Indeks Nilai Penting (INP) kategori pohon di Pulau
Bauluang ... 60
2 Hasil perhitungan Indeks Nilai Penting (INP) kategori pohon di Pulau
Lantangpeo ... 61
3 Hasil perhitungan Indeks Nilai Penting (INP) kategori pohon di Pulau
Lantangpeo bagian terlindung ... 62
4 Hasil perhitungan Indeks Nilai Penting (INP) kategori anakan di Pulau
Bauluang ... 63
5 Hasil perhitungan Indeks Nilai Penting (INP) kategori anakan di Pulau
Lantangpeo... 64
6 Hasil perhitungan Indeks Nilai Penting (INP) kategori anakan di Pulau
Lantangpeo bagian terlindung ... 65
7 Hasil perhitungan Indeks Nilai Penting (INP) kategori semai di Pulau
Bauluang ... 66
8 Hasil perhitungan Indeks Nilai Penting (INP) kategori semai di Pulau
Lantangpeo ... 67
9 Hasil perhitungan Indeks Nilai Penting (INP) kategori semai di Pulau
Lantangpeo bagian terlindung ... 68
10 Kepadatan gastropoda Littorina neritoides (m2) pada saat
pasang terendah... 69
11 Kepadatan gastropoda Littorina neritoides (m2) pada saat
pasang tertinggi (bulan baru)... 70
12 Kepadatan gastropoda Littorina neritoides (m2) pada saat
pasang tertinggi (bulan purnama)... 71
13 Hasil Analisis Komponen Utama variabel fisika kimia lingkungan... 72
14 Hasil Analisis Komponen karakteristik biologi perairan ... 74
15 (a) Hasil analisis regresi polynomial kubik antara kerapatan mangrove
dengan kepadatan ... 76
(b) Hasil analisis regresi polynomial kubik antara penutupan mangrove dengan kepadatan ... 76
16 Ekosistem mangrove dan asosiasinya dengan gastropoda L. neritoides
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Ekosistem mangrove merupakan salah satu ekosistem utama di perairan
yang mengandung sumberdaya alam hayati yang dapat dimanfaatkan oleh
masyarakat dalam menunjang kehidupan dan kesejahteraan secara
berkesinambungan dengan tetap menjaga keseimbangan antara pemanfaatan
dan pelestariannya. Mangrove terutama dimanfaatkan langsung oleh masyarakat
sebagai bahan pembuatan arang, kayu bakar dan juga sebagai bahan
konstruksi, sehingga seiring dengan pertumbuhan penduduk yang pesat maka
pemanfaatan hutan mangrove semakin meningkat pula. Hal ini dapat berdampak
pada kerusakan ekosistem mangrove yang selanjutnya dapat memusnahkan
berbagai fungsi ekosistem tersebut.
Ditinjau dari sisi ekologis, mangrove dihuni oleh beragam biota baik berasal
dari daratan maupun dari lautan, serta fauna khas penghuni mangrove. Secara
garis besar fauna yang menghuni kawasan mangrove dapat dikategorikan ke
dalam kelompok pendatang dan penghuni asli. Kelompok pendatang adalah
fauna yang berada di kawasan mangrove hanya sebagian saja dari siklus
hidupnya, sedangkan penghuni asli menghabiskan seluruh siklus hidupnya pada
kawasan mangrove.
Salah satu fauna penghuni asli kawasan mangrove adalah gastropoda.
Keberadaan gastropoda ini sangat dipengaruhi oleh kondisi kawasan mangrove
itu sendiri. Pada kawasan yang terbuka terhadap laut lepas, komposisi
gastropoda akan lebih banyak dipengaruhi oleh jenis yang berasal dari laut.
Selain itu juga ditentukan oleh kondisi fisika kimia substrat dan komunitas
mangrove itu sendiri. Pada lokasi penelitian di dapatkan jenis gastropoda yang
dominan adalah Littorina neritoides. Secara ekonomis gastropoda termasuk L.
neritoides belum mempunyai nilai penting namun sebagai grazer gastropoda
berperan penting dalam rantai makanan karena mendukung kehidupan pada
rantai makanan selanjutnya.
Tekanan lingkungan cukup besar terjadi pada beberapa ekosistem
mangrove di Sulawesi Selatan khususnya pulau-pulau kecil yang termasuk ke
dalam kepulauan Tanakeke, akibat adanya eksploitasi untuk bahan pembuatan
arang dan kayu bakar dan konversi menjadi lahan tambak. Padahal
besar bagi masyarakat, karena tersedianya habitat bagi berbagai organisme
yang berasosiasi dengan mangrove, sehingga kelangsungan produksi dapat
terjamin. Ekosistem mangrove yang mengalami tekanan terus menerus akan
berdampak pada berbagai organisme yang memanfaatkan ekosistem ini sebagai
habitat, terutama L. neritoides sebagai organisme yang dominanpada ekosistem
mangrove di Pulau Bauluang dan Pulau Lantangpeo. Dampak yang dapat
ditimbulkan seperti terjadinya degradasi populasi L. neritoides yang akan
mengakibatkan terganggunya bahkan terputusnya rantai makanan pada
ekosistem tersebut.
1.2. Perumusan Masalah
Ekosistem mangrove di Kepulauan Tanakeke dalam kurun waktu satu
dekade terakhir mengalami degradasi yang tinggi. Eksploitasi tersebut terutama
dikonversi menjadi areal tambak. Luas ekosistem mangrove di Sulawesi Selatan
dari data RePPProT (1985) adalah 110.000 ha, namun Giessen et al (1991)
dalam Bahar (2004), mengatakan bahwa luas mangrove yang tersisa adalah
34.000 ha atau tersisa 31% dari luas areal semula. Lebih lanjut dilaporkan bahwa
laju degradasi ekosistem mangrove di Sulawesi sebesar 68,9%. Saat ini
ekosistem mangrove di kepulauan Tanakeke, khususnya di Pulau Bauluang dan
Lantangpeo, merupakan hasil rehabilitasi yang dilakukan oleh pemerintah.
Kenyataan ini memperlihatkan sebagian pola komunitas mangrove pada
kawasan ini tidak sama dengan pola mangrove yang terbentuk secara alami.
Walaupun demikian ditemukan berbagai macam fauna invertebrata dan
vertebrata pada ekosistem ini, termasuk berbagai organisme yang ditemukan
pada substrat, akar, batang dan daun mangrove.
Apabila ekosistem mangrove mengalami degradasi yang berpotensi
terhadap kerusakan ekosistem, tentunya hal ini akan merubah karakteristik
lingkungan yang akan berpengaruh terhadap fungsi ekologisnya, terutama
sebagai habitat berbagai organisme termasuk gastropoda. Selanjutnya akan
berdampak pada keberadaan populasi L. neritoides karena dapat terjadi
perubahan struktur mangrove yang mengakibatkan perubahan kontribusi bahan
organik. Di Pulau Bauluang dan Lantangpeo, gastropoda L. neritoides dapat
dijadikan indikator degradasi ekosistem mangrove akibat tekanan lingkungan,
Di Pulau Bauluang dan Lantangpeo kondisi ekosistem mangrove sudah
pulih, akan tetapi terjadi degradasi populasi Littorina neritoides dari bagian depan
mangrove yang berhadapan langsung dengan laut sampai ke bagian belakang
ekosistem mangrove. Fenomena ini perlu dianalisis untuk medapatkan informasi
sejauh mana keterkaitan mangrove dengan kepadatan Littorina neritoides
sehingga pemanfaatan mangrove ke depannya dapat dilakukan dengan tetap
menjaga kelestariannya.
Ekosistem mangrove juga memberikan kontribusi berupa nutrien terhadap
L. neritoides, namun analisis mengenai besarnya kontribusi tersebut belum
pernah dilakukan pada lokasi penelitian ini. Selain itu analisis untuk
mendapatkan informasi mengenai pola hubungan antara ekosistem mangrove
dalam hal kerapatan dan penutupan dengan kepadatan L. neritoides perlu
dilakukan agar pemanfaatan ekosistem yang berlebihan dapat dihindari.
1.3. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk :
- Menganalisis kondisi ekosistem mangrove di Pulau Bauluang dan Pulau
Lantangpeo.
- Menganalisis populasi Littorina neritoides di lokasi penelitian.
- Mendeterminasi keterkaitan Littorina neritoides dengan ekosistem
mangrove di lokasi penelitian.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan informasi mengenai
keberadaan populasi gastropoda dan keterkaitannya dengan ekosistem
mangrove, sehingga informasi ini dapat berkontribusi dalam pengelolaan
ekosistem mangrove di kawasan ini.
1.5. Hipotesis
Keberadaan populasi gastropoda L. neritoides terkait erat dengan tipologi
mangrove, sehingga perubahan yang terjadi pada ekosistem mangrove akan
1.6. Kerangka pemikiran
Ekosistem mangrove memiliki berbagai fungsi baik secara fisik, ekologis
maupun sosial ekonomi. Fungsi ekologis terutama sebagai habitat yang baik
untuk daerah pemijahan (spawning ground), daerah pengasuhan (nursery
ground) dan daerah mencari makan (feeding ground) berbagai macam
organisme, selain itu berperan penting dalam produktivitas perairan melalui
serasah yang dihasilkan.
Salah satu biota yang berperan cukup penting pada ekosistem mangrove di
sini adalah gastropoda. Gastropoda L. neritoides yang dominan pada ekosistem
mangrove di Pulau Bauluang dan Lantangpeo, memanfaatkan pohon mangrove
sebagai tempat melekat. Serasah yang merupakan potensi nutrien akan
mendukung pertumbuhan alga sebagai makanan bagi L. neritoides.
Eksistensi fauna ini sangat tergantung pada kondisi ekosistem mangrove,
terutama dalam hal ini ketersediaan habitat dan makanan yang dipengaruhi oleh
kondisi fisik kimiawi lingkungan (Gambar 1). Produksi serasah akan mendukung
ketersediaan makanan fauna ini, oleh karenanya diperlukan suatu pendekatan
untuk mengetahui seberapa besar sumbangan mangrove terhadap L. neritoides
berupa nutrien dalam bentuk nitrat dan fosfat. Pentingnya ekosistem mangrove
terhadap populasi L. neritoides dan belum adanya informasi mengenai
keterkaitan antara keduanya merupakan dasar dari penelitian ini dengan
berusaha mengkaji keterkaitan antara ekosistem mangrove dengan L. neritoides,
dengan mengaitkan antara kondisi mangrove dengan populasi Littorina
Gambar 1 Kerangka pemikiran Populasi Littorinaneritoides
Produktivitas perairan
o Produksi serasah
o Ketersediaan nutrien Habitat
Fungsi ekologis Ekosistem Mangrove
Tegakan mangrove Alga
Mencari makan
Kondisi fisik kimiawi lingkungan
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Ekosistem Mangrove
Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis mangue
dan bahasa Inggris grove (Macnae, 1968). Dalam bahasa Inggris kata
mangrove digunakan baik untuk komunitas tumbuhan yang tumbuh di daerah
jangkauan pasang-surut maupun untuk individu-individu spesies tumbuhan
yang menyusun komunitas tersebut. Sedangkan dalam bahasa Portugis kata
mangrove digunakan untuk menyatakan individu spesies tumbuhan, sedangkan
kata mangal untuk menyatakan komunitas tumbuhan tersebut. Bengen (2004)
mendefinisikan hutan mangrove sebagai komunitas vegetasi pantai tropis dan
sub tropis, yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu
tumbuh dan berkembang pada daerah pasang-surut pantai berlumpur. Adapun
menurut Aksornkoae (1993), hutan mangrove adalah tumbuhan halofit yang
hidup di sepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang tertinggi sampai
daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang tumbuh di daerah tropis dan
sub-tropis.
Ekosistem mangrove di pulau-pulau kecil merupakan ekosistem utama
yang sangat berperan penting bagi ketersediaan sumberdaya ikan di kawasan
tersebut, dan bagi kelangsungan hidup ekosistem lainnya serta bermanfaat bagi
masyarakat sekitarnya. Ekosistem mangrove di pulau-pulau kecil menghadapi
gradien karakter lingkungan yang berat, sehingga hanya jenis tertentu yang
memiliki toleransi terhadap kondisi lingkungan yang dapat bertahan dan
berkembang.
Peran penting dari pohon mangrove adalah luruhan daun yang gugur ke
dalam air (serasah). Serasah ini merupakan sumber bahan organik yang penting
dalam rantai makanan yang bisa mencapai 7 – 8 ton /ha/tahun, dan berperan
penting dalam kesuburan perairan di sekitarnya.
Bengen (2004), memaparkan lebih jauh tentang fungsi ekologis hutan
mangrove sebagai berikut :
¾ Sebagai peredam gelombang dan angin badai, pelindung pantai dari abrasi, penahan lumpur dan perangkap sedimen yang diangkut oleh aliran air
permukaan.
dimanfaatkan sebagai bahan makanan bagi para pemakan detritus, dan
sebagian lagi diuraikan secara bakterial menjadi mineral-mineral hara yang
berperan dalam penyuburan perairan.
¾ Sebagai daerah asuhan (nursery ground), daerah mencari makan (feeding ground) dan daerah pemijahan (spawning ground) bermacam biota perairan
(ikan, udang dan kekerangan) baik yang hidup di perairan pantai maupun
lepas pantai.
Pemanfaatan hutan mangrove saat ini sangat tinggi, terutama sebagai
penghasil kayu bakar, bahan baku untuk membuat arang, dan juga untuk
pembuatan bubur kertas (pulp). Disamping itu ekosistem mangrove dimanfaatkan
sebagai pemasok larva ikan dan udang alam, bahkan Saenger et al (1983) dalam
Bengen (2004) telah mengidentifikasi lebih dari 70 macam kegunaan pohon
mangrove bagi kepentingan umat manusia, baik dalam bentuk produk langsung
maupun produk tidak langsung.
Lugo dan Snedaker (1974) dalam Woodroffe (1992), membagi mangrove
berdasarkan fungsi dan substrat dasarnya sebagai berikut (Gambar 2) :
1. Overwash (genangan pasut) mangrove, merupakan tanaman mangrove
yang berada dalam bentuk pulau kecil dengan jenis Rhizophora sp yang
dominan dan sedimen dasar terbentuk dari tanah humus serasah
mangrove yang terakumulasi.
2. Fringe (tepian pantai) mangrove, merupakan mangrove yang terletak di
tepian pantai dengan sedimen pasir berlumpur yang dipengaruhi pasang
surut, umumnya didominasi oleh Rhizophora sp.
3. Riverine (sepanjang sungai) mangrove, merupakan mangrove yang
berada di kanan dan kiri sungai yang umumnya ke arah darat
membentuk zonasi dan substratnya adalah pasir dan lumpur.
4. Basin (genangan sungai) mangrove, merupakan mangrove yang
terdapat di bagian dalam hutan mangrove berbentuk cekungan seperti
mangkuk dengan sedimen berasal dari serasah mangrove.
5. Hammock (berelevasi) mangrove, merupakan tipe mangrove seperti
basin mangrove, tetapi sedimen dasar di bawah serasah mangrove
adalah limestone.
6. Scrub (semak) mangrove, merupakan mangrove dalam bentuk belukar
2.2. Produktivitas Ekosistem Mangrove
Ekosistem mangrove memiliki peran yang sangat penting yaitu
berhubungan dengan produktivitas primer yang tinggi jika dibandingkan dengan
ekosistem lain di wilayah pesisir. Secara biologi ekosistem mangrove merupakan
produsen primer energi hidup melalui serasah yang dihasilkan. Produktivitas
primer ekosistem ini diperkirakan lebih besar daripada produktivitas ekosistem
perairan pantai lainnya seperti ekosistem terumbu karang dan padang lamun
(Indradjaya, 1992).
Soenardjo (1999) mengatakan bahwa produksi primer bersih merupakan
bagian dari produksi primer fotosintesis tumbuhan yang tersisa setelah beberapa
bagian digunakan untuk respirasi tumbuhan yang bersangkutan. Fotosintesis
dan respirasi adalah dua elemen pokok dari produksi primer bersih.
Komponen-komponen produksi primer bersih adalah keseluruhan dari organ utama
tumbuhan meliputi daun, batang dan akar. Selanjutnya Clough (1986) dalam
Soenardjo (1999) menyatakan produksi primer bersih mangrove berupa materi
yang tergabung dalam biomassa tumbuhan yang selanjutnya akan lepas sebagai
serasah atau dikonsumsi oleh organisme heterotrof atau dapat juga dinyatakan
sebagai akumulasi materi organik baru dalam jaringan tumbuhan sebagai
kelebihan dari respirasi yang biasanya dinyatakan dalam berat kering materi
organik.
Tumbuhan mangrove sebagaimana tumbuhan lainnya mengkonversi
cahaya matahari dan zat hara (nutrien) menjadi jaringan tumbuhan (bahan Gambar 2 Tipe komunitas mangrove (Lugo dan Snedaker, 1974 dan Tomascik
et al , 1997)
Overwash fringe Riverine
Hammock
organik) melalui proses fotosintesis. Tumbuhan mangrove merupakan sumber
makanan potensial, dalam berbagai bentuk, bagi semua biota yang hidup di
ekosistem hutan mangrove. Berbeda dengan ekosistem pesisir lainnya,
komponen dasar dari rantai makanan di ekosistem hutan mangrove bukanlah
tumbuhan mangrove itu sendiri, tetapi serasah yang berasal dari tumbuhan
mangrove (daun, ranting, buah, batang dan sebagainya) (Bengen, 2004).
Sebagian serasah mangrove di dekomposisi (dihancurkan/diuraikan) oleh
bakteri dan fungi menjadi zat hara (nutrien) terlarut yang dapat dimanfaatkan
langsung oleh fitoplankton, alga, ataupun tumbuhan mangrove sendiri dalam
proses fotosintesis, sebagian lagi sebagai partikel serasah (detritus)
dimanfaatkan oleh ikan, udang, dan kepiting sebagai makanannya. Proses
makan memakan dalam berbagai kategori dan tingkatan biota membentuk suatu
jala/rantai makanan (Bengen, 2004).
Serasah atau detritus organik meliputi semua bahan tumbuhan yang telah
mati dan melalui beberapa tahapan dekomposisi yang dapat menghasilkan
energi potensial bagi kehidupan konsumer. Sebutan serasah biasanya digunakan
untuk ekosistem daratan khususnya bahan-bahan yang berasal dari tumbuhan
tinggi sedangkan detritus digunakan untuk ekosistem perairan (Mason, 1977).
Daun-daun mangrove yang jatuh didefinisikan oleh Chapman (1976) sebagai
berat materi tumbuhan mati yang jatuh dalam satuan luas permukaan tanah
dalam periode waktu tertentu.
Dekomposisi adalah proses penghancuran organisme secara bertahap
sehingga strukturnya tidak lagi dalam bentuk yang kompleks tetapi telah di
uraikan menjadi bentuk-bentuk yang sederhana. Lamanya proses dekomposisi
daun mangrove antara jenis mangrove yang satu dengan lain berbeda.
Organisme-organisme yang telah mati mengalami penghancuran yaitu
pecahan-pecahan berukuran besar menjadi partikel-partikel lebih kecil dan akhirnya
menjadi molekul-molekul.
Dekomposisi mencakup interaksi rumit dari faktor-faktor lingkungan fisik
dan aktivitas biologi. Mason (1977) membagi proses-proses dekomposisi menjadi
3 yaitu pelindihan (leaching), penghawaan (weathering) dan aktivitas biologi.
Ketiga proses tersebut berlangsung secara simultan. Pelindihan adalah
mekanisme hilangnya bahan-bahan yang dapat larut dari serasah atau detritus
organik oleh hujan atau aliran air. Penghawaan adalah mekanisme pelapukan
gelombang. Sementara aktivitas biologi adalah proses yang menghasilkan
pecahan-pecahan bahan organik (detritus) secara bertahap oleh makhluk hidup.
Produksi serasah daun untuk setiap jenis mangrove berbeda. Hal ini dapat
disebabkan oleh faktor internal dan eksternal nyang saling berkaitan. Hasil
penelitian Soerojo (1986) di Kembang Kuning Cilacap yaitu jumlah serasah daun
mangrove yang dihasilkan oleh jenis Rhizopora apiculata 2.12 gram
kering/m2/hari. Perbedaan jumlah serasah yang dihasilkan antara satu lokasi lokasi dengan lokasi lainnya disebabkan oleh beberapa faktor lingkungan yang
mempengaruhi produktivitas, kesuburan tanah, kelembaban tanah, kerapatan,
musim dan tegakan.
Hasil penelitian Sediadi dan Pramudji (1987) menunjukkan bahwa pada
tegakan Rhizopora, jumlah jatuhan serasahnya meningkat secara nyata sesuai
dengan pertambahan umur dan jumlah maksimumnya didapatkan pada usia 10
tahun. Tegakan di atas 10 tahun tidak menghasilkan perbedaan nyata. Jarak
tumbuh dari garis pantai secara tidak langsung juga mempengaruhi jumlah
serasah yang jatuh. Mangrove dengan tegakan tua akan menghasilkan jatuhan
serasah lebih banyak dan tegakan Rhizopora menghasilkan jatuhan serasah
lebih banyak dibanding dengan tegakan Avicenia.
Pelepasan nutrisi anorganik selama periode dekomposisi sangat penting
dalam mempertahankan keberlangsungan siklus nutrisi di lingkungan alam.
Dengan terpeliharanya siklus nutrisi maka pertumbuhan alga dapat berlangsung
secara lestari. Produksi zat hara dalam siklus ini tidak saja sebagai faktor penting
bagi produksi alga akan tetapi juga untuk pertumbuhan plankton pada perairan
pantai yang mempunyai hubungan dengan ekosistem mangrove (Soenardjo,
1999).
2.3. Peran Mangrove sebagai Habitat Moluska
Dalam ekosistem mangrove kelas gastropoda merupakan kelompok yang
dominan dari moluska. Menurut Frith (1977), kelompok gastropoda yang
dominan pada hutan mangrove ádalah dari famili Neritidae, Littorinidae,
Potamididae, Muricidae, Onchinidae dan Ellobidae. Selanjutnya Budiman dan
Darnaedi (1982) menambahkan bahwa jenis-jenis moluska dari famili
Potamididae dan Ellobiidae mempunyai frekuensi kehadiran yang cukup tinggi di
hutan mangrove karena luasnya daerah yang disukai oleh Ellobiidae (kering,
jenis-jenis moluska yang tinggi tergantung pada kemampuan menyesuaikan diri atau
memiliki toleransi lingkungan yang luas, seperti tahan kering (Littorina,
Brachiodontes dan Crassostrea), jenis yang dapat menghindar dari air pasang
(Nerita dan Littorina) dan jenis yang tahan terendam air (Cerithidea).
Menurut Budiman (1991) batasan masing-masing kelompok moluska
penghuni hutan mangrove adalah sebagai berikut :
1. Kelompok moluska asli hutan mangrove artinya semua jenis moluska yang
seluruh atau sebagian besar hidup dewasanya dihabiskan di hutan
mangrove, dimana jenis-jenis moluska ini sangat jarang ditemukan di luar
ekosistem mangrove. Sebagian besar pemakan serasah, hanya beberapa
jenis pemakan alga. Banyak dijumpai di bagian tengah dan belakang hutan
mangrove. Contohnya Cerithidea cingulata dan Terebralia sulcata.
2. Kelompok moluska fakultatif artinya jenis-jenis moluska yang
mempergunakan hutan mangrove sebagai salah satu tempat hidupnya.
Penyebarannya terutama di bagian depan hutan mangrove dan apabila
keadaan memungkinkan menyebar sampai bagian tengah hutan mangrove.
Contoh Crasosstrea cuculata dan Littorina scabra.
3. Kelompok moluska pendatang artinya jenis-jenis moluska yang secara tidak
sengaja ada dalam ekosistem mangrove, umumnya hidup di area sempit di
sekitar perbatasan dengan ekosistem tempat hidupnya dan frekuensi
kehadiran dan jumlah individu di luar ekosistem lebih melimpah. contoh
Thiara scabra dan Barbatia pectumcularis.
Menurut Kartawinata et al (1979), adanya perbedaan jenis substrat dan
kondisi mikrohabitat serta kemampuan beradaptasi terhadap lingkungan
menyebabkan gastropoda menyebar secara mendatar dan menegak. Habitat
hutan mangrove bersifat khusus, setiap jenis biota di dalamnya mempunyai
kisaran ekologis dan mempunyai relung tersendiri. Sebaran mendatar berlaku
bagi jenis-jenis yang hidup pada permukaan substrat baik sebagai infauna
maupun epifauna. Sementara sebaran menegak berlaku bagi jenis fauna yang
hidupnya melekat pada akar atau menempel pada batang dan daun pohon
mangrove. Diantara faktor-faktor substrat yang mempengaruhi distribusí vertikal
adalah : (1) keadaan dan ukuran butiran, (2) jenis, banyaknya dan bentuk bahan
organik yang berasosiasi dengan substrat, (3) derajat kekerasan substrat padat,
(4) jumlah (luasan) daerah dari jenis substrat tertentu, (5) faktor-faktor lingkungan
Variasi substrat dalam hutan mangrove meliputi akar-akar, batang dan daun
mangrove, kayu-kayu mati, lumpur, tumpukan pasir dan lainnya (Berry, 1963).
Fauna hutan mangrove berdasarkan habitatnya adalah; (1) Fauna yang
hidup di atas permukaan tanah (surface fauna/epifauna), (2) Fauna yang hidup
meliang dalam tanah (infauna), (3) Fauna yang hidup di pohon mangrove (tree
fauna) (Sasekumar 1974). Lebih lanjut Berry dalam Budiman dan Darnaedi
(1982), mengatakan bahwa semua gastropoda yang termasuk pemanjat pohon,
bergerak aktif turun dan naik mengikuti pasang dan surut, hal ini merupakan
suatu adaptasi terhadap perubahan lingkungan yang disebabkan oleh pengaruh
pasang surut di dalam hutan mangrove. Cockroft dan Forbes dalam Kusrini
(1988) menambahkan bahwa penghindaran air selama periode pasang naik
dapat merupakan mekanisme menghindari pemangsaan.
Budiman (1991) mengatakan bahwa jenis-jenis yang hidup di daerah
pasang surut memiliki beberapa cara mengatasi problem lingkungan hidup
antara lain:
1. Menyimpan air dalam cangkang.
2. Bergerak mencari tempat yang masih digenangi air atau masih lembab.
3. Memofifikasi atau menambah alat pernafasan lain selain insang, sehingga
dapat mengambil oksigen langsung dari udara.
4. Toleransi terhadap fluktuasi salinitas yang besar terutama di daerah tropis
yang mengalami penyinaran matahari kuat dan frekuensi hujan yang cukup
tinggi, berpengaruh terhadap perairan pantai.
Hughes (1986) mengatakan bahwa pada pantai berbatu di daerah terbuka
yang kering Littorina neritoides menutup cangkangnya dengan operculum sampai
kondisi lingkungan kembali lembab, dan difusi oksigen sekitar operculum
diminimalkan.
Menurut Nybakken (1992), pemilihan habitat dari gastropoda tergantung
dari ketersediaan makanan yang berupa detritus dan makroalgae serta kondisi
lingkungan yang terlindung dari gerakan massa air. Hawkes (1979)
menambahkan bahwa faktor físika dan kimia seperti pasang surut, kedalaman,
substrat, kecepatan arus, Oksigen terlarut, pH, Logam berat dan unsur hara serta
interaksi kedua faktor tersebut dapat mempengaruhi kehidupan perairan.
Salah satu jenis gastropoda yang memanfaatkan mangrove sebagai habitat
adalah Littorina spp. Menurut Tantanasiriwong (1978), gastropoda yang
Beberapa famili yang umum ditemukan yaitu: Littorinidae, Neritidae,
Potamididae, Cerithiidae. Jenis Littorina spp merupakan gastropoda dari famili
Littorinidae dan termasuk kelompok moluska fakultatif . Adapun susunan
taksonomi gastropoda L. neritoides adalah sebagai berikut:
Filum : Moluska
Kelas : Gastropoda
Subkelas : Prosobranchia
Ordo : Mesogastropoda
Famili : Littorinidae
Genus : Littorina
Spesies : Littorina neritoides
Penyebaran kelompok ini terutama di bagian muka ekosistem mangrove
dan apabila keadaan memungkinkan dapat menyebar sampai bagian tengah
hutan mangrove. Menurut Kartawinata et al (1978), Littorina spp merupakan
jenis yang sifatnya semiterestris yaitu jenis yang hidupnya hampir selalu di atas
air, artinya selalu berada pada tajuk pohon mangrove di atas permukaan laut.
Genus Littorina ditemukan hidup di batang, akar, cabang dan daun mangrove.
Akar dan batang mangrove dimanfaatkan sebagai mikrohabitat, karena
memerlukan ketersediaan substrat keras tempat melekat serta untuk melindungi
diri dari mangsa. Penelitian yang dilakukan oleh Samson (1999) menemukan
bahwa pada daerah yang ditumbuhi Bruguiera gymnorrhiza, yang memiliki sistem
perakaran berupa akar lutut yang rendah ditemukan sedikit individu gastropoda.
Sistem perakaran akar lutut kurang baik untuk substrat tempat melekatnya
gastropoda yang membutuhkan substrat yang lebih tinggi, sehingga
memungkinkan mereka terhindar dari air. Selain itu diduga arus air yang
melewatinya bergerak relatif lebih cepat tanpa hambatan yang berarti dari akar.
Dari penelitian tersebut didapatkan bahwa kondisi yang kurang menguntungkan
ini hanya dapat diadaptasi dengan baik oleh Nerita lineata yang melekat erat
dalam jalinan akar Bruguiera gymnorrhiza.
Menurut Paine (1996) dalam Boneka (1993), kelimpahan Littorina dikontrol
oleh substrat dalam hal ini permukaan mikrohabitat (tegakan mangrove) dan
dapat juga dikontrol oleh pemangsaan. Boneka et al (1997) mengatakan bahwa
beberapa predator teresterial yang diketahui seperti burung, kadal, dan ular,
sedangkan predator akuatik seperti kepiting dan ikan. Penelitian yang dilakukan
kepiting masuk melalui bagian bawah pohon dan memangsa gastropoda Littorina
scabra, sementara predator teresterial masuk melalui bagian atas pohon. Pada
penelitian ini predator yang ditemukan terutama kepiting: Portunids (Scylla
serrata, Thalamita crenata, Portunus pelagicus), grapsids (Metopograpsus sp,
Sesarma sp) dan Hermit crabs (Calcinus sp). Kepiting ini terutama aktif pada
malam hari. Portunids aktif pada saat pasang tinggi, sedangkan grapsids dan
”hermit crabs” aktif pada kondisi pasang maupun surut. Beberapa kepiting
portunid menggali atau bersembunyi di balik pecahan karang selama periode
surut untuk menghindari keterbukaan. Lebih lanjut Reid (1992) mengatakan
bahwa di Selat Cockle, Magnetic Island, Queensland utara ditemukan dua
predator penting, yaitu burung dan kepiting. Burung merupakan predator yang
memangsa gastropoda yang berada pada bagian pohon yang tinggi yaitu pada
dedaunan (Reid 1986 dalam Boneka et al 1997)). Untuk melindungi diri dari
predator spesies yang memanfaatkan mangrove sebagai habitat terutama
spesies yang cenderung berada pada bagian akar dan batang memiliki warna
yang gelap.
Berkaitan dengan pemilihan habitat di dedaunan mangrove, Boneka (1993)
mengatakan bahwa distribusi dan kelimpahan spesies Littorina dapat
dihubungkan dengan karakteristik substrat dalam hal ini tegakan mangrove
sebagai mikrohabitat dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Dedaunan mangrove berada pada bagian yang relatif terbuka dibanding
bagian lainnya seperti batang dan akar.
2. Dedaunan secara alami berada pada level tinggi pada pohon mangrove.
3. Ketinggian pohon (hubungannya dengan umur) dapat mengontrol
ketersediaan daun untuk gastropoda.
2.4. Nilai Penting Gastropoda Littorina spp
Gastropoda Littorina spp belum memiliki nilai ekonomis penting, namun
dalam ekosistem mangrove sangat berperan penting dalam rantai makanan.
Menurut Nybakken (1992), pada umumnya moluska berperan penting dalam
suatu ekosistem yaitu sebagai bagian dari rantai makanan dan sebagai indikator
pencemaran pada muara-muara sungai (estuaria) dan juga pada bagian pantai
yang terlindung dari gelombang besar.
Beberapa spesies gastropoda telah dimanfaatkan sebagai bahan makanan
sering dimanfaatkan dan dikonsumsi oleh masyarakat Lombok Timur adalah
Vasticardium sp, Donax sp, Codikia sp, Strombus sp, Pila polita, Siphonaria
sirius . Kasinatha dan Shanmugam (1988) melaporkan bahwa telah terjadi
pengambilan secara berlebihan (Overexploitasi) fauna gastropoda seperti
Telescopium sp, Cerithidea fluviantilis, Nitica sp, littorina spp, dan Nassarius sp
di kawasan mangrove Pitchavaram dan estuari Vellar India untuk industri kapur.
Gastropoda Littorina spp merupakan grazer (micro herbivore) yang
memanfaatkan alga yang melekat pada pohon mangrove. Serasah mangrove
yang didekomposisi menjadi nutrien terlarut dimanfaatkan oleh alga dalam
proses fotosintesis. Selain dimanfaatkan oleh gastropoda, alga juga
dimanfaatkan oleh udang-udang kecil, ikan dan organisme lainnya. Selanjutnya
kepiting dan ikan akan memanfaatkan gastropoda Littorina spp ini sebagai
makanan. Menurut Boneka et al (1997) kepiting dan ikan merupakan dari
predator akuatik utama bagi Littorina spp . Kepiting dan ikan merupakan
sumberdaya hayati yang dapat menjadi sumber penghasilan bagi masyarakat
setempat sehingga dapat membantu meningkatkan perekonomian.
Dengan terciptanya rantai makanan ini, maka ketika gastropoda Littorina
spp mengalami degradasi akibat adanya gangguan ekosistem mangrove maka
dapat berdampak pada terganggunya rantai makanan bahkan berpotensi
terhadap terputusnya rantai makanan pada ekosistem tersebut. Lebih lanjut akan
berdampak pada berkurangnya sumberdaya hayati dan lebih jauh akan
III. METODE PENELITIAN
3.1. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan pada Bulan April sampai Juni 2007 di
ekosistem mangrove yang terdapat di Pulau Bauluang dan Pulau Lantangpeo,
Kepulauan Tanakeke, Kecamatan Mappakasunggu, Kabupaten Takalar, Provinsi
Sulawesi Selatan (Gambar 3).
Pulau Bauluang dan Pulau Lantangpeo merupakan bagian dari
Kepulauan Tanakeke yang terletak di Kabupaten Takalar, Provinsi Sulawesi
Selatan, sekitar 40 km sebelah selatan Kota Makassar. Berdasarkan keputusan
UNESCO (1991) mengenai batasan pulau kecil maka kedua pulau ini
dikategorikan sebagai pulau sangat kecil karena luasnya kurang dari 100 km2 dan lebarnya kurang dari 3 km.
Pulau-pulau yang terdapat pada Kepulauan Tanakeke memiliki topografi
datar dengan persentase kelandaian 35%. Pulau Lantangpeo memiliki bentuk
pantai yang berlekuk-lekuk sehingga membentuk teluk, hal ini memungkinkan
3.2. Alat dan Bahan
Adapun alat dan bahan yang digunakan pada penelitian serta parameter
[image:33.612.124.560.163.576.2]yang diukur disajikan pada Tabel 1 sebagai berikut :
Tabel 1 Parameter, Alat dan Bahan Penelitian
Parameter Satuan Metode analisis/alat Bahan FISIK OSEANOGRAFI: 1. Suhu 2. Arus 0C m/s Termometer
Bola duga + kompas
Air contoh KUALITAS AIR: 1. pH 2. DO 3. TOM 4. Salinitas 5. Nitrat
6. Fosfat
mg/l mg/l 0/ 00 mg/l mg/l pH-meter DO meter Titrimetrik Handrefraktometer Spektrofotometer Spektrofotometer Air contoh Air contoh Air contoh Air contoh Air contoh, Asam
disulfonim, NO3, NH4OH,
Air contoh, Asam
disulfonim, PO4, NH4OH
SEDIMEN :
1. Fraksi sedimen 2. pH
3. Redoks potensial (Eh) 4. TOM 5. DO % mV mg/l mg/l Pengayakan pH-meter Redoks potensiometer Titrimetrik Titrimetrik Sampel sedimen BIOLOGI : 1. Mangrove - Kerapatan - Penutupan - INP
2. Littorina neritoides
3. Produktivitas serasah
4. Pemanfaatan nutrien 5. Pemanfaatan alga
Ind/100m2
, m2/ha, % Ind/m2
gr /m2/hari
mg/l %
Transek kuadrat
Transek kuadrat Jala Penampung, oven, timbangan
Styrofoam Styrofoam, kaca, mikroskop
Tegakan mangrove
Sampel L. neritoides
Serasah mangrove
Air contoh
Sampel L. neritoides
3.3. Prosedur Penelitian
3.3.1. Tahap Penentuan Stasiun
Penentuan titik stasiun dilakukan pada setiap kerapatan mangrove baik
secara vertikal maupun secara horizontal, dan berdasarkan keberadaan
3.3.2. Tahap Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan untuk dianalisis terdiri dari data primer dan data
sekunder. Data primer yang dimaksud adalah data yang terdiri dari data
mengenai kondisi mangrove, serasah mangrove, kualitas air, kepadatan
populasi L. neritoides, sedangkan data sekunder adalah data pasang surut.
a. Kondisi ekosistem mangrove
Pengumpulan data kondisi ekosistem mangrove dilakukan dengan
menggunakan transek kuadrat berukuran 10 m x 10 m. Masing-masing stasiun
pengamatan ditempatkan pada Pulau Bauluang dan Pulau Lantangpeo,
dimana setiap stasiun terdiri dari 3 transek garis dan tiap transek garis terdiri
dari 3 transek kuadrat (Gambar 4). Transek garis ditentukan dari arah laut ke
darat
b. Kualitas air
Pengukuran kualitas air dilakukan dengan dua cara yaitu secara insitu dan
pengukuran di laboratorium. Pengukuran secara insitu dilakukan dengan cara
mengambil contoh air pada masing-masing stasiun pengamatan. Parameter
kualitas air yang diukur di lapangan meliputi suhu, oksigen terlarut (DO), pH
dan salinitas, sedangkan untuk parameter kualitas air yang diukur di
laboratorium seperti TOM, nitrat dan fosfat dilakukan dengan mengambil Laut
U
[image:34.612.177.465.302.514.2]Transek kuadrat Transek garis
contoh air yang selanjutnya dianalisis di Laboratorium Oseanografi Kimia,
Jurusan Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar.
c. Kualitas sedimen dan fraksi sedimen
Contoh sedimen diambil pada stasiun yang sama dengan pengambilan contoh
air. Sedimen diambil kurang lebih 500 gram selanjutnya dimasukkan ke dalam
plastik dan disimpan dalam cool box untuk selanjutnya dianalisis di
laboratorium Oseanografi Kimia, Jurusan Ilmu Kelautan dan Perikanan,
Universitas Hasanuddin, Makassar.
d. Kepadatan populasi Littorina neritoides
Pengukuran kepadatan populasi L. neritoides dilakukan dengan menggunakan
transek kuadrat berukuran 1 m x 1 m yang ditempatkan di setiap transek
kuadrat pada ekosistem mangrove. Pada tiap transek kuadrat di ekosistem
mangrove terdapat 5 transek kuadrat untuk pengamatan kepadatan populasi
L. neritoides pada masing-masing jenis mangrove.
e. Pemanfaatan nutrien oleh alga dan pemanfaatan alga oleh L. neritoides. Pengukuran pemanfaatan nutrien oleh alga bertujuan untuk mengetahui
seberapa besar nutrien berupa nitrat dan fosfat yang dibutuhkan oleh alga
untuk pertumbuhan dalam jangka waktu tertentu. Pengamatan ini dilakukan
dengan tahapan sebagai berikut:
1. Mengambil air contoh pada lokasi penelitian, lalu memasukkan ke dalam
wadah (styrofoam) untuk menumbuhkan alga.
2. Mengukur nutrien awal pada contoh air dalam styrofoam.
3. Memasukkan beberapa lempengan kaca sebagai media tumbuh alga.
4. Setelah satu minggu dilakukan kembali pengukuran nutrien.
Sementara pengukuran pemanfaatan alga oleh L. neritoides dilakukan
dengan tujuan mengetahui seberapa besar luasan alga yang digerus oleh L.
neritoides dalam jangka waktu tertentu. Pengamatan ini dilakukan dengan
pendekatan untuk memberikan gambaran seberapa besar persentase
pemanfatan alga oleh Littorina neritoides dengan menggunakan 30 individu L.
neritoides dengan ukuran panjang individu sekitar 2 cm.
Tahapan pengamatan ini merupakan lanjutan dari pengamatan pemanfaatan
1. Setelah satu minggu menumbuhkan alga pada styrofoam, media tumbuh
alga berupa lempengan kaca dipindahkan ke wadah yang kering.
2. Memasukkan 30 individu L. neritoides ke dalam wadah tersebut selama 1
hari.
3. Mengukur luasan alga yang digerus oleh L. neritoides.
Alga merupakan makanan bagi jenis gastropoda ini, sehingga dengan
pengamatan yang dilakukan untuk melihat pemanfaatan nutrien oleh alga dan
pemanfaatan alga oleh L. neritoides dapat diketahui kontribusi mangrove
berupa guguran daun yang berpotensi menjadi nutrien secara tidak langsung
terhadap gastropoda L. neritoides dalam jangka waktu tertentu.
f. Produktivitas Serasah
Pengukuran produktivitas serasah dilakukan untuk mengetahui kesuburan
perairan di lokasi penelitian. Serasah mangrove sangat berperan penting
dalam ekosistem mangrove karena selain dapat dimanfaatkan secara
langsung, proses penguraiannya akan membentuk bahan anorganik yang
akan dimanfaatkan oleh berbagai organisme yang berada di sekitar ekosistem
mangrove. Pengukuran produktivitas serasah dilakukan dengan tahapan
sebagai berikut:
1. Menempatkan jala penampung serasah berukuran 1 m x 1 m di bawah
mangrove pada setiap stasiun pengamatan. Bagian bawah jala penampung
diberi pemberat.
2. Pengumpulan serasah dilakukan 15 hari sekali selama 1 (satu) bulan.
3. Serasah yang dikumpulkan dikeringkan dalam oven dengan suhu 600C sampai mendapatkan berat konstan. Selanjutnya serasah ditimbang kering.
3.3.3. Analisis Data
a. Ekosistem Mangrove
Data yang diperoleh dari lapangan digunakan untuk menghitung
kerapatan, frekuensi jenis, dominansi dan Indeks Nilai Penting (The important
value). Menurut Bengen (2004), nilai penting jenis didapatkan dengan
menggunakan persamaan sebagai berikut :
INP = KRi + FRi + DRi
Nilai penting suatu jenis berkisar antara 0 hingga 300. Nilai penting ini
tumbuhan mangrove dalam komunitas. Indeks Nilai Penting merupakan
penjumlahan dari nilai kerapatan relatif n jenis-i (KRi), frekuensi relatif jenis
(FRi) dan Dominansi relatif jenis-i (DRi) dimana masing-masing diperoleh
dengan menggunakan persamaan sebagai berikut :
1. Kerapatan Jenis (Ki) merupakan jumlah tegakan jenis i (ni) dalam satuan unit
area yang diukur (A).
A n
K i
i =
2. Kerapatan Relatif Jenis i (KRi) merupakan perbandingan antara jumlah
tegakan jenis i (ni) dan jumlah tota tegakam seluruh jenis (Σn).
100
x n n
KR i
i =
∑
3. Frekuensi jenis (Fi) merupakan jumlah petak contoh/plot dimana ditemukan
suatu jenis (pi) dalam semua petak contoh yang diamati (p) .
∑
=p p
F i
i
4. Frekuansi Relatif Jenis (FRi) merupakan perbandingan antara frekuensi jenis i
(Fi) dengan jumlah frekuensi untuk seluruh jenis (ΣF)
100
x F F
FR i
i=
∑
5. Dominansi jenis (Di) merupakan luas bidang dasar jenis i (Li) dalam suatu unit
area
A Li Di =
Dimana :
Li atau BA (Basal area) =
π
DBH2/4 (dalam cm2), DBH merupakan diameterpohon dari jenis ke i, dimana DBH = CBH/
π
(dalam cm); CBH merupakan lingkaran pohon
6. Dominansi relatif jenis (DRi) perbandingan antara dominansi jenis i dan
dominansi seluruh jenis.
x100
D D
DR i
i =
∑
b. Kepadatan Individu Gastropoda
Untuk menghitung kepadatan individu dalam hal ini Littorina spp maka
dapat dilakukan dengan menggunakan persamaan :
A D X =
∑
iDimana :
X = Kelimpahan Gastropoda (individu/m2) Di = Jumlah individu gastropoda ke i
A = Satuan luas (m2)
c. Pola sebaran
Untuk mengetahui pola penyebaran jenis L. neritoides digunakan Indeks
Morisita (Id) (Krebs, 1989) dengan rumus sebagai berikut:
(
)
(
(
)
)
{
∑
−∑
∑
−∑
}
= i i i i
d n x x x x
I 2 / 2
Dimana :
d
I = Indeks Dispersi Morisita n = Jumlah total unit sampling Xi = Jumlah individu jenis ke-i Dengan kriteria penyebaran sebagai berikut:
d
I = 1: pola dispersi acak
d
I < 1: pola dispersi seragam
d
I > 1: pola dispersi mengelompok
d. Pemanfaatan nutrien
Untuk menghitung besarnya nutrien yang diserap oleh alga dilakukan
dengan menggunakan persamaan sebagai berikut:
dimana :
Nalga = Nutrien yang dimanfaatkan oleh alga (mg/l), dimana nutrien dalam
hal ini dibatasi hanya pada nitrat dan ortofosfat
Nto = Nutrien awal (mg/l)
Nt1 = Nutrien pada waktu t (mg/l)
Jumlah nutrien berupa nitrat dan fosfat yang berkurang merupakan besarnya
nutrien yang dimanfaatkan oleh alga.
e. Pemanfaatan alga
Untuk mengetahui persentase pemanfaatan alga oleh L. neritoides dapat
dihitung dengan menggunakan persamaan :
%
100
x
B
A
X
=
dimana :
X = Persentase pemanfaatan alga (%)
A = Total luas daerah yang digerus (cm2) B = Total luas daerah yang ditumbuhi alga (cm2)
Selanjutnya untuk mengetahui besarnya kontribusi mangrove berupa nutrien
yang berasal dari serasah mangrove yang dimanfaatkan oleh L. neritoides dapat
dihutung dengan persamaan :
Y = NxX
dimana :
N = Nutrien (nitrat dan fosfat) yang dimanfaatkan oleh alga (mg/l)
X = Pemanfaatan alga oleh L. neritoides
f. Analisis Parameter Lingkungan
Untuk mendeterminasi sebaran stasiun berdasarkan karakteristik
lingkungan, digunakan suatu pendekatan analisis statistik multivariabel yang
didasarkan pada Analisis Komponen Utama (Principal Components Análysis atau
PCA). Metode ini memungkinkan suatu representasi yang lebih mudah
diinterpretasikan pada struktur data yang banyak dengan hanya menarik
informasi esensial (Bengen 2000). Analisis statistik multivariabel ini lebih tepat
digunakan karena variabelnya berupa variabel metrik dan memiliki unit
pengukuran yang berbeda. Variabel yang ada seperti kualitas air ( pH, DO, TOM,
Dengan menggunakan analisis PCA dapat dikaji hubungan antara
variabel-variabel tersebut (korelasi antar variabel-variabel) dan dapat dilihat apakah ada
pengelompokan individu (stasiun) berdasarkan parameter tersebut.
Analisis Komponen Utama adalah suatu teknik ordinasi yang
memproyeksikan dispersi matriks data multidimensional dalam suatu bidang
datar, dengan cara mereduksi ruang, maka diperoleh sumbu-sumbu baru yang
merepresentasikan secara optimal dari sebagian besar variabilitas data matriks
multidimensional, sehingga dapat ditemukan hubungan antar variabel dan
hubungannya antar obyek (Legendre dan Legendre, 1983). Analisis ini membagi
matriks korelasi parameter menjadi beberapa komponen, kemudian menyusun
keragaman komponen bersangkutan dari yang terbesar pada sumbu komponen
utama, sehingga didapatkan distribusí spasial parameter físika, kimia dan biologi
pada lokasi penelitian.
Data variabel físika kimia perairan yang diperoleh tidak memiliki unit
pengukuran yang sama, maka sebelum dilakukan analisis terlebih dahulu
dilakukan normalisasi terhadap data melalui pemusatan dan pereduksian.
Dengan demikian hasil PCA tidak direalisasikan dari nilai-nilai asli karakteristik
habitat tapi dari indeks sintetik yang diperoleh dari kombinasi linier nilai-nilai asli
karakteristik habitat.
Nilai sesudah pemusatan diperoleh dari selisih antara nilai karakteristik
habitat tersebut sebagai berikut :
i ij
X
X
C
= −Dimana :
Xi = nilai rata-rata karakteristik habitat
Xij = Nilai asli karakteristik habitat
C = Nilai pemusatan
Sementara pereduksian merupakan hasil bagi antara parameter yang telah
dipusatkan dengan nilai simpangan baku parameter tersebut sebagai berikut :
Sd
C
R
=Dimana : R = nilai reduksi
C = Nilai pemusatan
Untuk menentukan hubungan antara dua peubah di gunakan pendekatan
matriks korelasi yang dihitung dari indeks sintetik sebagai berikut :
Bsxn = Asxn – Atnxs
Dimana :
Bsxn = matriks korelasi rij
Asxn = matriks indeks sintetis, aij
Atnxs = matriks transpos Asxn
Korelasi linier antara dua parameter yang dihitung dari indeks sintetiknya
adalah peragam dari kedua parameter tersebut yang dinormalkan. Diantara
semua indeks yang menunjukkan ragam stasiun yang maksimum. Indeks ini di
sebut komponen utama pertama yang merupakan sumbu kesatu (F1). Suatu
proporsi tertentu dari ragam total stasiun dijelaskan oleh componen utama ini.
Selanjutnya dicari komponen utama kedua (F2) yang memiliki korelasi nihil
dengan komponen utama pertama. Komponen utama kedua memberikan
informasi terbesar sebagai pelengkap komponen utama pertama. Proses ini
berlanjut terus hingga diperoleh komponen utama ke p, dimana bagian informasi
yang dapat dijelaskan semakin kecil.
Pada prinsipnya Analisis Komponen Utama menggunakan pengukuran
jarak Euclidean (jumlah kuadrat perbedaan antara individu untuk variabel yang
berkoresponden) pada data (Bengen, 2000). Jarak Euclidean didasarkan pada
rumussebagai berikut :
2 ' 1
2
)
(
)
'
,
(
ijp
j
ij
X
X
i
i
d
∑
= − =
Dimana :
i, i ’ = dua baris
j = Indeks pada kolom (bervariasi dari 1 hingga p)
Semakin kecil jarak Euclidean antar 2 stasiun, maka semakin mirip
karakteristik físika kimia air dan substrat antar kedua stasiun tersebut dan
sebaliknya semakin besar jarak Euclidean antar 2 stasiun, maka semakin
g. Hubungan antara Kepadatan L. neritoides dengan Kerapatan dan Penutupan Mangrove
Hubungan antara kepadatan L. neritoides dengan vegetasi mangrove
dapat dijelaskan dengan menggunakan analisis regresi. Tujuan analisis ini
adalah untuk mengetahui hubungan antara kedua peubah dalam hal ini
hubungan antara kepadatan L. neritoides sebagai variabel tak bebas (Y) dengan
kerapatan dan penutupan mangrove sebagai variabel bebas (X). Nilai korelasi
(R) menjelaskan seberapa besar hubungan antara peubah X dan Y, semakin
besar hubungan antara kedua peubah, nilai korelasi (R) mendekati 1 (satu). Nilai
koefisien determinasi (R2) menggambarkan seberapa besar X (kerapatan mangrove) mempengaruhi Y (kepadatan L. neritoides), nilai R2 dapat dibandingkan untuk menguji ketepatan fungsi yang digunakan, serta melihat nilai
errornya. Semakin besar nilai R2 dan semakin kecil nilai error maka variabel bebas (X) semakin bagus untuk meramalkan variabel tak bebas (Y). Persamaan
regresi yang digunakan berdasarkan Steel dan Torrie (1960) sebagai berikut:
n n
X
X
X
Y
=β
0+β
1 +β
2 2+....+β
Dimana :
Y = Kepadatan L. neritoides
X = Kerapatan mangrove (pohon)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Karakteristik Mangrove di Pulau Bauluang dan Pulau Lantangpeo
Ekosistem mangrove di Kepulauan Tanakeke didominasi oleh jenis
Rhizophora sp, dengan kerapatan rata-rata 2200 – 2700 ind/ha. Khususnya Di
Pulau Bauluang dan Lantangpeo, ekosistem mangrove memiliki luas
masing-masing 1559 km2 dan 3885 km2 (Mutmainnah, 2004).
Jenis mangrove yang terdapat di Pulau Bauluang didominasi oleh
Rhizhopora mucronata, selain itu ditemukan jenis lain dalam jumlah yang kecil
yaitu Lumnitzera racemosa dan Sonneratia alba. Sementara di Pulau
Lantangpeo terdapat jenis Rhizhopora apicula dan Rhizophora stylosa di antara
jenis Rhizhopora mucronata yang juga mendominasi di pulau ini (Gambar 5)
Ukuran tinggi pohon mangrove di Pulau Bauluang berkisar antara 4 - 6
meter dengan diameter pohon berkisar antara 4 – 15 cm, sedangkan di Pulau
Lantangpeo ketinggian pohon berkisar antara 10 - 12 meter dengan diameter
pohon berkisar antara 14 – 21 cm. Ekosistem mangrove di Pulau Bauluang dan
Pulau Lantangpeo tidak membentuk zonasi, ekosistem yang terbentuk bersifat
[image:43.612.137.504.300.570.2]homogen yang didominasi oleh jenis Rhizophora mucronata. Keberadaan jenis Gambar 5 Kerapatan mangrove di lokasi penelitian
39.22 34.56 1.00 29.78 1.00 29.11 3.00 1.00 22.44 0.89 0.89 20.78 0.56 21.11 1.67 1.67 29.89 1.33 0.33 25.33 0.89 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00 40.00 K e ra pa ta n ( in d/ 1 0 0 m 2 )
Rm Rm Lr Rm Sa Rm Ra Rs Rm Ra Rs Rm Ra Rm Ra Rs Rm Ra Rs Rm Rs
B1 B2 B3 L1 L2 L3 LT1 LT2 LT3 Stasiun Pengamatan
Ket : Rm = Rhizophora mucronata Ra = Rhizophora apiculata
Lr = Lumnitzera racemosa Rs = Rhizophora stylosa
mangrove lain seperti Sonneratia Alba, Lumnitzera racemosa, R. apiculata dan
R. stylosa ditemukan dalam jumlah yang sangat sedikit.
Pemanfaatan ekosistem mangrove oleh masyarakat di lokasi penelitian,
diantaranya untuk berbagai keperluan seperti untuk kayu bakar, pembuatan
arang, tiang rumput laut, mebel dan sebagai areal tambak. Ekosistem mangrove
ini merupakan hasil rehabilitasi yang dilakukan oleh masyarakat setempat. Pulau
Bauluang memiliki kerapatan mangrove yang lebih tinggi serta kelestariannya
tetap terpelihara dari tahun ke tahun, hal ini disebabkan adanya kesadaran
masyarakat yang memberlakukan sistem tebang pilih dan tanam kembali dalam
pemanfaatan ekosistem mangrove. Parabang (1998) mengatakan bahwa
konversi mangrove menjadi areal pertambakan di Pulau Lantangpeo sudah
berlangsung sejak 1980 dengan luas areal mangrove yang dikonversi sekitar
1500 ha sehingga pada pulau ini memiliki kerapatan yang lebih rendah.
Salah satu faktor yang mempengaruhi mangrove adalah pasang surut.
Proses terjadinya pasang surut di dalam ekosistem mangrove sangat penting
artinya dalam hal suplai oksigen. Berdasarkan data yang diperoleh dari
DISHIDROS AL diperoleh tipe pasang surut pada lokasi penelitian adalah tipe
pasut campuran condong ke harian tunggal (mixed tide prevailing diurnal)
dengan tunggang pasang sekitar 67.61 cm. Tunggang pasang yang cukup tinggi
dengan relief pantai relatif datar memungkinkan air laut dapat mencapai
mangrove yang jauh ke darat ketika terjadi pasang.
Penyebaran mangrove di Pulau Bauluang dan Pulau Lantangpeo dapat
[image:44.612.135.508.521.625.2]dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2 Sebaran jenis mangrove yang dijumpai di lokasi penelitian
Stasiun
No Jenis Mangrove
B1 B2 B3 L1 L2 L3 LT1 LT2 LT3
1 R. mucronata x x x x x x x x x
2 L. racemosa - x - - - - -
3 S. alba - - x - - -
4 R. apiculata - - - x x x x x -
5 R.stylosa - - - x x - x x x
Keterangan: x = ada dijumpai; - = tidak ada dijumpai
Jenis mangrove di Pulau Bauluang terdiri dari yaitu Rhizophora mucronata,
Lumnitzera racemosa dan Sonneratia alba, sementara di Pulau Lantangpeo
didapatkan jenis Rhizophora mucronata, Rhizophora apiculata dan Rhizophora
adalah Rhizophora mucronata, jenis ini dominan pada kedua pulau dan di jumpai
pada semua stasiun pengamatan. Jenis lain dijumpai dalam jumlah yang lebih
sedikit. Jenis Rhizophora mucronata memiliki Indeks nilai penting (INP) tertinggi
untuk semua kategori di semua stasiun penelitian (Gambar 6).
Mangrove jenis Rhizophora mucronata menyebar luas dan ditemukan