• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut gugusan pulau pulau padaido, distrik padaido, Kabupaten Biak Numfor, Papua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut gugusan pulau pulau padaido, distrik padaido, Kabupaten Biak Numfor, Papua"

Copied!
305
0
0

Teks penuh

(1)

DISTRIK PADAIDO, KABUPATEN BIAK NUMFOR, PAPUA

ALEXANDER SOSELISA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Kajian Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Gugusan Pulau-Pulau Padaido, Distrik Padaido, Kabupaten Biak- Numfor, Propinsi Papua adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Mei 2006

(3)

ABSTRAK

ALEXANDER SOSELISA. Kajian Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Gugusan Pulau-Pulau Padaido, Distrik Padaido, Kabupaten Biak Numfor, Propinsi Papua. Dibimbing oleh DANIEL R. MONINTJA, SUGENG BUDIHARSONO, A.S.W. RETRAUBUN, dan FREDINAN YULIANDA.

Penelitian ini bertujuan untuk mendisain zonasi pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut, menyusun kesesuaian pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut, mengkaji daya dukung sumberdaya pesisir dan laut, mengkaji kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat, menilai partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, dan mengembangkan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut.

Data dan informasi dikumpulkan secara partisipatif dengan kuesioner dan survei lapangan. Metode analisis data terdiri dari analisis spasial dengan metode sistem informasi geografis, analisis kesesuaian, analisis daya dukung, analisis sosial ekonomi dan budaya, analisis partisipasi, dan analisis kebijakan dengan pendekatan A’WOT yaitu integrasi analytic hierarchy process (AHP) and strengths weaknesses opportunities threats (SWOT).

(4)

ABSTRACT

ALEXANDER SOSELISA. Study on the Management of Coastal and Marine Resources of Padaido Islands, Kabupaten Biak Numfor, Papua Province. Under the direction of DANIEL R. MONINTJA, SUGENG BUDIHARSONO, A.S.W. RETRAUBUN , and FREDINAN YULIANDA.

The objectives of this research are to design zoning of coastal and marine resources uses, establish suitability of coastal and marine resources uses, assess carrying capacity of marine and coastal resources, assess cultural and social economics of community, assess community participation in marine and coastal resources management, and develop marine and coastal resources policy.

Data and information were collected participatively using a questioner and field survey. Methods of data analysis consist of a numbers of analysis, these are spasial analysis using a geographical information system, suitability analysis, carrying capacity analysis, cultural and socia l economics analysis, participation analysis, and policy analysis with using A’WOT, that is the integrated analytic hierarchy process (AHP) and strengths weaknesses opportunities threats (SWOT).

The result of the research showed that marine and coastal zone of GPP Padaido, by using ecology, social, economy and institution criteria, was divided by 3 zoning of management, these are special use, limited use zone, and conservation zone. Development activities that suitable for marine and coastal uses are marine culture for seaweed and sea cucumber, demersal and pelagic fisheries, and coastal tourism. The area has carrying capacity to support the activities optimally. Majority of Padaido community works as fisherman that has low of formal education and living in poverty condition, but they have traditionally wisdom to manage natural resources. Relating to manage the area for marine natural tourism park, tourism, fisheries, and conservation that is managed by government and non-government organization, participation of the community is very low. This caused by low of formal education of the community. Based on A’WOT approach and its scale of priorities, the alternatives policies of thr marine and coastal resources management are communities based management, coastal and marine tourism management, coastal and marine natural resources conservation, coastal and marine fisheries management, capacity institution improvement, supporting infrastruc ture improvement, coconut plantation management, and mitigation of natural disaster of earth-quake and tsunami.

(5)

© Hak cipta milik Alexander Soselisa, tahun 2006

Hak cipta dilindungi

(6)

KAJIAN PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUT

GUGUSAN PULAU-PULAU PADAIDO,

DISTRIK PADAIDO, KABUPATEN BIAK NUMFOR, PAPUA

ALEXANDER SOSELISA

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor pada

Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)

Judul Disertasi : Kajian Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Gugusan Pulau-Pulau Padaido, Distrik Padaido, Kabupaten Biak Numfor, Papua

Nama : Alexander Soselisa

NIM : P.31600024

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Daniel R. Monintja Dr. Ir. Sugeng Budiharsono Ketua Anggota

Dr. Ir. A.S.W. Retraubun, M.Sc Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Pengelolaan Sumberdaya

Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS. Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto,M.Sc

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah “Kajian Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Gugusan Pulau-Pulau Padaido, Distrik Padaido, Kabupaten Biak Numfor, Propinsi Papua” telah dilaksanakan sejak Januari sampai dengan Agustus 2003.

Terima kasih dan penghargaan penulis ucapkan kepada Bapak Prof. Dr.Daniel R. Monintja selaku ketua komisi pembimbing dan Bapak Dr.Ir. Sugeng Budiharsono, Bapak Dr. Ir. A.S.W. Retraubun M.Sc, dan Bapak Dr. Ir. Fredinan Yulianda M.Sc masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing, atas segala bimbingan dan arahan serta Bapak Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA atas segala arahan dan saran selama penulis melakukan penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. Di samping itu, terima kasih penulis sampaikan kepada Pimpinan Universitas Pattimura dan Pimpinan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan atas kesempatan tugas belajar jenjang S3 di Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Pimpinan BPPS DIKTI dan Yayasan SUPERS EMAR atas bantuan beasiswa dan biaya penelitian, Pemerintah Daerah Tingkat II Kabupaten Biak Numfor dan Pemerintah Distrik Padaido serta masyarakatnya atas kesempatan kepada penulis melakukan penelitian. Kepada teman-teman di Yayasan RUMSRAM, KEHATI, COREMAP I, SEKPRO LLMA Biak dan rekan-rekan seprogram studi SPL serta semua pihak yang tidak disebutkan satu persatu, penulis sampaikan terima kasih atas bantuannya. Ungkapan terima kasih dan penghargaan yang dalam, penulis sampaikan kepada Ayah, Istri dan ana k tercinta Chris Daniel serta seluruh keluarga atas dukungan moril, pengertian, kesabaran, doa dan kasih sayang.

Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan kita.

(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 13 Agustus 1963 sebagai anak kedua dari pasangan Anton Soselisa dan Christina Biri. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan, Universitas Pattimura Ambon, lulus pada tahun 1988. Pada Tahun 1992, penulis diterima di Faculty of Science, Vrije Universiteit Brussel untuk pendidikan S2 dan menamatkannya pada tahun 1994 dengan gelar Master of Science. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut diperoleh pada tahun 2001. Beasiswa pendidikan Sekolah Pascasarjana diperoleh dari Direktorat Jend eral Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.

Penulis diangkat sebagai Dosen di Fakultas Perikanan, Universitas Pattimura Ambon pada tahun 1989. Saat ini penulis masih menjadi Dosen Tetap di Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Pattimura Ambon dengan jabatan fungsional/golongan sebagai Lektor / IIID.

(10)

DAFTAR ISI

Ekosistem,Sumberdaya Alam dan Jasa-Jasa Lingkungan Pulau-Pulau Kecil 22 Model Pembangunan Gugus Pulau . . . 26

(11)

HASIL DAN PEMBAHASAN . . . 84

Gambaran Umum Daerah Penelitian . . . 84

Kesesuaian Lahan GPP Padaido . . . 114

Daya Dukung Sumberdaya GPP Padaido . . . . 127

Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya . . . 158

Partisipasi Masyarakat. . . . 179

Zonasi GPP Padaido. . . . 186

Kebijakan Pengelolaan GPP Padaido. . . . . 198

SIMPULAN . . . 233

DAFTAR PUSTAKA. . . . 236

(12)

DAFTAR TABEL

5 Parameter,bobot dan skor sistem penilaian lahan untuk pariwisata pesisir . . 66

6 Parameter,bobot dan skor sistem penilaian lahan untuk budidaya rumput laut. . . 67

7 Parameter,bobot dan skor sistem penilaian lahan untuk budidaya teripang . 67 8 Parameter,bobot dan skor sistim penilaian lahan untuk ikan dengan KJA . . 68

9 Parameter,bobot dan skor sistem penilaian lahan untuk daerah tangkapan ikan karang. . . . 69

10 Parameter,bobot dan skor sistem penilaian lahan untuk daerah tangkapan ikan pelagis. . . 69

24 Kelas kesesuaian dan luas lahan budidaya ikan dengan keramba jaring . apung . . . 121

34 Daya dukung sumberdaya GPP Padaido untuk fasilitas kegiatan pariwisata pesisir. . . 146

(13)

36 Penghitungan neraca air rata-rata bulanan (mm) di GPP Padaido. . . . . 152

37 Perkiraan potensi air tanah di Gugus Pulau Padaido Bawah. . . . 154

38 Perkiraan potensi air tanah di Gugus Pulau Padaido Atas. . . . 155

39 Kondisi dan kualitas air tanah di beberapa Pulau Padaido. . . . . 157

40 Jumlah penduduk GPP Padaido, Distrik Padaido. . . . 159

41 Komposisi dan ketergantungan penduduk GPP Padaido. . . . 160

42 Kepadatan penduduk GPP Padaido. . . . 161

43 Tingkat pendidikan penduduk GPP Padaido. . . 162

44 Mata pencaharian keluarga di GPP Padaido. . . 164

45 Pendapatan per kapita rata-rata penduduk GPP Padaido. . . . 167

46 Pengeluaran per kapita rata-rata penduduk Pulau-Pulau Padaido . . . . . 167

47 Musim penangkapan ikan masyarakat Padaido. . . 175

48 Tingkat partisipasi masyarakat. . . . 180

49 Hasil analisis diskriminasi tingkat partisipasi masyarakat. . . . 181

50 Deskripsi variabel tingkat partisipasi masyarakat. . . . . 182

51 Hasil analisis diskriminan faktor-faktor tingkat partisipasi masyarakat. . . 183

52 Lama pendidikan dan tingkat partisipasi. . . . 184

53 Penilaian kriteria pengelolaan GPP Padaido Bawah. . . . 187

54 Rencana zonasi peruntukkan Pulau-Pulau Padaido Bawah. . . . 191

55 Penilaian kriteria pengelolaan Pulau-Pulau Gugus Padaido Atas. . . 192

56 Kriteria, persen total skor dan rencana zonasi Pulau-Pulau Padaido Atas. . 194

57 Komponen dan faktor- faktor SWOT pengelolaan Gugus Pulau Padaido. . . 200

58 Prioritas komponen SWOT pengelolaan sumberdayaa alam GPP Padaido. . 201

59 Prioritas faktor- faktor komponen SWOT. . . . 203

(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pemikiran pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut Gugusan

Pulau-Pulau Padaido. . . 16

2 Pemanfaatan sumberdaya alam berkelanjutan. . . 40

3 Kerangka analisis pengelolaan kawasan GPP Padaido. . . 55

4 Proses penyusunan zonasi dan kesesuaian lahan GPP Padaido. . . 57

5 Rataan curah hujan bulanan (mm).. . . . 149

6 Evapotranspirasi rata-rata bulanan (mm). . . 150

7 Air larian permukaan rata-rata bulanan (mm). . . . 150

8 Potensi air tanah bulanan (mm). . . 151

9 Neraca air tanah rata-rata bulanan di GPP Padaido. . . . . 152

10 Pondok wisata di Pulau Dauwi. . . . 210

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Realitas bio - fisik GPP Padaido, Distrik Padaido. . . 249

2 Potensi sumberdaya alam Kepulauan Padaido, Distrik Padaido. . . 252

3 Realitas persen penutupan karang perairan GPP Padaido dari berbagai sumber. . . 253

4 Evaluasi kesesuaian lahan perairan pesisir GPP Padaido untuk budidaya rumput laut. . . 259

5 Evaluasi kesesuaian lahan perairan pesisir GPP Padaido untuk budidaya teripang. . . . 261

6 Evaluasi kesesuaian lahan perairan pesisir GPP Padaido untuk budidaya ikan dengan keramba jaring apung. . . . 263

7 Evaluasi kesesuaian lahan perairan pesisir GPP Padaido untuk pariwisata pesisir. . . 264

8 Evaluasi kesesuaian lahan perairan laut GPP Padaido untuk penangkapan ikan pelagis. . . 266

9 Evaluasi kesesuaian lahan perairan laut GPP Padaido untuk penangkapan ikan karang (kel. target). . . . 267

10 Skema analisis A’WOT untuk penentuan prioritas kebijakan pengelolaan GPP Padaido. . . . 268

11 Peta lokasi penelitian . . . 271

12 Peta gugusan Pulau-Pulau Padaido, Distrik Padaido-Biak Numfor. . . . . 272

13 Peta batimetri gugusan Pulau-Pulau Padaido . . . 273

21 Peta kesesuaian lahan pesisir GPP Padaido untuk pariwisata pesisir. . . . 281

22 Peta kesesuaian daerah penangkapan ikan demersal dan pelagis. . . . . . 282

23 Peta asal mula penduduk Pulau-Pulau Padaido. . . 283

24 Peta daerah penangkapan ikan masyarakat pesisir Biak Timur dan Padaido . 284 25 Peta wilayah rawan gempa bumi di Indonesia. . . . . 285

(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Bagi Indonesia yang merupakan negara kepulauan (archipelago state), keberadaan pulau-pulau kecil sangat penting dalam pembangunan berkelanjutan, bukan saja karena jumlahnya yang banyak, melainkan juga karena memiliki kawasan pesisir dan laut yang mengandung sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya (Clark, 1996). Kekayaan sumberdaya alam tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkannya dan berbagai instansi untuk meregulasi pemanfaatannya (Ginting, 1998). Sumberdaya alam di kawasan pesisir pulau-pulau kecil terdiri dari sumberdaya alam yang dapat pulih (renewable resources), sumberdaya alam yang tidak dapat pulih (non-renewable resouces) dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) (Dahuri, 2000). Kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya alam serta jasa-jasa lingkungan tersebut merupakan salah satu sumber pertumbuhan baru yang dapat menunjang pembangunan ekonomi dan sosial secara berkelanjutan di pulau-pulau kecil bila pengelolaannya dilakukan secara bijaksana dan optimal dengan memperhatikan kapasitas daya dukung lingkungan (carrying capacity).

(17)

Salah satu gugusan pulau-pulau kecil di Indonesia adalah Padaido. Padaido merupakan salah satu distrik (kecamatan) kepulauan di Kabupaten Biak Numfor, Propinsi Papua. Distrik ini terdiri atas pulau-pulau kecil sebanyak kurang lebih 29 pulau dan 5 (lima) gosong karang yang dikelilingi oleh laut dalam serta berpenduduk sebanyak 3975 jiwa (BPS Biak Numfor, 2003). Secara tradisional, pulau-pulau kecil tersebut dikelompokkan atas dua gugusan pulau, yaitu gugus pulau-pulau Padaido Bawah (GPP Padaido Bawah) dan gugus pulau-pulau Padaido Atas (GPP Padaido Atas). Secara fisik, GPP Padaido Bawah merupakan pulau-pulau atol, sedangkan GPP Padaido Atas merupakan gugus pulau-pulau karang yang tidak berikat. Pulau yang dihuni secara permanen oleh masyarakat sebanyak 8 (delapan) pulau, sedangkan pulau-pulau lain dimanfaatkan sebagai tempat usaha penduduk dalam bidang perikanan tangkap, perkebunan kelapa dan jasa pariwisata serta sebagai tempat singgah bila cuaca buruk.

Gugusan pulau-pulau Padaido (GPP Padaido) memiliki kawasan pesisir dan laut yang mengandung sumberdaya alam yang kaya dan beranekaragam. Sumberdaya pesisir dan laut terdiri dari terumbu karang, berbagai jenis ikan (ikan ekonomis penting dan ikan hias), mamalia laut (lumba-lumba), moluska (tiram mutiara, kima raksasa, kerang anadara), krustasea (udang karang, kepiting, dan lain- lain), ekinodermata (teripang, bulu babi), tumbuhan laut (rumput laut jenis Eucheuma spp, dan lain- lain) (Hutomo, et al., (1996), Yayasan Hualopu (1997), Razak dan Marlina (1999), Wouthuyzen (1995), Yayasan Terangi dan LIPI-Biak (2000), COREMAP Reports (2001) dan COREMAP Reports (2003)).

(18)

udang karang (lobster). Selain keragaman dan kekayaan jenis karang dan asosiasi biota lain, terdapat beberapa jenis hewan yang merupakan spesies dilindungi seperti ikan Napoleon, kima raksasa (Tridacna), lola (Trochus), Nautilus dan ketam kenari. Karena letak geografisnya yang berhadapan dan berhubungan langsung dengan Samudera Pasifik, kawasan ini memiliki jenis karang yang berciri khas Samudera Pasifik Timur. Keunikan ini tidak dijumpai di kawasan lain di Indonesia sehingga perlu dijaga kelestariannya. (Suharsono dan Leatemia, 1995; Sapulette dan Peristiwady, 1994; Wouthuyzen et al., 1995; Novaczek, 1997; COREMAP Reports, 2001; COREMAP Reports, 2003).

Kekayaan dan keanekaragaman sumberdaya pesisir dan laut yang unik tersebut menimbulkan daya tarik dari berbagai pihak untuk memanfaatkannya dan berbagai lembaga pemerintah baik pusat maupun daerah untuk meregulasi pemanfaatannya. Secara tradisional, kawasan ini merupakan wilayah hak ulayat masyarakat Padaido yang pengelolaannya dilakukan secara adat sebelum Indonesia merdeka. Pemerintah pusat melalui Departemen Kehutanan menetapkan kawasan GPP Padaido sebagai Taman Wisata Alam Laut pada 19 Pebruari 1997 dengan luas 183.000 ha. Pemerintah daerah menetapkan kawasan Padaido sebagai kawasan pengembangan Pariwisata dan Perikanan. Kawasan juga merupakan lokasi Coral Rehabilitation and Managemen Project (COREMAP) sejak 1998 dan proyek konservasi dari Yayasan Keanekaragaman Hayati Indonesia (KEHATI) sejak 1997 yang bekerjasama dengan LSM luar negeri. Selain itu, kawasan ini juga merupakan daerah penangkapan ikan (mencari) nelayan dari pesisir timur Pulau Biak.

Semua kebijakan pengelolaan tersebut pada dasarnya diarahkan untuk pencapaian dua tujuan pokok pembangunan wilayah pesisir di Indonesia. Pertama, pendayagunaan potensi sumberdaya pesisir dan laut untuk meningkatkan kontribusi terhadap pembangunan ekonomi dan kesejahteraan pelaku pembangunan pesisir dan lautan khususnya masyarakat pulau-pulau kecil. Kedua, untuk tetap menjaga kelestarian lingkungan dan sumberdaya hayati pesisir dan laut.

(19)

fenomena pemanfaatan yang bersifat sektoral, eksploitatif dan melampaui daya dukung lingkungannya. Beberapa fenomena penting yang memerlukan tindakan segera untuk mengatasinya antara lain: deforestasi hutan bakau; rusaknya terumbu karang; merosotnya kualitas obyek wisata laut; tangkap ikan lebih (overfishing); terancamnya berbagai spesies biota laut yang dilindungi, meluasnya abrasi pantai, intrusi air laut, kemiskinan penduduk serta mulai pudarnya kearifan tradisional masyarakat.

Pengelolaan wilayah pesisir yang tidak efektif tersebut didorong oleh berbagai faktor. Ketidakmampuan kapasitas kelembagaan dalam mengatasi isu dasar pengelolaan sumberdaya pesisir. Berbagai kepentingan sektor, dunia usaha dan masyarakat setempat semakin kuat mendominasi isu-isu pengelolaan. Masing- masing pihak yang berkepentingan memegang dasar hukum dan kebijakan dari instansi yang berwenang. Setiap kebijakan yang dikeluarkan memuat tujuan dan sasaran yang sering berbeda sehingga muncul gap atau tumpang tindih. Untuk mencapai tujuannya, setiap instansi menyusun perencanaan sendiri, sesuai dengan tugas dan fungsi sektornya, tetapi kurang mengakomodasi kepentingan sektor lain, daerah, masyarakat setempat, dan lingkungannya. Perbedaan tujuan, sasaran, dan rencana memicu kompetisi (rivalitas) diantara pengguna dan tumpang tindih perencanaan. Tumpang tindih perencanaan dan kompetisi ini memicu konflik pemanfaatan dan kewenangan (Ginting, 1998).

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini dilakukan untuk mengkaji aspek-aspek pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di GPP Padaido dan memberikan alternatif kebijakan pengelolaan yang sesuai sehingga pengelolaan sumberdaya dapat berlangsung secara optimal, berkelanjutan dan berbasis masyarakat.

Perumusan Masalah

(20)

masyarakat dan stakeholders lain. Penetapan kawasan GPP Padaido sebagai kawasan Taman Wisata Alam Laut (TWAL), kawasan pengembangan perikanan dan pariwisata, lokasi proyek pengelolaan dan rehabilitasi terumbu karang (COREMAP), wilayah kerja dari beberapa LSM konservasi, serta proyek pengembangan kabupaten oleh pemerintah ternyata tidak menunjukkan keserasian tetapi menimbulkan berbagai benturan kepentingan antara kegiata n pariwisata alam, konservasi sumberdaya terumbu karang, upaya-upaya pemberdayaan masyarakat, kegiatan perikanan serta kegiatan-kegiatan pengelolaan sumberdaya alam berbasis masyarakat adat. Hal ini ditunjukkan oleh ketidakberhasilan pengelola TWAL Padaido, pemerintah setempat dan masyarakat lokal dalam menangani berbagai permasalahan pengelolaan kawasan baik dalam penetapan zonasi maupun pemanfaatannya untuk berbagai kegiatan.

Selain itu, kegiatan proyek COREMAP dan konservasi yang digalang oleh pemerintah dan LSM tidak berhasil menangani permasalahan kerusakan terumbu karang dan peningkatan kapasitas masyarakat. Berdasarkan survei line transect yang dilakukan oleh P3O LIPI, penutupan karang hidup hanya tinggal sekitar 16,48% sedangkan sisanya adalah karang mati (COREMAP Reports, 2003). Nilai ini mengalami penurunan sekitar 62,95% dari kondisi karang hidup pada tahun 2001, yaitu 26,21% (COREMAP Reports, 2001). Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa terumbu karang di perairan GPP Padaido Bawah memiliki penutupan karang hidup yang lebih rendah (12,11%) dibandingkan dengan terumbu karang di perairan GPP Padaido Atas (24,13%). Penurunan kualitas karang hidup tersebut secara langsung ataupun tidak langsung dapat mempengaruhi kuantitas dan kualitas ikan dan biota lain yang hidup berasosiasi dengan terumbu karang.

(21)

sudah sulit dijumpai di sekitar perairan pantai. Banyaknya kerang yang diambil oleh masyarakat dapat dilihat pada tumpukan-tumpukan kulit kerang (kima dan bia) di sepanjang pantai dan jalan kampung. Pengambilan secara berlebihan tersebut dapat menimbulkan kerusakan lingkungan dan sumberdaya dan bila tidak diantisipasi lebih lanjut dapat berdampak pada kelestarian sumberdaya.

Secara adat, kawasan pesisir dan laut GPP Padaido merupakan hak ulayat masyarakat adat Padaido yang telah dikelola secara turun-temurun. Masyarakat menganggap bahwa pulau, kawasan pesisir dan laut beserta sumberdaya alam yang dikandungnya merupakan milik mereka yang telah diwariskan secara turun temurun. Di lain pihak, pemerintah beranggapan bahwa sumberdaya alam adalah milik negara yang kewenangan pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah melalui instansi pemerintah. Perbedaan persepsi tentang kewenangan pengelolaan tersebut dapat menimbulkan konflik pemanfaatan dan dalam banyak kasus ditemukan program pemerintah tidak berhasil dilaksanakan karena tidak didukung oleh masyarakat lokal.

Masyarakat GPP Padaido sebagian besar bermatapencaharian sebagai nelayan dengan kegiatan utama menangkap ikan dan mengumpulkan biota laut lain. Mereka merupakan nelayan tradisional yang masih menggunakan peralatan sederhana untuk menangkap ikan di sekitar daerah terumbu karang yang merupakan daerah penangkapannya. Keberlanjutan usaha mereka sebagai nelayan sangat ditentukan oleh musim dan ketersediaan ikan serta biota lain di laut. Pada musim tidak melaut (karena gelombang besar dan cuaca buruk) mereka kekurangan bahan makanan karena tidak ada pendapatan tambahan yang dapat digunakan untuk membeli bahan makanan. Kondisi ini menyebabkan kualitas hidup (kesejahteraan dan kesehatan) masyarakat menurun. Oleh karena itu, kondisi ekonomi masyarakat perlu diperhatikan dan diberdayakan dalam kaitan dengan pengelolaan sumberdaya terumbu karang melalui pencaharian usaha alternatif.

(22)

karang. Berdasarkan hasil survei tim MCS-COREMAP tahun 2003, penyebab utama kerusakan terumbu karang adalah penggunaan jaring di sekitar terumbu karang, penggunaan bom dan sianida, pengambilan karang serta terkena jangkar dan “bello” perahu. Aktivitas-aktivitas tersebut terjadi karena masih rendahnya tingkat pengetahuan, teknologi dan kesejahteraan masyarakat, serta meningkatnya kebutuhan masyarakat pada sumberdaya ikan.

Wilayah GPP Padaido terdiri atas kura ng lebih 29 pulau yang secara tradisional dikelompokkan atas GPP Padaido Atas dan GPP Padaido Bawah. Pulau-pulau tersebut tersebar dalam wilayah seluas 183.000 ha yang dikelilingi oleh laut dalam. Perairan laut sangat dinamis dengan cuaca yang tidak dapa t diprediksi dengan pasti. Pada musim tertentu, perairan bergelombang besar dan berarus deras sehingga tidak dapat dilalui oleh perahu-perahu nelayan yang berukuran kecil. Hal ini menyebabkan penduduk pulau-pulau terisolasi dan tidak dapat berhubungan dengan pulau lain dan pulau Biak sebagai pusat pelayanan (pemerintahan dan perekonomian). Dalam kaitan dengan pengelolaan kawasan, penyediaan sarana dan prasarana (infrastruktur) transportasi laut menjadi penting diperhatikan.

Kawasan Padaido, Biak dan pulau-pulau lain di sekitarnya merupakan kawasan rawan bencana alam gempa dan tsunami karena terletak dekat patahan aktif (sesar) di Samudera Pasifik. Gempa bumi dalam berbagai skala sering terjadi. Gempa dan tsunami pernah terjadi pada tahun 1996 dan menimbulk an korban jiwa dan kerugian material yang tidak kecil. Dalam kaitan dengan pengelolaan pulau-pulau kecil, terutama upaya minimalisasi dampak bahaya gempa dan tsunami, mitigasi bencana alam gempa dan tsunami merupakan salah satu permasalahan bagi masyarakat di GPP Padaido yang perlu diperhatikan.

Berdasarkan fakta-fakta tersebut diatas maka permasalahan utama pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di GPP Padaido adalah :

1) Kesesuaian pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut 2) Kapasitas daya dukung sumberdaya pesisir dan laut

(23)

4) Partisipasi masyarakat yang tidak dipertimbangkan dalam proses pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut

5) Zonasi pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut yang ada perlu ditinjau kembali karena sudah tidak sesuai dengan kondisi biogeofisik, sosial ekonomi dan budaya masyarakat.

6) Kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut yang tidak

mempertimbangkan kondisi biogeofisik dan sos ial ekonomi serta kearifan budaya masyarakat lokal.

Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka penelitian ini bertujuan untuk: (1) Menata kesesuaian pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut

(2) Mengkaji daya dukung sumberdaya pesisir dan laut (3) Menilai kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat (4) Mengkaji partisipasi masyarakat dalam pengelolaan

(5) Meredisain zonasi pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut, dan (6) Mengembangkan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut.

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pemerintah dan masyarakat sebagai bahan dasar dalam penyusunan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut gugusan pulau-pulau kecil yang berkelanjutan, dan bagi program studi sebagai bahan dan informasi untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam penanganan permasalahan pengelolaan dan pembangunan sumberdaya pesisir dan laut di pulau-pulau kecil.

Hipotesis Penelitian

Berdasarkan permasalahan dan tujuan di atas dirumuskan hipotesis penelitian ini sebagai berikut: Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut di GPP Padaido masih lemah. Hal ini disebabkan oleh

(24)

Kerangka Pemikiran

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut Gugusan Pulau-Pulau Padaido, maka dibangun kerangka pemikiran pemecahan masalah sebagai berikut.

(1) Keterkaitan zonasi dengan pengelolaan sumberda ya pesisir dan laut

Sumberdaya pesisir dan laut GPP Padaido tersebar pada pulau-pulau kecil sebanyak 29 pulau dalam wilayah seluas 183.000 ha. Sumberdaya tersebut memiliki fungsi ekologi, ekonomi dan sosial budaya. Fungsi- fungsi tersebut akan berlangsung dengan baik dan berkelanjutan bila dilakukan pengelolaan yang baik pula. Salah satu teknik pengelolaan sumberdaya alam berbasis spasial yang membagi suatu wilayah yang luas kedalam subwilayah-subwilayah sehingga mudah dikelola pemanfaatannya adalah zonasi.

(25)

Zonasi ditetapkan dengan maksud untuk mempermudah pengendalian, pemanfaatan dan pemeliharaan keberlanjutan sumberdaya pesisir dan laut dalam jangka panjang serta mengeliminir berbagai faktor tekanan terhadap ekosistem pesisir akibat kegiatan yang tidak sesuai (incompatible) (DKP, 2002a

).

Bengen (2002) menyatakan bahwa zonasi bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi ekologi dan ekonomi ekosistem suatu kawasan sehingga dapat dilakukan pengelolaan dan pemanfaatan kawasan secara berkelanjutan.

Untuk kawasan pulau-pulau kecil, zonasi umumnya dibagi menjadi tiga (Bengen, 2002). Pertama, zona inti atau perlindungan. Habitat di zona ini memiliki nilai konservasi yang tinggi, sangat rentan terhadap gangguan atau perubahan, dan hanya mentolerir sangat sedikit aktivitas manusia. Zona ini dikelola dengan tingkat perlindunga n yang tinggi, serta tidak diijinkan adanya aktivitas eksploitasi. Kedua, zona penyangga (pemanfaatan terbatas). Zona ini bersifat lebih terbuka tetapi tetap dikontrol dan beberapa bentuk pemanfaatan masih diijinkan. Ketiga, zona pemanfaatan. Habitat di zona ini masih memiliki nilai konservasi tertentu tetapi mentolerir berbagai tipe pemanfaatan oleh manusia dan layak bagi beragam kegiatan eksploitasi yang diijinkan dalam suatu kawasan lindung.

Untuk mengkaji kesesuaian suatu lokasi untuk peruntukannya (zona) secara objektif dibutuhkan penerapan kriteria. Kriteria yang digunakan dikelompokkan atas kelompok kriteria ekologi, sosial dan ekonomi (Salm, et al., 2000) dan kelembagaan. Kelompok kriteria ekologi terdiri dari keanekaragaman hayati (ekosistem dan jenis), kealamian, keunikan, kerentanan dan keterkaitan. Kelompok kriteria ekonomi terdiri dari spesies penting, kepentingan perikanan, bentuk ancaman, dan pariwisata. Kelompok kriteria sosial yaitu penerimaan sosial, rekreasi, budaya, estetika, konflik kepentingan, keamanan, aksesibilitas, kepedulian masyarakat, dan penelitian dan pendidikan. Kelompok kelembagaan terdiri dari keberadaan lembaga sosial, dukungan infrastruktur sosial, dan dukungan pemerintah.

(26)

Sumberdaya alam pesisir dan laut menempati suatu lahan kawasan yang dapat dibedakan atas tiga tipe. Pertama adalah lahan daratan (pulau). Lahan ini dimanfaatkan sebagai tempat pemukiman penduduk, kebun dan ladang, lokasi beberapa prasarana dan sarana sosial, semak-belukar, pepohonan kelapa dan hutan (primer dan sekunder). Kedua adalah lahan dataran pantai pasang surut, yaitu lahan pesisir yang mengalami proses pasang-surut (pasut) air laut. Lahan ini meliputi rataan terumbu atol wundi, rataan terumbu pulau-pulau, laguna dan lagoon wundi yang tersusun dari berbagai jenis substrat dasar, seperti; pasir, lumpur, patahan karang dan campuran substrat-substrat tersebut. Di atas lahan ini tumbuh dan berkembang berbagai jenis komunitas, yaitu; karang, lamun, dan mangrove dengan berbagai jenis fauna dan flora pantai dan laut yang berasosiasi. Karang menempati bagian tepi (margin) lahan yang berbatasan dengan laut dalam, sedangkan mangrove menempati tepi pantai yang berbatasan dengan daratan pulau. Lamun terletak diantara keduanya. Ketiga adalah lahan perairan laut. Kawasan ini mengandung sumberdaya ikan pelagis (kecil dan besar) dan demersal.

Dalam kaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, pemanfaatan sumberdaya alam untuk berbaga i peruntukkan harus disesuaikan dengan karakteristik sumberdaya alam yang terkandung di lahan kawasan tersebut agar pemanfaatan sumberdaya tersebut secara spasial berlangsung secara optimal dan berkelanjutan. Kesesuaian (keharmonisan) spasial merupakan salah satu persyaratan ekologis dalam pemanfaatan sumberdaya pulau-pulau kecil secara optimal dan lestari. Kesesuaian spasial berhubungan dengan bagaimana menata suatu kawasan pulau-pulau kecil bagi pemanfaatan sumberdaya berdasarkan kesesuaian (suitability) lahan dan keharmonisan antar pemanfaatan (Bengen, 2002). Kesesuaian pemanfaatan lahan pesisir dan laut untuk berbagai pemanfaatan didasarkan pada kriteria kesesuaian untuk setiap aktivitas pemanfaatan.

(3) Keterkaitan daya dukung kawasan dengan pengelolaan sumberdaya

(27)

maksimum yang dapat dimanfaatkan dan dikelola untuk mendukung kegiatan-kegiatan pembangunan di pulau.

Bagi pulau-pulau kecil, kapasitas maksimum (daya dukung) dari sumberdaya alam yang dimiliki perlu diketahui sehingga didalam pemanfaatannya tidak melebihi kapasitas dukungnya. Kerusakan sumberdaya alam terjadi karena tingkat pemanfaatannya telah melebihi daya dukung dan kemampuan sumberdaya alam memperbaharui dirinya. Oleh karenanya diperlukan pengetahuan tentang daya dukung dari masing- masing sumberdaya yang mendukung suatu ekosistem gugusan pulau-pulau kecil.

Daya dukung adalah tingkat pemanfaatan sumberdaya alam atau ekosistem secara berkesinambungan tanpa menimbulkan kerusakan sumberdaya dan lingkungan. Daya dukung dibedakan atas daya dukung ekologis, daya dukung fisik, daya dukung sosial, dan daya dukung ekonomi (Bengen, 2002). Penulis lain mengartikan daya dukung wilayah sebagai kemampuan wilayah mendukung berbagai pemanfaatan sumberdaya (Clark, 1995; Sullivan, et al., 1995 yang diacu dalam Dahuri, 2001). Daya dukung suatu wilayah tidak bersifat statis tetapi bervariasi sesuai dengan kondisi biogeofisik (ekologis) wilayah dimaksud dan juga kebutuhan (demand) manusia akan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (goods and services) dari wilayah tersebut. Daya dukung suatu wilayah dapat menurun akibat kegiatan manusia maupun gaya- gaya alamiah (natural forces), seperti bencana alam. Atau dapat dipertahankan dan bahkan ditingkatkan melalui pengelolaan wilayah secara tepat, masukan teknologi dan impor (perdagangan). Ketika sumberdaya alam dan jasa lingkungan suatu wilayah dimanfaatkan melebihi daya dukungnya, maka keuntungan pembangunan dari wilayah tersebut secara keseluruhan mulai menurun, yang selanjutnya akan mengakibatkan menurunnya perekonomian wilayah, serta penurunan kesempatan kerja, pendapatan dan devisa.

(28)

menyusun kemampuan wilayah pesisir dalam memproduksi/menyediakan sumberdaya alam dan jasa lingkungan, dan (2) kondisi sosekbud yang menentukan kebutuhan manusia yang tinggal di wilayah pesisir tersebut atau yang tinggal di luar wilayah pesisir, tetapi berpengaruh terhadap wilayah pesisir, akan sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang terdapat di wilayah pesisir.

Dalam kaitannya dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, pengetahuan tentang daya dukung kawasan pesisir dan laut sangat penting. Dengan mengetahui daya dukung, aspek-aspek pengelolaaan; seperti perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi pemanfaatan sumberdaya, dapat disusun dan diimplementasikan sehingga pemanfaatan sumberdaya berlangsung secara optimal dan berkelanjutan.

(4) Keterkaitan kondisi sosial ekonomi dan budaya dengan pengelolaan sumberdaya alam

Kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakat GPP Padaido sangat penting diketahui karena berhubungan dengan pengelolaan sumberdaya alam. Masyarakat yang mendiami pulau-pulau kecil umumnya memiliki kualitas yang rendah dalam hal pendidikan, penguasaan teknologi serta ekonomi (tingkat pendapatan yang rendah). Hal ini disebabkan oleh terbatasnya sarana dan prasarana sosial, seperti pendidikan dan perekonomian, jauh dari pusat pemasaran dan pelayanan serta akses ke pulau-pulau kecil yang sangat rendah. Kondisi ini sangat berpengaruh terhadap pengelolaan sumberdaya alam. Selain itu, karena keterisolasiannya, masyarakat pulau-pulau kecil secara budaya memiliki kearifan tradisional dalam pemanfaatan sumberdaya alam. Kearifan tersebut biasanya diturunkan dari generasi ke generasi sehingga tidak hilang. Hal ini dapat ditemukan pada beberapa daerah di wilayah Indonesia.

(29)

(5) Keterkaitan partisipasi masyarakat dengan pengelolaan sumberdaya alam

Partisipasi diartikan sebagai upaya peran serta masyarakat dalam suatu kegiatan. Dalam kaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut maka partisipasi merupakan upaya peran serta masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, partisipasi masyarakat sangatlah mutlak demi berhasilnya upaya pengelolaan. Tanpa partisipasi masyarakat maka setiap kegiatan pengelolaan akan kurang berhasil (Slamet, 1985). Pengelolaan yang melibatkan partisipasi masyarakat merupakan salah satu pendekatan pengelolaan sumberdaya alam yang meletakkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat lokal sebagai dasar pengelolaannya. Selain mereka memiliki akar budaya yang kuat, biasanya tergabung dalam kepercayaannya. Nilai-nilai dalam masyarakat biasanya ditransfer secara kuat dari generasi ke generasi yang tercakup dalam sistem tradisional (Nikijuluw, 1994).

Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya daya alam dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu tingkat pendidikan, umur, dan kesesuaian kegiatan dengan kebutuhan (Madrie, 1986). Partisipasi juga ditentukan oleh tingkat pengetahuan. Seseorang yang memiliki pengetahuan dan kesadaran yang tinggi terhadap kepentingan kelompok, cenderung semakin tinggi partisipasinya (Long, 1973). Soeryani, et al., (1987) menjelaskan bahwa tingkat pendidikan dan kemiskinan merupakan faktor yang dapat mempengaruhi partisipasi masyarakat dalam mengelola lingkungan hidup. Tingkat pendidikan masyarakat akan mempengaruhi tingkat pengetahuan mereka mengenai lingkungan hidup.

(6) Keterkaitan kebijakan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut

(30)

keputusan-keputusan yang berkenan dengan pilihan atas arah tindakan alternatif (Colebath, 1993 diacu oleh Kay dan Alder, 1999).

Dalam kaitan dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut pulau-pulau kecil, kebijakan yang ditetapkan haruslah berbasis kondisi dan karakteristik bio -geo-fisik serta sosial ekonomi dan budaya masyarakatnya. Hal ini mengingat peran dan fungsi kawasan tersebut sangat penting baik bagi kehidupan ekosistem sekitar maupun kondisi sosial ekonomi dan budaya masyarakatnya. Jika kawasan pesisir dan laut pulau-pulau kecil dapat dikembangkan dan dimanfaatkan secara optimal dan berkelanjutan, bukan saja akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, tetapi juga mempertahankan kelestarian sumberdaya alam dan budaya masyarakat yang ada di pulau-pulau kecil.

Hubungan keterkaitan antara komponen-komponen sebagaimana disebut di atas dengan pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut GPP Padaido disajikan pada Gambar 1.

(31)
(32)

Pulau adalah massa daratan yang seluruhnya dikelilingi air. Ukuran luas pulau sangat bervariasi, mulai dari pulau-pulau karang hingga yang luasnya mencapai jutaan kilometer persegi. Walaupun tidak dibatasi secara pasti, para ahli kebumian telah sepakat bahwa yang disebut pulau adalah daratan yang lebih kecil dari benua terkecil yaitu benua Australia yang membentang seluas 7.682.300. km persegi (Husni, 1998).

Pulau-Pulau kecil atau gugus pulau-pulau kecil didefinisikan sebagai sekumpulan pulau-pulau yang secara geografis yang saling berdekatan, dimana ada keterkaitan erat dan memiliki ketergantungan atau interaksi antar ekosistem, kondisi ekonomi, sosial dan budaya, baik secara individual maupun secara berkelompok (DKP, 2002). Beberapa pulau kecil yang mengelompok bersama disebut dengan kepulauan, misaln ya Kepulauan Seribu, Kepulauan Riau, Kepulauan Maluku, Kepulauan Galapagos, dan Kepulauan Aegean.

Secara fisik, gugus pulau memiliki ciri-ciri antara lain:

1) Secara geografis merupakan sekumpulan pulau yang saling berdekatan, dengan batas fisik yang jelas antar pulau.

2) Dalam satu gugus pulau, pulau kecil dapat terpisah jauh sehingga bersifat insuler.

3) Lebih banyak dipengaruhi oleh faktor hidro-klimat laut.

4) Pengertian satu gugus pulau tidak terbatas pada luas pulau, jumlah dan kepadatan penduduk.

5) Biasanya pada pulau kecil dalam gugus pulau terdapat sejumlah biota endemik dengan keanekaragaman biota yang tipikal dan bernilai ekonomis tinggi.

(33)

7) Gugus pulau dapat terdiri dari sekumpulan pulau, atol atau gosong (gosong adalah dataran terumbu karang yang hanya muncul di permukaan air pada saat air surut) dan daratan wilayah terdekat (dapat terdiri dari propinsi/ kabupaten/kecamatan).

8) Kondisi pulau-pulau kecil sangat rentan terhadap perubahan yang bersifat alamiah (bencana angin, badai, gelombang tsunami, letusan gunung berapi) atau karena pengaruh manusia (fenomena kenaikan permukaan air laut, pencemaran/polusi, sedimentasi, erosi dan penambangan).

Secara ekologis, gugus pulau memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) Habitat/ekosistem gugus pulau cenderung memiliki spesies endemik.

2) Semakin besar jumlah pulau yang terdapat dalam satu gugus pulau maka akan lebih besar kecenderungan jumlah biota endemik.

3) Memiliki jenis ekosistem yang sama pada setiap pulau. 4) Melimpahnya biodiversitas/keanekaragaman jenis biota laut.

Secara sosial ekonomi budaya, ciri-ciri gugus pulau sebagai berikut:

1) Penduduk asli mempunyai adat budaya dan kebiasaan yang hampir sama, dan kondisi sosial ekonomi yang khas.

2) Ketergantungan ekonomi lokal pada perkembangan ekonomi luar pulau besar/induk atau kontinen.

3) Aksesibilitas (ketersediaan sarana/prasarana) rendah dengan transportasi ke arah pulau induk maksimal 1 kali sehari, disamping faktor jarak dan waktu yang terbatas (DKP, 2002).

(34)

masuk ke laut. Dari segi sosial, ekonomi dan budaya masyarakat pulau-pulau kecil bersifat khas dibandingkan dengan pulau induknya (DKP, 2001).

Pulau-pulau kecil dapat dibagi dua, yaitu Pulau Oseanik dan Pulau Kontinental. Selanjutnya pulau-pulau oseanik dibagi menjadi dua jenis, yaitu pulau vulkanik dan pulau karang. Pulau kontinental umumnya terdapat didekat daratan benua -benua besar yang perairannya dangkal (Salm, et al., 2000).

Klasifikasi Pulau-Pulau Kecil Di Indonesia

Hehanusa (1994) dan Falkland (1995) yang diacu dalam Tresnadi (1998) membuat klasifikasi pulau-pulau kecil di Indonesia berdasarkan morfologi dan genesa pulau serta penyebaran dan potensi air tanah sebagai berikut:

Pulau Berbukit

Pulau ini terdiri atas pulau yang memperlihatkan morfologi dengan lereng pada umumnya lebih besar dari pada 100 dan elevasi lebih besar dari pada 100 meter di atas permukaan laut. Pulau ini terbagi ke dalam beberapa jenis, yaitu:

(1) Pulau Vulkanik

Pulau ini terbentuk oleh bahan piroklasik, lava, maupun ignimbrit hasil kegiatan gunung api, misalnya Pulau Krakatau, P. Banda, P. Gunung Api, dan P. Adonara. Potensi air tanah dapat ditemukan pada breksi dengan matriks kasar, pada aliran lava atau pada daerah rekahan. Penyebaran air tanah ini bisa luas dengan potensi yang relatif sedang hingga besar.

(2) Pulau Tektonik

Pulau yang pembentukannya berkaitan dengan proses tektonik, terutama pada zona tumbukan antar lempeng, misalnya Pulau Nias, Siberut dan Enggano. Penyebaran air tanah di pulau ini bersifat setempat-setempat, yaitu pada daerah rekahan, atau pada endapan klastik dan bersifat musiman.

(3) Pulau Teras Terangkat

(35)

Timur, misalnya Pulau Ambon. Potensi air tanah cukup besar karena hampir sebagian besar air hujan meresap kedalam tanah. Penyebaran air berada dalam gamping, namun untuk mencari lokasi yang potensial cukup sulit karena adanya pengaruh tektonik dan solution channel yang mengontrol penyerapan air tanah. (4) Pulau Petabah (monadnock)

Pulau ini terbentuk di daerah yang stabil secara tektonik, antara lain dijumpai di paparan Sunda. Litologi pembentukan pulau ini sering terdiri atas batuan ubahan (metamorf), intrusi dan sedimen yang terlipat dan berumur tua, misalnya Pulau Batam, Bintan dan Belitung. Potensi air tanah relatif sedikit, karena pulau ini terbentuk dari batuan malihan, intrusi atau sedimen yang terlipat dan berumur tua. Air tanah terdapat pada batuan sedimen muda, lapisan lapuk atau rekahan dengan penyebaran terbatas dan bersifat musiman.

(5) Pulau Gabungan

Pulau yang terbentuk dari gabungan dua atau lebih jenis pulau di atas, misalnya gabungan antara Pulau Haruku, Nusa Laut, dan Saparua. Penyebaran dan potensi air tanah yang terdapat di pulau ini tergantung pada jenis-jenis pulau yang bergabung membentuk pulau gabungan. Secara kuantitatif setiap pulau yang bergabung memiliki sistemnya sendiri-sendiri.

Pulau Datar

Pulau yang secara topografi tidak memperlihatkan tonjolan morfologi yang berarti. Pulau jenis ini pada umumnya memiliki batuan yang secara geologis berumur muda, yang terdiri atas endapan klastik jenis flufiatil dengan dasar yang terdiri at as pelapisan endapan masif dangkal atau pecahan koral.

(1) Pulau Aluvium

(36)

pematang pantai. Potensinya bervariasi dari kecil hingga sedang. Pasang surut muka air laut cukup berpengaruh terhadap kualitas air tanah.

(2) Pulau Koral

Pulau yang terbentuk oleh sedimen klastik berumur kuarter. Di Indonesia banyak pulau-pulau yang memiliki ekosistem terumbu karang ini, misalnya pulau-pulau di Kepulaua n Seribu, Jakarta. Karakteristik penyebaran air tanah di pulau ini adalah :

- Air tanah berbentuk lensa yang mengapung di atas air payau atau air laut. - Bila kondisi geologi dan laut di sekitar pulau sama, bentuk lensa air tanah

simetri dan mengikuti bentuk pulau, dimana bagian paling tebal berada di tengah pulau.

- Bila kondisi geologi dan laut di sekitar pulau tidak sama, bentuk lensa akan menebal ke arah dimana koefisien permeabilitas dan konduktifitas hidraulik batuan atau tekanan arus lebih kecil.

(3) Pulau Atol

Pulau ini memiliki luas daratan lebih kecil dari pada 50 km2, misalnya pulau-pulau di kepulau-pulauan Takabonerate. Banyak yang lebarnya kurang dari pada 150 m dengan panjang antara 1000 hingga 2000 m. Kondisi air tanah di pulau-pulau ini pada umumnya berada 1/3 jarak ke ujung pulau, baik di salah satu ujung atau di kedua ujungnya dengan potensi sangat terbatas. Air tanah di pulau kecil bergerak keluar dan masuk garis pantai sebagai reaksi terhadap fluktuasi pasang-surut dan infiltrasi pasang surut dan infiltrasi langsung air hujan.

(37)

pengembunan uap air pada awan dalam hubungannya dengan ketinggian atau elevasi perbukitan atau pegunungan yang ada di pulau tersebut.

Pulau terumbu secara umum tidak subur dan miskin air tawar. Pulau yang terletak pada bagian Tenggara Indonesia umumnya kurang air (curah hujan di bawah 800 mm per tahun) dan oleh karena itu terletak pada iklim sabana. Beberapa ciri alami yang nampak untuk indikasi kekurangan air ini antara lain mencakup kegundulan bagian atas pulau seperti di pulau Papagaran dan pulau Komodo. Sebaliknya pulau-pulau pada wilayah beriklim tropika basah seperti Singapore dan Ambon banyak yang memperoleh cukup air dari hujan (lebih dari 1200 mm per tahun). Kondisi tanah dan kemiringan lereng sangat menentukan adanya cadangan air sepanjang tahun di pulau (Ongkosongo, 1998).

Falkland (1995) yang diacu dalam Ongkosongo (1998) mengemukakan bahwa masalah potensi air tawar di pulau tergantung pada curah hujan, evapotranspirasi potensial, lebar pulau, hidrogeologi, tanah dan tumbuhan, tunggang pasut, dan aneka dampak kegiatan manusia seperti pengambilan air dan pencemaran. Pendapatnya yang menarik adalah bahwa vegetasi seperti kelapa banyak mengisap cadangan air tawar meskipun vegetasi tersebut dapat hidup pada tepi pantai dan pada air payau.

Ekosistem, Sumberdaya Alam dan Jasa-Jasa Lingkungan Pulau-Pulau Kecil

Dalam suatu wilayah pesisir khususnya di wilayah pulau-pulau kecil terdapat satu atau lebih sistem ekologi (ekosistem) pesisir dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir tersebut dapat bersifat alamiah ataupun buatan (man-made). Ekosistem alamiah yang terdapat di pesisir pulau-pulau kecil antara lain adalah: terumbu karang (coral reefs), hutan mangroves, padang lamun (seagrass beds), pantai berpasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), formasi pes -caprea, formasi baringtonia, estuaria, laguna, dan delta. Ekosistem buatan antara lain berupa: kawasan pariwisata, kawasan budidaya (mariculture) dan kawasan pemukiman (Dahuri, 2000).

(38)

Perairan karang merupakan ekosistem yang subur yang banyak dihuni oleh beranekaragam sumberdaya hayati. Selain itu, ekosistem terumbu karang dengan keunikan dan keindahannya juga dimanfaatkan sebagai tempat pariwisata bahari, yaitu: wisata selam, layar maupun snorkling.

Ekosistem mangrove merupakan ekosistem utama pulau-pulau kecil yang sangat berperan sekali baik sebagai sumberdaya ikan di kawasan tersebut dan sekitarnya maupun bagi kelangsungan hidup ekosistem lainnya dan juga sangat bermanfaat bagi masyarakat sekitar. Ekosistem mangrove bagi sumberdaya ikan berfungsi sebagai tempat mencari makan bagi ikan, tempat memijah, tempat berkembang biak dan sebagai tempat memelihara anak. Ekosistem mangrove juga dapat berfungsi sebagai penahan abrasi yang disebabkan oleh ombak dan gelombang, selain itu ekosistem mangrove secara ekonomi dapat dimanfaatkan kayunya sebagai kayu bakar, alat tangkap ikan dan bahan membuat rumah.

Ekosistem rumput laut banyak dijumpai di pulau-pulau kecil, hal ini karena kebanyakan wilayah pesisir di kawasan ini mempunyai perairan yang subur dan dangkal serta mempunyai ombak yang kecil. Rumput laut merupakan sumberdaya alam yang mempunyai nilai komersil yang tinggi disamping sumberdaya perikanan. Sumberdaya ini banyak dibudidayakan oleh penduduk sekitar sebagai mata pencaharian mereka.

Ekosistem padang lamun seperti halnya dengan ekosistem lainnya yang ada di kawasan pulau-pulau kecil, memiliki fungsi ekologis yang cukup besar dan penting. Ekosistem padang lamun dihuni oleh berbagai jenis ikan dan udang, baik yang menetap, maupun yang bermigrasi ke padang lamun tersebut untuk mencari makan atau berlindung. Oleh karena itu, keberadaan padang lamun ini dapat menjadi salah satu indikator potensi sumberdaya ikan di kawasan tersebut.

(39)

non-exhaustive (tak pernah habis), seperti energi angin, gelombang, pasang surut dan OTEC (Ocean thermal Energy Conversion).

Potensi jasa-jasa lingkungan yang terdapat di kawasan pulau-pulau kecil, seperti pariwisata bahari dan perhubungan laut, merupakan potensi yang mempunyai nilai tinggi bagi peningkatan pendapatan masyarakat sekitar maupun pendapatan nasional. Dengan keanekaragam dan keindahan yang dimiliki, pulau-pulau kecil tersebut merupakan daya tarik tersendiri dalam pengembangan jasa pariwisata.

Selain segenap potensi pembangunan tersebut di atas, ekosistem pulau-pulau kecil juga memiliki peran dan fungsi yang sangat menentukan bukan saja bagi kesinambungan pembangunan ekonomi, tetapi juga bagi kelangsungan hidup umat manusia. Yang paling utama adalah fungsi dan peran ekosistem pesisir dan lautan di pulau-pulau kecil sebagai pengatur iklim global (termasuk dinamika La-Nina), siklus hidrologi dan biogeokimia, sumber plasma nutfah dan sistem penunjang kehidupan lainnya di daratan. Oleh karena itu, pemanfaatan sumberdaya di kawasan tersebut mestinya secara seimbang dibarengi dengan upaya konservasi, sehingga dapat berlangsung secara optimal dan berkelanjutan.

Dengan kondisi biogeofisik pulau-pulau kecil, maka keberadaan penduduk maupun ekosistem alam pada kepulauan kecil menghadapi berbagai tantangan, yaitu : (1) Kepulauan kecil secara ekologis amat rentan, terutama akibat pemanasan global, angin topan dan gelombang tsunami. Erosi pesisir disebabkan oleh kombinasi faktor- faktor tersebut yang secara potensial terbukti sangat progesif mengurangi garis kepulauan kecil. Akibatnya terjadi penurunan jumlah mahluk hidup, hewan- hewan maupun penduduk yang mendiami kepulauan tersebut. (2) Kepulauan kecil mempunyai sejumlah besar jenis endemik dan keanekaragaman

yang tipikal dan bernilai tinggi, yang apabila terjadi perusakan lingkungan di daerah tersebut akan sangat berpengaruh terhadap keberadaan keanekaragaman tersebut.

(40)

menyediakan sumber pendapatan bagi masyarakatnya tetapi membutuhkan ketrampilan yang mema dai dan lokasi tersebut mudah dicapai. Biaya prasarana yang cukup besar, menyebabkan penanaman modal kepariwisataan hanya memilih pulau-pulau tertentu saja.

(4) Pulau-pulau kecil mempunyai daerah tangkapan air yang terbatas, dan minimnya kesempatan agar air tawar tak terbuang percuma. Disamping itu kegiatan ekonomi yang membutuhkan jumlah konsumsi yang cukup besar. Dengan keadaan demikian maka kesempatan pada pengembangan kepariwisataan, industri maupun penyediaan listrik tenaga air serta pertanian menjadi sangat terbatas.

(5) Hingga kini belum terdapat klasifikasi terhadap biofisik, sosial ekonomi terhadap kepulauan kecil, yang dapat digunakan untuk pengelolaan atas alokasi sumberdaya alam agar lebih efektif.

(6) Pengelolaan pulau-pulau kecil belum terintegrasi dengan pengelolaan daerah pesisir. Hal lain yang sering menjadi masalah berupa keterbatasan pemerintah daerah dan kurangnya dana untuk menarik keberadaan pulau-pulau di sekitarnya. Lemahnya kelembagaan di daerah dalam hal mengkoordinasikan kegiatan pembangunan tanpa bantuan dari pihak luar juga merupakan kendala tersendiri.

(7) Ukuran yang kecil dan terisolasi (keterasingan) menyebabkan penyediaan prasarana dan sarana menjadi sangat mahal, dan sumberdaya manusia yang handal menjadi langka. Luas pulau yang kecil itu sendiri bukanlah suatu kelemahan, jika barang dan jasa yang diproduksi dan dikonsumsi oleh penghuni hanya terdapat di dalam pulau tersebut. Akan tetapi, begitu jumlah penduduk meningkat secara drastis, maka diperlukan barang dan jasa serta pasar yang berada jauh dari pulau tersebut.

(41)

(9) Ketersediaan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan, seperti air tawar, vegetasi, tanah, ekosistem pesisir dan satwa liar, pada akhirnya akan menentukan daya dukung suatu sistem pulau kecil dalam menopang kehidupan manusia penghuni dan segenap kegiatan pembangunannya.

(10) Produktivitas sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (seperti pengendalian erosi) yang terdapat di setiap unit ruang (lokasi) di dalam pulau dan yang terdapat di sekitar pulau saling terkait satu sama lain secara erat (Mc Elroy et al., 1990 yang diacu dalam Dahuri, 2000). Misalnya di Pulau Palawan, Philipina dan beberapa pulau di Karibia Timur, penebangan hutan di lahan darat secara tidak terkendali telah meningkatkan laju erosi tanah dan sedimentasi di perairan pesisir, kemudian merusak/mematikan ekosistem terumbu karang, yang akhirnya menghancurkan industri perikanan pantai dan pariwisata bahari. Oleh karena itu, keberhasilan usaha pertanian, perkebunan atau kehutanan di lahan darat suatu pulau, jika tidak dikelola menurut prinsip-prinsip ekologis, dapat merusak/mematikan industri perikanan pantai dan pariwisata bahari di sekitar pulau tersebut.

(11) Budaya lokal kepulauan kadangkala bertentangan dengan kegiatan pembangunan. Contohnya, pariwisata yang akhir-akhir ini dianggap sebagai dewa penolong (panacea) bagi pembangunan pulau-pulau kecil, tetapi di beberapa pulau kecil budaya yang dibawa oleh wisatawan (asing) dianggap tidak sesuai dengan kondisi dan agama setempat (Francilion, 1990 yang diacu dalam Dahuri, 1998; Sudariyono, 2000).

(42)

Model Pembangunan Gugus Pulau

Dalam pembangunan wilayah pulau-pulau kecil atau gugus pulau, secara garis besar terdapat tiga pilihan model pembangunan yang dapat diterapkan untuk ekosistem pulau kecil. Pertama, menjadikan pulau sebagai kawasan konservasi sehingga dampak negatif penting akibat kegiatan manusia tidak ada atau sangat kecil. Kedua, pembangunan pulau secara optimal dan berkelanjutan, seperti untuk pertanian dan perikanan yang semi- intensif. Ketiga, pola pembangunan dengan intensitas tinggi yang mengakibatkan perubahan radikal pada ekosistem pulau, seperti pertambangan skala besar, tempat uji coba nuklir, dan industri pariwisata skala besar. Diantara kedua pola ekstrim, yaitu pola pembangunan tipe pertama dan ketiga, terdapat pola pembangunan yang berkelanjutan, yang terdiri dari berbagai kegiatan pembangunan seperti pertanian terkendali, penangkapan ikan baik di perairan pantai maupun laut lepas, budidaya tambak dan budidaya laut, pariwisata, industri rumah tangga dan sektor jasa (Hein, 1990 yang diacu dalam Dahuri, 1998).

Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat

Pengelolaan pulau-pulau kecil dengan luas kurang atau sama dengan 2.000 km2 hanya dapat digunakan untuk kepentingan sebagai berikut :

• Konservasi

• Budidaya laut (mariculture)

• Kepariwisataan

• Usaha penangkapan dan industri perikanan secara lestari

• Pertanian organik dan peternakan skala rumah tangga

• Industri teknologi tinggi nonekstraktif

• Pendidikan dan penelitian

• Industri manufaktur dan pengolahan sepanjang tidak merusak ekosistem dan daya dukung lingkungan (DKP, 2001).

(43)

memperhatikan kemampuan sistem tata air setempat, menggunakan teknologi ramah lingkungan, serta tidak bertentangan dengan peraturan perundang – undangan yang berlaku.

Untuk pulau-pulau kecil dan wilayah perairannya yang dikuasai/dimiliki/di usahakan oleh masyarakat hukum adat, maka kegiatan pengelolaannya sepenuh nya berada di tangan masyarakat hukum adat itu sendiri, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Setiap kerja sama pengelolaan pulau-pulau kecil antara masyarakat hukum adat dengan pihak ketiga harus didasarkan pada kesepakatan yang saling menguntungkan dengan memperhatikan daya dukung lingkungan dan kelestarian sumberdaya.

Pentingnya Konservasi Pulau-Pulau Kecil

Ekosistem pulau-pulau kecil merupakan suatu himpunan integral komponen hayati dan nir-hayati, mutlak dibutuhkan oleh manusia untuk hidup dan untuk meningkatkan mutu kehidupan. Komponen hayati dan nirhayati secara fungsional berhubungan satu sama lain dan saling berinteraksi membentuk suatu sistem (ekosistem). Apabila terjadi perubahan pada salah satu dari kedua komponen tersebut, maka akan dapat mempengaruhi keseluruhan sistem yang ada baik dalam kesatuan struktur fungsional maupun dalam keseimbangannya. Kelangsungan suatu fungsi ekosistem sangat menentukan kelestarian dari sumberdaya hayati sebagai komponen yang terlibat dalam sistem tersebut. (Bengen, 2000a). Karena itu untuk menjamin kelestarian sumberdaya hayati, perlu diperhatikan hubungan-hubungan ekologis yang berlangsung diantara komponen-komponen sumberdaya alam yang menyusun suatu sistem.

(44)

dan sumberdaya pulau-pulau kecil yang bernilai ekologis dan ekonomis penting, diperlukan perencanaan dan pengelolaan yang berkelanjutan. Wujud nyata dari upaya perlindungan dimaksud dapat dilakukan dengan penetapan suatu kawasan konservasi pada pulau-pulau kecil.

Konservasi adalah kegiatan yang berupaya untuk menyisakan kantung-kantung alami dalam rangka penyelamatan sumberdaya alam laut dari gangguan yang dapat merusakkan dengan menerapkan tiga aspek konservasi, yaitu:

(1) Perlindungan terhadap proses ekologis yang menunjang sistem pendukung kehidupan,

(2) Pengawetan keankaragaman sumber plasma nutfah dan ekosistemnya, dan (3) Pelestarian pemanfaatan sumber plasma nutfah dan ekosistemnya.

Pengembangan kawasan konservasi di pulau-pulau kecil dapat dilakukan dengan penerapan kriteria. Salm et al., (2000) mengusulkan 3 (tiga) kriteria, yaitu kriteria ekologi, ekonomi dan sosial. Penjelasan ketiga kriteria tersebut adalah : (1) Kriteria Ekologi

Parameter yang perlu dinilai sesuai kriteria ekologi adalah : (a) Keanekaragaman hayati

Didasarkan pada keragaman atau kekayaan ekosistem, habitat, komunitas dan jenis biota. Lokasi yang sangat beragam harus memperoleh nilai yang tinggi.

(b) Kealamian

Didasarkan pada tingkat degradasi. Lokasi yang terdegradasi mempunyai nilai yang rendah, misalnya perikanan atau pariwisata, dan sedikit berkontribusi dalam proses-proses biologis.

(c) Ketergantungan

Didasarkan pada tingkat ketergantungan spesies pada lokasi, atau tingkat dimana ekosistem tergantung pada proses-proses ekologis yang berlangsung di lokasi.

(45)

Didasarkan pada tingkat dimana lokasi mewakili suatu tipe habitat, proses ekologis, komunitas biologi, ciri geologis atau karakteristik alam lainnya. (e) Keunikan

Didasarkan pada keberadaan suatu spesies endemik (langka) atau yang hampir punah.

(f) Keutuhan (integritas)

Didasarkan pada tingkat dimana lokasi merupakan suatu unit fungsional dari entitas ekologis.

(g) Produktivitas

Didasarkan pada tingkat dimana proses-proses produktif di lokasi memberi manfaat atau keuntungan bagi biota dan manusia.

(h) Kerentanan

Didasarkan pada kepekaan lokasi terhadap degradasi baik oleh pengaruh alam atau akibat aktivitas manusia.

(2) Kriteria Sosial

Parameter yang perlu dinilai dalam kriteria sosial adalah : (a) Penerimaan sosial

Didasarkan pada tingkat penerimaan masyarakat. (b) Kesehatan masyarakat

Didasarkan pada tingkat dimana penetapan kawasan konservasi dapat membantu mengurangi pencemaran atau penyakit yang berpengaruh terhadap kesehatan masyarakat.

(c) Rekreasi

Didasarkan pada tingkat dimana lokasi dapat digunakan untuk rekreasi bagi penduduk sekitarnya.

(d) Budaya

Didasarkan pada nilai sejarah, agama, seni atau nilai budaya lain dari lokasi.

(e) Estetika

(46)

(f) Konflik kepentingan

Didasarkan pada tingkat dimana kawasan konservasi dapat berpengaruh terhadap aktivitas masyarakat lokal.

(g) Keamanan

Didasarkan pada tingkat bahaya dari lokasi bagi manusia karena adanya arus kuat, ombak besar dan hambatan lainnya.

(h) Aksessibilitas

Didasarkan pada kemudahan mencapai lokasi baik dari darat maupun laut. (i) Kepedulian masyarakat

Didasarkan pada tingkat dimana monitoring, penelitian pendidikan atau pelatihan di dalam lokasi berkontribusi pada pengetahuan apresiasi nilai-nilai lingkungan dan tujuan konservasi.

(j) Konflik dan kompatibilitas

Didasarkan pada tingkat dimana lokasi dapat membantu menyelesaikan konflik antara kepentingan sumber daya alam dan aktivitas manusia, atau tingkat dimana kompatibilitas antara sumber daya alam dan manusia dapat dicapai.

(3) Kriteria Ekonomi

Manfaat ekonomi dapat dinilai dari parameter-parameter sebagai berikut : (a) Spesies penting

Didasarkan pada tingkat dimana spesies penting komersial tergantung pada lokasi.

(b) Kepentingan perikanan

Didasarkan pada jumlah nelayan yang tergantung pada lokasi dan ukuran hasil perikanan.

(c) Bentuk ancaman

Didasarkan pada luasnya perubahan pola pemanfaatan yang mengancam keseluruhan nilai lokasi bagi manusia.

(47)

Didasarkan pada tingkat dimana perlindungan lokasi akan berpengaruh terhadap ekonomi lokal dalam jangka panjang.

(e) Pariwisata

Didasarkan pada nilai keberadaan atau potensi lokasi untuk pengembangan pariwisata.

Kawasan konservasi laut yang sedang dikembangkan di Indonesia saat ini berupa Suaka Alam Laut (SAL) dan Kawasan Pelestarian Alam Laut (PAL). Kawasan SAL adalah kawasan laut dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok sebagai kawasan pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga berfungsi sebagai wilayah sistem pendukung (penyangga) kehidupan. Berdasarkan fungsinya, SAL terdiri dari Cagar Alam Laut (CAL) dan Suaka Margasatwa Laut (SML).

Kawasan PAL adalah kawasan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lesatari sumber daya alam hayati dan fungsi ekosistemnya. Berdasarkan fungsinya, PAL terdiri dari Taman Nasional Laut (TNL) dan Taman Wisata Alam Laut (TWAL).

Peran dan Fungsi Ekosistem dan Sumberdaya Pulau-Pulau Kecil

(48)

Penataan Ruang Pulau-Pulau Kecil

Ruang adalah wadah yang meliputi ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan mahluk lainnya hidup dan melaksanakan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya (Undang-Undang No. 24 Tahun 1992. Tata ruang adalah wujud struktural dan pola pemanfaatan ruang, baik direncanakan maupun tidak. Selanjutnya penataan ruang adalah proses perencanaan ruang, pemanfaatan ruang dan pengendalian ruang.

Perencanaan tata ruang pulau-pulau kecil agar berbasis masyarakat, dengan pertimbangan utama atas status kepemilikan pulau, adat- istiadat atau norma-norma yang berlaku di masyarakat, dan diselenggarakan secara terpadu dan terkoordinasi antar pemangku kepentingan, baik dari Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah dan masyarakat (DKP, 2002).

Perencanaan tata ruang untuk pulau-pulau kecil dengan ukuran kurang atau sama dengan 2.000 km2 dibatasi pemanfaatannya untuk kegiatan: konservasi, budidaya laut, kepariwisataan, usaha penangkapan ikan dan industri perikanan, pertanian organik, dan peternakan skala rumah tangga, industri teknologi non ekstraktif, penelitian dan pendidikan, industri manufaktur dan pengolahannya, dan perlu dilakukan secara lestari. Perencanaan tata ruang pulau-pulau kecil di atas 2.000 km2 dan lebih kecil atau sama dengan 10.000 km2 dapat direncanakan untuk kegiatan perkapalan, industri perikanan, pergudangan, pusat logistik, dan pariwisata (DKP, 2002).

(49)

Penataan ruang (zonasi) merupakan suatu proses pengaturan yang membagi suatu wilayah secara geografis kedalam subwilayah - subwilayah, dimana pada setiap subwilayah dirancang untuk suatu penggunaan khusus (Sain dan Knecht, 1998). Atau zonasi adalah suatu sistem pembentukan wilayah-wilayah daratan atau perairan untuk dialokasikan kepada penggunaan-penggunaan yang khusus (spesifik): pembagian suatu wilayah khusus kedalam beberapa kawasan-kawasan (zona-zona) dimana tiap zona direncanakan untuk suatu penggunaan atau kumpulan penggunaan-penggunaan khusus (Clark, 1996).

Proses Pentaan Ruang (Zonasi)

Proses penataan ruang wilayah pesisir dan laut dapat dibagi dalam 6 (enam) tahapan (Dahuri, 2000). Tahapan – tahapan tersebut adalah :

1). Pada suatu kawasan pesisir–laut, berdasarkan batas-batas secara adminitratif atau ekologis dan sesuai peruntukkannya, dibagi atas 3 (tiga) zona, yaitu zona preservasi (inti), zona konservasi (penyangga) dan zona pemanfaatan intensif. 2). Menentukan sektor unggulan (leading sectors) yang terdapat di zona konservasi

dan zona pemanfaatan inti. Ciri – ciri sektor unggulan adalah dapat menghasilkan devisa, menyerap tenaga kerja yang banyak, memiliki ‘forward and backward linkages’, ditentukan berdasarkan konsensus antar ‘stakeholders’.

3). Struktur wilayah (susunan penggunaan ruang fisik wilayah) pesis ir – laut untuk kegiatan pembangunan lainnya harus bersifat kondusif terhadap sektor

unggulan yang telah ditetapkan, khususnya dalam hal :

§ Penggunaan faktor- faktor produksi (tenaga kerja, kapital, teknologi, dll).

§ Eksternalitas negatif: bahan pencemar, sedimen, perubahan bentang alam, dll.

(50)

5). Penyusunan tata ruang harus menggunakan pendekatan partisipatif berbasis masyarakat. Penataan ruang harus melibatkan segenap stakeholders seperti instansi pemerintah, swasta, masyarakat, LSM, kalangan universitas, dll. Penataan ruang menggunakan musyawarah, ‘public hearing’ dan media

partisipatif lainnya. Disamping itu, hak adat atau kearifan tradisonal yang hidup dalam masyarakat pesisir dapat diadopsi dalam tata ruang.

6). Jarak antara zona preservasi dengan kegiatan pembangunan yang menghasilkan eksternalitas negatif (pencemaran, sedimen, dll) ditentukan berdasarkan pada daya sebar eksternalitas negatif tersebut dari sumbernya.

St = Vt x t

Dimana : St adalah jarak tempuh pencemar dari sumbernya Vt adalah kecepatan sebar pencemar

t adalah waktu tempuh, yang bergantung pada tipe pasang surut.

Kesesuaian dan Daya Dukung Lingkungan

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) suatu wilayah kepulauan memerlukan empat persyaratan. Pertama, Setiap kegiatan pembangunan (seperti tambak, pertanian, pariwisata) harus ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik sesuai. Persyaratan ini dapat dipenuhi dengan cara membuat peta kesesuaian lahan, termasuk perairan. Kedua, jika memanfaatkan sumber daya dapat pulih, seperti penangkapan ikan di laut, maka tingkat penangkapannya tidak boleh melebihi potensi lestari stok ikan tersebut. Demikian juga, jika menggunakan air tawar (biasanya merupakan faktor pembatas terpenting dalam suatu ekosistem pulau kecil), maka laju penggunaannya tidak boleh melebihi kemampuan pulau termaksud untuk menghasilkan air tawar dalam kurung waktu teretentu. Ketiga, jika membuang limbah ke lingkungan pulau, maka jumlah limbah (bukan limbah B3, tetapi jenis limbah yang

Zona

Preservasi

Gambar

Gambar 1.
Gambar 1  Kerangka Pemikiran Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Gugusan Pulau-Pulau Padaido
Gambar 2  Pemanfaatan Sumber Daya Alam Berkelanjutan (PKSPL-IPB, 1998).
Tabel 1  Beberapa penerapan SIG di wilayah pesisir
+7

Referensi

Dokumen terkait