• Tidak ada hasil yang ditemukan

RELASI PEMERINTAHAN MUKIM DENGAN GAMPONG DALAM PELAKSANAAN PEMERINTAHAN DAERAH (Studi Penelitian di Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat dan Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "RELASI PEMERINTAHAN MUKIM DENGAN GAMPONG DALAM PELAKSANAAN PEMERINTAHAN DAERAH (Studi Penelitian di Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat dan Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh)"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Aceh merupakan sebuah provinsi yang terletak di ujung barat wilayah

Republik Indonesia dengan penduduk sebagian besar beragama Islam dan daerah yang memperkuat peraturan Islam atau yang disebut syariat Islam dalam menjalankan

roda pemerintahan, dari kekentalan peradaban masyarakat tersebut khususnya berkaitan dengan agama menjadikan salah satu bukti bahwa Aceh merupakan salah satu daerah sangat unik dan berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia maupun

di Negara-negara lain di Dunia.

Keunikan tersebut, diantaranya terlihat dari penerapan syariat Islam sebagai

sendi-sendi sosial maupun sendi-sindi politik masyarakat Aceh mulai sejak berdirinya Kerajaan Aceh Islam telah dijadikan sebagai Ideologi Negara, terutama pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, salah satunya adalah bentuk pemerintahannya

yang mengikuti model kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah. Istilah-istilah lembaga Negara juga banyak diadopsi dari istilah kerajaan Islam di Timut Tengah,

seperti: menteri digelar denganwazir, Kepala Mahkamah Agung dinamakan dengan qadhi maikul adil, mentri keuangan dengan nama wazir dirham, kas Negara dinamakan dengan baitul mal1. Dalam Qanun Al-asyi (Qanun Syarak Kerajaan Aceh)

1

(2)

ditetapkan bahwa dasar ideologi kerajaan Aceh adalah Islam dengan sumber hukumnya adalah: Al-qur’an (firman Allah); Al-Hadits;Ijma’ulama danQiyas2.

Disisi lain Aceh juga unik dalam hal tata pebagian kekuasaan, hal itu dapat dilihat dari susunan pemerintahan wilayah kerjaan Aceh dibagi atas: Gampong dekepalai oleh (Geuchik/Keuchik), Mukim (Imuem Mukim),Nanggroe(Ulee balang), Sagoe (Panglima Sagoe), dan Kerajaan (Sultan).3 Kemudian potret keunikan Aceh juga terjadi awal kemerdekaan Indonesia, dimana Aceh berhasil berperan menjadi

”daerah modal” bagi bangsa Indonesia untuk melanjutkan perjuangan kemerdekaan

karena Aceh adalah satu-satunya wilayah yang tidak dapat dikuasai penjajah, ketika hampir seluruh wilayah Indonesia kembali dikuasai Belanda.

Kemudian juga keunikan Aceh dalam penyumbangan untuk kemajuan bangsa,

dimana pada saat keterpurukan bangsa pasca kemerdekaan, Aceh tidak hanya dapat mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan pertahanan perang, tetapi juga

mampu membelikan dua pesawat jenis dakota dari rakyat Aceh kepada pemerintah RI, yakni Seulawah RI-001 dan Dakota RI-002, ditambah dengan sebuah pesawat jenis Avro Anson RI-004 dari pengusaha-pengusaha Aceh yang dibeli di Thailand4.

2

A. Hasjmy,Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, Jakarta, Beuna, 1983 Hlm.69 atau A. Hasjmy,Sulatan Iskandar Muda Meukuta Alam, Jakarta, Bulan Bintang Hl. 72. Ijma ulama adalah kesepakatan (consensus) para mujtahid kaum muslimin disuatu masa peninggalan Rasulullah SAW. Terahadap suatu hokum syar I mengenai suatu peristiwa. Sedangkan qiyas adalah mempersamakan suatu peristiwa yang belum ada ketentuan kongkrit dalam nash (Al-Qur an dan hadits) dengan suatu peristiwa yang sudah ada ketentuan dalam nash

3

A. Hasjmy,59 Tahun Aceh Merdeka Dibawah Pemerintahan Ratu, Jakarta, Bulan Bintang,1977, Hlm 133-134.

4

(3)

Atas dasar keunikan-keunikan tersebut dan balasan jasa atas apa yang telah diberikan Aceh terhadap kedaulatan Indonesia sudah sepantasnya Aceh diberikan

porsi yang lebih besar terhadap pengakuan Negara sebagai daerah yang khusus dan istimewa. Presiden Soekarno sebagai kepala negara datang ke Aceh pernah berjanji

sambil bersumpah. “Wallahi, Billahi,demi Allah, kepada daerah Aceh akan diberikan hak menyusun rumah tangganya sesuai dengan syariat Islam. Disaat yang sama juga Soekarno memuji rakyat Aceh bahwa “rakyat Aceh adalah pahlawan, rakyat Aceh

adalah contoh perjuangan kemerdekaan seluruh rakyat Indonesia”5.

Janji Soekarno tersebut secara garis besar telah mengabulkan dan mengakui

kearifan lokal di Indonesia khususnya bagi pemerintahan Aceh yang didasari oleh keunikan dan jasa-jasa terhadap Negara Indonesia, salah satu pengakuan negara terhadap keunikan-keunikan tersebut adalah dalam penjelasan Pasal 18 UUD 1945

Republik Indonesia akan menghormati kedudukan daerah yang mempunyai hak asal-usul yang bersifat istimewa.

Pengakuan terhadap keistimewaan dan kearifan local melalui UUD 1945, salah satu implikasi kekhususan dan keistimewaan yang dimanfaatkan oleh pemerintah Aceh adalah memperkuat konstruksi dan kedudukan mukim yang

merupakan sebuah tatanan pemerintahan. Peran dan kedudukan Mukim dalam

mengatur masalah prosesi shalat Jum’at dan mengatur masalah-masalah hukum adat

yang terjadi di masyarakat tetap dihormati oleh negara, bahkan Kepala Mukim atau disebut Imeum (Imam) mukim. Imeum Mukim yang bertindak sebagai pemimpin

5

(4)

shalat pada setiap hari Jum’at di mesjid dan juga menyelesaikan masalah adat yang

terjadi baik antar gampong maupun antar mukim itu sendiri juga tetap berjalan

ditengah-tengah masyarakat.

Peran dan kedudukan mukim tersendiri tidak berubah ideologi Islam atau

Syari’atdalam struktur pemerintahannya. Paling tidak ada tiga hal yang menunjukkan keberadaan pemerintahan mukim pada masa pra kemerdekaan sebagai lembaga yang berideolagi Islam, yaitu: Pertama, memperhatikan syarat-syarat keagamaan yang harus dipenuhi oleh para pimpinan pada tingkat mukim dan gampong dimana kepala mukim dan juga gampong harus betul-betul memahami Al-Qu’an dan Hadits serta

Ijma’sebagai orang yang dituakan dalam mengatur wilayahnya.

Kedua, dapat dilihat dalam sistem pengelolaan tanah-tanah umum yang belum dimiliki oleh siapapun, yang oleh masyarakat Aceh disebut sebagai tanoh Potallah atau tanah milik Allah6. Dalam hal ini, siapa yang menghidupkan dan mengusahakan tanah mati tersebut, dialah yang berhak atas tanah tersebut, untuk dimiliki atau

dialihkan kepada orang lain, tentu saja setelah syarat-syarat adat terpenuhi. Ketiga, dalam penyelesaian sengketa yang mengedepankan perdamaian melalui musyawarah7.

Sebelum diberlakukannya UU No 5 Tahun 1979 mukim masih memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat Aceh untuk mengatur rumah tangganya

6

J.J.C.H. Van Waardenburg, Pengaruh Terhdap Adat Istiadat, Bahasa dan Kesusastraan Rakyat Aceh, Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, banda Aceh, 1979, Hlm. 38

7

(5)

sendiri yang mandiri seperti mengatur masalah adat, masalah kukum dan juga masalah sosial, hal itu juga terlihat dari proses kepercayaannya masyarakat terhadap

keberdaan pemerintahan mukim dalam struktural pemerintahan Aceh.

Adapun hal-hal yang diatur pemerintahan mukim pada masa sebelum

diberlakukannya UU No 05 Tahun 1979 adalah hal berkaitan dengan adat istiadat bila terjadi persengketaan atau perselisihan antara masyarakat atau antar gampong yang tidak dapat dipecahkan oleh gampong maka hal tersebut dilimpahkan ke mukim,

mukim juga ikut mengatur pemanfaatan kawasan bersama berupa padang meurabe (area mengebala), gle (hutan),blang (sawah) atau tanah-tanah yang berada dibawah penguasaan mukimatau juga berada diluar penguasaan gampong, dan juga mengatur masalah yang berkaitan masalah hukum, mukim menjadi tempat penyelesaian berhubungan agama, warisan, pernikahan, pasakh, rujuk, serta mengurus harta umat

(wakaf) yang berada dibawah penguasaan mukim8.

Namun kemerosotan peran dan eksistensi mukim sejak diberlakukan UU No 5

Tahun 1979, dimana pada masa itu keberadaan pemerintahan mukim yang begitu diakui oleh masyarakat Aceh sacara administrasi maupun secara adat, namun dijawantahkan oleh pemerintah pusat dengan menyamaratakan struktur pemerintahan

dari Sabang hingga Marauke. Dalam undang-undang tersebut karakteristik kekhususan dan keitemewaan lokal di Indonesia khususnya Aceh dibiarkan tanpa

dipayungin hokum dan tidak diakui keberadaannya secara legalitas, khususnya

8

(6)

terhadap eksistensi keberadaan pemerintahan mukim di Aceh, sehingga tugas dan wewenang pemerintahan mukim menjadi tidak jelas baik secara politis maupun

secara administratif. Masa itu mukim hanya sebagai seremonial di tingkat kecamatan dan kadang-kandang kalau ke kecamatan dititipi surat untuk Geuchikdi wilayahnya9, Hal ini menepisnya keberadaan pemerintahan mukim oleh negara, namum secara sosiologi mukim tetap diakui oleh masyarakat.

Setelah runtuhnya orde baru eksistensi pemerintahan mukim diakui kembali

dengan memperkuat kedudukan mukim atas dasar Undang-undang No 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai

Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pasal 1 ayat 12 mukim adalah kesatuan masyarakat hukum dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta

kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah kecamatan/sagoe cut atau nama lain, yang dipimpin oleh Imum Mukim atau nama lain10. Untuk mempertegas dan memperkuat keberadaan pemerintahan mukim secara spesifik pemerintahan Aceh mengeluarkan Qanun No 4 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Mukim Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara khusus, agar kedudukan lembaga mukim

tetap menjadi salah satu kebanggaan Aceh yang tidak bisa dipisahkan secara politik maupun sosial.

9

Ibid, Hlm. 69

10

(7)

Kekhususan Aceh dalam memperkuat lembaga pemerintahannya sesuai kearifan lokal dipertegaskan lagi melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006

tentang Pemerintahan Aceh diantaranya adalah, diakuinya keberadaan lembaga-lembaga adat Aceh secara resmi. Dalam BAB XV Mukim dan Gampong Bagian

kesatu Pasal 114 jelas disebutkan bahwa: (1). Dalam wilayah kabupaten/kota dibentuk mukim yang terdiri atas beberapa gampong, (2). Mukim dipimpin oleh imeum mukim sebagai penyelenggara tugas dan fungsi mukim yang dibantu oleh

tuha peuet mukim atau nama lain., (3). Imeum mukim dipilih melalui musyawarah mukim untuk masa jabatan 5 (lima) tahun., (4). Ketentuan lebih lanjut mengenai

organisasi, tugas, fungsi, dan kelengkapan mukim diatur dengan qanun kabupaten/kota., (5). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan imeum mukim diatur dengan Qanun Aceh11.

Lahirnya UU No 11 Tahun 2006 semakin memperkuat kedudukan Otonomi khusus di Aceh yang tidak hanya pada lembaga pemerintahan mukim tetapi juga pada

kontek lain, diantaranya ada pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah Aceh secara khusus baik dalam sebutan nama maupun dalam pelaksanaan, diantaranya adalah pengakuan negara terhadap kekhususan Aceh yaitu

berhak membentuk lembaga wali nanggroe, melaksanakan Syari’at Islam, memiliki bendera, lambang dan hymne daerah sebagaimana yang dimasud dalam ketentuan

UU No. 11 Tahun 2006.

11

(8)

Ada beberapa kekhususan lainnya juga yang sangat berbeda dengan otonomi daerah lain atau yang dsebut dengan desentralisasi Asimetris di Indonesia, antaranya

yang diberikan oleh Pemerintah terhadap Provinsi Aceh sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan UU No. 11 Tahun 2006 antara lain sebagai berikut:

a. Pembagian daerah di Aceh yang dibagi kedalam kabupaten/kota, kecamatan, mukim, kelurahan dan gampong12, mukim merupakan kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa gampong.

Sedangkan kelurahan dan gampong adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah mukim13.

b. Rencana persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang dibuat oleh pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA. Pemerintah Aceh dapat mengadakan kerja sama

dengan lembaga atau badan di luar negeri kecuali yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. Dalam naskah kerja sama tersebut dicantumkan frasa

pemerintah Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.

12

Lihat: Pasal 2 UU No. 11 Tahun 2006

13

(9)

serta Pemerintah Aceh dapat berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan seni, budaya, dan olah raga internasional14.

c. Penduduk Aceh dapat membentuk partai politik lokal yang memiliki hak antara lain; mengikuti Pemilu daerah untuk memilih anggota DPRA dan

DPRK; mengusulkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, calon bupati dan wakil bupati, serta calon walikota dan wakil walikota di Aceh15. d. Di Aceh terdapat pengadilan Syari’at Islam yang dilaksanakan oleh sebuah

Mahkamah Syar’iyah, yang terdiri dari Mahkamah Syar’iyah Aceh sebagai

pengadilan tingkat banding dan Mahkamah Syar’iyah kabupaten/kota sebagai

pengadilan tingkat pertama. Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa,

mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah

(hukum pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam dengan hukum acara yang

ditetapkan berdasarkan Qanun16.

e. Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota dapat membentuk lembaga, badan dan/atau komisi dengan persetujuan DPRA/DPRK17. Di Aceh terdapat institusi atau lembaga yang tidak terdapat di daerah-daerah lainnya, seperti

Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) yang merupakan mitra kerja

14

Lihat: Pasal 8 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2006

15

Lihat: Pasal 75 sampai dengan Pasal 88 UU No. 11 Tahun 2006

16

Lihat: Pasal 128 sampai dengan Pasal 137 UU No. 11Tahun 2006

17

(10)

Pemerintah Aceh, kabupaten/kota dan DPRA/DPRK18, Lembaga Wali Nanggroe dan Lembaga Adat19, Pengadilan Hak Asasi Manusia20, Komisi

Kebenaran dan Rekonsiliasi21, dan unit Polisi Wilayatul Hisbah sebagai bagiandari Satuan Polisi Pamong Praja, sebagai penegak Syari’at Islam22.

Seiring perkembangannya mulai dari dasar UU, Qanun provinsi hingga terbentuk Qanun kabupaten/kota khususnya mengatur masalah mukim menjadikan fungsi imeum mukim sebagai kepala pemerintahan dari sebuah mukim. Dialah yang

mengkoordinir geuchik-geuchik gampong (kepala-kepala desa). Dengan berubahnya fungsi imeum mukim berubah pula nama panggilannya, yakni kepala mukim dan

tugas dalam penyelenggaraan pemerintahan mukim menjadi semakin terstruktur. Lahirnya UU Pemerintahan Aceh tidak hanya sekedar melahirkan kearifan lokal di Aceh sebagai wujud dari demokrasi dan desentralisasi tetapi juga

memperjelas kewenangan mukim dimata hukum, sehingga keberadaan mukim yang sebelumnya lebih bersifat seremonial dan tidak diakui UU menjadi diakui kembali

secara formal. Hal ini merupakan salah langkah yang tepat bagi pemerintah RI terhadap kekhususan Aceh, dalam hal ini dapat mengatur urusan rumah tangganya sendiri dan wewenang yang sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan masyarakat.

Atas landasan Undang-Undang Pemerintahan Aceh, mukim mempunyai tugas dan wewenang tersendiri dalam mengatur rumah tangganya sendiri yang menjadi hak

18

Lihat: Pasal 138 sampai dengan Pasal 140 UU No. 11 Tahun 2006

19

Lihat: Pasal 96 sampai dengan Pasal 99 UU No. 11 Tahun 2006

20

Lihat: Pasal 228 UU No.11 Tahun 2006

21

Lihat: Pasal 229 UU No. 11 Tahun 2006

22

(11)

dan kewajibannya untuk menciptakan wilayahnya yang sejahtera dan berkualitas. Disisi lain kewenangan mukim juga dapat menginterfensi geuchik (kepala desa) dalam proses percepatan pembangunan, penyelenggaraan pemerintahan, urusan syariat islam dan juga pembinaan kemasyarakatan yang efektif dan tanggap.

Kemudian pengakuan khususan Aceh melalui UUPA juga dalam kontek mengakui keberadaan pemerintahan gampong sebagai struktur pemerintahan Aceh yang berada dibawah mukim, kontruksi ini juga merupakan wujud dari pengembalian

karakteristik kewilayahan Aceh yang telah terbentuk pada masa kerajaan Aceh atau sejak masa pra kemerdekaan.

Kedudukan gampong juga merupakan bentuk teritorial yang terkecil dari susunan pemerintahan di Aceh, dalam satu gampong terdiri dari kelompok rumah yang letaknya berdekatan satu sama lain. Pimpinan gampong disebut geuchik atau

sering juga disebut keuchik, yang dibantu seseorang yang mahir dalam masalah keagamaan dengan sebutan teungku meunasah, gampong merupakan pemerintah

bawahan dari mukim23.

Geuchik didasarkan pada kenyataan hakiki bahwa dialah yang membela kepentingan dan keinginan warga, baik berhadapan dengan ulèèbalang24 (kepala pemerintahan diatas mukim) dengan mukim maupun dengan gampong-gampong lain. geuchik terkadang tidak hanya menguasai satu gampong saja, namun ada juga yang

23

Rusdi Sufi, dkk., 2002, Adat Istiadat Masyarakat Aceh, Banda Aceh, Dinas Kebudayaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Hlm. 33-39)

24

(12)

mengepalai 2 sampai 3 gampong dalam satu jabatan. Jadi dalam pemerintahan di Aceh geuchik bisa dikatakan sebagai yah dan teungku ma (kepala desa sebagai bapak

dan ulama sebagai ibu) dalam pelaksanaan pemerintahan gampong.

Mengenai pemerintahan gampong beserta aparaturnya, dapat dijelaskan lewat

penelusuran berbagai peraturan perundangan-undangan. Dalam Penjelasan Pasal 7 UU No. 44/1999 disebutkan bahwa konsep gampong menurut UU ini adalah sama yang dimaksud dengan desa menurut UU No. 22/1999 bahwa kesamaan fungsi dan

wewenang dalam pelaksanaan urusan pemerintahan maupun dalam urusan administrasi, yang berbeda dalam pemerintahan gampong hanya nama dan ditambah

urusan adat sebagai bagian dari kinerjanya.

Sementara itu, Pasal 1 ayat (13) UU No. 18/2001 menyebutkan bahwa gampong adalah kesatuan masyarakat hukum yang merupakan organisasi

pemerintahan terendah langsung berada di bawah mukim yang menempati wilayah tertentu yang dipimpin oleh geuchik atau nama lain dan berhak menyelenggarakan

rumah tangganya sendiri.

Konsep gampong seperti di atas, terdapat dalam Pasal 1 ayat (6) Qanun No. 5/2003 tentang Pemerintahan Gampong. Sementara dalam Pasal 1 ayat (9) Perda No.

7/2000, yang dimaksudkan dengan gampong adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat yang terendah dan berhak

menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.

(13)

Penjelasan Pasal 1 ayat 2 Qanun No. 3/2003 disebutkan kedudukan gampong tidak lagi berada di bawah kecamatan, tapi di bawah mukim sebagai salah satu kesatuan

pemerintahan. Hal ini kemudian dipertegas dengan Pasal 2 Qanun No. 4/2003, bahwa mukim membawahi gampong yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada

camat.” Dalam Pasal 5 poin (d) Qanun No. 3/2003, disebutkan bahwa posisi camat berkenaan dengan fungsi pembinaan pemerintahan mukim dan gampong.

Dalam Pasal 39 Qanun No. 3/2003, dengan tegas diatur bahwa kecamatan

yang belum memiliki mukim tapi memiliki gampong, maka perangkat pelaksana di wilayahnya adalah pemerintah gampong. Dari dua skruktur pemerintahan tersebut

antara mukim dan gampong sangat membutuhkan relasi (hubungan) yang baik terhadap proses pelaksanaan pemerintahan daerah dan juga proses penguatan otonomi khusus, paling tidak dua lembaga tersebut dapat memperkuat kelembagaannya

masing-masing sebagai satu kesatuan yang utuh.

Refresentatif dari hal diatas Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat dan

Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh merupakan dua sampel mukim yang mempunyai relasi dengan gampong dengan sistem pemerintahannya tersendiri, refresentatif tersebut terbentuk dari eksistensi Provinsi Aceh untuk terlaksananya pemerintahan

daerah yang lebih baik, namun pada kenyataannya proses pelaksanaan tersebut bukan tanpa kesulitan.

(14)

tradisi dan budaya top-down bottom-up, sebagai dua lembaga yang memiliki refresentatif dalam proses pelaksanaan pemerintahan maupun dalam mewujudkan

otonomi khusus di Aceh.

Kedua, aturan pelaksana, di mana belum didukung oleh aturan pelaksana yang mantap dan kompeten, sehingga ini akan menyulitkan proses relasi antara Mukim Meuko dan Mukim Meuraxa dengan gampong dibawah wewenangnya . Ketiga, birokrasi yang masih berbelit-belit. Salah satu implikasi sistem sentralistis yang

hingga sekarang masih dirasakan adalah adanya sistem administrasi yang panjang dan lambat yang dipraktekkan oleh aparatur pemerintahan, sehingga pelaksanaan

pemerintahan di masyarakat menjadi tidak tepat sasaran.

Keempat, kesiapan aparatur pemerintahan mukim dan gampong, masalah yang ke empat ini merupakan masalah yang sangat urgensi yang terjadi di tingkat

pemerintahan Mukim Meuko dan Mukim Meuraxa dengan gampong-gampong dibawahnya, pemahaman tentang tatakelola pemerintahan yang baik (good governance) di tingkat mukim dan tingkat gampong masih sangat rendah, sehingga yang terjadi adalah tidak maksimal suatu sistem pemerintahan yang dijalankan, disisilain kurangnya pemahaman tentang konsep-konsep dalam membuat regulasi

(15)

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk mengangkat permasalahan tersebut dengan judul Relasi pemerintahan mukim dengan

gampong dalam pelaksanaan pemerintahan daerah (studi penelitian di Mukim

Meuko Kabupaten Aceh Barat dan Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh)”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan kedalam beberapa hal berikut:

• Bagaimana eksistensi Pemerintahan Mukim dalam tatanan pemerintahan Aceh.?

• Sejauh mana relasi pemerintahan mukim dengan gampong dalam pelaksanaan

pemerintahan daerah?

• Apa saja faktor penghambat relasi mukim dengan gampong?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan relasi pemerintahan mukim dengan gampong dalam pelaksanaan pemerintahan daerah.

Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

• Mendeskripsikan eksistensi Pemerintahan Mukim dalam tatanan pemerintahan

Aceh dari masa ke masa.

• Untuk mengetahui Sejauh mana relasi pemerintahan mukim dengan gampong

dalam Pelaksanaan Pemerintahan daerah.

(16)

D. Manfaat Penelitian

Penelitian yang membahas tentang “relasi pemerintahan mukim dengan

gampong dalam pelaksanaan pemerintahan daerah (studi penelitian Di Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat dan Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh)”, diharapkan dapat

memberi manfaat tersendiri dalam kontek ini secara umum memiliki tidak lanjud pengembangan sistem pemerintahan mukim di Provinsi Aceh yang tertata dan terstruktur, antara lain.

Pertama, secara teoritis untuk mengembangkan teori dan gagasan pelaksanaan pemerintahan daerah sebagai wujud dari desentralisasi kekuasaan dan

otonomi khusus. Penelitian ini merupakan hasil dari pengetahuan mengenai relasi pemerintahan mukim dengan pemerintahan gampong.Kedua, secara praktis adalah manfaat sebagai rekomendasi, yaitu ilmu pemerintahan baik itu para para biarokrasi

dalam hal konsep pelaksanaan pemerintahan daerah yang dilakukan oleh pemerintahan mukim dan gampong sebuah gagasan yang khas di provinsi Aceh.

Sedangkan manfaat secara khusus, yaitu:

1. Bagi Peneliti

Dengan mengadakan penelitian ini, peneliti berharap dapat menambah

kreativitas, memperbanyak wawasan, pengetahuan, pengalaman serta kesempatan untuk memahami proses pelaksanaan pemerintahan daerah di Mukim Meuko

(17)

2. Bagi Pemerintahan Mukim

Penelitian mengenai relasi pemerintahan mukim dengan gampong dalam

pelaksanaan pemerintahan daerah di Mukim Meuko Aceh Barat dan Meuraxa Kota Banda Aceh dapat memberi rekomendasi tersendiri bagi pemerintahan mukim dan

mampu menjadi pendorong serta bahan evaluasi kinerja dalam melaksanakan fungsinya sebagai pelaksana pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan.

3. Bagi Pemerintahan Gampong

Dalam hal ini hasil penelitian juga dapat memberi rekomendasi kepada pemerintahan gampong, dalam mewujudkan good governance dengan relasi yang baik terhadap pemerintahan mukim.

4. Bagi Masyarakat

Penelitian mengenai “relasi pemerintahan mukim dengan gampong dalam

pelaksanaan pemerintahan daerah (studi penelitian di Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat dan Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh)”dapat menambah khasanah wawasan

dan pengetahuan mengenai tata laksana pemerintahan mukim dan gampong dalam pelaksanaan pemerintahan daerah. Diharapakan dengan pemahaman tersebut masyarakat dapat menjadi pendukung terlaksananya pembangunan demi terwujudnya

kesejahtraan masyarakat itu sendiri.

E. Defenisi Konseptual

Untuk memperjelas pariabel dalam penelitian ini, maka diperlukan defenisi

(18)

konseptual ini diambil berdasarkan judul penelitian yaitu“relasi pemerintahan mukim dengan gampong dalam pelaksanaan pemerintahan daerah (studi penelitian di Mukim

Meuko Kabupaten Aceh Barat dan Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh)”.

1. Relasi (Hubungan)

Relasi merupakan suatu metode untuk mengetahui tingkat keeratan hubungan dua pihak atau lebih yang digambarkan oleh besarnya pengaruh satu sama lain. Sedangkan dalam kasus ilmiah popular istilah relasi ialah hubungan. Sehingga relasi

bisa didefenisiskan sebagai hubungan dalam melaksanakan sebuah tugas yang sama-sama memiliki peran penting. Adapun konsep hubungan antara pemerintahan

khususnya pemerintah pusat dan daerah adalah hubungan administrasi dan hubungan kewilayahan25.

Dalam kontek pemerintah relasi ini tentu ada yang diperintah dan ada yang

memerintah. Relasi kekuasaan merupakan suatu bentuk hubungan sosial yang menunjukkan hubungan yang tidak setara (asymetric relationship), hal ini disebabkan

dalam kekuasaan terkandung unsur “pemimpin“ (direction) atau apa yang oleh Weber

disebut “pengawas yang mengandung perintah“ (imperative control). Dalam

hubungan dengan unsur inilah hubungan kekuasaan menunjukkan hubungan antara

apa yang oleh Leon Daguit dalam Poelinggomang (2004) dalam Skirpsi Mahasiswa

25

Muhammad Djumhana dalam Telly Sumbu, Hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dalam Kerangka Pengelolaan Keuangan Negara dan Daerah,Jurnal

(19)

USU “pemerintah” (gouvernants) dan “yang diperintah” (gouvernes)26. Kemudian berkaitan dengan dominan kekuasaan dalam relasi pemerintahan Antonio Gramsci

juga membedakan kedalam dua konsep "dominasi" dan "hegemoni", di mana dominasi merupakan model penguasaan yang ditopang oleh kekuatan fisik.

Sedangkan hegemoni adalah model penguasaan yang lebih halus, yaitu secara ideologis Gramsci, juga menyebutkan bahwa dua kelas intelektual yang tradisional dan juga organik27.

2. Pemerintahan Daerah

Dalam masyarakat primitif, tingkat pemerintah daerah terendah adalah kepala

desa atau kepala suku. Dalam kontek bangsa moden, pemerintah daerah biasanya memiliki sejenis kekuasaan yang sama seperti pemerintah nasional. Mereka memiliki kekuasaan untuk meningkatkan pajak, meskipun dibatasi oleh undang-undang

pusat28. Pemerintahan daerah menurut pasal 1 huruf d UU No 22 Tahun 1999 diartikan sebagai penyelenggara pemerintahan daerah otonom oleh pemerintah daerah

dan DPRD menurut asas desentralisasi.

Menurut UU No 32 Tahun 2004 dalam pasal 1 angka 2, pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi

dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam system dan

26

Leon Daguit dalam Poelinggomang (2004) dalam skripsi mahasiswa USU

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26164/3/Chapter%20II.pdf, Diakses pada 13 Januari 2013

27

Nezar Patria, Antonio Gramsci Negara & Hegemoni, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, Hlm. 155-157

28

(20)

prinsip negara kesatuan RI. Berdasarkan UU No 32 atahun 2004 tentang pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintah oleh pemerintah

daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dan unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah gubernur, bupati atau walikota dan

perangkat daerah.

3. Pemerintahan Mukim

Pemerintah mukim merupakan sebuah lembaga pemerintahan yang ada di

Provinsi Aceh, kedudukannya adalah dibawah kecamatan dan di atas gampong (desa). Dalam Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No 4 Tahun 2003 dan

juga Qanun Kabupaten Aceh Barat No 3 Tahun 2010 Tentan Pemerintahan Mukim menyebutkan bahwa mukim atau nama lain, adalah kesatuan masyarakat hukum dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas gabungan beberapa

gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah Camat atau nama lain yang dipimpin oleh Imeum

Mukim atau nama lain29.

Sedangkan Mukim berkedudukan sebagai unit pemerintahan yang membawahi beberapa Gampong yang berada langsung di bawah dan bertanggung

jawab kepada Camat, sesuai dengan Pasal 2 Qanun Nomor 4 tahun 2003. Dalam Pasal 3 Qanun Nomor 4 tahun 2003 disebutkan bahwa Mukim mempunyai tugas

29

(21)

menyelenggarakan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan

kemasyarakatan dan peningkatan pelaksanaan Syari’at Islam.

4. Pemerintahan Gampong

Gampong (desa) menurut definisi universal, adalah sebuah aglomerasi

permukiman di area perdesaan (rural). Di Indonesia, istilah desa adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia di bawah kecamatan, namun di Aceh desa merupakan struktur pemerintahan di bawah mukim. Menurut Sutardjo Katodikusuma

desa merupakan seuatu kesatuan hukum dimana tempat tinggal suatu masyarakat dengan pemerintahan sendiri30.

Pemerintahan Gampong dan Pemerintahan Desa beserta perangkat dan lembaga adatnya. Namun demikian, dengan dikeluarkannya Qanun Nomor 5 tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,

paradigma itupun kemudian berubah. Gampong kemudian dilihat sebagai kesatuan masyarakat hukum dan adat dalam struktur kekuasaan terendah dan mempunyai

wilayah kekuasaan sendiri serta memiliki kekayaan atau sumber pendapatan sendiri pula.

Qanun Pemerintah Aceh didefenisikan gampong atau desa merupakan

kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung berada di bawah Mukim atau nama lain yang menempati wilayah tertentu,

yang dipimpin oleh keuchik atau nama lain dan berhak menyelenggarakan urusan

30

Internet ambil pada tanggal 25 november

(22)

rumah tangganya sendiri. Dalam Pasal 1 (6) Qanun Nomor 5 tahun 2003 disebutkan :

”Gampong atau nama lain, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai

organisasi pemerintahan terendah langsung berada di bawah Mukim atau nama lain yang menempati wilayah tertentu, yang dipimpin oleh Geuchik atau nama lain dan

berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri.” Sementara itu dalam

Pasal 10 QanunNomor 5 tahun 2003 disebutkan bahwa pemerintah Gampong terdiri dari Geuchik dan Imeum Meunasah beserta Perangkat Gampong.

Dalam Pasal 11 Qanun Nomor 5 tahun 2003 dijelaskan pula bahwa Geuchik adalah Kepala Badan Eksekutif Gampong dalam penyelenggaraan Pemerintahan

Gampong. Dengan sistem Pemerintahan Gampong, sistem demokrasi dari bawah (bottom-up) benar-benar dapat dilaksanakan. Dalam Pemerintahan Gampong, bidang eksekutif Gampong dilaksanakan oleh Keuchik dan Teungku Imuem Meunasah

dengan urusan yang berbeda. Di gampong, Pimpinan Keagamaan itu adalah Teungku Imuem Meunasah31, namun demikian, dalam Gampong posisi Imuem Meunasah

setara dengan geuchik walau masing-masing memiliki urusan yang berbeda.

F. Defenisi Oprasional

Defenisi oprasional berfungsi untuk data yang dikumpulkan agar peneliti ini mendapatkan sebuah perspektif dalam penelitian dan untuk bisa lebih mendalami.

Berangkat dari pemahaman diatas, maka dapat dipahami bahwa dalam definisi

31

(23)

oprasional itu harus menunjuk suatu indikator-indikator serta pengukuran variabelnya, dengan demikian dapat penulis simpulkan bahwa defenisi oprasionalnya:

1. Eksistensi pemerintahan Mukim

2. Relasi pemerintahan Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat dan Mukim Meuraxa

Kota Banda Aceh dengan pemerintahan gampong. a. Relasi dalam penyelenggaraan pemerintahan b. Relasi dalam proses pembangunan

c. Relasi dalam pembinaan kemasyarakatan dan

d. Relasi dalam peningkatan pelaksanaan Syari’at Islam

e. Relasi dalam perlindungan ekologi dan SDA 3. Faktor penghambat relasi mukim dengan gampong

a. Sosialisasi keberadaan lembaga mukim

b. Kejelasan porsi kerja c. Hirarki antara structural

d. Infrastruktur dan suprakstruktur e. Legitimasi masyarakat

G. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini memakai pendekatan kualitatif dengan jenis deskriptif, dengan alasan agar dapat menggali informasi yang mendalam mengenai objek yang akan

(24)

berdasarkan fakta-fakta yang ada, sehingga tujuan dari metode deskriptif adalah untuk menggambarkan sauatu masyarakat tertentu atau gambaran tentang gejala

sosial.

2. Sumber Data

Dalam melakukan penelitian data dapat diperoleh melalui berbagai sumber, antara lain: orang yang dianggap mengetahui tentang apa yang diteliti dan dari dokumen-dokumen yang ada, adapun data tersebut dapat diperoleh melalui:

a. Data Primer

Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari

sumber-sumber, pihak-pihak yang menjadi objek penelitian ini antara lain data yang langsung dapat dari lapangan. Dalam penelitian yang bejudul “relasi pemerintahan mukim dengan gampong dalam pelaksanaan pemerintahan

daerah (studi penelitian di Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat dan Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh)” adalah gubernur, bupati/walikota,

camat kepala mukim dan geuchik. Dari data-data yang didapatkankan tersebut peneliti dapat membandingkan dengan hasil observasi dan dokumentasi di masyarakat.

b. Data Skunder

Data skunder atau data penunjang disebut sebagai sumber penulis,

(25)

mempunyai dan berhubungan dengan penelitian yang berjudul “relasi pemerintahan mukim dengan gampong dalam pelaksanaan pemerintahan

daerah (studi penelitian di Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat dan Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh)”. Yang menjadi data skunder adalah

data hasil observasi dan dokumentasi yang didapat dari kantor mukim dan kantor geuchik serta kantor-kantor pemerintahan di atasnya.

3. Teknik Pengumpulan Data

Berdasarkan jenis data yang akan dikumpulkan maka teknik penelitian yang akan digunakan peneliti adalah berupa studi lapangan (Field Reseach) yang

merupakan suatu cara pengumpulan data yang dilakukan pada lokasi penelitian. Pengumpulan data menurut cara ini dapat dilakukan dengan cara:

a. Observasi

Adapun yang dimaksud dengan cara observasi adalah teknik pengumpulan data dengan cara melakukan pengamatan dan pencatatan

terhadap objek penelitian. Dari metode observasi ini data yang diperoleh adalah keadaan daerah, lingkungan kerja, struktur organisasi, sarana dan prasarana yang dimiliki.

(26)

diartikan lebih sempit, yaitu pengamatan dengan menggunakan indera penglihatan yang berarti tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan32.

Dengan melakukan observasi peneliti mangamati secara langsung keadaan, kondisi, situasi, kegiatan dan proses relasi pelaksanaan

pemerintahan mukim dan gampong. b. Interview

Interview adalah cara pengumpulan data dengan jalan bertanya jawab

secara langsung dengan pihak yang berkaitan lansung dipemerintahan mukim dan juga pemerintahan gampong dalam hal relasi dalam pelaksanaan

pemerintahan lokal. Adapun dalam hal tersebut peneliti mencoba menanyakan proses pelaksanaan dari regulasi yang telah diamanatkan dalam Qanun pemerintah provinsi Aceh dan juga proses tindak lanjud mulai dari

tingkat provinsi hingga tingkat kabupaten/kota terhadap Qanun tersebut. Interview dalam hal ini dibedakan dalam dua subjek, yaitu:

pemerintahan mukim dengan pemerintahan gampong sebagai actor pelaksanaan pemerintahan dan masyarakat sebagai konsumennya, disisi lain juga pemerintahan diatasnya baik itu camat, bupati atau walikota dan juga

gubernur sebagai aktor-aktor pengawasan. c. Dokumentasi

Teknik ini dilaksanakan dengan melakukan pencatatan terhadap berbagai dokumen-dokumen resmi, laporan-laporan, peraturan-peraturan,

32

(27)

maupun arsip-arsip yang tersedia dengan tujuan untuk mendapatkan bahan-bahan yang menunjang secara teoritis terhadap topik penelitian. Adapun data

yang akan dicarikan dalam penelitian ini adalah Qanun tentang pemerintahan mukim tingkat provinsi dan juga kabupaten atau kota, peraturan gubernur,

peraturan bupati atau peraturan walikota, dan juga data-data lain yang mendukung hasil temuan penelitian.

4. Subjek Penelitian

Subjek penelitian adalah benda, hal, atau orang tempat variable penelitian melekat, oleh karena itu subjek adalah seseorang atau sebih yang dipilih dengan

sengaja sebagai narasumber data yang dikumpulkan, karena dianggap menguasai bidang yang berhubungan dengan sasaran penelitian.

Subjek yang dijadikan narasumber dalam penelitian ini adalah:

a. Gubernur b. Bupati/Walikota

c. Camat

d. Kepala Mukim. e. Geuchik Gampong.

f. Tokoh Masyarakat dan Masyarakat.

5. Lokasi Penelitian

(28)

Banda Aceh)”. Sedangkan tempat yang dijadikan lokasi penelitian oleh penulis adalah Instansi-instansi pemerintahan mulai dari kantor gubernur, kantor bupati atau

walikota, kantor camat se Aceh pada umumnya dan khusunya pada dua di kantor mukim, yaitu di Kantor Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat dan Kantor Mukim

Meuraxa Kota Banda Aceh.

6. Analisa Data

Teknik analisa data adalah proses mengatur urutan data, pengorganisasian

kedalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema yang dirumuskan. Data yang tekumpul terdiri catatan lapangan , interview, gambar,

foto, dan dokumen berupa laporan, biografi, artikel, kemudian direduksi dan diolah untuk memperoleh kesimpulan informasi tersebut. Proses analisa dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber yang kemudian dilakukan

reduksi data (memformulasikan teori kedalam seperangkat konsep) yang dilakukan dengan membuat rangkuman inti dalam penelitian33.

Analisa data dapat diartikan sebagai proses pengorganisasian dan pengurutan data yang diperoleh secara sistematis baik untuk manafsirkan dan menginterpretasikan data-data yang dapat dari penelitian. Proses analisa data ini

dimulai dengan menelaah data yang tersedia dari berbagai sumber data baik data primer maupun data skunder. Dalam hal ini peneliti menggunakan analisa kualitatif

dengan jenis deskriptif dimana lebih menitikberatkan pada penggambaran dan penguraian objek yang nanntinya akan menghasilkan kesimpulan.

33

(29)

RELASI PEMERINTAHAN MUKIM DENGAN GAMPONG DALAM

PELAKSANAAN PEMERINTAHAN DAERAH

(Studi Penelitian di Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat dan Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh)

SKRIPSI

Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang

Sebagai Persyaratan Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana (S-1)

Oleh:

AFRIZAL WOYLA SAPUTRA ZAINI

09230032

JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

(30)

LEMBAR PENGESAHAN

Telah Dipertahankan Dihadapan Sidang Dewan Penguji Skripsi

Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Muhammadiyah Malang Pada:

Hari : Sabtu

Tanggal : 19 Januari 2013/7 Rabiul Awal 1434 H Jam : 10.30 WIB

Tempat : Jurusan Ilmu Pemerintahan

Dewan Penguji

1. Dr. Asep Nurjaman., M.Si : ...

2. Dr. Tri Sulistyaningsih., M.Si : ...

3. Drs. Jainuri., M.Si : ...

4. Drs. Juli Astutik., M.Si : ...

Mengesahkan Dekan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang

(31)

LEMBAR PERSETUJUAN

Nama : Afrizal Woyla Saputra Zaini Nim : 09230032

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan : Ilmu Pemerintahan

Judul : Relasi Pemerintahan Mukim Dengan Gampong Dalam Pelaksanaan Pemerintahan Daerah (Studi Penelitian Di Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat dan Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh).

Disetujui Untuk Diuji Dihadapan Sidang Dewan Penguji Skripsi

Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Muhammadiyah Malang

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Drs. Jainuri, M.Si Dra. Juli Astutik, M.Si

Mengetahui,

Dekan FISIP UMM Kajur Ilmu Pemerintahan

(32)

SURAT PERNYATAAN

Nama : Afrizal Woyla Saputra Zaini Tempat, Tanggal Lahir : Seuradek, 29 Juli 1990

NIM : 09230032

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Jurusan : Ilmu Pemerintahan

Menyatakan bahwa Karya Ilmiah/ Skripsi saya yang berjudul:

Relasi Pemerintahan Mukim Dengan Gampong Dalam Pelaksanaan Pemerintahan Daerah (Studi Penelitian Di Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat dan Mukim

Meuraxa Kota Banda Aceh).

Adalah bukan karya tulis orang lain, baik sacara sebagian maupun secara keseluruhan. Kecuali dalam bentuk kutipan yang telah saya sebutkan sumbernya.

Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila pernyataan ini tidak benar, saya bersedia mendapatkan sanksi akademik sebagaimana berlaku.

Malang, 29 Januari 2013 Yang Menyatakan

(33)

BERITA ACARA BIMBINGAN

Nama : Afrizal Woyla Saputra Zaini Nim : 09230032

Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan : Ilmu Pemerintahan

Judul : Relasi Pemerintahan Mukim Dengan Gampong Dalam Pelaksanaan Pemerintahan Daerah (Studi Penelitian Di Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat dan Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh).

Pembimbing : 1. Drs. Jainuri., M.si 2. Dra. Juli Astutik., M.Si

Pembimbing II Keterangan Bimbingan

18/09/2012 Pengajuan Proposal

21/09/2012 ACC Seminar Proposal

12/10/2012 Pengajuan BAB II

19/10/2012 ACC BAB II

27/10/2012 Pengajuan BAB III

24/12/2012 ACC BAB III

24/12/2012 Pengajuan BAB IV

05/01/2013 ACC BAB IV

05/01/2013 Pengajuan BAB V

09/01/2013 ACC BAB V

14/01/2013 ACC Sidang Akhir

Tanggal Selesainya Bimbingan Skripsi Senin 14 Januari 2012

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Drs. Jainuri., M.Si Dra. Juli Astutik., M.Si

Mengetahui,

Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan

(34)

LEMBAR PERSETUJUAN... I LEMBAR PENGESAHAN ... II LEMBAR PERSEMBAHAN ... III LEMBAR BERITA ACARA BIMBINGAN ... IV LEMBAR PERNYATAAN ... VI DAFTAR ISI ... VII DAFTAR TABEL ... IX DAFTAR GAMBAR ... X KATA PENGANTAR ... XI ABSTRAKSI VERSI INDONESIA ... XII ABSTRAKSI VERSI INGGRIS ... XIII

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 15

C. Tujuan Penelitian ... 15

D. Manfaat Penelitian ... 16

1. Bagi Peneliti ... 16

2. Bagi Pemerintah Mukim ... 17

3. Bagi Pemerintah Gampong ... 17

4. Bagi Masyarakat... 17

E. Defenisi Konseptual ... 17

1. Relasi (Hubungan) ... 18

2. Pemerintah Daerah ... 19

3. Pemerintah Mukim ... 20

4. Pemerintah Gampong ... 21

F. Defenisi Oprasional ... 22

1. Eksistensi Mukim ... 23

2. Relasi Pemerintahan Mukim dengan Gampong ... 23

(35)

G. Metode Penelitian... 23

1. Jenis Penelitian ... 23

2. Sember Data ... 24

a. Data Primer ... 24

b. Data Skunder ... 24

3. Teknik Pengumpulan Data ... 25

a. Observas ... 25

b. Interview ... 26

c. Dokumentasi ... 26

4. Subjek Penelitian ... 27

5. Lokasi Penelitian ... 27

6. Analisa Data ... 28

BAB II TINJAUAN TEORI ... A. Hubungan Pemerintah Daerah ... 29

B. Desentralisasi ... 34

C. Otonomi Khusus ... 39

D. Desentralisasi Asimetris ... 41

a. Model Desentralisasi Asimetris Penuh ... 43

b. Model Asimetris Berbasis Kategori Kemajuan Sosial Ekonomi ... 43

c. Model Kombinasian. Antara Otonomi Khusus dan Otonomi Reguler ... 44

E. Negara dan Desentralisasi Asimestris ... 45

F. Konsep Dasar Mukim... 47

G. Mukim Sebagai Masyarakat Hukum Adat ... 50

H. Mukim Sebagai Pemerintahan Resmi ... 53

I. Hubungan Pemerintah Mukim dan Gampong ... 55

(36)

B. Iklim Aceh ... 58

C. Demografi Aceh ... 59

D. Seni dan Budaya Aceh ... 61

1. Sastra ... 62

2. Senjata Tradisional ... 62

3. Rumah Tradisional ... 62

4. Tarian ... 63

E. Perekononian Aceh ... 63

F. Pemerintahan Aceh ... 64

G. Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh ... 65

1. Pemerintahan Mukim ... 67

2. Kebijakan Strategis Pembangunan Mukim ... 68

3. Tujuan Mukim ... 69

4. Landasan Hukum ... 69

5. Visi-Misi ... 69

6. Poko-Pokok Kebijakan ... 70

7. Perekonomian ... 70

H. Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat ... 70

BAB IV PEMBAHASAN/ISI ... A. Eksistensi Pemerintahan Mukim Dari Masa Kemasa ... 73

1. Mukim Pada Masa Kerajaan ... 73

2. Mukim Pada Masa Penjajahan ... 78

3. Mukim PadaMasa Pra Kemerdekaan ... 80

a. Sebelum Orde Baru ... 80

b. Masa Orde Baru ... 80

c. Pra Orde Baru ... 81

4. Struktur & Tugas Lembaga Adat Mukim ... 86

B. Relasi Pemerintahan Mukim Dengan Gampong ... 88

(37)

2. Pemerintahan Mukim dan Gampong Dalam Proses

Pembangunan ... 99

a. Perumusan APBM ... 100

b. Pelaksaan Pembangunan ... 102

3. Pembinaan Kemasyarakatan ... 105

a. Pendidikan ... 105

b. Pembinaan Ketentraman dan Ketertiban ... 108

c. Olah Raga dan Kesenian ... 110

d. Peningkatan Pelaksanaan Syari’at Islam ... 111

e. Perlindungan Ekologi dan SDA ... 112

C. Faktor Penghambat Relasi Mukim Dengan Gampong ... 113

1. Sosialisasi Keberadaan Lembaga Mukim ... 113

2. Porsi Kerja ... 114

3. Hirarki Antara Struktural ... 116

4. Infrastruktur dan Suprakstruktur ... 117

5. Legitimasi Masyarakat ... 119

BAB V PENUTUP ... A. Kesimpulan ... 123

B. Kritik dan Saran ... 124

DAFTAR PUSTAKA ... 126

(38)

DAFTAR TABEL

1. Tabel C 1: Demografi Penduduk Aceh

2. Tabel F 1: Perbedaan Antara Mukim Meuraxa Dan Mukim Meuko

3. Tabel G I: Nama Gampong dan Nama Geuchik di Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh.

4. Tabel G II: Luas wilayah Mikim Meuraxa dan jumlah penduduk per Gampong 5. Tabel 1 I: Nama-Nama Tuha Peut Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh

6. Tabel H I: Nama Gampong dan Nama Geuchik di Mukim Meuko Kabupaten

Aceh Barat Aceh.

7. Tabel H II: Luas wilayah Mukim Meuko dan jumlah penduduk per Gampong

8. Tabel H III: Nama-Nama Tuha Peut Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat 9. Tabel A.1 Kedudukan Mukim Dari Masa ke Masa

(39)

DAFTAR GAMBAR

1. Gambar a.I Asosiasi Mukim pada Pertemuan di Balai Persatuan Mukim se Aceh Besar 29 Agustus 2012

2. Gambar a.II Pola Pemerintahan Mukim dan Pemerintahan Gampong 3. Gambar 2.1 Proses Politik (regulasi kebijakan)

(40)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dan atas segala limpahan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan waktu yang telah direncanakan. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan alam Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga dan shabatnya yang selalu setia membantu perjuangan beliau dalam menegakkan agama Allah di muka bumi ini.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari banyak pihak yang telah memberikankan kontribusi baik secara moril maupun materil. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada:

- Dr. Muhadjir Effendy., M.A.P selaku Rekotor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

- Dr. Wahyudi., M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP-UMM)

- Dr. Tri Sulistyaningsih., M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP-UMM

- Drs. Jainuri., M.Si selaku pembimbing I, beserta Drs. Juli Astutik., M.Si selaku pembimbing II.

- Gubernur Aceh, Bupati Aceh Barat, Walikota Banda Aceh, Camat Pantoen Reu, Camat Meuraxa, Mukim Meuko, Mukim Meuraxa, para Geuchik Gampong, dan tokoh-tokoh masyarakat Aceh yang telah bersedia membantu dan memberikan informasi dan data-data yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini.

(41)

- Kelurga Besar Djambi Daud dan Usman Daud yang selalu memberi dorongan dan motifasi penulis baik materil maupun moril.

- Secara Khusus penulis ingin mendo’akan kepada Ayahanda almarhum Zaini Djambi semoga senantiasa dalam lindungan Alla, dan secara khusus juga ingin penulissanjungkan untuk Ibunda tercinta Mariyah, beserta Kakanda

Zulkifli Zaini, Muhammad Nasir Zaini, Rustam Zaini, Anwar Zaini,

Ruslan Zaini, Irwan, Yusnidar yang tidak pernah lelah memotivasikan dan mendukung satiap aktifitas penulis sejak awal hingga menyelesaikan skripsi ini. Keringat dan didikasihnya penulis tidak mampu membalas semua itu.

Skripsi ini masih banyak kekurangan-kekurangan, maka saran dan kritikan yang konstruktif dari semua pihak sangat diharapkan demi kesempurnaan selanjutnya. Kekurangan-kekurangan tersebut penulis sadari bahwa murni kesalahan penulis, sedangkan kesempurnaan hanyalah milik Allah, akhir kata hanya kepada Allah SWT penulis serahkan dan memohon ampu atas kehilafan baik dalam penulisa maupun dalam penelitian dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi peneliti sendiri dan bagi pembaca secara umumnya, dan juga semoga Allah SWT meridhai dan mencatat amalan sebagai ilmu yang bermanfaat. Amin….!

Malang, 14 Februari 2013 Penulis,

(42)

DAFTAR PUSTAKA

A.Hasjmy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, Jakarta, Beuna, 1983.

________, 59 Tahun Aceh Merdeka Dibawah Pemerintahan Ratu, Jakarta, Bulan Bintang,1977.

_________, Sistem Kesatuan Hidup Setempat Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Daerah Istimewa Aceh, 1980.

Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung, Mizan 1994.

Biro Pemerintahan Provinsi Aceh, Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Pemerintahan Mukim Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Biro Pemerintahan,Banda Aceh, 2004.

C.F. Strong, Modern Political Constitutions, English Language Book Society and Sidgwick & Jackson Limited, London, 1966.

Hakim Nyakpha dan Rusdi Sufi, Adat Budaya Aceh, Banad Aceh, Badan Kajian Nilai Sejarah dan Nilai Tradisional, Banda Aceh, 2000.

H.M. Zainuddin, Tarich Atheh dan Nusantara, Pustaka Iskandar Muda, Medan, 1961.

H.M. Thamrin, Aceh Melawan Penjajahan Belanda, Wahana, Banda Aceh, 2004.

Ibrahim Alfian, DKK, Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Daerah Provinsi Istimewa Aceh, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Banda Aceh, 1979.

Ismail Suny, Bunga Rampai Tentang Aceh, Bharata Karya Aksara, Jakarta, 1980.

(43)

J.J.C.H. Van Waardenburg, Pengaruh Terhdap Adat Istiadat, Bahasa dan Kesusastraan Rakyat Aceh, Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, Banda Aceh, 1979.

Koswara E, Teori Pemerintahan Daerah, Institut Ilmu Pemerintahan Press, Jakarta, 2001.

Koswara E, Otonomi Daerah untuk Daerah dan Kemandirian Rakyat, Candi Cipta Piramida, Jakarta, 2002.

Laski, H, A Grammar of Politics, London, Allen & Unwin, 1931.

Maddick, Henry, Democracy, Decentralization and Development, London, Asia Publisihing House, 1963.

Mahdi Syahbandir, Eksistensi dan Peranan Imuem Mukim dalam Pelaksanaan Pemerintahan Desa di Kabupaten Tingkat II Aceh Besar, Tesis Program Pascasarjana UNPAD, Bandung, 1995.

Maleong, Lexey., 2005, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosdakaria.

Mas,ud Said, Arah Baru Otonomi Daerah Di Indonesia, Malang, UMM Press, 2008.

Muhammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Waspada, Medan, 1981.

Muhammad Djumhana dalam Telly Sumbu, Hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dalam Kerangka Pengelolaan Keuangan Negara dan Daerah, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Manado,No 4 Vol. 17 Oktober 2010

Nezar Patria, Antonio Gramsci Negara & Hegemoni, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003.

(44)

Rusdi Sufi, dkk, Adat Istiadat Masyarakat Aceh, Banda Aceh, Dinas Kebudayaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2002.

Sanusi M. Syarif, Gampong dan Mukim di Aceh Menuju Rekonstruksi Pasca Tsunami, Pustaka Latin, Bogor, 2005.

S.M. Amin, Kenang-Kenangan dari Masa Lampau, Pradya Paramita, Jakarta, 1978.

Smith, B.C, Decentralization The Territorial Dimension of The State, London, Asia Publishing House, 1985.

Snouck Hugronje, Aceh Dimata Kolonialis, Yayasan Soko Guru, Jakarta1985.

Sulaiman Tripa, Meunasah Di Gampong Kamoe, Lampena, Banda Aceh, 2006.

Soehartono, Irawan, Metode Penelitian Sosial, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2008.

Taqwaddin, Penguasaan Hutan Adat oleh Masyarakat Hukum Adat (Mukim) di Provinsi Aceh, Disertasi untuk Program Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2009.

Teuku Djuned, dkk, Pemerintahan Mukim Masa Kini, Laporan Penelitian, Pusat Studi Hukum Adat Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh, 2003.

Tri Ratnawati, DKK, Persepsi Lokal dan Prospek Implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh: Aspek Kewenangan Pemda dan Keuangan Daerah, LIPI, Jakarta, 2007.

Pratikno, dkk, Desentralisasi Asimetris di Indonesia: Praktek dan Proyeksi, Jurusan Politik dan Pemerintahan, Hasil Penelitian, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2010.

Usman, Rani. Sejarah Peradapan Aceh, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2003.

(45)

Zen Zanibar, Otonomi Desa Dengan Acuan Khusus Pada Desa di Propinsi Sumatera Selatan, Disertasi UI, Jakarta, 2003.

Undang-undang No 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).

Aceh touris Magency, http://acehtourismagency.blogspot.com/2012/08/ri-001-seulawah-pesawat-angkut-pertama.html, Agustus 2012

Qanun No 04 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Mukim Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.

Qanun Kabupaten Aceh Barat Tahun 2010 Tentang Pemerintahan Mukim

Pokok-Poko Penbicaraan Dalam Hasil Rapat Pada Penutupan Rapat Koordinasi Pemerintahan Mukim Se Aceh Tahun 2012, Banda Aceh

Balee Mukim, Rakor Pemerintahan Mukim Se-Aceh Tahun 2011,

http://baleemukim.blogspot.com/2011/12/rakor-pemerintahan-mukim-se-aceh-tahun.html, Diakses Pada 27 Agustus 2012

Mas’ud Said, Perlu Desentralisasi Asimetris,

http://www.profmmasudsaid.com/news-desentralisasi-asimetris.html, diakses pada tanggal 10 Januari 2012

Pratama Rus Ramdhani, Pengertian Pemerintah daerah, http://matakuliahekonomi.wordpress.com/2011/04/23/pengertian-pemerintah-daerah/, diakses pada tgl 25 Oktober 2012.

Provinsi Aceh, Buku profil Aceh, http://acehprov.go.id/, di Akses Pada 10 Desember 2012

(46)

Serambi, 22 Imum Mukim Abdya Datangi DPRK,

Referensi

Dokumen terkait

Dengan timbulnya isu sebegini, umat Islam seharusnya mengambil langkah pro-aktif dengan menerangkan kepada mereka-mereka yang 'belum faham' ini akan apakah hikmah disebalik

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data yang terdapat dalam pembahasan, maka dapat disimpulkan sebagai berikut: penerapan model pembelajaran kooperatif tipe

Untuk itu data log performa yang ada terlebih dahulu akan dipasangkan dengan data log akses pada kurun waktu yang sama, dan kemudian mengalokasikan metrik yang diperoleh ke

OCB dapat meningkatkan produktifitas tenaga kerja, menghemat sumber daya perusahaan, OCB dapat bekerja secara efektif, dalam mengkoordinasikan kegiatan antar

Memilah sampah Responden memilah sampah yang dihasilkan skor Memanfaatk an sampah Responden memanfaatkan skor.. 14 kembali sampah yang dihasilkan Kesediaan membuang

Dalam konsep perangan hotel kapsul, didesain dari lantai 2 hingga lantai 8 merupakan fungsi hunian, namun untuk memodifikasi hal yang desain monoton, maka desain di buat dengan

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 38 Tahun 2012, tentang Pedoman Penilaian Kinerja Unit Pelayanan Publik (Berita Negara Republik Indonesia

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh kooperasi dan kompetisi secara parsial terhadap kinerja perusahaan, pengaruh kompetisi dan kooperasi