BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Aceh merupakan sebuah provinsi yang terletak di ujung barat wilayah
Republik Indonesia dengan penduduk sebagian besar beragama Islam dan daerah yang memperkuat peraturan Islam atau yang disebut syariat Islam dalam menjalankan
roda pemerintahan, dari kekentalan peradaban masyarakat tersebut khususnya berkaitan dengan agama menjadikan salah satu bukti bahwa Aceh merupakan salah satu daerah sangat unik dan berbeda dengan daerah-daerah lain di Indonesia maupun
di Negara-negara lain di Dunia.
Keunikan tersebut, diantaranya terlihat dari penerapan syariat Islam sebagai
sendi-sendi sosial maupun sendi-sindi politik masyarakat Aceh mulai sejak berdirinya Kerajaan Aceh Islam telah dijadikan sebagai Ideologi Negara, terutama pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, salah satunya adalah bentuk pemerintahannya
yang mengikuti model kerajaan-kerajaan Islam di Timur Tengah. Istilah-istilah lembaga Negara juga banyak diadopsi dari istilah kerajaan Islam di Timut Tengah,
seperti: menteri digelar denganwazir, Kepala Mahkamah Agung dinamakan dengan qadhi maikul adil, mentri keuangan dengan nama wazir dirham, kas Negara dinamakan dengan baitul mal1. Dalam Qanun Al-asyi (Qanun Syarak Kerajaan Aceh)
1
ditetapkan bahwa dasar ideologi kerajaan Aceh adalah Islam dengan sumber hukumnya adalah: Al-qur’an (firman Allah); Al-Hadits;Ijma’ulama danQiyas2.
Disisi lain Aceh juga unik dalam hal tata pebagian kekuasaan, hal itu dapat dilihat dari susunan pemerintahan wilayah kerjaan Aceh dibagi atas: Gampong dekepalai oleh (Geuchik/Keuchik), Mukim (Imuem Mukim),Nanggroe(Ulee balang), Sagoe (Panglima Sagoe), dan Kerajaan (Sultan).3 Kemudian potret keunikan Aceh juga terjadi awal kemerdekaan Indonesia, dimana Aceh berhasil berperan menjadi
”daerah modal” bagi bangsa Indonesia untuk melanjutkan perjuangan kemerdekaan
karena Aceh adalah satu-satunya wilayah yang tidak dapat dikuasai penjajah, ketika hampir seluruh wilayah Indonesia kembali dikuasai Belanda.
Kemudian juga keunikan Aceh dalam penyumbangan untuk kemajuan bangsa,
dimana pada saat keterpurukan bangsa pasca kemerdekaan, Aceh tidak hanya dapat mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan pertahanan perang, tetapi juga
mampu membelikan dua pesawat jenis dakota dari rakyat Aceh kepada pemerintah RI, yakni Seulawah RI-001 dan Dakota RI-002, ditambah dengan sebuah pesawat jenis Avro Anson RI-004 dari pengusaha-pengusaha Aceh yang dibeli di Thailand4.
2
A. Hasjmy,Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, Jakarta, Beuna, 1983 Hlm.69 atau A. Hasjmy,Sulatan Iskandar Muda Meukuta Alam, Jakarta, Bulan Bintang Hl. 72. Ijma ulama adalah kesepakatan (consensus) para mujtahid kaum muslimin disuatu masa peninggalan Rasulullah SAW. Terahadap suatu hokum syar I mengenai suatu peristiwa. Sedangkan qiyas adalah mempersamakan suatu peristiwa yang belum ada ketentuan kongkrit dalam nash (Al-Qur an dan hadits) dengan suatu peristiwa yang sudah ada ketentuan dalam nash
3
A. Hasjmy,59 Tahun Aceh Merdeka Dibawah Pemerintahan Ratu, Jakarta, Bulan Bintang,1977, Hlm 133-134.
4
Atas dasar keunikan-keunikan tersebut dan balasan jasa atas apa yang telah diberikan Aceh terhadap kedaulatan Indonesia sudah sepantasnya Aceh diberikan
porsi yang lebih besar terhadap pengakuan Negara sebagai daerah yang khusus dan istimewa. Presiden Soekarno sebagai kepala negara datang ke Aceh pernah berjanji
sambil bersumpah. “Wallahi, Billahi,demi Allah, kepada daerah Aceh akan diberikan hak menyusun rumah tangganya sesuai dengan syariat Islam. Disaat yang sama juga Soekarno memuji rakyat Aceh bahwa “rakyat Aceh adalah pahlawan, rakyat Aceh
adalah contoh perjuangan kemerdekaan seluruh rakyat Indonesia”5.
Janji Soekarno tersebut secara garis besar telah mengabulkan dan mengakui
kearifan lokal di Indonesia khususnya bagi pemerintahan Aceh yang didasari oleh keunikan dan jasa-jasa terhadap Negara Indonesia, salah satu pengakuan negara terhadap keunikan-keunikan tersebut adalah dalam penjelasan Pasal 18 UUD 1945
Republik Indonesia akan menghormati kedudukan daerah yang mempunyai hak asal-usul yang bersifat istimewa.
Pengakuan terhadap keistimewaan dan kearifan local melalui UUD 1945, salah satu implikasi kekhususan dan keistimewaan yang dimanfaatkan oleh pemerintah Aceh adalah memperkuat konstruksi dan kedudukan mukim yang
merupakan sebuah tatanan pemerintahan. Peran dan kedudukan Mukim dalam
mengatur masalah prosesi shalat Jum’at dan mengatur masalah-masalah hukum adat
yang terjadi di masyarakat tetap dihormati oleh negara, bahkan Kepala Mukim atau disebut Imeum (Imam) mukim. Imeum Mukim yang bertindak sebagai pemimpin
5
shalat pada setiap hari Jum’at di mesjid dan juga menyelesaikan masalah adat yang
terjadi baik antar gampong maupun antar mukim itu sendiri juga tetap berjalan
ditengah-tengah masyarakat.
Peran dan kedudukan mukim tersendiri tidak berubah ideologi Islam atau
Syari’atdalam struktur pemerintahannya. Paling tidak ada tiga hal yang menunjukkan keberadaan pemerintahan mukim pada masa pra kemerdekaan sebagai lembaga yang berideolagi Islam, yaitu: Pertama, memperhatikan syarat-syarat keagamaan yang harus dipenuhi oleh para pimpinan pada tingkat mukim dan gampong dimana kepala mukim dan juga gampong harus betul-betul memahami Al-Qu’an dan Hadits serta
Ijma’sebagai orang yang dituakan dalam mengatur wilayahnya.
Kedua, dapat dilihat dalam sistem pengelolaan tanah-tanah umum yang belum dimiliki oleh siapapun, yang oleh masyarakat Aceh disebut sebagai tanoh Potallah atau tanah milik Allah6. Dalam hal ini, siapa yang menghidupkan dan mengusahakan tanah mati tersebut, dialah yang berhak atas tanah tersebut, untuk dimiliki atau
dialihkan kepada orang lain, tentu saja setelah syarat-syarat adat terpenuhi. Ketiga, dalam penyelesaian sengketa yang mengedepankan perdamaian melalui musyawarah7.
Sebelum diberlakukannya UU No 5 Tahun 1979 mukim masih memainkan peran penting dalam kehidupan masyarakat Aceh untuk mengatur rumah tangganya
6
J.J.C.H. Van Waardenburg, Pengaruh Terhdap Adat Istiadat, Bahasa dan Kesusastraan Rakyat Aceh, Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, banda Aceh, 1979, Hlm. 38
7
sendiri yang mandiri seperti mengatur masalah adat, masalah kukum dan juga masalah sosial, hal itu juga terlihat dari proses kepercayaannya masyarakat terhadap
keberdaan pemerintahan mukim dalam struktural pemerintahan Aceh.
Adapun hal-hal yang diatur pemerintahan mukim pada masa sebelum
diberlakukannya UU No 05 Tahun 1979 adalah hal berkaitan dengan adat istiadat bila terjadi persengketaan atau perselisihan antara masyarakat atau antar gampong yang tidak dapat dipecahkan oleh gampong maka hal tersebut dilimpahkan ke mukim,
mukim juga ikut mengatur pemanfaatan kawasan bersama berupa padang meurabe (area mengebala), gle (hutan),blang (sawah) atau tanah-tanah yang berada dibawah penguasaan mukimatau juga berada diluar penguasaan gampong, dan juga mengatur masalah yang berkaitan masalah hukum, mukim menjadi tempat penyelesaian berhubungan agama, warisan, pernikahan, pasakh, rujuk, serta mengurus harta umat
(wakaf) yang berada dibawah penguasaan mukim8.
Namun kemerosotan peran dan eksistensi mukim sejak diberlakukan UU No 5
Tahun 1979, dimana pada masa itu keberadaan pemerintahan mukim yang begitu diakui oleh masyarakat Aceh sacara administrasi maupun secara adat, namun dijawantahkan oleh pemerintah pusat dengan menyamaratakan struktur pemerintahan
dari Sabang hingga Marauke. Dalam undang-undang tersebut karakteristik kekhususan dan keitemewaan lokal di Indonesia khususnya Aceh dibiarkan tanpa
dipayungin hokum dan tidak diakui keberadaannya secara legalitas, khususnya
8
terhadap eksistensi keberadaan pemerintahan mukim di Aceh, sehingga tugas dan wewenang pemerintahan mukim menjadi tidak jelas baik secara politis maupun
secara administratif. Masa itu mukim hanya sebagai seremonial di tingkat kecamatan dan kadang-kandang kalau ke kecamatan dititipi surat untuk Geuchikdi wilayahnya9, Hal ini menepisnya keberadaan pemerintahan mukim oleh negara, namum secara sosiologi mukim tetap diakui oleh masyarakat.
Setelah runtuhnya orde baru eksistensi pemerintahan mukim diakui kembali
dengan memperkuat kedudukan mukim atas dasar Undang-undang No 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam pasal 1 ayat 12 mukim adalah kesatuan masyarakat hukum dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas gabungan beberapa gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta
kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah kecamatan/sagoe cut atau nama lain, yang dipimpin oleh Imum Mukim atau nama lain10. Untuk mempertegas dan memperkuat keberadaan pemerintahan mukim secara spesifik pemerintahan Aceh mengeluarkan Qanun No 4 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Mukim Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam secara khusus, agar kedudukan lembaga mukim
tetap menjadi salah satu kebanggaan Aceh yang tidak bisa dipisahkan secara politik maupun sosial.
9
Ibid, Hlm. 69
10
Kekhususan Aceh dalam memperkuat lembaga pemerintahannya sesuai kearifan lokal dipertegaskan lagi melalui Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006
tentang Pemerintahan Aceh diantaranya adalah, diakuinya keberadaan lembaga-lembaga adat Aceh secara resmi. Dalam BAB XV Mukim dan Gampong Bagian
kesatu Pasal 114 jelas disebutkan bahwa: (1). Dalam wilayah kabupaten/kota dibentuk mukim yang terdiri atas beberapa gampong, (2). Mukim dipimpin oleh imeum mukim sebagai penyelenggara tugas dan fungsi mukim yang dibantu oleh
tuha peuet mukim atau nama lain., (3). Imeum mukim dipilih melalui musyawarah mukim untuk masa jabatan 5 (lima) tahun., (4). Ketentuan lebih lanjut mengenai
organisasi, tugas, fungsi, dan kelengkapan mukim diatur dengan qanun kabupaten/kota., (5). Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemilihan imeum mukim diatur dengan Qanun Aceh11.
Lahirnya UU No 11 Tahun 2006 semakin memperkuat kedudukan Otonomi khusus di Aceh yang tidak hanya pada lembaga pemerintahan mukim tetapi juga pada
kontek lain, diantaranya ada pembagian kewenangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah Aceh secara khusus baik dalam sebutan nama maupun dalam pelaksanaan, diantaranya adalah pengakuan negara terhadap kekhususan Aceh yaitu
berhak membentuk lembaga wali nanggroe, melaksanakan Syari’at Islam, memiliki bendera, lambang dan hymne daerah sebagaimana yang dimasud dalam ketentuan
UU No. 11 Tahun 2006.
11
Ada beberapa kekhususan lainnya juga yang sangat berbeda dengan otonomi daerah lain atau yang dsebut dengan desentralisasi Asimetris di Indonesia, antaranya
yang diberikan oleh Pemerintah terhadap Provinsi Aceh sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan UU No. 11 Tahun 2006 antara lain sebagai berikut:
a. Pembagian daerah di Aceh yang dibagi kedalam kabupaten/kota, kecamatan, mukim, kelurahan dan gampong12, mukim merupakan kesatuan masyarakat hukum di bawah kecamatan yang terdiri atas gabungan beberapa gampong.
Sedangkan kelurahan dan gampong adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah mukim13.
b. Rencana persetujuan internasional yang berkaitan langsung dengan Pemerintahan Aceh yang dibuat oleh pemerintah dilakukan dengan konsultasi dan pertimbangan DPRA. Pemerintah Aceh dapat mengadakan kerja sama
dengan lembaga atau badan di luar negeri kecuali yang menjadi kewenangan pemerintah pusat. Dalam naskah kerja sama tersebut dicantumkan frasa
pemerintah Aceh sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
12
Lihat: Pasal 2 UU No. 11 Tahun 2006
13
serta Pemerintah Aceh dapat berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan seni, budaya, dan olah raga internasional14.
c. Penduduk Aceh dapat membentuk partai politik lokal yang memiliki hak antara lain; mengikuti Pemilu daerah untuk memilih anggota DPRA dan
DPRK; mengusulkan pasangan calon gubernur dan wakil gubernur, calon bupati dan wakil bupati, serta calon walikota dan wakil walikota di Aceh15. d. Di Aceh terdapat pengadilan Syari’at Islam yang dilaksanakan oleh sebuah
Mahkamah Syar’iyah, yang terdiri dari Mahkamah Syar’iyah Aceh sebagai
pengadilan tingkat banding dan Mahkamah Syar’iyah kabupaten/kota sebagai
pengadilan tingkat pertama. Mahkamah Syar’iyah berwenang memeriksa,
mengadili, memutus, dan menyelesaikan perkara yang meliputi bidang ahwal al-syakhsiyah (hukum keluarga), muamalah (hukum perdata), dan jinayah
(hukum pidana) yang didasarkan atas syari’at Islam dengan hukum acara yang
ditetapkan berdasarkan Qanun16.
e. Pemerintah Aceh dan Pemerintah kabupaten/kota dapat membentuk lembaga, badan dan/atau komisi dengan persetujuan DPRA/DPRK17. Di Aceh terdapat institusi atau lembaga yang tidak terdapat di daerah-daerah lainnya, seperti
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) yang merupakan mitra kerja
14
Lihat: Pasal 8 ayat (1) UU No. 11 Tahun 2006
15
Lihat: Pasal 75 sampai dengan Pasal 88 UU No. 11 Tahun 2006
16
Lihat: Pasal 128 sampai dengan Pasal 137 UU No. 11Tahun 2006
17
Pemerintah Aceh, kabupaten/kota dan DPRA/DPRK18, Lembaga Wali Nanggroe dan Lembaga Adat19, Pengadilan Hak Asasi Manusia20, Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi21, dan unit Polisi Wilayatul Hisbah sebagai bagiandari Satuan Polisi Pamong Praja, sebagai penegak Syari’at Islam22.
Seiring perkembangannya mulai dari dasar UU, Qanun provinsi hingga terbentuk Qanun kabupaten/kota khususnya mengatur masalah mukim menjadikan fungsi imeum mukim sebagai kepala pemerintahan dari sebuah mukim. Dialah yang
mengkoordinir geuchik-geuchik gampong (kepala-kepala desa). Dengan berubahnya fungsi imeum mukim berubah pula nama panggilannya, yakni kepala mukim dan
tugas dalam penyelenggaraan pemerintahan mukim menjadi semakin terstruktur. Lahirnya UU Pemerintahan Aceh tidak hanya sekedar melahirkan kearifan lokal di Aceh sebagai wujud dari demokrasi dan desentralisasi tetapi juga
memperjelas kewenangan mukim dimata hukum, sehingga keberadaan mukim yang sebelumnya lebih bersifat seremonial dan tidak diakui UU menjadi diakui kembali
secara formal. Hal ini merupakan salah langkah yang tepat bagi pemerintah RI terhadap kekhususan Aceh, dalam hal ini dapat mengatur urusan rumah tangganya sendiri dan wewenang yang sesuai dengan kebutuhan yang diinginkan masyarakat.
Atas landasan Undang-Undang Pemerintahan Aceh, mukim mempunyai tugas dan wewenang tersendiri dalam mengatur rumah tangganya sendiri yang menjadi hak
18
Lihat: Pasal 138 sampai dengan Pasal 140 UU No. 11 Tahun 2006
19
Lihat: Pasal 96 sampai dengan Pasal 99 UU No. 11 Tahun 2006
20
Lihat: Pasal 228 UU No.11 Tahun 2006
21
Lihat: Pasal 229 UU No. 11 Tahun 2006
22
dan kewajibannya untuk menciptakan wilayahnya yang sejahtera dan berkualitas. Disisi lain kewenangan mukim juga dapat menginterfensi geuchik (kepala desa) dalam proses percepatan pembangunan, penyelenggaraan pemerintahan, urusan syariat islam dan juga pembinaan kemasyarakatan yang efektif dan tanggap.
Kemudian pengakuan khususan Aceh melalui UUPA juga dalam kontek mengakui keberadaan pemerintahan gampong sebagai struktur pemerintahan Aceh yang berada dibawah mukim, kontruksi ini juga merupakan wujud dari pengembalian
karakteristik kewilayahan Aceh yang telah terbentuk pada masa kerajaan Aceh atau sejak masa pra kemerdekaan.
Kedudukan gampong juga merupakan bentuk teritorial yang terkecil dari susunan pemerintahan di Aceh, dalam satu gampong terdiri dari kelompok rumah yang letaknya berdekatan satu sama lain. Pimpinan gampong disebut geuchik atau
sering juga disebut keuchik, yang dibantu seseorang yang mahir dalam masalah keagamaan dengan sebutan teungku meunasah, gampong merupakan pemerintah
bawahan dari mukim23.
Geuchik didasarkan pada kenyataan hakiki bahwa dialah yang membela kepentingan dan keinginan warga, baik berhadapan dengan ulèèbalang24 (kepala pemerintahan diatas mukim) dengan mukim maupun dengan gampong-gampong lain. geuchik terkadang tidak hanya menguasai satu gampong saja, namun ada juga yang
23
Rusdi Sufi, dkk., 2002, Adat Istiadat Masyarakat Aceh, Banda Aceh, Dinas Kebudayaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Hlm. 33-39)
24
mengepalai 2 sampai 3 gampong dalam satu jabatan. Jadi dalam pemerintahan di Aceh geuchik bisa dikatakan sebagai yah dan teungku ma (kepala desa sebagai bapak
dan ulama sebagai ibu) dalam pelaksanaan pemerintahan gampong.
Mengenai pemerintahan gampong beserta aparaturnya, dapat dijelaskan lewat
penelusuran berbagai peraturan perundangan-undangan. Dalam Penjelasan Pasal 7 UU No. 44/1999 disebutkan bahwa konsep gampong menurut UU ini adalah sama yang dimaksud dengan desa menurut UU No. 22/1999 bahwa kesamaan fungsi dan
wewenang dalam pelaksanaan urusan pemerintahan maupun dalam urusan administrasi, yang berbeda dalam pemerintahan gampong hanya nama dan ditambah
urusan adat sebagai bagian dari kinerjanya.
Sementara itu, Pasal 1 ayat (13) UU No. 18/2001 menyebutkan bahwa gampong adalah kesatuan masyarakat hukum yang merupakan organisasi
pemerintahan terendah langsung berada di bawah mukim yang menempati wilayah tertentu yang dipimpin oleh geuchik atau nama lain dan berhak menyelenggarakan
rumah tangganya sendiri.
Konsep gampong seperti di atas, terdapat dalam Pasal 1 ayat (6) Qanun No. 5/2003 tentang Pemerintahan Gampong. Sementara dalam Pasal 1 ayat (9) Perda No.
7/2000, yang dimaksudkan dengan gampong adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat yang terendah dan berhak
menyelenggarakan rumah tangganya sendiri.
Penjelasan Pasal 1 ayat 2 Qanun No. 3/2003 disebutkan kedudukan gampong tidak lagi berada di bawah kecamatan, tapi di bawah mukim sebagai salah satu kesatuan
pemerintahan. Hal ini kemudian dipertegas dengan Pasal 2 Qanun No. 4/2003, bahwa mukim membawahi gampong yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada
camat.” Dalam Pasal 5 poin (d) Qanun No. 3/2003, disebutkan bahwa posisi camat berkenaan dengan fungsi pembinaan pemerintahan mukim dan gampong.
Dalam Pasal 39 Qanun No. 3/2003, dengan tegas diatur bahwa kecamatan
yang belum memiliki mukim tapi memiliki gampong, maka perangkat pelaksana di wilayahnya adalah pemerintah gampong. Dari dua skruktur pemerintahan tersebut
antara mukim dan gampong sangat membutuhkan relasi (hubungan) yang baik terhadap proses pelaksanaan pemerintahan daerah dan juga proses penguatan otonomi khusus, paling tidak dua lembaga tersebut dapat memperkuat kelembagaannya
masing-masing sebagai satu kesatuan yang utuh.
Refresentatif dari hal diatas Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat dan
Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh merupakan dua sampel mukim yang mempunyai relasi dengan gampong dengan sistem pemerintahannya tersendiri, refresentatif tersebut terbentuk dari eksistensi Provinsi Aceh untuk terlaksananya pemerintahan
daerah yang lebih baik, namun pada kenyataannya proses pelaksanaan tersebut bukan tanpa kesulitan.
tradisi dan budaya top-down bottom-up, sebagai dua lembaga yang memiliki refresentatif dalam proses pelaksanaan pemerintahan maupun dalam mewujudkan
otonomi khusus di Aceh.
Kedua, aturan pelaksana, di mana belum didukung oleh aturan pelaksana yang mantap dan kompeten, sehingga ini akan menyulitkan proses relasi antara Mukim Meuko dan Mukim Meuraxa dengan gampong dibawah wewenangnya . Ketiga, birokrasi yang masih berbelit-belit. Salah satu implikasi sistem sentralistis yang
hingga sekarang masih dirasakan adalah adanya sistem administrasi yang panjang dan lambat yang dipraktekkan oleh aparatur pemerintahan, sehingga pelaksanaan
pemerintahan di masyarakat menjadi tidak tepat sasaran.
Keempat, kesiapan aparatur pemerintahan mukim dan gampong, masalah yang ke empat ini merupakan masalah yang sangat urgensi yang terjadi di tingkat
pemerintahan Mukim Meuko dan Mukim Meuraxa dengan gampong-gampong dibawahnya, pemahaman tentang tatakelola pemerintahan yang baik (good governance) di tingkat mukim dan tingkat gampong masih sangat rendah, sehingga yang terjadi adalah tidak maksimal suatu sistem pemerintahan yang dijalankan, disisilain kurangnya pemahaman tentang konsep-konsep dalam membuat regulasi
Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti tertarik untuk mengangkat permasalahan tersebut dengan judul “Relasi pemerintahan mukim dengan
gampong dalam pelaksanaan pemerintahan daerah (studi penelitian di Mukim
Meuko Kabupaten Aceh Barat dan Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh)”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan kedalam beberapa hal berikut:
• Bagaimana eksistensi Pemerintahan Mukim dalam tatanan pemerintahan Aceh.?
• Sejauh mana relasi pemerintahan mukim dengan gampong dalam pelaksanaan
pemerintahan daerah?
• Apa saja faktor penghambat relasi mukim dengan gampong?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan umum dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan relasi pemerintahan mukim dengan gampong dalam pelaksanaan pemerintahan daerah.
Adapun tujuan khusus dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
• Mendeskripsikan eksistensi Pemerintahan Mukim dalam tatanan pemerintahan
Aceh dari masa ke masa.
• Untuk mengetahui Sejauh mana relasi pemerintahan mukim dengan gampong
dalam Pelaksanaan Pemerintahan daerah.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian yang membahas tentang “relasi pemerintahan mukim dengan
gampong dalam pelaksanaan pemerintahan daerah (studi penelitian Di Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat dan Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh)”, diharapkan dapat
memberi manfaat tersendiri dalam kontek ini secara umum memiliki tidak lanjud pengembangan sistem pemerintahan mukim di Provinsi Aceh yang tertata dan terstruktur, antara lain.
Pertama, secara teoritis untuk mengembangkan teori dan gagasan pelaksanaan pemerintahan daerah sebagai wujud dari desentralisasi kekuasaan dan
otonomi khusus. Penelitian ini merupakan hasil dari pengetahuan mengenai relasi pemerintahan mukim dengan pemerintahan gampong.Kedua, secara praktis adalah manfaat sebagai rekomendasi, yaitu ilmu pemerintahan baik itu para para biarokrasi
dalam hal konsep pelaksanaan pemerintahan daerah yang dilakukan oleh pemerintahan mukim dan gampong sebuah gagasan yang khas di provinsi Aceh.
Sedangkan manfaat secara khusus, yaitu:
1. Bagi Peneliti
Dengan mengadakan penelitian ini, peneliti berharap dapat menambah
kreativitas, memperbanyak wawasan, pengetahuan, pengalaman serta kesempatan untuk memahami proses pelaksanaan pemerintahan daerah di Mukim Meuko
2. Bagi Pemerintahan Mukim
Penelitian mengenai relasi pemerintahan mukim dengan gampong dalam
pelaksanaan pemerintahan daerah di Mukim Meuko Aceh Barat dan Meuraxa Kota Banda Aceh dapat memberi rekomendasi tersendiri bagi pemerintahan mukim dan
mampu menjadi pendorong serta bahan evaluasi kinerja dalam melaksanakan fungsinya sebagai pelaksana pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan.
3. Bagi Pemerintahan Gampong
Dalam hal ini hasil penelitian juga dapat memberi rekomendasi kepada pemerintahan gampong, dalam mewujudkan good governance dengan relasi yang baik terhadap pemerintahan mukim.
4. Bagi Masyarakat
Penelitian mengenai “relasi pemerintahan mukim dengan gampong dalam
pelaksanaan pemerintahan daerah (studi penelitian di Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat dan Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh)”dapat menambah khasanah wawasan
dan pengetahuan mengenai tata laksana pemerintahan mukim dan gampong dalam pelaksanaan pemerintahan daerah. Diharapakan dengan pemahaman tersebut masyarakat dapat menjadi pendukung terlaksananya pembangunan demi terwujudnya
kesejahtraan masyarakat itu sendiri.
E. Defenisi Konseptual
Untuk memperjelas pariabel dalam penelitian ini, maka diperlukan defenisi
konseptual ini diambil berdasarkan judul penelitian yaitu“relasi pemerintahan mukim dengan gampong dalam pelaksanaan pemerintahan daerah (studi penelitian di Mukim
Meuko Kabupaten Aceh Barat dan Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh)”.
1. Relasi (Hubungan)
Relasi merupakan suatu metode untuk mengetahui tingkat keeratan hubungan dua pihak atau lebih yang digambarkan oleh besarnya pengaruh satu sama lain. Sedangkan dalam kasus ilmiah popular istilah relasi ialah hubungan. Sehingga relasi
bisa didefenisiskan sebagai hubungan dalam melaksanakan sebuah tugas yang sama-sama memiliki peran penting. Adapun konsep hubungan antara pemerintahan
khususnya pemerintah pusat dan daerah adalah hubungan administrasi dan hubungan kewilayahan25.
Dalam kontek pemerintah relasi ini tentu ada yang diperintah dan ada yang
memerintah. Relasi kekuasaan merupakan suatu bentuk hubungan sosial yang menunjukkan hubungan yang tidak setara (asymetric relationship), hal ini disebabkan
dalam kekuasaan terkandung unsur “pemimpin“ (direction) atau apa yang oleh Weber
disebut “pengawas yang mengandung perintah“ (imperative control). Dalam
hubungan dengan unsur inilah hubungan kekuasaan menunjukkan hubungan antara
apa yang oleh Leon Daguit dalam Poelinggomang (2004) dalam Skirpsi Mahasiswa
25
Muhammad Djumhana dalam Telly Sumbu, Hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dalam Kerangka Pengelolaan Keuangan Negara dan Daerah,Jurnal
USU “pemerintah” (gouvernants) dan “yang diperintah” (gouvernes)26. Kemudian berkaitan dengan dominan kekuasaan dalam relasi pemerintahan Antonio Gramsci
juga membedakan kedalam dua konsep "dominasi" dan "hegemoni", di mana dominasi merupakan model penguasaan yang ditopang oleh kekuatan fisik.
Sedangkan hegemoni adalah model penguasaan yang lebih halus, yaitu secara ideologis Gramsci, juga menyebutkan bahwa dua kelas intelektual yang tradisional dan juga organik27.
2. Pemerintahan Daerah
Dalam masyarakat primitif, tingkat pemerintah daerah terendah adalah kepala
desa atau kepala suku. Dalam kontek bangsa moden, pemerintah daerah biasanya memiliki sejenis kekuasaan yang sama seperti pemerintah nasional. Mereka memiliki kekuasaan untuk meningkatkan pajak, meskipun dibatasi oleh undang-undang
pusat28. Pemerintahan daerah menurut pasal 1 huruf d UU No 22 Tahun 1999 diartikan sebagai penyelenggara pemerintahan daerah otonom oleh pemerintah daerah
dan DPRD menurut asas desentralisasi.
Menurut UU No 32 Tahun 2004 dalam pasal 1 angka 2, pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintah daerah dan DPRD menurut asas otonomi
dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam system dan
26
Leon Daguit dalam Poelinggomang (2004) dalam skripsi mahasiswa USU
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/26164/3/Chapter%20II.pdf, Diakses pada 13 Januari 2013
27
Nezar Patria, Antonio Gramsci Negara & Hegemoni, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003, Hlm. 155-157
28
prinsip negara kesatuan RI. Berdasarkan UU No 32 atahun 2004 tentang pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintah oleh pemerintah
daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dan unsur penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah gubernur, bupati atau walikota dan
perangkat daerah.
3. Pemerintahan Mukim
Pemerintah mukim merupakan sebuah lembaga pemerintahan yang ada di
Provinsi Aceh, kedudukannya adalah dibawah kecamatan dan di atas gampong (desa). Dalam Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam No 4 Tahun 2003 dan
juga Qanun Kabupaten Aceh Barat No 3 Tahun 2010 Tentan Pemerintahan Mukim menyebutkan bahwa mukim atau nama lain, adalah kesatuan masyarakat hukum dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang terdiri atas gabungan beberapa
gampong yang mempunyai batas wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri, berkedudukan langsung di bawah Camat atau nama lain yang dipimpin oleh Imeum
Mukim atau nama lain29.
Sedangkan Mukim berkedudukan sebagai unit pemerintahan yang membawahi beberapa Gampong yang berada langsung di bawah dan bertanggung
jawab kepada Camat, sesuai dengan Pasal 2 Qanun Nomor 4 tahun 2003. Dalam Pasal 3 Qanun Nomor 4 tahun 2003 disebutkan bahwa Mukim mempunyai tugas
29
menyelenggarakan pemerintahan, pelaksanaan pembangunan, pembinaan
kemasyarakatan dan peningkatan pelaksanaan Syari’at Islam.
4. Pemerintahan Gampong
Gampong (desa) menurut definisi universal, adalah sebuah aglomerasi
permukiman di area perdesaan (rural). Di Indonesia, istilah desa adalah pembagian wilayah administratif di Indonesia di bawah kecamatan, namun di Aceh desa merupakan struktur pemerintahan di bawah mukim. Menurut Sutardjo Katodikusuma
desa merupakan seuatu kesatuan hukum dimana tempat tinggal suatu masyarakat dengan pemerintahan sendiri30.
Pemerintahan Gampong dan Pemerintahan Desa beserta perangkat dan lembaga adatnya. Namun demikian, dengan dikeluarkannya Qanun Nomor 5 tahun 2003 tentang Pemerintahan Gampong dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam,
paradigma itupun kemudian berubah. Gampong kemudian dilihat sebagai kesatuan masyarakat hukum dan adat dalam struktur kekuasaan terendah dan mempunyai
wilayah kekuasaan sendiri serta memiliki kekayaan atau sumber pendapatan sendiri pula.
Qanun Pemerintah Aceh didefenisikan gampong atau desa merupakan
kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah langsung berada di bawah Mukim atau nama lain yang menempati wilayah tertentu,
yang dipimpin oleh keuchik atau nama lain dan berhak menyelenggarakan urusan
30
Internet ambil pada tanggal 25 november
rumah tangganya sendiri. Dalam Pasal 1 (6) Qanun Nomor 5 tahun 2003 disebutkan :
”Gampong atau nama lain, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai
organisasi pemerintahan terendah langsung berada di bawah Mukim atau nama lain yang menempati wilayah tertentu, yang dipimpin oleh Geuchik atau nama lain dan
berhak menyelenggarakan urusan rumah tangganya sendiri.” Sementara itu dalam
Pasal 10 QanunNomor 5 tahun 2003 disebutkan bahwa pemerintah Gampong terdiri dari Geuchik dan Imeum Meunasah beserta Perangkat Gampong.
Dalam Pasal 11 Qanun Nomor 5 tahun 2003 dijelaskan pula bahwa Geuchik adalah Kepala Badan Eksekutif Gampong dalam penyelenggaraan Pemerintahan
Gampong. Dengan sistem Pemerintahan Gampong, sistem demokrasi dari bawah (bottom-up) benar-benar dapat dilaksanakan. Dalam Pemerintahan Gampong, bidang eksekutif Gampong dilaksanakan oleh Keuchik dan Teungku Imuem Meunasah
dengan urusan yang berbeda. Di gampong, Pimpinan Keagamaan itu adalah Teungku Imuem Meunasah31, namun demikian, dalam Gampong posisi Imuem Meunasah
setara dengan geuchik walau masing-masing memiliki urusan yang berbeda.
F. Defenisi Oprasional
Defenisi oprasional berfungsi untuk data yang dikumpulkan agar peneliti ini mendapatkan sebuah perspektif dalam penelitian dan untuk bisa lebih mendalami.
Berangkat dari pemahaman diatas, maka dapat dipahami bahwa dalam definisi
31
oprasional itu harus menunjuk suatu indikator-indikator serta pengukuran variabelnya, dengan demikian dapat penulis simpulkan bahwa defenisi oprasionalnya:
1. Eksistensi pemerintahan Mukim
2. Relasi pemerintahan Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat dan Mukim Meuraxa
Kota Banda Aceh dengan pemerintahan gampong. a. Relasi dalam penyelenggaraan pemerintahan b. Relasi dalam proses pembangunan
c. Relasi dalam pembinaan kemasyarakatan dan
d. Relasi dalam peningkatan pelaksanaan Syari’at Islam
e. Relasi dalam perlindungan ekologi dan SDA 3. Faktor penghambat relasi mukim dengan gampong
a. Sosialisasi keberadaan lembaga mukim
b. Kejelasan porsi kerja c. Hirarki antara structural
d. Infrastruktur dan suprakstruktur e. Legitimasi masyarakat
G. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini memakai pendekatan kualitatif dengan jenis deskriptif, dengan alasan agar dapat menggali informasi yang mendalam mengenai objek yang akan
berdasarkan fakta-fakta yang ada, sehingga tujuan dari metode deskriptif adalah untuk menggambarkan sauatu masyarakat tertentu atau gambaran tentang gejala
sosial.
2. Sumber Data
Dalam melakukan penelitian data dapat diperoleh melalui berbagai sumber, antara lain: orang yang dianggap mengetahui tentang apa yang diteliti dan dari dokumen-dokumen yang ada, adapun data tersebut dapat diperoleh melalui:
a. Data Primer
Data primer yaitu data yang diperoleh secara langsung dari
sumber-sumber, pihak-pihak yang menjadi objek penelitian ini antara lain data yang langsung dapat dari lapangan. Dalam penelitian yang bejudul “relasi pemerintahan mukim dengan gampong dalam pelaksanaan pemerintahan
daerah (studi penelitian di Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat dan Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh)” adalah gubernur, bupati/walikota,
camat kepala mukim dan geuchik. Dari data-data yang didapatkankan tersebut peneliti dapat membandingkan dengan hasil observasi dan dokumentasi di masyarakat.
b. Data Skunder
Data skunder atau data penunjang disebut sebagai sumber penulis,
mempunyai dan berhubungan dengan penelitian yang berjudul “relasi pemerintahan mukim dengan gampong dalam pelaksanaan pemerintahan
daerah (studi penelitian di Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat dan Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh)”. Yang menjadi data skunder adalah
data hasil observasi dan dokumentasi yang didapat dari kantor mukim dan kantor geuchik serta kantor-kantor pemerintahan di atasnya.
3. Teknik Pengumpulan Data
Berdasarkan jenis data yang akan dikumpulkan maka teknik penelitian yang akan digunakan peneliti adalah berupa studi lapangan (Field Reseach) yang
merupakan suatu cara pengumpulan data yang dilakukan pada lokasi penelitian. Pengumpulan data menurut cara ini dapat dilakukan dengan cara:
a. Observasi
Adapun yang dimaksud dengan cara observasi adalah teknik pengumpulan data dengan cara melakukan pengamatan dan pencatatan
terhadap objek penelitian. Dari metode observasi ini data yang diperoleh adalah keadaan daerah, lingkungan kerja, struktur organisasi, sarana dan prasarana yang dimiliki.
diartikan lebih sempit, yaitu pengamatan dengan menggunakan indera penglihatan yang berarti tidak mengajukan pertanyaan-pertanyaan32.
Dengan melakukan observasi peneliti mangamati secara langsung keadaan, kondisi, situasi, kegiatan dan proses relasi pelaksanaan
pemerintahan mukim dan gampong. b. Interview
Interview adalah cara pengumpulan data dengan jalan bertanya jawab
secara langsung dengan pihak yang berkaitan lansung dipemerintahan mukim dan juga pemerintahan gampong dalam hal relasi dalam pelaksanaan
pemerintahan lokal. Adapun dalam hal tersebut peneliti mencoba menanyakan proses pelaksanaan dari regulasi yang telah diamanatkan dalam Qanun pemerintah provinsi Aceh dan juga proses tindak lanjud mulai dari
tingkat provinsi hingga tingkat kabupaten/kota terhadap Qanun tersebut. Interview dalam hal ini dibedakan dalam dua subjek, yaitu:
pemerintahan mukim dengan pemerintahan gampong sebagai actor pelaksanaan pemerintahan dan masyarakat sebagai konsumennya, disisi lain juga pemerintahan diatasnya baik itu camat, bupati atau walikota dan juga
gubernur sebagai aktor-aktor pengawasan. c. Dokumentasi
Teknik ini dilaksanakan dengan melakukan pencatatan terhadap berbagai dokumen-dokumen resmi, laporan-laporan, peraturan-peraturan,
32
maupun arsip-arsip yang tersedia dengan tujuan untuk mendapatkan bahan-bahan yang menunjang secara teoritis terhadap topik penelitian. Adapun data
yang akan dicarikan dalam penelitian ini adalah Qanun tentang pemerintahan mukim tingkat provinsi dan juga kabupaten atau kota, peraturan gubernur,
peraturan bupati atau peraturan walikota, dan juga data-data lain yang mendukung hasil temuan penelitian.
4. Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah benda, hal, atau orang tempat variable penelitian melekat, oleh karena itu subjek adalah seseorang atau sebih yang dipilih dengan
sengaja sebagai narasumber data yang dikumpulkan, karena dianggap menguasai bidang yang berhubungan dengan sasaran penelitian.
Subjek yang dijadikan narasumber dalam penelitian ini adalah:
a. Gubernur b. Bupati/Walikota
c. Camat
d. Kepala Mukim. e. Geuchik Gampong.
f. Tokoh Masyarakat dan Masyarakat.
5. Lokasi Penelitian
Banda Aceh)”. Sedangkan tempat yang dijadikan lokasi penelitian oleh penulis adalah Instansi-instansi pemerintahan mulai dari kantor gubernur, kantor bupati atau
walikota, kantor camat se Aceh pada umumnya dan khusunya pada dua di kantor mukim, yaitu di Kantor Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat dan Kantor Mukim
Meuraxa Kota Banda Aceh.
6. Analisa Data
Teknik analisa data adalah proses mengatur urutan data, pengorganisasian
kedalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema yang dirumuskan. Data yang tekumpul terdiri catatan lapangan , interview, gambar,
foto, dan dokumen berupa laporan, biografi, artikel, kemudian direduksi dan diolah untuk memperoleh kesimpulan informasi tersebut. Proses analisa dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber yang kemudian dilakukan
reduksi data (memformulasikan teori kedalam seperangkat konsep) yang dilakukan dengan membuat rangkuman inti dalam penelitian33.
Analisa data dapat diartikan sebagai proses pengorganisasian dan pengurutan data yang diperoleh secara sistematis baik untuk manafsirkan dan menginterpretasikan data-data yang dapat dari penelitian. Proses analisa data ini
dimulai dengan menelaah data yang tersedia dari berbagai sumber data baik data primer maupun data skunder. Dalam hal ini peneliti menggunakan analisa kualitatif
dengan jenis deskriptif dimana lebih menitikberatkan pada penggambaran dan penguraian objek yang nanntinya akan menghasilkan kesimpulan.
33
RELASI PEMERINTAHAN MUKIM DENGAN GAMPONG DALAM
PELAKSANAAN PEMERINTAHAN DAERAH
(Studi Penelitian di Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat dan Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang
Sebagai Persyaratan Untuk Mendapatkan Gelar Sarjana (S-1)
Oleh:
AFRIZAL WOYLA SAPUTRA ZAINI
09230032
JURUSAN ILMU PEMERINTAHAN
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
LEMBAR PENGESAHAN
Telah Dipertahankan Dihadapan Sidang Dewan Penguji Skripsi
Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Malang Pada:
Hari : Sabtu
Tanggal : 19 Januari 2013/7 Rabiul Awal 1434 H Jam : 10.30 WIB
Tempat : Jurusan Ilmu Pemerintahan
Dewan Penguji
1. Dr. Asep Nurjaman., M.Si : ...
2. Dr. Tri Sulistyaningsih., M.Si : ...
3. Drs. Jainuri., M.Si : ...
4. Drs. Juli Astutik., M.Si : ...
Mengesahkan Dekan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang
LEMBAR PERSETUJUAN
Nama : Afrizal Woyla Saputra Zaini Nim : 09230032
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan : Ilmu Pemerintahan
Judul : Relasi Pemerintahan Mukim Dengan Gampong Dalam Pelaksanaan Pemerintahan Daerah (Studi Penelitian Di Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat dan Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh).
Disetujui Untuk Diuji Dihadapan Sidang Dewan Penguji Skripsi
Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Malang
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Drs. Jainuri, M.Si Dra. Juli Astutik, M.Si
Mengetahui,
Dekan FISIP UMM Kajur Ilmu Pemerintahan
SURAT PERNYATAAN
Nama : Afrizal Woyla Saputra Zaini Tempat, Tanggal Lahir : Seuradek, 29 Juli 1990
NIM : 09230032
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Jurusan : Ilmu Pemerintahan
Menyatakan bahwa Karya Ilmiah/ Skripsi saya yang berjudul:
Relasi Pemerintahan Mukim Dengan Gampong Dalam Pelaksanaan Pemerintahan Daerah (Studi Penelitian Di Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat dan Mukim
Meuraxa Kota Banda Aceh).
Adalah bukan karya tulis orang lain, baik sacara sebagian maupun secara keseluruhan. Kecuali dalam bentuk kutipan yang telah saya sebutkan sumbernya.
Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila pernyataan ini tidak benar, saya bersedia mendapatkan sanksi akademik sebagaimana berlaku.
Malang, 29 Januari 2013 Yang Menyatakan
BERITA ACARA BIMBINGAN
Nama : Afrizal Woyla Saputra Zaini Nim : 09230032
Fakultas : Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jurusan : Ilmu Pemerintahan
Judul : Relasi Pemerintahan Mukim Dengan Gampong Dalam Pelaksanaan Pemerintahan Daerah (Studi Penelitian Di Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat dan Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh).
Pembimbing : 1. Drs. Jainuri., M.si 2. Dra. Juli Astutik., M.Si
Pembimbing II Keterangan Bimbingan
18/09/2012 Pengajuan Proposal
21/09/2012 ACC Seminar Proposal
12/10/2012 Pengajuan BAB II
19/10/2012 ACC BAB II
27/10/2012 Pengajuan BAB III
24/12/2012 ACC BAB III
24/12/2012 Pengajuan BAB IV
05/01/2013 ACC BAB IV
05/01/2013 Pengajuan BAB V
09/01/2013 ACC BAB V
14/01/2013 ACC Sidang Akhir
Tanggal Selesainya Bimbingan Skripsi Senin 14 Januari 2012
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Drs. Jainuri., M.Si Dra. Juli Astutik., M.Si
Mengetahui,
Ketua Jurusan Ilmu Pemerintahan
LEMBAR PERSETUJUAN... I LEMBAR PENGESAHAN ... II LEMBAR PERSEMBAHAN ... III LEMBAR BERITA ACARA BIMBINGAN ... IV LEMBAR PERNYATAAN ... VI DAFTAR ISI ... VII DAFTAR TABEL ... IX DAFTAR GAMBAR ... X KATA PENGANTAR ... XI ABSTRAKSI VERSI INDONESIA ... XII ABSTRAKSI VERSI INGGRIS ... XIII
BAB I PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 15
C. Tujuan Penelitian ... 15
D. Manfaat Penelitian ... 16
1. Bagi Peneliti ... 16
2. Bagi Pemerintah Mukim ... 17
3. Bagi Pemerintah Gampong ... 17
4. Bagi Masyarakat... 17
E. Defenisi Konseptual ... 17
1. Relasi (Hubungan) ... 18
2. Pemerintah Daerah ... 19
3. Pemerintah Mukim ... 20
4. Pemerintah Gampong ... 21
F. Defenisi Oprasional ... 22
1. Eksistensi Mukim ... 23
2. Relasi Pemerintahan Mukim dengan Gampong ... 23
G. Metode Penelitian... 23
1. Jenis Penelitian ... 23
2. Sember Data ... 24
a. Data Primer ... 24
b. Data Skunder ... 24
3. Teknik Pengumpulan Data ... 25
a. Observas ... 25
b. Interview ... 26
c. Dokumentasi ... 26
4. Subjek Penelitian ... 27
5. Lokasi Penelitian ... 27
6. Analisa Data ... 28
BAB II TINJAUAN TEORI ... A. Hubungan Pemerintah Daerah ... 29
B. Desentralisasi ... 34
C. Otonomi Khusus ... 39
D. Desentralisasi Asimetris ... 41
a. Model Desentralisasi Asimetris Penuh ... 43
b. Model Asimetris Berbasis Kategori Kemajuan Sosial Ekonomi ... 43
c. Model Kombinasian. Antara Otonomi Khusus dan Otonomi Reguler ... 44
E. Negara dan Desentralisasi Asimestris ... 45
F. Konsep Dasar Mukim... 47
G. Mukim Sebagai Masyarakat Hukum Adat ... 50
H. Mukim Sebagai Pemerintahan Resmi ... 53
I. Hubungan Pemerintah Mukim dan Gampong ... 55
B. Iklim Aceh ... 58
C. Demografi Aceh ... 59
D. Seni dan Budaya Aceh ... 61
1. Sastra ... 62
2. Senjata Tradisional ... 62
3. Rumah Tradisional ... 62
4. Tarian ... 63
E. Perekononian Aceh ... 63
F. Pemerintahan Aceh ... 64
G. Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh ... 65
1. Pemerintahan Mukim ... 67
2. Kebijakan Strategis Pembangunan Mukim ... 68
3. Tujuan Mukim ... 69
4. Landasan Hukum ... 69
5. Visi-Misi ... 69
6. Poko-Pokok Kebijakan ... 70
7. Perekonomian ... 70
H. Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat ... 70
BAB IV PEMBAHASAN/ISI ... A. Eksistensi Pemerintahan Mukim Dari Masa Kemasa ... 73
1. Mukim Pada Masa Kerajaan ... 73
2. Mukim Pada Masa Penjajahan ... 78
3. Mukim PadaMasa Pra Kemerdekaan ... 80
a. Sebelum Orde Baru ... 80
b. Masa Orde Baru ... 80
c. Pra Orde Baru ... 81
4. Struktur & Tugas Lembaga Adat Mukim ... 86
B. Relasi Pemerintahan Mukim Dengan Gampong ... 88
2. Pemerintahan Mukim dan Gampong Dalam Proses
Pembangunan ... 99
a. Perumusan APBM ... 100
b. Pelaksaan Pembangunan ... 102
3. Pembinaan Kemasyarakatan ... 105
a. Pendidikan ... 105
b. Pembinaan Ketentraman dan Ketertiban ... 108
c. Olah Raga dan Kesenian ... 110
d. Peningkatan Pelaksanaan Syari’at Islam ... 111
e. Perlindungan Ekologi dan SDA ... 112
C. Faktor Penghambat Relasi Mukim Dengan Gampong ... 113
1. Sosialisasi Keberadaan Lembaga Mukim ... 113
2. Porsi Kerja ... 114
3. Hirarki Antara Struktural ... 116
4. Infrastruktur dan Suprakstruktur ... 117
5. Legitimasi Masyarakat ... 119
BAB V PENUTUP ... A. Kesimpulan ... 123
B. Kritik dan Saran ... 124
DAFTAR PUSTAKA ... 126
DAFTAR TABEL
1. Tabel C 1: Demografi Penduduk Aceh
2. Tabel F 1: Perbedaan Antara Mukim Meuraxa Dan Mukim Meuko
3. Tabel G I: Nama Gampong dan Nama Geuchik di Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh.
4. Tabel G II: Luas wilayah Mikim Meuraxa dan jumlah penduduk per Gampong 5. Tabel 1 I: Nama-Nama Tuha Peut Mukim Meuraxa Kota Banda Aceh
6. Tabel H I: Nama Gampong dan Nama Geuchik di Mukim Meuko Kabupaten
Aceh Barat Aceh.
7. Tabel H II: Luas wilayah Mukim Meuko dan jumlah penduduk per Gampong
8. Tabel H III: Nama-Nama Tuha Peut Mukim Meuko Kabupaten Aceh Barat 9. Tabel A.1 Kedudukan Mukim Dari Masa ke Masa
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar a.I Asosiasi Mukim pada Pertemuan di Balai Persatuan Mukim se Aceh Besar 29 Agustus 2012
2. Gambar a.II Pola Pemerintahan Mukim dan Pemerintahan Gampong 3. Gambar 2.1 Proses Politik (regulasi kebijakan)
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang dan atas segala limpahan rahmat, taufik, serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sesuai dengan waktu yang telah direncanakan. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan alam Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga dan shabatnya yang selalu setia membantu perjuangan beliau dalam menegakkan agama Allah di muka bumi ini.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menyadari banyak pihak yang telah memberikankan kontribusi baik secara moril maupun materil. Oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang tak terhingga kepada:
- Dr. Muhadjir Effendy., M.A.P selaku Rekotor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).
- Dr. Wahyudi., M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP-UMM)
- Dr. Tri Sulistyaningsih., M.Si selaku Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan FISIP-UMM
- Drs. Jainuri., M.Si selaku pembimbing I, beserta Drs. Juli Astutik., M.Si selaku pembimbing II.
- Gubernur Aceh, Bupati Aceh Barat, Walikota Banda Aceh, Camat Pantoen Reu, Camat Meuraxa, Mukim Meuko, Mukim Meuraxa, para Geuchik Gampong, dan tokoh-tokoh masyarakat Aceh yang telah bersedia membantu dan memberikan informasi dan data-data yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini.
- Kelurga Besar Djambi Daud dan Usman Daud yang selalu memberi dorongan dan motifasi penulis baik materil maupun moril.
- Secara Khusus penulis ingin mendo’akan kepada Ayahanda almarhum Zaini Djambi semoga senantiasa dalam lindungan Alla, dan secara khusus juga ingin penulissanjungkan untuk Ibunda tercinta Mariyah, beserta Kakanda
Zulkifli Zaini, Muhammad Nasir Zaini, Rustam Zaini, Anwar Zaini,
Ruslan Zaini, Irwan, Yusnidar yang tidak pernah lelah memotivasikan dan mendukung satiap aktifitas penulis sejak awal hingga menyelesaikan skripsi ini. Keringat dan didikasihnya penulis tidak mampu membalas semua itu.
Skripsi ini masih banyak kekurangan-kekurangan, maka saran dan kritikan yang konstruktif dari semua pihak sangat diharapkan demi kesempurnaan selanjutnya. Kekurangan-kekurangan tersebut penulis sadari bahwa murni kesalahan penulis, sedangkan kesempurnaan hanyalah milik Allah, akhir kata hanya kepada Allah SWT penulis serahkan dan memohon ampu atas kehilafan baik dalam penulisa maupun dalam penelitian dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, khususnya bagi peneliti sendiri dan bagi pembaca secara umumnya, dan juga semoga Allah SWT meridhai dan mencatat amalan sebagai ilmu yang bermanfaat. Amin….!
Malang, 14 Februari 2013 Penulis,
DAFTAR PUSTAKA
A.Hasjmy, Kebudayaan Aceh Dalam Sejarah, Jakarta, Beuna, 1983.
________, 59 Tahun Aceh Merdeka Dibawah Pemerintahan Ratu, Jakarta, Bulan Bintang,1977.
_________, Sistem Kesatuan Hidup Setempat Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Daerah Istimewa Aceh, 1980.
Azyumardi Azra, Jaringan Ulama Timur Tengah Dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII, Bandung, Mizan 1994.
Biro Pemerintahan Provinsi Aceh, Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Pemerintahan Mukim Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Biro Pemerintahan,Banda Aceh, 2004.
C.F. Strong, Modern Political Constitutions, English Language Book Society and Sidgwick & Jackson Limited, London, 1966.
Hakim Nyakpha dan Rusdi Sufi, Adat Budaya Aceh, Banad Aceh, Badan Kajian Nilai Sejarah dan Nilai Tradisional, Banda Aceh, 2000.
H.M. Zainuddin, Tarich Atheh dan Nusantara, Pustaka Iskandar Muda, Medan, 1961.
H.M. Thamrin, Aceh Melawan Penjajahan Belanda, Wahana, Banda Aceh, 2004.
Ibrahim Alfian, DKK, Sejarah Revolusi Kemerdekaan (1945-1949) Daerah Provinsi Istimewa Aceh, Pusat Penelitian Sejarah dan Budaya Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Banda Aceh, 1979.
Ismail Suny, Bunga Rampai Tentang Aceh, Bharata Karya Aksara, Jakarta, 1980.
J.J.C.H. Van Waardenburg, Pengaruh Terhdap Adat Istiadat, Bahasa dan Kesusastraan Rakyat Aceh, Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, Banda Aceh, 1979.
Koswara E, Teori Pemerintahan Daerah, Institut Ilmu Pemerintahan Press, Jakarta, 2001.
Koswara E, Otonomi Daerah untuk Daerah dan Kemandirian Rakyat, Candi Cipta Piramida, Jakarta, 2002.
Laski, H, A Grammar of Politics, London, Allen & Unwin, 1931.
Maddick, Henry, Democracy, Decentralization and Development, London, Asia Publisihing House, 1963.
Mahdi Syahbandir, Eksistensi dan Peranan Imuem Mukim dalam Pelaksanaan Pemerintahan Desa di Kabupaten Tingkat II Aceh Besar, Tesis Program Pascasarjana UNPAD, Bandung, 1995.
Maleong, Lexey., 2005, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung, Remaja Rosdakaria.
Mas,ud Said, Arah Baru Otonomi Daerah Di Indonesia, Malang, UMM Press, 2008.
Muhammad Said, Aceh Sepanjang Abad, Waspada, Medan, 1981.
Muhammad Djumhana dalam Telly Sumbu, Hubungan Pemerintah Pusat dengan Pemerintah Daerah dalam Kerangka Pengelolaan Keuangan Negara dan Daerah, Jurnal Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi Manado,No 4 Vol. 17 Oktober 2010
Nezar Patria, Antonio Gramsci Negara & Hegemoni, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2003.
Rusdi Sufi, dkk, Adat Istiadat Masyarakat Aceh, Banda Aceh, Dinas Kebudayaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, 2002.
Sanusi M. Syarif, Gampong dan Mukim di Aceh Menuju Rekonstruksi Pasca Tsunami, Pustaka Latin, Bogor, 2005.
S.M. Amin, Kenang-Kenangan dari Masa Lampau, Pradya Paramita, Jakarta, 1978.
Smith, B.C, Decentralization The Territorial Dimension of The State, London, Asia Publishing House, 1985.
Snouck Hugronje, Aceh Dimata Kolonialis, Yayasan Soko Guru, Jakarta1985.
Sulaiman Tripa, Meunasah Di Gampong Kamoe, Lampena, Banda Aceh, 2006.
Soehartono, Irawan, Metode Penelitian Sosial, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2008.
Taqwaddin, Penguasaan Hutan Adat oleh Masyarakat Hukum Adat (Mukim) di Provinsi Aceh, Disertasi untuk Program Doktor Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, 2009.
Teuku Djuned, dkk, Pemerintahan Mukim Masa Kini, Laporan Penelitian, Pusat Studi Hukum Adat Universitas Syiah Kuala, Darussalam, Banda Aceh, 2003.
Tri Ratnawati, DKK, Persepsi Lokal dan Prospek Implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh: Aspek Kewenangan Pemda dan Keuangan Daerah, LIPI, Jakarta, 2007.
Pratikno, dkk, Desentralisasi Asimetris di Indonesia: Praktek dan Proyeksi, Jurusan Politik dan Pemerintahan, Hasil Penelitian, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 2010.
Usman, Rani. Sejarah Peradapan Aceh, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2003.
Zen Zanibar, Otonomi Desa Dengan Acuan Khusus Pada Desa di Propinsi Sumatera Selatan, Disertasi UI, Jakarta, 2003.
Undang-undang No 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
Aceh touris Magency, http://acehtourismagency.blogspot.com/2012/08/ri-001-seulawah-pesawat-angkut-pertama.html, Agustus 2012
Qanun No 04 Tahun 2003 Tentang Pemerintahan Mukim Dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Qanun Kabupaten Aceh Barat Tahun 2010 Tentang Pemerintahan Mukim
Pokok-Poko Penbicaraan Dalam Hasil Rapat Pada Penutupan Rapat Koordinasi Pemerintahan Mukim Se Aceh Tahun 2012, Banda Aceh
Balee Mukim, Rakor Pemerintahan Mukim Se-Aceh Tahun 2011,
http://baleemukim.blogspot.com/2011/12/rakor-pemerintahan-mukim-se-aceh-tahun.html, Diakses Pada 27 Agustus 2012
Mas’ud Said, Perlu Desentralisasi Asimetris,
http://www.profmmasudsaid.com/news-desentralisasi-asimetris.html, diakses pada tanggal 10 Januari 2012
Pratama Rus Ramdhani, Pengertian Pemerintah daerah, http://matakuliahekonomi.wordpress.com/2011/04/23/pengertian-pemerintah-daerah/, diakses pada tgl 25 Oktober 2012.
Provinsi Aceh, Buku profil Aceh, http://acehprov.go.id/, di Akses Pada 10 Desember 2012
Serambi, 22 Imum Mukim Abdya Datangi DPRK,