• Tidak ada hasil yang ditemukan

Medan Metropolis Dampak Akumulasi Kapital Dalam Pembangunan Kota Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Medan Metropolis Dampak Akumulasi Kapital Dalam Pembangunan Kota Medan"

Copied!
7
0
0

Teks penuh

(1)

MEDAN METROPOLIS

Dampak Akumulasi Kapital Dalam Pembangunan Kota Medan

Evi Novida Ginting

Abstract: The Preparation Medan to be the metropolitant city has been developed. The problem is the implication of space and reorganization of domestic and transnational production not only influence the appearace of industrial areas, but also support producing the offices, housing, recraetion spaces, etc. Besides, it also creates the bad and wild housing areas which are built by the poor migrant that work as the labours in the companies or factories, and also it creates the informal sectors which can be known by the appearance of simple stalls, pushing stalls and the bad torns tents beside the roads and the other public spaces. The public spaces has been the battle of economic space and sometimes it becomes a bloody field. Therefore, the capital accumulation process in Indonesia actually creates the dualistic world. It is like A Tale of Two Cities by Charles Dickens, The implication of such capital accumulation immediately creates the contrast and contradictive city lanscape between formal and informal, rich area vs poor area, modern mall vs traditional market and even we often find the ethnic segregation which express the urban apartheid. Such segregated, dualistic, and contradictive urban/city basically keep the uncomfortability, clash, mistrust and un-security.

Key Word : Capital Acumulation, Development

PENDAHULUAN

Ada banyak pertanyaan yang bisa diajukan untuk membandingkan antara kota dan desa. Mengapa pada umumnya manusia lebih senang tinggal di kota daripada di desa. Mengapa desa berkembang menjadi kota dan tidak sebaliknya kota menjadi desa? Kota menawarkan berbagai ragam potensi untuk mengakumulasi aset sosial, ekonomi, dan fisik. Kota berpotensi memberikan kondisi kehidupan yang sehat dan aman, gaya hidup yang lebih berbudaya dan menyenangkan, dengan konsumsi energi dan sumber daya yang lebih rendah. Kota juga representasi dari kehidupan di mana kerja lebih terorganisir dan terjadwal, di mana pilihan kerja dan pengembangan diri lebih terbuka dan bervariasi. Kota memang menyodorkan banyak masalah, namun ia juga menyediakan lebih banyak ide dan solusi. Ia adalah tempat menyemai pengetahuan, mengeksploitasi penemuan di mana inovator dapat belajar langsung dari pesaingnya.

Dalam konteks ekonomi, Olson ("Urban Metabolism and Morphogenesis",

Urban Geography 3.2, 1982) menulis, "Bahkan sebelum era keemasan kapitalisme, hampir semua kota di dunia tumbuh karena akumulasi kapital. Kota berfungsi bagaikan sel, pelabuhan, distrik perbankan, pabrik, dan kawasan pinggiran adalah organ atau tenunan khusus dan kapital-entah dalam bentuk uang atau aset terbangun-adalah energi yang mengalir melalui sistem kota".

(2)

penyediaan air, koleksi dam pembuangan limbah, listrik, telekomunikasi, kesehatan dan pendidikan, dan lainnya). Kepadatan penduduk yang tinggi berarti pula semakin padatnya jaringan-jaringan sosial yang memungkinkan warga berinisiatif dan bekerja sama secara lebih efektif.

Sejak revolusi industri, urbanisasi di dunia memang bergerak semakin pesat. Namun, pada tahun 1930-an, masyarakat industri di Eropa dan Amerika Utara mulai mengalami de-industrialisasi. Industri manufaktur di jantung kota mulai banyak yang berguguran. Sebaliknya, produk industri mulai bermunculan di pedesaan. Bagaimana dengan evolusi kota-kota di Indonesia yang kondisi historisnya sangat beragam?

PEMBAHASAN

Evolusi Kota-Kota di Indonesia

Meminjam kategorisasi Peter Hall (1980) di Eropa, saya berpendapat bahwa kota-kota di kepulauan Indonesia pada dasarnya masih berevolusi pada tahapan: pertama, Sentralisasi, yang ditandai dengan lahirnya industrialisasi di mana penduduk kota bertambah, namun populasi wilayah di sekitarnya pada umumnya menurun. Kedua, Sebagian kota sedang mengalami industrialisasi di mana secara proporsional populasi penduduk kota meningkat pesat. Ketiga, Sentralisasi relatif, di mana kota-kota mulai berkembang melampaui batas administratif dan mulai mengembangkan sub-urban. Sebaliknya, masih jarang kita jumpai proses yang sebaliknya, yakni desentralisasi. Keempat, desentralisasi relatif, di mana sub-urban mulai tumbuh lebih cepat dibandingkan pusat kota. Kelima, desentralisasi absolut, di mana penduduk mulai ke luar dari kota, dan pusat kota mulai berubah fungsi menjadi perkantoran dan komersial. Kecuali kota-kota sejenis eks pertambangan, hampir tidak bisa kita jumpai adanya. Keenam, kota yang sekarat di mana penduduk bergerak meninggalkan kota pindah ke pedesaan.

Proses sentralisasi perkotaan di Indonesia dibarengi pula dengan dengan

(3)

Untuk menunjang percepatan akumulasi kapital, ideologi pembangunan perkotaan haruslah privatisme (bedakan dengan privatisasi). Bila di bidang perberasan negara mengontrol harga melalui Bulog, maka di bidang pembangunan kota dan permukiman negara mengontrol suplai ruang melalui ideologi ekonomi neoklasik di mana pasar dipersepsi sebagai teknikal, netral dan impersonal, dengan fokus memfasilitasi akumulasi kapital swasta.

Dinamika akumulasi kapital pada pembangunan perkotaan juga semakin memanas dengan adanya NIDL atau The New International Division of Labour pada skala global. Tumbuhnya kawasan industrial baru di Indonesia (terutama pada era Orde Baru) bisa dijelaskan melalui tesis tersebut yang mencoba melihat pengembangan dan pembagian ruang berdasarkan pasar tenaga kerja (Frobel, et.al., 1977). Dalam pemahaman NIDL, ruang global mengalami perubahan struktural akibat dari internasionalisasi ekonomi kapitalisme mutakhir.

Perusahaan transnasional dan multinasional dapat mengeksploitasi perbedaan ruang melalui pasar tenaga kerja sehubungan dengan munculnya perubahan pembagian tenaga kerja secara teknis dalam sektor industri tertentu. Dan kapital bergerak menuju/ merelokasi diri dari Dunia Pertama ke Dunia Ketiga karena tesedianya tenaga "setengah pengangguran dan tidak terampil", upah buruh yang murah, rezim politik yang otoriter, kondisi kerja yang boleh jelek, organisasi buruh yang lemah... dan seterusnya... yang bagi kapital adalah selalu menarik untuk dieksploitasi dalam skala global. Siapa yang menikmati situasi NIDL ini? Investor asing dan investor domestik.

Implikasi keruangan dari reorganisasi produksi domestik dan transnasional seperti di atas tidak hanya mempengaruhi munculnya kawasan-kawasan industri, ia juga mendorong produksi ruang perkantoran, perumahan, rekreasi, dan lain sebagainya. Di sisi lain, ia juga merangsang pertumbuhan permukiman kumuh dan permukiman liar yang dibangun oleh kaum migran miskin yang bekerja sebagai

buruh-buruh perusahaan dan pabrik, dan sering dengannya tumbuh pula berbagai jasa sektor informal yang ditandai dengan munculnya warung, kereta dorong dan tenda-tenda reyot yang berceceran di jalan-jalan dan ruang publik (bayangkan yang terjadi di Jakarta dan Pulau Batam). Ruang publik lantas menjadi medan pertempuran ruang ekonomi (the battle of economic space) yang terkadang berdarah-darah.

Dengan demikian, proses akumulasi kapital di Indonesia sebenarnya menciptakan dunia yang dualistik. Bagaikan cerita A Tale of Two Cities-nya Charles Dickens, implikasi akumulasi kapital macam ini dengan segera menciptakan lanskap kota yang sangat mencolok menyajikan kontradiksi antara ekonomi formal vs informal, kawasan kaya vs kawasan miskin, mal modern vs pasar tradisional kumuh bahkan dapat pula kita jumpai segregasi etnik yang mengekspresikan urban apartheid. Kota yang segregated, dualistik, dan kontradiktif semacam ini pada dasarnya selalu menyimpan keresahan, ketegangan, ketidakpercayaan dan ketidak-amanan di mana implikasinya akan diulas lebih lanjut dalam tulisan ini.

Perlu kita wacanakan di sini bahwa aktor pembangunan kota dan permukiman di Indonesia ternyata tidak terbatas pada urban founders yang profesional, namun juga para "amatir" yang meloncat dari bisnis inti mereka ke real estat. Mereka-yang sesungguhnya adalah pengusaha perbankan, garmen, perikanan, minyak, dan lain-lainnya-ikut membuat pembangunan kota menjadi semakin hiruk pikuk dan panas, yang kita ketahui pada akhirnya justru ikut memperburuk krisis ekonomi Indonesia. Pertanyaannya adalah, mengapa mereka menerjuni bisnis properti?

Lahan sebagai komoditas

(4)

Society 6) pada prinsipnya mengembangkan analisa Karl Marx tentang akumulasi kapital dan menarik implikasinya ke dalam struktur kota dengan fokus pada pengembangan properti. Dalam masyarakat kapitalis, tanah adalah komoditas yang sepenuhnya dapat diperjualbelikan. Berbeda dengan komoditas manufaktur yang dipahami Marx, lahan adalah sebuah komoditas yang secara keruangan berlokasi pasti dan tidak bisa dipindahkan secara fisik. Ia sangat diperlukan manusia, dan aset di atasnya bisa dibangun, bisa diperbarui dan bisa pula dihancurkan. Namun, tidak seperti makanan yang habis bila ditelan, atau pakaian yang akan segera rusak bila terus-menerus dipakai, bangunan bisa dimanfaatkan dalam waktu yang relatif sangat lama. Di samping itu, ia sering kali juga memerlukan investasi yang besar dengan amortisasi yang lama pula.

Oleh karena itu, Harvey dalam The Limit of Capital (Oxford, Basil and Blackwell, 1982) menegaskan bahwa dalam ekonomi kapitalisme, properti adalah bagian terpenting dan juga sangat menentukan, sebab ia terjerat dalam bentuk lingkungan terbangun. Dan ia adalah bagian dari sebuah rangkaian sirkuit akumulasi kapital. Sirkuit yang pertama adalah produksi komoditas manufaktur seperti yang dibayangkan Marx. Dalam hal ini, akumulasi keuntungan dari eksploitasi buruh memasuki kondisi kontradiktif, yakni akibat produksi yang berlebihan, daya beli masyarakat tidak lagi memadai untuk menyerapnya sehingga keuntungan sulit diperoleh. Agar kapital bisa dimanfaatkan secara optimal, maka ia harus dialihkan ke sirkuit kedua, yakni investasi pada lingkungan binaan di mana kapital dinilai lebih stabil, dengan perolehan keuntungan yang lebih pasti. Sebagian dari para kapitalis bisa juga mengalihkan modalnya ke sirkuit ketiga, yang menyangkut investasi teknologi dan pengetahuan yang lebih ilmiah, reproduksi tenaga kerja yang lebih terampil dan canggih dan seterusnya.

Investasi dalam perkotaan tidak dengan sendirinya mampu membereskan krisis pertama dari akumulasi kapital. Kapital sirkuit kedua juga bisa menciptakan krisis dalam dirinya sendiri, karena nilai properti pada

saatnya bisa menurun (devalued), apalagi bila ia direncanakan secara serampangan yang dengan segera bisa menjadi halangan bagi akumulasi kapital seperti yang diharapkan, bahkan pada suatu saat ia bisa pula menjadi penghalang bagi sebuah tujuan investasi baru.

Sebagai akibatnya, sirkuit kedua sendiri perlu diperbarui, atau kapitalnya direlokasi ke tapak lain, dikembalikan ke sirkuit pertama lagi, atau digeser ke sirkuit ketiga. Dengan demikian, investasi dalam perkotaan sebenarnya menawarkan solusi sementara bagi krisis dalam kapitalisme, karena unit-unit ruang kota tumbuh dan mati dengan cara memutar. Dan menjadi jelas pula bahwa terdapat keterkaitan yang signifikan antara restrukturalisasi ekonomi dan restrukturalisasi kota.

Bila Harvey menjelaskan dinamika kapital dari sirkuit yang satu ke sirkuit yang lain, maka Neil Smith (The New Urban Frontier: Gentrification and The Revanchist City, Routledge, London and New York, 1996), mencoba menjelaskan dinamika akumulasi kapital di dalam sirkuit kedua itu sendiri. Bagi Smith, kenaikan harga lahan adalah kenaikan Ground Rent (GR: nilai yang diklaim penjual sebagai surplus nilai di atas biaya produksi). Kapitalisasi yang terjadi pada GR adalah nilai aktual GR yang paling pas bagi pemilik sesuai pada pemanfaatan ruang saat ini. Harga jual, dengan demikian, adalah nilai bangunan ditambah GR yang terkapitalisasi.

(5)

menangkap peluang yang disajikan The Rent Gap.

Dengan demikian, jentrifikasi akan terjadi bila gap cukup lebar, artinya pengembang dapat membelinya dengan murah, dan setelah merehabilitasi atau membangunnya kembali ia dapat menjualnya dengan harga yang menguntungkan. Keseluruhan atau sebagian besar dari GR dengan demikian terkapitalisasi; dan lingkungan baru lahir kembali (recycled), dan siklus pemanfaatan baru pun dimulai (Smith, 1996, hlm 67-68). Sama seperti yang dijelaskan Harvey, kapital pada sirkuit kedua pada saatnya bisa terdevaluasi dan lahan pun tebengkalai lama. Dengan demikian, dinamika pembangunan kawasan perkotaan adalah sejarah investasi dan dis-investasi.

Seperti modal global yang saat ini gampang meloncat dari satu negara ke negara lainnya seperti yang ditesiskan NIDL, Massey and Meegan (The Geography of Industrial Reorganization, Progress in Planning, 1988) yang mempopulerkan uneven development, menyebut rangkaian dinamika investasi dan disinvestasi ini pada skala kota sebagai locational seesaw. Modal akan memasuki kawasan yang kumuh atau terbengkalai untuk membangun yang baru. Dan akumulasi yang terkumpul kemudian dipindahkan ke kawasan lainnya, dan lainnya lagi, dan pada suatu saat akan kembali lagi ke tempat semula karena kondisinya ternyata sudah menurun dan tidak berfungsi optimal. Dengan perkataan lain, kapital bergerak dari menciptakan ke menghancurkan dan menciptakan kembali, dan seterusnya.

Lantas, apa yang dihancurkan?

Tradisional-kuno-kumuh

Ada banyak macam jenis lingkungan yang menjadi sasaran utama penghancuran dan pembangunan kembali. Mereka antara lain adalah pasar-pasar tradisional, kawasan kuno, taman-taman kota dan permukiman kumuh. Mereka menarik karena the potential rent gap -nya menganga lebar sangat menggiurkan bagi pengembang dan pejabat untuk berkoalisi. Dan

pemerintahan kita yang lemah, kurang profesional dan korup, ditunjang oleh para perencana kota yang kurang pengetahuan dan keterampilan, dengan segera bersatu padu dengan kepentingan swasta yang lebih profesional. Koalisi ini percaya, setiap sumber daya kota yang "terbengkalai" harus segera ditransformasikan ke dalam berbagai produk dan jasa ruang baru, agar secara sosial dan ekonomis lebih berdaya guna. Nah, apa saja yang dibangun koalisi urban founders ini?

Mereka memasok berbagai tempat rekreasi, perkantoran, bengkel dan bangunan industri, serta perdagangan seperti shophouses, department stores, shopping centers, malls, dan sejenisnya yang semuanya cenderung dibangun untuk pasar masyarakat kelas menengah ke atas. Mereka juga membangun banyak sekali perumahan baik rumah tinggal, flat, apartemen maupun penggembangan campuran yang menggabungkan perumahan, perkantoran, komersial, dan rekreasi.

Namun, bagaimana mereka membangun? Pada pandangan saya, yang mereka bangun bukanlah arsitektur yang kreatif atau high style melainkan tipe arsitektur (architectural types). Secara sederhana tipe saya definisikan sebagai struktur ruang dan bentuk yang terbukti paling efisien dari segi investasi dan paling efektif dari segi fungsi dalam merespons sebuah program tertentu. Oleh karena itu, tipe lantas berpotensi untuk diulang-ulang terus-menerus (misalnya stasiun bensin, ruko, flat, apartemen, menara perkantoran yang merajalela di mana dalam bentuk yang seragam). Ia terkomposisi dalam serangkaian tipologi bangunan yang sering dikonfigurasikan dalam sebuah sistem superblok. Tipe lantas menjadi sebuah prosedur desain dalam produksi arsitektur baik secara "stylistic and formal" maupun organizational and structural" (lihat tulisan-tulisan aristek neo-rasionalis seperti Hirsch:1967 dan Aymonino:1985 dan kawan-kawan).

(6)

sedemikian berguna dalam desain arsitektur (Rowe:1987). Namun demikian, bila desain lahir dari tangan arsitek yang kemampuannya tanggung, maka produksi arsitektur sangat mudah terjebak menjadi obyek yang seragam dan standar. Superblok sendiri biasanya dibangun pada lahan besar, sering merangkai beberapa bangunan atau blok sekaligus untuk mengembangkan proyek tunggal yang baru. Dan dalam prosesnya kegiatan ini sering menghapus semua tenunan bangunan yang sebelumnya (contoh: permukiman Pecinan Senen dibongkar dan digantikan Atrium Senen).

Dalam konteks seperti ini, modernisme sebenarnya tidak lagi sekadar gerakan arsitektur. Secara inheren ia merupakan kesatuan yang tidak terpisahkan dari sistem kapitalisme. Bahkan, ide-ide pascamodernisme pun tidak bisa melepaskan diri dari kekuatan akumulasi kapital untuk bongkar-membongkar kota dan memproduksi tipe bangunan yang standar dan seragam. Destruksi kreatif (creative destruction) semacam inilah yang dikumandangkan Joseph A Schumpeter (1989) sebagai sebuah fakta dari kapitalisme yang secara terusmenerus membuat perubahan-perubahan mendasar terhadap struktur ekonomi dari dalam dirinya, dengan cara merusak yang telah lama terbangun, dan menciptakan kembali yang baru.

Akibatnya antara lain adalah:

Dinamika kapital yang destruktif seperti di atas pada dasarnya adalah akar dari ketidakstabilan kota, karena dalam proses ini sering diiringi oleh penggusuran-penggusuran; atau diiringi oleh proses jentrifikasi, di mana pada sebuah kawasan kelompok sosial yang lebih miskin digantikan oleh kelompok sosial yang lebih kaya, dan biasanya yang miskin secara berangsur akan pindah ke pinggiran. Sebaliknya, sebuah kawasan yang menjadi kumuh (blighted, decay) akan mengalami filtering process, yakni kelompok yang lebih miskin akan menyerbu ke kawasan tersebut menggantikan kelompok yang lebih kaya.

Urbanisasi, sentralisasi, privatisme dan pengembangan industri akibat NIDL akan terus-menerus menciptakan permukiman

kumuh di segala tempat yang mungkin, dan bertambahnya sektor informal yang mengais-ngais menguasai ruang-ruang publik kota. Berkembangnya gaya hidup masyarakat industri perkotaan yang terkemas satu paket dengan industri properti akan memperkuat proses fragmentasi sentrifugal, karena ruang komersial yang dikelola dalam skala besar akan semakin memperluas operasi pelayanannya untuk mengambil alih segmen pasar yang biasanya dipasok sektor tradisional, misalnya warung dan toko di kampung-kampung.

Kota segregated dan dualistik yang tegang dan tidak aman akan mendorong munculnya teritori-teritori permukiman dan "pulau-pulau" perkantoran atau perdagangan yang dipertahankan secara khusus (defended teritory dan defended islands). Pertahanan yang paling banyak dilakukan adalah membuat pagar tinggi, penjagaan khusus pada gerbang sebuah kawasan, dan lainnya.

Repetisi tipe arsitektur dan konfigurasi superblok pada dasarnya menyangkal pentingnya "otherness". Ia lebih bergulat pada proyek modernitas untuk menyeragamkan bentuk kota dan ruang kota. Korban utama dari proyek semacam ini tentu saja adalah kawasan bersejarah, dan yang kedua adalah desain ruang dan bentuk kota yang nyaris sekedar produksi massal dari obyek-obyek seragam.

Penutup

(7)

pernah direspons oleh negara dengan moda regulasi yang spesifik. Selain korup dan kurang kompeten secara teknis, pemerintah juga tidak memiliki cara-cara intervensi yang kreatif dalam memfasilitasi investasi swasta.

Pada saat pasar properti masih berjalan "normal", survei Dowall dan Leaf ("The Price of Land and Housing in Jakarta", Urban Studies, Vol 28 No 5, 1991) menemukan bahwa tanah yang sudah dikembangkan untuk real estat di sekitar Segi Tiga Emas Jakarta memiliki nilai 15 kali lebih mahal dari nilai pada saat ia dibebaskan sebagai tanah kampung. Dalam kasus yang lain, Info Papan (1992) bahkan mengindikasikan kenaikan nilai lahan sebesar 30 kali. Memanipulasi potensi Rent-Gap sebesar ini dalam bisnis pembangunan perkotaan sungguh sebuah proses penciptaan kekayaan (wealth creation) yang menakjubkan. Dengan demikian, peran intervensi negara dalam mengatur akumulasi kapital seharusnya juga mengatur bagaimana kekayaan yang tercipta (the created-wealth) dapat diredistribusikan secara lebih adil pada masyarakat.

Referensi

Dokumen terkait