• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit Kecacingan Yang Ditularkan Melalui Tanah Pada Anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun 2008

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit Kecacingan Yang Ditularkan Melalui Tanah Pada Anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun 2008"

Copied!
62
0
0

Teks penuh

(1)

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PENYAKIT KECACINGAN YANG DITULARKAN MELALUI TANAH PADA ANAK PANTI ASUHAN

AL-JAMIYATUL WASHLIYAH LUBUK PAKAM TAHUN 2008

SKRIPSI

Oleh :

NIM. 041000193 LIZA MUTIA

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEJADIAN PENYAKIT KECACINGAN YANG DITULARKAN MELALUI TANAH PADA ANAK PANTI ASUHAN

AL-JAMIYATUL WASHLIYAH LUBUK PAKAM TAHUN 2008

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kesehatan Masyarakat

Oleh :

NIM. 041000193 LIZA MUTIA

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

ABSTRAK

Di Sumatera Utara pada tahun 2004 angka prevalens rate penyakit kecacingan yang ditularkan melalui tanah masih merupakan problem besar bagi kesehatan masyarakat, yaitu sebesar 60,4 %. Sedangkan berdasarkan hasil survey kecacingan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Sumatera Utara angka prepalens rate di Deli Serdang sebesar 39,56%.

Penelitian ini dilakukan di Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam. Jenis penelitian survei Analitik dengan desain Cross-sectional. Populasi sebesar 108 orang dan besar sampel adalah seluruh anggota populasi (total sampling).

Feses diambil dari 108 anak dan diperiksa dengan menggunakan metode Kato-katz. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji Chi-Square.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi kecacingan pada anak panti asuhan Al-Jamiyatul Washliyah sebesar 41,7%. Proporsi responden berdasarkan jenis cacing yang menginfeksi tertinggi adalah Ascaris lumbricoides 37,8%,berdasarkan umur tertinggi pada kelompok umur 10 – 14 tahun 61,1%, berdasarkan jenis kelamin tertinggi pada laki-laki 52,8%, berdasarkan suku tertinggi suku Jawa 46,3%,berdasarkan personal hygiene tertinggi dengan personal hygiene baik 57,4%, status gizi responden tertinggi yang menderita penyakit kecacingan adalah dengan status gizi baik 59,3%.

Dengan uji Chi-Square menunjukkan tidak adanya hubungan antara umur (ρ=0,841), jenis kelamin (ρ=0,379) dan suku (0,782) dengan penyakit kecacingan. Terdapat hubungan antara personal higiene (0,000) dan status gizi (0,000) dengan penyakit kecacingan.

Sebaiknya pihak panti asuhan bekerjasama dengan dinas kesehatan setempat atau pihak puskesmas dalam memberikan penyuluhan kesehatan kepada anak panti mengenai pentingnya menjaga personal hygiene untuk mencegah penularan penyakit kecacingan dan memberi obat cacing 6 bulan sekali agar terhindar dari penyakit kecacingan.

(4)

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Liza Mutia

Tempat/Tanggal Lahir : Perbaungan, 10 September 1980

Jenis Kelamin : Perempuan

Status Perkawinan : Kawin

Jumlah Anak : 1 orang

Alamat Rumah : Jl. Negara KM. 27 Kel. Sahmat Lubuk Pakam

Riwayat Pendidikan

1. 1987-1993 : SD Negeri 101936 Batang Terap Perbaungan

2. 1993-1996 : SMP Negeri 1 Lubuk Pakam

3. 1996-1999 : SMAK Depkes

4. 1999-2002 : D3 Analis Poltekes Medan

5. 2004-2008 : FKM USU

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas rahmat dan berkahNya sehingga

penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini yang berjudul “ Faktor Yang Berhubungan Dengan Kejadian Penyakit Kecacingan yang di Tularkan Melalui Tanah Pada Anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun 2008”.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih kepada Ibu drh. Hiswani,

M.Kes selaku dosen pembimbing I dan Ibu drh. Rasmaliah, M.Kes selaku dosen pembimbing II

yang telah banyak memberikan pengarahan dan bimbingan dalam penulisan skripsi ini. Bapak dr.

Achsan Harahap, MPH selaku dosen penguji I serta Bapak Drs. Jemadi, M.Kes selaku dosen

penguji II yang telah bersedia menguji dan memberikan masukan dan saran kepada penulis.

Selanjutnya penulis juga ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ibu dr. Ria Masniari Lubis, M.Si selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas

Sumatera Utara dan sekaligus dosen penasehat akademik.

2. Bapak Prof.dr. Sori Muda Sarumpaet,MPH selaku Ketua Epidemiologi FKM USU.

3. Seluruh dosen dan staff serta seluruh civitas akademika FKM USU yang telah membimbing

dan membantu selama perkuliahan.

4. Ibu Hj. Hulaimi Dumeiri selaku ketua panti asuhan A-Jamiyatul Washliyah.

5. dr. Fachri Nasution selaku ketua jurusan analis Poltekes Medan yang telah memberikan

tempat laboratorium untuk melakukan penelitian.

6. Yang tak terlupakan, terimakasih kepada kedua orang tua saya Bapak M. Alwi dan Ibu

Yunizar, Bapak Oby, Oby dan seluruh keluarga yang telah banyak memberikan dorongan dan

(6)

7. Seluruh teman peminatan Epidemiologi yang selalu mendukung dan mendoakan (Sutri,

Neny, Rina, Rita), yang tidak bisa disebutkan semuanya, penulis mengucapkan terima kasih.

Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih belum sempurna. Untuk itu penulis

mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun dari semua pihak demi kesempurnaan

skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Agustus 2008

Penulis

(7)

DAFTAR ISI

2.3. Tinjauan Khusus Trichuris trichiura ... 10

2.4. Tinjauan Khusus Hookworm ... 14

2.5. Tinjauan Khusus Strongyloides stercoralis ... 18

2.6. Epidemiologi Penyakit Kecacingan... 22

2.7. Dampak Infeksi Kecacingan ... 27

2.8. Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit kecacingan ... 29

(8)

5.3. Proporsi Jenis Cacing pada Penderita Kecacingan ... 37

5.4. Sosiodemografi Anak ... 38

5.5 Personal Higiene Anak ... 39

5.6. Status Gizi Anak ... 40

5.7. Analisis Hubungan ... 41

BAB 6 PEMBAHASAN ... 46

6.1. Prevalensi Penyakit Kecacingan ... 46

6.2. Distribusi Penyakit Kecacingan Berdasarkan Jenis Cacing ... 47

6.3. Status Gizi Anak ... 48

6.4. Hubungan Sosiodemografi dengan Penyakit Kecacingan ... 50

6.5. Hubungan Personal Higiene dengan Penyakit Kecacingan ... 53

6.6. Hubungan Status Gizi dengan Penyakit Kecacingan ... 54

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN ... 56

7.1. Kesimpulan ... 56

7.2. Saran ... 56

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Penyakit Kecacingan Pada Anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun 2008 ... 36

Tabel 2. Distribusi Proporsi Penyakit Kecacingan Berdasarkan Jenis Cacing Pada Anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun 2008 ... 37

Tabel 3. Distribusi Proporsi Berdasarkan Sosiodemografi Pada Anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun 2008 ... 38

Tabel 4. Distribusi Pernyataan Personal higiene Anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun 2008 ... 39

Tabel 5. Distribusi Berdasarkan Personal Higiene Pada Anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul

Washliyah Lubuk Pakam Tahun 2008 ... 40

Tabel 6. Distribusi Berdasarkan Status Gizi Pada Anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun 2008 ... 40

Tabel 7. Hubungan Umur dengan Penyakit Kecacingan Pada Anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun 2008 ... 41

Tabel 8. Hubungan Jenis Kelamin dengan Penyakit Kecacingan Pada Anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun 2008 ... 42

Tabel 9. Hubungan Suku dengan Penyakit Kecacingan Pada Anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun 2008 ... 43

Tabel 10. Hubungan Personal Higiene dengan Penyakit Kecacingan Pada Anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun 2008 ... 44

Tabel 11. Hubungan Status Gizi dengan Penyakit Kecacingan Pada Anak Panti Asuhan

(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Penyakit Kecacingan Pada Anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun 2008 ... 46

Gambar 2. Diagram Pie Distribusi Penyakit Kecacingan Berdasarkan Jenis Cacing Pada Anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun 2008 ... 47

Gambar 3. Diagram Pie Status Gizi Anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun 2008 ... 48

Gambar 4. Diagram Bar Hubungan Umur dengan Penyakit Kecacingan Pada Anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun 2008 ... 50

Gambar 5. Diagram Bar Hubungan Jenis Kelamin dengan Penyakit Kecacingan Pada Anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun 2008 ... 51

Gambar 6. Diagram Bar Hubungan Suku dengan Penyakit Kecacingan Pada Anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun 2008 ... 52

Gambar 7. Diagram Bar Hubungan Personal Higiene dengan Penyakit Kecacingan Pada Anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun 2008 ... 53

(11)

DAFTAR LAMPIRAN

1. Hasil Uji Statistik

(12)

ABSTRAK

Di Sumatera Utara pada tahun 2004 angka prevalens rate penyakit kecacingan yang ditularkan melalui tanah masih merupakan problem besar bagi kesehatan masyarakat, yaitu sebesar 60,4 %. Sedangkan berdasarkan hasil survey kecacingan yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Sumatera Utara angka prepalens rate di Deli Serdang sebesar 39,56%.

Penelitian ini dilakukan di Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam. Jenis penelitian survei Analitik dengan desain Cross-sectional. Populasi sebesar 108 orang dan besar sampel adalah seluruh anggota populasi (total sampling).

Feses diambil dari 108 anak dan diperiksa dengan menggunakan metode Kato-katz. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan uji Chi-Square.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa prevalensi kecacingan pada anak panti asuhan Al-Jamiyatul Washliyah sebesar 41,7%. Proporsi responden berdasarkan jenis cacing yang menginfeksi tertinggi adalah Ascaris lumbricoides 37,8%,berdasarkan umur tertinggi pada kelompok umur 10 – 14 tahun 61,1%, berdasarkan jenis kelamin tertinggi pada laki-laki 52,8%, berdasarkan suku tertinggi suku Jawa 46,3%,berdasarkan personal hygiene tertinggi dengan personal hygiene baik 57,4%, status gizi responden tertinggi yang menderita penyakit kecacingan adalah dengan status gizi baik 59,3%.

Dengan uji Chi-Square menunjukkan tidak adanya hubungan antara umur (ρ=0,841), jenis kelamin (ρ=0,379) dan suku (0,782) dengan penyakit kecacingan. Terdapat hubungan antara personal higiene (0,000) dan status gizi (0,000) dengan penyakit kecacingan.

Sebaiknya pihak panti asuhan bekerjasama dengan dinas kesehatan setempat atau pihak puskesmas dalam memberikan penyuluhan kesehatan kepada anak panti mengenai pentingnya menjaga personal hygiene untuk mencegah penularan penyakit kecacingan dan memberi obat cacing 6 bulan sekali agar terhindar dari penyakit kecacingan.

(13)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dalam rangka menuju Indonesia sehat 2010, pembangunan kesehatan merupakan bagian

yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional antara lain mempunyai tujuan untuk

mewujudkan manusia yang sehat, produktif dan daya saing yang tinggi.

Untuk mencapai hal tersebut di atas, diselenggarakan upaya kesehatan yang bersifat

menyeluruh, terpadu, merata dan dapat diterima serta terjangakau oleh seluruh masyarakat. Salah

satu upaya tersebut adalah program pemberantasan penyakit menular yang bertujuan untuk

menurunkan angka kesakitan, kematian, kecacatan dan mencegah penyebaran penyakitnya.

1

Salah satu penyakit yang insidensnya masih tinggi di Indonesia adalah infeksi cacing usus

yang ditularkan melalui tanah, adapun jenis cacing yang menyebabkan infeksi kecacingan ini

adalah Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Ancylostoma duodenale dan Necator

americanus serta Strongyloides stercoralis.

2

Infeksi cacing dapat ditemukan pada berbagai golongan umur, namun prevalensi tertinggi

ditemukan pada anak balita dan anak usia sekolah dasar, terutama kelompok anak yang

mempunyai kebiasaan defekasi di saluran air terbuka dan sekitar rumah, makan tanpa cuci tangan,

bermain-main ditanah yang tercemar telur cacing tanpa memakai alas kaki.

3

Kecacingan dapat menurunkan keadaan kesehatan, gizi, kecerdasan dan produktifitas

penderitanya sehingga secara ekonomi dapat menyebabkan kerugian, karena menyebabkan

kehilangan karbohidrat dan protein, kehilangan darah sehingga menurunkan kualitas sumber daya

manusia.

4

(14)

Menurut World Health Organization (WHO) tahun 2002 sebanyak 1.450 juta penduduk

terinfeksi Ascaris, 1.300 juta penduduk terinfeksi cacing tambang dan 1.050 juta penduduk

terinfeksi Trichiuris.5 Di dunia (2006), sekitar 2 milyar penduduk terinfeksi kecacingan, dimana

300 juta diantara meninggal dunia.

Di Indonesia pada tahun 2004, prevalensi penyakit kecacingan pada semua umur juga

masih cukup tinggi yaitu 58,15% yang tediri dari 30,4% Ascaris lumbricoides, 21,25% Trichuris

trichiura serta 6,5% Hookworm.

6

Prevalensi kecacingan pada siswa SDN transmigrasi Kecamatan Ampana Kota Kabupaten

Poso Sulawesi Tengah Tahun 1999 bahwa prevalensi Ascariasis sebesar 48,82%, Trichuriasis

sebesar 30,02% dan infeksi oleh N. americanus dan A. duodenale sebesar 10,75%.

7

8

Dalam laporan hasil survei prevalensi cacingan pada 10 propinsi tahun 2004, Sumatera

Utara menduduki peringkat ke-3 (60,4%) dalam hal penyakit cacingan setelah Sumatera Barat

(82,3%) dan Nusa Tenggara Barat (83,6%). Sedangkan untuk angka nasional adalah 30,35%,

dengan rincian prevalensi cacing gelang 17,75%, prevalensi cacing cambuk 17,74%, dan cacing

tambang 6,46%.

Hasil survei cacingan pada anak Sekolah Dasar dari beberapa kabupaten di Sumatera Utara

yang dilaksanakan oleh Dinas Kesehatan Sumatera Utara tahun 2005 didapatkan persentase

kecacingan tertinggi di kabupaten Tapanuli Tengah (66,67%), Tapanuli Selatan (55%), Nias

(52,17%), Labuhan Batu (45,59%), Asahan (45,58%), Tapanuli Tengah (45,33), Deli Serdang

(39,56%) dan Padang Sidimpuan (34,23%).

9

10

Berdasarkan survei pendahuluan diketahui

bahwa kondisi lingkungan di Panti Asuhan Al- Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam belum

mencapai kelayakan sanitasi yang baik, hal ini terlihat dari pembuangan air limbah yang belum

(15)

ada belum mencukupi dengan jumlah anak yang ada di Panti Asuhan tersebut, karena WC yang

dimiliki pihak Panti Asuhan hanya 8 buah, lingkungan yang kurang bersih dan kebiasaan anak

yang bermain-main di tanah tanpa menggunakan alas kaki selain itu berdasarkan hasil observasi

yang dilakukan pada anak Panti Asuhan menunjukan diagnosa klinis bahwa anak-anak di Panti

Asuhan tersebut menunjukan gejala kecacingan.

Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka perlu dilakukan penelitian untuk

mengetahui faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit kecacingan yang ditularkan

memalui tanahpada anak panti asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun 2008.

1.2. Rumusan Masalah

Belum diketahuinya faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit kecacingan yang

ditularkan melalui tanah pada anak panti asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun

2008.

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit kecacingan yang

ditularkan memalui tanah pada anak panti asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun

2008.

1.3.2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui prevalens rate penyakit kecacingan pada anak panti asuhan Al-Jamiyatul

(16)

b. Untuk mengetahui proporsi jenis cacing pada penderita penyakit kecacingan di panti asuhan

Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam.

c. Untuk mengetahui hubungan sosiodemografi dengan penyakit kecacingan pada anak panti

asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam.

d. Untuk mengetahui hubngan personal higiene dengan penyakit kecacingan pada anak panti

asuhan Al-Jamiyatul washliyah Lubuk Pakam.

e. Untuk mengetahui hubungan status gizi dengan penyakit kecacingan pada anak panti asuhan

Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam.

1.4. Manfaat Penelitian

1.4.1. Sebagai bahan masukan bagi pihak Panti Asuhan untuk menjaga kebersihan lingkungan

dalam rangka mencegah dan menanggulangi penyakit kecacingan pada anak-anak di Panti

Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam.

1.4.2. Sebagai bahan masukan bagi peneliti lain yang ingin melaksanakan penelitian lebih lanjut

mengenai penyakit kecacingan pada murid Sekolah Dasar.

1.4.3 Merupakan bahan masukan bagi pihak Puskesmas dalam program pemberantasan penyakit

(17)

sehingga parasit tertelan, kemudian sampai di usus halus bagian atas dan menjadi dewasa. Cacing

betina yang dapat bertelur kira-kira 28 hari sesudah infeksi.

2. Siklus Tidak Langsung

Pada siklus tidak langsung larva rabditiform di tanah berubah menjadi cacing jantan dan

cacing betina bentuk bebas. Bentuk bebas ini lebih gemuk dari bentuk parasitik. Cacing yang

betina berukuran 1mm x 0,06mm, yang jantan berukuran 0,75mm x 0,04 mm, mempunyai ekor

melengkung dengan dua buah spikulum. Sesudah pembuahan, cacing betina menghasilkan telur

yang menetas menjadi larva rabditiform. Larva rabditiform dalam beberapa hari berubah menjadi

larva filariform yang infektif dan masuk ke dalam hospes baru. Siklus tidak langsung ini terjadi

bila lingkungan sekitarnya optimum yaitu iklim tropik dan lembab.

3. Autoinfeksi

Larva rabditiform kadang-kadang menjadi larva filariform di usus atau di daerah sekitar

anus. Bila larva filariform menembus mukosa usus atau kulit perianal, maka terjadi suatu daur

perkembangan di dalam hospes. Adanya autoinfeksi dapat menyebabkan strongyloidisis menahun

(18)

Gambar 2.8. Daur Hidup Strongyloides stercoralis 2.5.3. Patologi dan Gejala Klinis

Bila larva filariform menembus kulit, timbul kelainan kulit yang dinamakan creeping

eruption yang sering disertai rasa gatal yang hebat. Cacing dewasa menyebabkan kelainan pada

mukosa usus muda. Infeksi ringan terjadi pada umunya tanpa diketahui hospesnya karena tidak

(19)

daerah epigastrium tengah. Mungkin disertai mual dan muntah, diare dan konstipasi saling

bergantian. Pada hiperinfeksi cacing dewasa yang hidup sebagai parasit dapat ditemukan

diseluruh traktus digestivus dan larvanya dapat ditemukan pada paru, hati, dan kandung

empedu.17

2.6. Epidemiologi Penyakit Kecacingan

Di Indonesia, infeksi cacingan merupakan masalah kesehatan yang sering dijumpai.

Angka kejadian infeksi cacingan yang tinggi tidak terlepas dari keadaan Indonesia yang beriklim

tropis dengan kelembaban udara yang tinggi serta tanah yang subur yang merupakan lingkungan

yang optimal bagi kehidupan cacing. Infeksi cacingan tersebar luas, baik di pedesaan maupun di

perkotaan. Hasil survei Cacingan di Sekolah Dasar di beberapa propinsi pada tahun 1986-1991

menunjukkan prevalensi sekitar 60% - 80%, sedangkan untuk semua umur berkisar antara 40% -

60%. Hasil Survei Subdit Diare pada tahun 2002 dan 2003 pada 40 SD di 10 provinsi

menunjukkan prevalensi berkisar antara 2,2% - 96,3% .

Pada banyak penelitian, intensitas dan prevalensi infeksi cacingan meningkat pada

anak-anak dan remaja. Kurva intensitas menurun sejalan dengan bertambahnya usia. Puncak intensitas

terjadi antara umur 5-10 tahun untuk Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura, sedangkan

cacing tambang pada umur 10 tahun.

19

Infeksi cacingan juga dipengaruhi oleh perilaku individu. Intensitas dan prevalensi yang

tinggi pada anak disebabkan oleh kebiasaan memasukkan jari-jari tangan yang kotor ke dalam

mulut. Pada infeksi cacing tambang, prevalensi yang tinggi di dapatkan pada anak dengan umur

lebih tua, hal ini kemungkinan disebabkan oleh mobilitas anak.

19

(20)

Penyebaran infeksi cacing Ascharis dan Trichuris mempunyai pola yang hampir sama.

Aschariasis adalah penyakit infeksi cacingan yang distribusinya di seluruh dunia dan menginfeksi

lebih dari 1.000 juta orang. Sebagian besar infeksi terjadi di negara yang sedang berkembang, di

Asia dan Amerika latin. Di Indonesia, berdasarkan hasil survei yang dilakukan di Indonesia tahun

2002-2004 menunjukkan bahwa prevalensi Aschariasis dan Trichuris berkisar antara 57 % -

90%.19

Di daerah endemik dengan tingkat kejadian Ascaris dan Trichiuris tinggi terjadi penularan

secara terus menerus. Transmisi ini dipengaruhi oleh berbagai hal yang menguntungkan parasit,

seperti keadaan iklim dan tanah yang sesuai. Kedua spesien ini memerlukan tanah liat untuk

berkembang. Telur Ascaris yang telah dibuahi jatuh di tanah yang sesuai, menjadi matang dalam

3 minggu pada suhu optimum 25-300C. Telur Ascaris akan matang dalam waktu 3 minggu pada

suhu optimum kira-kira 300C. Selain keadaan tanah dan iklim yang sesuai, keadaan endemic juga

dipengaruhi oleh jumlah telur yang dapat hidup sampai menjadi bentuk infektif dan masuk ke

dalam tubuh hospes. Beberapa jenis antelmentik mempunyai efek memperlambat masa

perkembangan telur bahkan menimbulkan perubahan bentuk telur sehingga memperkecil

reinfeksi.

Banyak telur yang dihasilkan satu ekor cacing adalah sebagai berikut : Ascaris kira-kira

200.000 sehari, Trichuris kira-kira 5.000 sehari dan cacing tambang 9.000-10.000 sehari. Jumlah

telur yang dapat berkembang semakin banyak pada masyarakat dengan infeksi yang semakin

berat akibat defekasi di sembarang tempat khususnya di tanah.

16

Cacing tambang banyak dijumpai pada pekerja perkebunan yang langsung berhubungan

dengan tanah. Kebiasaan defekasi di tanah dan pemakaian tinja sebagai pupuk kebun penting

(21)

dalam penyebaran infeksi. Tanah yang gembur (berpasir dan humus) serta lembab sangat baik

untuk perkembangan larva dengan suhu optimum 28-320C.14

2.6.1 Penyakit Kecacingan Menurut Orang

a. Umur

Secara epidemiologi puncak terjadinya infestasi cacing adalah pada usia 5-14 tahun.

Penderita penyakit kecacingan sebagian besar menyerang anak Sekolah Dasar dengan prevalensi

60-80%.

Menurut Rukmono (1980) golongan orang yang rawan terhadap infeksi kecacingan

adalah balita, murid Sekolah Dasar, wanita hamil, wanita menyusui, buruh, petani. Sedangkan

Brown (1983) di Jakarta menyebutkan prevalensi tertinggi ditemukan pada balita dan anak

golongan umur 5-9 tahun. Margono (1991) juga mengemukakan bahwa prevalensi infeksi cacing

tambang meningkat seiring dengan pertambahan usia. Di Indonesia angka prevalens rate

Ascariasis yang tertinggi, terutama pada anak dengan frekuensinya antara 60 – 90%.

16

b. Jenis Kelamin

Menurut laporan pembangunan Bank Dunia, di negara berkembang diperkirakan infeksi

kecacingan menyumbangkan angka kesakitan sebesar 12% untuk anak perempuan dan 11% untuk

anak laki-laki. Dapat disimpulkan bahwa risiko untuk terkena penyakit kecacingan pada anak

perempuan dan anak laki-laki tidak jauh berbeda.

c. Pekerjaan

8

Prevalensi dan intensitas kecacingan masih tinggi, terutama pada balita, murid Sekolah

(22)

petani, pekerja perkebunan dan pertambangan kelompok tersebut biasanya terkena kecacingan

mencapai 80-90%.

Prevalensi kecacingan yang berhubungan dengan jenis pekerjaan adalah infeksi cacing

tambang pada buruh waduk irigasi ditemukan dengan prevalensi 81-87,3%, pada buruh kebun

karet 93,1%, dan buruh tambang batubara 79,8%.

d. Personal Higiene

Menurut Azwar (1989) higiene adalah usaha kesehatan masyarakat yang mempelajari

pengaruh kondisi lingkungan terhadap kesehatan manusia, upaya mencegah timbulnya penyakit

karena pengaruh lingkungan kesehatan tersebut, serta membuat kondisi lingkungan sedemikian

rupa sehingga terjamin pemeliharaan kesehatan.

Kebersihan diri atau higiene perorangan yang buruk merupakan cerminan dari kondisi

lingkungan dan perilaku individu yang tidak sehat dan memiliki pengaruh yang besar terhadap

penyebaran dan penularan penyakit kecacingan.

Menurut penelitian Salbiah S.Pd pada siswa SDN Kecamatan Medan Belawan Tahun

2007 medapatkan hasil bahwa terdapat hubungan antara sanitasi lingkungan rumah dengan infeksi

kecacingan pada siswa sekolah dasar dengan nilai p-value = 0,002 (<0,05).

2.6.2 Penyakit Kecacingan Menurut Tempat

Tempat berjangkitnya penyakit kecacingan pada umumnya adalah daerah pedesaan

khususnya di daerah perkebunan. Dengan bentuk tanahnya adalah tanah liat, tanah gembur (pasir ,

humus) dengan suhu 25-300C.

Di Amerika Serikat, infeksi cacing cambuk ditemukan di daerah selatan yang panas dan

lembab. Penyebarannya seiring dengan penyebaran Ascaris lumbricoides. Frekuensi yang tinggi

(23)

ditemuka n di daerah-daerah dengan hujan lebat, iklim subtropik, dan tanah dengan banyak

kontaminasi tinja.

Kebiasaan penduduk dengan buang air besar (defakasi) ditanah dan pemakaian tinja

sebagai pupuk kebun (diberbagai daerah tertentu) lebih memudahkan dalam penyebaran infeksi

kecacingan.

16

15

Prevalensi Ascaris yang lebih tinggi dari 70% ditemukan antara lain di beberapa

desa di Sumatera (78%), Kalimantan (79%), Sulawesi (88%), Nusa Tenggara Barat (92%) dan

Jawa Barat (90%).

Prevalensi cacing Tambang berkisar 30-50% diberbagai daerah di Indonesia, prevalensi

yang lebih tinggi ditemukan didaerah perkebunan seperti di perkebunan karet di Sukabumi, Jawa

Barat (93,1%) dan di perkebunan kopi di Jawa Timur (80,69%). Tingginya prevalensi juga

dipengaruhi oleh sifat pekerjaan sekelompok pekerjaan.

15

2.6.3 Penyakit Kecacingan Menurut Waktu

Dari hasil pengamatan berbagai penelitian, terutama yang menyangkut Program

pemberantasan penyakit kecacingan menunjukkan musim tidak mendukung terjadinya penularan

penyakit kecacingan karena keberadaan telur cacing pada feses tidak dipengaruhi musim, hal ini

disebabkan penularan penyakit kecacingan dapat terjadi kapan saja sepanjang musim apabila

didukung higiene perorangan yang kurang dan sanitasi lingkungan yang buruk maka untuk

tertular penyakit kecacingan akan lebih mudah terjadi. 17

(24)

Penyakit kecacingan sering kali menyebabkan berbagai penyakit di dalam perut dan

berbagai gejala penyakit perut seperti kembung dan diare. Infeksi penyakit kecacingan selain

berperan sebagai penyebab kekurangan gizi yang kemudian berakibat terhadap penurunan daya

tahan tubuh terhadap infeksi, juga berperan sebagai faktor yang lebih memperburuk keadaan

kekurangan gizi yang sudah ada sehingga memperburuk daya tahan tubuh terhadap berbagai

macam infeksi.

Infeksi cacingan jarang sekali menyebabkan kematian langsung, namun sangat

mempengaruhi kualitas hidup penderitanya. Infeksi cacing gelang yang berat akan menyebabkan

malnutrisi dan gangguan pertumbuhan pada anak. Berbagai penelitian membuktikan bahwa

sebagian kalori yang dikonsumsi manusia tidak dimanfaatkan badan karena adanya parasit dalam

tubuh. Pada infeksi ringan akan menyebabkan gangguan penyerapan nutrien lebih kurang 3% dari

kalori yang dicerna, pada infeksi berat 25% dari kalori yang dicerna tidak dapat dimanfaatkan

oleh badan. Infeksi Aschariasis yang berkepanjangan dapat menyebabkan kekurangan kalori

protein dan diduga dapat mengakibatkan defisiensi vitamin A. 17

Pada infeksi Trichuris berat sering dijumpai diare darah, turunnya berat badan, dan

anemia. Diare pada umumnya berat sedangkan eritrosit di bawah 2,5 juta dan hemoglobin 30% di

bawah normal. Anemia berat ini dapat terjadi karena infeksi Trichuris mampu menghisap darah

sekitar 0,005 ml perhari/cacing.

Infeksi cacing tambang umumnya berlangsung secara menahun, cacing tambang ini sudah

dikenal sebagai penghisap darah. Seekor cacing tambang mampu menghisap darah 0,2 ml perhari.

Apabila terjadi infeksi berat, maka penderita akan kehilangan darah secara perlahan dan dapat

menyebabkan anemia berat.

(25)

2.7.2 Dampak Terhadap Intelektual dan Produktifitas

Secara umum berpengaruh terhadap tingkat kecerdasan, mental dan prestasi anak sekolah.

Hasil penelitian Bundy dkk, 1992 menunjukkan bahwa anak-anak Sekolah Dasar di Jamaika

terinfeksi cacing Trichuris trichiura mengalami penurunan kemampuan berfikir. Hasil study di

Kenya oleh Stephenson tahun 1993 menunjukkan penurunan kesehatah jasmani, pertumbuha dan

selera makan pada anak sekolah yang terinfeksi Ascaris lumbricoides dan Trichuris trichiura.

Di Malaysia ditemukan dampak infeksi penyakit cacing terhadap penurunan kecerdasan di

lingkungan anak sekolah Che Ghani tahun 1994. Penyakit ini tidak menyebabkan orang mati

mendadak, akan tetapi menyebabkan penderita semakin lemah karena kehilangan darah yang

menahuun sehingga menurunkan prestasi kerja.

17

3

2.7.3 Dampak Terhadap Kualitas Sumber Daya Manusia

Penyakit kecacingan merupakan salah satu factor yang mempengaruhi terhadap penurunan

kualitas sumber daya manusia, mengingat kecacingan akan menghambat pertumbuhan fisik dan

kecerdasan anak serta produktifitas kerja. Sampai saat ini penyakit kecacingan masih merupakan

masalah kesehatan masyarakat Indonesia terutama di daerah pedesaan dan salah satu faktor yang

mempengaruhi tingginya prevalensi kacacingan adalah kesadaran higiene perorangan (personal

hygiene) yang kurang. 17

(26)

a. Pencegahan Primer

1. Memutuskan rantai daur hidup dengan cara: berdefekasi di jamban, menjaga kebersihan

perorangan.

2. Penularan Strongyloides dapat dicegah dengan menghindari kontak dengan tanah, tinja atau

genangan air yang diduga terkontaminasi oleh larva infektif.

3. Pencegahan infeksi cacing tambang adalah dengan cara mencegah kontak manusia dengan

tanah yang mengandung bentuk infektif. Salah satu caranya adalah dengan memakai alas kaki

jika keluar rumah.

4. Bagi individu atau keluarga yang sering mengkonsumsi sayuran mentah/lalapan diharapkan

agar mencuci sayur dengan benar.

5. Bagi petani yang menggunakan kotoran manusia sebagai pupuk tanaman dihimbau untuk

mencuci tangan dengan sabun setelah melakukan pemupukan dan menggunakan alat pelindung

diri seperti sepatu bot dan sarung tangan.

6. Memberikan penyuluhan kepada masyarakat mengenai sanitasi lingkungan yang baik dan cara

menghindari penyakit kecacingan.

b. Pencegahan Sekunder

1. Memberi pengobatan masal secara berkala 6 bulan sekali dengan obat antelmintik yang efektif,

terutama pada golongan rawan.

2. Apabila diketahui seseorang positif terinfeksi, maka orang tersebut harus segera diberi obat

(27)

BAB 3

KERANGKA KONSEP

3.1. Kerangka Konsep

3.2. Definisi Operasional

a. Penyakit Kecacingan adalah penyakit yang disebabkan infeksi cacing oleh kelas nematoda

yang dikategorikan menjadi 2 kelompok :

1. Positif, bila ditemukan satu jenis atau lebih telur cacing dalam feses. 2. Negatif, bila tidak ditemukan telur cacing dalam feses.

b. Jenis Cacing adalah, cacing yang termasuk ke dalam kelas Nematoda yang menginfeksi

responden dan ditemukan berdasarkan hasil diagnosa, dikategorikan menjadi 5 kelompok :

1. Ascaris lumbricoides 2. Trichuris trichiura 3. Hookworms

4. Strongyloides stercoralis 5. Campuran (A+T, A+H)

1. Jenis Cacing Usus Ascaris lumbricoides,

Trichuris trichiura Hookworms

Strongyloides stercoralis

2. Sosiodemografi

Umur

Jenis Kelamin Suku

3. Personal Higiene 4. Status Gizi

(28)

c. Umur, adalah usia responden terhitung sejak dilahirkan hingga saat dilakukan penelitian dan

dikategorikan menjadi 2 :

1. 5 – 9 tahun 2. 10 – 14 tahun

d. Jenis Kelamin, adalah jenis kelamin responden yang dibagi menjadi 2 kelompok :

1. Laki-laki 2. Perempuan

e. Suku, adalah suku responden yang dikategorikan menjadi 4 kelompok :

1. Batak 2. Jawa 3. Melayu

4. dll (Aceh,Padang,Nias)

f. Personal Higiene, adalah tindakan kesehatan perorangan anak terhadap penyakit cacingan

menggunakan 7 pertanyaan yang memiliki 3 (tiga) alternatif jawaban yaitu ya,

kadang-kadang, tidak. Jawaban ya diberi skor 2, kadang-kadang diberi skor 1 dan tidak diberi skor 0.

Penilaian kategori :

1. Baik : nilai 11 – 14 (80 – 100%) 2. Sedang : nilai 7 – 10 (50 – 70%) 3. Tidak baik : nilai 0 – 6 (0 – 40%)

g. Status gizi, adalah status gizi responden yang diukur berdasarkan BB/U, dikategorikan

menjadi 3 kelompok :

(29)

BAB 4

METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat survei analitik dengan desain cross

sectional.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 4.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam

Kabupaten Deli Serdang. Alasan pemilihan lokasi adalah karena melihat kondisi lingkungan

panti yang kurang terjaga kebersihannya sehingga memungkinkan anak-anak panti tersebut untuk

terinfeksi cacing terutama yang ditularkan melalui tanah dan belum pernah dilakukan

pemeriksaan laboratorium terhadap feses anak Panti Asuhan ini.

4.2.2. Waktu Penelitian

Pengumpulan data penelitian dan analisis data dilakukan pada bulan Oktober 2007,

penulisan skripsi dilakukan pada bulan Nopember 2007, konsul skripsi dilakukan pada bulan Mei

2008, ujian skripsi pada bulan Agustus 2008, perbaikan skripsi bulan Oktober 2008.

4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi

Populasi penelitian adalah seluruh anak Sekolah Dasar (SD) yang tinggal di Panti Asuhan

(30)

4.3.2. Sampel

Sampel penelitian ini adalah anak Sekolah Dasar (SD) yang tinggal di Panti Asuhan

Al-Jamiyatul Washliyah, besar sampel adalah sama dengan populasi (total sampling).

4.4. Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan adalah data primer yaitu umur, jenis kelamin, suku dan personal

higiene diperoleh dari anak Panti Asuhan melalui kuesioner dan pemeriksaan tinja, pemeriksaan

feces untuk mengetahui infeksi kecacingan dilakukan di Laboratorium Parasitologi Jurusan

Analis Kesehatan Politeknik Kesehatan Medan dengan menggunakan metode Kato-Katz. Untuk

mendapatkan data status gizi digunakan metode BB/TB.

Cara Pemeriksaan Tinja dengan Teknik Modifikasi Kato - KATZ (katz et al, 1972)

a. Bahan yang diperlukan :

Tempat atau wadah feaces, objeck glass, lembar selofan berukuran 2-5 x 3 cm, kertas

saring, batang aplikator bambu dan mikroskop.

b. Reagen yang diperlukan :

Larutan gliserin-hijau malakit yang terdiri dari : 100 bagian aquades (6% fenol), 100

bagian gliserin, 1 bagian larutan hijau malakit 3%.

c. Pengambilan Spesimen :

Sediakan pot, beri kode agar tidak terjadi kekeliruan, kemudian pot dibagikan kepada

sampel yang telah diberikan nomor untuk diisi dengan tinja esok harinya (pemeriksaan ini

dilakukan sebelum 12 jam).

d. Cara Kerja :

(31)

• Ambil tinja dengan aplikator sebanyak 50-60mg (sebesar kacang kedelai)

• Letakkan di atas kaca benda, kemudian tutup dengan selofan yang sudah direndam dan

tekan selofan dengan objek glass.

• keringkan larutan yang berlebihan dengan kertas saring.

• Diamkan sediaan selama 1 jam pada suhu kamar atau dalam inkubator dengan suhu 400

• Periksa di bawah mikroskop dengan pembesaran lemah ( 10x dan 40x)

C.

e. Interpretasi :

1. Positif (Kecacingan) : bila didapat ada telur cacing dalam tinja.

2. Negatif (Tidak Kecacingan) : bila tidak didapatkan adanya telur cacing dalam tinja.

4.5. Analisa Data

Data yang telah dikumpulkan diolah dengan menggunakan komputer melalui program

SPSS (Statistical Product and Service Solution). Data univariat dianalisa secara deskriptif dan

data bivariat dianalisa dengan uji Chi-Square. Kemudian hasilnya ditampilkan dalam bentuk

tabel distribusi frekuensi, diagram pie, dan diagram bar yang disertai dengan uraian mengenai

(32)

BAB 5

HASIL PENELITIAN

5.1. Deskripsi Lokasi Penelitian

Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah terletak di Kecamatan Lubuk Pakam III yang

merupakan salah satu kecamatan di Kabupaten Deli Serdang dengan alamat di jalanTengku Raja

Muda No.32 Lubuk Pakam. Luas panti asuhan Al-Jamiyatul Washliyah kurang lebih 1 Ha.

Panti asuhan Al-Jamiyatul Wasliyah memiliki anak asuh sebanyak 168 anak, dimana 108

anak diantaranya merupakan murid SD. Berdasarkan hasil observasi, panti asuhan ini memiliki

fasilitas 5 ruangan yang dijadikan kamar tidur, dan memiliki 8 buah WC. Keadaan sanitasi

lingkungan disekitar panti asuhan masih kurang baik, apalagi jika musim hujan, daerah disekitar

panti menjadi kotor dan banyak genangan air.

5.2. Prevalensi Penyakit Kecacingan

Prevalensi penderita penyakit kecacingan diperoleh guna mendapatkan gambaran seberapa

banyak anak yang menderita penyakit kecacingan di panti asuhan Al-Jamiyatul Washliyah, dari

hasil pemeriksaan laboratorium dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Penyakit Kecacingan Pada Anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun 2008

No Hasil Pemeriksaan Laboratorium f %

1. 2.

Positif Negatif

45 63

41,7 58,3

(33)

Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium dari 108 anak yang diperiksa didapatkan

hasil positif menderita penyakit kecacingan sebanyak 45 orang (41,7%) dan yang tidak menderita

penyakit kecacingan sebanyak 63 orang (58,3%).

5.3. Proporsi Jenis Cacing pada Penderita Kecacingan

Proporsi jenis cacing pada penderita kecacingan dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 2. DistribusiProporsi Penyakit Kecacingan Berdasarkan Jenis Cacing Pada Anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun 2008

No Jenis Cacing f %

Berdasarkan tabel 2 diatas dapat dilihat bahwa dari 45 anak penderita penyakit

kecacingan, anak yang terinfeksi cacing Ascaris lumbricoides sebesar 37,8% (17 orang), infeksi

campuran sebesar 24,4% (11 orang), Trichuris trichiura sebesar 20,0% (9 orang), Hookworm

(34)

5.4. Sosiodemografi Anak

Sosiodemografi meliputi umur, jenis kelamin, suku. Distribusi Proporsi berdasarkan sosiodemografi anak dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 3. Distribusi Proporsi Berdasarkan Sosiodemografi Pada Anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun 2008

No Sosiodemografi f %

Berdasarkan umur dapat dilihat bahwa dari 108 orang anak yang terdapat pada kelompok

umur 10 – 14 tahun sebesar 61,1% (66 orang) dan pada kelompok umur 5 - 9 tahun sebesar 38,9%

(42 orang).

Berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat bahwa dari 108 orang anak dengan jenis kelamin

laki-laki sebesar 52,8% (57 orang) dan dengan jenis kelamin perempuan sebesar 47,2% (51

orang).

Berdasarkan suku dapat dilihat bahwa dari 108 orang anak yang tertinggi dengan suku

Jawa sebesar 46,3% (50 orang), Melayu sebesar 31,5% (34 orang), Batak sebesar 12,0% (13

(35)

5.5. Personal Higiene Anak

Keadaan personal higiene anak dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 4. Distribusi Pernyataan Personal Higiene Anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun 2008

Berdasarkan tabel 4 di atas dapat dilihat bahwa dari 108 orang anak sebesar 51,8 % (56

orang) mencuci tangan sewaktu makan , sebesar 47,2 % (51 orang) mencuci tangan setelah BAB,

sebesar 54,6% (59 orang) kadang-kadang memotong kuku setiap minggu, sebesar 67,6% (73

orang) keadaan kuku anak bersih, sebesar 44,4% (48 orang) yang memakai alas kaki jika keluar

No Pernyataan

Jawaban

Kebiasaan mencuci tangan sebelum makan.

Kebiasaan mencuci tangan setelah BAB.

Kebiasaan memotong kuku setiap minggu.

Keadaan kuku responden selalu pendek dan bersih.

Kebiasaan memakai alas kaki jika keluar rumah/panti.

Kebiasaan bermain memakai alas kaki.

(36)

sedangkan yang memakai alas kaki sebesar 27,8 % (30 orang) dan yang melakukan kebiasan

meminum air yang masak sebesar 86,1% (93 orang).

Berdasarkan pernyataan pada tabel 4 maka dapat dikategorikan tingkat personal higiene

anak Panti Asuhan seperti pada tabel 5 di bawah ini :

Tabel 5. Distribusi Berdasarkan Personal Higiene Pada Anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun 2008

No Personal Higiene f %

Berdasarkan tabel 5 di atas dapat dilihat bahwa dari 108 anak sebesar 57,4% (62 orang)

memiliki personal higiene yang baik, personal higiene dengan kategori sedang sebesar 29,6% (32

orang) dan yang memiliki personal higiene dengan kategori tidak baik sebesar 13% (14 orang).

5.6. Status Gizi Anak

Status gizi anak dapat dilihat pada tabel di bawah ini :

Tabel 6. Distribusi Berdasarkan Status Gizi Pada Anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun 2008

No Status Gizi f %

Berdasarkan tabel 6 diatas dapat dilihat bahwa dari 108 anak, yang tertinggi adalah

dengan status gizi baik sebanyak 59,3% (64 orang), status gizi kurang sebanyak 36,1% (39

(37)

5.7. Analisis Hubungan Sosiodemografi Dengan Penyakit Kecacingan

Analisis Hubungan antara Sosiodemografi meliputi umur, jenis kelamin, dan suku dengan

penyakit kecacingan dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

5.7.1. Hubungan Umur Dengan Penyakit Kecacingan

Hubungan antara umur dengan penyakit kecacingan pada anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul

Washliyah dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 7. Hubungan Umur Dengan Penyakit Kecacingan Pada Anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun 2008

No Umur

Penyakit Kecacingan

Total

Berdasarkan tabel 7 di atas dapat dilihat bahwa anak yang menderita penyakit kecacingan

berdasarkan umur tertinggi pada umur 10 – 14 tahun sebesar 42,4% (28 orang) dan tidak

menderita penyakit kecacingan sebesar 57,6% (38 orang). Sedangkan pada kelompok umur 5 - 9

tahun yang menderita sebesar 40,5% (17 orang) dan tidak menderita sebesar 59,5% (25 orang).

Dari hasil uji Chi-Square tidak terdapat hubungan antara umur dengan penyakit kecacingan

(38)

5.7.2. Hubungan Jenis Kelamin Dengan Penyakit Kecacingan

Hubungan antara jenis kelamin dengan penyakit kecacingan pada anak Panti Asuhan

Al-Jamiyatul Washliyah dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 8. Hubungan Jenis Kelamin Dengan Penyakit Kecacingan Pada Anak Panti AsuhanAl-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun 2008

Jenis Kelamin

Penyakit Kecacingan

Total

Berdasarkan tabel 8 di atas dapat dilihat bahwa jenis kelamin yang menderita penyakit

kecacingan tertinggi dengan jenis kelamin laki-laki sebesar 45,6% (26 orang) dan yang tidak

menderita kecacingan sebesar 54,4% (31 orang). Sedangkan dengan jenis kelamin perempuan

yang menderita kecacingan sebesar 37,3% (19 orang) dan yang tidak menderita kecacingan

sebesar 62,7% (32 orang). Dari hasil uji Chi-Square tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin

(39)

5.7.3. Hubungan Suku Dengan Penyakit Kecacingan

Hubungan antara suku dengan penyakit kecacingan pada anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul

Washliyah dapat dilihat pada tabel dibawah ini :

Tabel 9. Hubungan Suku Dengan Penyakit Kecacingan Pada Anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun 2008

No Suku

Penyakit Kecacingan

Total

Berdasarkan tabel 9 di atas dapat dilihat bahwa penderita dari suku Jawa yang menderita

penyakit kecacingan sebesar 40% (20 orang), dan yang tidak menderita sebesar 60% (30 orang).

Penderita dari suku Melayu yang menderita penyakit kecacingan sebesar 38,2% (13 orang) dan

yang tidak menderita sebesar 61,8% (21 orang). Suku Batak yang menderita penyakit kecacingan

sebesar 53,8% (7 orang) dan yang tidak menderita sebesar 46,2% (6 orang). Penderita penyakit

kecacingan yang berasal dari kelompok suku dll sebesar 45,5% (5 orang) dan yang tidak

menderita sebesar 54,5% (6 orang). Dari hasil uji Chi-Square tidak terdapat hubungan antara suku

(40)

5.8. Analisis Hubungan Personal Higiene Dengan Penyakit Kecacingan

Hubungan antara Personal Higiene dengan penyakit kecacingan dapat dilihat pada tabel di

bawah ini:

Tabel 10. Hubungan Personal Higiene dengan Penyakit Kecacingan Pada Anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun 2008

No Personal Higiene

Penyakit Kecacingan

Total

Berdasarkan tabel 10 di atas dapat dilihat bahwa personal higiene dengan kategori baik

yang menderita penyakit kecacingan sebesar 16,1% (10 orang) dan yang tidak menderita sebesar

83,9% (52 orang), personal higiene sedang yang menderita penyakit kecacingan sebesar 56,6%

(21 orang) dan yang tidak menderita sebesar 43,4% (11 orang) sedangkan personal higiene yang

tidak baik dimiliki oleh seluruh penderita penyakit kecacingan yaitu sebesar 100% (14 orang).

Hasil uji Chi-Square terdapat hubungan antara personal higiene dengan penyakit kecacingan

(41)

5.9. Analisis Hubungan Status Gizi dengan Penyakit Kecacingan

Hubungan antara status gizi dengan penyakit kecacingan dapat dilihat pada tabel di bawah

ini:

Tabel 11. Hubungan Status Gizi dengan Penyakit Kecacingan Pada Anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun 2008

No Status Gizi

Penyakit Kecacingan

Total

Dari tabel 11 di atas dapat dilihat bahwa anak yang menderita penyakit kecacingan

tertinggi dengan status gizi kurang sebesar 59,0% (23 orang) dan yang tidak menderita sebesar

41,0% (16 orang). Status gizi baik yang menderita kecacingan sebesar 26,6% (17 orang) dan yang

tidak menderita sebesar 73,4% (47 orang). Status gizi buruk seluruhnya menderita infeksi STH

yaitu sebesar 100% (5 orang).

Dari hasil uji Chi-Square terdapat hubungan antara status dengan penyakit kecacingan

(42)

BAB 6 PEMBAHASAN

6.1. Prevalensi Penyakit Kecacingan

Prevalensi penyakit kecacingan pada anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah dapat

dilihat pada gambar dibawah ini :

Gambar 1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Penyakit Kecacingan Pada Anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun 2008

Berdasarkan gambar 1 dapat dilihat bahwa hasil pemeriksaan feses pada anak panti asuhan

Al-Jamiyatul Wasliyah sebanyak 108 responden dengan metode Kato-katz didapatkan anak yang

menderita penyakit kecacingan adalah 41,7% yaitu 45 orang. Sedangkan yang tidak menderita

sebanyak 58,3% yaitu 63 orang.

Hal ini sesuai dengan penelitian Astri Maharani (2005) di SDN Karang Mulyo 02

kabupaten Kendal dengan jenis penelitian explanatory dan desain cross sectional yang

mendapatkan bahwa dari 51 siswa yang diambil sampel fesesnya terdapat 21,57% (11 orang)

(43)

Menurut penelitian Erida Damaik (2005) di SDN 091434 Kabupaten Simalungun dengan

jenis penelitian deskriptif yang menggunakan desain cross sectional mendapatkan hasil bahwa

dari 150 responden yang diperiksa dengan hasil positif menderita kecacingan sebesar 42,0% (63

orang) dan yang negative sebesar 58,0% (87 orang).

Hasil survei cacingan pada anak sekolah dasar di Kabupaten Deli Serang oleh Dinas

Kesehatan Sumatera Utara mendapatkan prevalensi sebesar 39,56%.

21

9

Adanya perbedaan angka prevalensi atau angka kejadian kecacingan disebabkan oleh

adanya perbedaan faktor risiko di beberapa lokasi penelitian, terutama yang berhubungan dengan

kondisi sanitasi lingkungan, personal hygiene dan kondisi alam atau georgafi.

6.2. Distribusi Penyakit Kecacingan Berdasarkan Jenis Cacing

Distribusi penyakit kecacingan berdasarkan jenis cacing pada anak Panti Asuhan

Al-Jamiyatul Washliyah dapat dilihat pada gambar dibawah ini :

(44)

Dari gambar 2 dapat dilihat bahwa penderita penyakit kecacingan yang tertinggi terinfeksi

oleh cacing Ascaris lumbricoides yaitu sebesar 37,8% (17 orang), penderita yang mengalami

multi infeksi yaitu antara Ascaris dan Trichiuris serta Ascaris dan Hookworms sebesar 24,4% (11

orang), penderita yang terinfeksi Trichiuris trichiura sebesar 20% (9 orang), Hookworms sebesar

11,1% (5 orang), dan Strongyloides stercoralis sebesar 6,7% (3 orang).

Hasil penelitian di atas sesuai dengan penelitian Erida Damaik (2005) di SDN 091434

Kabupaten Simalungun dengan jenis penelitian deskriptif yang menggunakan desain cross

sectional mendapatkan hasil bahwa penderita kecacingan tertinggi terinfeksi Ascaris lumbricoides

sebesar 72,6% (53 orang) dan yang terendah terinfeksi Hookworms sebesar 2,7% (2 orang).

Menurut penelitian Sadjimin (2000) di Kabupaten Poso mengenai gambaran epidemiologi

kejadian kecacingan pada siswa SD dengan menggunakan desain cross sectional mendapatkan

hasil bahwa infestasi terbanyak disebabkan oleh Ascaris lumbricoides (28%), dan jenis paling

sedikit adalah cacing tambang (1%), sedangkan infeksi multiple sebanyak 7% (Ascaris-Trichuris,

Ascaris-Oxyuris dan Ascaris-cacing tambang).

21

(45)

6.3. Status Gizi Anak

Status gizi anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah dapat dilihat pada gambar dibawah

ini :

Gambar 3.Diagram Pie Status Gizi Anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun 2008

Dari gambar 3. dapat dilihat bahwa status gizi anak yang tertinggi adalah dengan status

gizi baik yaitu sebesar 59,3% (64 orang), status kurang sebesar 36,1% (39 orang), status gizi

buruk sebesar 4,6% (5 orang).

Menurut penelitian Astri Maharani (2005) di SDN Karang Mulyo 02 kabupaten Kendal

dengan jenis penelitian explanatory dan desain cross sectional yang mendapatkan hasil sebesar

60,78% (31 siswa) mempunyai status gizi kurang berdasarkan indeks BB/U, sedangkan

berdasarkan indeks TB/U sebesar 64,71% (33 siswa) mempunyai status gizi kurang.

Menurut penelitian Sri Alemina (2003) di Kabupaten Karo dengan desain cross sectional

mendapati bahwa penderita kecacingan tertinggi dengan status gizi baik yaitu sebesar 46,4%,

status gizi sedang sebesar 39,3%, status gizi kurang sebesar 14,3%.

20

(46)

Status gizi anak berhubungan dengan besarnya risiko untuk terkena penyakit kecacingan,

karena pada umumnya anak yang kecacingan akan mengalami gangguan penyerapan makanan

dan zat nutrisi tubuh yang menyebabkan memburuknya status gizi anak tersebut.

6.4. Analisis Hubungan Sosiodemografi dengan Penyakit Kecacingan

Analisis hubungan sosiodemografi dengan penyakit kecacingan meliputi umur, jenis

kelamin dan suku dapat dilihat dibawah ini :

6.4.1. Hubungan Umur dengan Penyakit kecacingan

Hubungan antara umur dengan penyakit kecacingan dapat dilihat pada gambar dibawah

ini:

Gambar 4.Diagram Bar Hubungan Umur dengan Penyakit Kecacingan Pada Anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun 2008

Dari gambar 4 dapat dilihat bahwa anak yang positif kecacingan pada kelompok umur 5 -

9 tahun sebesar 40,5% (17 orang) dan yang negatif kecacingan sebesar 59,5% (25 orang).

(47)

dan yang negatif kecacingan 57,6% (38 orang). Dari hasil uji Chi-Square tidak terdapat hubungan

antara umur dengan penyakit kecacingan (p>0,05).

Hal ini sesuai dengan penelitian Sadjimin (2000) pada siswa SD di Kabupaten Poso

dengan desain cross sectional yang menyebutkan bahwa rerata usia anak yang terinfeksi cacing

secara umum lebih tua dibandingkan yang tidak terinfeksi yaitu sebesar 68,3%.

Hasil penelitian Erida Damanik (2005) di SDN 091434 Kabupaten Simalungun dengan

jenis penelitian deskriptif yang menggunakan desain cross sectional mendapatkan hasil bahwa

tidak ada hubungan antara infeksi kecacingan dengan umur dimana nilai significance-nya

sebesar 0,107 (p > 0,05).

22

21

6.4.2. Hubungan Jenis Kelamin dengan Penyakit kecacingan

Hubungan antara jenis kelamin dengan penyakit kecacingan dapat dilihat pada gambar

dibawah ini :

(48)

Dari gambar 5. dapat dilihat bahwa anak yang positif kecacingan dengan jenis kelamin

laki-laki sebesar 45,6% (26 orang) dan yang negatif sebesar 54,4% (31 orang). Sedangkan dengan

jenis kelamin perempuan yang positif cacingan sebesar 37,3% (19 orang) dan yang negatif

cacingan sebesar 62,7% (32 orang). Dari hasil uji Chi-Square tidak terdapat hubungan antara jenis

kelamin dengan penyakit kecacingan (p>0,05), karena kebiasaan dan cara hidup mereka secara

umum tidak berbeda sehingga risiko untuk terkena penyakit kecacingan sama besarnya.

Hasil penelitian diatas berbeda dengan penelitian Sri Alemina (2003) di Desa Suka

Kabupaten Karo dengan desain cross sectional yang menyebutkan bahwa terdapat hubungan yang

bermakna antara jenis kelamin dengan kejadian kecacingan (ρ = 0,028).

Menurut penelitian Erida Damanik (2005) di SDN 091434 Kabupaten Simalungun dengan

jenis penelitian deskriptif yang menggunakan desain cross sectional mendapatkan hasil bahwa

tidak terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan infeksi kecacingan yang dinyatakan dengan

nilai ρ = 0,292.

23

21

(49)

6.4.3. Hubungan Suku dengan Penyakit Kecacingan

Hubungan antara suku dengan penyakit kecacingan dapat dilihat pada gambar dibawah ini

:

Gambar 6. Diagram Bar Hubungan Suku dengan Penyakit Kecacingan Pada Anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun 2008

Dari gambar 6 dapat dilihat bahwa anak yang positif kecacingan yang berasal dari suku

Batak sebesar 53,8% (7 orang) dan yang negatif sebesar 46,2% (6 orang). Suku Jawa yang positif

cacingan sebesar 40% (20 orang) dan yang negatif sebesar 60% (30 orang). Suku Melayu yang

positif cacingan sebesar 38,2% (13 orang) dan yang negatif sebesar 61,8% (21 orang). Anak yang

berasal dari kelompok suku dll yang positif cacingan sebesar 45,5 (5 orang) dan yang negatif

sebesar 54,5% (6 orang).

Dari hasil uji Chi-Square tidak terdapat hubungan antara suku dengan penyakit kecacingan

(p>0,05). Faktor suku tidak mempengaruhi terhadap kebiasaan hidup anak panti asuhan karena

(50)

terbawa dalam kehidupan mereka sehari-hari sehingga dapat dikatakan suku tidak mempengaruhi

terhadap penyakit kecacingan.

6.5. Analisis Hubungan Personal Higiene dengan Penyakit Kecacingan

Analisis hubungan antara personal higiene dengan penyakit kecacingan dapat dilihat pada

gambar dibawah ini :

Gambar 7.Diagram Bar Hubungan Personal Higiene dengan Penyakit Kecacingan Pada Anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun 2008

Dari gambar 7. dapat dilihat bahwa anak dengan personal hygiene baik yang Positif

kecacingan sebesar 16,1% (10 orang) dan yang negatif sebesar 83,9% (52 orang). Anak dengan

personal hygiene sedang yang Positif cacingan sebesar 56,6% (21 orang) dan yang negatif sebesar

34,4% (11 orang) dan anak dengan personal hygiene tidak baik seluruhnya menderita cacingan

(14 orang). Dari hasil uji Chi-Square terdapat hubungan antara personal higiene dengan penyakit

kecacingan (p<0,05).

Menurut penelitian Astri Maharani (2005) di SDN Karang Mulyo 02 Kabupaten Kendal

(51)

terdapat hubungan antara keadaan hygiene dengan tingginya kejadian infeksi nematoda usus yang

menunjukkan bahwa sebagian besar (63,64%) siswa yang menderita infeksi nematoda usus

memiliki sanitasi yang kurang.20 Personal higiene sangat berpengaruh terhadap infeksi

kecacingan. Anak dengan personal higiene yang baik akan terhindar dari kecacingan dan

sebaliknya anak dengan personal higiene yang tidak baik kemungkinan terkena cacingan sangat

besar.

6.6. Analisis Hubungan Status Gizi dengan Penyakit Kecacingan

Analisis hubungan antara Status Gizi dengan penyakit kecacingan dapat dilihat pada

gambar dibawah ini :

Gambar 8.Diagram Bar Hubungan Status Gizi dengan Penyakit Kecacingan Pada Anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun 2008

Dari gambar 8. dapat dilihat bahwa anak dengan status gizi baik yang positif cacingan

sebesar 26,6% (17 orang) yang negatif sebesar 73,4% (47 orang). Status gizi kurang yang positif

(52)

gizi buruk seluruhnya mengalami positif kecacingan (100%). Dari hasil uji Chi-Square terdapat

hubungan antara status gizi dengan penyakit kecacingan (p<0,05).

Keadaan gizi seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor meliputi pola konsumsi makanan

dan perilaku manusia yang dapat mempengaruhi masuknya parasit ke dalam tubuh. Penyakit

kecacingan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi status gizi anak, karena kecacingan

akan menghambat penyerapan zat makanan dan nutrisi sehingga berpengaruh terhadap penurunan

(53)

BAB 7

KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. KESIMPULAN

7.1.1. Prevalens rate Soil Transmitted Helminths (STH) pada anak panti asuhan Al-Jamiyatul

Washliyah tahun 2008 sebesar 41,7%.

7.1.2. Proporsi Penderita Kecacingan berdasarkan jenis cacing yang terbanyak pada anak panti

Asuhan adalah Ascaris lumbricoides 37,8%,

7.1.3. Proporsi penderita kecacingan tertinggi pada kelompok umur 10 – 14 tahun 61,1%, jenis

kelamin laki-laki 52,8%, suku Jawa 46,3%, personal hygiene baik 57,4%.

7.1.4. Proporsi status gizi anak panti asuhan yang tertinggi adalah dengan status gizi baik 59,3%

.

7.1.5. Tidak terdapat hubungan antara umur, jenis kelamin, suku dengan penyakit kecacingan (p

> 0,05).

7.1.6. Terdapat hubungan antara personal hygiene dan status gizi dengan penyakit kecacingan (p

< 0,05).

7.2. SARAN

7.2.1. Sebaiknya pihak panti asuhan bekerja sama dengan dinas kesehatan setempat atau

puskesmas setempat dalam memberikan penyuluhan kesehatan kepada anak panti asuhan

mengenai pentingnya menjaga personal hygiene untuk mencegah penularan penyakit

kecacingan.

(54)

DAFTAR PUSTAKA

1. Depkes RI, 1999. Rencana Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010. Jakarta.

2. BKKBN, 1997. Panduan Pembangunan Keluarga Sejahtera Dalam Rangka Penanggulangan Kemiskinan. Kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN. Jakarta.

3. Gani EH, 1994. Kemoterapi Masa Kini Untuk Pengobatan Soil Transmitted Helminthiasis. Presented at Simposium Sehari Peran Serta Masyarakat Dalam Usaha Penaggulangan Penyakit Kecacingan. FK USU Medan.

4. Soedarto, 1992. Penyakit-Penyakit Infeksi di Indonesia. Widya Medika. Jakarta.

5. WHO Technical Report Series, 2002. Prevention and Control of Schistosomiasis and Soil Transmitted Helminthiasis. Geneva.

6. WHO, 2006. Schistosomiasis and soil transmitted helminth infections-preliminary estimates of the number of children treated with albendazol or mebendazole.

7. Firmansyah, Isra MD, dkk. 2004. Factors Associated With the Transmission of Soil Transmitted Helminthiasis Among Schoolchildren. Jurnal Pediatrica Indonesiana Vol. 44 No. 7-8.

8. Rini P, Jeanne, dkk, 2000. Hubungan Antara Gejala dan Tanda Penyakit Cacing Dengan Kejadian Kecacingan Pada Anak Sekolah Dasar di Kecamatan Ampana Kota Kabupaten Poso Sulawesi Tengah. Jurnal epidemiologi Indonesia Vol. 4 Edisi I. Yogyakarta

9. Dinkes Prop. Sumut, 2004. Pengalaman dan Pencegahan Serta Pemberantasan Penyakit Kecacingan Propinsi Sumatera Utara. Lokakarya P2 Kecacingan. Medan.

10. Dinkes Prop. Sumut, 2006. Laporan Hasil Kegiatan Program Cacingan Tahun 2005.

Dinkes Prop. Sumut. Medan.

11. Garcia, dkk, 1996. Diagnostik Parasitologi Kedokteran. Alih Bahasa : Makimian. Cetakan I. EGC. Jakarta.

(55)

14. Gandahusada, S. dkk, 2000. Parasitologi Kedokteran. Edisi II. FKUI. Jakarta.

15. Onggowaluyo, S. 2002. Parasitologi Medik I Helmintologi. Cetakan I. EGC. Jakarta. 16. Gani, H. E, 2002. Helmintologi Kedokteran. Edisi XX. EGC. Jakarta.

17. Entjang, I, 2001. Mikrobiologi dan Parasitologi Untuk Akademi Keperawatan. PT. Citra Aditya bakti. Bandung.

18. Albert B, 2006. Sabin Vaccine Institude 1889 F Street. N W Suite 2008. Washington DC. www//http: DPDx, the CDC Parasitology Website. 2007.

19. DepKes RI, 2004. Pedoman Umum Program Nasional Pemberantasan Cacingan di Era Desentralisasi. DepKes RI. Jakarta.

20. Maharani I.P, Astri. 2005. Infeksi Nematode Usus Pada Siswa Sekolah Dasar Negeri Karang Mulyo 02, Kecamatan Peragon, Kabupaten Kendal. Jurnal Kedokteran Yarsi 13 (1) 24-34. Jakarta.

21. Damanik, Erida, 2005. Skripsi Mahasiswa : Gambaran Epidemiologi Penyakit Soil Transmitted Helminths Pada Murid SD Negeri No. 091434 Kecamatan Pamatang Sidamanik Kabupaten Simalungun Tahun 2005. FKM USU Medan. 22. Sadjimin, Toni, 2000. Gambaran Epidemiologi Kejadian Kecacingan Pada Siswa SD di

Kecamatan Ampana Kota Kabupaten Poso Sulawesi Tengah. Jurnal Epidemiologi Indonesia. Vol. 4 Edisi 1. Yogyakarta.

23. Alemina, S. 2003. Hubungan Antara Status Sosial Ekonomi Dengan Kejadian

(56)

Frequency Table

Soil Transmitted Helminths

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid Positif

(terinfeksi STH) 45 41.7 41.7 41.7

66 61.1 61.1 100.0

108 100.0 100.0

5-9 tahun 10-14 tahun Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Jenis Kelamin

57 52.8 52.8 52.8

51 47.2 47.2 100.0

108 100.0 100.0

Laki-laki Perempuan Total Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative

11 10.2 10.2 100.0

108 100.0 100.0

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Personal Higiene

62 57.4 57.4 57.4

32 29.6 29.6 87.0

14 13.0 13.0 100.0

108 100.0 100.0

Frequency Percent Valid Percent

(57)

Jenis Cacing * Soil Transmitted Helminths Crosstabulation

% within Jenis Cacing % within Soil

Transmitted Helminths % of Total

Count

% within Jenis Cacing % within Soil

Transmitted Helminths % of Total

Count

% within Jenis Cacing % within Soil

Transmitted Helminths % of Total

Count

% within Jenis Cacing % within Soil

Transmitted Helminths % of Total

Count

% within Jenis Cacing % within Soil

Transmitted Helminths % of Total

Count

% within Jenis Cacing % within Soil

Frequency Percent Valid Percent

(58)

Umur Responden * Soil Transmitted Helminths

N of Valid Cases

Value df

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 17.50.

(59)

Jenis Kelamin * Soil Transmitted Helminths

% within Jenis Kelamin % within Soil

Transmitted Helminths % of Total

Count

% within Jenis Kelamin % within Soil

Transmitted Helminths % of Total

Count

% within Jenis Kelamin % within Soil N of Valid Cases

Value df

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 21.25.

(60)

Suku * Soil Transmitted Helminths

N of Valid Cases

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

1 cells (12.5%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 4.58.

(61)

Personal Higiene * Soil Transmitted Helminths

N of Valid Cases

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 5.83.

(62)

Status Gizi * Soil Transmitted Helminths Crosstabulation

% within Status Gizi % within Soil

Transmitted Helminths % of Total

Count

% within Status Gizi % within Soil

Transmitted Helminths % of Total

Count

% within Status Gizi % within Soil

Transmitted Helminths % of Total

Count

% within Status Gizi % within Soil N of Valid Cases

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

2 cells (33.3%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 2.08.

Gambar

Gambar 2.8. Daur Hidup Strongyloides stercoralis
Tabel 1. Hasil Pemeriksaan Laboratorium Penyakit Kecacingan Pada Anak Panti
Tabel 2. Distribusi Proporsi Penyakit Kecacingan Berdasarkan Jenis Cacing Pada Anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun 2008
Tabel 3. Distribusi Proporsi Berdasarkan Sosiodemografi Pada Anak Panti Asuhan Al-Jamiyatul Washliyah Lubuk Pakam Tahun 2008
+7

Referensi

Dokumen terkait

Proses pengolahan data barang yang menjadi tanggungjawab sekolah, atau biasa disebut dengan barang inventaris, mulai dari pendataan barang masuk dan barang keluar,

KOMPETISI MATEMATIKA TINGKAT SD/MI DAN SMP/MTs Se-GERBANG KERTASUSILA 2012 “ BLOW YOUR MIND AND REACH YOUR SUCCESS WITH MATHEMATICS”1. SOAL

Hal ini akibat adanya pembungkaman gen dan proses penyusunan kembali ( rearrangement ) yang semakin tinggi. Penerapan teknologi trasformasi gen memungkinkan

Berdasarkan hasil dari penilaian panelis perbandingan formulasi 5% adalah penilaian yang men- dekati nilai kontrol dengan penambahan tepung talipuk sebanyak 15 gram

“Citra” menggambarkan ciri khas serta identitas kabupaten Lumajang, yang nantinya akan berfungsi atau bertujuan untuk memperkenalkan “Sebenarnya kota Lumajang itu

Gagne dalam Mariana, (1999:25) menyatakan untuk terjadinya belajar pada siswa diperlukan kondisi belajar, bak kondisi internal maupun kondisi eksternal. Yang

Studi yang dilakukan dalam penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran secara mendetail dari suatu status mengenai jumlah produksi hasil tangkapan ikan

Dengan demikian di Korea Selatan keberhasilan pemberantasan korupsi tidak bisa lepas dari fungsi masyarakat yang umumnya tergabung dalam NGO (non- governmental organization),