• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dari Kontrak Kerja Membentuk Sebuah Komunitas: Study Kasus Masyarakat Hindu-Bali Di DesA Pegajahan Kecamatan Perbaungan (1963-1990)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Dari Kontrak Kerja Membentuk Sebuah Komunitas: Study Kasus Masyarakat Hindu-Bali Di DesA Pegajahan Kecamatan Perbaungan (1963-1990)"

Copied!
84
0
0

Teks penuh

(1)

DARI KONTRAK KERJA MEMBENTUK SEBUAH

KOMUNITAS

:

STUDY KASUS MASYARAKAT HINDU-BALI DI

DESA PEGAJAHAN KECAMATAN PERBAUNGAN (1963-1990) SKRIPSI SARJANA

DIKERJAKAN O

L E H

NAMA : NOVRY DIANSYAH BARUS NIM : 020706011

PEMBIMBING

Dra. Nurhamidah, M.A. NIP. 131460524

DEPARTEMEN SEJARAH

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

Lembar Persetujuan Ujian Skripsi

DARI KONTRAK KERJA MEMBENTUK SEBUAH

KOMUNITAS

: STUDY KASUS MASYARAKAT HINDU BALI DI DESA

PEGAJAHAN KECAMATAN PERBAUNGAN (1963-1990)

Yang diajukan oleh :

Nama : NOVRY DIANSYAH B

NIM : 020706011

Telah disetujui untuk diujikan dalam ujian Skripsi oleh:

Pembimbing Tanggal……….

Dra. Nurhamidah, M.A. NIP 131460524

Ketua Departemen Ilmu Sejarah Tanggal……….

Dra. Fitriaty Harahap, S.U NIP 131284309

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(3)

Lembar Pengesahan Pembimbing Skripsi

DARI KONTRAK KERJA MEMBENTUK SEBUAH

KOMUNITAS

: STUDY KASUS MASYARAKAT HINDU BALI DI DESA

PEGAJAHAN KECAMATAN PERBAUNGAN (1963-1990

Skripsi Sarjana Dikerjakan O

L E H

Nama : Novry Diansyah B

Nim : 020706011

Pembimbing

Dra. Nurhamidah, M.A. NIP 131460524

Skripsi ini diajukan kepada panitia ujian Fakultas Sastra USU Medan, untuk melangkapi salah satu syarat ujian Sarjana Sastra dalam bidang Ilmu Sejarah.

DEPARTEMEN SEJARAH FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

(4)

KATA PENGANTAR

Segenap hati penulis mengucapkan terimakasih kepada Tuhan yang

memiliki kekuasaan atas alam dan segala isinya, berkat kekuatan dan pikiran yang

jernih saat penulis mengerjakan tugas akhir ini, sehingga terhimpun dengan baik.

Adapun tujuan dari skripsi ini ditulis merupakan pelaksanaan tugas seorang

Sejarawan dalam merekonstruksi peristiwa masa lampau manusia. Di lain pihak,

skripsi ini ditulis sebagai sebuah persyaratan untuk memperoleh gelar kesarjanaan

program S-1, pada Departemen Sejarah, Fakultas Sastra, Universitas Sumatera

Utara.

Penelitian ini membahas tentang proses sosial yang dialami oleh

masyarakat Hindu Bali di kecamatan Perbaungan, setelah mereka ditempatkan

menjadi karyawan kontrak pada PTPN II tahun 1963. proses yang dimaksud

dimulai dari bencana meletusnya Gunung Agung yang menyebabkan harta

kekayaan dan sumber kehidupan mereka rusak total oleh karena bencana alam

letusan gunung Agung. Bagaimana masyarakat Hindu Bali menjadi masyarakat

lokal di kecamatan Perbaungan desa Pagajahan, juga menjadi bahan kajian

penelitian ini.

Penulis mengakui bahwa saat melaksanakan penelitian ini, penulis

merasakan betapa banyaknya halangan yang dihadapi penulis, terutama saat

pengumpulan sumber, sebab penelitian tentang topik ini sama sekali belun pernah

dilakukan. Untuk itulah penulis menyadari bahwa skripsi ini masih banyak

(5)

terhadap karya ini yang sifatnya memberikan kebaikan dan melengkapi karya ini..

Semoga sikripsi ini berguna bagi kita semua, kususnya mahasiswa sejarah dan

masyarakat Hindu Bali di kecamatan Perbaungan. Terima kasih,

Medan, 27 Maret 2008

Novry Diansyah Barus

(6)

DAFTAR ISI

1.3 TUJUAN DAN MENFAAT PENELITIAN ……… 8

1.4 TINJAUN PUSTAKA ………. 9

1.5 METODE PENELITIAN ………. 12

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1 LATAR HISTORIS ……….. 14

2.2 PROFIL WILAYAH DESA PAGAJAHAN ………. 17

2.3 KEADAAN PENDUDUK ………..……….. 19

2.4 STRUKTUR PEMERINTAHAN DESA PEGAJAHAN… 24 BAB III KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT HINDU BALI 3.1 LATARBELAKNG SOSIAL MASYARAKAT HINDU BALI ………..…… 26

3.2 PERISTIWA MELETUSNYA GUNUNG AGUNG ….. 28

3.3 ANTARA TRANSMIGRASI DAN KONTRAK KERJA SEBAGAI PILIHAN ……… 35

(7)

BAB IV MASYARAKAT HINDU BALI MEMBENTUK

SEBUAH KOMUNITAS

4.1 PERUBAHAN PNP IX MENJADI PTPN II

DAN PENGARUHNYATERHADAPKONTRAK

KERJA …...………… 46

4.2 DARI SEBUAH KOMUNITAS MENUJU PENDIRIAN PURA DI PAGAJAHAN ………. 51

4.3 SITUASI TERAKHIR MASYARAKAT HINDU BALI DI PAGAJAHAN KECAMATAN PERBAUNGAN ………. 59

BAB V KESIMPULAN ……… 64

- DAFTAR PUSTAKA ………. 67

- DAFTAR INFORMAN ……….. 69

- LAMPIRAN-LAMPIRAN

(8)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Ruang Lingkup Permasalahan

Bencana alam adalah salah satu faktor yang dapat membuat perubahan

terhadap kehidupan sosial masyarakat di sekitarnya. Kehidupan sosial masyarakat

merupakan bagian yang tidak terlepas dari pengaruh alam. Apabila terjadi

bencana, maka sistem sosial yang berada di sekitarnya akan mengalami dampak

tersebut1 Demikianlah yang dialami oleh masyarakat yang tinggal di tiga kabupaten di Bali, yaitu: kabupaten Karang Asam, kabupaten Klungkung, dan

kabupaten Tabanan, saat peristiwa gunung Agung meletus.

Pada bulan November 1963, gunung Agung yang berada di Bali meletus2. Dampak yang ditimbulkannya membawa berbagai kerusakan terhadap lingkungan

alam, dan kehidupan sosial masyarakat disekitarnya. Masyarakat dari tiga

kabupaten yang disebutkan sebelumnya menjadi kelompok sosial yang paling

besar kerugiannya. Selain menelan korban jiwa, bencana alam letusan gunung

Agung juga merusak segi kehidupan masyarakat, seperti lahan pertanian,

perekonomian, dan bidang kehidupan lainnya. Besarnya jumlah korban dan

kerugian yang dialami masyarakat akibat dari minimnya peralatan yang dimiliki

pemerintah Indonesia untuk mendeteksi waktu dan besarnya kekuatan dari letusan

gunung Agung. Hal inilah yang membuat masyarakat tidak bersiap menghadapi

bencana alam tersebut.

1

Soerjono Soekanto,Teori Sosiologi Tentang Perubahan, Jakarta: Ghalia Indonesia, Hlm. 29. 1983

(9)

Saat letusan terjadi, kelompok masyarakat diungsikan ke Denpasar sebagai

tempat yang lebih aman dibanding ketiga kabupaten dekat wilayah Gunung

Agung tersebut. Masyarakat berada dibawah perlindungan pemerintah dengan

membentuk lembaga baru yaitu Komando Operasi Gunung Agung yang disingkat

dengan KOOGA. Badan ini juga menjadi penanggungjawab terhadap masyarakat

selama di pengungsian. Selama dua bulan di pengungsian, korban bencana alam

meletusnya gunung Agung, hanya hidup dari bantuan pemerintah dan masyarakat.

Harta dan perlengkapan yang mereka miliki semuanya tidak dapat digunakan lagi.

Keadaan ini membuat pemerintah dan juga masyarakat pengungsi, berfikir keras

untuk mencari cara bagaimana agar para pengungsi dapat melanjutkan kehidupan

mereka kembali seperti semula. Untuk menunggu kondisi pemukiman mereka

dapat digunakan kembali dengan baik, membutuhkan waktu yang lama3.

Pemerintah akhirnya membuat program untuk pengungsi yang masih

berada di tempat pengungsian. Pada awalnya mereka (pengungsi) akan

ditransmigrasikan, kedua daerah yaitu Irian Jaya, dan Kalimantan. Fasilitas yang

mereka dapatkan adalah, tanah seluas 2 hektar dan perlengkapan rumah tangga

yang lengkap. Pengungsi juga akan menjadi tanggungan negara selama masa

pra-produktif. Mereka harus mandiri ketika masa produktif tiba4.

Proses pelaksanaan program transmigrasi pada dasarnya adalah

mengurangi kepadatan penduduk di suatu daerah, dengan tujuan pemerataan

jumlah penduduk antara daerah yang satu dengan daerah yang lainnya. Tujuan

3 Wawancara dengan Inengah Sumandiyase, tanggal 10 April 2007

4 Wawancara dengan Wayan Kingsar ( masyarakat Hindu Bali di desa Pegajahan ),

(10)

transmigrasi juga dilakukan untuk mempercepat pembangunan yang merata di

masing-masing daerah.

Sebelum para pengungsi diberangkatkan kedaerah tujuan transmigrasi (

Irian Jaya dan Kalimantan), sebuah perusahaan perkebunan (Perusahaan Negara

Perkebunan) datang menawarkan pekerjaan kepada pengungsi melalui

pemerintah. Perusahaan ini membutuhkan karyawan sejumlah 60 kepala keluarga

Mereka akan di kontrak selama 6 tahun. Fasilitas yang disediakan PNP ialah

rumah kecil sederhana dengan dua buah kamar tidur dan dilengkapi dengan

perlengkapan rumah tangga. Selama mereka belum menerima gaji biaya rumah

tangga di tanggung Perusahaan. Mereka mulai menaggung biaya sendiri bila gaji

pertama sudah diterima.

Sistem kontrak kerja pada dasarnya merupakan hasil kesepakatan antara

karyawan dengan perusahaan swasta yang melibatkan Direktorat Jenderal

perlindungan dan perawatan kerja. Ketiga pihak yang berkaitan dengan perjanjian

kontrak bertujuan untuk mengantisipasi terjadinya tindakan-tindakan yang

merugikan dari masing-masing pihak. Karyawan dan pihak pengusaha

menandatangani kontrak kerja setelah sama-sama mengetahui hak dan kewajiban

masing-masing saat kontrak dilaksanakan2 .

Kontrak kerja yang diterima oleh para pengungsi dari Bali ini tidak seperti

Kontrak Kerja yang diatur oleh Undang-Undang Ketenaga Kerjaan Indonesia,

sebab tidak ada perjanjian yang ditulis diatas kertas segel. Perjanjian kerja yang

2

(11)

mereka lakukan hanyalah perjanjian lisan saja. Pihak Perusahaan berusaha untuk

menjelaskan kewajiban-kewajiban yang harus dikerjakan para pengungsi ini dan

beberapa persyaratan yang harus mereka patuhi.

Syarat-syarat yang diajukan pihak Perkebunan diantaranya adalah, harus

berangkat dengan anggota keluarga (istri dan anak). Jumlah tanggungan tidak

boleh lebih dari tiga orang dan siap menjalani kontrak selama 6 tahun. Oleh

karena calon karyawan harus sudah berkeluarga, maka beberapa orang yang

masih muda dan belum berkeluarga, berusaha untuk mencari pasangan sementara

agar mereka boleh berangkat.

Pasangan sementara ini akan selalu bersama-sama di tempat tinggal

mereka yang baru (Kecamatan Perbaungan) yang telah disediakan oleh pihak

perusahaan. Kebersamaan ini menjadi hal yang unik ketika sudah sampai di

tempat tinggal mereka. Sebagian dari mereka akhirnya melanjutkan kebersamaan

mereka kejenjang pernikahan. Pasangan yang pada awalnya hanya untuk

memenuhi syarat kontrak kerja, akhirnya memutuskan untuk benar-benar

menikah.

Pekerjaan keseharian masyarakat Hidu-Bali yang baru, adalah sebagai

karyawan kontrak di perkebunan (PNP IX) yang pada awalnya mereka adalah

petani. Kelompok masyarakat kontrak ini hidup dengan peraturan kerja

perusahaan. Kegiatan kerja yang mereka lakukan di PNP IX adalah membabat,

menyemprot, mencangkol, dan menderes (perkebuan PNP pada saat itu masih

menanam pohon karet) Mereka bekerja tujuh jam dalam satu hari, dan hari kerja

(12)

dalam satu bulan, tepatnya di akhir bulan. Mereka boleh meminjam di

pertengahan bulan apabila mereka tidak memiliki persediaan perlengkapan

rumah-tangga.

Pada tahun 1969 kontrak kerja mereka berakhir sesuai dengan perjanjian

kerja yang mereka sepakati selama 6 tahun. Pada saat itu juga, pihak perusahaan

menawarkan dua pilihan, yaitu : apakah mereka akan mengakhiri kontrak mereka

atau akan melanjutkan kembali.15 kepala keluarga dari karyawan kontrak yang

berasal dari pulau Bali ini memilih untuk kembali ke pulau Bali dengan

pertimbangan bahwa mereka masih memiliki harta warisan di pulau Bali yang

dapat mereka kelola kembali. Sebagian lagi menyatakan ingin melanjutkan

kontrak kerja ini, sebab mereka beranggapan bahwa hidup sebagai karyawan

kontrak ini lebih terjamin. Mereka lebih memilih tinggal karena apabila mereka

kembali ke daerah asalnya meeka juga tidak memiliki apa-apa lagi.

Bagi yang memilih pulang ke Bali disebabkan mereka masih mempunyai

warisan yang dapat di mamfaatkan kembali setelah keadaan menjadi baik.

Kelompok kontrak kerja yang tidak kembali dengan barbagai alasan tetap

berkedudukan sebagai karyawan kontrak, dimana kontrak diperpanjang selama

tiga tahun. Alasan melanjutkan kontrak sangat beragam. Sebagian mengatakan

bahwa mereka terkait utang, ada yang tidak balik dengan alasan bahwa mereka di

Bali tidak memiliki harta lagi dan alasan yang lainnya.

Masyarakat Hindu-Bali yang melanjutkan kontrak kerja mulai memikirkan

bagaimana membentuk pola integrasi dengan masyarakat perkebunan, yaitu

(13)

merencanakan sebuah perkumpulan etnis. Mereka mulai membentuk

paguyuban-paguyuban sebagai bentuk realisasinya mereka membentuk organisasi solidaritas

sesama anggota yang dinamakan dengan “Parisada Hindu Dharma” di desa

Pegajahan Kecamatan Perbaungan, khususnya bagi mereka yang tergolong

sebagai karyawan dari Bali yang beragama Hindu.

Dalam lingkungan menuju pemukimana mereka, mereka membuat nama

baru yaitu desa Pegajahan kampung Bali. Disekitar gerbang manuju

perkampungan, mereka membuat gapura, yang menyerupai bangunan Hindu-Bali.

Sebagai bukti kongkrit dari komunitas masyarakat Hindu-Bali, maka disekitar

perkampungan mereka mendirikan bangunan yang fungsinya sama seperti Pura,

dimana umat Hindu melaksanakan upacara ritual keagamaan. Masyarakat mulai

mempersembahkan sesajen di tempat upacara keagaamaan tersebut. Komunitas

yang baru terbentuk ini, merupakan komunitas yang bernuansa keagamaan yaitu

agama Hindu dan juga kesukuan yaitu etnis Bali.

Ketika kontrak kedua berakhir pada tahun 1972 jumlah masyarakat Hindu

Bali yang kembali pulang ke pulau Bali sekitar 60 % dari sisa kepala keluarga

yangbelum pulang. Pada akhir kontrak kerja periode yang kedua inipun pihak

perusahaan masih menawarkan perpanjangan kontrak kepada mereka yang masih

ingin bekerja dan masih ada keterkaitan dengan perususahaan. Tawaran tersebut

banyak juga yang menerimanya, terutama masyrakat Hindu Bali yang baru

(14)

mereka adalah karena tidak mempunyai harta warisan di Pulau Bali, juga karena

keluarga mereka sekarang adalah keluarga yang lahir di perantauan.

Keluarga ini semakin permanen didukung dengan situasi mereka pada

tahun 1975 bukan lagi sebagai karyawan kontrak tetapi mereka sudah di

golongkan oleh perusahaan sebagai karyawan lokal. Masyarakat yang baru inilah

yang meneruskan budaya Hindu Bali, meskipun jumlah mereka semakin sedikit.

Pada tahun 1989 mereka berhasil mendirikan sebuah Pura di Desa Pegajahan

Kecamatan Perbaungan.

Berdirinya Pura membuat mereka semakin giat dalam melaksanakan ritual

keagamaan. Mereka lalu membentuk organisasi keagamaan yang lebih besar lagi.

Masyarakat Hindu Bali yang memilih tinggal di kecamatan Perbaungan ini

akhirnya dapat membentuk sebuah komunitas yang permanen. Berdasarkan

uraian-uraian yang telah di paparkan diatas maka penulis mencoba menulis skripsi

ini dengan judul : Dari Kontrak Kerja Membentuk Sebuah Komunitas;

Studi Kasus Masyarakat Hindu Bali di Desa Pegajahan Kecamatan Perbaungan (1963-1990)

1.2 Rumusan Permasalahan

Permasalahan yang dikaji dalam perelitian ini dimulai dari latar-belakang

sejarah migrasi masyarakat Hindu Bali, di kecamatan Perbaungan desa

Pegajahan, hingga mereka berhasil membentuk sebuah kemunitas di desa

(15)

1. Bagaimana latar belakang sejarah masyarakat Hindu Bali ini

bermigrasi ke desa Pegajahan kecamatan Perbaungan

2. Bagaimana Hubungan kontrak kerja Perusahaan Negara Perkebunan

(PNP IX dengan masyarakat Hindu Bali

3. Bagaimana usaha masyarakat Hindu Bali dapat bertahan tinggal dan

berhasil membentuk sebuah komunitas yang permanen di desa

Pegajahan, kecamatan Perbaungan.

Batasan waktu dari penelitian ini mengambil periode tahun 1963, dan

berakhir tahun 1990. Tahun 1963 diambil sebagai batas awal penelitian adalah,

sejak peristiwa meletusnya Gunung Agung di Bali sebagai latar-belakang

masyarakat Hindu Bali melakukan migrasi dan kontrak kerja dengan Perusahaan

Negara Perkebunan. Batasan 1990, diambil sebagai batas akhir penelitian karena

masa inilah masyarakat Hindu Bali di Desa Pagajahan Kecamatan Perbaungan

berhasil membentuk sebuah komunitas yang mapan, dan tahun itu juga Pura mulai

difungsikan sebagai pusat agama Hindu. Batasan wilayah yang dikaji dalam hal

ini adalah Desa Pegajahan Kecamatan Perbaungan. Sebab disinilah mereka mulai

menerima kontrak kerja dengan pihak PNP IX dan disini pula meeka tinggal dan

menetap sampai sekarang.

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

Penelitian tentang sejarah sosial masyarakat Hindu Bali yang bermigrasi

ke desa Pegajahan kecamatan Perbaungan ini, hingga mereka berhasil membentuk

(16)

penulis sangat tertarik untuk menelitinya sebagai bahan kajian penulisan skripsi

penulis.

Tujuan dari penulisan ini adalah:

1. Untuk mengetahui latar belakang sejarah masyarakat Hindu Bali

bermigrasi ke desa Pegajahan kecamatan Perbaungan.

2. Untuk mengetahui hubungan kontrak kerja antara Perusahaan Negara

Perkebunan (PNP IX) dengan masyarakat Hindu Bali.

3. Untuk mengetahui usaha-usaha yang dilakukan masyarakat Hindu Bali

ini dapat bertahan tinggal menetap dan berhasil membentuk sebuah

komunitas yang permanen di desa Pagajahan kecamatan Perbaungan.

Manfaat penelitian ini diharapkan dapat:

1. menambah wawasan tentang latar belakang migrasi masyarakat Hindu

Bali di Kecamatan Perbaungan.

2. Menambah literatur dalam penulisan sejarah sosial masyarakat,

khususnya Hindu Bali.

1.4 Tinjauan Pustaka

Untuk membahas mengenai kehidupan sosial masyakat Hindu Bali di desa

Pegajahan kecamatan Perbaungan ini tidak dapat terhidar dari pendekatan

multidimensisonal, yaitu pendekatan sejarah yang analitik.

Pendekatan ini juga dimaksud untuk mrnghindari gaya penulisan yang

konvensional. Penulisan gaya lama yang menguraikan penulisan secara panjang

(17)

besar atau panglima perang, sehingga aspek-aspek lain didalam masyarakat yang

dapat mendukung peristiwa sejarah selalu terabaikan.3

Dalam penulisan sejarah dan pendekatan yang multidimensional, seorang

peneliti perlu memperkaya diri dengan alat-alat metodologi, berupa konsep dan

teori ilmu sosial. Konsep dan teori yang relevan dari teori ilmu sosial (Sosiologi,

Antropologi, Ilmu Politik, Psikologi, dan Ilmu Ekonomi) akan mempu

mengungkap peristiwa sejarah lebih mendalam.4

Untuk membantu pengkajian mengenai kehidupan sosial masyarakat

Hindu Bali, peneliti mencoba menggunakan pendekatan kultural masyarakat

Hindu Bali. Pendekatan ini dianggap sesuai dengan pendekatan sosial yang ada

dalam masyarakat Hindu Bali.

Masyarakat Bali yang sebagaian besar memeluk agama Hindu tidak dapat

dipisahkan dari bagian budayanya. Hal ini terlihat jelas dari bagian-bagian

agamanya yang penuh dengan upacara-upacara yang diiringi dengan tari, kidung,

beserta kerawitannya.5 Demikian pula kegiatan kebudayaan yang berhubungan dengan adat istiadat yang menyangkut dengan kelangsungan hidup seperti;

perkawinan, kelahiran, kamatian dan yang menyangkut rumah tempat tinggal.

Masyarakat Hindu Bali yang pergi merantau juga akan terus melestarikan adat

budaya mereka dan mendirikan perkumpulan-perkumpulan kedaerahan

(paguyuban).

3

Sartono Kartodirdjo, Pemikiran Dan Perkembangan Historyografi Indonesia, Suatu Alternatife, Jakarta PT Gramedia, 1982. Hlm. 40

4

Sartono Kartodirdjo, Beberapa Kecenderungan Dari Peristiwa Sejarah Di Indonesia Dalam Monografi, Yoyakarta: Jurusan Sejarah Dan Geografi Sosial IKIP Sanata Dharma, 1980. Hlm. 9

5

(18)

Dari buku yang ditulis oleh Renggo Astuti dan Triyadi yang berjudul

keberadaan paguyuban-paguyuban etika di daerah perantauan dalam menunjang

persatuan dan kesatuan (kasus paguyuban keluarga putra Bali di Yoyakarta)

menyatakan bahwa lahirnya perkumpulan-perkumpulan (paguyuban) sangat erat

kaitannya dengan perpindahan individu atau kelompok sosial masyarakat ke

daerah perantauan. Perkumpulan kedaerahan ini juga memberi dorongan dan

kebersamaan untuk mencapai tujuan aktualisasi jati diri dari setiap anggotanya

yang tidak lagi berada di daerah asal mereka.6 Selanjutnya Astuti dan Triyadi menjelaskan bagaimana perkembangan organisasi kedaerahan ini sangat membatu

masalah-masalah kehidupan sosial ekonomi para anggota terutama dalam

menghadapi masalah duka.

Oleh karena kajian tentang kehidupan sosial masyarakat Hindu Bali

dimulai dari kontrak kerja yang mereka lakukan dengan Perusahaan Perkebunan

(PNP IX tahun 1963) maka tulisan Halili Toha dan Hari Pramono dalam bukunya

yang berjudul Hubungan Kerja Antara Majikan Dengan Buruh, dapat membantu

peneliti dalam memperoleh sumber hukum kontrak di Indonesia,7 bagaimana hak dan kewajiban dari seorang buruh dan pengusaha (majikan). Mereka juga

membahas bagaimana solusinya bila terjadi perselisihan sampai terjadi bagaimana

pemutusan hubungan kerja oleh majikan.

Untuk mengetahui keberhasilan masyarakat Hindu Bali di kecamatan

Perbaungan, dan membentuk sebuah organisasi yang mapan serta

perubahan-perubahan yang terjadi dan usaha apa saja yang dilakukan penulis memilih buku

6

Ibid, Hlm. 46 7

(19)

Teori Sosiologi Tentang perubahan Sosial yang ditulis oleh Soerjono Soekanto,

dalam tulisannya dijelaskan mengapa terjadi perubahan dan faktor-faktor

terjadinya perubahan.8

Dari beberapa buku yang digunakan sebagai telaah pustaka, penulis

berharap dapat membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.

1.5 Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif, dimana penulis akan menguraikan secara

terperinci tentang latar belakang sejarah masyarakat Hindu Bali ini sampai di desa

Pagajahan kecamatan Perbaungan ini hingga mereka berhasil membentuk sebuah

kemunitas Hindu Bali yang permanen.

Metode penelitian ini akan mengikuti petunjuk-petunjuk yang diterapkan

dalam penelitian sejarah:

1. Heuristik yaitu: mengumpulkan sumber-sumber data yang sesuai dengan

permasalahan yang berhubungan dengan kehidupan sosial masyarakat

Hindu Bali di kecamatan Perbaungan.

a. Metode yang digunakan adalah, wawancara dan observasi,

wawancara dilakukan kepada orang-orang yang terlibat langsung

dengan masyarakat Hindu Bali di desa Pegajahan. Data-data dari

mereka dicari di kantor kepala desa Pegajahan dan kantor

Kecamatan Perbaungan.

8

(20)

b. Metode dokumenter yaitu mengumpulkan sumber tertulis seperti

Buku, Majalah, Surat Kabar yang dapat membarikan keterangan

masa lampau masyarakat Hindu Bali.

2. Kritik sumber, untuk memeriksa kevalidtan data melalui:

a. Kritik Intern dengan cara menganalisis sejumlah sumber yang

berguna untuk memperoleh dokumen atau keterangan yang

kredibel.

b. Kritik Ekstern, yang digunakan untuk memperoleh data yang

outentik.

3. Interpretasi untuk menganalisis dan menafsir data dengan menggunakan

metode perbandingan (komperatif) dengan beberapa sumber yang

berkaitan dengan permasalahan.

(21)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1 Latar Historis

Pada jaman Hindia Belanda kecamatan Perbaungan ini termasuk kedalam

wilayah Kesultanan Serdang. Pada tanggal 29 Juli 1889, Sultan Serdang (Sultan

Sulaiman) mendirikan istana Darul Arif dalam kraton kota Galuh. Pada masa

sebelumnya Istana Darul Arif, berada dalam wilayah Rantau Panjang. Sejak tahun

1894 yaitu dengan selesainya istana Darul Arif di kota Galuh, maka ibu kota

kesultanan Serdang dipindahkan dari Rantau Panjang Ke Perbaungan9.

Sebelum Jepang menduduki Indonesia, Sultan Sulaiman beserta

permaisurinya pernah menghadap kaisar Jepang Meijitenno untuk meminta

bantuan mengusir penjajah Belanda dari bumi Serdang. Kaisar memberikan hadia

kepada sultan yaitu sebuah photo kaisar yang telah ditandatanganinya. Foto itu

lalu dibesarkan sultan dan diletakkan dibelakang singgahsana sultan. Ketika

Jepang berkuasa, tentara Jepang datang menemui sultan dan ketika mereka masuk

mereka melihat foto kaisar mereka terpampang di belakang singgahsana sultan.

Dengan spontanitas, mereka tunduk dan memberi hormat kepada sultan. Sejak itu

kesultanan serdang mendapat kedudukan yang istimewa. Tentara Jepang tidak

menangkap rakyat Serdang untuk dijadikan kerja paksa atau romusha.

Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamirkan, sultan serdang

menyatakan kepada presiden Republik Indonesia bahwa kesultanan serdang

bersama rakyatnya berdiri di belakang pemerintahan Republik Indonesia. Semua

9

(22)

kantor dan rumah-rumah warga menaikkan bendera sangsaka merah putih dan

kepada keluarga sultan dan bangsawan diperintahkan aktif masuk dalam berbagai

kesatuan organisasi rakyat.

Pada tanggal 28 Juli 1947, Belanda mengadakan agresi militer pertama

menyerang wilayah Republik Indonesia, dan pasukan KNIL mendarat di muara

Seibogan untukmerebut kota Perbaungan dan Sungai Ular. Tempat ini diaggap

sangat strategis guna memotong pengunduran pasukan Indonesia dari fron Medan

Area. Sebelum tempat dapat direbut oleh pasukan Belanda, datang perintah dari

panglima besar Jenderal Sudirman untuk membumihanguskan istana dan seluruh

bangunan kraton kota Galuh beserta toko-toko dan rumah-rumah di pekan

Perbaungan agar jangan dimanfaatkan oleh musuh10.

Selama tiga hari tiga malam, api membakar istana dan melalap semua

bangunan istana dan perumahan dalam kraton kota Galuh dan sekaligus punahlah

khazanah budaya Melayu Serdang yang tersimpan selama kurang 300 tahun yang

takternilai harganya itu.

Kini kesultanan Serdang dan Istanahnya hanyalah tinggal sejarah dan ibu

kota kesultanan Serdang (perbaungan) sekarang menjadi kecamatan Perbaungan.

Kecamatan Perbaugan merupakan salah satu kecamatan dari sembilan

kecamatan yang ada di kabupaten Deli Serdang. Jarak kecamatan Perbaungan dari

kota Medan sekitar 38 KM, dengan keadaan ketinggian digolongkkan sebaagai

daerah pesisir pantai dan dataran rendah. Keadaan tanah yang tergolong subur,

menjadikan wilayah ini sangat potensial untuk dijadikan sebagai wilayah lahan

10

(23)

perkebunan, sedangkan pada bagian pantai daerah ini sangat mendukung

dijadikan sebagai sebagai areal pertambakan udang dan perikanan. Daerah dataran

rendah dimanfaatkan sebagai areal perkebuanan sawit, coklat, perikanan dan

daerah industri. Sangat sedikit sekali lahan yang tidak dimanfaatkan menjadi areal

pertanian dan perkebunan dikecamatan Perbaungan.

Desa Pegajahan merupakan salah satu desa yang termasuk dalam wilayah

kecamatan perbaungan. Desa ini pertama sekali dibuka oleh masyarakat

Simalungun yang bermarga Saragih, Purba dan Sinaga. Proses perpindahan ini

berlatar-belakang dari konflik sesama etnis Simalungun di Raya tahun 1700an.

Nama Pagajahan merupakan penamaan kontekstual yang berasal dari

bahasa Simalungun yaitu pargajahan, artinya tempat gaja. Daerah Pegajahan pada

awalnya dibuka masyarakat Simalungun tepatnya di dusun Harapan dua.

Kelompok masyarakat pertama ini menjumpai beberapa gajah ekor gajah liar di

sekitar dusun. Hal inilah yang melatar-belakangi mereka menyebutkan tempat

tersebut sebagai pargajahan sekitar 1760-an11

Nama Pargajahan seiring waktu mengalami perubahan penyebutan,

menjadi Pergajahan hingga tahun 1974 nama daerah ini berubah kembali

penyebutannya menjadi Pegajahan sampai saat ini, karena proses sosial

masyarakat, dimana kelompok masyarakat yang menempati desa Pegajahan

semakin heterogen, dan kelompok Etnis Simalungun mengalami pergeseran.

Masyarakat pendatang memperlebar wilayah Pegajahan dengan membuka hutan

menjadi lahan pertanian dan pemukiman.

11

(24)

2.2 Profil Wilayah Desa Pegajahan

Letak wilayah Pegajahan berada ditengah-tengah kecamatan Perbaungan,

dan wilayahnya merupakan bagian dari areal perkebunan PTPN II, yaitu Kebun

Melati II, Perkebunan PT. London Sumatera dan perkebunan Rumah-Tangga

penduduk Pegajahan.

Desa Pegajahan tergolong wilayah yang sangat luas untuk ukuran desa.

Hal ini dibuktikan sejak Januari tahun 2007, wilayah Pegajahan berubah

administrasi menjadi kecamatan, dari kecamatan Perbaungan yang melakukan

pemekaran menjadi dua kecamatan yaitu kecamatan Perbaungan dan kecamatan

Pegajahan, tanpa menambah wilayah-wilayah. Hal ini disetujui setelah melakukan

perhitungan.

Luas wilayah Desa Pegajahan adalah 798 Hektar, dengan batas-batas

wilayah dengan wilayah lainnya adalah sebagai berikut:

- Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Lestari Dadi

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Suka Sari

- Sebelah Barat berbatasan dengan Perkebunan PTPN II

- Sebelah Timur berbatasan dengan Perkebunan PTPN II

Kelompok masyarakat yang ada di Pegajahan pada dasarnya hidup berbaur

bersama dengan beberapa kelompok etnis lainnya dalam suatu dusun. Desa

(25)

Tabel 1: Daftar Dusun di Desa Pegajahan No Nama Dusun Luas dusun (Ha) 1 Dusun I Perjuangan 190

2 Dusun Harapan I 19

3 Dusun Harapan II 47 4 Dusun III Sri Asih 37 5 Dusun IV Karang Sari 325

6 Dusun V Pelita 180

Sumber: Profil Desa Pegajahan dan arsip kantor kecamatan Perbaungan 1990

Wilayah 6 dusun yang terdapat di desa Pegajahan pada dasarnya luas

arealnya berbeda. Hal ini dilatar belakangi oleh umur desa yang berbeda. Dari

tabel diatas kita dapat memperoleh keterangan bahwa dusun Perjuangan I adalah

wilayah yang paling luas dan wilayah pertama yang ada di Desa Pegajahan,

sedangkan dusun Perjuangan I luas arealnya 19 Hektar sebagai dusun yang

wilayahnya paling sempit dari lima dusun lainnya yang ada di Pegajahan. Dusun

IV Karang Sari menempati posisi kedua dengan luas 325 Hektar, disusul dengan

wilayah Dusun V Pelita dengan luas wilayah 180 Hektar, sedangkan Dusun

Harapan II tidak jauh beda dengan Dusun disebelahnya dusun Harapa I yaitu 47

(26)

2.3 Keadaan Penduduk

Secara umum, penduduk dapat dikatakan sebagai kelompok orang yang

menempati areal tertentu yang sifatnya menetap ataupun hanya bersifat sementara.

Mengetahui keadaan penduduk dalam suatu wilayah akan memberikan kita

keterangan lebih luas lagi tentang keadaan disekitarnya. Karena itulah berikut ini

dilakukan pengkajian terhadap keadaan penduduk yang menempati desa

Pagajahan.

Penduduk desa Pegajahan setiap tahunnya mengalami perkembangan, baik

jenis etnis maupun jumlah penduduk. Hal disebabkan karena proses kelahiran,

mapun proses perpindahan kelompok etnis dari berbagai daerah. Pada tahun 1990,

desa Pegajahan dihuni oleh penduduk yang heterogen sebanyak 774 kepala

keluarga, dengan perincian laki-laki 1.807 jiwa, sedangkan perempuan berkisar

1825 jiwa. Jumlah seluruhnya penduduk yang menempati Desa Pegajahan

sebanyak 3.632 jiwa.

Proses pertambahan yang tergolong pesat di desa Pegajahan dilatar

belakangi situasi desa yang dekat dengan areal PT. Perkebunan Negara dan

perkebunan swasta lainnya. Latar belakang ini menjadikan penduduk Pegajahan

bersifat heterogen.

Kelompok Etnis yang menempati desa Pegajahan tergolong masyarakat

yang heterogen dengan latar belakang yang berbeda, yaitu Etnis Simalungun

(etnis lokal), Etnis Batak, Etnis Karo, Melayu, Jawa dan Etnis Hindu Bali sebagai

kelompok Etnis yang paling minim Jumlahnya, hanya masyarakat yang berlatar

(27)

2.3.1 Komposisi Penduduk Menurut Etnis

Masyarakat Perbaungan merupakan kelompok masyarakat yang dapat

digolongkan sebagai masyarakat yang hetorogen, meskipun beberapa suku yang

mendiami wilayah ini adalah sebagai kelompok etnisitas yang dominant, seperti

yang diuraikan pada tabel berikut:

Tabel 2: Penduduk Desa Pegajahan Menurut Kelompok Etnis

No Jenis Etnis/Suku Jumlah Dalam %

1 Jawa 81

2 Melayu 2,3

3 Batak 9

4 Karo 2,1

5 Nias 0.3

6 Bali 2,2

7 Banjar 3,06

Jumlah keseluruhan 100%

Sumber: Profil desa Pegajahan dan arsip kantor kecamatan Perbaungan 1990

Data kependudukan desa Pagajahan pada tahun 1980 membuktikan bahwa

masyarakat Jawa adalah masyarakat yang jumlahnya sebagai kelomok yang

dominan, dengan jumlah 81%. Berbeda darikelompok etnis yang lainnya yang

berasal dari Sumatera Utara yaitu Batak, dengan persentase 9,0%, belum termasuk

etnis Karo. Kelompok masyarakat yang posisinya posisi ketiga adalah masyarakat

Banjar, yaitu etnis yang berasal dari Kalimantan. Jumlah masyarakat Banjar

(28)

Kelompok masyarakat yang lainnya adalah masyarakat Karo yang jumlahnya

hanya sekitar 2,1%, kemudian disusul dengan masyarakat Bali yang jumlahnya

hanya 2,2%, pada dasarnya adalah masyarakat korban letusan Gunung Agung

yang bermigrasi kedaerah ini. Masyarakat Nias adalah masyarakat yang

jumlahnya paling minim, hanya sekitar 0,30%.12

Penduduk kecamatan desa Pegajahan setiap tahunnya selalu mengalami

perubahan. Hal ini disebabkan oleh etnis pendatang yang akan bekerja sebagai

buruh perkebunan. Sektor ini mengalahkan pertambahan penduduk dari proses

kelahiran.13

2.3.2 Komposisi Penduduk Menurut Agama

Masyarakat yang tinggal di desa Pegajahan pada dasarnya menganut

kelima agama yang diakui di Indonesia, yaitu Katolik, Islam Kristen Protestan,

Hindu dan Buda yang terbagi seperti tabel di bawah ini;

Tabel 3: Komposisi Penduduk Menurut Agama di Desa Pegajahan

No Agama Persentase (%)

1 Islam 90, 0

2 Kristen Protestan 3,9

3 Katolik 3,0

4 Hindu/Budha 3,1

Sumber : Profil desa Pegajahan dan arsip kantor kecamatan Perbaungan 1990

12

Sekretaris Desa Pegajahan, Profil Desa Pegajahan Tahun 1990 (tidak diterbitkan).1990. Hal.2

13

(29)

Tabel diatas menggambarkan bahwa masyarakat yang menempati desa

Pegajahan mayoritas beragama Islam dengan persentase 90%. Masyarakat

penganut agama Islam di desa Pegajahan adalah etnis Jawa dan masyarakat

Melayu yang jumlahnya dominan di Pegajahan, sedangkan yang terkecil

persentasenya adalah agama Katolik dengan jumlah 3,0%. Masyarakat yang

menganut agama Kristen Protestan berjumlah 3,9%, menempati urutan kedua

setelah Agama Islam. Agama Hindu/Budha berjumlah 3,1%.

Dalam proses kehidupan keagamaan setiap harinya masyarakat terlihat

akur, sebab konflik antar sesama umat beragama belum pernah terjadi di wilayah

desa Pegajahan kecamatan Perbaungan.

2.3.3 Komposisi Penduduk Menurut Mata Pencaharian

Mata pencaharian penduduk sebagian besar adalah bertani dan berkebun

baik sebagai penyewa maupun pemilik tanah. Masyarakat yang lainnya ada yang

bekerja sebagai buruh dalam perkebunan yang ada di Perbaungan yaitu PTPN II

(kebun Melati), PT London Sumatera, PTPN IV, dan perusahaan perkebunan

lainnya. Distribusi penduduk menurut mata pencaharian akan diuraikan dalam

(30)

Tabel 4: Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Di Desa Pegajahan Tahun 1980

No Mata pencaharian Persentase (%)

1 Petani 40

2 Karyawan/Buruh 45

3 Pegawai Negri 5

4 Nelayan 0,01

5 Dagang 5,7

6 Dan lain-lain 5,29

Sumber: Profil Desa Pegajahan dan arsip kantor kecamatan Perbaungan 1980

Dengan memperhatikan tabel diatas, bahwa penduduk Pegajahan

mayoritas bekerja sebagai Karyawan dan buruh di Perkebunan PTPN II dan

perkebunan Swasta sebanyak 45% dari jumlah penduduk. Masyarakat petani

menempati posisis kedua yaitu sebanyak 40%, disusul kelompok kerja disektor

lain sebanya 5,29%. Kelompok masyarakat pedagang berjumlah 5,7% dan yang

penduduk yang paling minim adalah nelayan hanya 0,01%.

Jumlah masyarakat yang berpropesi sebagai nelayan di Pagajahan sangat

kecil, hal ini dilatar belakngi tempat mereka nelayan hanya di sekitas sungai yang

ada di pegajahan, dan mereka masihmempunyai pekerjaan lain yang sifatnya

adalah pekerjaan tambahan.14

14

(31)

2.4 Struktur Pemerintahan Desa Pegajahan

Desa adalah suatu wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk, yang

didasari oleh hukum dan sistem sosial, yang dipimpin langsung oleh seorang

Camat dan berhak menyelenggarakan rumah tangga sendiri.

Sebagai unit terendah dari sistem administrasi pemerintahan, desa

dipimpin oleh Kepala Desa, dengan beberapa aturan yaitu sebagai berikut:

- Karangka atau struktur pemerintahan desa yang menjadi wadah kerja

sama

- Pembagian tugas dan fungsi serta wewenang dan tanggung jawab

- Pengaturan dan penyusunan staf pelaksana

- Pengaturan hubungan kerja antara antara satuan kerja organisasi dan

suatu tata hubungan kerja15

Desa Pegajahan juga mempunyai struktur organisasi pemerintahan yang

unsur-unsurnya, Kepala Desa, Sekretaris Desa, Kepala Urusan Kepemerintahan,

Kepala Urusan Pembangunan, Kepala Urusan Umum, dan Kepala Dusun. Semua

unsur pemerintahan desa Pegajahan ini saling kerja sama satu sama lain.

Pada pelaksanaan pemerintahan di desa Pegajahan, unsur yang sering aktif

menjalankan tugasnya adalah Kepala Desa dan Sekretaris Desa, sedangkan

unsur-unsur yang lainnya kurang aktif. Bagan yang seharusnya dilaksanakan dalam

suatu desa adalah sebagai berukut:

15

(32)

BAGAN I

STRUKTUR ORGANISASI PEMERINTAHAN DESA PEGAJAHAN

KEPALA DESA

K UMUM K PEMBANGUNAN

K.PEMERINTAHAN SEKDES

LKMD LMD

K DUSUN

DUSUN I DUSUN II DUSUN DUSUN IV DUSUN V DUSUN VI

Sumber: Kantor kepala Desa Pegajahan 1990

(33)

BAB III

KEHIDUPAN SOSIAL MASYARAKAT HINDU BALI

3.1 Latar Belakang Sosial Masyarakat Hindu Bali

Propinsi Bali merupakan salah satu propinsi yang menyimpan peninggalan

Agama Hindu tertua di Indonesia. Masyarakat Indonesia mengakui bahwa Bali

menjadi pusat agama Hindu di Indonesia, hingga sampai saat ini bentuk-bentuk

kebudayaan agama Hindu masih ditemukan di Bali.

Sama seperti masyarakat India yang mengaplikasikan kehinduannya dalam

menjalankan kehidupannya, demikian juga dengan masyarakat Hindu Bali yang

sudah menjadikan agama Hindu sebagai proses hidup pada setiap harinya. Agama

Hindu tidak kurang menjadi suatu cara hidup dari pada kumpulan kepercayaan16. Hal ini dibuktikan dari proses pelaksanaan kegiatan hidup setiap hari yang

dipelajari dari kitab Weda.

Hubungan antara etnisitas Bali dengan agama Hindu, sudah berlangsung

dalam waktu yang cukup lama. Hindu sudah menjadi bagian dari kebudayaan

masyarakat Bali, sehingga sulit dipisahkan antara kebudayaan yang berasal dari

agama maupun yang dari etnis Bali sendiri. Ikatan ini berlangsung sejak abad 8

masehi, yang dibuktikan dengan penemuan candi-candi berangka tahun 8 masehi

di Bali dan wilayah Jawa, seperti candi Kalasan di Jawa Tengah. Pada bagain

dinding candi sudah banyak ditemukan mantra-mantra yang diyakini sebagai

mantra-mantra agama Hindu.17

16

Ahmad Shalabi Ali, Perbandinagan Agama-agama Besar di India, Jakarta. Hlm. 37 17

(34)

Kerajaan Bali sejak sejak abad ke 8 masehi, dipastikan telah menjadi

kerajaan yang bernuansa agama Hindu. Nama-nama raja yang menduduki tahta

kerajaan Bali diberi gelar Warmadewa, gelar yang merupakan pengaruh dari

agama hindu. Pemberian gelar ini diketahui sudah digunakan masyarakat Bali

sejak 835 tahun saka, yaitu seorang rajanya yang bernama Sang Ratu Uraseno18.

Selanjutnya kerajaan Bali beralih ketangan Sang Ratu Sriaji Taba Hendra

Warmadewa bersama permaisurinya yang bernama Sang Ratu Luhur Trisubradika Darmadewi. Hal yang sangat mendukung yang dapat

membuktikan bahwa kerajaan Hindu sudah beraplikasi dengan kerajaan Bali

adalah adalah peninggalan di Thira Tamapt di Tampak Siring, sebagai wilayah

kekuasaan kerajaan Bali.

Seorang raja yang bernama Dharma Udayana Warmadewa pernah

memimpin kerajaan Bali pada tahun 905 sampai 923 yang dapat meyakinkan kita

bahwa kerajaan Bali adalah kerajaan Hindu yang paling banyak meninggalkan

nilai-nilai kehinduan. Ketika Dharma Yudayana digantikan oleh Paduka Batara

Sri Asta Ratna Bumi Banten pengaruh kebudayaan Hindu tetap dikembangkan

Hubungan antara masyarakat Bali dengan agama Hindu sudah berjalan

bersama sejak masyarakat Bali mengenal budaya yang religius, yaitu sejak abad

ke-8 hingga saat ini, sehingga penyatuan antara dua komponen ini dinamakan

dengan masyarakat Hindu-Bali19. Kerajaan Islam segera mengganti posisi kerajaan Hindu, tetapi kerajaan yang ada di wilayah Bali tetap mempertahakan

pengaruh kehinduannya.

18

Nurhabsyah, Sejarah Agama dan Kebudayaan Hindu di Indonesia, Skripsi tidak diterbitkan pada Universitas Sumatera Utara, Medan: Fakultas Sastra USU. Hlm. 11

19

(35)

Sampai tahun 1990, budaya masyarakat Bali tetap bercorakkan agama

Hindu, termasuk bentuk keakrapan, organisasi sosial masyarakat Bali tetap ditata

dengan ajaran Hindu, misalnya bentuk-bentuk upacara adat, menyerahkan sesajen

dalam pura, melaksanakan acara Voedalan dan upcara agama Hindu lainnya yang

rutin dilaksanakan oleh Masyarakat Hindu-Bali. Begitu pula dengan masyarakat

Hindu Bali yang bermukim di desa Pegajahan kecamatan Perbaungan. Mereka

tetap menjalankan acara-acara ritual keagamaan seperti ketika mereka masih

tinggal di pulau Bali, walaupun disini mereka telah bergaul dengan masyarakat

lainnya.

3.2 Peristiwa Meletusnya Gunung Agung

Gunung Agung adalah gunung tertinggi yang terdapat di pulau Bali,

tepatnya di kecamatan Karangasem, dengan ketinggian 3.142 meter dari

permukaan laut. Gunung Agung merupakan salah satu gunung berapi yang

menyimpan mahma bumi sangat besar, sehingga kawah gunung ini sangat dalam.

Masyarakat sering melihat gunung ini mengeluarkan asap dan uap air, yang

menimbulkan keheranan kepada mereka yang menyaksikannya.

Pada saat gunung Agung belum meletus, masyarakat banyak yang

melakukan pendakian kepuncak gunung ini, untuk memandang sekitar Bali,

wilayah Lombok dan daerah sekitar Bali. Dari puncak gunung pendaki akan

melihat secara jelas gunung Rajani yang terdapat di Lombok. Gunung yang

tergolong paling tinggi di Bali sering dijadikan sebagai tempat memandang daerah

(36)

Apabila kita mengamati sekitar gunung Agung, maka akan banyak

ditemukan peninggalan-peninggalan kehidupan masa lampau manusia, khususnya

peninggalan kerajaan. Sebelum menuju ketinggian, terdapat sejumlah bangunan

candi seperti Pura Puseh, Pura Telaga Mas, dan pura yang paling besar yaitu Pura

Besakih, yang dijadikan masyarakat sebagai tempat penyembahan terhadap

penjaga gunung Agung. Pada setiap tahunnya masyarakat sekitar Karangasem

khususnya mereka yang menganut agama Hindu, melakukan upacara

penyembahan dan pemberian sesajen kepada penghuni gunung Agung, sebagai

upaya membujuk penghuninya untuk tidak menimbulkan bahaya kepada

masyarakat yang ada disekitarnya.20

Gunung Agung adalah gunung aktif yang sudah meletus beberapa kali.

Setiap kali meletus maka masyarakat disekitarnya yaitu masyarakat yang dominan

memeluk agama Hindu selalu mengalami akibatnya. Latar belakang inilah yang

membuat sebuah kebiasaan disekitar masyarakat Karangasem selalu

mempersembahkan satu ekor kerbau jantan, agar mereka tidak mendapat petaka

letusan gunung Agung.

Terakhir kali gunung Agung meletus tahun 1963 yang sangat banyak

menelan kerugian, dan bahkan terjadi perubahan sosial terhadap masyarakat yang

ada disekitarnya. Jumlah korban meninggal dari bencana mecapai 1.148 orang,

korban luka-luka mencapai 15.000 orang21. Kerugian materi yang diakibatkan bencana alam ini sangat membuat masyarakat tertekan. Terlebih lagi di kabupaten

20

WWW. Grapala FV. I.Htm. September 2007 21

(37)

Karangasem, sumber pendapatan rusak total sebagai akibat dari letusan gunung

Agung tersebut.

Keberadaan gunung Agung, sebelum terjadi letusan, menimbulkan

pertanyaan bagi masyarakat ”kapan gunung Agung akan meletus”. Tanda-tanda

dari bahaya akan terjadi letusan ini sudah sejak lama dirasakan masyarakat seperti

suara gemuruh dari tanah, getaran gempa lokal, dan kepalan asap dari puncak

gunung.

Daerah yang dekat dengan gunung sangat merasakan sekali suara-suara

dan getaran gunung yang membuat mereka susah untuk melanjutkan tidurnya.

Sebagian dari mereka yang memiliki anak-anak bayi, terpaksa mengungsi untuk

menjaga kesehatan dari anak-anak mereka. Getaran-getaran yang datang dari

gunung sudah lama terjadi yang menimbulkan kebingungan masyarakat.

Sebagian dari masyarakat sudah merasa yakin bahwa gunung tidak akan meletus,

dan mereka bekerja seperti biasanya.22

Kebingungan tentang keadaan gunung juga terjadi bagi para badan

Vulkanologi, mereka tidak bisa mendeteksi kapan gunung Agung akan meletus,

atau bagaimana posisi gunung saat itu, sehingga masyarakat tidak menyakini lagi

keterangan dari pemerintah ataupun badan yang memberikan keterangan tentang

gunung Agung. Kebingungan semakin bertambah dengan perbedaan penafsiran

dari para pakar gunung. Beberapa ahli menyatakan bahwa gunung akan segera

meletus, untuk itu masyarakat harus segera mengungsi. Pakar yang lainnya

menyebutkan hanya terjadi sumbatan kecil pada saluran air panas dalam gunung,

22

(38)

jadi kemungkinan terjadinya letusan sangat tidak memungkinkan. Sebagian dari

mereka ada yang menjelaskan bahwa gunung masih membutuhkan waktu yang

lama untuk meletus. Tarik menarik pendapat para pakar tersebut dilatar belakangi

oleh peralatan yang sangat minim yang dimiliki oleh ahli gunung api di Indonesia.

Masyarakat tetap menunggu hal apa yang akan terjadi dari gunung Agung.

Gumpalan asap yang semakin besar keluar dari gunung hanya menjadikan

sebagian dari masyarakat sebagai penonton, tetapi tanda-tanda ini menjadikan

sebagian kecil dari masyarakat mengungsi dari daerah gunung sebab tanda-tanda

seperti ini belun pernah terjadi sebelumnya.

Setelah beberapa hari mengeluarkan asap tebal, maka aktivitas gunung

Agung selanjutnya mulai mengeluarkan bola api. Malam hari terlihat terang

akibat bola api yang dikeluarkan gunung Agung, tetapi masyarakat menjadikan

fenomena ini hanya sebagai tontonan malam, sebab mereka sama sekali tidak bisa

tidur. Kelompok bapak-bapak, bertugas untuk tetap siaga tetap selalu diberatkan

kepada mereka, sedangkan kelompok anak dan istri tetap menyelesaikan jam tidur

mereka.23

Lima hari gunung mengeluarkan bola-bola api, dan hari selanjutnya, yaitu

pada siang hari masyarakat mulai merasakan semburan abu-abu dan juga bebatuan

dari gunung. Keadaan ini menimbukan kepanikan bagi sejumlah masyarakat

khususnya yang berada disekitar gunung. Mereka segera mengungsi ketempat

lain. Tetapi masyarakat yang lain menanggapinya sebagai proses akhir dari

bahaya gunung Agung, sehingga mereka tetap menahankan bahaya yang

23

(39)

diakibatkan gunung tersebut. seperti masyarakat desa Naga Sari yang berada

sekitar 5 Km dari posisi gunung tidak mau meninggalkan kediaman mereka sebab

mereka menganggap fenomena tersebut sudah hal biasa.

Lamanya gunung Agung meletus mengakibatkan bahan pangan semakin

krisis. Persedian yang mereka miliki semakin menipis, sehingga mereka banyak

yang menerima untuk mengungsi ketempat lain sebab selama gunung mulai

memberikan bencana ini, aktivitas masyarakat di sekitarnya terhenti. Masyarakat

yang tetap bertahan disekitarr gunung adalah masyarakat yang masih memiliki

cadangan makanan.

Pemerintah sengaja tidak memberikan bantuan kepada masyarakat yang

tidak mau bergabung ketempat pengungsian, atau bantuan apapun bentuknya tidak

diberikan kepada mereka yang tidak mau mengungsi. Kebijakan ini berlatar

belakang dari perhatian pemerintah kepada pengungsi, agar tidak ditimpa bencana

ketika gunug Agung meletus.

Sikap bertahan dari masyarakat yang tinggal di sekitar Kecamatan

Karangasem dilatar belakangi oleh keyakinan mereka. Masyarakat yang tetap

bertahan ini adalah masyarakat Bali yang menganut ajaran agama Hindu sebagian

besar, dan sebagian kecil adalah penganut agama Islam. Tanda-tanda bahaya

gunung Agung yang ingin meletus dibalas mereka dengan sifat semakin rajin

malaksanakan ibadah ditempat-tempat ibadah. Selama 9 hari masyarakat lebih

banyak menghabiskan waktunya di Pura dan juga tempat ibadah lainnya. Banyak

masyarakat yang menginap di tempat ibadah pada malam hari, kebersamaan ini

(40)

pengungsian, seperti di desa Dukusari dan desa Subagun, masyarakat berkumpul

di tempat ibadah baik malam maupun siang hari. Segala aktivitas sosial terhenti,

selama beberapa hari gunung Agung belum meletus, baik pendidikan, bidang

pemerintahan, maupun aktivitas keseharian masyarakat lainnya.

Aktivitas gunung yang memakan waktu lama hanya mengeluarkan

gejala-gejala biasa seperti letusan yang tidak begitu dasyat membuat masyarakat dan

juga pengamat gunung merasa yakin bahwa gunung sudah menuju puncak,

sehingga kelompok masyarakat tetap tinggal di kediaman mereka, hingga pada

hari yang kesepuluh. Gejala gunung meletus semakin terlihat, asap tebal dan debu

menutupi sekitar pemukiman masyarakat, bebatuan semakin banyak dimuntahkan

oleh gunung Agung, membuat masyarakat panik dan segera megungsi.

Pengungsian yang terjadi secara mendadak, membuat pemerintah melalui

badan pengungsi yang dinamakan dengan Komando Operasi Gunung Agung

(KOOGA)24 kewalahan mengusikan masyarakat ke wilayah Denpasar, yang dijadikan pemerintah sebagai tempat penampungan sementara. Sebagian dari

masyarakat tetap bertahan di wilayah mereka, untuk menjaga pemukiman,

keyakinan masyarakat ini tetap kuat walaupun tanda bahaya yang ditunjukkan

gunung Agung sudah semakin besar.

Pada malam hari Komando Operasi Gunung menghentikan aktivitasnya,

melihat gunung semakin berbahaya pada pertengahan malam, gunung Agung

mengeluarkan magma dan suara yang sangat kuat, sungai-sungai yang ada

disekitar gunung yang sudah kering sejak tanda-tanda letusan akan terjadi menjadi

24

(41)

aliran larva panas hingga membanjiri tempat pemukiman penduduk, larva yang

sudah keluar sebelumnya menyumbat aliran sungai dan larva yang baru masuk

kedaerah perumahan penduduk.

Perkampungan desa Subagun yang sangat terkenal dengan sifat religiusnya

hampir seluruh penduduknya meninggal ditempat ibadah, mereka tidak sempat

melarikan diri. Jarak letusan gunung yang tidak dapat diprediksikan membuat

korban bencana alam gunung tersebut semangkin besar. Masyarakat tidak mengira

akibat dari letusan gunung Agung sangat besar, selain kabupaten Karangasam,

dua kabupaten lainnya juga menderita semburan abu gunung yaitu kabupaten

Tabanan, dan kabupaten Klungkung.25

Penduduk dari tiga kabupaten dikumpulkan di Denpasar menunggu situasi

pulih kembali. Bahaya bencana yang paling berat dialami oleh masyarakat Karang

Asam, sebagian besar penduduknya terpaksa harus mengungsi lama ditempat

pengungsian, lahan pertanian dan pemukiman mereka rusak total. Setiap hari

masyarakat yang ada di pengungsian hanya mengharapkan bantuan dari

pemerintah dan bantuan swasta lainnya.

Pemerintah sempat mengalami krisis kebijakan terhadap pengungsi dan

bahkan kekurangan pangan, sehingga beberapa dari pengungsi banyak yang

menderita penyakit paru-paru, kelaparan, meninggal dunia. Peristiwa ini membuat

jumlah korban gunung Agung menjadi sangat besar.

25

(42)

Keadaan ini akhirnya memaksa pemerintah memikirkan nasip pengungsi,

dan sebagai solusinya pemerintah daerah dengan pemerintah pusat, memutuskan

untuk menjadikan pengungsi sebagai masyarakat transmigrasi.

3.3 Antara Transmigrasi Dan Kontrak Kerja Sebagai Pilihan

Proses pelaksanaan transmigrasi pada dasarnya dilakukan sebagai

pemerataan penduduk oleh pemerintah. Daerah yang berpenduduk padat akan

dikurangi penduduknya kedaerah yang tergolong penduduknya sedikit. Proses

perpindahan hanya terjadi dalam satu negara. Proses inilah yang dikatakan

sebagai transmigrasi. Di sisi lain kontrak kerja mengandung arti persetujuan kerja

antara majikan dengan buruh ataupun karyawan. Kesepakatan yang dimaksud

dalam hal ini adalah penjelasasn hak dan kewajiban antara majikan (pihak

perusahaan) dan buruh. Perjanjian kontrak dilakukan sebelum disepakati, yang

tujuannya adalah mencari kesepakatan.

Kontrak kerja dan tranmigrasi menjadi solusi terakhir yang diterapkap

kepada masyarakat Hindu-Bali yang masih ada di pengungsian. Proses

pelaksanaan kedua program ini adalah sebagai alternatif terhadap

keberlangsungan hidup masyarakat Hindu-Bali. Keadaan masyarakat yang sangat

tertekan di tempat pengungsian menjadi faktor utama mereka menerima program

yang ditawarkan oleh pemerintah kepada mereka. Dalam waktu tiga bulan

masyarakat hanya tinggal ditempat pengungsian dengan bahan makanan yang

(43)

pengungsi inilah yang mendasari mereka segera menerima tawaran dari

pemerintah.26

Kontrak kerja yang sebenarnya diterapkan oleh pihak Perusahaan Negara

Perkebunan II, mengarah kepada batasan waktu kerja yaitu 6 tahun. Sedangkan

penggajian yang diterapkan kepada mereka, sama dengan pekerja non-kontrak.

Jadi kata yang paling sesuai dengan perjanjian ini adalah perjanjian kerja antara

masyarakat Hindu Bali dengan Perusahaan Negara Perkebunan II.

Sebelum tawaran kontrak kerja belum dijadikan sebagai alternatif,

masyarakat direncanakan akan mengikuti transmigrasi kedua daerah yang akan

dituju, yaitu Kalimantan dan Sulawesi Utara.27 Masyarakat akan mendapatkan satu unit rumah untuk, 2 hektar tanah, dan selama waktu produktif belum tiba

maka pemerintah akan mengupayakan sendiri biaya operasi mereka.

Saat proses administrasi sedang dilakukan, untuk pemberangkatan,

pemerintah mendapat tawaran baru dari pihak Perusahaan Negara Perkebunan II,

yang mempunyai lokasi tiga propinsi di Indonesia, yaitu Sumatera Utara, Riau,

dan Irian Jaya. Sesuai dengan rencananya, masyarakat pengungsi akan dijadikan

sebagai tenaga kerja kontrak dengan lama kerja selama 6 tahun. Lokasi yang

menjadi penempatan mereka adalah Sumatera Utara, tepatnya kecamatan

Perbaungan.

Beberapa pengungsi yang sudah lama menantikan kebijakan pemerintah,

tawaran yang baru dari pihak perusahaan negara ini mendapat tanggapan yang

lebih laris apabila dibandingkan dengan tawaran sebagai transmigrasi. Sebagai

26

Wawancara dengan Inengah Sumadyase, tanggal 24 September 2007 27

(44)

alasan pokok dari kelompok masyarakat Hindu-Bali yang memilih sebagai

kontrak kerja adalah kondisi pekerjaan itu sendiri lebih sederhana, bila

dibandingkan dengan transmigrasi yang masih membutuhkan beberapa tahapan

menuju masa hasil.28 Poin yang kedua sebagai alasan lebih banyak memilih kontrak kerja adalah latar belakang lokasi transmigrasi, yang sangat jauh. Sebagai

pemula di daerah yang akan mereka tempati, membutuhkan usaha yang kuat

untuk mengusahai lahan yang akan mereka tempati, sedangkan sebagai tenaga

kontrak, masyarakat tersebut akan segera bekerja diperkebunan PTPN, tanpa

harus mengeluarkan usaha yang maksimal. Wilayah Sumatera Utara tergolong

lebih memungkinkan dan faktor keramaian menjadi salah satu faktor mereka

memilih wilayah Sumatera Utara.

Masyarakat yang menginginkan menjadi karyawan kontrak mempunyai

keyakinan bahwa lahan pertanian mereka yang tinggal ataupun harta lainnya

sudah pulih kembali ketika masa kontrak akan berakhir. Mereka lebih

menginginkan kembali nantinya ke Bali dari pada menetap di daerah perantauan.

Waktu 6 tahun sudah cukup untuk menunggu keadaan tanah mereka pulih

kembali.

Pihak Perusahaan Negara Perkebunan bekerja sama dengan pemerintah

mengeluarkan beberapa persyaratan pokok menjadi kontrak kerja, yaitu:

1. Anggota kelompok kerja, harus berangkat satu keluarga sekaligus

28

(45)

2. Setiap kelompok keluarga yang dijadikan sebagai tenaga kontrak kerja,

harus memiliki minimal 3 orang dari kelompok kerja yang bisa

dipekerjakan

3. Bersedia menjadi kelompok kontrak kerja selama masa kontrak belun

berakhir yaitu 6 tahun kedepan

4. Tidak ada harta permanen yang dimiliki oleh kelompok kontrak, tetapi

mereka akan diberi gaji sesuai dengan ketentuan dari pihak perusahaan

5. Masyarakat yang ikut kontrak adalah masyarakat yang umurnya masih

tergolong umur produktif, dan tidak cacat badan.29

Tawaran sebagai kontrak kerja ternyata lebih banyak yang

menginginkannya dari pada transmigrasi, tetapi jumlah banyak dari mereka tidak

memenuhi persyaratan yang dibuat oleh PNP II. Persyaratan yang paling

memberatkan bagi masyarakat adalah poin tentang jumlah keluarga, dimana

banyak diantara mereka harus benar-benar jumlahnya sesuai dengan yang

diinginkan oleh Perusahaan Negara Perkebunan. Selain persyaratan yang

memberatkan sebagai tenaga kontrak di PNP II, jumlah menjadi tenaga kontrak

juga dibatasi oleh pihak Perusahaan Negara Perkebunan II, yaitu hanya 60 KK.

Akibat dari keinginan masyarakat yang lebih dominan memilih kontrak kerja,

persyaratan sebagai untuk tawaran ini semakin diperketat dengan persyaratan

umur kerja, tetapi persyaratan ini dapat diantisipasi oleh masyarakat dengan

keterangan umur yang tidak valid. Umur mereka tidak bisa dipastikan dengan

29

(46)

alasan surat yang memberikan keterangan pribadi sudah hilang akibat letusan

gunung Agung.

Sangat sulit mencari keluarga yang permanen seperti yang diharuskan oleh

perusahaan, sehingga mereka banyak yang gagal menjadi tenaga kontrak, tetapi

disebagian masyarakat Hindu-Bali yang berkeinginan menjadi tenaga kontrak

tetap berupaya keras mewujudkan keinginannya, dengan cara mengumpulkan

beberapa kelompok muda atau yang tidak ada pasangannya menjadi satu

kelompok keluarga. Kelompok ini mengaku satu keluarga dengan spespikasi 2

orang pria dewasa yang dikatakan sebagai suami istri, dan 3 orang atau lebih

kelompok muda yang disebutkan sebagai anak. Dengan taktis yang mereka buat,

maka persyaratan menjadi tenaga kontrak terpenuhi.

Bagi kelompok keluarga yang tidak mencukupi golongan anak, maka

mereka berusaha mencari anak yang tidak mempunyai keluarga lagi. Anak yang

tidak mempuyai orang tua (yatim, piatu, maupun yatim piatu) tergolong sangat

bayak pada saat bencana alam terjadi, demikian juga dengan orang tua yang

kehilangan anaknya juga banyak ditemukan pada korban pengungsi bencana

Gunung Agung. Jadi tidak jarang keluarga campuran yang berangkat menjadi

tenaga kontrak ke Perusahaan Negara Perkebunan II.30

Taktis yang dilakukan oleh masyarakat calon kontrak kerja tersebut

mendapat persetujuan dari pihak PNP II, sebab situasi perusahaan juga sedang

membutuhkan karyawan. Di sisi lain, hal terpenting dari karyawan adalah umur

30

(47)

untuk mencukupi dan bisa bekerja dilapangan. Pihak PNP tidak terlalu selektif

terhadap persyaratan mengenai status calon karyawan.

Momen yang sangat pentingpun tiba, ketika masyarakat diberangkatkan

ketiga kota, yaitu Sumatera Utara, Sulawesi Utara, dan Irian Jaya. Bencana

gunung Agung sangat membuat masyarakat Hindu Bali yang tinggal di sekitarnya

sangat memperihatinkan, yaitu terjadinya perubahan sosial. Mereka harus pindah

dari tempat kediaman mereka dan merubah pola hidup mereka setiap harinya.

3.4 Masa Kotrak Kerja Pertama Hingga Ke-Tiga

Masyarakat Hindu Bali sebelum ditimpa bencana alam letusan gunung

Agung, hidup sebagai masyarakat petani. Pola hidup ini sedikit mengalami

perubahan, yaitu menjadi tenaga kerja dalam perusahaan perkebunan. Kegiatan

kelompok masyarakat Hindu Bali yang baru adalah sebagai buruh dalam

perkebunan karet PNP II.

Golongan kerja kontrak pada babakan ini tergolong cukup besar, yaitu 60

kepala keluarga, dengan perincian satu kelaurga minimal 5 orang, jadi jumlah

keseluruhan apabila dirata-ratakan berjumlah 60 x 5 = 300 orang. Dalam

pembagian kelompok kerja, mereka dibagi mejadi dua kelompok besar,

berdasarkan areal kerja, satu kelompok ditempatkan di areal Pondok Agung

dengan jumlah 30 kepala keluarga, dan sisanya 30 kepala keluarga ditempatkan di

Pondok Bali.

Penempatan ini bertujuan untuk memudahkan kelompok kerja tersebut

(48)

pembabat rumput di sekitar tanaman karet, mencangkol, dan sebagian besar

mereka bekerja sebagai penderes (mengumpulkan getah dari batang karet).31 Sebelumnya telah dijelaskan tentang posisi buruh pada tahun 1960 hingga

tahun 1980 kurang terpandang di masyarakat, tetapi pekerjaan ini harus diterima

oleh masyarakat Hindu Bali karena keadaan terpaksa. Mereka akan bekerja

sebagai buruh kontrak selama 6 tahun, sesudah masa kontrak berakhir maka,

mereka akan kembali ketempat mereka semula yaitu Karangasem.32

Sebagai masyarakat baru sampai di tempat baru, terlihat kejanggalan

dalam proses hidup setiap harinya. Masyarakat yang mayoritas agama Hindu ini

menunjukkan proses hidup setiap harinya sesuai denga ajaran Hindu, sedangkan

masyarakat yang dijumpai adalah masyarakat yang heterogen. Perbauran antara

kedua kelompok penduduk ini terlihat tidak mudah untuk disatukan.

Kehidupan masyarakat yang hidup dikompleks perkebunan menjadi salah

satu faktor yang membuat masyarakat terhambat bergaul dengan masyarakat yang

lainnya. Organisasi ataupun komunitas yang akhirnya terbentuk dalam masyarakat

Hindu Bali yang ada dikompleks adalah organisasi yang bernuansa etnisitas Bali

dan komunitas agama yaitu Hindu.

Belum ada organisasi yang permanen ketika masa kontrak pertama

dijalani, hanya bentuk komunitas yang sifatnya kecil dan sempit, seperti arisan

masyarakat, dan kelompok Hindu, hal ini dilatarbelakangi dari perjanjian kontrak

hanya 6 tahun, jadi belum terpikir menjadi keluarga yang permanen di

Perbaungan.

31

Wawancara dengan Inengah Sumandyase, Tanggal 24 September 2007 32

(49)

Banyak dari tenaga kontrak kerja adalah kelompok muda, atau usia

menjelang perkawinan. Kelompok muda baik laki-laki maupun perempuan.

Ketertutupan terhadap masyarakat luar, sehingga mereka dominan mencari

pasangannya di sesama masyarakat yang tinggal di kompleks perkebunan.

Laki-laki muda menjadikan wanita yang satu etnisitas menjadi pasangan keluarga. Di

sisi lain pasangan yang dulunya hanya sebagai persyaratan kerja melanjutkan

hubungan mereka kejenjang pernikahan. Proses ini sudah berlangsung pada masa

kontrak pertama belum berakhir. Keluarga baru ini hidup dari hasil pekerjaan

mereka sebagai tenaga kontrak.

Kontrak pertama akan segera berahir yaitu tahun 1969, segera pihak

perusahaan memberikan dua tawaran kepada masyarakat yang mengikuti kontrak,

yaitu perpanjangan masa kerja dengan lama 3 tahun dan kembali ke tempat

mereka semula dimana biaya transportasi ditanggung oleh perusahaan. Mereka

tidak diberi tunjangan atau pesangon, tetapi dalam satu sisi pihak yang

melanjutkan kontrak mendapat nilai lebih, dimana mereka juga mendapat biaya

ganti biaya pulang ke Bali. Tidak ada unsur paksaan dari pihak perusahaan

memilih salah satu dari tawaran yang diberikan oleh pihak Perusahaan Negara

Perkebunan II. Mereka menentukan sendiri pilihan masing-masing.33

25 % ( 15 KK) kepala keluarga memilih kembali ke Bali, dengan berbagai

alasan, sedangkan bagian yang lainnya memilih tetap sebagai buruh kontrak.

Bagian masyarakat yang memilih perpanjangan kontrak dominan kelompok

keluarga yang berumah tangga setelah di tempat kontrak. Sebagai keluarga yang

33

(50)

membentuk kepala keluarga diperantauan, mereka belum memiliki harta warisan,

bagian yang lainnya adalah keluarga yang tidak memiliki harta warisan, atau

sebelumnya adalah keluarga yang tidak memiliki orang tua.

Bagi mereka yang memilih kembali ke Bali, dilatarbelakangi oleh alasan

kondisi sebagai kerja kontrak, mereka menilai bahwa mereka lebih terpandang

sebagai petani di ladang sendiri dari pada menjadi buruh kontrak. Situasi ladang

yang sudah pulih dan bisa diusahakan kembali juga turut mendorong mereka

kembali ke Bali.

Tidak terlalu terlihat pengurangan jumlah masyarakat Hindu Bali yang

melanjutkan kontrak pada periode pertama ini, oleh karena banyak kelompok

keluarga yang baru kawin sebelum proses kontrak pertama berakhir. Kelompok

keluarga yang kembali ke Bali, pada dasarnya adalah keluarga yang sudah lama

dan sudah memiliki keturunan dalam perkawinannya.

Menghabiskan perpanjangan kontrak kerja tidak terlalu lama, sebab

perpanjangan kontrak hanya 3 tahun yang berahir tahun 1969, tetapi masyarakat

Hindu Bali mulai memikirkan bagaimana cara mempertahankan tata cara

kehidupan mereka di kecamatan Perbaungan. Untuk itu sesama kelompok

masyarakat Hindu Bali, yang tinggal di Pondok mulai membentuk arisan

keluarga.

Arisan keluarga yang dibentuk ini bukan hanya memikirkan tentang

keuangan ataupun materi, mereka juga membicarakan langkah-langkah rencana

pendirian satu unit tempat ibadah. Masyarakat Hindu Bali mulai membuat

(51)

kegiatan ini akibat keadaan mereka yang selama ini sama sekali tidak pernah

melakukan pemujaan terhadap yang Maha Kuasa di tempat yang seharusnya yaitu

Candi, tetapi melakukannya di rumah mereka masing-masing. Atas dasar inilah

mereka tidak pernah merasakan kepuasan dalam menyampaikan rasa syukur

mereka kepada yang Mahakuasa.

Masa perpanjangan kontrak kerja yang kedua akan segera berakhir pada

bulan Agustus 1972. kembali masyarakat atau pekerja kontrak diberikan tawaran,

antara pulang ke Bali dan melanjutkan. Waktu perpanjangan sama seperti

lamanya kontrak kerja pertama yaitu 3 tahun. Setengah dari 60 kepala kaluarga

yang berangkat dulunya kesumatera, 1/3 bagian memilih kembali ke kampung

halaman mereka masing-masing.

Sebanyak 8 kepala keluarga dari 60 kepala keluarga melanjutkan kontrak

kerja yang ketiga kalinya. Dalam menyelesaikan masa kontrak ketiga ini tidak

jauh beda dengan masa yang kontrak kerja babak kedua. Perbedaan antara masa

kontrak kerja pertama dan yang kedua dengan masa kontrak kerja yang ketiga

terletak pada jumlah kepala keluarga baru sesudah di tempat kontrak. Setelah

melakukan perkawinan, secara otomatis masuk menjadi anggota kelompok

kontrak kerja.

Selama tiga tahun menghabiskan perpanjangan kontrak, para kelompok

kerja Hindu Bali, hanya menghabiskan waktunya sebagai tenaga kontrak. Diakhir

masa kontrak kerja yang terakhir, kelompok kerja ini dikejutkan oleh sebuah

berita baru, dimana sistem kontrak yang diberlakukan selama ini dan selalu

(52)

Kelompok masyarakat Hindu Bali yang dulunya terlibat kontrak kerja

disamakan kedudukannya dengan karyawan lokal, tanpa dibatasi oleh lama kerja,

tetapi sistem kerja dan juga gaji yang diberlakukan kepada mereka sama halnya

dengan ketika masa kontrak kerja.

Sistem karyawan lokal yang berlakukan kepada masyarakat Hindu Bali ini

menjadi salah satu faktor pendorong kepada masyarakat Hindu Bali menjadi

kelompok masyarakat yang permanen. Sebagai salah satu ujut dari keseriusan

masyarakat Hindu Bali menjadi kelompok masyarakat yang nenetap di desa

Pegajahan, terlihat dari perayaan Galungan tahun 1975 tersebut, dimana mereka

mendirikan sebuah rumah yang didekorasi sesuai dengan dekorasi Pura.

Masyarakat Hndu Bali yang masih tinggal di Perbaungan melaksanakan ritual

penyembahan kepada yang Mahakuasa di tempat tersebut. Demikianlah

masyarakat Hindu Bali melaksanakan ritual keagamaannya sampai tahun 1989 di

desa Pegajahan kecamatan Perbaungan..

Gambar

Tabel 1: Daftar Dusun di Desa Pegajahan
Tabel 2: Penduduk Desa Pegajahan Menurut Kelompok Etnis
Tabel 3: Komposisi Penduduk Menurut Agama di Desa Pegajahan
Tabel 4: Komposisi Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Di Desa

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penerimaan pembayaran dibuatkan kas bon penerimaan dengan mengisi nomor faktur, nama customer yang membayar, jumlah pembayaran, tanggal pembayaran, dan

Dengan ditentukannya tujuan tersebut UTD memastikan kebutuhan darah di Kota Semarang selalu terpenuhi setiap tahun bahkan setiap bulan, cara yang ditempuh oleh UTD untuk

Hubungan Karakteristik dan Persepsi Masyarakat Tentang Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Terhadap Keikutsertaan Menjadi Peserta JKN di Kota Medan Tahun 2014..

REKAPITULASI DATA KEPENDUDUKAN MENURUT KELOMPOK UMUR DAN JENIS KELAMIN TAHUN 2016 SEMESTER I1.

Dari hasil penelitian ini diketahui bahwa fondasi disposal pada daerah penelitian termasuk dalam kategori cukup baik, hal tersebut dilihat dari bentukan lereng fondasi yang

Sekat dibuat dari bahan FRP dengan ketebalan yang memenuhi dan diperkuat dengan profile fibreglass yang dipasang secara vertikal dan horizontal, Sekat merupakan

Kegiatan – kegiatan yang diprogramkan dalam bidang ini adalah:1.  Analisa Kebutuhaan Guru dan

Dibawah ini akan dijelaskan analisa sistem kontrol yang pertama yaitu sensitifitas sensor cahaya atau fotodioda, kedua sudut pergerakan naungan (atap) atau tripleks – tripleks,