• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemberdayaan Pemerintahan Desa dalam Upaya Mewujudkan Otonomi Desa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pemberdayaan Pemerintahan Desa dalam Upaya Mewujudkan Otonomi Desa"

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBERDAYAAN PEMERINTAHAN DESA DALAM UPAYA MEWUJUDKAN OTONOMI DESA

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

NIM: 050200092

LEGA LESTARI SINAGA

HUKUM TATA NEGARA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010

(2)

UPAYA MEWUJUDKAN OTONOMI DESA

S K R I P S I

Diajukan untuk Memenuhi dan Melengkapi Syarat-syarat untuk Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum

Oleh:

NIM: 050200092

LEGA LESTARI SINAGA

KETUA DEPARTEMEN HUKUM TATA NEGARA

NIP: 195810071986011002 Armansyah, SH. M. Hum

DOSEN PEMBIMBING I DOSEN PEMBIMBING II

Armansyah, SH. M. Hum

NIP: 195810071986011002 NIP: 197212261998021001

Dr. Mirza Nasution, SH. M. Hum

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010

(3)

Bismillahirrahmanirrahim

Syukur Alhamdulillah penulis ucapkan tiada henti-hentinya akan kehadhirat Allah

SWT karena atas rahmat dan hidayah-Nya yang telah memberikan kesempatan penulis

untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini, yang merupakan salah satu syarat untuk

mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Shalawat dan Salam tak lupa penulis haturkan kepada junjungan Nabi Muhammad saw

yang telah memberikan jalan dan menuntun umatnya dari jalan yang gelap menuju jalan

yang terang yang disinari oleh cahaya Iman dan Islam.

Skripsi ini berjudul: “Pemberdayaan Pemerintahan Desa dalam Upaya

Mewujudkan Otonomi Desa”.

Penulis menyadari bahwa di dalam pelaksanaan pendidikan ini banyak mengalami

kesulitan-kesulitan dan hambatan, namun berkat bimbingan, arahan, serta petunjuk dari

dosen pembimbing, maka penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Penulis

menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak kelemahan serta

kekurangan-kekurangan, oleh karena itu penulis mengharapkan adanya suatu masukan serta saran

yang bersifat membangun di masa yang akan datang.

Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak menerima bantuan, bimbingan dan

motivasi dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Syahril Pasaribu DTM, H. MsC (CTM), SpA(K), sebagai Rektor

(4)

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M. Hum sebagai Dekan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum

USU.

4. Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, sebagai Pembantu Dekan II Fakultas

Hukum USU.

5. Bapak Muhammad Husni, SH, M. Hum sebagai Pembantu Dekan III Fakultas

Hukum USU.

6. Bapak Armansyah, SH, M. Hum sebagai Ketua Jurusan Departemen Hukum Tata

Negara Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus Dosen

Pembimbing I dalam penulisan skripsi ini.

7. Bapak Dr. Mirza Nasution, SH, M. Hum, sebagai Dosen Pemembimbing II

penulisan skripsi ini.

8. Ibu Prof. Dr. Ningrum Natasya, SH. MLi, Sebagai Dosen Penasehat Akademik.

9. Seluruh staf Departemen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum USU.

10.Seluruh Bapak dan Ibu staf pengajar di Fakultas Hukum USU.

11.Kepada ayahanda ibunda tercinta, yang telah memberikan kasih sayang,

perhatian, dan memberi kesempatan pada penulis untuk berjuang menuntut ilmu

sehingga dapat menyelesaikan studi di perguruan tinggi ini.

12.Kepada saudara-saudaraku terima kasih atas dukungan, doa dan perhatian yang

sangat besar yang selalu mendukungku terima kasih kepada seluruh keluarga

besarku yang memberikan dorongan semangat kepada penulis selama mengikuti

(5)

13.Kepada teman-temanku, khususnya stambuk 2005 Fakultas Hukum USU yang

tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih atas segalanya.

14.Dan kepada semua pihak yang telah berpartisipasi atas penulisan skripsi ini yang

tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Demikianlah yang penulis dapat sampaikan, atas segala kesalahan dan

kekurangannya penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Atas perhatiannya penulis ucapkan terima kasih.

Medan 01 Maret 2010

(6)

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 4

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan... 4

D. Keaslian Penulisan ... 5

E. Tinjauan Kepustakaan ... 6

F. Metode Penelitian... 12

G. Sistematika Pembahasan ... 15

BAB II SEJARAH PERKEMBANGAN PEMERINTAHAN DESA DI INDONESIA ... 17

A. Pemerintahan Desa Masa Kolonial ... 17

B. Pemerintahan Desa Awal Kemerdekaan ... 19

C. Pemerintahan Desa Masa Orde Baru ... 20

D. Pemerintahan Desa Masa Reformasi (1999-sekarang) ... 23

BAB III UPAYA PEMBERDAYAAN PEMERINTAHAN DESA DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAH ... 34

A. Permasalahan-permasalahan dalam Tata Pemerintahan Desa ... 34

B. Kemitraan sebagai Ideologi dalam Tata-Pemerintahan Desa ... 48

(7)

BAB IV PEMBERDAYAAN PEMERINTAHAN DESA DALAM UPAYA

MEWUJUDKAN OTONOMI DESA DI DESA SIGARA-GARA KEC.

PATUMBAK KAB. DELI SERDANG ... 59

A. Gambaran Umum Desa Sigara-gara Kec. Patumbak Kab. Deli Serdang ... 59

B. Pemberdayaan Pemerintahan Desa dalam Upaya Mewujudkan Otonomi Desa Sigara-gara Kec. Patumbak Kab. Deli serdang ... 64

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 77

A. Kesimpulan ... 77

B. Saran ... 78

(8)

ABSTRAKSI

Secara historis desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia jauh sebelum negara bangsa ini terbentuk, struktur sejenis desa, masyarakat adat dan sebagainya telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi yang sangat penting. Desa merupakan institusi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri serta relatif mandiri. Hal ini antara lain ditunjukan dengan tingkat keragaman yang tinggi.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai bagaimana Bagaimana sejarah perkembangan pemerintahan desa di Indonesia, Bagaimana upaya pemberdayaan pemerintahan desa dalam kerangka otonomi desa, dan Bagaimana upaya pemberdayaan pemerintahan desa dalam upaya mewujudkan otonomi desa di Desa Sigara-gara Kec. Patumbak Kab. Deli Serdang.

Penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif-empiris, dalam penelitian empiris dilakukan untuk memperoleh data primer, yaitu dengan melakukan wawancara dengan pimpinan pihak pemerintahan Desa Sigara-gara Kec. Patumbak, sedangkan penelitian hukum normatif, dilakukan melalui kajian terhadap peraturan perundang-undangan dan bahan–bahan hukum yang berkaitan dengan skripsi

(9)

ABSTRAKSI

Secara historis desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia jauh sebelum negara bangsa ini terbentuk, struktur sejenis desa, masyarakat adat dan sebagainya telah menjadi institusi sosial yang mempunyai posisi yang sangat penting. Desa merupakan institusi yang otonom dengan tradisi, adat istiadat dan hukumnya sendiri serta relatif mandiri. Hal ini antara lain ditunjukan dengan tingkat keragaman yang tinggi.

Permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini adalah mengenai bagaimana Bagaimana sejarah perkembangan pemerintahan desa di Indonesia, Bagaimana upaya pemberdayaan pemerintahan desa dalam kerangka otonomi desa, dan Bagaimana upaya pemberdayaan pemerintahan desa dalam upaya mewujudkan otonomi desa di Desa Sigara-gara Kec. Patumbak Kab. Deli Serdang.

Penulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif-empiris, dalam penelitian empiris dilakukan untuk memperoleh data primer, yaitu dengan melakukan wawancara dengan pimpinan pihak pemerintahan Desa Sigara-gara Kec. Patumbak, sedangkan penelitian hukum normatif, dilakukan melalui kajian terhadap peraturan perundang-undangan dan bahan–bahan hukum yang berkaitan dengan skripsi

(10)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Secara historis desa merupakan cikal bakal terbentuknya masyarakat politik dan

pemerintahan di Indonesia jauh sebelum negara bangsa ini terbentuk, struktur sejenis

desa, masyarakat adat dan sebagainya telah menjadi institusi sosial yang mempunyai

posisi yang sangat penting. Desa merupakan institusi yang otonom dengan tradisi, adat

istiadat dan hukumnya sendiri serta relatif mandiri. Hal ini antara lain ditunjukan dengan

tingkat keragaman yang tinggi.

Sejalan dengan perkembangan zaman telah memberikan nuansa baru dalam

sistem kenegaraan modern, sehingga kemandirian dan kemampuan masyarakat desa

mulai berkurang kondisi ini sangat kuat terlihat dalam pemerintahan Orde Baru yang

berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang pemerintahan desa

melakukan sentralisasi, birokratisasi dan penyeragaman pemerintahan desa pada waktu

itu, tanpa menghiraukan kemajemukan masyarakat adat pemerintahan asli,

Undang-Undang ini melakukan penyeragaman secara nasional, hal ini kemudian tercermin dalam

hampir semua kebijakan pemerintah pusat yang terkait dengan desa.

Proses reformasi politik dan penggantian pemerintahan yang terjadi pada tahun

1998, telah diikuti dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

pemerintahan daerah yang kemudian mencabut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974

tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah dan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979

tentang Pemerintahan Desa. Selanjutnya sebagaimana diatur dalam Undang-Undang

(11)

desa, yang kemudian disempurnakan dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 bab

XI pasal 200-216 dan PP Nomor 76 Tahun 2001 tentang pedoman umum pengaturan

mengenai desa menekankan pada prinsip-prinsip demokarasi, peran serta masyarakat,

pemerataan dan keadilan serta memperhatikan potensi dan keaneka ragaman daerah.

Dalam Pasal 94 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 bentuk pemerintahan desa terdiri

atas Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa dimana pemerintahan desa terdiri atas

Kepala Desa dan perangkat desa (Sekdes, Kepala urusan, Kepala Dusun), sedangkan

Badan Perwakilan Desa sesuai dengan pasal 104 adalah wakil penduduk desa yang

dipilih dari dan oleh penduduk desa yang mempunyai fungsi mengayomi adat istiadat,

membuat peraturan desa, dan mengawasi penyelenggaraan desa.dalam melaksanakan

tugas dan kewajibannya kepala desa bertanggungjawab kepada rakyat melalui Badan

Perwakilan Desa dan melaporkan kepada Bupati. Dengan demikian mekanisme yang

diterapkan telah mengalami perubahan yang sangat mendasar karena sebelumnya tidak

diterapkan demikian.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 Bab I, Tentang peraturan Daerah, Pasal 1

menyebutkan bahwa yang namanya Desa atau yang disebut dengan nama lain yang

selanjutnya disebut dengan desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki

kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat

berdasarkan asal usul dan adat istiadat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan

nasional dan berada di daerah kabupaten. Berdasarkan bunyi pasal tersebut di atas, maka

desa dalam penyelenggaraan pemerintahannya mempunyai tanggung jawab yang penuh

mengenai kemajuan desa tersebut, karena desa sebagai daerah otonom yang memiliki

(12)

prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat setempat. Sehingga aparatur pemerintah

desa dituntut untuk bisa mengakomodir dan menampung aspirasi masyarakat untuk

menyelenggarakan pemerintahannya sendiri atas dasar prakarsa, kreativitas, dan peran

serta aktif masyarakat tersebut dalam rangka mengembangkan dan memajukan

daerahnya.

Dalam penyelenggaraan pemerintah desa yang merupakan sub-sistem dari sistem

penyelenggaraan pemerintah daerah maka hal itu tidak bisa lepas dari konsep dasar

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Adapun konsep

tersebut adalah:1

1. Membesarnya kewenangan dan tanggungjawab daerah otonom.

2. Keleluasaan daerah untuk mengatur atau mengurus kewenangan semua bidang

pemerintahan kecuali enam kewenangan.

3. Kewenangan yang utuh dalam perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan

pengendalian.

4. Pemberdayaan masyarakat, tumbuhnya prakarsa dan inisiatif, menyangkut peran

masyarakat dan legislatif.

Oleh karena hal tersebut di atas, tulisan ini mengangkat masalah pemberdayaan

pemerintahan desa dalam upaya mewujudkan otonomi desa.

B. Permasalahan

Yang menjadi permasalahan dalam tulisan ini adalah:

1. Bagaimana sejarah perkembangan pemerintahan desa di Indonesia?

1

(13)

2. Bagaimana pelaksanaan konsep otonomi desa di Indonesia?

3. Bagaimana upaya pemberdayaan pemerintahan desa dalam upaya mewujudkan

otonomi desa di Desa Sigara-gara Kec. Patumbak Kab. Deli Serdang?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

a. Untuk mengetahui sejarah perkembangan pemerintahan desa di Indonesia

b. Untuk mengetahui upaya konsep otonomi desa di Indonesia

c. Untuk mengetahui upaya pemberdayaan pemerintahan desa dalam upaya

mewujudkan otonomi desa di Desa Sigara-gara Kec. Patumbak Kab. Deli

Serdang

2. Manfaat Penulisan

a. Secara Teoritis

1. Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan dalam bidang Hukum Tata

Negara, khususnya yang berkaitan dengan pemberdayaan pemerintahan

desa dalam upaya mewujudkan otonomi desa

2. pemberdayaan pemerintahan desa dalam upaya mewujudkan otonomi desa

yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan.

b. Secara Praktis

Dapat diajukan sebagai pedoman dan bahan rujukan bagi rekan-rekan

(14)

pemerintah dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan pemberdayaan

pemerintahan desa dalam upaya mewujudkan otonomi desa.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan pemeriksaan dan hasil-hasil penelitian yang ada, penelitian mengenai

“Tata Cara Pelaksanaan Hukuman Mati dalam Perspektif Hukum Pidana Islam”

belum pernah dibahas oleh mahasiswa lain di Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara dan skripsi ini asli disusun oleh penulis sendiri dan bukan plagiat atau diambil dari

skripsi orang lain. Semua ini merupakan implikasi etis dari proses menemukan kebenaran

ilmiah. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara

ilmiah. Apabila ternyata ada skripsi yang sama, maka penulis akan bertanggung jawab

sepenuhnya.

E. Tinjauan Kepustakaan

1. Teori

Untuk mencapai tujuan penelitian ini, digunakan teori demokrasi, dengan

pendekatan transpolitika dan postrukturalisme. Dari analisis transformasi demokrasi

dalam tata pemerintahan desa, realitasnya demokrasi desa dalam era transisi pertama

bersifat otoritarian-leviathan yang seragam, tidak begitu banyak pilihan dalam

pelaksanaan demokrasi desa. Istilah, struktur, fungsi dan mekanisme dalam menjalankan

pemerintahan desa sudah dibakukan. Paradigmatik pengaturan politik yang bersifat

otoritarian tidak memberikan peluang yang cukup bagi munculnya perbedaan dalam

corak dan tata cara pengaturan dalam pemerintahan desa. Dalam era transisi kedua terjadi

(15)

Musyawarah Desa (LMD) yang sebelumnya bersifat korporatis dengan kekuasaan

monolitik di tangan kepala desa menjadi Badan Perwakilan Desa (BPD-1) yang jauh

lebih demokratis sehingga dapat menghasilkan relasi kuasa yang lebih berimbang.

Kondisi ini meningkatkan keleluasaan desa untuk berkreasi dalam menyusun kebijakan

desa yang disesuaikan dengan adat-istiadat, kebutuhan dan aspirasi warga.

Memasuki era transisi ketiga demokrasi desa kembali bertransformasi ke arah

pola demokratis-prosedural yakni perombakan tata kelembagaan dan proses demokrasi

lewat pembentukan lembaga baru Badan Permusyawaratan Desa (BPD-2) yang fungsinya

jauh lebih lemah dibandingkan dengan fungsi BPD-1 sebelumnya.2

2. Konsepsi

Pemberdayaan berasal dari kata ‘daya’. Arti daya adalah kekuatan atau tenaga,

misalnya: daya pikir, daya batin, daya gaib, daya gerak, daya usaha, daya hidup, daya

tahan, sudah tak ada dayanya lagi.3

Sebenarnya hakekat redefinisi pemberdayaan adalah: 4

Pertama, pemberdayaan adalah proses, yaitu perubahan dari status yang rendah ke

status yang lebih tinggi. Kedua, pemberdayaan adalah metode, yaitu sebagai suatu

pendekatan agar masyarakat berani mengungkapkan pendapatnya. Ketiga, pemberdayaan

adalah program, yaitu sebagai tahapan-tahapan yang hasilnya terukur menuju kehidupan

rakyat yang mandiri dan sejahtera. Keempat, pemberdayaan adalah gerakan, yaitu

membuka peluang bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan. Kelima,

2

http://ilmupemerintahan.wordpress.com/2009/04/05/transformasi-tata-pemerintahan-desa/. Diakses pada tanggal 20 Mei 2010.

3

WJS Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, 1985. 4

(16)

pemberdayaan adalah pemberian otorisasi, yaitu menempatkan masyarakat sebagai

subyek dalam pembangunan.

Pemerintahan adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan yang mengatur suatu

negara dengan cara dan sistem tertentu sesuai dengan tujuan didirikannya negara

tersebut.5

Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan mengatur

dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat

setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah

Kabupaten.6

a. Otonomi daerah

Adanya perubahan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan

Daerah, di samping karena adanya amandemen UUD 1945, juga memperhatikan

beberapa Ketetapan MPR dan Keputusan MPR. Adanya kekurangan-kekurangan dalam

UU No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah disempurnakan dalam UU No. 32

Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.

Beberapa kelemahan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan daerah yang

dapat diamati adalah sebagai berikut:7

a. Dalam pembagian daerah, belum atau tidak cukup jelas mengatur pembagian

daerah. Apa ukuran atau kriteria suatu daerah provinsi dapat dikatakan otonom.

Apakah didasarkan pada luas wilayah, tingkat kepadatan penduduk, tingkat

5

http://pasuruan.go.id/pemerintahan/. Diakses tanggal 20 Mei 2010. 6

Widjaja, HAW. 2003. Otonomi Desa. Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 22. 7

(17)

pendapatan/penghasilan daerah dan/atau budaya masyarakat. Begitu pula dengan

daerah kabupaten/kota.

b. Dalam pembentukan dan susunan daerah tidak rinci, hanya didasarkan atas

prakarsa dan kehendak masyarakat. Kriteria susunan daerah dibentuk berdasarkan

pertimbangan kemampuan ekonomi, potensi daerah, sosialbudaya, sosial politik,

jumlah penduduk, luas daerah dan lain-lain. Kriteria seperti ini dapat

menimbulkan ketidakpastian hukum tentang keberadaan suatu daerah.

c. Dalam kewenangan daerah. Sebagai akibat ketidakjelasan kriteria otonomi

tercermin pula kewenangan provinsi dan kabupaten/kota. Kondisi seperti ini akan

tetap menempatkan pusat sebagai pihak yang lebih tinggi dari provinsi, kemudian

provinsi sebagai pihak yang lebih tinggi dari kabupaten/kota, dan seterusnya.

d. Tentang Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Belum memberikan

kewenangan yang sungguh-sungguh kepada DPRD sebagai lembaga legislatif

dengan tidak jelasnya kedudukan DPRD dalam pengambilan keputusan terhadap

masalah-masalah daerah.

e. Tentang perangkat daerah. Daerah mempunyai wewenang untuk mengangkat

perangkat derah, akan tetapi tidak ada kejelasan kewenangan daerah merekrut

perangkat derah di luar struktur pemerintahan sebelumnya (lama).

f. Dalam keuangan daerah. Belum mencerminkan otonomi penuh daerah untuk

menentukan jumlah anggaran dan pengaturannya.

g. Dalam hubungan pusat dan daerah. Harus ada batasan yang jelas hubungan antara

(18)

Menurut UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Otonomi Daerah

adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus

sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan

peraturan perundang-undangan. Sedangkan daerah otonom, selanjutnya disebut daerah

adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang

berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat

setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam Sistem Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

Prinsip-prinsi otonomi daerah yang dijadikan pedoman dalam UU No. 32 Tahun

2004 ini adalah sebagai berikut:8

a. Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam arti

daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan

pemerintahan di luar yang menjadi urusan pemerintah yang ditetapkan dalam

Undang-undang ini.

b. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan daerah untuk memberi

pelayanan, peningkatan peran serta, prakarsa, dan pemberdayaan masyarakat yang

bertujuan pada peningkatan kesejahteraan rakyat.

c. Sejalan dengan prinsip tersebut dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan

bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk

menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan

kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan

berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Adapun yang dimaksud

8

(19)

dengan otonomi yang beranggung jawab adalah otonomi yang dalam

penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud

pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk

meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan

nasional.

d. Penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan

kesejahteraan masyarakat dengan selalu memperhatikan kepentingan dan aspirasi

yang tumbuh dalam masyarakat.

e. Penyelenggaraan otonomi daerah juga harus menjamin hubungan antara daerah

dengan daerah lainnya, artinya mampu membangun kerjasama antar daerah untuk

meningkatkan kesejahteraan bersama dan mencegah ketimpangan antar daerah.

f. Otonomi daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi antar daerah

dengan pemerintah, artinya harus mampu memelihara dan menjaga keutuhan

wilayah negara dan tetap tegaknya NKRI dalam rangka mewujudkan tujuan

negara.

Adapun asas-asas penyelenggaraan pemerintahan daerah dari Undang-Undang

No.32 Tahun 2004, yaitu:

a. digunakan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan;

b. penyelenggaraan asas desentralisasi secara utuh dan bulat yang dilaksanakan di

daerah kabupaten dan daerah kota; dan

c. asas tugas pembantuan yang dapat dilaksanakan dari daerah provinsi, daerah

(20)

Pada umumnya faktor-faktor dan atau variabel-variabel yang mempengaruhi

keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah adalah kemampuan sumber daya manusia

(aparat maupun masyarakat), sumber daya alam, kemampuan keuangan (finansial),

kemampuan manajemen, kondisi sosial budaya masyarakat, dan karakteristik ekologis.9

Menurut Widjaya ada tiga variabel yang menjadi tolak ukur kemampuan daerah

otonom, yaitu:10

a. variabel pokok, yang terdiri dari kemampuan pendapatan asli daerah/keuangan,

kemampuan aparatur, kemampuan aspirasi masyarakat, kemampuan ekonomi,

kemampuan demografi, serta kemampuan organisasi dan administrasi;

b. variabel penunjang, yang terdiri dari faktor geografi dan faktor sosial budaya; dan

c. variabel khusus yang terdiri dari sosial politik, pertahanan dan keamanan serta

penghayatan agama.

Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak

dicapai, pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman

seperti dalam penelitian, pengembangan, perencanaan, dan pengawasan. Di samping itu

diberikan pula standar arahan, bimbingan, pelatihan, supervisi, pengendalian, koordinasi,

pemantauan dan evaluasi. Di samping itu, juga memberikan bantuan dan dorongan

kepada daerah agar otonomi dapat terlaksana secara efektif dan efisien.

Otonomi berasal dari kata Yunani outos dan nomos, outos berarti “sendiri” dan

nomos berarti “perintah”. Sehingga otonomi bermakna “memerintah sendiri”, yang dalam

wacana administrasi publik otonomi sering disebut sebagai local self government.11

9

Setyawan Salam, Otonomi Daerah Dalam Perspektif Lingkungan, Nilai Dan sumber daya, Djambatan, Jakarta, 2003, hal. 94.

10

(21)

3. Pemerintahan Desa

Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki kewenangan mengatur

dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat

setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di daerah

Kabupaten.12

“Desa atau yang disebut dengan nama lain sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai susunan asli berdasarkan hak asal-usul yang bersifat istimewa sebagaimana yang dimaksud dalam penjelasan pasal 18 UUD 1945. Landasan pemikiran dalam pengaturan Pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli, demokratisasi dan pemberdayaan masyarakat”.

Rumusan defenisi Desa secara lengkap terdapat dalam UU No.22/1999

adalah sebagai berikut:

13

Pengaturan tentang desa dalam bab XI tersebut diharapkan Pemerintah Desa

bersama masyarakat secara bersama-sama menciptakan kemandirian desa. Kemandirian

tersebut dapat dilihat dari kewenangan yang diberikan yang tertuang dalam pasal 206,

yang menyebutkan bahwa desa merupakan kesatuan masyarakat hukum yang memiliki

kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat.

Kewenangan Desa mencakup: keberadaan lembaga perwakilan desa atau badan

Perwakilan Desa (BPD) sebagai bentuk miniatur DPRD di tingkat Kota maupun

Kabupaten. Kewenangan ini berdampak pada mekanisme penyelenggaraan pemerintah

desa yang selama ini tidak memiliki “lawan” atau yang mengontrol jalannya Pemerintah

11

http://tutorialkuliah.blogspot.com/2009/05/tentang-kuliah-tentang-otonomi-daerah. html. Diakses tanggal 20 Mei 2010.

12

Widjaja, HAW. 2003. Otonomi Desa. Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal. 22. 13

(22)

Desa. Selain itu keberadaan lembaga ini akan membawa perubahan suasana dalam proses

Pemerintahan di desa.

Keberadaan BPD secera otomatis akan mempengaruhi kinerja dari Pemerintahan

Desa, begitu pula kewenangan yang dimiliki oleh Pemerintahan Desa dalam hal ini

kepala Desa juga akan berbeda dari sebelumnya. Namun yang tidak kalah pentingnya

adalah masalah keuangan Desa (pasal 212) yang mengatur tentang sumber pendapatan

desa, yaitu berdasarkan pendapatan asli desa (hasil usaha desa, hasil kekayaan desa, hasil

swadaya dan partisipasi, hasil gotong royong, dan lain-lain pendapatan asli desa yang

sah), kemudian bantuan dari Pemerintah Kabupaten berupa bagian yang diperoleh dari

pajak dan retribusi serta bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang

diterima oleh Pemerintah Kabupaten, selain itu bantuan dari Pemerintah dan Pemerintah

Propinsi, sumbangan pihak ketiga dan pinjaman desa.

Beberapa hal yang dimuat dalam keuangan desa ini merupakan hal yang baru bagi

Pemerintah Desa karena selama ini mereka belum terbiasa untuk berkreasi mencari

pendapatan asli desa. Untuk mengetahui, sekaligus membandingkan konsep

Pemerintahan Desa yang terbaik dan sesuai untuk masyarakat desa di Indonesia maka

perlu mempelajari perkembangan pemerintaan Desa sejak awal. Di bawah ini merupakan

uraikan perkembangan pemerintahan desa di Indonesia sejak masa kolonial hingga

berlakunya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang berlaku saat ini.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Bogdan dan Taylor

(23)

deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat

diambil.14

2. Lokasi Penelitian

Dengan dasar tersebut, maka penelitian ini diharapkan mampu memberikan

gambaran mengenai kinerja BPD dengan didukung data-data tertulis maupun data-data

hasil wawancara.

Lokasi penelitian merupakan tempat penelitian dilakukan. Dengan ditetapkan

lokasi dalam penelitian akan dapat lebih mudah untuk mengetahui tempat dimana suatu

penelitian dilakukan. Lokasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah di Desa

Sigara-gara, Kecamatan Patumbak, Kabupaten Deli Serdang.

3. Sumber Data

Sumber data dalam penelitian ini adalah subjek dari mana data dapat diperoleh.15

a. Sumber data primer, diperoleh dari hasil penelitian di lapangan secara

langsung dari sebenarnya, dan pihak-pihak yang bersangkutan dengan

masalah yang akan dibahas dalam hal ini adalah dari Badan Permusyawaratan

Daerah (BPD), pemerintah desa yang terdiri dari kepala desa dan perangkat

desa. Untuk memperoleh sumber data primer digunakan teknik wawancara

dan observasi.

Sumber data dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

b. Sumber data sekunder, untuk memperoleh sumber data sekunder penulis

menggunakan teknik dokumentasi. Hal ini dapat dilakukan dengan mencari

14

Moleong, J Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:Remaja Rosydakarya, 2002, hal. 3.

15

(24)

dan mengumpulkan data melalui informan secara tertulis ataupun

gambar-gambar yang berhubungan dengan masalah-masalah penelitian.

4. Alat dan Teknik Pengumpulan Data

Penelitian di samping perlu menggunakan metode yang tepat, juga perlu memilih

alat dan teknik pengumpulan data yang relevan. Teknik pengumpulan data dalam

penelitian ini dilakukan dengan:

a. Wawancara

Wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu

dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan

pertanyaan dan yang di wawancarai (interviewee) yang memberikan jawaban

atas pertanyaan itu.16

b. Pengamatan (observasi)

Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik

terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. Pengamatan dan

pencatatan yang dilakukan terhadap objek di tempat terjadi atau

berlangsungnya peristiwa, sehingga observer berada bersama objek yang

diselidiki, disebut observasi langsung. Sedangkan observasi tidak langsung

adalah pengamatan yang dilakukan tidak pada saat berlangsungnya suatu yang

akan diselidiki.17

c. Dokumentasi

16

Moeloeng, Op.cit, hal. 133. 17

(25)

Teknik dokumentasi adalah mengumpulkan data melalui peninggalan tertulis,

seperti arsip-arsip dan termasuk juga buku-buku tentang pendapat, teori, dalil

atau hukum-hukum dan lain-lain yang berhubungan dengan masalah

penelitian.18

5. Analisa Data

Data sekunder yang telah disusun secara sistematis kemudian dianalisa dengan

menggunakan metode deduktif dan induktif. Metode deduktif dilakukan dengan

membaca, menafsirkan dan membandingkan, sedangkan metode induktif dilakukan

dengan menerjemahkan berbagai sumber yang berhubungan dengan topik skripsi ini,

sehingga diperoleh kesimpulan yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah

dirumuskan.

G. Sistematika Pembahasan

BAB I : Bab ini merupakan bab pendahuluan yang isinya antara lain

memuat Latar Belakang, Pokok Permasalahan, Tujuan dan Manfaat

Penulisan, Tinjauan Kepustakaan, Metode Penelitian dan

Sistematika Penulisan.

BAB II : Bab ini akan membahas tentang tinjauan umum tentang tindak Sejarah

Perkembangan Pemerintahan Desa Di Indonesia, yang mengulas

Pemerintahan Desa Masa Kolonial, Pemerintahan Desa Awal

Kemerdekaan, Pemerintahan Desa Masa Orde Baru, dan Pemerintahan

Desa Masa Reformasi (1999-sekarang)

18

(26)

BAB III : Bab ini akan membahas tentang upaya pemberdayaan pemerintahan

desa dalam kerangka otonomi daerah, yang memuat

Permasalahan-permasalahan dalam Tata Pemerintahan Desa, Kemitraan sebagai Ideologi

dalam Tata-Pemerintahan Desa, dan Pemberdayaan pemerintahan desa

melalui implementasi kemitraan dalam tata pemerintahan desa

BAB IV: Bab ini akan dibahas tentang pemberdayaan pemerintahan desa dalam

upaya mewujudkan otonomi desa di desa sigara-gara kec. patumbak kab.

deli serdang, yang mengulas tentang Gambaran Umum Desa Sigara-gara

Kec. Patumbak Kab. Deli Serdang, dan Pemberdayaan Pemerintahan Desa

dalam Upaya Mewujudkan Otonomi Desa Sigara-gara Kec. Patumbak

Kab. Deli serdang

BAB IV: Bab ini merupakan bab terakhir, yaitu sebagai bab penutup yang berisi

(27)

BAB II

SEJARAH PERKEMBANGAN PEMERINTAHAN DESA DI INDONESIA

A. Pemerintahan Desa Masa Kolonial

Ketika masa pemerintahan kolonial atau biasa disebut dengan Pemerintahan

Hindia Belanda, Desa atau Pemerintahan Desa diatur dalam pasal 118 jo Pasal 121 I. S.

yaitu Undang-Undang Dasar Hindia Belanda. Dalam pasal ini dijelaskan bahwa

penduduk negeri/asli dibiarkan di bawah langsung dari kepala- kepalanya sendiri

(pimpinan). Kemudian pengaturan lebih lanjut tertuang dalam IGOB (Inlandsche

Gemeente Ordonantie Buitengewesten) LN 1938 No. 490 yang berlaku sejak 1 Januari

1939 LN 1938 No. 681. Nama dan jenis dari persekutuan masyarakat asli ini adalah

Persekutuan Bumi Putera. Persekutuan masyarakat asli di jawa disebut DESA, di bekas

Karesidenan Palembang disebut “Marga”, “Negeri” di Minangkabau sedangkan di bekas

Karesidenan Bangka Belitung disebut HAMINTE.19

Pada masa pemerintahan kolonial ini, asal-usul desa diperhatikan dan diakui

sedemikian rupa sehingga tidak mengenal adanya penyeragaman istilah beserta

komponen-komponen yang meliputinya. Desa/Marga ini berasal dari serikat dusun baik

atas dasar susunan masyarakat geologis maupun teritorial. Desa/Marga adalah

masyarakat hukum adat berfungsi sebagai kesatuan wilayah Pemerintah terdepan dalam

rangka Pemerintahan Hindia Belanda dan merupakan Badan Hukum Indonesia (IGOB

STB 1938 No. 490 jo 681. Sedangkan bentuk dan susunan pemerintahannya ditentukan

berdasarkan hukum adat masing-masing daerah. Adapun dasar hukumnya adalah

Indische Staasgeling dan IGOB Stb.1938 No. 490 Jo. 681 Adapun tugas, kewenangan,

19

(28)

serta lingkup pemerintahan meliputi bidang perundangan, pelaksanaan, keadilan dan

kepolisian. Dengan demikian Desa/Marga pada saat itu memiliki otoritas penuh dalam

mengelola dan mengatur wilayahnya sendiri termasuk ketertiban dan keamanan berupa

kepolisian. Selain itu masing-masing wilayah tersebut memiliki pengaturan hak ulayat

atau hak wilayah. Hak ini adalah hak mengatur kekuasaan atas tanah dan perairan di

atasnya, termasuk ruang lingkup kekuasaan dari desa/marga tersebut. Adapun materinya

adalah sebagai berikut:20

a. Masyarakat hukum yang bersangkutan dan anggota-anggotanya bebas

mengerjakan tanah-tanah yang masih belum dibuka membentuk dusun,

mengumpulkan kayu, dan hasil-hasil hutan lainnya.

b. Orang luar bukan anggota masyarakat yang bersangkutan hanya boleh

mengerjakan tanah seizin masyarakat hukum yang bersangkutan (izin kepala

desa/marga).

c. Bukan anggota masyarakat yang bersangkutan, kadang-kadang juga anggota

masyarakat hukum, harus membayar untuk penggarapan tanah dalam marga

semacam retribusi sewa bumi, sewa tanah, sewa sungai, dsb.

d. Pemerintahan Desa/Marga sedikit banyak ikut campur tangan dalam cara

penggarapan tanah tersebut sebagai pelaksanaan fungsi pengawasannya.

e. Pemerintah Desa/Marga bertanggung jawab atas segala kejadian-kejadian dalam

wilayah termasuk lingkungan kekuasaannya.

f. Pemerintahan Desa/Marga menjaga agar tanahnya tidak terlepas dari lingkungan

kekuasannya untuk seterusnya.

20

(29)

Sedangkan Badan Perwakilan Desa pada masa itu dinamakan Dewan

Desa/Marga. Pemerintah Desa/Marga didampingi oleh Dewan Desa/Marga yang

berfungsi sebagai lembaga pembuat peraturan-peraturan dalam rangka kewenangan

menurut hukum adat. Dengan demikian sejak masa pemerintahan kolonial, bangsa

Indonesia telah mengenal lembaga pembuat peraturan-peraturan di tingkat desa, dimana

tugas dan fungsinya secara tidak langsung telah ditumpulkan ketika pemerintahan masa

orde baru melalui UU No. 5/1979.

Untuk sumber keuangan atau sumber pendapatan Desa/Marga diperoleh antara

lain dari pajak Desa/Marga, sewa lebak lebung, sewa bumi, ijin mendirikan

rumah/bangunan, hasil kerikil/pasir, sewa los kalangan, hasil hutan/bea kayu, pelayanan

pernikahan, pas membawa hewan kaki empat besar, dan lain-lain. Sumber pendapatan

Desa/marga ini dapat dikatakan sebagai pendapatan asli desa/marga, karena tidak

didapatkan unsur pinjaman ataupun bantuan dari pihak lain. Dengan demikian Desa pada

waktu itu telah mandiri dengan sendirinya tanpa ketergantungan dari pemerintahan di

atasnya.

B. Pemerintahan Desa Awal Kemerdekaan

Ketika awal kemerdekaan Pemerintahan Desa/Marga diatur dalam UUD 1945,

yang berbunyi sebagai berikut:21

“Dalam teritorial Negara Indonesia terdapat kurang lebih 250 “Zelfbesturendelandschappen” dan “Volksgemeenschappen” seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan asli dan oleh karenanya dapat dianggap sebagai daerah yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang

21

(30)

mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal-usul daerah tersebut”.22

C. Pemerintahan Desa Masa Orde Baru

Kemudian pengaturan lebih lanjut dituangkan dalam UU No. 19 tahun 1965

tentang Pembentukan Desa Praja atau daerah otonom adat yang setingkat di seluruh

Indonesia. Undang-undang ini tidak sesuai dengan isi dan jiwa dari pasal 18 penjelasan II

dalam UUD 1945, karena dalam UU No. 19/1965 ini mulai muncul keinginan untuk

menyeragamkan istilah Desa. Namun dalam perkembangannnya peraturan ini tidak

sempat dilaksanakan karena sesuatu alasan pada waktu itu.

Selanjutnya Pemerintah Orde Baru mengatur Pemerintahan Desa/Marga melalui

UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa. Undang-undang ini bertujuan untuk

menyeragamkan nama, bentuk, susunan dan kedudukan Pemerintahan Desa.

Undang-undang ini mengatur Desa dari segi pemerintahannya yang berbeda dengan Pemerintahan

Desa/Marga pada awal masa kolonial yang mengatur pemerintahan serta adat-istiadat.

Dengan demikian, Pemerintahan Desa berdasarkan undang-undang ini tidak memiliki hak

pengaturan di bidang hak ulayat atau hak wilayah. Istilah Desa dimaknai sebagai suatu

wilayah yang ditempati oleh sejumlah penduduk sebagai kesatuan masyarakat hukum

yang mempunyai organisasi. Pemerintahan terendah langsung di bawah Camat dan

berhak menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dalam ikatan NKRI. Desa dibentuk

dengan memperhatikan syarat-syarat luas wilayah, jumlah penduduk dan syarat- syarat

lainnya. Terkait dengan kedudukannya sebagai pemerintahan terendah di bawah

kekuasaan pemerintahan kecamatan, maka keberlangsungan penyelenggaraan

22

(31)

pemerintahan dan pembangunan berdasarkan persetujuan dari pihak Kecamatan. Dengan

demikian masyarakat dan Pemeritnahan Desa tidak memiliki kewenangan yang leluasa

dalam mengatur dan mengelola wilayahnya sendiri. Ketergantungan dalam bidang

pemerintahan, administrasi dan pembangunaan sangat dirasakan ketika UU No. 5/1979

ini dilaksanakan.

Adapun tugas, kewenangan, dan ruang lingkup pemerintahan adalah

menyelenggarakan rumah tangganya sendiri dan merupakan penyelenggara dan

penanggung jawab utama di bidang pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan

dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Desa, Urusan Pemerintahan Desa termasuk

pembinaan ketentraman dan ketertiban sesuai dengan peraturan perundang-undangan

yang berlaku dan menumbuhkan serta mengembangkan jiwa gotong royong sebagai sendi

utama pelaksanaan Pemerintahan Desa.23

Sedangkan istilah Badan Perwakilan Desa terwakili dalam Lembaga Masyarakat

Desa (LMD) yang merupakan lembaga permusyawaratan yang keanggotaannya terdiri

atas Kepala-kepala Dusun, pimpinan lembaga-lembaga kemasyarakatan dan pemuka

masyarakat di Desa yg bersangkutan. Tugas dan fungsinya tidak seluas yang dimiliki

oleh lembaga BPD yang diatur dalam UU No. 22/1999. Selain itu keanggotaannya juga

berpengaruh terhadap efektivitas dan kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan

pembangunan Desa. Hampir setiap tindakan penyimpangan yang dilakukan oleh Kepala

Desa tidak dapat dikontrol dan diambil tindakan oleh Lembaga Musyawarah Desa ini,

karena yang menjadi ketua atau pimpinan dari LMD ini adalah Kepala Desa sendiri.

Dengan demikian pengawasan dari praktek penyelenggaraan dan pembangangunan Desa

23

(32)

sangat minim, sehingga memungkinkan Kepala Desa untuk bertindak sewenang- wenang

dengan memperkaya diri sendiri atau melakukan penyimpangan lainnya, karena tidak

efektifnya lembaga pengontrol.

Kemudian untuk sumber pendapatan Desa diperoleh dari:

a. Pendapatan Asli Desa, yang terdiri dari: hasil tanah kas desa; hasil dari swadaya

dan partisipasi masyarakat; hasil dari gotong-royong masyarakat; dan lain-lain

dari hasil usaha desa.

b. Pendapatan yg berasal dari pemberian Pemerintah dan Pemda, terdiri dari:

sumbangan dan bantuan Pemerintah; sumbangan dan bantuan Pemda; sebagain

pajak dan retribusi Daerah, yang diberikan kepada Desa.

c. Lain-lain pendapatan yang sah.

Dari beberapa sumber pendapatan Desa tersebut, sumber yang paling besar

berasal dari bantuan Pemerintah dan bantuan Pemerintah Daerah, maka, secara otomatis

Pemerintah Desa mulai menggantungkan pembiayaan penyelengaraan pemerintahan dan

pembangunannya melalui dana bantuan dari Pemerintah tersebut. Keberadaan

sumber-sumber pendapatan desa ini merupakan awal ketergantungan dari segi pembiayaan,

karena sumber-sumber pendapatan asli desa sangat tidak memadai hasilnya, sedangkan

sumber-sumber laiinya telah dikenai pajak dan retribusi oleh Pemeritnah yang lebih atas,

sedangkan desa hanya menikmati hasil pembagian dari pajak dan retribusi tersebut.

Hasilnyapun tidak seberapa besar apabila dibandingkan dengan bantuan yang rutin yang

diberikan oleh Pemerintah.

(33)

Pada masa reformasi Pemerintahan Desa diatur dalam UU No. 22/1999 yang

diperbarui menjadi 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya pada Bab XI pasal

200 s/d 216. Undang-undang ini berusaha mengembalikan konsep, dan bentuk Desa

seperti asal-usulnya yang tidak diakui dalam undang-undang sebelumnya yaitu UU No.

5/1979. Menurut undang-undang ini, Desa atau disebut dengan nama lain, adalah

kesatuan masyarakat hukum yang memilik kewenangan untuk mengatur dan mengurus

kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat-istiadat setempat yg

diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada di Daerah Kabupaten. Desa dapat

dibentuk, dihapus, dan/atau digabung dengan memperhatikan asal-usulnya atas prakarsa

masyarakt dengan persetujuan Pemerintah Kabupaten dan DPRD.

Pada bagian pertama bab XI tentang Desa, UU No. 32/2004 memuat tentang

pembentukan, penghapusan dan/atau penggabungan desa. Desa dapat dibentuk, dihapus,

dan/atau digabung dengan memperhatikan asal-usulnya atas prakarsa masyarakat desa

dengan persetujuan pemerintah Kabupaten dan DPRD. Adapun yang dimaksud dengan

istilah desa dalam hal ini disesuaikan dengan kondisi sosial, budaya masyarakat setempat

seperti Nagari, Kampung, Huta, Bori dan Marga. Sedangkan yang dimaksud dengan

asal-usul adalah sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 18 UUD 1945 beserta

penjelasannya. Dalam pembentukan, penghapusan dan/atau penggabungan Desa tersebut

ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Sebagai pertimbangan dalam pembentukan,

penghapusan dan/atau penggabungan Desa hendaknya memperhatikan luas wilayah,

jumlah penduduk, sosial budaya, potensi Desa dan lain-lain. Sesuai dengan definisi Desa

yang memperhatikan asal-usul desa maka Pemerintahan Desa memiliki kewenangan

(34)

Pemerintah Kabupaten dan/atau pihak ketiga yg merencanakan pembangunan bagian

wilayah Desa menjadi wilayah pemukiman industri dan jasa wajib mengikutsertakan

Pemerintah Desa dan badan Perwakilan Desa dalam perencanaan, pelaksanaan dan

pengawasannya. Secara substantif undang-undang ini menyiratkan adanya upaya

pemberdayaan aparatur Pemerintah Desa dan juga masyarakat desa.

Pemerintahan Desa atau dalam bentuk nama lain seperti halnya Pemerintahan

Marga, keberadaannya adalah berhadapan langsung dengan masyarakat, sebagai ujung

tombak pemerintahan yang terdepan. Pelaksaaan otonomisasi desa yang bercirikan

pelayanan yang baik adalah dapat memberikan kepuasan bagi masyarakat yang

memerlukan karena cepat, mudah, tepat dan dengan biaya yang terjangkau, oleh karena

itu pelaksanaan di lapangan harus didukung oleh faktor-faktor yang terlibat dalam

implementasi kebijakan tentang Desa tersebut.

Posisi Pemerintahan Desa yang paling dekat dengan masyarakat adalah

Pemerintah Desa selaku pembina, pengayom, dan pelayanan masyarakat sangat berperan

dalam mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam pembangunan Desa.

Penyelenggaraaan Pemerintahan Desa merupakan sub sistem dalam penyelenggaraan

sistem Pemerintahan Nasional, sehingga Desa memiliki kewenangan untuk mengatur dan

mengurus kepentingan masyarakatnya. Adapun landasan pemikiran dalam pengaturan

mengenai pemerintahan Desa adalah keanekaragaman, partisipasi, otonomi asli dan

pemberdayaan masyarakat.

Di sisi lain, dalam pelaksanaan kebijakan tentang Desa ini perlu diperhatikan

berbagai permasalahan seperti halnya:24

24

(35)

a. Sumber Pendapatan Asli Desa (keuangan desa);

b. Penduduk, keahlian dan ketrampilan yang tidak seimbang (sumber daya manusia

desa yang masih rendah) yang berakibat terhadap lembaga-lembaga Desa lainnya

selain Pemerintahan Desa seperti halnya Badan Perwakilan Desa (BPD), lembaga

musyawarah Desa dan beberapa lembaga adat lainnya;

c. Potensi desa seperti halnya potensi pertambangan, potensi perikanan, wisata,

industi kerajinan, hutan larangan atau suaka alam, hutan lindung, hutan industri,

perkebunan, hutan produksi, hutan konservasi, dan hutan tujuan khusus.

Beberapa permasalahan di atas perlu kiranya untuk dicermati dalam pelaksanaan

di lapangan, karena seringkali ketiga hal tersebut merupakan batu sandungan dalam

pelaksanaan otonomisasi desa, sehingga tujuan yang ingin dicapai hanya berjalan di

tempat.

Pada bagian kedua memuat tentang Pemerintahan Desa. Dalam pasal- pasal

bagian kedua ini menerangkan bahwa Pemerintah Desa terdiri dari Kepala Desa atau

yang disebut dengan nama lain dan perangkat desa. Istilah Kepala Desa juga dapat

disesuaikan dengan kondisi sosial budaya setempat. Sedangkan Kepala Desa langsung

dipilih oleh penduduk Desa dari calon yang memenuhi syarat. Kemudian Calon Kepala

Desa yang terpilih dengan mendapatkan dukungan suara terbanyak, ditetapkan oleh

Badan Perwakilan Desa dan disahkan oleh Bupati. Untuk masa jabatan kepala Desa

paling lama sepuluh tahun atau dua kali masa jabatan terhitung sejak tanggal ditetapkan.

Daerah Kabupaten dapat menetapkan masa jabatan Kepala Desa sesuai dengan sosial

(36)

Adapun tugas dan kewajiban Kepala Desa adalah memimpin penyelenggaraan

Pemerintah Desa; membina kehidupan masyarakat Desa; membina perekonomian Desa;

memelihara ketentraman dan ketertiban masyarakat; mendamaikan perselisihan

masyarakat di Desa; dan mewakili desanya di dalam dan di luar pengadilan dan dapat

menunjuk kuasa hukumnya.

Pelaksanaan tugas dan kewajiban Kepala Desa khusus untuk mendamaikan

perselisihan di masyarakat, Kepala Desa dapat dibantu oleh Lembaga Adat Desa. Segala

perselisihan yang telah didamaikan oleh Kepala Desa bersifat mengikat pihak-pihak yang

berselisih. Dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya seorang Kepala Desa

bertanggung jawab kepada rakyat melalui Badan Perwakilan Desa serta menyampaikan

laporan mengenai pelaksanaan tugasnya kepada Bupati, namun meskipun demikian

laporan tersebut harus ditembuskan terlebih dahulu kepada Camat.

Dari pelaksanaan tugas serta pertanggungjawaban Kepala Desa inilah sering

muncul permasalahan di lapangan, hal ini dikarenakan Kepala Desa memiliki wewenang

yang semula belum ada dan sekarang relatif besar. Selain itu seorang Kepala Desa tidak

lagi “bertuan” kepada Camat, sehingga sangat mudah bagi seorang Kepala Desa untuk

tidak menghiraukan keberadaan Camat selaku koordinator administrasi di wilayah

Kecamatan. Selain itu, konsep pertanggung jawaban Kepala Desa terhadap BPD

sangatlah baru bagi seorang kepala Desa, sehingga seringkali dijumpai bukannya

mekanisme pertanggung jawaban yang terjadi melainkan proses saling menjatuhkan

antara dua lembaga yaitu BPD dan Kepala Desa. Keberadaan BPD yang juga baru dan

didukung dengan sumber daya manusia yang “cukup” mendorong demokratisasi

(37)

dengan keberadaan Pemerintah Desa. Oleh karena itu sangat menarik untuk mendapatkan

gambaran tentang pelaksanaan tugas dan pertanggungjawaban Kepala Desa ini sekaligus

mengevaluasi dampaknya terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa yang baik.

Dalam kepemimpinannya Kepala Desa berhenti apabila meninggal dunia;

mengajukan berhenti atas permintaan sendiri, tidak lagi memenuhi syarat dan/atau

melanggar sumpah/janji; berakhir masa jabatannya dan telah dilantik Kepala Desa yang

baru. Kepala Desa yang telah berakhir masa jabatannya tetap melaksanakan tugasnya

sebagai Kepala Desa sampai dengan dilantiknya Kepala Desa yang baru. Sedangkan

pemberhentian Kepala Desa dilakukan oleh Bupati atas usul Badan Perwakilan Desa.

Selain itu pada bagian kedua undang-undang ini juga memuat tentang Kewenangan yang

dimiliki oleh desa yaitu, kewenangan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul desa;

kemudian kewenangan yang oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku belum

dilaksanakan oleh daerah dan pemerintah; dan tugas pembantuan (midebewind) dari

Pemerintah, Pemerintah propinsi, dan/atau Pemerintah Kabupaten. Tugas pembantuan

seperti yang telah disebutkan tadi haruslah disertai dengan pembiayaan, sarana, dan

prasarana, serta sumber daya manusia. Apabila ketentuan ini tidak dimiliki maka

Pemerintah Desa berhak menolak pelaksanaan tugas pembantuan ini. Pada bagian ketiga

dari bab ini (XI) memuat tentang Badan Perwakilan Desa yang disebut dengan nama lain

untuk kemudian disesuaikan dengan kondisi sosial budaya masyarakat, berfungsi

mengayomi adat istiadat, membuat Peraturan Desa, menampung dan menyalurkan

aspirasi masyarakat, serta melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan

pemerintahan desa. Pembentukan Pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa

(38)

Adapun fungsi pengawasan Badan Perwakilan Desa meliputi pengawasan

terhadap pelaksanaan Peraturan Desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa, dan

keputusan Kepala Desa. Sedangkan keanggotaan Badan Perwakilan Desa tersebut dipilih

oleh penduduk desa yang memenuhi persyaratan. Pimpinan Badan Perwakilan Desa

dipilih dari dan oleh anggota. Kemudian BPD bersama dengan Kepala Desa menetapkan

Peraturan Desa. Peraturan Desa yang telah dibuat bersama tersebut tidak memerlukan

pengesahan Bupati, tetapi wajib disampaikan kepadanya selambat-lambatnya dua minggu

setelah ditetapkan dengan tembusan kepada Camat.

Pada bagian keempat memuat tentang lembaga lain. Setiap desa dapat membentuk

lembaga lainnya sesuai dengan kebutuhan desa dan ditetapkan dengan Peraturan Desa.

Kemudian pada bagian kelima memuat tentang keuangan desa.

Adapun sumber pendapatan desa dapat berasal dari:

1. Pendapatan Asli Desa:

a. hasil usaha desa;

b. hasil kekayaan desa;

c. hasil dar swadaya dan partisipasi;

d. hasil gotong-royong;

e. lain-lain pendapatan asli desa yg sah.

2. Bantuan dari Pemerintah Kabupaten:

a. bagian dari perolehan pajak dan retribusi daerah;

b. bagian dari dana perimbangan keuangan daerah pusat dan daerah yang

diterima Pemerintah kabupaten.

(39)

4. Sumbangan dar pihak ketiga; dan

5. Pinjaman Desa.

Sumber pendapatan desa tersebut, yang telah dimiliki dan dikelola oleh Desa

tidak dibenarkan diambil alih oleh Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Pemberdayaan

Desa dalam meningkatkan pendapatan desa dilakukan antara lain dengan mendirikan

Badan Usaha Milik Desa, kerjasama dengan pihak ketiga, dan kewenangan melakukan

pinjaman. Sedangkan sumber pendapatan daerah yang berada di Desa, baik pajak mapun

retribusi yang sudah dipungut oleh Daerah Kabupaten tidak dibenarkan adanya pungutan

tambahan oleh Pemerintah Desa. Pendapatan Daerah dari sumber tersebut harus

diberikan kepada Desa yang bersangkutan dengan pembagian secara proporsional dan

adil. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menghilangkan beban biaya ekonomi tinggi dan

dampak lainnya.

Selanjutnya sumber pendapatan Desa tersebut dikelola melalui Anggaran

Pendapatan dan Belanja Desa. Kegiatan pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja

Desa ditetapkan setiap tahun, dengan meliputi penyusunan anggaran, pelaksanaan tata

usaha keuangan, dan perubahan serta penghitungan anggaran. Kepala Desa bersama

Badan Perwakilan Desa menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa setiap tahun

dengan Peraturan Desa.

Adapun pedoman untuk menyusun Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa

tersebut ditetapkan oleh Bupati, sedangkan tata cara dan pungutan objek pendapatan dan

belanja Desa ditetapkan bersama antara kepala Desa dan Badan Perwakilan Desa.

Selanjutnya keuangan Desa selain didapat dari sumber-sumber yang telah disebutkan di

(40)

Pada bagian keenam, yaitu bagian terakhir dalam bab XI memuat tentang

Kerjasama Antar Desa. Beberapa Desa dapat mengadakan kerjasama untuk kepentingan

Desa yang diatur dengan keputusan bersama dan diberitahukan kepada Camat. Kerjasama

antar desa yang didalamnya member beban kepada masyarakat harus mendapatkan

persetujuan dari Badan Perwakilan Desa. Untuk lebih memudahkan proses dan kerja

antar desa dalam melakukan kerjasama maka dapat dibentuk badan kerjasama Desa.

Selanjutnya Pemerintah Kabupaten dan/atau pihak ketiga yang merencanakan

pembangunan bagian wilayah Desa menjadi wilayah pemukiman, industri, dan jasa wajib

mengikutsertakan pemerintah Desa dan Badan Perwakilan Desa dalam perencanaan,

pelaksanaan, dan pengawasannya. Langkah selanjutnya dalam hal pengaturan tentang

Desa ditetapkan dalam peraturan Daerah kabupaten masing-masing sesuai dengan

pedoman umum yang ditetapkan oleh Pemerintah berdasarkan UU No. 22/1999 tentang

Pemerintahan Daerah. Peraturan Daerah yang dimaksud, tidak boleh bertentangan dengan

asal-usul yaitu asal-usul terbentuknya desa yang bersangkutan. Dengan demikian sangat

jelas bahwa undang-undang ini memberikan dasar menuju self governing community

yaitu suatu komunitas yang mengatur dirinya sendiri. Dengan pemahaman bahwa Desa

memiliki kewenangan mengatur dan mengurus kepentingan masyarakatnya sesuai

kondisi dan sosial budaya setempat, maka posisi Desa yang memiliki otonomi asli sangat

strategis sehingga memerlukan perhatian seimbang terhadap penyelenggaraan otonomi

daerah, karena dengan otonomi desa yang kuat akan mempengaruhi secara signifikan

(41)

Selanjutnya dalam undang-undang ini ditegaskan bahwa landasan pemikiran

pengaturan Pemerintahan Desa adalah (penjelasan PP No.76/2001 tentang Pedoman

Umum Pengaturan Mengenai Desa):

1. Keanekaragaman

Keanekaragaman memiliki makna bahwa istilah Desa dapat disesuaikan dengan

asal-usul dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat, seperti Nagari, Negri,

Kampung, Pekon, Lembang, Pamusungan, Huta, Bori atau Marga. Hal ini berarti pola

penyelenggaraan Pemerintahan Desa akan menghormati sistem nilai yang berlaku dalam

adat istiadat dan budaya masyarakat setempat, namun harus tetap mengindahkan sistem

nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

2. Partisipasi

Partisipasi memiliki makna bahwa penyelenggaraaan Pemerintahan Desa harus

mampu mewujudkan peran aktif masyarakat agar masyarakat merasa memiliki dan turut

bertanggung jawab terhadap perkembangan kehidupan bersama sebagai sesama warga

Desa.

3. Otonomi Asli

Otonomi Asli memiliki makna bahwa kewenangan Pemerintahan Desa dalam

mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat didasarkan pada hak asal-usul

dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat setempat, namun hrus

diselenggarakan dalam perspektif administrasi pemerintahan modern.

(42)

Demokratisasi memiliki makna bahwa penyelenggaraan Pemerintahan Desa harus

mengakomodasi aspirasi masyarakat yang diartikulasi dan diagregasi melalui Badan

Perwakilan Desa dan Lembaga kemasyarakatan sebagai mitra Pemerintah Desa.

5. Pemberdayaan Masyarakat

Pemberdayaan Masyarakat memiliki makna bahwa penyelenggaraan

Pemerintahan Desa diabdikan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan

masyarakat melalui penetapan kebijakan, program dan kegiatan yang sesuai dengan

esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat. Jika dibandingkan dengan

Pemerintahan Desa/Marga pada masa kolonial, mengisyaratkan adanya ruang lingkup

kewenangan dalam arti luas, meliputi kewenangan di bidang perundangan, kewenangan

di bidang pemerintahan/pelaksanaan, kewenangan di bidang peradilan dan kewenangan

di bidang kepolisian. Namun, kewenangan tersebut tidak dimungkinkan lagi mengingat

situasi dan kondisi, sehingga hanya memiliki kewenangan Pemerintahan dan pelayanan

kepada masyarakat sekaligus sebagai pembina adat istiadat setempat.

Sebelum pemberlakuan UU No. 22/1999 tentang Pemerintahan Daerah yang

memuat tentang Desa, asal-usul dan adat istiadat Desa telah tercerabut dari asalnya,

karena UU No. 5/1979 tentang Pemerintahan Desa telah menyeragamkan bentuk,

kedudukan dan susunannya. Apabila dirunut dari sejarah Pemerintahan Desa di

Indonesia, pengakuan keanekaragaman berdasarkan adat-istiadat dan asal-usul Desa

merupakan sebuah keinginan untuk mengembalikan karakteristik Pemerintahan Desa asli

(43)

BAB III

TINJAUAN TERHADAP OTONOMI DAN OTONOMI DESA

A. Konsep Otonomi dalam Desentralisasi

Adanya pemerintahan daerah, dimulai dari kebijakan desentralisasi. Desentralisasi

berasal dari bahasa latin, yaitu De yang berarti lepas dan Centrum yang artinya pusat.

Dengan demikian, maka desentralisasi yang berasal dari sentralisasi mendapat awalan de

berarti melepas atau menjauh dari pemusatan. Desentralisasi tidak putus sama sekali

dengan pusat, tapi hanya menjauh dari pusat.25

Alderfer menyatakan bahwa pemerintah daerah di Indonesia berdasarkan sistem

tradisional yang sangat dipengaruhi oleh sistem Prancis, akibat terlalu lama dijajah

Belanda, yang dahulunya merupakan wiayah dari kekaisaran Prancis terutama di bawah

penguasaan Gubernur Jenderal Daendels.

Sejarah perkembangan pemerintahan di Indonesia tidak terlepas dari sejarah

berdirinya Republik Indonesia. Belanda yang menjajah Indonesia telah banyak

mempengaruhi budaya, sistem hukum, sistem politik, dan sistam ketatanegaraan

Indonesia, sedangkan Belanda sendiri mendapat pengaruh kuat dari sistem politik, sistem

hukum, dan sistem ketatanegaraan Prancis karena bangsa Prancis dalambeebrapa tahun

telah menjajah bangsa Belanda.

26

Salah satu persamaan sistem feodalisme di Prancis dan di pulau Jawa (Indonesia

pada umumnya) adalah sistem apanage yang memberikan kewajiban-kewajiban tertentu

25

R. D. H. Kusumahatmadja, Pengantar ke Arah Sistem Pemerintahan Daerah di Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1979, hal. 12

26

(44)

para pejabat lokal kepada raja, atau para petani penggarap kepada para pejabat lokal.

Oleh karena itu, dalam sistem feodalisme di daerah-daerah Indonesia dikenal istilah tanah

lungguh, tanah bengkok, tanah garapan.

Keterikatan pejabat-pejabat lokal kepada tanah lungguh atau apanage

menyebabkan kesetiaan mutlak para pejabat lokal harus diserahkan kepada raja atau

sultan karena raja (pemilik tanah itu) menggaji para pejabat lokal dengan tanah-tanah

apanage tersebut.

Karena pejabat lokal, umumnya kerabat raja, tidak dapat menggarap tanah

apanage, maka mereka menyerahkan tanah itu kepada rakyat untuk digarap dengan

imbalan menyerahkan sebagian hasil panen dan kewajiban kerja rodi (panen). Sistem ini

disebarluaskan dan dilembagakan Belanda di luar Jawa.

Dengan demikian sejarah pemerintahan Indonesia selalu terikat pada kepentingan

pemerintah pusat (raja). Pemerintah daerah di Indonesia tidak mengenal budaya legislatif,

segala sesuatu terpusat pada raja, oleh karena itu, sejarah pemerintahan di Indonesia dan

daerah (khususnya) membuktikan bahwa terjadiya penyelewengan, penyalahgunaan

kekuasaan, kepincangan-kepincangan diakibatkan oleh terlalu dominannya eksekutif

(kekuasaan raja, pemerintah pusat). Salah satu cara menghindari penyelewengan,

penyalahgunaan kekuasaan, dan kepincangan-kepincangan dalam penyelenggaraan

negara adalah pemberian otonomi kepada daerah.

Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1999 dan Undang-undang

Nomor 5 Tahun 1974 menggariskan bahwa maksud dan tujuan pemberian otonomi

daerah adalah memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya serta meningkatkan

(45)

kesejahteraan rakat; menggalakkan prakarsa dan peran aktif masyarakat dalam

penyelenggaraan otonomi daerah secara luas, nyata dan bertanggung jawab, serta

memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa.

Berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, pemberian otonomi daerah

memiliki empat tujuan. Pertama, dari aspek politik pemberian otonomi daerah bertujuan

untuk mengikutsertakan dan menyalurkan aspirasi masyarakat ke dalam

program-program pembangunan baik untuk kepentingan daerah sendiri maupun untuk mendukung

kebijakan nasional tentang demokratisasi. Kedua, dari aspek manajemen pemerintahan,

pemberian otonomi daerah bertujuan meningkatan daya guna dan hasil guna

menyelenggaraan pemerintahan utama dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat

dengan memperluas jenis-jenis pelayanan dalam berbagai kebutuhan masyarakat. Ketiga,

dari aspek kemasyarakatan, pemberian otonomi daerah bertujuan meningkatkan

partisipasi serta menumbuhkan kemandirian masyarakat untuk tidak terlalu banyak

bergantung kepada pemerintah dalam proses pertumbuhan daerahnya sehingga daerah

memiliki daya saing yang kuat. Keempat, dari aspek ekonomi pembangunan, pemberian

otonomi daerah bertujuan menyukseskan pelaksanaan program pembangunan guna

tercapainya kesejahteraan rakyat yang makin meningkat.27

Tujuan pemberian otonomi daerah dapat tercapai apabila didasarkan pada

prinsip-prinsip yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan dilaksanakan

secara optimal oleh penyelenggara Negara baik di tingkat pusat, propinsi, maupun

kabupaten/ kota. Karena dalam penyelenggaraan otonomi daerah harus memperhatikan

27

(46)

prinsip-prinsip otonomi daerah. Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan

penyelenggara Negara dalam melaksanakan otonomi daerah.

Pertama, berdasarkan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 penyelenggaraan

pemerintahan di daerah hanya mengenal satu garis pertanggungjawaban, yaitu

bertanggungjawab kepada presiden dan tidak kepada DPR Daerah. Hal ini tercermin

dalam tingkat susunan hierarki pemerintahan menjadi pemerintah daerah propinsi dan

pemerintah daerah kabupaten/ kota. Kedudukan keduanya sebagai daerah otonom dan

daerah administratif.

Ada beberapa implikasi dari kedudukan pemerintah daerah seperti yang diuraikan

di atas:28

1. Pemerintah daerah sebagai pembantu dan perpanjangan dari pemerintah pusat;

2. Hubungan antara pemerintah pusat dan daerah bersifat subordinal, bukan

kemitraan.

3. Peranan dan posisi pemerintah daerah kabupaten/ kota menjadi lemah karena

terjadi tarik menarik kekuasaan, terutama dalam menghimpun sumber daya yang

maksimal.

Tiga implikasi dari kedudukan pemerintah di atas menyebabkan hal-hal sebagai

berikut:29

1. Pengertian otonomi daerah lebih merupakan kewajiban daripada hak. Hal ini tentu

tidak lazim dan tidak tepat dalam koteks makna dan tujuan pemberian otonomi

daerah kepada daerah sebagai perwujudan asas desentralisasi territorial.

28

Ibid, hal. 93-94. 29

(47)

Pemberian otonomi daerah kepada daerah tidak hanya mengandung unsur

administrasi birokrasi, tetapi juga mengandung unsur politik.

2. Pengertian kewajiban sebagai manifestasi pengertian pemberian otonomi daerah

sebagai hak dan wewenang yang diberikan kepada daerah untuk mengatur dan

mengurus rumah tangga daerahnya serta konsekuensi pemerintah daerah

berkewajiban untuk mempertanggungjawabkannya. Apabila persepsi tentang

makna otonomi daerah sebagai kewajiban dipandang tepat, maka kedudukan

pemerintah daerah hanya sebagai penerima kewajiban yang berhak memperoleh

imbalan. Pemerintah daerah akan selalu bergantung terus kepada pemerintah

pusat.

3. Hambatan utama pelaksanaan pemberian otonomi daerah terkesan sangat kuat

oleh kecenderungan sifat ego sentralistik dari para pelaku birokrasi dan elit yang

mempunyai akses lebih dominan terhadap sumber daya dibanding penentu

kebijakan, baik di tingkat pusat, maupun di daerah propinsi.

Kedua, berdasarkan ketentuan UUD 1945 pasal 18 yang mengatur pemerintahan

daerah, daerah Indonesia tidak bersifat staat; wilayah Indonesia dibagi dalam bentuk

daerah yang dapat berubah berupa daerah otonom dan atau bersifat administratif. Baik

dalam pasal 18 maupun penjelasannya tidak secara tegas ditentukan jumlah daerah

otonomi sehingga memberi keleluasaan kepada pembuat undang-undang untuk

merumuskan, menentukan, dan memutuskan hal-hal berikut:30

1. Banyaknya tingkat daerah otonom yang akan dibentuk dan disusun

2. Prinsip otonomi daerah yang akan dianut

30

(48)

3. Titik berat otonomi daerah yang akan diletakkan

4. Imbangan kedudukan antara asas desentralisasi dan asas dekonsentrasi

5. Tata cara penyerahan urusan pemerintahan dari pemerintah atau daerah tingkat

atasnya kepada daerah bawahannya menjadi urusan rumah tangga sendiri.

Apabila pemahaman pasal 1 ayat 1 (Negara Indonesia adalah Negara kesatuan

yang berbentuk Republik) digabungkan dengan pasal 18 beserta penjelasannya, maka

dapat dikatakan bahwa republik Indonesia adalah Negara kesatuan yang disentralisasikan.

Dalam Negara kesatuan yang disentralisasikan, pemerintah pusat tetap mempunyai hak

untuk mengawasi daerah-daerah otonom.

Ketiga, otonomi yang nyata, dinamis dan bertanggung jawab dengan pelaksanaan

asas desentralisasi dilakukan bersama-sama dengan asas dekonsentrasi. Prinsip yang

dikehendaki Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 merupakan koreksi atas

prinsip-prinsip sebelumnya terutama menyangkut otonomi yang seluas-luasnya karena dianggap

dapat membahayakan keutuhan Negara kesatuan.

Ada tiga esensi dasar otonomi yang nyata, dinamis, dan bertanggung jawab

menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, yaitu:31

1. Otonomi tersebut harus menjamin kestabilan politik dan kesatuan nasional.

2. Harus dapat menjaga hubungan yang harmonis antara pemerintah pusat dengan

daerah.

3. Harus menjamin pembangunan daerah

Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah telah

meletakkan prinsip-prinsip baru agar penyelenggaraan otonomi daerah lebih sesuai

31

Gambar

Tabel 1. Luas Wilayah Desa Sigara-gara Kecamatan Patumbak
Tabel 2. Jumlah Penduduk Desa Sigara-gara Kecamatan Patumbak
Tabel 3. Pekerjaan/Mata Pencaharian Penduduk Desa Sigara-gara Kecamatan Patumbak.
Tabel 7. Agama Yang Dianut Penduduk Desa Sigara-gara Kecamatan Patumbak
+2

Referensi

Dokumen terkait

Akad nikah ialah apel formalitas pengikatan akad berbaur yang dirayakan alias dilaksanakan sama dobel anak Adam atas angan - angan meresmikan bingkai perkawinan

Valbury Asia Securities or their respective employees and agents makes any representation or warranty or accepts any responsibility or liability as to, or in relation to,

Puji syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi dengan

- Komite juga bekerjasama dengan wali siswa dan alumni untuk melakukan berbagai kegiatan seperti santunan bagi anak-anak kurang mampu (dengan kriteria yang telah ditetapkan

Pengetahuan pelanggan ( customer knowledge ) memiliki hubungan dengan pandangan perusahaan mengenai kebutuhan dan selera (preferensi) pelanggan pada saat ini maupun di masa

Diamati dari prosesnya, kebiasaan belajar memang lebih dominan pada tindakan siswa atau tingkah laku setiap kali melakukan proses pembelajaran secara konsisten, maksudnya

Berdasarkan kenyataan, adanya kesenjangan yang sangat besar antara kebutuhan sumberdaya manusia untuk peningkatan pembangunan pertanian berbasis agribisnis di daerah dan

• Kontrol fuzzy T-S berbasis performansi H ∞ dengan batasan input-output mampu menstabilkan pendulum pada posisi terbalik dan mempertahankan kereta pada titik tengah rel. •