• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh cekaman panas terhadap kebutuhan vitamin C pada ayam petelur komersial yang sedang berproduksi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh cekaman panas terhadap kebutuhan vitamin C pada ayam petelur komersial yang sedang berproduksi"

Copied!
224
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)

Pengembangan usaha peternakan di daerah tropis teru- tama di Indonesia masih banyak mengalami hambatan-hambatan sehingga usaha untuk mencapai produksi tertinggi masih be- lum tercapai. Salah satu faktor yang menghambat laju pro- duksi peternakan khususnya peternakan ayam ras adalah fak- tor temperatur lingkungan dan kelembaban yang tinggi se- hingga secara langsung mengakibatkan turunnya konsumsi ma- kanan yang berakibat terjadinya defisiensi zat-zat makanan yang sangat diperlukan untuk pertumbuhan dan produksi.

Peneliti-peneliti dari berbagai bidang ilmu pengeta- huan seperti bidang nutrisi, fisiologi lingkungan dan bio- kimia banyak menaruh perhatian terhadap pengaruh tempera- tur lingkungan yang panas, karena sering mengakibatkan ke- rugian pada peternak.

Selje (1973) mencoba mengungkapkan suatu cekaman yang diakibatkan oleh pengaruh temperatur lingkungan yang panas dan mengungkapkan pula akibat dan penyebab dari cekaman itu.

(12)

akan timbul sebagai respons dan respons ini yang disebut cekaman (stres). ~imbulnya penyebab cekaman itu adalah untuk meyakinkan adanya adaptasi terhadap perubahan yang tidak terduga dan untuk mengembalikan pada kondisi homeo- statik. Respons yang adaptif itu biasanya berurutan, mes- kipun demikian urutan dan waktu dari respons tersebut ber- gantung kepada intensitas dan lamanya stressor.

Selje (1973) mencoba mengklasifikasikan komponen res- pons dari cekaman terdiri dari respons sintoksik (syntoxic response) dan respons katatoksik (catatoxic response) dengan pengertian bahwa repons yang sintotik masih mengun- tungkan, sedangkan yang katatostik merugikan. Untuk pe- ternak unggas yang diusahakan adalah mengurangi katatoksik tersebut.

Siege1 (1971, 1980) dan Freeman (1976) melaporkan qe- jala-gejala pada unggas yang menderita cekaman sebagai ber ikut :

Keleniar adrenal : mengalami hipertrofi, kandungan ko- lesterol menurun, sintesis kortikosteron meningkat dan kandungan asam askorbat (vitamin C) sangat menurun.

Keadaan darah : kolesterolemia, nitrogen yang bukan protein meningkat, ~ a + + meningkat, trigliserida mening- kat, kortikosteron dan glukosa meningkat, imbangan ~ a + dan K+ meningkat, lifopenia dan heterofilia.

(13)

Akibat dari cekaman tersebut di atas maka proses me- tabolisme dalam tubuh akan terganggu, terrnasuk gangguan produksi

.

Siege1 (1971) dan Thaxton (1978) pada penelitiannya mencoba memperbaiki efek cekaman yang disebabkan oleh tem- peratur yang tinggi dengan memberikan 1000 ppm vitamin C pada ayam dan hasilnya terbukti menurunkan efek cekaman yang katatoksik.

Temperatur lingkungan yang panas disertai dengan ke- lembaban yang tinggi di samping dapat menurunkan konsumsi makanan juga dapat mengganggu metabolisme yang normal se- bagai akibat terganggunya beberapa organ penghasil hormon atau enzim. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa kisar- an temperatur lingkungan yang optimum atau thermonetral zone bagi ayam petelur dewasa adalah 21" - 2 6 " C (Carr dan Carter, 1985)

.

Kebanyakan usaha peternakan unggas di daerah tropis seperti di Indonesia terdapat di atas kisaran temperatur optimum. Menurut Creswell dan Hardjosworo (1979), tempe- ratur rata-rata setiap hari di daerah dataran rendah ber- kisar antara 23O

-

35 OC dan 20" - 3 0 OC di dataran ting- gi.
(14)

Kebutuhan vitamin untuk fungsi tubuh sudah banyak di- rekomendasikan baik oleh Scott et al. (1982) maupun oleh National Research Council (NRC, 1984) yang dipergunakan untuk pertumbuhan dan produksi, kecuali vitamin C yang be- lum dicantumkan ke dalam rekomendasi tersebut. Hal ini didasarkan pada beberapa pendapat yang mengatakan bahwa ayam mempunyai kemampuan untuk mensintesa vitamin C di da- lam tubuhnya sendiri untuk memenuhi kebutuhannya dengan jalan mengubah glukosa melalui tiga tahapan proses enzima- tik yaitu : D-glukosa ---c Asam D-glukosa

---

c Asam askorbat (Bell dan Freeman, 1971). Ketiga tahapan terse- but terjadi dalam kelanjar adrenal, sehingga dalam keadaan normal (suasana termonetral) ayam tidak memerlukan suplai vitamin C dari luar.

Dalam keadaan normal (suasana termonetral) mungkin tubuh ayam selalu dapat memenuhi kebutuhan vitamin C, akan tetapi dalam keadaan temperatur lingkungan yang cukup tinggi, keadaan ini akan menimbulkan gejala gangguan ter- hadap organ tubuh yang menghasilkan vitamin C, sehingga untuk memenuhi vitamin C harus disuplementasi dari luar.

Dengan menurunnya kadar vitamin C dalam tubuh ayam yang diakibatkan oleh pengaruh temperatur lingkungan yang tinggi, para peneliti menduga adanya pengaruh terhadap performans dan produksi telur.

(15)

yang belum konsisten dalam mengolah hasil dan pembahasan- nya seperti dilakukan oleh Nockels (1983), Pardue dan Thaxton (1986) yang melaporkan hasil penelitiannya yang kontroversial. Thornton dan Moreng (1986) melaporkan bah- wa suplementasi vitamin C menambah ketebalan kerabang te-

lur pada temperatur yang tinggi.

Hasil penelitian Sullivan dan Kingan (1977) mendapat- kan hasil yang sama pada temperatur yang normal. Hunt dan Aitken (1962) memperlihatkan hasil penelitiannya bahwa suplementasi vitamin C dapat meningkatkan produksi telur, meningkatkan berat telur (Nockels,1973) dan memperbaiki kualitas bagian dalam dari telur (Thornton dan Moreng, 1959). Kendati demikian belum banyak hasil penelitian yang dilaporkan mengenai pengaruh suplementasi vitamin C terhadap produksi telur, Demikian pula hasil panelitian suplementasi vitamin C untuk mengurangi gejala akibat ce- kaman panas (heat stress) belum banyak dipublikasikan.

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

H u b u n ~ a n Antara Tempemtur Linekunszan dan Kebutuhan Zat-zat Makanan

Indonesia terletak di daerah tropis yang mempunyai rataan temperatur dan kelembaban udara yang tinggi. Rata- an temperatur harian pada dataran rendah adalah 29 OC dengan kisaran minimum 25 OC dan maksimum 34 OC dan pada dataran tinggi rataan temperatur adalah 22.5 OC pada ki- saran 19 OC minimum dan 26 OC maksimum (Soeharsono, 1976). Lebih lanjut dinyatakan bahwa kelembaban udara berkisar antara 70% - 97% pada dataran rendah dan 67% - 96% pada dataran tinggi.

Menurut El Boushy dan Marle (1978) zona kenyamanan (comfort zone) ternak unggas adalah antara 15O - 25 OC. Oleh karena ternak unggas termasuk pada kelompok hewan ho- meoterm, maka semakin tinggi atau semakin rendah tempera- tur lingkungan di luar zona terrnonetral, maka ternak ung- gas akan menderita cekaman. Salah satu implikasi dari ce- kaman tersebut adalah semakin besar cekaman yang dialami oleh unggas, maka semakin rendah pula konsumsi ransum. Hal ini berarti bahwa semakin berkurang pula konsumsi zat- zat makanan yang berakibat pada kekurusan dan rendahnya produksi. Oleh karena itu biasanya dalam peternakan ung- gas masalah cekaman selalu dihubungkan dengan penurunan produksi atau performans yang buruk. Pendapat ini tampak- nya belum cukup untuk memberi jawaban yanq memuaskan.

(17)

langeung. Pengaruh cekaman lingkungan yang tinggi secara langsung terutama adalah mempunyai efek terhadap fungsi beberapa organ tubuh seperti jantung dan alat pernafasan yang menyebabkan naiknya temperatur tubuh. Variabel tersebut di atas adalah merupakan cermin dari aktifitas metabolisme, sehingga laju metabolisme basal pada tempera- tur lingkungan yang tinggi menjadi naik (Linsley dan Burger, 1 9 6 4 ; Payne 1 9 6 6 ; Reece dan Deaton, 1 9 6 9 ) . Naiknya laju metabolisme basal ini menurut Fuller dan Mora

(1973) disebabkan karena bertambahnya penggunaan energi

akibat bertambahnya frekuensi pernafasan, kerja jantung serta bertambahnya sirkulasi darah periferi. Melihat hasil tersebut nampaknya bahwa pada temperatur lingkungan yang tinggi di atas termonetral mengakibatkan kebutuhan energi akan lebih tinggi pula. Namun demikian bahwa dengan adanya heat increament sebagai akibat pencernaan makanan dan metabolisme zat-zat makanan akan menimbulkan beban panas bagi ternak unggas yang pada gilirannya meta- bolisme aktif menjadi berkurang. Berkurangnya metabolisme aktif karena temperatur lingkungan panas ini cukup menon- jol dapat dilihat manifestasi berupa menurunnya aktifitas makan dan minum.

(18)

Dari penelitian-penelitian tentang ransum, ternyata heat

increament dari lemak ternyata paling rendah dibandingkan dengan karbohidrat dan protein (Mitchell, 1964). Hal ini telah dibuktikan oleh Fuller dan Mora (1973) bahwa tinggi- nya energi metabolis dalam ransum yang berasal dari lemak, tidak menurunkan konsumsi ransum. Hasil yanq diperoleh ini merupakan salah satu jawaban mengapa hasil-hasil penelitian sebelumnya tidak konsisten dan kadang-kadang bertolak belakang. Berdasarkan hasil penelitian tersebut di atas nampaknya bahwa mekanisme pengaturan energi terha- dap konsumsi ransum tidak ditentukan oleh jumlah Energi Metabolis, melainkan juga oleh jenis bahan yang menghasil- kan energi metabolis tersebut.

Kebutuhan energi metabolis pada ayam petelur tipe me- dium yang dipelihara pada temperatur lingkungan rendah (17'

C ) adalah 2800 kkal EM/kg ransum atau 360 kkal EM/ekor/ha-

(19)

temperatur lingkungan yang tinggi kebutuhan asam-asam ami- i

no dalam ransum akan meningkat. Fisiolo~i Cekaman

Kemampuan dari ternak untuk mengaklimatisasi terhadap berbagai temperatur lingkungan telah banyak dilakukan pe- neliti. Secara umum dapat dikatakan bahwa karena unggas termasuk hewan homeoterm maka unggas sangat sulit menga- daptasikan diri terhadap perubahan temperatur lingkungan. Pernyataan ini didukung oleh Sykes (1983) bahwa ayam ku- rang toleran terhadap perubahan temperatur lingkungan, Penyebab cekaman pada unggas antara lain adalah perubahan temperatur lingkungan, tinggi tempat (altitude), bahan yang mengandung racun, ketakutan, hiperaktif dan defisien- si zat-zat makanan (Ewing, 1963).

Apabila ayam dihadapkan pada suatu stressor (faktor penyebab stres) seperti perubahan temperatur lingkungan yang tinggi atau lebih rendah dari termonetral, maka seca- ra cepat terjadi perubahan dari hormon endokrin terutama terjadi pada fase alarm. Pada fase ini ditandai dengan peningkatan tekanan darah, kontraksi otot, percepatan res- pirasi dan kandungan glukosa dalam darah meningkat. Hormon yang mempunyai peranan terhadap rase alarm ini adalah hor- mon adrenalin yang dihasilkan pada ujung syaraf dan hormon

n o r e p h i n e p h r i n e (nor adrenalin) yang dihasilkan oleh

(20)

bahwa selama fase alarm maka hormon yang ikut berperan adalah berasal dari hypotalamus. Hypotalamus mengsekresi- kan corticotropin realising faktor ( C R F ) k e hipofise anterior. Selanjutnya hipofise anterior mensintesa adeno- corticotropin (ACTH) dan selanjutnya disekresikan keselu- ruh pembuluh darah. Jaringan kortiko adrenal bertanggung jawab terhadap ACTH dengan peningkatan sintesa dan pelepa- san hormon steroid. Pada ayam maka hasil akhir adalah di- tandai dengan peningkatan hormon kortikosteron dan korti- sol dalam darah.

Frankel (1970) menyatakan bahwa hormon kortikosteron dan kortisol diklasifikasikan sebagai glukokostikoid dan terutama bertanggung jawab terhadap fase resisten yaitu setelah fase alarm. Peranan utama dari k o r t i k o s d o n dan kortisol adalah perubahan metabolik pada peristiwa g l u -

coneogenesis yaitu perubahan dari non karbohidrat yaitu protein yang masuk ke dalam darah dan diubah menjadi ener- gi. Balnave (1974) menyatakan bahwa selain hormon korti- kosteron dan kortisol ternyata hormon tiroksin dan adrena- lin sangat berperan dalam pengaturan temperatur tubuh. Aktifitas kedua hormon tersebut akan meningkat apabila temperatur lingkungan rendah dan sebaliknya akan menurun apabila temperatur lingkungan tinggi.

(21)

adalah 6:4 (Wentworth dan Mellen, 1961). Itulah sebabnya pada ayam untuk mengetahui kandungan hormon tiroid dilaku- kan dengan mengukur tiroksin. Beberapa faktor yang rnempe ngaruhi sekresi hormon tiroid antara lain adalah kontrol dari hipofise yaitu sekresi dari TSH yang akan menurun apabila produksi tiroksin tinggi (Erickson, Cavalerieri dan Rosenberg, 1982; Farmer et al, 1973). Pengaruh ling- kungan seperti lamanya penyinaran merupakan salah satu rangsangan terhadap fungsi kelenjar tiroid pada beberapa spesies ternak. Panjang hari dapat menghambat katabolisme hormon tiroid di perifer (Farmer, et al., 1973).

Temperatur lingkungan sangat besar pengaruhnya terha- dap sekresi hormon tiroid. Gregerman dan Crowder (1963) melaporkan bahwa tikus yang mendapat perlakuan cekaman panas yang tinggi maka sekresi hormon tiroid sdalah ren- dah

.

Struktur Vitamin C dan Sifat Biokirnia

Pada penyusunan ransum konvensional para ahli mengang- gap bahwa vitamin C merupakan salah satu vitamin yang ti- dak diperhitungkan. Hal ini disebabkan karena sebagian besar masih menganut hasil penelitian antara tahun 1920 -

1930 (Pardue dan Thaxton, 1986). Perkembangan selanjutnya

(22)

kurang baik dan masalah penyakit karena kemampuan ayam un- tuk mensintesis vitamin C dalam tubuhnya tidak d a p a t l a g i

memenuhi kebutuhannya. Pemberian vitamin C pada ayam yang

dipelihara pada temperatur lingkungan tinggi ternyata da- pat meningkatkan resistensi terhadap panas dan menurunkan

tingkat kematian (Thornton, 1962 ; Perek dan Kendler, 1962

; Lyle dan Moreng, 1968).

0 0

/ /

C---OH ( 2 ~ + )

4

-H- C H - C

I

H - C - H

I

C H Z O H

Asam Askorbat

I

O H - C - H

I

C H 2 0 H

Asam Dehydroskorbat

Ilustrasi 1. Perubahan Bentuk Asam Askorbat Menjadi

Bentuk Asam Dehydroaskorbat

Struktur vitamin C pada dasarnya mirip dengan struk- tur monosakharida, mudah mengalami oksidasi menjadi bentuk

dehydro seperti terlihat pada Ilustrasi 1 (Harper et al.,

1979).

Proses oksidasi asam askorbat rnenjadi asam dehydroas-

korbat terjadi dalam ginjal (Christensen, 1983). Lebih

lanjut dinyatakan bahwa di dalam darah bentuk tereduksi

lebih dominan. Selanjutnya Hornig (1975) menyatakan bahwa

(23)

dengan memerlukan sejumlah energi dan sangat sensitif ter- hadap ion sodium, sedangkan asam dehydroaskorbat melalui proses difusi.

Gugus enadiol pada asam askorbat mempunyai peran da- lam fungsi fisiologis, yaitu pada gugus ini terjadi pele- pasan ion hidrogen untuk menghasilkan bentuk dehydro

(Harper et al., 1979).

Asam askorbat juga mernpunyai sejumlah reaksi posi- tif, sehingga memungkinkan untuk memiliki beberapa derivat (Hornig et al., 1983). Salah satu dari komponen tersebut adalah asam askorbat 2-sulfat yang mempunyai aktivitas vi- tamin C secara biologis pada ikan salmon, akan tetapi pada bangsa kera tidak memiliki anti skorbut (Machlin et al.,

1976). Secara kimiawi bentuk vitamin C yang stabil terha-

(24)

Biosintesis Vitamin C

Pada kondisi linqkungan yang normal biosintesis vita- min C pada ternak pada umumnya terdapat dalam jumlah yang cukup untuk memenuhi kebutuhan fisiologisnya, akan tetapi pada beberapa kondisi tertentu seperti pada temperatur linqkungan tinggi ternyata sintesis vitamin C tidak cukup ditandai denqan defisiensi vitamin C yang segera terlihat pada ternak (Christensen.1983).

I

H - C - O H

I

H O - C - H

D - Glukosa L-Asam Askorbat

( V i t a m i n C )

I--

L-asam gulonat ---, L-gulono -

gulonat l a k t o n

7.

Keto gulono

Ilustrasi 2. Proses Pembentukan vitamin C dalam Hati H - C - O H

I

H - C - O H

Tapak jalan dari biosintesis vitamin C yang berasal dari luar tubuh adalah dengan cara perubahan a!--qulonolac-

ton menjadi 2-keto-a-gulonat yang terjadi secara isomeri- sasi spontan menjadi bentuk tautomerik a-asam askorbat.

l a k t o n

I

1

H -

HO - C H 2 0 H Tapak J a l a n Spesies yang t i d a k

(25)

cr-asam askorbat dibentuk di dalam hati dari bentuk D--glu- kosa melalui suatu reaksi seperti terlihat pada Ilustrasi 2 . Pada umumnya ternak berlambung sederhana dan ternak ruminansia mampu untuk mensintesis vitamin C dalam tubuh- nya sendiri. Hal ini disebabkan karena di dalam tubuhnya terdapat enzim a-qulonolactone o x i d a s e (Sauberlich, 1984). Tingkat kemampuan ini teryata berbeda antara spe- sies dan jenis hewannya (Chatterjee, 1973). Selanjutnya dikatakan bahwa ayam mempunyai kemampuan untuk melakukan biosintesis vitamin C pada organ ginjal. Kandungan vita- min C dalam hati menurun sejalan dengan meningkatnya umur. Hornig dan Frigg (1979) menyatakan pada ayam umur mu- da kecepatan biosintesisnya masih lambat, selanjutnya akan meningkat sampai umur 3 0 hari dan kemudian akan menurun setelah umur 40 hari.

Hasil penelitian pada saat ini membuktikan bahwa ayam tidak mempunyai kemampuan lagi untuk mensintesis vitamin C

dalam jumlah yang cukup apabila mendapat cekaman panas (Hornig dan Frigg, 1979).

(26)

kebutuhannya. Akan tetapi pada kondisi cekaman yang ter- lalu berat, laju biosintesisnya tidak dapat memenuhi ke- butuhan vitamin C dalam tubuhnya .(Zannoni et dl., 1978; Stubs dan riff in, 1973; Stare, 1961).

Menurut Hornig dan Griff (1979) menyatakan bahwa pada kondisi cekaman panas yang tinggi, ayam tidak mampu lagi mensintesis vitamin C yang cukup untuk kebutuhan hidupnya. Kechnik dan Sykes (1979) melakukan percobaan pada ayam yang diinfeksi dengan Eimeria avervulina (koksidiosis usus) menyebabkan penurunan konsentrasi vitamin C pada plasma dan beberapa jaringan. Pada pemberiaan vitamin C

sebanyak 1000 mg/kg ransum ternyata mampu mencegah penu- runan vitamin C dalam plasma dan jaringan serta membantu kembali perbaikan usus.

Metabolisme dan Absomsi Vitamin C

Kemampuan ternak untuk mengabsorpsi vitamin C ternya- ta berbeda-beda. Pada manusia absorpsi vitamin C terjadi pada duodenum dan ileum, sedangkan pada tikus absorpsi terutama terjadi di ileum (Hornig, 1975). Absorpsi vita- min

c

dalam usus halus tikus melalui suatu proses yang pa- sif, ha1 ini berarti bahwa pada spesies hewan tertentu yang tidak terkena skorbut mempunyai mekanisme absorpsi vitamin C dengan cara difusi (spencer et dl., 1963).
(27)

delapan jam pemberian dosis tunggal, maka konsentrasi ter- tinggi terdapat dalam hati. Pada pemberian asam askorbat melalui intravenus maka jumlah asam askorbat dalam hati sebesar lo%, sedangkan apabila diberikan melalui oral jum- lah askorbat dalam hati hanya ssbesar 5%. Pada organ lim- pa dan ginjal konsentrasi askorbat hanya berkisar 1% dari dosis yang diberikan (Hornig dan Frigg, 1979). Rendahnya konsentrasi askorbat dalam ginjal disebabkan oleh karena vitamin tersebut setelah dibiosintesis kemudian diangkut k e organ-organ lain di seluruh tubuh. Suatu percobaan yang dilakukan oleh Burns et al., (1951) untuk mengetahui metabolisme vitamin C dengan menggunakan radio aktif (-14c) asam askorbat melalui suntikan pada marmot. Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa 66% dari asam askorbat yang berlabel tersebut ditemukan sebagai (-14c) karbon dioksida, 10% pada urin dan kurang dari 1% pada feses. Hasil yang diperoleh ini menunjukkan bahwa rantai karbon mengalami oksidasi secara luas menjadi karbon dioksida. Puncak radioaktif pada C 0 2 dicapai lebih awal dibandingkan dengan puncak radioaktif pada plasma dan jaringan yang mengandung vitamin C konsentrasi tinggi. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa metabolisme vitamin C yang pertama terjadi pada dinding usus sebelum mencapai sistem sirkula- si. Bila dibandingkan dengan hasil penelitian secara in

vivo, katabolisme vitamin C pacla marmot dan tikus maka se-

(28)

Radioaktif yang ditemukan pnda urin setelah mendapat

(-14c) asam askorbat adalah 10% dalam bentuk asam askorbat

+

asam dehydroaskorbat, 2%-3% dalam bentuk asam 2,3-diketo gulonat dan 7% dalam bentuk asam oksalat. Sedangkan meta- bolit lain yang diisolasi dari urin tikus dan marmot ada- lah 2-0-metil askorbat, asam sakharo askorbat (Tolbert et

dl., 1976) dan asam askorbat 2-sulfat (Baker et dl., 1971) dalam jumlah yang sangat kecil.

Salah satu fungsi utama dari vitamin C diduqa adalah sebagai kosubstrat dari enzim dopamin &hydroxilase yang berperan dalam sintesis norephineprin. Dopamin J3 hidrok-

silase mengubah dopamin menjadi nor-adrenalin. Pada reak-

si ini vitamin C bertindak sebagai donor ion hidrogen dan atom Cu pada enzim tersebut digunakan sebagai intermediet yang menerima elektron dari vitamin C (Ullrich dan Duppel, 1975). Hasil penelitian yang dilakukan Tolbert et a l .

(1979) telah menunjukkan bahwa injeksi asam askorbat ke dalam otak mempengaruhi aktifitas dopamin sehingga mening- katkan metabolismenya menjadi noradrenalin. Submanian (1977) melaporkan kemungkinan adanya hubungan antara asam askorbat dan amin biogenik dan menunjukkan bahwa apabila terjadi kekurangan vitamin C akan menimbulkan perubahan distribusi asam amino menjadi prekursor neurotransmiter di dalam otak.

(29)

pada marmot menyebabkan menurunnya aktifitas metabolisme kolesterol (Bjorkhem dan Kallner, 1976 ; Ginter, 1978) sehingga menimbulkan akumulasi kolesterol di dalam jaring- an dan serum. Harris et al., (1979) menyatakan bahwa ak- tifitas kolesterol 74-hidroksilase hati menurun sebanyak 46% pada marmot setelah 10 hari diberikan ransum tanpa vitamin C. Lebih lanjut dinyatakan bahwa pengaruh vitamin C pada metabolisme lemak membuktikan bahwa hipovitaminosis

c

mempunyai implikasi terhadap resiko patoqenesis penyakit arteri koroner.

Sintesis kortikosteroid dalam kelenjar adrenal mem- butuhkan tahap hidroksilasi. Stimulasi kelenjar adrenal dengan ACTH mengakibatkan penurunan konsentrasi asam as- korbat adrenal (Kitabchi dan West, 1975). Kitabchi (1967) mengajukan suatu hipotesis bahwa konsentrasi asam askorbat yang tinggi pada kelenjar adrenal akan menghambat steroi- dogenesis. Lebih lanjut dinyatakan bahwa asam askorbat menghambat enzim yang merubah kolesterol menjadi pregneno- lon. Asam askorbat menghambat aktifitas C-21 hidroksilase dan 11-# hidroksilase dalam tapak jalan steroid (Kitabchi, 1967).

Fungsi Vitamin C

(30)

mengungkapkan tapak jalan aktifitas biokimia dari vitamin C. Lebih lanjut dinyatakan bahwa kemungkinan besar vita- min C mempunyai peranan dalam metabolisme steroid terutama dalam sintesis hormon steroid pada bagian korteks adrenal melalui proses hidroksilasi. Vitamin C juga mempunyai pe- ranan dalam sintesis serabut kolagen yang normal dengan cara katalisis hidroksi-prolin, reaksi ini digunakan untuk membentuk jaringan adiposa, tulang dan gigi; berfungsi se- bagai anti oksidan ;oksidasi dan reduksi dari berbagai en- zim (Herlyn dan Glaser, 1977). Apabila terjadi defisiensi asam askorbat dalam tubuh, maka ha1 ini menyebabkan berku- rangnya hidroksilasi molekul-molekul prolin dalam protoko- lagen yang akhirnya akan mengakibatkan gangguan pembentuk- an serabut-serabut kolagen yang tidak larut yang mengaki- batkan jaringan pelindung tidak stabil. Bates (1979) le- bih lanjut menyatakan bahwa kegagalan penyembuhan pada kasus luka, gusi dan perubahan tulang pada beberapa spe- sies ternak yang mengalami defisiensi vitamin C sebagai akibat dari menurunnya serabut kolagen.

(31)

Thornton (1961) menyatakan bahwa ayam petelur yang dipelihara pada temperatur lingkungan 35 OC sintesis vi- tamin C terganggu. Lebih lanjut .dinyatakan bahwa kadar vitamin C dalam darah juqa menurun dibandingkan dengan yang dipelihara pada temperatur lingkungan 21 "C. Mening- katnya temperatur lingkungan ternyata mengurangi juga kon- sentrasi vitamin C dalam serum tikus (Squib et al., 1955).

Vitamin C dan Kualitas Telur

Thornton dan Morenq (1959) menyatakan bahwa a s a m askorbat mempunyai penqaruh penting terhadap metabolisme kalsium, ha1 ini ditunjukkan dengan peningkatan kualitas kerabang telur pada ayam yang diberi ransum mengandung vi- tamin C.

(32)

Menurut Cheng et al. (1990) dan ~ i f r i et d l . (1977)

bahwa pada kondisi temperatur lingkungan yang tinggi akan terjadi peningkatan pengeluaran panas antara lain melalui proses penguapan air melalui saluran pernafasan, sehingga menyebabkan berkurangnya ion C02 dan HC03- dalam darah, sehingga akan menyebabkan rendahnya daya buffer ion terse- but. Hal ini yang menyebabkan rendahnya pula daya buffer ion hidrogen yang diperoleh selama pembentukan kulit te- lur, sehingga mempengaruhi ion karbonat dalam cairan ute- rus. Ini berarti bahwa suplai ion karbonat tidak cukup dalam pembentukan CaC03 dalam uterus. Oleh karena itulah kulit telur d i daerah tropis biasanya tipis atau lembek. Lebih lanjut dinyatakan bahwa temperatur tubuh ayam yang mendapatkan suplementasi vitamin C nyata lebih rendah di- bandingkan dengan yang tidak mendapatkan vitamin C.

Menurut Coates (1984) papa kondisi cekaman panas maka

i

kebutuhan vitamin C akan menlngkat, baik untuk pertumbuh- an, produksi telur dan kualitas kerabang. Oleh karena itu terjadinya perubahan vitamin C dalam jaringan dan plasma yang disebabkan oleh perubahan temperatur lingkungan yang tinggi dapat diatasi melalui suplementasi vitamin C dari luar

.

(33)

C terhadap kulit telur. Lebih lanjut dinyatakan bahwa pa- da suplementasi vitamin C sebesar 44 ppm dalam ransum yang mengandung protein 13% dapat meningkatkan ketebalan kera- bang telur. sebaliknya Arscott et al. (1962) menyatakan bahwa suplementasi vitamin C tidak memberikan pengaruh terhadap kualitas telur. Terjadinya perbedaan hasil ini kemungkinan besar disebabkan oleh perbedaan stressor yang diperoleh ayam petelur. Hal ini diperkuat oleh Perek dan Kendler (1962) menyatakan bahwa suplementasi vitamin C akan semakin nyata memberikan pengaruh terhadap kualitas kulit telur sejalan dengan meningkatnya temperatur ling- kungan. Herrick dan Nockels (1969) menyatakan bahwa sup- lementasi vitamin C nyata meningkatkan kualitas telur ken- datipun telur tersebut disimpan sampai dua minggu diban- dingkan dengan telur yang berasal dari ayam yang tidak mendapatkan suplementasi vitamin C. Nockels (1973) mela- porkan bahwa suplementasi vitamin C sebanyak 1322 ppm pada ransum ayam petelur yang mengandung protein 15% dapat meningkatkan kualitas telur.

Vitamin C Sebapai Pemacu Pertumbuhan

Penelitian mengenai peranan vitamin C sebagai pemacu pertumbuhan belum menunjukkan hasil yang konsisten. Sifri

(34)

suplementasi vitamin C 3000 ppm dapat meningkatkan pertum- buhan anak kalkun. Ayam leghorn jantan yang mendapatkan suplementasi vitamin C, terjadi peningkatan berat tubuh mulai pada minggu ke-3, ke-7 dan minggu ke-17, sedangkan pada ayam betina terjadi peningkatan berat tubuh pada minggu ke-3 dan minggu ke-7 (Scheming dan Nokels, 1978).

Pardue et al. (1985) menyatakan bahwa ayam jantan yang memperoleh 1000 ppm vitamin C yang didedah pada tem- peratur lingkungan yang tinggi, pertumbuhannya lebih cepat dibandingkan dengan ayam yang tidak mendapatkan suplemen- tasi vitamin C.

Ichsan (1990) melaporkan bahwa pemberian vitamin C sebanyak 1000 ppm pada temperatur lingkungan 33 OC mengha- silkan pertumbuhan yang baik dibandingkan dengan tanpa di- beri tambahan vitamin C. Pemberian vitamin C pada tempe- ratur lingkungan tersebut meningkatkan kadar vitamin C

plasma, kadar vitamin vitamin C kelenjar adrenal dan seba- liknya menurunkan kadar kolesterol kelenjar adrenal.

Vitamin C dan Cekaman

(35)

kepada suatu stressor, bermacam-macam praduga yang akan timbul sebagai respons dan respons ini yang disebut seba- qai cekaman (stres)

.

Beberapa stressor seperti linqkungan, penyakit dan zat makanan diketahui mengubah penggunaan dan/atau sinte- sis vitamin C pada ternak unggas. Dvorak (1974) melapor- kan bahwa babi yang dipuasakan nyata menurunkan vitamin C pada hati. Ayam yang dipuasakan selama 5 hari ternyata mengakibatkan penurunan vitamin C pada hati dan jejunum

(Kecknik dan Sykes, 1978).

Suplemetasi vitamin C nyata meningkatkan resistensi terhadap penyakit (Hill dan Garren, 1955)

,

meningkatkan respons kekebalan (Pardue dan Thaxton, 1984). Ayam pete- lur yang didedah pada temperatur lingkunqan yanq tinggi ternyata mampu melepaskan panas dan temperatur tubuhnya lebih rendah dibandingkan dengdn kontrol (Thornton, 1962 ; Ahmad et al., 1967). Penurunan tingkat kematian sebagai akibat cekaman panas juga telah dilaporkan pada ayam yang mendapat suplementasi vitamin C (Perek dan Kendler, 1955). Siege1 (1971) menyatakan bahwa penurunan vitamin C di dalam kelenjar adrenal telah dinyatakan sebagai respons cekaman yang klasik pada ayam.
(36)

berperan dibandingkan dengan sel T. McCorkle e t d l .

(1980) menyimpulkan bahwa vitamin C dapat memodulasi R-limfosit tetapi tidak dapat memodulasi T-limfosit. Glick et al. (1956) menyatakan bahwa bursa fabrisius meru- pakan organ limfo epithel pada unggas muda, mempunyai ke- mampuan menghasilkan antibodi. Laporan selanjutnya menya- takan bahwa bursa fabrisius berfungsi juga dalam memperta- hankan konsentrasi vitamin C dalam kelenjar adrenal.

Thornton (1962) melaporkan bahwa suplementasi vitamin C 4 4 mg/kg ransum pada ayam petelur yang dipelihara pada temperatur lingkungan 2 4 . 4 O - 26. l o C tidak memberikan pengaruh terhadap temperatur tubuh. Akan tetapi pada ayam yang dipelihara pada temperatur ligkungan 37.8 OC memberi- kan pengaruh yang nyata lebih rendah terhadap temperatur tubuh dibandingkan dengan kontrol. Lebih lanjut dinyata- kan bahwa konsumsi oksigen juga nyata lebih rendah pada ayam yang diberi vitamin C dibandingkan dengan kontrol.

Suplementasi vitamin C nyata membatasi meningkatnya t e m p e r a t u r t u b u h a y a m L e g h o r n y a n g d i d e d a h p a d a t e m p e r a t u r ling- kungan 2 g 0 C.

Kolesterol dan Strukturnva

(37)

akan tetapi dapat juga didapatkan dari bahan makanan yang berasal dari hewan. Kolesterol terdapat. dalam bentuk be- bas dan teresterifikasi dengan asam 1-emak (Lehninger, 1972).

Struktur kolesterol merupakan derivat dari inti per-

hidrosiklopentanopenantren yang mengandung sebuah gugus

hidroksil alkohol pada atom C dan sebuah cabang rantai alifatik yang terdiri dari 8 buah atom karbon pada atom C17 Kolesterol mempunyai sebuah ikatan rangkap pada atom C 1 7 - C 1 5 dan C 6 yang ditandai dengan akhiran sistimatik "ene"; posisi ketidak jenuhan pada intinya tersebut ditan- dai dengan simbol serta nomor atom karbon pada ikatan rangkap atau dengan meletakkan nomor atom karbon pada ikatan rangkap di belakang akhiran "ene". Rumus molekul kolesterol adalah C27H460, dengan berat molekul 3 8 6 , 6 4 dan perbandingan C : H : 0 adalah 8 3 . 8 7 % : 11.99% : 4.14%

(Fruton and Simmonds, 1962)

.

Sintesa kolestrol terjadi di dalam hati melalui suatu tingkatan reaksi lebih dari 30 tahapan dengan zat asal asetat (-COOH). Asetat dihasilkan dari metabolisme tubuh yaitu hampir dari seluruh metnbolisme lemak, karbohidrat dan protein.

(38)

Kolesterol bebas dan kolesterol ester terikat dengan empedu, membentuk senyawa protein yang larut dalam plasma darah. Kolesterol dengan fosfolipida di dalarn plasma ter- ikat dengan protein dan beredar sebagai satuan-satuan li- poprotein. Lipoprotein adalah suatu senyawa yang terdiri dari protein, fosfolipida, lemak netral, kolesterol bebas dam kolesterol ester.

Plasma kolesterol terdapat dalam dud bentuk lipopro- tein yang dibedakan berdasarkan kepadatannya yaitu lipo- protein yang kepadatannya jarang atau disebut sebagai LDL (Low Density Lipoprotein) dan lipoprotein yang mempunyai kepadatan tinggi disebut HDL (High Density Lipoprotein). LDL mempunyai struktur 78-lipoprotein dan kolesterol sebagian besar terdapat dalam bentuk LDL, sedangkan HDL mempunyai struktur 7a-lipoprotein dan hanya terdapat se- dikit dalam kolesterol.

Kolesterol LDL mempunyai sifat yang berbahaya pada pembuluh darah dan jantung. Pada penyakit yang disebabkan dengan naiknya kadar kolesterol maka serum darah terlihat naiknya kadar LDL. Kolesterol HDL sebaliknya dapat menu- runkan kolesterol LDL secara lambat. Kolesterol HDL tidak diperoleh dalam ransum akan tetapi disintesis dalam tubuh

(39)

Sifat Sifat Koiesteroi dan Sumbernva

Kolesterol adalah senyawa yang tidak larut dalam air, sedikit larut dalam alkohol yanh dipanaskan pada tempera- tur 80 OC. Kolesterol larut dalam pelarut organik seperti kloroform, ether, pyridine, benzena, petrolium eter dan

lemak.

Kolesterol termasuk lemak yang tidak tersaponifikasi, dapat diekstraksi dari jaringan tubuh hewan dengan petro- lium eter, kloroform dan benzena. Proses pengendapan da- pat dilakukan dengan digitonin dan memberikan warna merah dengan larutan rosanilin dalam kloroform. Dalam jaringan tubuh hewan kolesterol terdapat bersama-sama dengan sterol lain yang jenuh yaitu kolestanol (dehydrokolesterol) dan koprostanol.

Kolesterol merupakan molekul monohidrat, berbentuk kristal jarum ortombik berwarna putih dan mempunyai sifat optik aktif dengan spesifik rotasi ( c Y ) ~ ~ ' - 39.5O(dalam larutan kloroform). Menjadi bentuk anhydrous pada tem- peratur 70°

-

80 OC, dan mencair pada temperatur 150 OC serta terdekomposisi pada temperatur 360 OC (Windholz et

al., 1976).

Metaboliime Kolesterol

(40)

yang diserap adalah dalam bentuk teresterifikasi, jumlah terbesar kolesterol dalam plasma darah dalam bentuk ester asam lemak. Saluran usus juga mengandung sterol dehy- drogenase yang merupakan katalis bagi perubahan kolesterol menjadi 7-dehydrokolesterol. Beberapa kolesterol yang terdapat d i dalam feses hewan antara lain adalah kop- rostanol, yang terjadi karena adanya reaksi antara bakteri dalam saluran pencernaan dengan kolesterol. Bakteri ter- sebut membentuk koprostanol yang berasal dari kolesterol melalui bentuk

fi

-

-

kolestenon. Sterol-sterol lain yang keluar bersama feses adalah 7-dehydrokolesterol,

a

- kolestenol dan kolestanol.

Hasil-hasil perubahan metabolisme kolesterol yang penting adalah asam empedu dan hormon-hormon steroid.

Beberapa zat yang timbul karena proses oksidasi ko- lesterol adalah bersifat karsinogenik dalam hewan perco- baan dan zat ini merupakan proses metabolisme yang tidak normal dari kolesterol (Fruton and Simmonds, 1962).

Biosintesis Kolesterol dan Faktor vanz M e m n e n ~ a r u h i K e c e ~ a t a n S i n t e s i ~ Kolesterol

(41)

bergabung dengan partikel sitoplasma (rnikrosome). 0leh karena itu sintesis kolesterol yang dikatalis oleh enzim mempunyai ketergantungan pada kofaktor yang ada dalam mik- rosome.

Tapak jalan yang terjadi antara asetat dan kolesterol pertama-tama adalah melibatkan terbentuknya 8-hidroksi 7-B-metilglutaril Co-A. Senyawa tersebut pada dasarnya adalah diperoleh dari tiga molekul acetyl Co-A. Senyawa tersebut juga dihasilkan sebagai intermedia dalam metabo- lisme pemecahan Leusin. f i - h i d r o k s i - 8 - m e t i l g l u t a r i l CoA adalah prekursor terdekat dari asam mevalonat, dibentuk dengan pengaruh katalis yang mengandung sulfihidril, TPNH yang memerlukan enzim B-hidroksi-B-metilglutaril COA re- duktase. Reaksi tersebut ternyata mengakibatkan pengu- rangan sebuah gugus karboksil dari hidruksi-metilglutaril CO--A. Hasil penelitian pada hewan percoban yang tanpa di- beri ransum menunjukkan bahwa di dalam hati terjadi penu- runan sintesis kolesterol dan turunnya aktifitas J-

hidroksi+-metilglutaril CO--A reduktase.

(42)

simultan akan mengalami kehilangan fosfat tersier dan me- ngalami dekarboksilasi menjadi dimetilalil-pirofosfat de- ngan penambahan sebuah proton pada pusat ikatan ranqkap metilene karbon, yang kemudian diikuti dengan hilanqnya sebuah proton dari atom C2. Kedua isomer tersebut adalah senyawa-senyawa yang terpenting dalam sintesis poli iso prenoid yang merupakan dasar dari reaksi berikutnya yang melibatkan ikatan karbon ke karbon dalam reaksi biosinte- sis pembentukan sterol (Lehninger, 1972 ) .

Kecepatan sintesis kolesterol didalam tubuh dipenga- ruhi oleh banyaknya suplai kolesterol yang tersedia dalam ransum. Artinya bahwa sintesis kolesterol akan ditekan dengan adanya ransum yang banyak mengandung kolesterol atau dengan pengambilan squalene atau sterol lain yang da- pat di konversi menjadi kolesterol. Sebaliknya apabila ko- lesterol yang terdapat dalam ransum dikurangi, maka bio- sintesis kolesterol akan dirangsang dalam jumlah yang be- sar. Perubahan tingkat kolesterol dalam darah merupakan respons yang berhubungan dengan perubahan derajad kejenuh- an dari asam lemak dalam ransum. Makin banyak asam lemak jenuh dalam ransum, maka konsentrasi serum kolesterol se- makin tinggi (White et al., 1964).

Kolesterol Dalam Telur

(43)

umurunggas, temperaturlingkungan, kecepatanbertelurdan p e - nyakit (Romanoff and Romanoff, 1963). Pada dasarnya telur terdiri dari tiga bagian yaitu : Kuning telur (Yolk), pu- tih telur (albumen) dan kulit telur. Ketiga bagian ter- sebut berbeda satu sama lain baik struktur maupun susunan kimianya.

Komposisi kuning telur lebih kompleks dibandingkan dengan bagian lainnya seperti terlihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Persentase Kandungan Kuning Telur

Komponen Persentase ( % ) Air

Bahan Padat Bahan Organik

= Protein = Lemak

= Karbohidrat Bahan in organik

Sumber : Romanoff dan Romanoff (1963)

Lebih lanjut Romanoff dan Romanoff (1963) menyatakan bahwa perbandingan antara protein dan lemak dalam kuning telur adalah 1 : 2 dan dalam bentuk lipoprotein. Adapun komposisi dari lemak kuning telur seperti terlihat pada Tabel 2 .

(44)

kuning telur dalarn bentuk b e b a s dan sisanyn dalam bentuk ester. Rasio antara bentuk bebas dan bentuk ester agak bervariasi tergantung pada strain unggas. Dengan dernikian maka kandungan kolesterol dalam telur-sedikit bervariasi karena dipengaruhi oleh strain. Kolesterol yang berada dalam kuning telur di peroleh dari ransum yang dikonsumsi dan pada saat sintesis selama proses pembentukan kuning telur.

Tabel 2 . Komposisi Lemak Dalam Kuning Telur ( % )

Komponen Persentase Lemak ( % )

Gliserida Fosfolipida Kolesterol Serebrosida

Sumber : Romanoff clan Romanoff (1963)

Albumen atau putih telur terdiri dari protein dan air dengan perbandingan sekitar L : 8 dan 9 2 % dari padatan (11% dari keseluruhan) adalah protein, sisanya sebagian adalah karbohidrat dan ion-ion anorganik. Kolesterol da-

(45)

Kolesterol dan Vitamin C

Penelitian tentang pengaruh pemberi-an vitamin C t e r -

hadap beberapa jenis ternak dalam usaha menurunkan kan- dungan kolesterol telah banyak dilakukan antara lain dilakukan oleh Nockels, (1973). Hasil yang diperoleh ada- lah ayam petelur yang mendapatkan suplementasi vitamin C dapat menurunkan kandungan kolestrol dal.am jaringan. Pe- neliti lain yaitu Sokoloff et al. (1967) melaporkan bahwa pemberian vitamin C nyata menurunkan kandungan kolesterol dalam darah, trigliserida dan lipase pada tikus dan kelin- ci. Lebih lanjut King et a1

.

(1955) melaporkan bahwa pemberian vitamin C nyata menurunkan sintesis kolesterol dalam kelenjar adrenal marmot.

Beberapa teori yang berhubungan dengan mekanisme asam askorbat yang menyebabkan berkurangnya kolesterol dalam. darah antara lain dikemukakan oleh Kitabchi (1967) bahwa pemberian asam askorbat pada sapi menyebabkan tingginya kandungan asam askorbat dalam adrenal yang mengatur terja- dinya peristiwa streidogenesis dengan card menghambat sis- tem hidroksilase. Lebih lan jut Su1imovic:i dan Boyd (1968) mengemukakan bahwa asam askorbat dalam jaringan ovari ti- kus kemungkinan berperan sebagai agen pereduksi dan meng- hambat mata rantai dan pemecahan enzim pembentukan koles- terol

.

(46)

empedu menjadi kolesterol. Vitamin C tidak secara lang- sung menstimulasi aktifitas sistem oxygenase, akan tetapi percobaan pada marmot membuktikan bahwa kelebihan vitamin C nyata menurunkan aktifitas dari metabolisme kolesterol

(47)

MATERI

DAN

METODE PENELFIlAN

Penelitian dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama dirancang untuk melihat hubungan antara tingkat pemberian vitamin C pada suasana temperatur lingkungan penelitian terhadap respons fisiologis ayam petelur dengan mengukur kadar vitamin

c

dalam plasma darah, kadar tiroksin (T4) dan kortisol dalam plasma darah.

Hasil penelitian tahap pertama digunakan untuk mendu- ga kebutuhan vitamin C pada ayam petelur yang sedang ber- produksi

.

Penelitian tahap kedua dirancang untuk menguji ting- kat kebutuhan vitamin C yang telah ditetapkan pada peneli- tian tahap pertama terhadap performans produksi dan kea- daan fisiologisnya.

Penelitian 'L)aha~ Kesatu Temvat Penelitian.

Percobaan biologis untuk dilakukan di Balitnak Ciawi mulai tanggal 3 0 Juli sampai 18 Agustus 1992. Analisis laboratorium dilakukan di Laboratorium BPT Ciawi dan Puslitbang Gizi, Dep. Kes. Bogor.

Bahan Penelitian.

(48)

Tabel 3. Susunan Ransum Percobaan dan Kandungan Bat-

zat Makanan

*

Bahan Persentase

Jagung kuning Dedak halus Bungkil kedele Bungkil kelapa Tepung ikan

Tepung kulit kerang Premix B

Kandungan zat-zat Makanan :

Energi Metabolis (kkal/kg) Protein kasar ( % )

Ca ( % )

P ( 0 )

Lisin ( % )

Metionin ( % )

Metionin

+

sistin ( % ) Triptofan

Arginin

Keterangan :

*)

: Hasil perhitungan (Scott et dl., 1982)

* * )

: Hasil p e r c o b a a n b i o l o g i s B a l i t n a k Ciawi

Vitamin C yang digunakan adalah vitamin C dalam bentuk tepung dengan rumus kimia C6 H 8 O6 dengan tingkat kemurnian 9 9 . 7 % yang diproduksi oleh Merck. Untuk menja- min ketepatan vitamin C sesuai dengan dosis yang diberikan dan keseragaman konsumsi vitamin C, maka dosis vitamin C yang harus diterima oleh setiap ekor ayam petelur pada masing-masing perlakuan dapat ditetapkan seperti pada Ta-

be1 4, yaitu dengan asumsi bahwa pada ransum dengan imban-

(49)

Vitamin C dimasukkan k e dalam kapsul sesuai dengan dosis yang telah ditentukan dan dicekokkan pada setiap ekor ayam setiap hari. Agar semua.ayam mendapat perlakuan yang sama, maka pada perlakuan kontrol (0% vitamin C ) ,

ayam dicekokkan dengan kapsul kosong (placebo).

Tabel 4. Dosis Vitamin C yang Diberikan Setiap Hari

liari pada Ayam Petelur Dewasa ( p p m ) *

Dosis Perlakuan Konsumsi Ransum Konsumsi Vitamin C Vitamin

c

(ppm) (gram) ( PPm )

0 110 0

100 110 11

200 110 2 2

300 110 3 3

4 00 110 4 4

500 110 5 5

Keterangan : * ) dihitung

Metoda Penelitian.

Untuk menguji pengaruh perlakuan pemberian berbagai tingkat suplementasi vitamin C terhadap kandungan tirok- sin, kortisol clan vitamin C dalam darah, maka ayam ditem- patkan pada kandang individu (single cages).

Untuk mendapatkan data temperatur dan kelembaban ru- ang penelitian maka ditempatkan suatu alat pencatat yaitu Thermohygrograph.

(50)

Pengambilan darah dilakukan melalui bawah sayap se- banyak 5 CC sesuai dengan prosedur yang dilakukan Garvey

et al. (1977) sebagai berikut :

.

Bahan Ban Alat :

a. Alkohol 70% b. Tabung reaksi

c. Alat suntik (syringe) d. Kapas

-

Prosedur

Ayam secara perlahan-lahan diletakkan di atas meja dan ditidurkan dengan punggung di bawah, kaki dan sayap di- tarik lurus k e belakang kemudian dibalut dengan kain sehingga ayam tidak bergerak. Apabila posisi ayam telah diam maka jarum suntik di masukkan pada vena. Darah kemudian ditampung sebanyak 5 CC ke dalam tabung pe- reaksi yang diisi heparin 0.1 CC untuk mencegah terja- dinya pembekuan darah. Darah kemudian dipusing (senti- fuse) pada putaran 3000 rpm selama 10 menit dan plasma darah dipisahkan untuk keperluan anali-sis.

Analisis Vitamin C plasma darah menggunakan teknik kolorimeter (ICNND, 1963).

= Bahan dan Alat :

a. Varian 634. Spectrophotometer.

b. Tabung pereaksi.

c. Cuvette, 119 X 150 mm

(51)

e. A l a t pemusing (sentrifuse) f. Pipet 1, 2, 3, 4 dan 5 ml g. Interval timer.

-

Pereaksi :

a. 1,4-dinitrophenylhydrazine ( D N P ) . 2 . 2 % dalam H 2 S 0 4 9

N .

b. Tricholroacetic acid 5% (TCA)

c. H 2 S 0 4 65% d. Thiourea 5% e. CUSO, 0.6 '%

f. Dinitrophenylhydrazine - thiourea - copper -sulfate ( D T C ) dengan perbandingan 20 : 1 : 1.

g. Metaphorsphoric acid 5% dalam asam acetat 10%. h. Stok vitamin C standar dalam bentuk tepung dengan

tingkat kemurnian 97% diproduksi Merck.

-

Prosedur :

a. Membuat kurva standar :

1. 1 g vitamin C dikeringkan dalam oven 1 0 5 ' ~ selama satu jam, selanjutnya ditempatkan dalam desikator selama satu malam. Timbang 100 mg vitamin C dan dilarutkan dengan metaphosphoric acid 5% dalam asam acetat 1 0 % sehingga volumenya menjadi 1 0 0 ml. Selanjutnya diencerkan dengan TCA 5% dengan perban- dingan 1: 100.

2 . Larutan dipindahkan ke dalam lima buah tabung rea-

(52)

4 , O dan 5 , O ml. Masing-masing ditambahkan TCA 10% sehingga volumenya menjadi 10 ml setara dengan 0 ,

1, 2 , 3 , 4 , 5 mg/100 ml vitamin C.

3. Dari masing-masing tabung dipipet 1,5 ml larutan, kemudian ditempatkan pada tabung lain d a n satu t a b u n g k o s o n g diisi dengan 1 , 5 m l TCA s e b a g a i blanko.

4 . Ke dalam setiap tabung ditambahkan 0 , 5 ml campuran

D T C , dikocok sampai rata, selanjutnya di inkubasi selama satu jam dalam penangas air 6 0 " C .

5. Tabung didinginkan pada wadah yang berisi es, secara perlahan ditambahkan 2 , 5 ml H 2 S 0 4 6 5 % sambil dikocok sampai homogen, kemudian didiamkan pada temperatur kamar selama 20 menit.

6. Panaskan Spectrophotometer dan diatur pada panjang gelombang 515 nm celah 0,5 nm, siap dilakukan pem- bacaan

.

7. Dari hasil pembacaan dibuat kurva standar dengan sumbu horizontal merupakan konsentrasi vitamin C y a n g telah diketahui, sedangkan s u m b u vertikal merupakan hasil pembacaan pada spectrophotometer. b. Plasma Darah :

(53)

2. Larutan dari supernatan yang jernih diambil se- banyak 1,5 ml ditempatkan pada tabung, selanjutnya ditambahkan 0,5 ml DTC dan d i inkubasi pada pena- ngas air 60 OC selama 1 jam.

3. Dinginkan pada wadah berisi es dan secara perlahan ditambahkan 2,5 m l H2S04 65% sambil dikocok.

4. Keluarkan dari es dan biarkan pada temperatur kamar selama 20 menit. Dibaca pada Varian Spectrophotome- ter dengan panjang gelombang 515 nm.

5. Hasil pembacaan dimasukkan kekurva standar, se-

hingga diperoleh kadar vitamin C dalam mg/100 ml.

Perhitungan :

Kadar Vitamin C Plasma (mg/100 ml) =

Faktor X F. Pengencer X (Abs-Contoh

-

Abs-blanko)

mg/100 ml Standar Faktor =

Absorben standar

Faktor Pengencer = 0,5 ml -> 2,5 ml T C A

(54)

Tiroksin (T4) dianalisis dengan teknik ~ a d i o immu- noassay. KIT hormon beserta prosedur penggunaannya dipero- leh dari Amerlex

-

M T q RIA KIT Codes IM. 3 0 1 1 / I M . 3 0 1 4

A m e r s h a m UK.

-

Bahan dan A l a t :

a. Plasma darah ayam petelur pada tiga kali pengambil- an selang waktu satu minggu (awal penelitian, pertengahan dan akhir penelitian, sedangkan kelen- jar adrenal diambil pada akhir penelitian.

b. Amerlex-Tq antibody suspension reagent c. 125 I larutan tiroksin

d .Standar T4 sebanyak enam botol dengan konsen- trasi T4 dengan konsentrasi masing-masing 0; 23.3; 46,6; 9 3 , 2 ; 155,3 dan 248,6 ng/ml atau 0; 30; 60; 120; 200 dan 300 nmol T4/l.

e. Gamma Counter.

f. Mikro pipet 50 p1 dan 500 p1.

g. Penangas air ( water bath) dengan alat penggoyang otomatis.

Prosedur :

a. Siapkan tabung bersih dan diletakkan pada rak yang telah disediakan beri label untuk standar, blanko dan contoh yang akan dianalisis. Pipet NSB ( 0 )

(55)

c. Tambahkan pereaksi Amerlex -M NSB pada tabung NSB ( 0 ) untuk blanko

.

Tambahkan pereaksi Amerl ex-M

T q A n t i b o d y s u s p e n s i o n k e dalam tabung-tabung standar dan contoh. Kocok hingga homogen, tutup ta- bung dan inkubasi pada temperatur kamar (18-

-

2 8 O C) selama 4 5 manit. Sentrifuse selama 15 menit pada

2500 rpm. Buang larutannya, keringkan tabung selama

5 menit. Hitung endapannya yang ada dalam tabung dengan G a m m a C o u n t e r .

d. Untuk mendapatkan konsentrasi T4 dalam contoh, hasil cacahan radioaktifitas dari contoh dan standar dio-

lah dengan komputer dengan menggunakan WHO cacahan radioaktivitas dari sampel dan standar diolah de- ngan komputer dengan menggunakan WHO Immunoassay D. P. Program (A5.1) P. R Edwards, Dep. Moleculer Endoc- rinology, License only to IAES Laboratories from Jakarta Training Courge (March, 1987).

Hormon Kortisol dianalisis dengan teknik Radioimmunoassay. Kit hormon beserta prosedur penggunaannya diperoleh dari A m e r l e x C o r t i s o l RIA K i t Amersham U K .

Bahan clan alat :

a. Plasma darah ayam petelur.

(56)

c. Standar kortisol dengan konsentrasi masing-masing (0; 10; 40; 100; 280; 6 0 0 ) pg/ml atau (0; 30; 130; 750; 1700) nmol kortisol/l.

d. (125 I) kortisol. e. Gamma C o u n t e r .

f. Mikro pipet : 50 p1 dan 200 p1.

g. Penangas air (water bath) dengan a l a t pemusing otomatis.

Prosedur :

a. Siapkan tabung bersih dan diletakkan pada rak yang telah disiapkan dan beri nomor.

b. Standar kortisol dan contoh plasma darah diambil sebanyak 5 0 p1 dan dimasukkan ke dalam tabung.

c. Tambahkan masing-masing 2 0 0 p1 larutan 1 ) kortisol ke dalam tabung. Kemudian tambahkan lagi masing-masing 200 p1 Amerlax k o r t i s o l a n t i b o d y s u s p e n s i o n . Kocok hingga homogen, tutup tabung- tabung tadi dan inkubasi pada temperatur 37O C & 0.2 OC

selama 1 jam. Kemudian Sentrifuqasi selama 15 menit pada 2 5 0 0 rpm. Buang larutannya, keringkan tabung selama 5 menit. Endapannya dihitung dengan Gamma

Counter.

(57)

WHO Immunoassay D. P.Program ( A 5 ) PR Edwards, Dep. Moleculer Endocrinology, License only to IAES, Laboratories from Jakarta Training Course (March 1987).

Analisis Kolesterol dalam kuning telur dengan menggunakan Spektrofotometer (ICNND, 1963 ) .

Bahan dan A l a t

a. Varian 634 Spektrofotometer.

b. Cuvet 19x150 mm. c. Panangas air. d. Tabung reaksi.

e. Pipet. f. Batu didih. Pereaksi

a. Petrolium Eter 40-6oDc.

b. KOH 33%. Timbang 3.3 gram KOH larutkan menjadi 10

ml dengan aquadest. Larutan alkoholoik KOH: Pipet 15.7 ml alkohol absolut tambah lml K O H 3 3 % , kocok dan sentrifugasi.

c. Carnpuran Asetic anhydrid : sulfuric acid : acetic acid glacial adalah 20 : 1 : 10

(58)

larutkan menjadi 100 ml dengan alkohol absolut. Pipet masing-masing 0; 2 ; 4 ; 6; 8; 1 0 ml dari

larutan diatas dan jadikan 10 ml dengan alkohol. Hal ini setara dengan 0, 60, 120, 180, 240 dan 3 0 0

mg/loo ml kolesterol.

Prosedur

a. Timbang kuning telur 0.1 gram dan 0,l ml aquadest sebagai blanko. Tambahkan 1 ml alkoholoic KOH, aduk sampai larut. Simpan di Water bath 3g0 -40°C 1 jam. b. Tambahkan 4 rnl PE 40-60 C

.

untuk deret standar dan blanko tambahkan 2 ml PE dan tambahkan 0.25 ml aqua adest kemudian dikocok sampai homogen.

c. Pipet masing-masing kedalam tabung sebanyak 200 T dan tambahkan batu didih. Simpan di Water bath 80°C selama 2 menit, lalu keringkan di oven 105°-110a C 30 menit, dinginkan pada temperatur kamar.

d. Tambahkan 4 ml campuran acetic-sulfuric, kocok dan diamkan 35 menit, lalu haca dengan Spektrofotorneter pada panjang gelombang 630 nm.

Kolesterol kuning telur (mg/gr)=

4 Abs. contoh

-

abs. blk X rata2 faktor X

-

2 berat contoh

konsentrasi std Faktor =

-

(59)

Kolesterol Dalam Plasma (PEARSON)

Bahan :

a . A c e t i c a c i d a n h y d r i d p e k a t

b. T o l u e n s u l f o n i c a c i d 1 2 % d a l a m a c e t i c a c i d g l a c i a l .

c. A c e t i c a c i d g l a c i a l d a n S u l f u r i c a c i d .

d . S i a p k a n d e r e t s t a n d a r k o l e s t e r o l ( 0 ; 6 0 ; 1 2 0 ; 240

; 3 0 0 ) mg/100 m l

Prosedur

a . P i p e t k e d a l a m t a b u n g m a s i n g - m a s i n g s t a n d a r d a n

c o n t o h s e b a n y a k 200 @1 Tambahkan m a s i n g - m a s i n g 200

p 1 a c e t i c acid g l a c i a l , Tambahkan 1 m l T o l u e n s u l -

f o n i c a c i d 12% Tambahkan 3 m l a c e t i c a c i d anhyd- r i d , d i a m k a n s e b e n t a r kemudian t a m b a h k a n 0 , 4 m l

S u l f u r i c a c i d p e k a t bawahnya d i b e r i e s , d a n kemudi-

a n d i k o c o k .

b. Diarnkan 20 m e n i t d a n b a c a d e n g a n menggunakan Spek-

t r o f o t o m e t e r p a d a p a n j a n g gelombang 630 nm.

konsentrasi kolesterol dalam darah ( mg/ 100 ml) =

F a c t o r X Abs c o n t o h

K o n s e n t r a s i s t a n d a r F a c t o r =

(60)

Pemberian Vitamin C.

Pemberian vitamin C dilakukan setiap pagi hari dengan cara mencekokkan k e dalam m u l u t a y a m secara perlahan-

lahan

.

Pamberian Ransum dan Air Mimum.

Ransum diberikan sebanyak 110 gram per hari per ekor, sedangkan air minum diberikan secara ad libitum.

Untuk menguji respons ayam petelur yang diberi ber- bagai tingkat vitamin C terhadap kandungan vitamin C, kan- dungan tiroksin dan kortisol dalam darah maka digunakan dengan Rancangan Acak Lengkap dilanjutkan dengan Uji Beda Nyata Terkecil.

Peneliian l h h a ~ kedua

Tempat Penelitian :

Penelitian dilakukan d i Laboratorium Produksi Ternak Unggas Fakultas Peternakan IPB Jurusan Produksi Unggas se- lama 11 minggu.

Bahan dan Ternak.

(61)

ayam petelur muda terhadap suplementasi vitamin C. Sesuai dengan pernyataan Wahyu (1988) bahwa pada ayam petelur mu- da yanq berumur 21 mingqu (fase pertama) persentase pro- duksinya sanqat tinggi sehingga pada ayam umur tersebut sangat peka terhadap lingkunqan pemeliharaan, Sedangkan diqunakan percobaan pada ayam tua (fase produksi 111) ada- lah untuk memperoleh informasi apakah pemberian vitamin C masih dapat mempertahankan produksi dan kualitas kulit te- lur. Hal i n i sesuai dengan pernyataan Creswell (1979) bahwa fenomena yang umum dijumpai pada kulit telur d i Indonesia adalah tipisnya kerabang. Oleh karena itu maka pemberian vitamin C munqkin dapat memperbaiki ketebalan kerabang seperti dinyatakan oleh Perek et al. ( 1 9 5 9 ) bahwa suplementasi vitamin C pada ayam petelur tua nyata memper- baiki produksi dan kualitas telur.

Ransum

Ransum yang diberikan adalah sama dengan ransum yang diberikan pada penelitian pertama seperti tercantum pada

Tabel 3. Ransum dan air minum diberikan secara ad libi-

tum.

Dosis dan Sistem Pemberian Vitamin C

(62)

Pemberian vitamin C dilakukan sama dengan penelitian pertama yaitu dengan cara di cekokkan ke dalam mulut.

Metode Penelitian

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap pola faktorial (Steel and Torrie, 1980). Setiap unit percobaan terdiri dari 4 ekor ayam dan diulang sebanyak empat kali.

Model Rancanaan Percobaan

Model percobaan yang digunakan sebagai berikut :

Keterangan : i

-

-

j - -

k - -

Y . . 13k -

-

0 - -

-

-

;;

- -

E . . 1 ) k

-

-

1, 2, (umur ayam/periode produksi I dan 111)

1, 2 , 3, 4, 5 (tingkat vitamin C )

1, 2 , 3, 4 (ulangan)

has11 pengamatan dari pengaruh umur ayam ke-i, dengan pengaruh tingkat suplementasi vitamin C ke- j yang mendapat ulangan ke- k.

Rata-rata umum

Pengaruh suplementasi vitamin C Pengaruh umur ayam

Pengaruh sisaan dari unit ulangan ke- k dari kombinasi perlakuan ij. Untuk melihat apakah tinykat suplementasi vitamin C dan umur ayam memberikan respons berhimpit pada setiap periode pengamatan maka dilakukan uji Profil Analisis. Peubah vang Diamati

(63)

1. Untuk menggambarkan tingkat cekaman panas yang dialami oleh ayam petelur dapat diamati dengan mengukur bebe- rapa peubah sebagai berikut :

a. Kandungan hormon kortisol dalam plasma darah dengan menggunakan teknik R a d i o i m m u n o a s s a y .

b. Tiroksin (T4) dalam plasma darah dengan menggunakan teknik Radioimmunoassay.

c. Kadar vitamin C dalam plasma dengan rnenggunakan teknik Kolorimeter.

f. Kadar kolesterol dalam darah dengan teknik kolori meter.

g. Kadar kolesterol dalam kuning telur dengan teknik kolorimeter.

h. Imbangan antara heterofil dan lirnfosit dalam darah dengan menggunakan alat hematositometer.

2. Produksi telur.

Produksi telur dihitung berdasarkan "hen day" produc- tion" yaitu persentase produksi telur dalam jangka waktu tertentu (1 minggu) yang didasarkan pada jumlah ayam yang hidup pada waktu tersebut atau dapat diru- muskan sebagai berikut :

Jumlah Telur yang dihasilkan ( 1 minggu)

* ' H e n Day P r o d u c t i o n * ' = - X 100% Jumlah ayam yang hidup

(64)

3. Berat Telur

Telur ditimbanq setiap minggu 4. Konsumsi ransum

Besarnya ransum yanq dikonsumsi setiap minqqu adalah selisih dari ransum yanq diberikan selama minggu ter- sebut dikurangi denqan sisa ransum.

5. Kualitas telur.

Kualitas telur meliputi :

a. Index warna kuning telur dengan menggunakan alat Y o l k C o l o u r Fan.

b. Untuk mengqambarkan kualitas albumin, maka dilaku- kan denqan mengukur Nilai Haugh Unit.

c. Tebal kerabang diukur dengan cara menqgunakan alat Mikrometer.

6 . Efisiensi penqqunaan protein pada akhir penelitian de- ngan menqhitunq protein yanq dikonsumsi dikurangi pro- tein dalam feses, sehingga mendapatkan protein yang diretensi dan diperqunakan untuk produksi telur.

Protein konsumsi

-

protein feses

EPP = X 100%

(65)

HASIL

DAN

PEMBAaASAN

Penelitian T a h a ~ Kesatu

Rataan Tem~eratur Minimum dan Maksimum

Rataan temperatur minimum dan maksimum serta kelem- baban udara relatif harian selama tiga minggu penelitian berlangsung dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5 . Rataan Temperatur harian dan Kelembaban

Udara Relatif Salama Tiga Minggu Penelitian

Rataan Temperatur Harian Kelembaban Minggu Minimum Maksimum Udara Relatif

. . .

.

.

( " C ) .

. . .

.

.

. .

. .

( % ) .

.

-

* .

Rataan 24.64 28.35 8 3 . 3 6

Dari Tabel 5 terlihat bahwa rataan temperatur udara kandang harian minimum dan maksimum masing-masing adalah 2 4 . 6 4 O C dan 28.35 OC serta kelembaban udara relatif

8 3 . 3 6 % .

(66)

tersebut telah mengalami cekaman panas, sehingga kemung- kinan ayam tidak berproduksi secara optimal.

Rataan kelembaban udara relatif kandang percobaan d i lingkungan tempat percobaan berlangsung adalah 8 3 . 3 6 %

(Tabel 5). Hasil yang diperoleh pada pengamatan ini me-

nunjukkan bahwa kelembaban udara relatif kandang lebih tinggi dibandingkan dengan kelembaban udara relatif untuk menghasilkan produksi secara optimal seperti dinyatakan oleh Rowland (1978) yaitu kelembaban u d a r a relatif yang baik untuk ayam petelur berkisar antara 55 sampai 75%.

Rataan kandungan kortisol dalam plasma darah selama tiga minggu penelitian dari masing-masing perlakuan disa- jikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Rataan Kandungan Kortisol Dalam Plasma Darah

selama Tiga Minggu Penelitian

Ulangan Perlakuan

Rataan

(67)

Hasil uji statistik seperti terlihat pada Lampiran 3

menunjukkan bahwa suplementasi vitamin C nyata menurunkan

(P(0.05) kandungan kortisol dalam plasma darah dibanding-

k a n dengan tanpa suplementasi vitamin C. Uji beda nyata terkecil seperti terlihat pada Tabel 7 menunjukkan bahwa suplementasi vitamin C 100 ppm tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dibandingkan dengan suplementasi vitamin C 200 ppm, 300 ppm, 400 ppm dan 500 ppm. Hasil yang diperoleh pada penelitian ini sesuai dengan pendapat Scheming dan Nockels (1978) yang melaporkan bahwa ayam petelur yang mendapat suplementasi 300 ppm total kortisol dalam tubuh nyata lebih rendah dibandingkan dengan tanpa suplementasi vitamin C.

Tabel 7. Uji Boda Nyata Terkecil Pengaruh Suplemen-

tasi Vitamin C terhadap Kandungan Kortisol

(ug/lOO ml).

Suplementasi Vitamin C Rataan Kortisol

( PPm (ug/100 ml)

o

0.1533 a

100 0.0633 b

200 0.0733 b

3 06 0.0500 b

400 0.0600 b

500 0.0566 b

Keterangan : huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan

yang nyata (P(0.05)

(68)

ternak, maka tubuh akan berusaha untuk meningkatkan laju sintesis kortisol, Vitamin C mempunyai peranan untuk m e n g -

hambat laju produksi kortisol dengan cara menghambat aktivitas enzim C-21 hodroksilase dan 11- R hidroksilase dalam tapak jalan sintesis hormon steroid (Kitabchi,

1967).

P e n ~ a r u h Perlakuan terhadao Kandun~an Tiroksin

Rataan kandungan tiroksin dalam plasma darah selama tiga minggu penelitian dari masing-masing perlakuan disa- jikan pada Tabel 8.

Tabel 8 . Rataan Kandungan Tiroksin Dalam Plasma Dsrah

selama Tiga Minggu penelitian

Ulangan Perlakuan

-

0 100 2 0 0 300 400 500

. . . - p g / 100 ml

...

Rataan

1.44i0.05 1.65i0.10 1.7420.20 1.80i0.28 1.90i0.12 2.00f0.18

Hasil uji statistik seperti terlihat pada Lampiran 5 menunjukkan bahwa suplernentasi vitamin C nyata (P<0.05) meningkatkan kandungan tiroksin dalam plasma darah.

(69)

Tabel 9. U j i Beda Nyata Terkecil Pengaruh Suplamenta- si Vitamin C terhadap Kandungan Tiroksin

(ug/ioo ml)

Suplementasi Vitamin C Rataan Tiroksin

( P P ~ ) ( ~ g / 1 0 0 ml)

o

1.443 a

100 1.653 a

200 1.740 ab

300 1.797 b

400 1.897 b

500 2.003 b

Keterangan : huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (P<O.OS)

Berdasarkan analisis seperti terlihat pada Tabel 9

terlihat bahwa suplementasi vitamin C 100 ppm dan 200 ppm tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dibandingkan dengan tanpa suplementasi vitamin C. Suplementasi vitamin C 200 ppm tidak menimbulkan perbedaan yang nyata dibandingkan dengan 300 ppm, 400 ppm dan 500 ppm. Hasil yang dicapai pada penelitian ini memberikan indikasi bahwa suplementasi vitamin C mulai 300 ppm secara fisiologis telah mampu me- ngembalikan aktifitas kelenjar tiroid untuk memperoduksi tiroksin lebih baik dibandingkan dengan tanpa suplementasi vitamin C yang dalam keadaan normal berkisar 1.70 pg/100 ml.

Bila dikaitkan dengan temperatur lingkungan tempat penelitian yaitu minimum 24.64 OC dan maksimum 28.35 OC

(70)

pada penelitian ini sesuai dengan penelitian Huston, Edward dan Williams (1961) yang menyatakan bahwa pada tem- peratur lingkungan tinggi laju sekresi tiroid akan menu- run. Atmomarsono (1989) memperoleh hasil pengukuran kan- dungan tiroksin pada ayam broiler yang dipelihara pada temperatur 28 OC yaitu 2.66 pg/dl dibandingkan dengan 1.58 pg/dl pada temperatur 31 OC.

Pengamh Perlakuan terhada~ Kandun~an Kolesterol

Rataan kandungan kolesterol dalam plasma darah selama tiga minggu penelitian dari masing-masing perlakuan disa-

jikan pada Tabel 10.

Tabel 10. Rataan Kandungan Kolesterol Dalam Plasma

Darah selama Tiga Hinggu Penelitian

P e r l a k u a n Ulangan

0 100 200 300 4 0 0 500

Rataan 93.8f1.6 86.3f17 82.45f9 75.27f4 68.92r1 70.92i11

(71)

plasma darah. Untuk mendapatkan gambaran lebih jauh penga- ruh suplementasi vitamin C terhadap kandungan kolesterol dalam plasma darah disajikan pada Tabel 11.

Tabel 11. Uji Beda Nyata Terlcecil Pengaruh Sup-

lementasi Vitamin c terhadap Kandungan

Kolesterol (mg/100 ml)

Suplementasi Vitamin C Rataan Kolesterol ( P P ~ ) (mg/100 ml)

o

93.82 a

100 86.26 a

200 82.45 a

300

Gambar

Tabel  8 .   Rataan Kandungan Tiroksin Dalam  Plasma Dsrah  selama Tiga Minggu penelitian
Tabel 9.  U j i   Beda  Nyata Terkecil Pengaruh Suplamenta-  si Vitamin  C  terhadap Kandungan Tiroksin
Tabel  11.  Uji Beda Nyata Terlcecil Pengaruh Sup-  lementasi Vitamin  c  terhadap Kandungan  Kolesterol  (mg/100 ml)
Tabel  12.  Rataan Temperatur harian dan Kelembaban  Udara Relatif Belama  11  Minggu Penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Development (Pengembangan), pada tahap ini ada tiga hal yang dilakukan, yaitu melakukan validasi kepada ahli, melakukan revisi video pembelajaran pasca validasi, dan

Artikel ini memberikan rekomendasi untuk menggunakan clinical pathway sebagai salah satu perangkat untuk mengelola kualitas pelayanan kesehatan mengenai standardisasi

Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Dari Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Jasmani Kesehatan dan Rekreasi. © Nadia Eka Putri 2015

Fluida kerja yang digunakan adalah air , karena mudah didapat serta memenuhi syarat utama sebagai fluida kerja, yaitu tidak bereaksi dengan material pipa maupun struktur sumbu

12 Kesepakatan untuk meningkatkan harga setinggi-tingginya demi mencapai keuntungan yang sebesar-besarnya akan merugikan konsumen dikarenakan diantara pelaku usaha

Metode perancangan redesain objek wisata Rembangan di Jember ini muncul dari gagasan yang melatar belakangi, yaitu hotel resort memiliki keselarasan dengan

Hasil wawancara dengan PKM III yang membawahi bidang kesiswaan pada tanggal 4 Maret 2013 di ruangan PKM II pada pukul 11.00 WIB.. memanfaatkan semua fasilitas madrasah dalam

Tujuan dari penelitian ini untuk mempelajari karakteristik sarang pengeraman di habitat bertelur serta mempelajari tahapan perkembangan embrio burung Mamoa