• Tidak ada hasil yang ditemukan

EFFECT OF THE USE OF STUDENT PERCEPTION COOPERATIVE LEARNING MODEL N UMBER HEAD TOGETHER LEARNING AND MOTIVATION OF CREATIVITY IN LEARNING SOCIAL STUDIES IN SMP NEGERI TUMIJAJAR TULANG BAWANG BARAT ACADEMIC YEAR 2012/2013 P ENGARUH PERSEPSI SISWA TENTANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "EFFECT OF THE USE OF STUDENT PERCEPTION COOPERATIVE LEARNING MODEL N UMBER HEAD TOGETHER LEARNING AND MOTIVATION OF CREATIVITY IN LEARNING SOCIAL STUDIES IN SMP NEGERI TUMIJAJAR TULANG BAWANG BARAT ACADEMIC YEAR 2012/2013 P ENGARUH PERSEPSI SISWA TENTANG "

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

EFFECT OF THE USE OF STUDENT PERCEPTION COOPERATIVE LEARNING MODEL NUMBER HEAD TOGETHER LEARNING AND MOTIVATION OF CREATIVITY IN LEARNING SOCIAL STUDIES IN

SMP NEGERI TUMIJAJAR TULANG BAWANG BARAT ACADEMIC YEAR 2012/2013

By: WAHIDIN

Abstrack

Mastery and use of a model of learning in the process teaching social studies (IPS) indispensable for the achievement of learning objectives. Cooperartive learning models of type Number Head Together (NHT) is one leraning models are expected to increase students' motivation and creativity of student learning.

Positive perception of the use of learning models NHT required in order to create a fun learning models in order to improve students' learning motivation and creativity.The purpose of this study was to clarify the effect is students 'perceptions about the use of cooperative learning models NHT and students' motivation to learn IPS student creativity.

This research method is a survey, and the sample is students who were in eighth grade, amounting to 67 students, the data collection techniques used is the

questionnaire given to the respondents were then performed statistical analysis of the data processing through.

(2)

PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE NUMBER HEAD TOGETHER DAN MOTIVASI BELAJAR TERHADAP KREATIVITAS BELAJAR IPS DI SMP NEGERI TUMIJAJAR KABUPATEN TULANG BAWANG BARAT

TAHUN PELAJARAN 2012/2013

Oleh : WAHIDIN

Abstrak

Penguasaan dan penggunaan suatu model pembelajaraan dalam proses pembelajaraan IPS sangat diperlukan demi tercapainya tujuan pembelajaraan. Model pembelajaraan kooperatif tipe Number Head Together (NHT) merupakan salah satu model pembelajaraan yang diharapkan dapat meningkatkan motivasi belajar siswa dan kretivitas belajar siswa. Persepsi positif terhadap penggunaan model pembelajaraan NHT diperlukan dalam upaya menciptakan model pembelajaraan yang menyenangkan guna meningkatkan motivasi dan kreativitas belajar siswa.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh persepsi siswa tentang penggunaan model pembelajaraan kooperatif tipe NHT dan motivasi belajar siswa terhadap kreativitas belajar IPS siswa, dengan menggunakan metode penelitian survey, dan sampel penelitian ini adalah siswa SMP Negeri Tumjijajar yang berada di kelas VIII yang berjumlah 67 siswa. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah dengan kuesioner yang diberikan kepada responden yang selanjutnya dilakukan pengolahan data melalui analisis statistik dengan menggunakan uji regresi.

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa persepsi siswa tentang model pembelajaran kooperatif tipe NHT mempunyai pengaruh positif, erat dan signifikan terhadap pembentukan kreativitas belajar siswa yaitu sebesar 0,216 > 0,211 atau t-hitung lebih besar daripada t-tabel pada taraf nyata α = 0.05. Persepsi siswa tentang model pembelajaran kooperatif tipe NHT mempunyai pengaruh positif, erat dan signifikan terhadap pembentukan motivasi belajar siswa yaitu sebesar 0,285 > 0,211 atau t-hitung lebih besar daripada t-tabel pada taraf nyata α = 0.05. Persepsi siswa tentang model pembelajaran kooperatif tipe NHT dan motivasi belajar siswa mempunyai pengaruh positif, erat dan signifikan terhadap kreativitas belajar siswa yaitu sebesar 0,196 > 0,115 atau f-hitung lebih besar daripada f-tabel pada taraf nyata α = 0.05. Sehingga dapat disimpulkan bahwa bahwa persepsi siswa tentang model pembelajaran kooperatif tipe NHT dan motivasi belajar siswa berpengaruh terhadap kreativitas belajar IPS siswa.

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

viii

RIWAYAT HIDUP PENULIS

Penulis dilahirkan di Bantul Yogyakarta pada tanggal 26 Desember 1966, sebagai anak pertama dari lima bersaudara, dari pasangan orang tua penulis yaitu Bapak Ahmad Suhadi dengan ibu Daimah.

Pendidikan Sekolah Dasar (SD) diselesaikan pada SD Negeri Kepanjen pada tahun 1980, dan Sekolah Menengah Pertama (SMP) diselesaikan pada SMP Negeri Baturetno Yogyakarta pada tahun 1983, sedangkan sekolah menengah atas diselesaikan di SMA Negeri 5 Yogyakarta pada tahun 1986 dan pada tahun 1991, penulis menyelesaikan pendidikan strata 1 pada fakultas pendidikan ilmu pengetahuan sosial jurusan pendidikan geografi Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Yogyakarta.

(8)

xii

MOTO

"Orang lain yang membicarakan kita di belakang berarti orang

tersebut memang keberadaannya ada di belakang kita”

"Janganlah berputus asa. Tetapi kalau anda sampai berada

dalam keadaan putus asa, berjuanglah terus meskipun dalam

keadaan putus asa"

(9)

xiii

PERSEMBAHAN

Sebagai tanda bukt dan terimakasihku

pada kedua orang tuaku, pak ahmad

suhadi dan bu daimah. Istriku tercinta sri

(10)

SANWANCANA

Assalamualaikum Wr. Wb.

Puji syukur penulis haturkan atas kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “Pengaruh Persepsi Siswa Tentang Penggunaan Model Pembelajaraan Kooperatif Tipe NHT Dan Motivasi Belajar Terhadap Kreativitas Belajar IPS

Di SMP Negeri Tumijajar Kabupaten Tulang Bawang Barat Tahun Pelajaran 2012/2013.

Tesis ini di buat untuk memenuhi persyaratan dalam rangka memperoleh gelar Magister Pendidikan pada Program Pascasarjana Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.

Proses penulisan tesis ini tidak terlepas dari hambatan yang datang baik dari luar maupun dari dalam diri penulis sendiri, penulisan tesis ini pun tidak lepas dari bimbingan, bantuan serta petunjuk dari berbagai pihak, oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Ir. Sugeng P. Harianto, M.S selaku Rektor Universitas Lampung

(11)

ix

3. Dr. M. Thoha BS Jaya M.S selaku Pembantu Dekan I Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.

4. Drs. Arwin Achmad, M.Si selaku Pembantu Dekan II Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung.

5. Drs. Hi. Iskandar Syah, M.H selaku Pembantu Dekan III Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Lampung

6. Prof. Dr. Sudjarwo, M.S selaku Direktur Pascasarjana Universitas Lampung Sekaligus Pembimbing I yang selalu memberikan motivasi dan bimbingan . 7. Dr. Hi. Pargito, M.Pd selaku Ketua Program Pascasarjana Magister

Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FKIP Universitas Lampung SELAKU Pembahas Utama yang selalu memberikan motivasi dan saran dalam penyusunan tesis ini.

8. Dr. R. Gunawan S, S.Pd, S.E, MM selaku Sekretaris Program Pascasarjana Magister Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FKIP Universitas Lampung 9. Dr. Eddy Purnomo, M.Pd selaku Pembimbing II yang selalu memberi

bimbingan dan motivasi.

10.Dr. Hj. Trisnaningsih, M.Si selaku pembahas II yang selalu memberikan motivasi dan saran dalam penulisan tesis ini.

11.Bapak dan Ibu Dosen Program Pascasarjana Magister Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FKIP Universitas Lampung.

(12)

x

13.Sujarwo, S.Pd, M.M. selaku Kepala Sekolah SMP Negeri Tumijajar yang telah memberikan bantuan dan izin sebagai tempat penelitian.

14.Rekan-rekan seperjuangan, Suyatno, Hamidah, Juwariyah, Umi Tarsih, Desi, Aria, Muji, Mustakim, Tomi, Budi, Agus, Arif terimakasih atas dukungan dan kebersamaannya.

15.Semua pihak yang secara langsung maupun tidak langsung yang telah memberikan bantuan moril dalam penyusunan tesis ini.

16.angkatan 2010 Program Pascasarjana Magister Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial FKIP Unila.

Semoga amal baik yang Bapak, Ibu, Saudara berikan, akan selalu mendapat pahala dari Allah Swt. Akhir kata dengan kerendahan hati, penulis berharap tesis ini dapat bermanfaat.

Wassalamualaim, Wr. Wb.

Bandar Lampung, Mei 2014 Penulis,

(13)

DAFTAR ISI

Halaman

COVER ... i

ABSTRAK ... ii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

SURAT PERNYATAAN ... vi

RIWAYAT HIDUP ... vii

SANWACANA ... viii

MOTTO ... xi

PERSEMBAHAN ... xii

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvi

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 15

C. Pembatasan Masalah ... 15

D. Perumusan Masalah ... 16

E. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 16

1. Tujuan Penelitian ... 16

2. Kegunaan Penelitian... 17

F. Ruang Lingkup Penelitian ... 18

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Deskripsi Teori ... 21

1. Pengertian Persepsi ... 21

2. Pengertian Belajar ... 28

3. Teori Belajar... 31

a. Konstruktivisme Jean Peaget ... 31

b. Konstruktivisme Vygotsky ... 33

c. Behaviorisme ... 34

4. Model Pembelajaraan ... 35

5. Motivasi Belajar ... 40

(14)

xiv

C. Kerangka Pikir ... 81

D. Hipotesis Penelitian ... 85

BAB III METODELOGI PENELITIAN A. Metode Penelitian ... 87

B. Populasi dan Sampel ... 88

1. Populasi ... 88

2. Sampel ... 89

C. Variabel Penelitian dan Instrumen Penelitian ... 91

1. Persepsi Siswa Tentang Penggunaan Model Pembelajaraan Kooperatif Tipe NHT ... 92

2. Motivasi Belajar Siswa ... 94

3. Kreativitas Belajar Siswa ... 96

D. Teknik dan Alat Pengumpulan Data ... 98

E. Teknik Analisis Data ... 99

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Lokasi Penelitian ... 107

B. Deskripsi Data Hasil Penelitian ... 113

1. Persepsi Siswa Tentang Penggunaan Model Pembelajaran NHT ... 115

2. Motivasi Belajar Siswa ... 121

3. Kreativitas Belajar siswa ... 127

C. Pengujian Persyaratan Analisis ... 133

1. Uji Nomalitas ... 133

2. Uji Homogenitas ... 134

4. Uji Linieritas ... 134

D. Pengujian Hipotesis ... 136

1. Pengaruh Persepsi Siswa Tentang Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT Terhadap Kreativitas belajar Siswa ... 136

2. Pengaruh Motivasi Belajar Terhadap Kreativitas Belajar Siswa ... 138

3. Pengaruh Persepsi Siswa Tentang Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT dan Motivasi Belajar Siswa Terhadap Kreativitas Belajar Siswa ... 139

E. Pembahasan Hasil Penelitian ... 141

1. Pengaruh Persepsi Siswa Tentang Penggunaan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe NHT Terhadap Kreativitas belajar Siswa ... 140

2. Pengaruh Motivasi Belajar Terhadap Kreativitas Belajar Siswa ... 174

(15)

xv

A. Simpulan ... 207

B. Implikasi ... 208

C. Saran ... 210

Daftar Pustaka ... 212

(16)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

Tabel 1.1 Hasil Observasi Kreativitas Belajar IPS Kelas VIII

SMP Negeri Tumijajar Tahun Pelajaran 2012/2013 ... 7

Tabel 1.2 Hasil Ulangan Harian Mata Pelajaran IPS Kelas VIII SMP Negeri Tumijajar Tahun Pelajaran 2012/2013 ... 7

Tabel 1.3 Daftar Guru IPS di SMP Negeri 1 Tumijajar ... 11

Tabel 3.1 Rincian Jumlah Sampel ... 90

Tabel 4.1 Sarana Belajar ... 110

Tabel 4.2 Jumlah Guru dan Staf SMP Negeri Tumijajar ... 111

Tabel 4.3 Jumlah Siswa SMP Negeri Tumijajar ... 111

Tabel 4.4 Sebaran Data Hasil Penelitian ... 112

Tabel 4.5. Nilai Skor Persepsi Siswa Tentang Model Pembelajaran NHT ... 115

Tabel 4.6. Persepsi Siswa Tentang Model Pembelajaran NHT ... 117

Tabel 4.7. Kategorisasi Persepsi Siswa Tentang Model Pembelajaran NHT ... 119

Tabel 4.8. Nilai Skor Motivasi Belajar Siswa ... 121

Tabel 4.9. Motivasi Belajar Siswa... 123

Tabel 4.10 Kategorisasi Motivasi Belajar Siswa ... 126

(17)

xvii

(18)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

(19)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran

1. Instrumen Penelitian... 2. Uji Validitas ... 3. Uji Reliabilitas ... 4. Analisis Deskriptif ... 5. Uji Normalitas ... 6. Uji Homogenitas ... 7. Uji Linieritas ... 8. Uji Regresi Sederhana

(20)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kreativitas merupakan suatu kemampuan untuk menciptakan atau menemukan sesuatu yang baru, dan atau memodifikasi sesuatu yang sudah ada sehingga manfaatnya bernilai lebih dibanding sebelumnya. Sumber daya manusia yang kreatif sangat dibutuhkan dewasa ini, terlebih dalam mengantisipasi dan merespon secara efektif adanya perubahan-perubahan yang terjadi hampir setiap sendi kehidupan akibat dari modernisasi dan globalisasi. Perkembangan kebudayaan dan peradaban yang terjadi di tengah-tengah kehidupan masyarakat juga tidak terlepas dari orang-orang yang memiliki kreativitas tertentu dalam berbagai sektor kehidupan seperti politik, ekonomi, militer, teknologi, pendidikan, agama, kesenian, dan lain-lain.

(21)

maupun masyarakat turut menunjang mereka dalam mengekpresikan kreativitasnya.

Kreativitas siswa menjadi penting mengingat dengan berkreasi siswa dapat mengembangkan potensinya salah satu kebutuhan pokok dalam hidup manusia. Dengan kreativitas atau berpikir kreatif, siswa dibekali kemampuan untuk melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah. Sehingga bermanfaat dalam meningkatkan kualitas hidupnya terlebih dalam menghadapi perubahan dan perkembangan dunia yang sangat pesat saat ini. Hal ini juga diperkuat dengan adanya pernyataan bahwa proses pembelajaran yang harus dikembangkan guru dalam Kurikulum 2006 atau lebih dikenal Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP), salah satu di antaranya menekankan pada upaya pengembangan kreativitas siswa secara optimal.

Djunaedi (2005: 19) menyatakan bahwa :

“Begitu pentingnya pengembangan kreativitas siswa dapat diamati dari

bergesernya peran guru, yang semula seringkali mendominasi kelas kini harus lebih banyak memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengambil peran lebih aktif dan kreatif. Ini dilakukan dalam suasana yang menyenangkan (learning must be enjoy). Suasana belajar yang menyenangkan menyebabkan proses pembelajaran lebih efektif, karena bagaimanapun akan sulit membangun pemahaman yang baik pada para

siswa, jika fisik dan psikisnya dalam keadaan tertekan”.

(22)

dicanangkan. Demikian pula pentingnya peranan guru untuk menciptakan suasana yang menyenangkan sehingga siswa dapat merasakan belajar dengan suasana yang menyenangkan tidak merasa tertekan atau ketakutan yang hal ini menyebabkan siswa merasa nyaman yang mengakibatkan proses pembelajaran lebih efektif dalam mencapai tujuan yang diharapkan tentunya.

Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS) merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan di Sekolah Menengah Pertama (SMP), yang memadukan konsep-konsep dasar dari berbagai ilmu sosial yang disusun melalui pendekatan pendidikan supaya bermakna bagi siswa dalam kehidupannya. IPS adalah mata pelajaran yang mempelajari kehidupan sosial yang didasarkan kepada bahan kajian geografi, ekonomi, sosiologi, tata negara, dan sejarah. Tujuan mata pelajaran IPS di SMP marupakan program pengajaran yang bertujuan untuk mengembangkan potensi peserta didik agar peka terhadap masalah sosial yang terjadi dimasyarakat, memilki sikap mental positif terhadap perbaikan segala ketimpangan yang terjadi, dan terampil mengatasi setiap masalah yang terjadi sehari-hari baik yang menimpa dirinya sendiri maupun yang menimpa masyarakat. Tujuan tersebut dapat dicapai manakala program-program pelajaran IPS disekolah diorganisasikan secara baik.

(23)

ke tingkat yang lebih tinggi, dan (3) memberi bekal kemampuan dasar untuk hidup di masyarakat dan mengembangkan diri sesuai dengan bakat, minat, kemampuan dan lingkungannya (Depdiknas, 2006). Berdasarkan pada beberapa pandangan di atas, dapat diformulasikan bahwa pada dasarnya tujuan dari pembelajaran IPS pada jenjang SMP, adalah untuk mendidik dan memberi bekal kemampuan dasar kepada siswa untuk untuk mengembangkan diri sesuai dengan bakat, minat, kemampuan dan lingkungannya, serta sebagai bekal bagi siswa untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi.

Tujuan tersebut dapat dicapai jika pembelajaraan dilakukan secara kreatif, guna menciptakan suasana belajar yang menarik dan menyenangkan serta dapat memancing keingintahuan siswa untuk mempelajari sesuatu sehingga akan menumbuhkan kreativitas belajar siswa.

(24)

demikian, proses pembelajaraan diharapkan dapat menyenangkan dan dapat menumbuhkan motivasi belajar siswa untuk mempelajari sesuatu dengan baik.

Beragam metode pembelajaran telah dikembangkan oleh para praktisi dan peneliti pendidikan dalam upaya mengatasi dan mengeliminasi masalah pendidikan yang terjadi di lapangan. Dalam upaya meningkatkan kemampuan berpikir kreatif diperlukan suatu cara pembelajaran dan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan kemampuan tersebut. Impelementasi kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) sebenarnya membutuhkan penciptaan iklim pendidikam yang memungkinkan tumbuhnya kreativitas bagi setiap guru, mulai dari rumah, di sekolah, maupun di masyarakat. Hal ini terkait dengan adanya pergeseran peran guru yang semula sebagai pusat informasi dan kini menjadi fasilitator, moderator, dan insfirator dalam pembelajaran.

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional, BAB IV Standar Proses, Pasal 19 ayat 1 dinyatakan bahwa; Proses pendidikan pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, motivasi, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.

(25)

dengan kurikulum, cara penyajian materi pelajaran, dan pendekatan pembelajaran yang digunakan oleh guru. Hal ini dapat mengakibatkan kemampuan kreativitas belajar IPS dan kemampuan pemecahan masalah serta sikap siswa terhadap IPS cukup memprihatinkan. Ada yang merasa bosan dan bahkan ada yang alergi pada mata pelajaran IPS. Akibatya siswa tidak mampu melakukan sendiri apa yang harus dilakukan dan otomatis tidak mampu mengembangkan sesuatu yang harus dikembangkan, sehingga kemampuan kreativitas IPS siswa menjadi rendah kualitasnya.

Kenyataan di lapangan pembelajaraan mata pelajaran IPS masih menunjukkan kurangnya kreativitas belajar siswa. Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 16 September 2013 saat kunjungan ke SMP Negeri 1 Tumijajar dengan guru IPS yang mengajar di kelas VIII dikatakan bahwa kelas yang diampu belum menunjukkan kreativitas belajar. Hal ini diungkapkan oleh Ibu Wartini,S.Pd selaku guru IPS di kelas VIII yang menyatakan bahwa siswa belum tahu mencari sumber informasi untuk menyelesaikan tugas yang diberikan, kurang merespon pertanyaan guru dan kurang berani mengungkapkan pendapat, tidak berani bertanya jika mengalami kesulitan. Siswa tidak mampu mengkaitkan materi dengan lingkungan sekitar atau mengkaitkan materi dengan materi lain yang saling berhubungan.

(26)

Tabel 1.1 Hasil Observasi Kreativitas Belajar IPS Kelas VIII SMP Negeri Tumijajar Tahun Pelajaran 2012/2013

No Aspek Yang Diamati Kriteria

Tinggi Sedang Rendah

1 Rasa ingin tahu

2 Bertanya/ mengungkapkan pendapat

3 Upaya pemecahan masalah

4 Mengkaitkan materi

5 Mengerjakan tugas

Sumber : Observasi Guru IPS

Berdasarkan Tabel 1.1 di atas, dapat diketahui bahwa secara umum kreativitas belajar siswa berada pada tingkatan rendah. Hal ini tentu saja perlu dicarikan solusi mengingat kreativitas merupakan salah satu aspek penting yang harus dimiliki siswa sebagai bekal masa depan dalam menghadapi kehidupan yang semakin kompleks.

Selain kreativitas belajar yang masih rendah, diketahui juga hasil belajar siswa kelas VIII SMP Negeri Tumijajar ternyata juga masih tergolong rendah, hal ini dapat terlihat dari hasil ulangan harian siswa seperti pada Tabel 1.2 berikut :

Tabel 1.2. Hasil Ulangan Harian Mata Pelajaran IPS Kelas VIII SMP Negeri Tumijajar Tahun Pelajaran 2012/2013

No Kelas Jenis Kelamin Keterangan KKM

L P Tuntas Tidak Tuntas

1 VIII. 1 12 17 19 10 75

2 VIII. 2 10 19 15 14 75

3 VIII. 3 11 17 14 14 75

4 VIII. 4 10 17 17 10 75

(27)

(Lanjutan Tabel 1.2)

No Kelas Jenis Kelamin Keterangan KKM

L P Tuntas Tidak Tuntas

6 VIII. 6 9 19 12 16 75

7 VIII. 7 12 15 15 12 75

8 VIII. 8 10 15 16 9 75

Sumber : Arsip Guru IPS SMP Negeri Tumijajar

Berdasarkan tabel hasil ulangan harian Mata Pelajaran IPS Kelas VIII SMP Negeri Tumijajar Tahun Pelajaran 2012/2013 yaitu kurang, hal ini bisa saja dikarenakan pada pemahaman siswa dan tingkat daya pikir siswa yang berbeda-beda. Kenyataan hasil belajar siswa tersebut diduga berhubungan dengan model pembelajaraan yang digunakan oleh guru.

Berdasarkan realita tersebut, salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mewujudkannya adalah dengan melakukan inovasi dalam proses pembelajaraan yang dilakukan oleh guru. Diantaranya dengan menerapkan metode pembelajaran tertentu yang sesuai dengan situasi dan kondisi di SMP Negeri 1 Tumijajar berdasarkan karakteristik daerah setempat.

(28)

menunjukkan minatnya untuk tetap mengikuti pelajaran yang diberikan dan disampaikan oleh guru.

Salah satu faktor penyebab rendahnya rendahnya persepsi siswa tentang IPS, dan kurangnya kreativitas belajar IPS siswa adalah penggunaan metode dan pendekatan mengajar guru yang kurang bervariasi. Penggunaan metode dan pendekatan mengajar yang monoton yang mengakibatkan siswa cepat merasa bosan dalam belajar, kurang termotivasi dan kreatif dalam belajar, dan akhirnya berdampak pada hasil belajar IPS yang rendah. Salah satu solusi yang dapat ditempuh oleh guru IPS adalah dengan menyelipkan informasi-informasi yang tepat kepada siswa tentang aspek-aspek berkaitan dengan IPS agar terbentuk persepsi tentang IPS yang baik dan positif dikalangan siswa. Sedangkan untuk menumbuhkan kreativitas belajar matematika dilakalangan siswa dapat dilakukan dengan menerapkan pendekatan-pendekatan pembelajaran yang dapat memancing kreativitas IPS siswa, seperti pendekatan Kooperatif.

(29)

siswa masih beranggapan bahwa guru sebagai satu-satunya sumber belajar. Hal ini terlihat pada saat pembelajaran siswa hanya menerima yang diberikan oleh guru untuk dihapalkan.

Semua ini menunjukan bahwa guru masih enggan melakukan pembelajaran yang inovatif. Proses pembelajaran yang terjadi di SMPN 1 Tumijajar masih jauh dari harapan yang diinginkan terutama dalam proses pembelajaran. Hal tersebut terlihat ketika proses pembelajaran yang dilaksanakan oleh para guru yang ada di SMP Negeri 1 Tumijajar masih banyak yang konvensional tanpa menggunakan model belajar yang dapat membuat siswa lebih termotivasi dan tertarik dalam proses pembelajaran. Proses pembelajaranpun masih terbilang satu arah jarang sekali siswa yang aktif untuk bertanya dan menjawab pertanyaan ketika proses belajar berlangsung, guru masih mendominasi proses pembelajaran tanpa menghiraukan siswanya paham atau belum terhadap materi pelajaran yang telah disampaikan.

Meskipun pada kenyataannya guru IPS yang mengajar di SMP Negeri 1 Tumijajar sudah ada yang mendapatkan sertifikat pendidik profesional akan tetapi permasalahan pembelajaran IPS seperti yang telah dijelaskan di atas, masih saja berlangsung saampai sekarang. Menyikapi permasalahan tersebut, tentu saja hal ini perlu mendapatkan perhatian serius apabila sekolah ingin meningkatkan kualitas pembelajaraan, khususnya mata pelajaran IPS.

(30)

jumlah guru yang mengajar di SMP Negeri 1 Tumijajar berjumlah 42 orang, dengan perbandingan guru pria berjumlah 20 orang dan guru wanita berjumlah 22 orang. Sedangkan jumlah guru yang mengajar mata pelajaran IPS adalah sebanyak 7 orang dengan perbandingan 1 guru pria dan 6 lainnya guru wanita yang memiliki kualifikasi pendidikan yang berbeda-beda dan pengalaman mengajar serta pengalaman mengikuti pelatihan yang berkiatan dengan mata pelajaran yang diampu pun berbeda pula. Hal ini tentu saja dapat mempengaruhi kemampuan guru dalam mengelola pembelajaran yang berkualitas bagi peserta didik.

[image:30.595.136.519.442.655.2]

Adapun daftar nama guru yang mengajar mata pelajaran IPS dapat, dapat terlihat seperti pada Tabel 1.3 sebagai berikut :

Tabel 1.3 Daftar Guru IPS di SMP Negeri 1 Tumijajar

No Nama Guru Kualifikasi Pendidikan Pelatihan/ Diklat 1 Dardanila, S.Pd S1 Pendidikan Sejarah Kurikulum KBK,

KTSP, Kurikulum 2013

2 Wartini, S.Pd S1 Pendidikan Bahasa Indonesia

Kurikulum KTSP, Kurikulum 2013 3 Nurjanah, S.Pd S1 Pendididkan

Bahasa Indonesia

- 4 Hanifah, S.Pd S1 Pendidikan Ekonomi - 5 Feranita, S.Pd S1 Pendidikan

Bahasa Indonesia

Kurikulum KBK 6 Elni Usman, S.Pd S1 Pendidikan Ekonomi Kurikulum KTSP 7 I Nyoman Sidra, D1 Keterampilan Jasa -

Sumber : Tata usaha SMPN 1 Tumijajar Tahun 2013

(31)

memiliki standar minimal kualifikasi akademik yaitu strata satu (S1), akan tetapi tujuh guru yang mengajar IPS, hanya 3 orang saja yang memiliki kualifikasi pendidikan IPS, itu pun bukan S1 Pendidikan IPS murni akan tetapi S1 Pendidikan Ekonomi, sedangkan 3 orang guru yang lain memiliki kualifikasi pendidikan S1 Pendidikan Bahasa Indonesia dan sisanya satu orang guru memiliki kualifikasi pendidikan D1 keterampilan jasa.

Selain kualifikasi pendidikan yang dimiliki guru kurang sesuai, guru IPS di SMP Negeri 1 Tumijajar juga kurang memilki pengalaman dalam mengikuti pelatihan atau diklat yang berkaitan dengan peningkatan mutu pembelajaraan IPS. Terlihat dari tujuh guru IPS, hanya satu orang guru saja yang pernah mengikuti pelatihan pengembangan kurikulum terbaru, sedangkan guru yang lain hanya pernah mengikuti sosialisasi kurikulum, bahkan ada yang belum pernah mengikuti diklat sama sekali yang berkaitan dengan pembelajaraan IPS. Karena letak geografis sekolah yang jauh dari ibu kota kabupaten, maka jarang ada pelatihan-pelatihan bagi guru mata pelajaran. Hanya sekali-kali beberapa orang guru mata pelajaran tersebut mengikuti Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) yang diadakan oleh dinas pendidikan kabupaten.

(32)

karena tidak tersedianya sarana dan prasarana mengajar yang memadai seperti di kota juga merupakan hambatan bagi guru untuk lebih berkreasi dalam menyajikan pelajaran. Oleh karena itu kompetensi guru mata pelajaran IPS di SMP Negeri 1 Tumijajar dalam mengembangkan model pembelajaraan yang sesuai dengan karakteristik mata pelajaran dan peserta didik yang sesuai dengan kurikulum belum optimal.

Meskipun kurikulum yang digunakan di sekolah SMP Negeri Tumijajar yaitu KTSP, namun paradigma lama di mana guru merupakan pusat kegiatan belajar di kelas (teacher center) masih dipertahankan dengan alasan pembelajaran seperti ini adalah yang paling praktis dan tidak menyita banyak waktu, padahal terkadang siswa menjadi tidak aktif. Oleh karena itu dalam melaksanakan proses belajar mengajar diperlukan langkah-langkah sistematis untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan. Hal yang harus dilakukan dengan menggunakan model pembelajaraan yang sesuai dengan kondisi siswa agar siswa dapat berpikir kritis, logis, dan dapat memecahkan masalah dengan sikap terbuka, kreatif, dan inovatif.

(33)

Terdapat banyak model pembelajaran inovatif, salah satunya adalah model pembelajaran kooperatif (cooperative learning) dengan tipe Number Head Together (NHT). Model pembelajaran kooperatif tumbuh dari suatu tradisi pendidikan yang menekankan berpikir dan latihan bertindak demokratis, pembelajaran aktif, perilaku kooperatif, dan menghormati perbedaan dalam masyarakat multibudaya.

Penerapan model pembelajaran NHT lebih mengutamakan keaktifan siswa dan memberi kesempatan siswa untuk mengembangkan potensinya secara maksimal. Dengan penggunaan model pembelajaraan kooperatif tipe NHT diharapkan dapat berpengaruh yang signifikan terhadap kreativitas belajar.

Penerapan pembelajaran kooperatif tipe NHT juga dinilai lebih memudahkan siswa berinteraksi dengan teman-teman dalam kelas dibandingkan dengan model pembelajaran langsung yang selama ini diterapkan oleh guru. Pada model pembelajaran kooperatif tipe NHT siswa perlu berkomunikasi satu sama lain (banyak arah), sedangkan pada model pembelajaran langsung siswa duduk berhadap-hadapan dengan guru dan terus memperhatikan gurunya (teacher center).

(34)

B.Identifikasi Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka masalah ini dapat di identifikasikan sebagai berikut,

1. Proses pembelajaran IPS di SMPN 1 Tumijajar masih konvensional dan kurang menunjang siswa untuk mengekspresikan berfikir kreatif.

2. Kemampuan guru menggunakan pendekatan pembelajaran kooperatif masih kurang.

3. Persepsi siswa yang masih kurang baik tentang pembelajaran IPS. 4. Rendahnya kreativitas belajar.

5. Masih rendahnya motivasi belajar.

6. Kemampuan mengajar guru masih rendah. 7. Rendahnya prestasi belajar IPS .

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan identifikasi masalah di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dibatasi pada masalah :

1. Persepsi siswa tentang penggunaan model pembelajaran Numbered Heads Together (NHT) dalam pembelajaran IPS di SMP Negeri Tumijajar Kabupaten Tulang Bawang Barat.

2. Motivasi belajar siswa dalam belajar IPS di SMP Negeri Tumijajar Kabupaten Tulang Bawang Barat.

(35)

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah pokok yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah

1.Apakah ada pengaruh persepsi siswa tentang penggunaan model pembelajaran tipe Numbered Heads Together (NHT) terhadap kreativitas belajar siswa dalam pembelajaraan IPS di SMP Negeri Tumijajar Kabupaten Tulang Bawang Barat ?

2.Apakah ada pengaruh motivasi belajar siswa terhadap kreativitas belajar siswa dalam pembelajaran IPS di SMP Negeri Tumijajar Kabupaten Tulang Bawang Barat?

3.Apakah ada pengaruh persepsi siswa tentang penggunaan model pembelajaran tipe Numbered Heads Together (NHT) dan motivasi belajar terhadap kreativitas belajar siswa dalam pembelajaran IPS di SMP Negeri Tumijajar Kabupaten Tulang Bawang Barat ?

E. Tujuan Dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk

1) Untuk mengetahui pengaruh persepsi siswa tentang penggunaan model pembelajaran tipe Numbered Heads Together (NHT) terhadap kreativitas belajar siswa dalam pembelajaran IPS di SMP Negeri Tumijajar Kabupaten Tulang Bawang Barat.

(36)

3) Untuk mengetahui pengaruh persepsi siswa tentang penggunaan model pembelajaran tipe Numbered Heads Together (NHT) dan motivasi belajar siswa terhadap kreativitas belajar siswa dalam pembelajaran IPS di SMP Negeri Kecamatan Tumijajar Kabupaten Tulang Bawang Barat.

2. Kegunaaan Penelitian a. Kegunaan Teoritis

Secara teoritis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan yang terkait dengan teori-teori pembelajaraan dalam pembelajaran mata pelajaran IPS. Selanjutnya dapat menjadi rujukan dalam peningkatan kualitas pembelajaran di lapangan secara langsung. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi bagi penelitian lainya yang terkait dengan penggunaan pembelajaraan kooperatif tipe Number Head Together.

b. Kegunaan Praktis

Secara praktis, penelitian ini mempunyai kegunaan:

(37)

pentingnya model pembelajaran, dalam hal ini adalah model pembelajaraan kooperatif tipe Number Head Together.

2. Bagi guru, khususnya mata pelajaran Pendidikan IPS, hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan untuk menggunakan model pembelajaran kooperatif tipe Number Head Together dalam proses pembelajaraan IPS yang diterapkan kepada peserta didik dengan pengembangan yang disesuaikan pada karakteristik sekolahnya masng-masing.

3. Bagi sekolah, khususnya SMP Negeri 1 Tumijajar kecamatan Tulang Bawang Barat dapat dipakai sebagai sumbangan pemikiran untuk lebih meningkatkan proses pembelajaran khususnya dalam menggunakan model-model pembelajaran dalam proses pembelajaraan mata pelajaran IPS.

4. Bagi program studi, hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai sumbangan pemikiran dalam dunia pendidikan khususnya dalam meningkatkan mutu pembelajaran Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial yang berkaitan degan penggunaan model pembelajaran kooperatif tipe Number Head Together.

F. Ruang Lingkup Penelitian

Terdapat 10 konsep social studies dari NCSS, yaitu (1) culture; (2) time, continuity and change; (3) people, places and environments; (4) individual development and identity; (5) individuals, group, and institutions; (6) power,

(38)

science, technology and society; (9) global connections, dan; (10) civic

idealsand practices. (NCSS dalam http://www.socialstudies .org/standar/exec.html).

Sedangkan menurut Roberta Woolover dan Khatryn P. Scoot (1987) terdapat lima prespektif dalam penagajaran IPS yaitu :

1) IPS diajarkan sebagai pewarisan nilai kewarganegaraan 2) IPS diajarkan sebagai pendidikan ilmu-ilmu sosial 3) IPS diajarkan sebagai cara berfikir refektif

4) IPS diajarkan sebagai pengembangan pribadi siswa

5) IPS diajarkan sebagai proses pengambilan keputusan dan tindakan yang rasional.

(39)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A.Deskripsi Teoritis 1. Persepsi

a. Pengertian Persepsi

Setiap orang mempunyai persepsi sendiri mengenai apa yang dipikirkan, dilihat, dan dirasakan. Hal tersebut sekaligus berarti bahwa persepsi menentukan apa yang akan diperbuat seseorang untuk memenuhi berbagai kepentingan baik untuk diri sendiri, keluarga, maupun lingkungan masyarakat tempat berinteraksi. Persepsi inilah yang membedakan seseorang dengan yang lain. Persepsi dilahirkan dari hasil kongkritisasi pemikiran, kemudian melahirkan konsep atau ide yang berbeda-beda dari masing-masing orang meskipun objek yang dilihat sama.

Dikemukakan oleh Drever (2010: 1) “Persepsi adalah suatu proses

pengenalan atau identifikasi sesuatu dengan menggunakan panca indera.”

Definisi lainnya, “Persepsi merupakan suatu proses dimana seseorang dapat

memilih, mengatur, dan mengartikan informasi menjadi suatu gambar yang

(40)

sebagai suatu kesan yang diterima individu melalui panca indera, untuk kemudian dipilih, diatur, dan diartikan menjadi sebuah informasi yang berarti. Proses penginderaan seseorang akan berlangsung setiap saat, dimana ia menerima stimulus dari luar melalui alat inderanya. Stimulus dari inderanya kemudian diorganisasikan dan diinterpretasikan sehingga seseorang tersebut menyadari dan mengerti tentang apa yang diinderanya. Dengan persepsi seseorang akan mampu mengaitkan objek dan dengan persepsi pula seseorang akan menyadari tentang keadaan di sekitarnya serta keadaan dirinya.

Ma’rat berpendapat mengenai persepsi sebagai berikut: “Persepsi

merupakan proses pengamatan seseorang yang berasal dari komponen kognisi. Persepsi dipengaruhi oleh faktor-faktor pengalaman, proses belajar, cakrawala, dan pengetahuan. Manusia mengamati suatu objek psikologik dengan kacamatanya sendiri yang diwarnai oleh nilai diri pribadinya. Sedangkan objek psikologik ini dapat berupa kejadian, ide, atau situasi tertentu. Faktor pengalaman, proses belajar, atau sosialisasi memberikan bentuk dan struktur terhadap apa yang di lihat. Sedangkan pengetahuannya dan cakrawalanya memberikan arti terhadap objek psikologik tersebut.

(Mar’at, 1984: 22)

Berdasarkan pendapat Mar’at, terciptanya persepsi dipengaruhi oleh faktor

(41)

objek lain melalui proses pengidentifikasian terlebih dahulu menggunakan panca indera untuk kemudian dimaknai dan diinferensionalkan (ditarik kesimpulan).

Untuk kepentingan penelitian yang dilakukan, maka peneliti mengartikan persepsi sebagai proses identifikasi objek tertentu melalui panca indera untuk kemudian dipilih, diatur, dan diartikan menjadi sebuah informasi yang berarti. Persepsi peserta didik diartikan sebagai pandangan atau tanggapan peserta didik terhadap objek tertentu melalui panca indera berdasarkan faktor pengalaman dan pengetahuannya sendiri.

b. Faktor, Pengaruh, dan Proses Terjadinya Persepsi

Setelah diberikan penjelasan mengenai apa itu persepsi, maka perlu juga diketahui faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi persepsi itu sendiri. Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi ini akan sangat memungkinkan timbulnya persepsi yang berbeda antara orang yang satu dengan yang lain

meskipun objeknya sama. Menurut Mar’at (1984: 22) persepsi ini

dipengaruhi oleh dua faktor, yakni faktor intern dan ekstern, yaitu: 1) faktor intern : pengetahuan dan cakrawala

2) faktor ekstern : pengalaman dan proses belajar

(42)

cakrawala akan menimbulkan ide yang sebelumnya telah dipadukan dengan pengalaman melalui proses berfikir, memilih, mengambil keputusan, dan menarik kesimpulan untuk kemudian menjadi sebuah konsep mengenai objek yang dilihat. Pengaruh pengadaan persepsi yaitu:

1) Objek : adanya objek yang dipersepsikan.

2) Alat indera, saraf, dan pusat susunan saraf : alat indera atau reseptor merupakan alat untuk menerima stimulus. Selain itu juga harus ada saraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan saraf yaitu otak sebagai pusat kesadaran.

3) Perhatian: untuk menyadari atau untuk mengadakan persepsi diperlukan adanya perhatian ( Walgito, 2004: 89-90).

Seorang peserta didik dapat mengadakan persepsi karena pengaruh beberapa faktor ini. Yaitu adanya objek yang dipersepsikan, berfungsinya alat indera dan saraf untuk mengolah informasi, dan perhatian terhadap objek sehingga melahirkan atau menghasilkan persepsi. Mengenai objek yang dipersepsikan, akan menimbulkan stimulus yang mengenai alat pengindera atau reseptor. Alat indera ini berupa mata, telinga, dan hidung. Alat indera atau reseptor ini bertugas untuk menerima stimulus, kemudian direspon oleh saraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus yang diterima reseptor ke pusat susunan saraf yaitu otak sebagai pusat kesadaran.

(43)

konsentrasi dari seluruh aktifitas individu yang ditujukan kepada suatu objek atau sekumpulan objek. Dari keseluruhan proses berangkai tersebut, baru suatu persepsi dapat terlahir atau tercipta. Hal ini bisa diperjelas lagi berdasarkan teori Bimo Walgito mengenai bagaimana suatu persepsi yang telah tercipta itu sebelumnya memang diproses terlebih dahulu.

Proses terjadinya persepsi dapat berlangsung jika: 1) Stimulus mengenai alat indera (proses fisik)

2) Stimulus kemudian dilangsungkan ke otak oleh saraf sensoris (proses fisiologis)

3) Di otak terjadilah suatu pemrosesan data yang akhirnya individu dapat menyadari atau mempersepsikan tentang apa yang diterima melalui alat indera (proses psikologis) (Walgito, 2004: 119).

Dari pendapat Bimo Walgito tersebut, maka sudah jelas bahwa dalam melakukan suatu persepsi, tidak serta merta terlahir begitu saja, melainkan tercipta melalui suatu rangkaian proses dengan susunannya yang sistematik. Dari rangkaian proses yang tersusun secara sistematik inilah kemudian menghasilkan persepsi.

c. Prinsip Dasar Persepsi

(44)

2) Persepsi itu selektif

3) Persepsi itu mempunyai tatanan

4) Persepsi dipengaruhi oleh harapan dan kesiapan (penerima rangsangan) 5) Persepsi seseorang dengan yang lain akan berbeda meskipun objeknya

sama.

Mengenai prinsip persepsi yang bersifat relatif, ini dikarenakan manusia bukan instrumen ilmiah yang mampu menyerap segala sesuatu seperti keadaan sebenarnya. Persepsi juga bersifat selektif. Hal ini dikarenakan seseorang hanya mampu memperhatikan beberapa rangsangan dari banyak rangsangan yang ada disekelilingnya pada saat tertentu. Rangsangan yang diterima akan sangat bergantung pada apa yang pernah ia pelajari, apa yang menarik perhatiannya pada suatu saat, dan ke arah mana persepsi itu mempunyai kecenderungan.

(45)

Persepsi menurut Irwanto dkk. (1996) adalah proses diterimanya rangsang

(objek, kualitas, hubungan antar gejala maupun peristiwa) sampai rangsang itu

disadari dan dimengerti. Sedangkan model pembelajaraan kooperatif tipe Number Head Together (NHT) merupakan salah satu tipe pembelajaran

kooperatif yang menekankan pada struktur khusus yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa dan memiliki tujuan untuk meningkatkan penguasaan akademik.

Persepsi terhadap model pembelajaraan NHT dapat diartikan sebagai proses

pengenalan dan pemahaman akan model pembelajaraan yang dilaksanakan guru

dalam pembelajaraan untuk mempengaruhi pola interaksi antara siswa dengan guru, dan antara siswa dengan siswa lainnya untuk meningkatkan penguasaan akademik dan kreativitas siswa.

Persepsi siswa akan akan penggunaan model pembelajaraan didasarkan pada

seberapa baik guru menciptakan kondisi pembelajaraan yang didalamnya

terdapat hubungan yang bernilai, saling mendorong dan mendukung, sehingga

tercipta suasana pembelajaran yang menyenangkan.

Amar & Strugo (2003: 24) menyatakan perasaan senang akan muncul apabila

siswa berada pada kelas yang mengikutsertakan keterlibatan mereka di dalam

kelas, memiliki hubungan personal antara guru dengan murid, memakai cara

belajar yang inovatif, serta memiliki aturan-aturan tingkah laku yang jelas. Hal

(46)

pikiran dan perasaannya (Rogers, dalam Munandar, 2009: 32).

Mengukur persepsi hampir sama dengan mengukur sikap. Walaupun materi yang diukur bersifat abstrak, tetapi secara ilmiah sikap dan persepsi dapat diukur, dimana sikap terhadap obyek diterjemahkan dalam sistem angka. Dua metode pengukuran persepsi terdiri dari metode Self Report dan pengukuran Involuntary Behavior.

1. Self Report merupakan suatu metode dimana jawaban yang diberikan dapat menjadi indikator sikap seseorang. Namun kelemahannya adalah bila individu tidak menjawab pertanyaan yang diajukan maka tidak dapat mengetahui pendapat atau sikapnya.

2. Involuntary Behaviour dilakukan jika memang diinginkan atau dapat dilakukan oleh responden, dalam banyak situasi akurasi pengukuran sikap dipengaruhi kerelaan responden (Azzahy, 2010: 43).

Merujuk pada pernyataan di atas, bahwa mengukur persepsi hampir sama dengan mengukur sikap, maka skala untuk mengukur persepsi siswa peneliti menggunakan skala likert yang dimodifikasi untuk mengungkap persepsi sehingga dapat diketahui apakah persepsi seseorang positif, atau negatif terhadap suatu hal atau obyek. Persepsi positif terhadap penggunaan model pembelajaraan NHT ialah persepsi yang menggambarkan penggunaan

model pembelajaraan sebagai model pembelajaran yang menyenangkan.

Persepsi negatif dari penggunaan model pembelajaraan NHT adalah persepsi

yang menggambarkan penggunaan model pembelajaraan yang kurang

(47)

pembelajaraan NHT yang digunakan guru dalam pembelajaraan IPS adalah

dengan melihat ruang lingkup pembelajaran. Sedangkan ruang lingkup pembelajaran menurut Soeprijanto (2010, 37-49) mencakup: 1) pendahuluan, 2) kegiatan inti dan 3) Kegiatan akhir/penutup. Pendahuluan pembelajaraan menggambarkan persepsi siswa mengenai kegiatan awal pada penggunan model pembelajaraan NHT, kegiatan inti berkaitan dengan persepsi siswa mengenai proses pembelajaran yang berlangsung, sedangkan penutup pembelajaran berkaitan dengan persepsi siswa tentang kegiatan akhir yang dilaksakan guru dalam penggunaan model pembelajaraan NHT.

2. Pengertian Belajar

Sebagian besar ahli berpendapat bahwa belajar adalah merupakan proses perubahan, dimana perubahan tersebut merupakan hasil dari pengalaman. Dengan perkembangan teknologi informasi, belajar tidak hanya diartikan sebagai suatu tindakan terpisah dari kehidupan manusia. Banyak ilmuwan yang mengatakan belajar menurut sudut pandang mereka.

(48)

Menurut Slameto (2003: 2) belajar adalah “suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam

interaksi dengan lingkungannya.” Selanjutnya Winkel dalam Slameto

(2003: 53) belajar adalah “suatu aktivitas mental/psikis yang berlangsung dalam interaksi yang aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, keterampilan dan nilai sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif konstant”. Masih dalam Slameto (2003: 2) dinyatakan bahwa belajar ialah suatu proses usaha yang dilakukan seseorang untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru secara keseluruhan, sebagai hasil pengalamannya sendiri dalam interaksi dengan lingkungannya. Belajar merupakan proses perubahan tingkah laku seseorang terhadap situasi tertentu yang disebabkan oleh pengalaman yang berulang-ulang dalam situasi itu, dimana perubahan tingkah laku itu tidak dapat dilepaskan.

Kemudian Hamalik dalam Slameto (1983: 28) mendefinisikan belajar

adalah “suatu pertumbuhan atau perubahan dalam diri seseorang yang

dinyatakan dalam cara-cara bertingkah laku yang baru berkat pengalaman

dan latihan”. Lebih lanjut Hamalik dalam Dimyati dan Mujiono (1999: 27)

(49)

dimiliki sebelumnya.

Sedangkan menurut R. Gagne dalam Slameto (2003 : 22) Belajar adalah suatu proses untuk memperoleh motivasi dalam pengetahuan, ketrampilan, kebiasaan dan tingkah laku. Kemudian menurut Winkel dalam Dimyati (1999: 59), belajar merupakan suatu aktivitas mental/psikis, yang berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan sejumlah perubahan dalam pengetahuan-pemahaman, keterampilan dan nilai-sikap. Perubahan itu meliputi hal-hal yang bersifat internal seperti pemahaman dan sikap, serta mencakup hal-hal yang bersifat eksternal seperti keterampilan motorik dan berbicara dalam bahasa asing.

Menurut Sudjana (1992: 28), belajar bukan menghafal dan bukan pula mengingat. Belajar adalah suatu proses yang ditandai dengan adanya perubahan pada diri seseorang. Perubahan sebagai hasil proses belajar dapat ditunjukkan dalam berbagai bentuk seperti berubah pengetahuannya, pemahamannya, sikap dan tingkah lakunya, keterampilannya, kecakapan dan kemampuannya, daya reaksinya, daya penerimaannya dan lain-lain aspek yang ada pada individu. Belajar adalah proses yang diarahkan kepada tujuan, proses berbuat melalui berbagai pengalaman.

(50)

proses interaksi antara suatu perilaku. Pada saat orang belajar, maka responnya menjadi lebih baik. Sebaliknya, bila ia tidak belajar maka responnya menurun.

Menurut Morgan yang dikutip Singgih D Gunarso dalam Oemar Hamalik (1986: 23) merumuskan, “belajar sebagai suatu perubahan, yang relatif menetap dalam tingkah laku sebagai akibat (hasil) dari

pengalaman yang lalu”. Selanjutnya dikatakan bahwa setiap tingkah

laku yang kita perlihatkan sebenarnya adalah hasil dari kita, mempelajarai, baik hal ini pelajaran-pelajaran di sekolah, mengenai nilai-nilai sosial, mengenai adaptasi kebiasaan maupun mengenai motif-motif (dorongan-dorongan). Menurut psikologi Gestalt, seseorang belajar jika ia mendapat insight.

Berdasarkan beberapa pendapat tentang pengertian belajar dapat disimpulkan bahwa belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku, pengetahuan, pemahaman, keterampilan, dan nilai-sikap yang tidak disebabkan oleh pembawaan, kematangan, dan keadaan-keadaan sesaat seseorang, namun terjadi sebagai hasil latihan dalam interaksi dengan lingkungan.

3. Teori Belajar

a. Teori Belajar Konstruktivisme Jean Piaget

(51)

pikiran seorang anak dengan kegiatan asimilasi dan akomodasi sesuai dengan skemata yang dimilikinya.

Adapun implikasi dari teori belajar konstruktivisme dalam pendidikan anak (Poedjiadi, 1999: 63) adalah sebagai berikut: (1) tujuan pendidikan menurut teori belajar konstruktivisme adalah menghasilkan individu atau anak yang memiliki kemampuan berpikir untuk menyelesaikan setiap persoalan yang dihadapi, (2) kurikulum dirancang sedemikian rupa sehingga terjadi situasi yang memungkinkan pengetahuan dan keterampilan dapat dikonstruksi oleh peserta didik. Selain itu, latihan memcahkan masalah seringkali dilakukan melalui belajar kelompok dengan menganalisis masalah dalam kehidupan sehari-hari dan (3) peserta didik diharapkan selalu aktif dan dapat menemukan cara belajar yang sesuai bagi dirinya. Guru hanyalah berfungsi sebagai mediator, fasilitor, dan teman yang membuat situasi yang kondusif untuk terjadinya konstruksi pengetahuan pada diri peserta didik.

Dikatakan juga bahwa pembelajaran yang memenuhi metode konstruktivis hendaknya memenuhi beberapa prinsip, yaitu: a) menyediakan pengalaman belajar yang menjadikan peserta didik dapat melakukan konstruksi pengetahuan; b) pembelajaran dilaksanakan dengan mengkaitkan kepada kehidupan nyata; c) pembelajaran dilakukan dengan mengkaitkan kepada kenyataan yang sesuai; d) memotivasi peserta didik untuk aktif dalam pembelajaran; e) pembelajaran dilaksanakan dengan menyesuaikan kepada kehidupan social peserta didik; f) pembelajaran menggunakan barbagia sarana; g) melibatkan emosional peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuan peserta didik (Knuth & Cunningham,1996: 37).

b. Teori Belajar Konstruktivisme Vygotsky

(52)

Kedua, perkembangan bergantung pada sistem-sistem isyarat mengacu pada simbol-simbol yang diciptakan oleh budaya untuk membantu orang berpikir, berkomunikasi dan memecahkan masalah, dengan demikian perkembangan kognitif anak mensyaratkan sistem komunikasi budaya dan belajar menggunakan sistem-sistem ini untuk menyesuaikan proses-proses berpikir diri sendiri.

Menurut Slavin (Ratumanan, 2004: 49) ada dua implikasi utama teori Vygotsky dalam pendidikan. Pertama, dikehendakinya setting kelas berbentuk pembelajaran kooperatif antar kelompok-kelompok siswa dengan kemampuan yang berbeda, sehingga siswa dapat berinteraksi dalam mengerjakan tugas-tugas yang sulit dan saling memunculkan model-model pemecahan masalah yang efektif di dalam daerah pengembangan terdekat/proksimal masing-masing. Kedua, pendekatan Vygotsky dalam pembelajaran menekankan perancahan (scaffolding). Dengan scaffolding, semakin lama siswa semakin dapat mengambil tanggungjawab untuk pembelajarannya sendiri.

Interaksi sosial individu dengan lingkungannya sengat mempengaruhi perkembanganbelajar seseorang, sehingga perkemkembangan sifat-sifat dan jenis manusia akan dipengaruhi oleh kedua unsur tersebut. Menurut Vygotsky dalam Slavin (2000: 48), peserta didik melaksanakan aktivitas belajar melalui interaksi dengan orang dewasa dan teman sejawat yang mempunyai kemampuan lebih. Interaksi sosial ini memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual peserta didik.

(53)

perkembangan terdekat mereka, tugas yang tidak dapat diselesaikan sendiri akan dapat mereka selesaikan dengan bimbingan atau bantuan orang lain.

c. Teori Belajar Behavioristik

Menurut teori behavioristik belajar adalah perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman (Gage dan Berliner, 1984) Belajar merupakan akibat adanya interaksi antara stimulus dan respon (Slavin, 2000: 59). Seseorang dianggap telah belajar sesuatu jika dia dapat menunjukkan perubahan perilakunya. Menurut teori ini dalam belajar yang penting adalah input yang berupa stimulus dan output yang berupa respon. Stimulus adalah apa saja yang diberikan guru kepada siswa, sedangkan respon berupa reaksi atau tanggapan siswa terhadap stimulus yang diberikan oleh guru tersebut. Proses yang terjadi antara stimulus dan respon tidak penting untuk diperhatikan karena tidak dapat diamati dan tidak dapat diukur. Yang dapat diamati adalah stimulus dan respon, oleh karena itu apa yang diberikan oleh guru (stimulus) dan apa yang diterima oleh siswa (respon) harus dapat diamati dan diukur. Teori ini mengutamakan pengukuran, sebab pengukuran merupakan suatu hal penting untuk melihat terjadi atau tidaknya perubahan tingkah laku tersebut.

(54)

semakin kuat.

Beberapa prinsip dalam teori belajar behavioristik, meliputi: (1) Reinforcement and Punishment; (2) Primary and Secondary Reinforcement;

(3) Schedules of Reinforcement; (4) Contingency Management; (5) Stimulus Control in Operant Learning; (6) The Elimination of Responses (Gage,

Berliner, 1984).

4. Model Pembelajaran

Model pembelajaran dapat diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didisain untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu (J.R. David dalam Sanjaya, (2008: 126). Selanjutnya dijelaskan model pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien (Kemp dalam Sanjaya, 2008: 126). Istilah model sering digunakan dalam banyak konteks dengan makna yang selalu sama. Dalam konteks pengajaran model bisa diartikan sebagai suatu pola umum tindakan guru-peserta didik dalam manifestasi aktivitas pengajaran (Ahmad Rohani dalam Nana Sudjana, 2004: 32).

(55)

“taktik” yang digunakan guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar

(pengajaran) agar dapat mempengaruhi para siswa (peserta didik) mencapai tujuan pengajaran secara lebih efektif dan efisien (Nana Sudjana dalam Rohani, dalam Nana Sudjana 2004: 34). Jadi menurut Nana Sudjana, model mengajar/pengajaran ada pada pelaksanaan, sebagai tindakan nyata atau perbuatan guru itu sendiri pada saat mengajar berdasarkan pada rambu-rambu dalam satuan pelajaran. Berdasarkan pendapat di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa model pembelajaran harus mengandung penjelasan tentang metode/prosedur dan teknik yang digunakan selama proses pembelajaran berlangsung. Dengan kata lain, model pembelajaran mempunyai arti yang lebih luas daripada metode dan teknik. Artinya, metode/prosedur dan teknik pembelajaran merupakan bagian dari model pembelajaran. Dari metode, teknik pembelajaran diturunkan secara aplikatif, nyata, dan praktis di kelas saat pembelajaran berlangsung.

Menurut Mulyasa (2007: 246), “model pembelajaran yaitu model yang digunakan dalam pembelajaran, seperti diskusi, pengamatan dan tanya jawab, serta kegiatan lain yang dapat mendorong pembentukkan

kompetensi peserta didik”.

(56)

waktu terjadi interaksi antara guru dan siswa yang sama-sama aktif dalam pembelajaran. Menurut J. Salusu yang dikutip Mulyani Sumantri dan Johar Permana (2007: 101), model sebagai suatu seni menggunankan kecakapan dan sumber daya untuk mencapai sasarannya melaui hubungan yang efektif dengan lingkungan dan kondisi yang paling menguntungkan.

Dalam perkembangannya istilah model juga digunakan dalam bidang pendidikan atau pengajaran, sehingga muncul istilah model pengajaran atau model belajar mengajar. Model dalam pengertian yang sama dengan metode yaitu untuk menggambarkan keseluruhan prosedur yang sistematis untuk mencapai tujuan.

Kemudian memberi batasan mengenai model belajar mengajar adalah sebagaimana digunakan untuk menunjukkan siasat atau keseluruhan aktivitas yang dilakukan oleh guru untuk menciptakan suasana belajar mengajar yang sangat kondusif bagi tercapainya tujuan pendidikan. Secara singkat model pembelajaran pada dasarnya mencakup empat hal utama yaitu: (1) Penetapan tujuan pengajaran; (2) Pemilihan sistem pendekatan belajar mengajar; (3) Pemilihan dan penetapan prosedur, metode dan teknik belajar mengajar; dan (4) Penetapan kriteria keberhasilan proses belajar mengajar dari evaluasi yang dilakukan.

(57)

mengajar. Istilah lain yang juga dipergunakan dan sama maksudnya dengan model belajar mengajar adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanakan aktivitas belajar mengajar.

Implementasi konsep model pembelajaran dalam kondisi proses belajar mengajar ini ada beberapa pengertian sebagai berikut.

1) Model pembelajaran merupakan suatu keputusan bertindak dari guru dengan menggunakan kecakapan dan sumber daya pendidikian yang tersedia untuk mencapai tujuan melalui hubungan yang efektif antara lingkungan dan kondisi yang paling menguntungkan.

2) Model pembelajaran merupakan garis besar bertindak dalam mengelola proses kegiatan belajar mengajar untuk mencapai tujuan pembelajaran yang efektif dan efisien.

3) Model dalam proses pembelajaran merupakan suatu rencana yang dipersiapkan secara seksama untuk mencapai tujuan-tujuan belajar. 4) Model merupakan pola umum perbuatan guru dan peserta didik

di dalam perwujudan pembelajaran. Pola ini menunjukkan macam dan urutan perbuatan yang ditampilkan guru dan peserta didik di dalam bermacam-macam peristiwa pembelajaran.

(58)

pembelajaran.

Model pembelajaran menurut Romiszowski merupakan pandangan dan alur kegiatan yang digunakan orang dalam memilih metode pembelajaran. Ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan oleh Worrel dan Stilwell yang mengatakan bahwa model pembelajaran adalah penerapan perencanaan dan metode pembelajaran untuk membantu mahasiswa mencapai tujuan pembelajaran (Worel, Judith dan Stilwell, dalam Sunaryo, 1989: 234).

Menurut Suparman model pembelajaran merupakan perpaduan dari urutan kegiatan dan cara pengorganisasian materi pelajaran, mahasiswa, peralatan, bahan, dan waktu yang digunakan dalam proses pembelajaran untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan (Suparman, dalam Sanjaya (2007: 157).

Menurut Sanjaya (2007 : 126) dalam dunia pendidikan, model diartikan

sebagai perencanaan yang berisi tentang rangkaian kegiatan yang didesain

untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.

Berdasarkan beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa model

pembelajaran merupakan suatu rencana tindakan (rangkaian kegiatan) yang

termasuk juga penggunaan metode dan pemanfaatan berbagai sumber

daya/kekuatan dalam pembelajaran. Ini berarti bahwa di dalam penyusunan

suatu model baru sampai pada proses penyusunan rencana kerja belum

sampai pada tindakan. Model disusun untuk mencapai tujuan tertentu,

artinya disini bahwa arah dari semua keputusan penyusunan model adalah

(59)

dalam upaya pencapaian tujuan. Namun sebelumnya perlu dirumuskan suatu

tujuan yang jelas yang dapat diukur keberhasilannya.

5. Motivasi Belajar a. Pengertian Motivasi

Motivasi berpangkal dari kata motif yang dapat diartikan sebagai daya penggerak yang ada di dalam diri seseorang untuk melakukan aktivitas-aktivitas tertentu demi tercapainya suatu tujuan. Bahkan motif dapat diartikan sebagai suatu kondisi intern (kesiapsiagaan).

Adapun menurut Mc. Donald (dalam Djamarah, 2008: 138) , “motivasi adalah perubahan energi dalam diri seseorang yang ditandai dengan

munculnya “feeling” dan di dahului dengan tanggapan terhadap adanya

tujuan”. Dari pengertian yang dikemukakan oleh Mc. Donald ini

mengandung tiga elemen/ciri pokok dalam motivasi itu, yakni motivasi itu mengawalinya terjadinya perubahan energi, ditandai dengan adanya feeling,

dan dirangsang karena adanya tujuan.”

Menurut Maslow (Jalaludin, 2007 : 56) motivasi ada dua, yaitu:

a. Motivasi Intrinsik. Jenis motivasi ini timbul dari dalam diri individu sendiri tanpa ada paksaan dorongan orang lain, tetapi atas dasar kemauan sendiri.

(60)

melakukan sesuatu atau belajar.”

Teori-teori yang menjelaskan tentang motivasi antara lain adalah teori hedonisme, teori naluri, teori reaksi yang dipelajari, dan teori daya pendorong. Berikut ini adalah uraian umum dari masing masing teori tersebut.

a. Teori hedonisme berpandangan bahwa setiap menghadapi persoalan manusia cenderung memilih alternative pemecahan yang mendatangkan kesenangan diri pada yang mengakibatkan kesukaran, kesulitan, penderitaan, dan sebagainya.

b. Teori naluri mengajarkan bahwa untuk memotivasi seseorang harus berdasar naluri yang akan dituju dan perlu dikembangkan.

c. Teori yang dipelajari mengatakan apabila seorang pendidik akan memotivasi anak didiknya maka ia harus mengetahui betul latar belakang, dan kebudayaan mereka.

d. Teori daya pendorong menjelaskan bahwa jika seorang pendidik akan memberikan motivasi harus mendasarkannya pada daya pendorong. Yaitu naluri dan reaksi yang dipelajarinya dari kebudayaan lingkungan yang dimilikinya.

(61)

tujuan dalam aktivitasnya, maka seseorang mempunyai motivasi yang kuat untuk mencapainya dengan segala upaya yang dapat dia lakukan.

Woodworth dan Marques (Sunarto, 2008), mendefinisikan motivasi sebagai satu set motif atau kesiapan yang menjadikan individu cenderung melakukan kegiatan-kegiatan tertentu dan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu. Pendapat tersebut senada dengan yang disampaikan oleh Chung dan Meggison (Suhaimin), yang mendefinisikan motivasi sebagai prilaku yang ditujukan kepada sasaran, motivasi berkaitan dengan tingkat usaha yang dilakukan oleh seseorang dalam mengejar suatu tujuan. Motivasi berkaitan erat dengan kepuasan pekerjaan.

Menurut Dalyono (2009: 57), motivasi adalah daya penggerak atau pendorong untuk melakukan sesuatu pekerjaan. Sumiati (2007: 236), mengatakan bahwa motivasi adalah dorongan yang muncul dari dalam diri sendiri untuk bertingkah laku. Dorongan itu pada umumnya diarahkan untuk mencapai sesuatu tujuan. Sehingga motivasi dapat memberikan semangat yang luar biasa terhadap seseorang untuk berprilaku dan dapat memberikan arah dalam belajar. Motivasi ini pada dasarnya merupakan keinginan yang ingin dipenuhi (dipuaskan), maka ia akan timbul jika ada rangsangan, baik karena adanya kebutuhan maupun minat terhadap sesuatu.

(62)

1991).

Menurut Amran YS (2007: 106) motivasi adalah dorongan (baik sadar atau tidak) untuk melakukan sesuatu dengan tujuan tertentu. Menurut kamus ilmiyah Universitas Sumatera Utara populer, motivasi menunjuk kepada seluruh proses gerakan, termasuk situasi yang mendorong, dorongan yang timbul dalam diri individu, tingkah laku yang ditimbulkan oleh tingkah laku tersebut dan tujuan atau akhir daripada gerakan atau perbuatan.

Motivasi belajar adalah sebagai a general state dan sebagai a situation-specific state (Bophy, 1987). Sebagai a general state, motivasi belajar adalah

suatu watak yang permanen yang mendorong seseorang untuk menguasai pengetahuan dan keterampilan dalam suatu kegiatan belajar. Sebagai a situation-specific state, motivasi belajar muncul karena keterlibatan individu dalam suatu kegiatan tertentu diarahkan oleh tujuan memperoleh pengetahuan atau menguasai keterampilan yang diajarkan.

(63)

Motivasi dan belajar merupakan dua hal yang saling mempengaruhi. Belajar adalah perubahan tingkah laku secara relatif permanen dan secara potensial terjadi sebagai hasil dari praktik atau penguatan yang dilandasi tujuan untuk mencapai tujuan tertentu.

Menurut Colquitt, LePine dan Noe dalam Julius Chandra (2000 : 10), motivasi untuk belajar didefinisikan sebagai arah, kemahuan dan tingkah laku yang mengarah kepada pembelajaran berterusan dan juga telah didapati positif kepada prestasi pembelajaran.

Motivasi belajar adalah keinginan siswa untuk mengambil bagian di dalam proses pembelajaran (Linda S. Lumsden, dalam Djamarah, Syaiful Bahri, 1994 : 18).

Menurut Hermine Marshall Istilah motivasi belajar mempunyai arti yang sedikit berbeda. Ia menggambarkan bahwa motivasi belajar adalah kebermaknaan, nilai, dan keuntungan-keuntungan kegiatan belajar belajar tersebut cukup menarik bagi siswa untuk melakukan kegiatan belajar. Pendapat lain motivasi belajar itu ditandai oleh jangka panjang, kualitas keterlibatan di dalam pelajaran dan kesanggupan untuk melakukan proses belajar ( Carole Ames, dalam Daljoeni,1990 : 23).

(64)

Aktivitas belajar bukanlah suatu kegiatan yang dilakukan yang terlepas dari faktor lain. Aktivitas belajar merupakan kegiatan yang melibatkan unsur jiwa dan raga. Belajar tidak akan pernah dilakukan tanpa suatu dorongan yang kuat baik dari dalam yang lebih utama maupun dari luar sebagai upaya lain yang tak kalah pentingnya (Djamarah, 2002).

Suryabrata (2004: 43), ada beberapa faktor yang mempengaruhi motivasi belajar antara lain: a) Faktor Eksternal - Faktor dari luar individu yang terbagi menjadi dua: faktor sosial meliputi faktor manusia lain baik hadir secara langsung atau tidak langsung dan faktor non sosial meliputi keadaan udara, suhu udara, cuaca, waktu, tempat belajar, dan lain-lain. b) Faktor Internal - Faktor dari dalam diri individu yang terbagi menjadi dua: faktor fisiologis meliputi keadaan jasmani dan keadaan fungsi-fungsi fisiologis dan faktor psikologis meliputi minat, kecerdasan, dan persepsi.

Menurut Elliot (1996: 62), ada beberapa faktor yang mempengaruhi motivasi dalam belajar:

1. Kecemasan

(65)

Sikap dapat didefinisikan sebagai cara individu yang relatif permanen dalam hal merasakan, berpikir, dan bertingkahlaku terhadap sesuatu atau orang lain.

3. Keingintahuan

Keingintahuan sering digambarkan sebagai perilaku yang aktif, suka mengeksplorasi atau, memanipulasi sesuatu keadaan yang rileks,kebebasan untuk mengeksplorasi sesuatu, dan penerimaan terhadap hal-hal yang tidak biasa dapat menumbuhkan rasa ingin tahu sesorang.

4. Locus of Control

Locus of control dapat diartikan sebagai penyebab terjadinya tingkah laku,

yang dapat diatribusikan terhadap diri sendiri (internal locus of control) atau dari luar diri/lingkungan (external locus of control). Jika seseorang percaya bahwa kesuksesan dan penghargaan yang mereka raih dikarenakan kemampuan mereka sendiri, maka mereka telah dianggap mampu untuk mengendalikan tujuan mereka (internal locus of control). Sebaliknya seseorang yang percaya bahwa kesuksesan dan penghargaan yang mereka raih dikarenakan faktor keberuntungan, ma

Gambar

Tabel 1.2. Hasil Ulangan Harian Mata Pelajaran IPS Kelas VIII SMP
Tabel 1.3 Daftar Guru IPS di SMP Negeri 1 Tumijajar
Gambar 2.1 Kerangka Pikir Penelitian
Tabel 3.1 Rincian Jumlah Sampel

Referensi

Dokumen terkait

Sementara Metode sebelumnya (2013-2014), Indeks Kebahagiaan hanya diukur menggunakan satu dimensi yaitu Kepuasan Hidup (Life Satisfaction).. Tautan

Penulis menyarankan agar dilakukan studi yang lebih lanjut agar pengembangan metode disederhanakan ini bisa digunakan secara luas sebagai suatu standar perencanaan minimum yang

Menimbang : bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 31, 32, 33 dan 34 Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional dan Pasal 467 ayat (3)

dalam penyusunan Kuliah Kerja Praktek ini, maka prosedur sistem berjalan yang diambil yaitu dari Penerimaan Karyawan Baru bagian Kepegawaian Setjen DPR RI Jakarta

Untuk menguji apakah matriks korelasi sederhana bukan merupakan suatu matriks identitas, maka digunakan uji Bartlett dengan pendekatan statistik chi square. Berikut ini

The total internal inductance for a length, Len, of round wire, due to a uniform DC current distribution is the number of rings of magnetic field lines inside the conductor per amp

Dalam melakukan in depth interview, penulis melakukan interview langsung baik kepada aparat yang bertanggung jawab melaksanakan pelayanan di Perizinan Penanaman Modal dan

Dalam penyusunan rancangan un- dang-undang, Badan Legislasi dapat meminta masukan dari masyarakat sebagai bahan bagi panitia kerja untuk menyempurnakan konsepsi