• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kritik feminisme terhadap aturan poligami di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kritik feminisme terhadap aturan poligami di Indonesia"

Copied!
131
0
0

Teks penuh

(1)

1

Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh: ERI PRIMA NIM. 107044102065

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI JAKARTA

(2)

KRITIK FEMINISME TERHADAP ATURAN POLIGAMI DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Syari’ah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh: ERI PRIMA NIM. 107044102065

Di bawah Bimbingan:

Prof. DR. H. Ahmad Sutarmadi NIP. 194008051962021001

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI JAKARTA

(3)

PENGESAHAN PANITIA UJIAN

Skripsi yang berjudul KRITIK FEMINISME TERHADAP ATURAN POLIGAMI DI INDONESIA telah diujikan dalam Sidang Munaqasah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada 23 September 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam pada Program Strata 1 (S1) pada Jurusan Ahwal Al-Syakhsiyah Konsentrasi Peradilan Agama.

Jakarta, 23 September 2010 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum

Prof. DR. H. Amin Suma, SH., MA., MM NIP. 195505051982031012

Panitia Pengesahan Ujian

Ketua : Drs. H. A. Basiq Djalil., SH., MA (...) NIP. 195003061976031001

Sekretaris : Kamarusdiana., S. Ag., MH (...) NIP. 197202241998031003

Pembimbing : Prof. DR. H. Ahmad Sutarmadi (...) NIP. 194008051962021001

Penguji I : DR. Abdurrahman Dahlan., MA (...) NIP . 195811101988031001

(4)

KATA PENGANTAR

ﻢﻴﺣﺮﻟا ﻦﲪﺮﻟا ﷲا ﻢﺴﺑ

Alhamdulillah puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT yang selalu mencurahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya kepada para hamba yang serius dalam urusan dunia dan akhiratnya. Dialah source of all my power dalam penulisan skripsi ini. Sholawat dan salam tetap terlimpahkan teruntuk Nabi Muhammad SAW sebagai penebar cinta dan kasih sayang pada semua makhluk.

Rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis berikan untuk kedua orang tua penulis H. Adamhuri (Ayah) dan Hj. Maharani (Mama) yang tak pernah lelah mendoakan dan memotivasi penulis selama ini dan seterusnya, semoga Allah SWT selalu menurunkan segala rahmat, ampunan dan syurga-Nya untuk mereka di sini (dunia) dan di sana nanti (akhirat), adik penulis terkasih Desriani semoga dapat melebihi jejak abangnya dalam menuntut ilmu dan terakhir buat kakak penulis almrhmh. Rismaini yang selama dia hidup selalu memberikan semangat kepada penulis dalam mengarungi luasnya lautan ilmu, semoga Allah SWT menempatkannya di syurga,Allahumma al-ghfirlahâ war hamhâ, wa ‘âfihâwa’fu ‘anhâ. Amiin.

Secara khusus penulis ucapkan TERIMA KASIH kepada:

1. Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Bapak Prof. DR. Komarudin Hidayat. MA 2. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Bapak Prof.

DR. H. Muhammad Amin Suma., SH., MA., MM.

(5)

4. Dosen Pembimbing Bapak Prof. DR. H. Ahmad Sutarmadi atas bimbingannya dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta khususnya Dosen Konsentrasi Peradilan Agama Program Studi Ahwal al-Syakhshiyyah yang telah memberikan bekal ilmu kepada penulis.

6. Pimpinan dan Staf perpustakaan umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum, perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, perpustakaan nasional Republik Indonesia, dan perpustakaan Pusat Studi Wanita UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta atas pelayanan dan penyediaan buku-bukunya.

7. Seluruh teman anak-anak nagari Minangkabau sapananggungan jo sapatenggangan

di rantau intelektual yang tak pernah lelah dan letih menanyakan penulis dengan satu pertanyaan “berat” bilo wisuda Ri? (Kakanda Rizki Kurnia, SEI., Didit N. Hamdi, S.S.I., Zaimul Ihsan, S.S.I., Lc., Rezki Daswir, S.S.I., Lc., Rahmat Iqbal, S.Pd., Sepki Mardian, SEI., MM., Momont Ferdian, S.T., dan my special one Ami), juga teruntuk teman-teman MAPK Kotobaru di Jakarta, Cairo, Yogyakarta, teman-teman pergerakan penulis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) cabang Ciputat, teman-teman KAHFI Public Speaking & Hypnosis School khususnya angkatan IX yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, dan terakhir untuk semua orang yang menganggap diri ini pernah “ada” untuk mereka.

Semoga segala bentuk bantuan dan kontribusi yang diberikan dinilai ibadah oleh Allah SWT,Jazakumullahu Khairal Jaza. Amiin.

Jakarta, 14 Agustus 2010 M 04 Ramadhan 1431 H

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...10

C. Tujuan dan Kegunaan ...………11

D. Review Studi Terdahulu………12

E. Kerangka Teoritik ...………16

F. Metode Penelitian...………21

G. Sistematika Pembahasan ...……24

BAB II SEJARAH DAN LANDASAN POLIGAMI A. Pengertian Poligami ...………..………26

B. Sejarah Poligami dalam Islam ...………28

C. Landasan Teologis Poligami dalam Islam ....………32

D. Asbâb al-Nuzûl Ayat Poligami ...………38

BAB III POLIGAMI DAN FEMINISME DI INDONESIA A. Pelaksanaan Poligami Dalam Sistem HukumIndonesia………….. ...43

(7)

C. Pengertian Feminisme ...………53 D. Feminisme di Indonesia ...………63

BAB IV ANALISIS MENGENAI KRITIK FEMINISME TERHADAP ATURAN POLIGAMI DI INDONESIA

A. Perempuan dan Hak Kodrati ...69 B. Pemikiran Kaum Feminis tentang Aturan poligami

di Indonesia ...72 C. Implikasi Poligami Dalam Perspektif Feminisme

di Indonesia ...103 D. Analisis Penulis ...109

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ..………..…114 B. Saran-saran ...………116

(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkawinan merupakan suatu cara yang dipilih oleh Allah SWT sebagai jalan bagi manusia untuk melansungkan keturunan, berkembang biak, dan menjaga kelestarian hidup. Perkawinan baru dapat dilaksanakan setelah masing-masing pasangan suami dan istri siap melakukan perannya secara positif, dalam rangka mewujudkan tujuan perkawinan.

Adapun tujuan perkawinan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, adalah sebagai upaya untuk membentuk keluarga bahagia sejahtera kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, baik itu pernikahan monogami ataupun pernikahan poligami, tetapi benarkah kedua bentuk pernikahan tersebut dapat menjamin tujuan pernikahan, memang tidak ada yang bisa memastikannya.

(9)

talk show,di televisi infotainment, dan juga menjadi bahan tulisan di berbagai Koran, tabloid dan majalah.1

Kata poligami secara etimologi barasal dari bahasa yunani, berarti suatu perkawinan yang banyak atau lebih dari satu. Sistem perkawinan yang di dalamnya seorang laki-laki mempunyai lebih seorang istri dalam waktu yang bersamaan, atau seorang perempuan mempunyai suami lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan pula. Pada dasaranya ini disebut poligami.2

Pada azaznya, perkawinan seperti ini dibolehkan bagi seorang muslim dalam arti yang sebenarnya dan sanggup berlaku adil terhadap istri-istrinya.3 Mayoritas ulama klasik dan pertengahan berpendapat, bahwa poligami adalah boleh secara mutlak, maksimal empat orang istri. Sementara mayoritas ulama kontemporer membolehkan poligami dengan syarat-syarat, serta melihat situasi dan kondisi tertentu yang sangat terbatas, bahkan ada yang mengharamkannya.4 Sehubungan dengan itu Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa’ ayat 3 yang berbunyi:

1

Harian Nasional Kompas malah sudah membuat masalah ‘Catatan Redaksi’ yang isinya

menyatakan tentang penghentian sementara diskusi mengenai poligami di halaman ‘swara’, halaman

yang memuat isu-isu gender (Kompas 31 Januari 2005). Hal ini mungkin disebabkan oleh banyaknya tulisan yang masuk ke redaksi yang berkaitan dengan isu poligami dan kontroversi yang menyertainya.

2

Khoiruddin Nasution,Perdebatan sekitar kasus poligamiJurnal Musaa, Vol. 1 (Maret 2002), h. 84

3

Kamal Muchtar, Asas-Asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Penerbit: Bulan Bintang, 1974), h. 27

4

(10)

َﻓ َعﺎَﺑُرَو َث َﻼُﺛَو َﲎْـﺜَﻣ ِءﺎَﺴﱢﻨﻟا َﻦِﻣ ْﻢُﻜَﻟ َبﺎَﻃ ﺎَﻣ اﻮُﺤِﻜْﻧﺎَﻓ ﻰَﻣﺎَﺘَﻴْﻟا ِ ﰲ اﻮُﻄ ِﺴْﻘُـﺗ ﱠﻻَأ ْﻢُﺘْﻔ ِﺧ ْنِإَو

ْﻢ ُﺘ ْﻔ ِ ﺧ ْن ِﺈ

اﻮُﻟﻮُﻌَـﺗ ﱠﻻَأ َﱏْدَأ َﻚِﻟَذ ْﻢُﻜُﻧﺎَْﳝَأ ْﺖَﻜَﻠَﻣ ﺎَﻣ ْوَأ ًةَﺪ ِﺣاَﻮَـﻓ اﻮُﻟِﺪْﻌَـﺗ ﱠﻻَأ

)

ﺴ ﻨ ﻟ ا

ء ﺎ

:

3

(

Artinya:

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(An-Nisa’3)

Hal yang serupa juga ditegaskan Rasulullah SAW dalam haditsnya:

ِﲎَﺛﱠﺪَﺣ

َﲕَْﳛ

ْﻦ َﻋ

ٍﻚ ِﻟ ﺎ َﻣ

ِﻦ َﻋ

ِﻦ ْﺑ ا

ٍب ﺎ َﻬ ِ ﺷ

ُﻪﱠﻧ َأ

َل ﺎ َﻗ

ِﲎَﻐَﻠَـﺑ

ﱠن َأ

َل ﻮ ُﺳ َر

ِﻪﱠﻠ ﻟ ا

ﻰ ﻠ ﺻ

ﷲ ا

ﻪ ﻴ ﻠ ﻋ

ﻢ ﻠ ﺳ و

َل ﺎ َﻗ

ٍﻞ ُﺟ َﺮ ِﻟ

ْﻦ ِﻣ

ٍ ﻒ ﻴ ِﻘ َﺛ

َﻢ َﻠ ْﺳ َأ

ُﻩَﺪْﻨِﻋَو

ُﺮ ْﺸ َﻋ

ٍةَﻮ ْﺴ ِﻧ

َﲔ ِ ﺣ

َﻢ َﻠ ْﺳ َأ

ﱡﻰ ِﻔ َﻘ ﱠـﺜ ﻟ ا

ْﻚ ِ ﺴ ْﻣ َأ

ﱠﻦ ُﻬ ْـﻨ ِﻣ

ﺎ ًﻌ َـﺑ ْ ر َأ

ْق ِر ﺎ َﻓ َ و

ُﻫ َﺮ ِﺋ ﺎ َﺳ

ﱠﻦ

5 Artinya:

Berkata kepada kami Yahya dari Malik dari Ibnu Syihab bahwasanya berkata dan menyampaikan kepadaku. Rasulullah SAW berkata kepada laki-laki dari bani tsaqif yang menyatakan dirinya masuk islam dan dirinya mempunyai 10 orang isteri, kemudian nabi besabda, pilihlah dari mereka (isteri-isterinya) empat orang dan lepaskanlah selebihnya.

Dari kutipan yang penulis ambil dari tulisanFazlur Rahman mengatakan, bahwa poligami di samping hanya merupakan pembenaran yang sifatnya kontekstual secara penerapan, manusia tidak akan mungkin bisa berlaku adil terhadap para istri,6yang pada hakikatnya manusia tidak pernah merasa puas, dan kalau dituruti secara terus-menerus manusia tidak ada bedanya dengan binatang.7

5

Malik Ibn Anas,al-Muwatta’, “29. Kitab at-Talaq”, “29. Bab Jami’u at-Talaq”, edisi M. F.

Abd al-baqi (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t,th,), II: 586, hadis nomor 76 Imam Malik meriwayatkan dari Ibnu Syihab

6

Taufik Adnan Amal,Islam Dan Tantangan Modernitas, (Bandung: Mizan, 1994), h. 89

7

(11)

Karena idealnya perkawinan adalah monogami8, maka sekiranya poligami bukanlah solusi yang tepat dipraktekkan dewasa ini, bahkan lebih jauh lagi adalah poligami seharusnya dihapuskan, sebab sama sekali bertentangan dengan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan.9

Di Indonesia sendiri, praktek poligami marak dilakukan oleh kalangan masyarakat. Tidak hanya golongan tertentu, masyarakat awam, kalangan elite,

public figure, pejabat, dan tokoh agama pun turut andil. Misalnya saja pernikahan poligami public figure kondang, KH. Gymnastyar (Aa Gym)10 yang berterus terang di media pers telah melakukan pernikahan poligami, dengan berdalih adanya ayat-ayat Al-Qur’an dan untuk menghindari dari tindakan zina, seakan tindakan poligami sangat mudah untuk di praktekkan di Indonesia. Alasan zina, prostitusi, dan semacamnya dianggap sebagai hal yang mengada-ada, karena hanya untuk melegitimasi poligami dengan membandingkan poligami dengan alasan yang bukan levelnya. Alasan semacam ini bukanlah solusi untuk berpoligami, sebagaimana yang dikemukakan oleh Khofifah Indar Prawansana yang menjabat sebagai Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan tahun 1999-2001, yang sekaligus mengungkapkan ketidaksetujuannya.11 Begitu juga dengan kehadiran Club Poligami di Indonesia yang mengusung alasan teologis bagi

8

John L. Esposito,Women in Muslim Family Law, (New York: Syracuse University, 1982), h. 92

9

Musdah Mulia,Pandangan Islam Tentang Poligami,(Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan jender, Solidaritas Perempuan, The Asia Foundaion, 1999), h. 33

10

Anshori Fahmi,Siapa Bilang Poligami Itu Sunnah, (Bandung: Mizan Media Utama, 2007), h. 9

11

(12)

pengikutnya, juga menambah ragam dari referensi perbincangan poligami yang mengarah kepada faktor manfaat dan mudarat.

Tidak hanya itu, masih banyak lagi alasan-alasan yang digunakan untuk membenarkan praktek poligami, salah satunya untuk mengangkat harkat dan martabat kaum perempuan, khususnya perempuan berekonomi rendah. Alasan tersebut semakin merendahkan martabat perempuan, karena perempuan tidak mampu secara ekonomi dan perlu dibantu dengan cara dikawinkan.12

Kesaksian yang diberikan Nyai Hajjah Siti Ruqayyah Maksum, pengasuh pondok pesantren Al Maksumi Jawa Timur, turut mewarnai dampak negatif perkawinan poligami. Nyai Ruqayyah yang bersuamikan seorang anggota DPR-RI ini menjadi korban praktek poligami suaminya yang dilakukan secara diam-diam. Akibatnya pihak istri mengakui terjadinya kekerasan fisik, psikis, ekonomi (tidak diberi nafkah), serta kehilangan hak seksualnya. Ironisnya, poligami yang dilakukan suami Ny Ruqayyah dengan istri keduanya juga telah diakhiri dengan ucapan talak (saja) dan menelantarkan istri keduanya.13

Dari kesaksian di atas, selain menyalahi aturan pernikahan yang harus dicatatkan dan dilansungkan di lembaga resmi negara, poligami dijadikan pelarian bagi pihak suami akibat tidak adanya izin istri, akibatnya peluang kekerasan dan ketidak adilan terhadap pihak istri akan lebih besar dengan sikap suami yang akan lebih enteng dalam mengambil keputusan.

12

www.google.comkata kunci: Statement Bersama, “Poligami Adalah Deskriminasi dan

Kekerasan Terhadap Perempuan dan Anak.” Artikel file PDF

13

(13)

Dalam kontek berbeda lainnya, dijumpai sebuah realitas yang menunjukkan terjadinya penderitaan dari istri yang dipoligami, baik itu istri pertama, kedua, dan selebihnya. Sebuah data menunjukkan dari 106 kasus poligami yang didampingi LBH-APIK selama kurun waktu 2001-2005 menunjukkan kekerasan terhadap istri-istri dan anak-anak mereka, mulai dari tekanan psikis, penganiayaan fisik, penelantaran istri dan anak-anak, ancaman terror, serta pengabaian hak seksual istri, dan banyak poligami dilakukan tanpa alasan yang jelas. Sedangkan dari pemberitaan yang ada poligami mendorong tingginya angka perceraian yang diajukan istri (gugat cerai).14

Tabel

Kasus Perceraian Akibat Poligami Tidak Sehat di Pengadilan Tinggi Agama Seluruh Indonesia (1996-2001)

Tahun Jumlah kasus

Akibat Poligami

Tidak Sehat

Prosentase Perceraian akibat

poligami (%)

Propinsi dengan jumlah perceraian

tertinggi akibat poligami

1996 97.356 519 0,53 104 (Jatim)

1997 67.894 705 1,04 396 (Jabar)

1998 103.416 590 0,53 108 (Jatim)

1999 183.805 828 0,45 403 (Jabar)

2000 145.609 875 0,60 385 (Jabar)

2001 145.081 938 0,62 261 (Jabar)

Sumber : Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Depag RI

Tabel di atas menunjukkan statistik jumlah perceraian selama enam tahun (1996-2001) yang tercatat di Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama. Setiap tahun terjadi ratusan perceraian yang diakibatkan oleh poligami.15

14

Warta Kota, 12 April 2003

15

[image:13.612.112.531.260.544.2]
(14)

Realitas di atas menggambarkan, bahwa poligami bisa saja terwujud dengan keputusan sepihak dari suami ketika istri tidak mempunyai keberanian menolak (dan tak punya kekuatan untuk melawan disebabkan budaya patriarkhi, agama, dan ketergantungan ekonomi) yang menyebabkan terjadinya kekerasan kepada pihak istri baik secara fisik maupun psikis. Implikasinya merumuskan bahwa poligami identik dengan kekerasan, walaupun masih banyak poligami yang melahirkan kesejahteraan, dalam hal ini disebut juga dengan poligami tidak sehat. Namun, saat ini yang perlu dikaji adalah bagaimana aturan poligami itu lebih diperketat dengan memasukkan aturan-aturan hukum baru yang lebih relevan.

Untuk mengawal Hukum Islam tetap dinamis, responsif, dan punya adaptabilitas yang tinggi terhadap tuntutan pembaharuan, aturan tentang poligami yang diatur dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 3, 4, 5 serta Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 56, 57, 58 perlu dikaji ulang untuk lebih memperketat praktek poligami di Indonesia. Selain itu ditujukan agar tidak terjadi lagi polemik yang berkepanjangan yang menempatkan wanita pada posisi yang selalu dirugikan. Seperti menempatkan perempuan dalam stereotip-stereotip16 yang negatif, misalnya ketidakmampuan istri pertama melayani suami,

16

(15)

label istri muda yang mengambil istri orang lain, wanita sebagai penggoda17 dan sebagainya. Pemahaman maskulin dan misogonis18 juga mengukuhkan posisi suami atau laki-laki untuk berhak melakukan praktek poligami.19

Menyikapi statemen tersebut, dalam rancangan penyusunan skripsi ini akan menggunakan faham Feminisme Islam. Menurut Achmad Muthaliin, “feminisme” berasal dari kata latin femina yang berarti memiliki sifat

keperempuan.20 Namun, feminisme yang dimaksudkan adalah kesadaran akan posisi perempuan yang rendah dalam masyarakat, dan keinginan untuk memperbaiki atau mengubah keadaan tersebut.21 Semuanya berusaha memperjuangkan kesetaraan bagi perempuan dengan laki-laki. Kesetaraan manusia tersebut bisa ditegakkan bila keadilan ditegakkan. Setidaknya, hal ini sudah ditegaskan oleh Al-Qur’an dalam surat al-Baqarah ayat 228:

ِفوُﺮْﻌَﻤْﻟﺎِﺑ ﱠﻦِﻬْﻴَﻠَﻋ يِﺬﱠﻟا ُﻞْﺜِﻣ ﱠﻦَُﳍَو

)

ةﺮ ﻘ ﺒ ﻟ ا

:

228

(

Artinya:

……..dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf.(Al-Baqarah : 228)

17

Wahyono Abdul Ghafur dan Muh. Isnanto,Gender dan Islam,(Yogyakarta: PSW IAIN Sunan Kalijaga, 2002), h, 85

18

Dalam kajian lain juga dikatakan terdapat beberapa teks/hadist misogonis yaitu hadist yang memposisikan wanita dengan stereotip yang negatif seperti wanita kurang akalnya, akan dilaknat malaikat jika tidak melayani suaminya, dan lain sebagainya. Lebih lanjut lihatGender dan Islamh, 89

19

Hasil kesepakatan bersama dalam Konsultasi Nasional: Mencapai Hukum Keluarga yang adil dan Setara Gender ,yang diselenggarakan oleh Komnas Perempuan di Hotel Harris, Jakarta, 3-4 Februari 2009

20

Achmad Muthaliin, Bisa Gender Dalam pendidikan, (Surakarta: Muhammadiyah University Press, 2001), h. 78

21

(16)

Dari ayat tersebut, terlihat bahwa penekanannya adalah keadilan. Ini benar-benar merupakan pernyataan atau deklarasi radikal yang berpihak kepada perempuan.

Feminisme kerap disebut kritik internaldan seruan untuk bertindak. Kritik ini mendorong muslim lain untuk kembali pada ajaran Al-Qur’an dan hidup sesuai prinsip tertingginya, sebuah paradigma menjanjikan yang mendukung perubahan dari dalam, dan bukan dengan formulaimpor.

Sebagai Muslim, feminis ini meyakini bahwa Islam mempunyai ide persamaan dan keadilan, bahkan Islam meletakkan dua faktor itu sebagai fondasi utama dalam berprilaku dan berhubungan secara sosial.22 Sebagai feminis, para muslim ini berkepentingan untuk menepis tuduhan barat yang menganggap relasi laki-laki dan perempuan sebagai rival dengan menginterpretasi dan mendekonstruksi pemahaman keagamaan yang bias gender, serta menjadikan relasi laki-laki dan perempuan itu sebagai itu mitra dalam konstruksi sosial.

Melihat adanya subordinasi berupa hak-hak, peran, dan perlakuan terhadap suami/istri dalam aturan poligami yang termaktub dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI), sebagaimana yang telah sedikit disinggung di atas, tentunya dibutuhkan kajian ulang terhadap aturan tersebut. Kajian yang dapat memposisikan laki-laki

22

(17)

dan perempuan dalam kedudukan yang seimbang, agar bisa diperlakukan sama di mata hukum. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 27 ayat 2 yang menyatakan bahwa tiap-tiap warga Negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Berdasarkan fenomena di atas maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian tentang “KRITIK FEMINISME TERHADAP ATURAN

POLIGAMI DI INDONESIA”, untuk memberikan sisi baru dalam aturan

hukum Indonesia dengan memakai kacamata Feminisme dalam menyikapi polemik krusial yang selalu hangat untuk dibicarakan. Penulis berharap semoga dengan diadakannya penelitian ini dapat memberikan sebuah formulasi baru dalam kajian Hukum Islam yang dapat lebih mensejahterakan umat.

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

(18)

2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan pembatasan masalah di atas terlihat bahwa “dalam aturan yang ada, peluang untuk berpoligami masih terbuka walau tidak terlalu besar”. Namun, kenyataan dilapangan masih melahirkan kekerasan terhadap wanita dalam rumah tangga.

Rumusan tersebut, penulis rinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: 1. Bagaimana aturan tentang poligami di Indonesia?

2. Bagaimanakah aturan tersebut jika ditinjau dari perspektif feminisme? 3. Bagaimana implikasi dari perspektif feminisme tersebut terhadap aturan

poligami di Indonesia?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Tujuan Penelitian ini adalah:

a. Untuk mengetahui gambaran umum tentang aturan poligami dipraktikkan di Indonesia dewasa ini.

b. Untuk mengkaji dan menganalisis aturan poligami lebih jauh dengan menggunakan perspektif feminisme.

c. Untuk mengetahui implikasi dari aturan di Indonesia dengan perspektif feminisme.

2. Manfaat Penelitian

(19)

a. Bagi peneliti/penulis sebagai tugas akhir untuk mendapatkan gelar strata satu (S1) dan dapat menambah wawasan dan pengetahuan dalam bidang ini.

b. Bagi Program Studi Ahwal al-Syakhsiyyah, sekiranya hasil penelitian/penulisan ini dapat dijadikan sebagai informasi yang berharga sebagai kontribusi pemikiran.

c. Bagi dunia pustaka, hasil dari penelitian/penulisan ini dapat menambah khazanah kepustakaan dan dapat dijadikan suatu tambahan koleksi dalam ruang lingkup karya ilmiah.

d. Bagi masyarakat umum khususnya mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta diharapkan dapat memiliki kegunaan yang bersifat teoritis sekaligus praktis dalam wawasan dan referensi pemikiran di dunia akademik.

D. Review Studi Terdahulu

Setelah penyusun melakukan penelusuran dan pengkajian terhadap karya-karya ilmiah (skripsi) yang ada, terdapat beberapa skripsi yang membahas mengenai poligami dan satu yang membahas gender yang tentunya mempunyai hubungan dengan judul skripsi ini. Diantaranya adalah :

(20)

Skripsi ini lebih ditekankan pada pembahasan gender secara umum dalam Kompilasi Hukum Islam dan lebih difokuskan terhadap pasal 25 tentang saksi nikah dalam perspekif gender.

Perbedaan dalam penulisan skripsi ini yaitu lebih ditekankan kepada objek penelitiannya yaitu tentang aturan poligami di indonesia, baik itu didalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) maupun didalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam kacamata kaum feminis.

2. Ahmad Firdaus, Keadilan Poligami: studi terhadap pasangan poligami di kedaung,Kec. Sawangan Kota Depok, Fakultas Syariah dan Hukum, 2004. Skripsi ini meneliti perlakuan keadilan dalam pemberian nafkah lahir dan bathin bagi istri yang dipoligami. Menghasilkan dampak poligami terhadap istri, anak, kerabat akibat keadilan tersebut.

Perbedaan dengan penulisan ini adalah tentang keadilan suami yang dipertanyakan dan diteliti kebenarannya dalam perspektif feminisme dan bagaimana dampak bagi istri pertama jika suami berpoligami.

3. Erlia Mukti, Pengaruh Poligami Terhadap Kesejahteraan Keluarga: studi kasus di daerah Depok, Fakultas Syariah dan Hukum, 2006.

(21)

Perbedaan dengan penulisan ini yaitu bukan saja meneliti sisi positif dari perilaku poligami, tetapi lebih ditekankan kepada sisi negatif dari poligami tersebut, dan juga menguraikan hak-hak perempuan yang terabaikan, dan penulisan diteliti melalui kacamata kaum feminis.

Selain skripsi-skripsi di atas, ada beberapa buku yang membahas tentang poligami yang sekaligus sangat menunjang dalam penulisan skripsi ini diantaranya adalah karya DR. Khoiruddin Nasution, MA. Buku yang berjudul

Status Wanita di Asia Tenggara: studi terhadap perundang-undangan perkawinan muslim kontemporer di Indonesia dan Malaysia terbitan INIS yang sekaligus menjadi disertasi beliau. Tulisan ini berkenaan tentang perbandingan status hukum perkawinan di Asia Tenggara, dan peraturan perundang-undangan beberapa Negara muslim khususnya Negara Malaysia dan Indonesia. Dalam hal ini penulis hanya menelusuri tentang pembahasan poligami dalam konteks kontemporer sebagai acuan, pertimbangan serta untuk mendukung tulisan ini dan menambah referensi-referensi yang menunjang penyelesaian tulisan ini.

Buku Karangan Asghar Ali Engineer tentang Pembebasan Perempuan

(22)

laki-laki. Dan pada intinya dengan buku ini penyusun akan mengarahkannya kepada perempuan dalam poligami.

An Na’im Dalam bukunya yang berjudul Dekonstruksi Syariah Juga menjadi salah satu referensi yang akan penyusun gunakan sebagai pendukung dari penyusunan skripsi ini. Isi dari tulisan buku ini berdasarkan premis bahwa umat Islam sedunia dapat menggunakan legitimasi hak kolektif untuk menentukan nasib sendiri dengan identitas Islam, termasuk didalamnya penerapan hukum Islam, asal tidak melanggar legitimasi hak perorangan dan kolektif pihak lain, baik itu didalam maupun diluar komunitas Islam.

Selain itu buku yang berjudul Kesetaraan Gender Dalam Al Quran yang ditulis oleh Dr. H. Yunahar Ilyas, Lc. M.A. Tak jauh berbeda, dalam buku ini juga berisi tentang penelitian para mufassir tentang perempuan dengan menggunakan perspektif kesetaraan gender. Yang ingin menjelaskan tentang beberapa hal (ayat) yang terkesan deskriminatif terhadap kaum hawa, yaitu kesetaraan dalam penciptaan, kenabian, dan dalam perkawinan (poligami).

(23)

menjawab ragam wacana dan pertanyaan yang selalu berkembang dan bermunculan mengenai masalah yang akan diangkat penyusun.

E. Kerangka Teoritik

Perubahan sosial adalah segala perubahan pada lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk didalamnya nilai-nilai, sikap-sikap, dan pola prilaku diantara kelompok dalam masyarakat.23

Dalam konteks Indonesia muncul Kompilasi Hukum Islam (KHI) sebagai bentuk pembaharuan pemikiran dalam Hukum Islam. Sebagai hukum yang merupakan persinggungan antara agama dan budaya kekinian Kompilasi Hukum Islam (KHI) memberi bentuk pembaharuan yang khas. Di satu sisi ia berisi tentang hal-hal baru, dan di sisi lain ia tidak bisa meninggalkan produk-produk klasik.

Dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, poligami merupakan pengecualian dari asas perkawinan yang monogami. Poligami merupakan pintu darurat yang hanya bisa ditempuh jika dipenuhi sejumlah syarat yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 Pasal 41 Bab VIII. Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 55 ayat (1) menyatakan: “beristri

23

(24)

lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan, terbatas hanya sampai empat istri.”

Kemudian syarat poligami dalam pasal 4 atau Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal 57: “Suami wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya dan pengadilan memberi izin apabila:

1. Isteri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai isteri;

2. Isteri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; 3. Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.

Poligami dalam Islam idealnya disyaratkan dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, Firman Allah SWT dalam surat An-Nisa’: 129 yang berbunyi:

ْﻟﺎ َﻛ ﺎ َﻫ و ُر َﺬ َﺘ َـﻓ ِ ﻞ ْﻴ َﻤ ْﻟ ا ﱠﻞ ُﻛ اﻮ ُﻠ ﻴ ِ َ ﲤ َ ﻼ َﻓ ْﻢ ُﺘ ْﺻ َﺮ َﺣ ْ ﻮ َﻟ َ و ِء ﺎ َﺴ ﱢﻨ ﻟ ا َ ْ ﲔ َـﺑ اﻮ ُﻟ ِﺪ ْﻌ َـﺗ ْن َأ اﻮ ُﻌ ﻴ ِﻄ َﺘ ْﺴ َﺗ ْﻦ َﻟ َ و

اﻮ ُﺤ ِﻠ ْﺼ ُﺗ ْن ِإ َ و ِﺔ َﻘ ﱠﻠ َﻌ ُﻤ

ﺎ ًﻤ ﻴ ِ ﺣ َ ر اًر ﻮ ُﻔ َﻏ َن ﺎ َﻛ َﻪ ﱠﻠ ﻟ ا ﱠن ِﺈ َﻓ اﻮ ُﻘ ﱠـﺘ َـﺗ َ و

)

ء ﺎ ﺴ ﻨ ﻟ ا

:

129

(

Artinya:

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri (mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(An-Nisa’: 129)

(25)

Dengan demikian, dalam perkawinan secara poligami terdapat atau berdampak menyakitkan atau kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga.

Dihubungkan dengan fenomena perempuan dalam poligami, maka nilai universal yang membawa kemashlahatan bagi perempuan adalah prinsip kesetaraan dan gender. Hal ini karena sepanjang sejarah manusia, perempuan selalu ditempatkan pada posisi yang tidak adil dalam hubungannya dengan laki-laki.

Perbedaan gender (gender differences) sebenarnya tidak bermasalah ketika tidak menimbulkan ketidakadilan (gender inequality). Namun pada kenyataannya adalah lain, perbedaan gender yang disebabkan oleh perbedaan sex (sex differences) ternyata menimbulkan ketidakadilan bagi perempuan.24 Oleh karena itu untuk melakukan analisis dalam memahami ketidakadilan yang menimpa kaum perempuan terlebih dahulu diperlukan adanya pemahaman atas perbedaan antara konsep jenis kelamin (sex) dan konsep gender.25

Kata Gender sendiri, secara etimologi sering diterjemahkan dengan alat kelamin26, secara terminologi gender diartikan sebagai perbedaan-perbedaan yang tampak antara laki-laki dan perempuan dilihat dari segi nilai dan tingkah laku. Yang selanjutnya dipertegas lagi sebagai suatu konsep kultural yang berupaya

24

Mansour Fakih, Membincang Feminisme: Diskursus Gender Perspektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 11-12

25

Ibid,h. 3-4

26

(26)

membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, tingkah laku, mentalitas, dan karesteristik emosional antara laki-laki dan perempuan.

Sedangkan kesetaraan adalah salah satu misi global dari gerakan ini yang berupaya mencari keadilan bagi kaum perempuan yang selalu mengalami ketertindasan, baik melalui tindak kekerasan maupun deskriminasi, yang mengakibatkan kaum perempuan masih saja sering menerima pengalaman pahit sebagai akibat dari pola struktural dan kultural yang mungkin masih menempatkan mereka dalam posisi subordinat. Adapun perkembangannya, pandangan tentang keadilan yang diinginkan itupun masih mengalami pergelutan pemikiran dengan adanya interpretasi yang berbeda antara satu dengan lainnya, meski secara umum perlakuan terhadap konsep keadilan yang digunakan hampir selalu bersifat relatif-kontekstual.

Dalam ilmu sosial, pembagian peran antara laki-laki dan perempuan dimasyarakat tersebut dibahas dalam berbagai teori, dan secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, teorinaturedannurture.

Teori Nature adalah pendapat yang menyatakan bahwa peran sosial antara laki-laki dan perempuan ditentukan oleh faktor biologis. Perbedaan biologis ini dijadikan dasar untuk menentukan peran sosial antara laki-laki dan perempuan di masyarakat.27

27

(27)

Teori nurture adalah pendapat yang menyatakan bahwa perbedaan peran antara laki-laki dan perempuan lebih ditentukan oleh faktor budaya. Teori ini berkesimpulan bahwa perbedaan psikologis antara laki-laki dan perempuan tercipta melalui proses belajar dari lingkungan.

Teori nurture didukung juga oleh teori feminis. Seiring perkembangan zaman feminisme melahirkan beberapa teori-teori feminis seperti teori feminis liberal, radikal, sosialis,28 dan teori feminis lainnya. Pada periode berikutnya feminisme juga muncul di dunia Islam. Feminisme Islam disini mempunyai tiga karakteristik, yaitu; pertama memiliki kesadaran gender dan memperjuangkan penghapusan ketidakadilan gender. Kedua, Beragama Islam yang mempersoalkan ajaran Islam baik secara normative maupun histories. Ketiga, Feminis tidak harus perempuan, tetapi juga laki-laki seperti Asghar Ali Engineer.29Dialog yang intensif antara prinsip-prinsip keadilan dan kesederajatan yang ada dalam teks-teks keagamaan–seperti Al Qur’an dan Hadis serta tradisi keagamaan—dengan realitas perlakuan terhadap perempuan yang ada atau hidup dalam masyarakat muslim menjadi bagian dari nilai lebih tersebut.30 Dalam konteks ini penulis mencoba untuk lebih mengkerucutkan pengertian feminisme sebagai kesadaran

28

Ben Agger,Teori Sosial Kritis,alih bahasa oleh Nurhaidi, cet ke. Ke-3 Juni 2006, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2006), h. 214

29

Yunahar Ilyas, Feminisme Dalam Kajian Tafsir Klasik dan Kontemporer, (Yogyakarta: Psstaka Pelajar, 1997), h. 55

30

(28)

akan posisi perempuan yang rendah dalam masyarakat, dan keinginan untuk memperbaiki atau mengubah keadaan tersebut.31

Berangkat dari teori di atas, kaum feminis sepakat bahwa seks dan gender adalah berbeda. Seks/jenis kelamin dapat diartikan bawaan dari lahir yang natural, sedangkan gender lebih pada pola konstruksi sosial sebagaimana yang telah penyusun jelaskan di atas. Melalui analisis gender bisa banyak ditemukan berbagai manifestasi ketidak adilan terhadap perempuan32 diantaranya adalah marginalisasi, subordinasi, pelabelan negative (stereotype), kekerasan (violence), dan beban kerja yang berlebihan (double burden).

Dalam penelitian ini, teori nurture dan analisis gender merupakan teori yang tepat. Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menjadi rujukan dalam aturan praktek poligami yang juga termasuk konstruk sosial, mesti dikritisi kembali dengan memberikan rekomendasi baru dari beragai pemikiran Feminisme guna pengembangan aturan hukum poligami di Indonesia.

F. Metode Penelitian

Suatu kegiatan ilmiah agar lebih terarah dan rasional memerlukan suatu metode yang sesuai dengan obyek yang dibicarakan, sebab metode berfungsi

31

Ratna Saptari,Perempuan Kerja Dan Perubahan Sosial, h. 47

32

(29)

sebagai cara mengerjakan hasil yang maksimal dan memuaskan.33 Adapun metode yang digunakan dalam penyusunan skripsi ini adalah:

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian pustaka (library research), yaitu penelitian yang bersumber melalui penulusuran buku-buku, jurnal, maupun hasil penelitian yang berkaitan dengan masalah poligami yang akan diteliti dalam skripsi ini.

2. Sifat Penelitian

Penelitian ini bersifatpreskriptif, yaitu suatu penelitian yang ditujukan untuk mendapatkan saran mengenai apa yang harus dilakukan untuk mengatasi masalah-masalah tertentu. Setelah data terkumpul, dideskripsikan dulu seputar poligami secara umum, kemudian dilanjutkan pokok pembahasan masalah tentang permasalahan praktek poligami di Indonesia. Selanjutnya dari pembahasan tersebut dikaji dan dianalisis tentang relevansinya dewasa ini terhadap keadilan dan kemashlahatan umat.

3. Pendekatan Penelitian

Pendekatan yang ditempuh dalam Penelitian ini adalah:

a. Pendekatan normatif dan yuridis, yaitu pendekatan masalah dengan mendasarkan pada ketentuan nas berupa Al-Qur’an dan Al Hadis/kaidah-kaidah fiqh yang kemudian mendasarkan pada hukum positif atau

33

(30)

Undang-Undang yang berlaku di Indonesia dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

b. Pendekaan kritis, yaitu penelitian mengenai dasar dan batas pemikiran atau mengenai syarat-syarat kesahihan pemikiran tertentu34, terhadap budaya patriarki yang mewarnai aturan poligami dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI). 4. Pengumpulan Data

Ada 2 sumber data yang digunakan, yaitu:

a. Sumber primer, yaitu data pokok seperti Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

b. Sumber sekunder, yaitu berupa ensiklopedia, karya ilmiah, jurnal, surat kabar, majalah, internet, dan buku-buku terkait dengan pembahasan membela perempuan dan feminisme.

5. Analisis Data

Sebagai cara untuk menarik kesimpulan dari data yang telah terkumpul akan digunakan metode sebagai berikut:

Induktif, yaitu suatu metode penalaran yang dimulai dari data yang bersifat khusus kemudian dibentuk suatu kesimpulan yang bersifat umum, metode ini akan dipergunakan dalam menguraikan pandangan dari sikap

34

(31)

Feminisme Islam terhadap aturan poligami di Indonesia dan aturan tersebut disinergikan dengan pengembangan aturan poligami di Indonesia.

G. Sistematika Pembahasan

Dalam skripsi ini terbagi menjadi beberapa sistematika pembahasan. Hal ini dilakukan untuk mempermudah peneliti dalam penyusunan skripsi ini serta mempermudah para pembaca untuk mengkonsumsi isi skripsi ini. Sistematika pembahasan dalam penelitian ini terbagi menjadi dalam lima bab, yaitu:

Bab I Pendahuluan.

Berisi Latar Belakang Masalah, Pembatasan Dan Perumusan Masalah, Tujuan dan Kegunaan, Review Studi Terdahulu, Kerangka Teoritik, Metode Penelitian, dan Sistematika Pembahasan.

Bab II Sejarah dan Landasan Poligami

Berisi mengenai tinjauan umum tentang poligami. Bab ini berbicara seputar masalah poligami secara menyeluruh. Dalam bab ini terbagi menjadi beberapa sub yaitu, Pengertian Poligami, Sejarah Poligami dalam Islam, Landasan Teologis Poligami dalam Islam, dan Asbabun Nuzul Ayat Poligami.

Bab III Poligami dan Feminisme Indonesia

(32)

Poligami dalam Sistem Hukum Indonesia, Lahirnya Aturan Poligami di Indonesia dalam Lintas Sejarah, Pengertian Feminisme, dan Feminisme di Indonesia.

Bab IV Analisis

Berisi tentang analisis mengenai kritik Feminisme terhadap aturan poligami di Indonesia yang terdiri dari beberapa sub yaitu, Perempuan dan Hak Kodrati, Pemikiran Kaum Feminis tentang Aturan Poligami di Indonesia, Implikasi Poligami dalam Perspektif Feminisme di Indonesia, dan Analisis Penulis.

Bab V Penutup

(33)

BAB II

SEJARAH DAN LANDASAN POLIGAMI

E. Pengertian Poligami

Kata poligami secara etimologi barasal dari bahasa Yunani, polos yang berarti banyak dan gamosyang berarti perkawinan. Bila pengertian dari suku kata ini digabungkan, maka poligami akan berarti suatu perkawinan yang banyak atau lebih dari satu. Sistem perkawinan bahwa seorang laki-laki mempunyai lebih seorang istri dalam waktu yang bersamaan, atau seorang perempuan mempunyai suami lebih dari seorang dalam waktu yang bersamaan pula, pada dasaranya ini disebut poligami.35

Dalam Ensiklopedi Nasional, poligami diartikan suatu pranata perkawinan yang memungkinkan terwujudnya keluarga yang suaminya memiliki lebih dari seorang istri atau istrinya memiliki lebih dari seorang suami.36 Dalam istilah lain poligami dikatakan poligini37, yaitu perkawinan dengan lebih dari satu istri, dan

poliandri yaitu perkawinan dengan lebih dari satu suami. Istilah poligami sering dipakai untuk mengacu kepada poligini saja karena praktek ini lebih sering di amalkan dari pada poliandri. Selanjutnya, dalam pembahasan ini penyusun

35

Khoiruddin Nasution, “Perdebatan sekitar kasus poligami” Jurnal Musaa, Vol. 1 (Maret 2002), h. 84

36

Ensiklopedi Nasional Indonesia,(Jakarta: PT Cipta Adi Pustaka, 1990), h. 306

37

(34)

menggunakan istilah poligami untuk menyebut seorang suami yang memiliki lebih dari seorang istri.

Lain halnya poligami dari kacamata ulama fiqh, bahwa pengertian poligami adalah seorang laki-laki yang mempunyai istri dalam waktu yang bersamaan, yang di Jawa lebih dikenal dengan pemaduan atau wayuh. Laki-laki yang berpoligami disebut dengan istilah bermadu, sedang wanitanya disebut istri

madu atau maru (bahasa Jawa). Istilah maru ini dipergunakan sebagai predikat antara masing-masing istri yang dimadu, juga antara istri dengan bekas istri seorang laki-laki.38

Namun, yang dimaksud dengan poligami sebagai sunnah Rasul adalah, poligami yang mengangkat harkat dan martabat perempuan dengan mengawini janda-janda perang, fakir miskin, dan dengan niatan untuk mengangkat dan menyelamatkan anak-anak yatim.39

Pengertian poligami mengalami pergeseran dan penyempitan makna, dan kemudian sering digunakan untuk menyebut suatu pranata perkawinan antara seorang suami dengan beberapa istri. Hal demikian terjadi karena sistempatriarki

yang selama ini dijalani oleh masyarakat, yang seakan-akan telah dibakukan dan diterima oleh hampir seluruh umat manusia. Hal itu juga karena pada masa sekarang, praktek perkawinan yang masih dan banyak diterapkan oleh masyarakat adalah perkawinan monogami dan poligami (baca: poligini). Sementara poliandri,

38

Sumiati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, (Yogyakarta: Liberty, t.t), h. 74

39

(35)

sangat jarang ditemukan dalam praktek perkawinan di masyarakat. Praktek poliandri hanya dijumpai pada suku Tuda dan suku-suku di Tibet. Bahkan, dalam Islam tidak dibenarkan perempuan untuk memiliki suami lebih dari seorang dengan alasan apapun. Isilah ini pula yang digunakan Undang-Undang Perkawinan di Indonesia untuk menyebut perkawinan antara seorang suami dengan beberapa istri.

F. Sejarah Poligami dalam Islam

Poligami telah dikenal manusia dengan lika-liku sejarah yang sangat panjang. Dalam perjanjian lama misalnya, disebutkan Nabi Sulaiman a.s memiliki tujuh ratus “istri” bangsawan dan tiga ratus gundik. Proses poligami kemuadian meluas, disamping dalam masyarakat Arab Jahiliyah, juga pada bangsa Ibrani dan Sicilia yang kemudian melahirkan sebagian besar bangsa Rusia, Lithuania, Polandia, Cekoslowakia dan Yugoslavia, serta sebagian penduduk Jerman, Swiss, Belgia, Belanda, Denmark, Swedia, Norwegia dan Inggris. Gereja di Eropa pun mengakui poligami hingga akhir abad ke-XVII atau awal abad XVIII.40 Poligami juga dilakukan oleh banyak bangsa, termasuk bangsa Ibrani, Arab, Jerman, Saxon, Afrika, Hindu India, Cina dan Jepang.

Bila melihat sejarah, akan terbukti bahwa poligami telah ada sejak ratusan bahkan ribuan tahun yang lalu di kalangan bangsa-bangsa yang hidup pada masa

40

Quraish Shihab, Perempuan: Dari Cinta Sampai Seks, Dari Nikah Mut’ah Sampai Nikah

(36)

zaman purba. Seperti halnya agama Like di Cina memperbolehkan poligami sampai 130 orang, bahkan ada raja Cina yang beristri sampai 30000 orang istri.41

Martin Luther King, pendiri Protestan bersikap cukup toleran terhadap poligami dengan alasan, bahwa Tuhan tidak melarang, dan bahwa Nabi Ibrahim a.s sendiri beristri dua. King menilai poligami lebih baik daripada perceraian, kendati dia menganjurkan monogami dan menyatakan, bahwa poligami baru dapat dilakukan jika ada kondisi khusus yang membenarkannya.

Selain itu poligami juga kerap dipraktekkan oleh orang Yahudi. Menurut ajaran Talmud seorang laki-laki dapat menikahi banyak istri, karena Rabbah

menyatakan bahwa hal tersebut boleh dilakukan, dengan syarat jika laki-laki itu mampu membiayai istri-istrinya, tetapi orang bijak yang hidup pada waktu itu menyarankan untuk menikah tidak lebih dari empat orang.42

Praktek poligami dalam agama Yahudi berlangsung sampai abad ke-11 hingga poligami dilarang oleh sidang muktamar Rabbi di Worms. Dalam kalangan orang-orang Yahudi Eropa poligami masih dipraktekan sampai abad pertengahan, sementara di kalangan orang-orang Yahudi yang hidup di negara-negara Muslim masih memprakekkan poligami hingga sekarang.

Sekarang poligami turut berkembang secara modern mengikuti perkembangan zaman. Perkembangan modern akhirnya melihat poligami sebagai perkawinan yang terkutuk. Para orientalis barat mengklaim perkawinan poligami

41

Mustafa As Siba’iy, Wanita Diantara Hukum Islam Dan Perundang-Undangan, alih bahasa Khadidjah Nasution, (Jakara: Bulan Bintang,1977), h. 100

42

Haufa Jawad,Otentisitas Hak-Hak Perempuan: Perspektif Islam Atas Kesetaraan Gender,

(37)

sebagai sesuatu yang tidak bermoral. Ada indikasi, bahwa praktek poligami dipengaruhi oleh gagasan Jerman dan Yunani-Romawi atau pengaruh Kristen yang tidak dapat dipertanggung jawabkan secara historis. Dalam sejarahnya, tidak ditemukan ada informasi yang membenarkan pendapat tersebut.

Jika ditelaah dalam kitab suci agama Yahudi dan Nasrani, maka akan tertera bahwa poligami adalah jalan hidup yang diterima. Semua Nabi yang disebutkan dalam Talmud, Perjanjian Lama, Al-Qur’an beristri lebih dari seorang, kecuali Yesus atau Nabi Isa as.

Ketika Islam datang, kaum pria memiliki istri sampai sepuluh atau lebih, tanpa batasan. Islam lalu memberitahu mereka, bahwa ada batasan yang tidak boleh dilanggar, yakni empat saja. Karena poligami hanya boleh dilakukan sebagai solusi dalam keadaan darurat. Poligami dalam Islam sama sekali bukan sarana untuk mengumbar hawa nafsu tanpa batas.43

Jika melihat kepada poligami yang dilakukan Nabi Muhammad SAW, sesungguhnya perlu disadari, bahwasanya beliau baru berpoligami setelah pernikahan pertamanya berlalu sekian lama, setelah wafatnya istri beliau Khadijah r.a. Pada saat itu Nabi SAW telah bermonogami selama 25 tahun. Lalu tiga atau empat tahun setelah kematian Khadijah r.a barulah beliau menikahi Aisyah r.a. Disusul setelah itu pernikahan poligami beliau dengan Saudah binti Zam’ah janda tua yang suaminya meninggal di perantauan, Hindun atau Ummu

43

(38)

Salamah janda yang suami gugur di peperangan, Ramlah janda yang dicerai suaminya karena suaminya murtad, Huriyah binti Al Haris yang seorang tawanan perang pasukan Islam, Hafsah seorang janda putri dari Umar bin Khathab, Shafiyah binti Huyay salah seorang tawanan perang yang dimerdekakan Rasul, Zainab binti Jahesy seorang janda yang dulunya dinikahkan dengan seorang budak, dan yang terakhir Zainab binti Khuzaimah yang suaminya gugur dalam perang uhud.

Perlu diingat, bahwa semua perempuan yang beliau nikahi kecuali Aisyah ra, adalah janda-janda yang sebagian di antaranya berusia senja, atau tidak lagi memiliki daya tarik yang memikat. Istri-istri yang disebut di atas inilah yang seringkali disoroti oleh mereka yang tidak mau tahu atau enggan memahami latar belakang pernikahan itu.44

Oleh karena itu, tidak dapat dibenarkan bahwa poligami adalah sebuah anjuran, dengan alasan pahwa perintah dalam Al-Qur’andimulai dengan bilangan

dua-dua, tiga-tiga, empat-empat, baru kemudian perintah monogami dilakukan kalau khawatir tidak dapat berlaku adil. Tidak dapat juga menjadikan poligami Rasulullah sebagai hal yang diteladani, karena tidak semua apa yang dilakukan beliau perlu diteladani. Sebagaimana tidak semua wajib atau terlarang bagi beliau, wajib atau terlarang pula bagi umatnya.45

44

Quraish Shihab,Perempuan,h. 170-171

45

(39)

G. Landasan Teologis Poligami dalam Islam

Banyak pertanyaan yang mencuat saat topik poligami asyik dibicarakan. Poligami sebagai Sunah Rasulullah yang sangat kontroversial masih dipertanyakan, apakah akan membawa berkat jika diamalkan, atau sebagai pintu darurat yang seharusnya hanya digunakan dalam keadaan tertentu. Pertanyaan-pertanyaan serupa ini kini banyak diperbincangkan dalam masyarakat Indonesia.

Aturan mengenai poligami tertera dalam firman Allah SWT surat An-Nisa’ ayat 3 yang berbunyi:

ْن ِإ َ و

ْﻢ ُﺘ ْﻔ ِ ﺧ

ﱠ ﻻ َأ

اﻮ ُﻄ ِ ﺴ ْﻘ ُـﺗ

ِ ﰲ

ﻰ َﻣ ﺎ َﺘ َﻴ ْﻟ ا

اﻮ ُﺤ ِﻜ ْﻧ ﺎ َﻓ

ﺎ َﻣ

َب ﺎ َﻃ

ْﻢ ُﻜ َﻟ

َﻦ ِﻣ

ِء ﺎ َﺴ ﱢﻨ ﻟ ا

َﲎْـﺜَﻣ

َث َ ﻼ ُﺛ َ و

َع ﺎ َﺑ ُر َ و

ْن ِﺈ َﻓ

ْﻢ ُﺘ ْﻔ ِ ﺧ

ﱠ ﻻ َأ

اﻮ ُﻟ ِﺪ ْﻌ َـﺗ

ًةَﺪ ِ ﺣ ا َ ﻮ َـﻓ

ْو َأ

ﺎ َﻣ

ْﺖ َﻜ َﻠ َﻣ

ْﻢ ُﻜ ُﻧ ﺎ َ ْ ﳝ َأ

َﻚ ِﻟ َذ

َﱏْدَأ

ﱠ ﻻ َأ

اﻮ ُﻟ ﻮ ُﻌ َـﺗ

)

ء ﺎ ﺴ ﻨ ﻟ ا

:

3

(

Artinya:

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.(An-Nisa’: 3)

(40)

adalah perlakuan yang adil dalam melayani istri seperti: pakaian, tempat, giliran, dan lain-lain.46

Ulama kontemporer Quraish Shihab, memahami ayat tersebut dengan mengatakan, bahwa jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap perempuan yatim, dan kamu percaya diri akan berlaku adil terhadap perempuan-perempuan selain anak yatim itu, maka kawinilah apa yang kamu senangi sesuai selera kamu. Bahkan kamu dapat melakukan poligami sampai batas empat orang perempuan sebagai isteri pada waktu bersamaan. Jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, baik dalam hal materi maupun non materi, baik lahir maupun batin maka kawini seorang perempuan saja (nikah secara monogami) atau kawinilah budak-budak yang kamu miliki. Demikian itu, yakni menikahi selain perempuan yatim (berpoligami dengan perempuan lain), dan mencukupkan satu orang istri (monogami), itu lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. Persyaratan berlaku adil terhadap isteri-isrti yang dimadu tersebut merupakan persyaratan mutlak dari Allah SWT dan ia tertera dengan tegas dalam ayat tersebut.47

Berbeda dengan Shahrur yang memahami ayat tersebut, bahwasanya Allah SWT bukan hanya sekedar memperbolehkan poligami, tetapi Ia sangat menganjurkannya, namun dengan dua syarat yang harus terpenuhi, (1) bahwa isteri kedua, ketiga dan keempat itu adalah janda yang memiliki anak yatim; (2) harus terdapat rasa khawatir tidak dapat berlaku adil kepada anak yatim. Sebaliknya, jika syarat-syarat tersebut tidak terpenuhi maka perintah poligami

46

Slamet Abidin, Aminuddin,Fiqh Munakahat 1,(Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 132

47

(41)

menjadi gugur.48 Dengan demikian, perintah poligami itu adalah perintah bersyarat. Karena ketentuan Allah tentang poligami adalah ketentuan bersyarat, maka poligami tersebut bukanlah ketetapan yang berlaku umum, universal, dan bersifat abadi.

Imam Malik berkata dalam kitabnya Al-Muwattha, bahwa Ghaylan bin Salmah memeluk Islam sedangkan dia memiliki sepuluh orang istri. Rasulullah SAW bersabda:

ِﲎَﺛﱠﺪَﺣ

َﲕَْﳛ

ْﻦ َﻋ

ٍﻚ ِﻟ ﺎ َﻣ

ِﻦ َﻋ

ِﻦ ْﺑ ا

ٍب ﺎ َﻬ ِ ﺷ

ُﻪﱠﻧ َأ

َل ﺎ َﻗ

ِﲎَﻐَﻠَـﺑ

ﱠن َأ

َل ﻮ ُﺳ َر

ِﻪﱠﻠ ﻟ ا

ﻰ ﻠ

ﷲ ا

ﻪ ﻴ ﻠ ﻋ

ﻢ ﻠ ﺳ و

َل ﺎ َﻗ

ٍﻞ ُﺟ َﺮ ِﻟ

ْﻦ ِﻣ

ٍ ﻒ ﻴ ِﻘ َﺛ

َﻢ َﻠ ْﺳ َأ

ُﻩَﺪْﻨِﻋَو

ُﺮ ْﺸ َﻋ

ٍةَﻮ ْﺴ ِﻧ

َﲔ ِ ﺣ

َﻢ َﻠ ْﺳ َأ

ﱡﻰ ِﻔ َﻘ ﱠـﺜ ﻟ ا

ْﻚ ِ ﺴ ْﻣ َأ

ﱠﻦ ُﻬ ْـﻨ ِﻣ

ﺎ ًﻌ َـﺑ ْ ر َأ

ْق ِر ﺎ َﻓ َ و

ﱠﻦ ُﻫ َﺮ ِﺋ ﺎ َﺳ

49 Artinya:

Berkata kepada kami Yahya dari Malik dari Ibnu Syihab bahwasanya berkata dan menyampaikan kepadaku. Rasulullah SAW berkata kepada laki-laki dari bani tsaqif yang menyatakan dirinya masuk islam dan dirinya mempunyai 10 orang isteri, kemudian nabi besabda, pilihlah dari mereka (isteri-isterinya) empat orang dan lepaskan selebihnya.

Begitupula yang diriwayatkan Abu Daud dalam kitabnya:

ﺎ َﻨ َـﺛ ﱠﺪ َﺣ

َﲕَْﳛ

ُﻦ ْﺑ

ٍﻢ ﻴ ِﻜ َﺣ

ﺎ َﻨ َـﺛ ﱠﺪ َﺣ

ُﺪﱠﻤَُﳏ

ُﻦ ْﺑ

ٍﺮ َﻔ ْﻌ َﺟ

ﺎ َﻨ َـﺛ ﱠﺪ َﺣ

ٌﺮ َﻤ ْﻌ َﻣ

ِﻦ َﻋ

ﱢى ِﺮ ْﻫ ﱡﺰ ﻟ ا

ْﻦ َﻋ

ٍِﱂﺎَﺳ

ِﻦ َﻋ

ِﻦ ْﺑ ا

َﺮ َﻤ ُﻋ

َل ﺎ َﻗ

َﻢ َﻠ ْﺳ َأ

ُن َﻼ ْﻴ َﻏ

ُﻦ ْﺑ

َﺔَﻤ َﻠ َﺳ

ُﻪَﺘ ْ َ ﲢ َ و

ُﺮ ْﺸ َﻋ

ٍةَﻮ ْﺴ ِﻧ

َل ﺎ َﻘ َـﻓ

ُﻪَﻟ

ﱡِ ﱮﱠﻨﻟا

ﻰ ﻠ ﺻ

ﷲ ا

ﻪ ﻴ ﻠ ﻋ

ﻢ ﻠ ﺳ و

ْﺬ ُﺧ

ُﻬ ْـﻨ ِﻣ

ﱠﻦ

ﺎ ًﻌ َـﺑ ْ ر َأ

50 48

Muhammad Shahrur, metodologi Fiqh Islam Kontemporer, alih bahasa: Sahiron Syamsuddin, (Yogyakarta: eLSAQ, 2004), h. 428

49

Malik Ibn Anas,al-Muwatta’, “29. Kitab at-Talaq”, “29. BabJami’u at-Talaq”, edisi M. F.

Abd al-baqi (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), II: 586, hadis nomor 76 Imam Malik meriwayatkan dari Ibnu Syihab.

50

Abu Abdillah Muhammad bin Yazid ar-Raba’i al-Qawzini,Sunan Ibn Majah, “9. Kitab an

(42)

Artinya:

Menceritakan kepada kami Yahya bin Hakim, menceritakan kepada kami

Muhammad bin Ja’far, menceritakan kepada kami Ma’mar dari Zuhri

dari Salim dari Ibnu Umar berkata, Ghailan bin Salmah menyatakan dirinya masuk Islam, dan drinya mempunyai sepuluh orang isteri, maka nabi SAW besabda, pilihlah empat orang saja dari mereka (isteri-isterinya).

Penafsiran ayat-ayat dari Al-Qur’anmengenai poligami melahirkan tafsir yang berbeda-beda antara satu dan lainnya. Pendapat-pendapat tersebut dapat diasumsikan ke dalam tiga kelompok utama. Kelompok pertama berpendapat, bahwa orang yang berpoligami mengikuti Sunah Nabi Muhammad, maka secara otomatis mendapatkan pahala. Menurut kelompok ini, poligami dianjurkan bagi laki-laki yang mampu melaksanakannya. Poligami dijadikan sebagai alat ukur keimanan seorang laki-laki”.51

Berbeda dengan kelompok kedua yang berpendapat, poligami tidak dianjurkan dalam agama, melainkan diperbolehkan dalam keadaan tertentu. Kelompok ketiga percaya, bahwa poligami itu seharusnya tidak dijalankan pada masa kini. Menurut kelompok ini, poligami dilakukan oleh Nabi Muhammad karena kondisi tertentu yang ada pada zaman itu, yaitu masa perang yang menimbulkan banyak janda dan anak yatim yang perlu dilindungi. Karena maksud QS An-Nisa’ (4): 3 adalah untuk membatasi jumlah istri yang boleh dinikahi dan “menghapuskan poligami secara perlahan.”52

51

Setiati,Hitam Putih Poligami: Menelaah Perkawinan Poligami Sebagai Sebuah Fenomena,

(Jakarta: Cisera Publishing, 2007), h. 23

52

(43)

Tuduhan bahwa Al-Qur’an memperlakukan perempuan secara tidak adil karena memperbolehkan poligami masih terus hangat terdengar. Tuduhan ini juga sering dikaitkan kepada Rasulullah yang juga melakukan poligami bahkan istrinya konon sampai sembilan. Menurut Riffat Hassan masalah tersebut merupakan problem yang tak kunjung selesai. Namun perlu dicatat, dalam Al-Qur’an hanya ada satu ayat, yaitu surat An-Nisa’ (4): 3 yang berbicara poligami,

akan tetapi ayat tersebut sering diartikan secara “keliru” oleh kebanyakan mufasir, untuk

tidak mengatakan semuanya. Dalam Al-Qur’anmaupun dalam keseharian beliau, memelihara

anak yatim dan anak yang terlantar selalu mendapat perhatian besar dan dianggap sangat

penting. Izin poligami dalam Al-Qur’an sesungguhnya berkaitan erat dengan masalah

tersebut. Jika dicermati mengenai kandungan tentang ayat poligami tersebut, sebetulnya fokus

utamanya adalah masalah penyantunan anak yatim. Jadi,yang dimaksud “pernikahan” dalam

ayat tersebut adalah menikahi ibu anak yatim. Penafsiran ini tidak diragukan lagi, karena ayat

ini turun ketika banyak terjadi perang dan banyak laki-laki meninggal sehingga banyak janda

dan anak-anak yatim. Oleh sebab itu, sebenarnya pesan moral Al-Qur’antntang masalah ini:

1) agar anak yatim dipelihara dan disantuni; 2) ayat ini berbicara tentang keadilan, sehingga

dapat disimpulkan bahwa poligami sebenarnya hanya dibolehkan dalam kondisi sulit seperti

itu.53

Keadilan ditetapkan sebagai syarat dalam poligami. Itu berarti menuntut manusia mencapai kekuatan moral paling tinggi. Melaksanakan keadilan dan berpantang dari tindakan deskriminasi terhadap istri-istri merupakan tugas paling sulit bagi suami. Hal inilah yang dimaksud dengan tidak akan sanggup berlaku adil.

53

(44)

Dalam Al-Quran Allah menegaskan QS An-Nisa’ (4): 12954:

ْﻦ َﻟ َ و

اﻮ ُﻌ ﻴ ِﻄ َﺘ ْﺴ َﺗ

ْن َأ

اﻮ ُﻟ ِﺪ ْﻌ َـﺗ

َ ْ ﲔ َـﺑ

ِء ﺎ َﺴ ﱢﻨ ﻟ ا

ْﻮ َﻟ َ و

ْﻢ ُﺘ ْﺻ َﺮ َﺣ

َ ﻼ َﻓ

اﻮ ُﻠ ﻴ ِ َ ﲤ

ﱠﻞ ُﻛ

ِﻞ ْﻴ َﻤ ْﻟ ا

ﺎ َﻫ و ُر َﺬ َﺘ َـﻓ

ِﺔَﻘ ﱠﻠ َﻌ ُﻤ ْﻟ ﺎ َﻛ

ْن ِإ َ و

اﻮ ُﺤ ِﻠ ْﺼ ُﺗ

اﻮ ُﻘ ﱠـﺘ َـﺗ َ و

ﱠن ِﺈ َﻓ

َﻪﱠﻠ ﻟ ا

َن ﺎ َﻛ

ا ًر ﻮ ُﻔ َﻏ

ﺎ ًﻤ ﻴ ِ ﺣ َر

)

ء ﺎ ﺴ ﻨ ﻟ ا

:

129

(

Artinya:

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.( An-Nisa’: 129)

Secara historis, ayat ini mempunyai kaitan erat dengan ayat 2-3, dan 20 dalam surat yang sama. Ayat ini diturunkan di Madinah setelah perang Uhud. Bahwasanya dalam perang tersebut umat Islam mengalami kekalahan yang cukup fatal, salah satunya yaitu banyaknya pejuang laki-laki yang gugur di medan laga. Menurut catatan sejarah tidak kurang 70 syuhada (laki-laki dewasa dan berkeluarga) gugur. Wafatnya mereka meninggalkan banyak janda dan anak-anak yang menjadi yatim. Jumlah mereka sangat banyak, mulai dari yang tua dan yang muda, serta yang kaya dan yang miskin. Begitu pula dengan anak yatim.

Persoalan muncul berkaitan dengan pemeliharaan, perlindungan dan keamanan serta praktek kehidupan. Sebab, pada waktu itu laki-laki adalah tumpuan perempuan dalam berbagai hal. Secara psiko-sosial kehidupan janda muda dan anak yatim yang kaya tentu menjadi incaran bagi mereka yang bermaksud jahat terhadap mereka. Oleh karena itu, dalam beberapa ayat di atas

54

(45)

keadilan dan pemenuhan hak-hak mereka sangat ditekankan. Hal ini untuk menghindari agar jangan sampai terjadi kejahatan yang memanfaatkan mereka dan harta mereka.55

Ayat di atas sebenarnya tidak secara langsung titik tekan uraiannya kepada persoalan poligami, melainkan pada persoalan anak yatim, karena dalam persoalan tersebut terkandung problem mendasar yang sering menimpa mereka, yaitu persoalan ketidakadilan.

H. Asbâb al-Nuzûl Ayat Poligami

Asbâb al-Nuzûl adalah sebab-sebab turunnya ayat. Asbâb al-Nuzûl memberikan informasi keterkaitan turunnya ayat dengan suatu peristiwa. Masfuk Zuhdi, mendefinisikan Asbâb al-Nuzûl dengan: semua yang disebabkan olehnya diturunkan suatu ayat atau beberapa ayat yang mengandung sebabnya, atau memberi jawaban terhadap sebabnya, atau menerangkan hukumnya, pada saat terjadinya peristiwa.56

Penyebab turunnya suatu ayat, selalu berkaitan dengan suatu peristiwa. Peristiwa turunnya ayat tersebut, juga dapat diperkirakan dengan dugaan kuat tujuan sebuah ayat diturunkan oleh Allah SWT. Oleh sebab itu, mengetahui dan memperhatikan Asbâb al-Nuzûl adalah suatu keharusan dalam mengkaji Al-Qur’an agar memperoleh pemahaman yang utuh, lengkap, dan sempurna,

55

Inayah Rahmaniyah dan Moh. Sodik, Menyoal Keadilan Dalam Poligami,( Yogyakarta:), h. 7-8

56

(46)

sehingga terhindar dari kekeliruan, dan bermanfaat mengetahui hikmah disyariatkannya hukum, dan mengenai kekhususan hukum.57

Surat An-Nisa’ ayat 4 sebagai salah satu ayat yang menyoroti poligami, diturunkan di Madinah, terdiri dari 176 ayat, merupakan surat terpanjang keempat setelah al-Baqarah, al-A’raf, dan Ali-Imran. Surah itu diberi nama An-Nisa’ karena kandungannya banyak memuat penjelasan hal-hal yang berkaitan dengan perempuan.

Sebelum Islam dibawa Muhammad SAW, orang Arab memiliki tradisi memelihara anak-anak perempuan yatim di rumah-rumah mereka dengan alasan memberi perlindungan dan menjadi wali bagi mereka, kemudian menikahi mereka tanpa mahar atau dengan mahar yang lebih kecil dibandingkan dengan mahar yang lazim (mahar standar), dan kemudian menguasai harta anak-anak yatim tersebut. Anak-anak yatim itu dikuasai, diremehkan, dan diberlakukan tidak adil. Jika wali itu sudah tidak berkenan, atau tidak merasa nyaman dengan anak-anak yatim tersebut, mereka diusir atau ditinggalkan begitu saja. Sehubungan dengan itu, Allah menurunkan ayat ke-3 surat An-Nisa’ sebagai teguran, saran, dan peringatan bagi mereka yang menikahi anak perempuan yatim.58

Ketika ayat ini turun, masih banyak orang mukmin yang mempunyai istri lebih dari empat, seperti al-Haris bin Qais yang memiliki delapan istri dan Naufal bin Muawiyah yang mempunyai lima istri. Mereka dianjurkan oleh Nabi agar

57

Muhammad Ali Ash Shobuni, Ikhtisar Ulumul Qur’an Praktis, alih Bahasa Muhammad Qodirun Nur, (Jakarta: Pustaka Amani, t.t.), h. 29

58

Nurjannah Ismail, Perempuan Dalam Pasungan, Bias Laki-Laki Dalam Penafsiran,

(47)

memilih empat di antaranya. Dengan demikian, akan tampak bahwa Islam tidak mengambil inisiatif memperbolehkan istri lebih dari satu, bahkan Islam mendorong sebaliknya, membatasinya dan dengan enggan membolehkan sampai empat istri dalam situasi yang memungkinkan saat itu.

(48)

zalim terhadap isteri yang seorang itu. Apabila ia masih takut pula kalau berbuat zalim terhadap isterinya yang seorang itu, maka tidak boleh ia kawin dengannya, tetapi ia harus mencukupkan dirinya dengan budak wanitanya.59

Rasyid Rida lebih lanjut mengemukakan, bahwa maksud ayat 3 surat An-Nisa’ ialahuntuk memberantas atau melarang tradisi zaman jahiliyyah yang tidak manusiawi, yaitu wali anak wanita yatim mengawini anak wanita yatim tersebut tanpa memberi hak mahar dan hak-hak lainnya dan ia bermaksud untuk makan harta anak yatim dengan cara tidak sah serta ia menghalangi anak yatimnya kawin dengan orang lain agar ia tetap leluasa menggunakan harta anak tersebut. Demikian pula tradisi zaman jahiliyyah yang mengawini isteri banyak dengan perlakuan yang tidak adil dan tidak manusiawi, dilarang oleh Islam berdasarkan ayat tersebut.60

Quraish Shihab menghubungkan ayat tersebut dengan surat An-Nisa’ 127. Ia mengatakan bahwa mereka (para wali/ yang menguasai anak yatim) dilarang mengawini anak-anak yatim yang mereka inginkan karena harta dan kecantikan. Ayat tersebut bukan membuat peraturan untuk berpoligami karena poligami telah dianut dan dilaksanakan sebelum ayat ini turun.61

Setelah ayat tersebut turun, jumlah istri laki-laki muslim dalam berpoligami dibatasi, yaitu paling banyak sampai empat orang. Seorang yang sudah terlanjur beristri lebih dari empat orang harus menceraikan istrinya

59

Rasyid Rida,Tafsir al-Manar, (Mesir; Dar al-Manar, t.t. ), h. 344-345

60

Ibid,h. 347-348

61

(49)

sehingga jumlah istri yang terikat nikah dengannya dalam waktu yang sama hanya empat orang. Oleh karena itu, para ulama dan fuqaha telah menetapkan persyaratan bagi mereka yang hendak berpoligami sebagai berikut:

1. Dia harus memiliki kemampuan dan kekayaan yang cukup untuk membiayai berbagai kebutuhan istri-istrinya itu.

2. Dia harus memperlakukan istri-istrinya itu dengan adil.62

Kandungan pemahan ayat di atas menurut Asghar Ali Engineer, ayat tersebut menjelaskan, bahwa Al-Qur’an “enggan” untuk menerima institusi poligami.63 Hal ini juga dibenarkan oleh Siti Musdah Mulia, yang menyatakan, bahwa sebenarnya dengan menyimak susunan redaksi ayat itu saja, dapat diketahui secara jelas, bahwa ayat tersebut bukan anjuran untuk poligami, melainkan lebih kepada memberikan solusi agar para wali terhindar dari berbuat tidak adil terhadap anak yatim yang berada dalam perwalian mereka, yaitu dengan mengawini perempuan lain saja.

62

Abdur Rahman,Perkawinan Dalam Syari’at Islam, (Jakarta; PT Rineka Cipta, 1992), h. 44-45.

63

(50)

BAB III

POLIGAMI DAN FEMINISME DI INDONESIA

A. Pelaksanaan Poligami Dalam Sistem Hukum Indonesia

Di Indonesia peraturan yang memuat tentang poligami diatur dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang No. 1 tahun 1974 ini mulai berlaku tanggal 1 Oktober 1975 yang diperuntukkan bagi seluruh rakyat Indonesia, tanpa melihat suku bangsa, asal-usul dan agama, warga Negara asli maupun keturunan asing, sehingga lebih menjamin unifikasi dalam hukum perkawinan. Undang-Undang ini dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975 berupa Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Peraturan Pemerintah No. 10 tahun 1983 tentang izin perkawinan dan perceraian bagi Pegawai Negeri Sipil (PNS).

(51)

adalah dapat berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anaknya.64 Bagi laki-laki yang tetap ingin berpoligami harus memenuhi syarat-syarat yang telah diatur Pengadilan Agama (Pasal 4 ayat 2) sebagai berikut:

1. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri;

2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; 3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

Meskipun di dalam Undang-Undang No. 1 tahun 1974 memperbolehkan untuk poligami (bersyarat), pernikahan yang seperti ini baru dapat dilakukan benar-benar dalam keadaan mendesak dan bertujuan untuk menjaga keutuhan sebuah perkawinan serta menghindari perceraian. Karena perceraian hanya akan memberikan resiko yang berat kepada istri dan anak-anak yang ditinggalkan.65

Apabila melihat pada alasan pemberian izin melakukan poligami di atas, dapat dipahami bahwa alasan itu mengacu pada tujuan pokok pelaksanaan perkawinan, yaitusakinah, mawaddah dan rahmahberdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam Undang-Undang tentang Perkawinan No. 1 tahun 1974 Pasal 5 menjelaskan, bahwa pihak suami harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: (1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan Agama

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

64

Kompilasi Hukum Islam Pasal 5 ayat (2)

65

(52)

a. Adanya persetujuan dari istri/ istri-istri.

b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka.

c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka.

(2) Persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri/

Gambar

TabelKasus Perceraian Akibat Poligami Tidak Sehat di Pengadilan Tinggi Agama

Referensi

Dokumen terkait

menunjukkan aktivitas insektisida bagus, hampir semua turunan yang diuji memiliki efektifitas inhibitor asetilklorinesterase lebih rendah daripada karbofuran, tetapi masih

Model pengambilan keputusan untuk pemilihan presiden-wakil presiden merupakan model keputusan banyak kriteria dimana setiap kriteria yang digunakan kabur atau tidak

Antropologi kesehatan merupakan bagian dari ilmu antropologi yang sangat penting sekali, karena di dalam antropologi kesehatan diterangkan dengan jelas kaitan

Apabila seseorang dilarang meminjamkan uang dengan bunga yang tinggi, maka secara rasional lebih baik ia meminjamkannya kepada kalangan menengah dan

Gambar 1 dapat di lihat bahwa kebanyakan alasan responden melakukan mobilitas sirkuler karena sudah lama bekerja dan sebelum tinggal di Kecamatan Kalawat mereka

Kegiatan pengerukan yang hasil material keruknya tidak dimanfaatkan, adalah kegiatan pekerjaan pengerukan untuk pendalaman alur pelayaran dan kolam pelabuhan atau untuk

strategi pemasaran yang maksimal,maka diharapkan akan menarik minat masyarakat atau nasabah sehingga mereka bisa mengambil keputusan untuk menabung atau menggunakan

Pembayaran yang dilakukan dalam periode tersebut adalah pembayaran cicilan Pinjaman SEK Tranche A, B dan C sebesar USD45,0 juta, cicilan Pinjaman HSBC Coface dan Sinosure