• Tidak ada hasil yang ditemukan

Poligami Tanpa Izin Pengadilan Agama Perspektif Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2024

Membagikan "Poligami Tanpa Izin Pengadilan Agama Perspektif Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

i

POLIGAMI TANPA IZIN PENGADILAN AGAMA PERSPEKTIF KOMPILASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA DAN UNDANG-UNDANG

KELUARGA ISLAM DI MALAYSIA

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Dalam Bidang Syariah dan Hukum Islam

Pada Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar

Oleh:

Muh. Isra Syarif NIM: 80100219083

Promotor:

Dr. H. Muh. Saleh Ridwan, M. Ag.

Kopromotor:

Dr. H. M. Thahir Maloko, M. H.I.

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) ALAUDDIN MAKASSAR

2 0 2 2

(2)

ii

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS Mahasiswa yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Muh. Isra Syarif

NIM : 80100219083

Tempat/Tanggal Lahir : Tongauna, 17 November 1998

Prodi/Konsentrasi : Dirasah Islamiyah/Syariah Hukum Islam Program : Magister Pascasarjana UIN Alauddin Makassar Alamat : Jl. Kenari 12, Baruga 2, Moncongloe, Maros Judul Tesis : Poligami Tanpa Izin Pengadilan Agama

Perspektif Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia Dengan penuh kesadaran, penulis yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan bahwa tesis ini benar adalah hasil karya penulis sendiri. Jika di kemudian hari terbukti bahwa ia merupakan duplikat, tiruan, plagiat, atau dibuat oleh orang lain, sebagian atau seluruhnya, maka tesis dan gelar yang diperoleh karenanya batal demi hukum.

Makassar, 25 Safar 1444 H 22 September 2022 M Penulis,

MUH. ISRA SYARIF

NIM: 80100219083

(3)

iii

(4)

iv

KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah swt. yang senantiasa melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-nya sehingga atas izin-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul “Poligami Tanpa Izin Pengadilan Agama Perspektif Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia”.

Shalawat disertai salam senantiasa tercurahkan kepada Rasulullah saw., keluarga, sahabat-sahabat, dan para pengikut beliau yang setia mengikuti ajaran beliau hingga akhir zaman.

Harapan penulis semoga tesis ini bermanfaat bagi yang membaca.

Selanjutnya penulis mengucapkan terima kasih kepada segenap pihak baik secara langsung maupun tidak langsung yang telah membantu penyelesaian tesis ini.

Ayahanda Ibunda, saudara dan keluarga besar saya tercinta yang telah menjaga dan mendidik penulis dengan penuh kasih saying yang selalu memberikan dukungan doa, moral dan materi yang tak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan studinya. Semoga Allah swt memberikan rahmat dan kasih sayang- Nya, diberikan kesehatan, kekuatan, serta menerima amal ibadah dan mengampuni segala dosa ayahanda dan ibunda tercinta. Kemudian penulis haturkan terima kasih dan penghargaan kepada yang terhormat:

1. Rektor UIN Alauddin Makassar, Prof. Dr. H. Hamdan Juhannis, M.A yang terus berusaha memajukan kampus UIN Alauddin Makassar melalui Pancacita Akademik dan Non-Akademik dengan tetap menunjukkan

perhatian yang besar terhadap mahasiswa

(5)

v

2. Direktur Pascasarjana UIN Alauddin Makassar, Prof. Dr. H. M. Ghalib M, MA. Wakil Direktur Dr. H. Andi Aderus, Lc., MA, telah mendedikasikan waktu, tenaga, dan ilmunya demi membangun dan mengembangkan kualitas Pascasarjana UIN Alauddin Makassar. Serta tidak lupa sangat mengapresiasi atas perhatian yang besar terhadap mahasiswa di Pascasarjana UIN Alauddin Makassar.

3. Ketua Program S2 Studi Dirasah Islamiyah Dr. Indo Santalia, dan Sekretaris Dr. Laode Ismail, M.Th.I, telah bersungguh-sungguh mengabdikan ilmunya demi mewujudkan peningkatan kualitas UIN Alauddin Makassar sebagai perguruan tinggi yang terdepan dalam membangun peradaban Islam.

4. Ayahanda yang terpelajar Dr. H. Muh. Saleh Ridwan, M. Ag., selaku promotor yang telah memberikan doa, motivasi, dan ide-ide. Serta bimbingannya, hingga terselesaikannya tesis ini.

5. Dr. H. M. Thahir Maloko, M. H.I.. selaku kopromotor, yang yang telah memberikan ide-ide dan bimbingannya, sampai akhirnya tesis ini terselesaikan.

6. Dr. H. Abd. Halim Talli, M.Ag. dan Dr. Fatimah, M.Ag. selaku penguji yang telah berkenan untuk meluangkan waktunya, dan memberikan ide. Serta bimbingan demi pengoreksian tesis ini.

7. Segenap guru besar dan dosen yang telah mengajarkan ilmunya dan memberikan arahan ilmiahnya selama masa studi. Serta para karyawan

(6)

vi

Pascasarjana UIN Alauddin Makassar yang telah melayani dengan baik demi kelancaran penyelesaian studi ini.

8. Akhmad Hanafi Dain Yunta, Lc., M.A., Ph.D. dan Dr. Khaerul Akbar, S.E., M.E.I. yang telah berkenan memberikan rekomendasi Studi S2 di UIN Alauddin Makassar.

9. Rekan-rekan mahasiswa seperjuangan pada kelas Syariah/Hukum Islam 4, khususnya dan umumnya pada pascasarjana UIN Alauddin Makassar.

10. Jamean Erwin Syah dan Jasnah selaku kedua orang tua yang telah memberikan dukungan doa dan moril dalam menyelesaikan Pendidikan S2 di UIN Alauddin Makassar.

11. Istri tercinta Raudatul Fitri yang telah bersabar mendampingi dan memotivasi dalam penulisan tesis ini, dan juga untuk anak tercinta saya Luqman Syarif yang menjadi penenang hati Ketika Lelah.

12. Kepada seluruh pihak yang telah berpartisipasi dan berkontribusi dalam penyelesaian tesis khususnya dan studi umumnya.

Semoga semua yang telah mereka berikan kepada penulis, dapat menjadi amal ibadah dan mendapatkan balasan yang bermanfaat dari Allah swt.

Makassar, 25 Safar 1444 H 22 September 2022 M Penulis,

MUH. ISRA SYARIF

NIM: 80100219083

(7)

vii DAFTAR ISI

JUDUL ... i

PERNYATAAN KEASLIAN TESIS ... ii

PENGESAHAN TESIS ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vii

PEDOMAN TRANSLITERASI ... ix

ABSTRAK ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Fokus Penelitian dan Deskripsi Fokus ... 8

C. Rumusan Masalah ... 13

D. Kajian Pustaka/Penelitian Terdahulu ... 13

E. Kerangka Teoretis ... 18

F. Metodologi Penelitian ... 21

G. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 24

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN POLIGAMI ... 26

A. Makna Pernikahan Sesuai dengan Hukum Islam, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia ... 26

B. Landasan Hukum Poligami di Indonesia dan Malaysia ... 47

C. Tujuan Poligami dalam Syariat Islam ... 55

BAB III KEABSAHAN PERNIKAHAN POLIGAMI TANPA SEIZIN PENGADILAN AGAMA ... 57

A. Konsep Kompilasi Hukum Islam di Indonesia penetapan syarat izin Pengadilan Agama dalam melakukan poligami ... 57

(8)

viii

B. Konsep Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia terhadap penetapan

syarat izin Pengadilan Agama dalam melakukan poligami ... 67

C. Gambaran Umum Keabsahan Poligami Tanpa Izin Pengadilan Agama 71 BAB IV KETENTUAN HUKUM PERNIKAHAN POLIGAMI TANPA SEIZIN PENGADILAN AGAMA DAN AKIBAT HUKUMNYA ... 76

A. Keabsahan Poligami Tanpa Seizin Pengadilan Agama Perspektif Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ... 76

B. Keabsahan Poligami Tanpa Seizin Pengadilan Agama Perspektif Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia ... 82

C. Konsekuensi Poligami tanpa Izin Pengadilan Agama Menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia. ... 87

BAB V PENUTUP... 100

A. Kesimpulan ... 100

B. Implikasi Penelitian ... 101

DAFTAR PUSTAKA ... 103

(9)

ix

PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB - LATIN

Transliterasi adalah pengalihhurufan dari abjad yang satu ke abjad lainnya.

yang dimaksud dengan transliterasi Arab-Latin dalam pedoman ini adalah penyalinan huruf-huruf Arab dengan huruf-huruf Latin serta segala perangkatnya.

Ada beberapa sistem transliterasi Arab-Latin yang selama ini digunakan dalam lingkungan akademik, baik di Indonesia maupun di tingkat global. Namun, dengansejumlah pertimbangan praktis dan akademik, tim penyusun pedoman ini mengadopsi“Pedoman Transliterasi Arab Latin” yang merupakan hasil keputusan bersama (SKB)Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I., masing-masing Nomor:158 Tahun 1987 dan Nomor: 0543b/U/1987.

Singkatan di belakang lafaz “Allah”, “Rasulullah”, atau nama Sahabat, sebagaimana ditetapkan dalam SKB tersebut menggunakan “SWT”, “saw”, dan

“ra”. Berikut adalah penjelasan lengkap tentang pedoman tersebut.

Pedoman Transliterasi yang berdasarkan SKB Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 158 Tahun 1987 dan No. 0543b/u/1987.

1. Konsonan

Huruf-huruf bahasa Arab yang ditransliterasikan kedalam huruf latin sebagai berikut:

ا : a د : d ض :ḍ ك : k

ب : b ذ : ż ط : ṭ ل : l

خ : t ر : r ظ : ẓ م : m

ث : ṡ ز : z ع : „ ىz: n

د : J س : s غ : g و : w

ح : ḥ ش : sy ف : F ھ : h

خ : Kh ص : ṣ ق : q ً : y

2. Konsonan Rangkap

Konsonan Rangkap (tasydid) ditulis rangkap Contoh :حَهِّدَقُه = muqaddimah

جَرَّوَنُوْلَاُحَنْيِدَولَا = al-madīnah al-munawwarah

(10)

x

3. Vokal

a. Vokal Tunggal

fatḥah _َ__ ditulis a contoh ََأَرَق kasrah _ِ__ ditulis i contoh ََنِحَر ḍammah _ُ__ ditulis u contohَ ةُتُكَََ

b. Vokal Rangkap

Vocal Rangkapًََ_ (fatḥah dan ya) ditulis “ai”

Contoh :َ ُةَنْيَز = zainabَ َفْيَكَ = kaifa

Vocal Rangkapََوَ_(fatḥah dan waw) ditulis “au”

Contoh : ََلْوَح = Qaula ََلْوَق = qaula 4. Vokal Panjang (maddah)

اَ_dan ًِ_ (fatḥah) ditulis ā contoh: اَهاَق = qāmā ى ِِ (kasrah) ditulis ī contoh: نْيِحَر = raḥīm وُ_(dammah) ditulis ū contoh: َ مْوُلُع =„ulūm 5. Ta Marbūṭah

Ta‟ marbutah yang mati atau mendapat harkat sukun ditulis /h/

Contoh :َُحَهَّرَكُوْلَاَُحَّكَه = Makkah al-Mukarramah

َُحَّيِه َلَْسِلإَأَُحَّيِعْرَشْلَا = al-Syar‟iyah al-Islāmiyyah Ta marbūţah yang hidup, transliterasinya /t/

َُحَّيِه َلَْسِلإَاَُحَهْوُكُحْلَاا= al-ukūmatul- islāmiyyah

َُجَرِتاَوَتُوْلَاَُحَّنُسْلََا = al-sunnatul-mutawātirah 6. Hamzah.

Huruf Hamzah ( ء) di awal kata ditulis dengan vocal tanpa di dahului oleh tanda apostrof ( )

Contoh : ىاَويِإ = īmān, bukan „īmān

َِحَّهُلأَاَداَحِّتِاَ = ittiād al-ummah, bukan „ittiād al-„ummah 7. Lafẓu’ Jalālah

Lafu‟ Jalālah (kata الله ) yang berbentuk fase nomina ditransliterasi tanpa hamzah.

Contoh : اللهُدْثَع ditulis: „Abdullāh, bukan Abd Allāh

(11)

xi

اللهُراَج ditulis: Jārullāh.

8. Kata Sandang “al-“.

a. Kata sandang “al-“ tetap dituis “al-“, baik pada kata yang dimulai dengan huruf qamariah maupun syamsiah.

contoh: َُحَسَّدَقُوْلَاَيْيِكاَه ْلََْا= al-amākin al-muqaddasah

َُحَّيِع ْرَّشْلَاَُحَساَيِّسْلَا = al-siyāsah al-syar‟iyyah

b. Huruf “a” pada kata sandang “al-“ tetap ditulis dengan huruf kecil, meskipun merupakan nama diri.

Contoh: ًَِْد ْرَواَوْلَاَ= al-Māwardī رَھ ْزَلأَا = al-Azhar

جَر ْوُصْنَوْلَا = al-Manṣūrah

c. Kata sandang “al” di awal kalimat dan pada kata “Al-Qur‟ān ditulis dengan huruf kapital.

Contoh: Al-Afgānī adalah seorang tokoh pembaharu Saya membaca Al-Qur‟ān al-Karīm

Singkatan :

saw = şallallāhu „alaihi wa sallam swt = subḥānahu wa ta‟ālā

ra. = radiyallāhu „anhu QS. = al-Qur‟ān Surat UU = Undang-Undang M. = Masehi

H. = Hijriyah t.p. = tanpa penerbit

t.t.p. = tanpa tempat penerbit Cet. = cetakan

t.th. = tanpa tahun h. = halaman

(12)

xii ABSTRAK

Nama : Muh. Isra Syarif

NIM : 80100219083

Prodi/Konsentrasi : Dirasah Islamiyah/Syariah Hukum Islam

Judul : Poligami Tanpa Izin Pengadilan Agama Perspektif Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan Undang- Undang Keluarga Islam di Malaysia

Penelitian dalam tesis ini bertujuan untuk Menganalisis bagaimana Keabsahan, Konsep dan Konsekuensi Poligami Tanpa Izin Pengadilan Agama yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia. Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif, dengan menggunakan metode Library Research. Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif.

Hasil penelitian ini menunjukan bahwa, Pertama, Untuk mendapatkan izin Pengadilan Agama di Indonesia Poligami yang terdapat dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia menuntut adanya izin tertulis dan kesaksian langsung istri pertama di Pengadilan Agama, dan pernikahan tanpa izin istri berstatus sah tetapi tidak tercatat resmi di Pengadilan Agama. Adapun Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia menjadikan izin Mahkamah/Pengadilan sebagai syarat sah dalam berpoligami, izin istri hanya menjadi bahan pertimbangan bagi mahkamah di Malaysia, Pernikahan tanpa Izin Mahkamah dapat dibatalkan oleh Mahkamah.

Kedua, Poligami tanpa Izin Pengadilan Agama di Indoensia dan Malaysia memiliki konsekuensi. di Indonesia dapat berakibat pada sanksi perdata berupa gugatan pembatalan pernikahan, maupun sanksi pidana berupa denda dan penjara.

Sedangkan di Malaysia dapat berakibat denda, penjara atau kedua-duanya, dan dapat berakibat pembatalan pernikahan oleh mahkamah.

Implikasi penelitian ini, Pertama, diharapkan agar masyarakat lebih memperhatikan aturan-aturan terkait poligami untuk kemashlahatan dalam urusan keluarga yang Sakinah. Kedua, Perlunya Sosialisasi dari para Penyuluh Agama, Pengadilan Agama maupun Ormas-Ormas Islam dalam memberikan pendampingan dan pemahaman kepada masyarat umum dalam berpoligami, hal ini untuk memberikan ketertiban/kemaslahatan bersama di tengah-tengah masyarakat dan memilimalisir perceraian, atau kezaliman yang diakibatkan oleh praktik poligami seorang laki-laki yang tidak sesuai dengan syarat-syarat di hukum negara maupun dalam syariat Islam. Ketiga, Diharapkan dengan adanya penelitian ini bisa menjadi reverensi dalam mengembangkan penelitian yang berkenaan dengan poligami, secara khusus problematika dalam beberapa negara

tentunya berbeda-beda.

(13)

xiii ABSTRACT Name : Muh. Isra Syarif

ID : 80100219083

Study Program/ Concentration: Dirasah Islamiyah/ Sharia Islamic Law Title : Polygamy without a Religious Court Permit Perspective on

the Compilation of Islamic Law in Indonesia and Islamic Family Law in Malaysia

The research in this thesis aims to analyze how the validity, concepts, and consequences of polygamy, without a religious court permit contained in the Compilation of Islamic Law in Indonesia and the Islamic Family Law in Malaysia. This study used qualitative research, with the Library Research method.

This study used a normative juridical approach.

The results of this study indicate that, First, to obtain permission from the Religious Courts in Indonesia, polygamy contained in the Compilation of Islamic Law in Indonesia requires written consent and direct testimony of the first wife in the Religious Courts. Marriage without the wife's permission is legal but not officially registered in the Religious Courts. The Islamic Family Law in Malaysia makes the Court's permission a legal requirement for polygamy. A wife's consent is only considered by courts in Malaysia. Marriage without the Court's permission can be annulled by the Court. Second, polygamy without a religious court permit in Indonesia and Malaysia has consequences. In Indonesia, it can result in civil sanctions in the form of lawsuits for marriage annulment or criminal sanctions in the form of fines and imprisonment. Whereas in Malaysia, it can result in fines, imprisonment, or both, and marriage annulment by the court.

The implications of this research, First, it is hoped that the community will pay more attention to the rules related to polygamy for the benefit of Sakinah family affairs. Second, there is a need for socialization from religious counselors, religious courts, and Islamic organizations in providing assistance and understanding to the general public in polygamy, which aims to provide order/common benefit amid society and minimize divorce, or injustice caused by the practice of polygamy of a man who is not following the conditions in state law and Islamic law. Third, it is hoped that this research becomes a reference in developing studies related to polygamy, especially since the problems in several countries are indeed different.

(14)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Islam telah memberikan pedoman dan ketentuan hukum dalam membangun masyarakat yang dapat dilihat dalam al-maqashid al-syariah yang bertujuan untuk menjaga kemaslahatan manusia. Secara khusus dalam membentuk keluarga, Islam memberikan perhatian yang besar, karena keluarga menjadi unit yang berperan besar dalam membangun masyarakat. Sehingga banyak dalil-dalil al-Qur‟an dan Sunah Rasulullah saw. yang menyebutkan dan menjelaskan permasalahan nikah dan keluarga, seperti firman Allah swt. yang terdapat di surah al-Rūm ayat 211 bahwa salah satu hikmah diciptakannya manusia secara berpasangan adalah untuk menemukan ketenangan dan kebahagiaan.2 Allah berfirman dalam Q.S al-Rūm/30:21

ًة َّدَي َّم ْم ِ كَنْيَة َ

ل َع َس َو ا َى ْي َ ل ّا آٖ ْيِن ِ

ك ْس َ

تّ ل ا ًجا َو ْز َ ا ْم ِ

ك ّس فْن ِ َ

ا ْن ّ م ْم ِ ك َ

ل َق َ ل َخ ن ْ َ

ا ٖٓ هّخٰي ٰ ا ْن ّم َو َكّل ٰذ ْيّف َّ

ن ّاۗ ًثَمْح َرَّو

َ ن ْو ِر َّ

ك َ فَخَّي ٍم ْي َ

لّ ل ٍجٰي ٰ ا َ

ل

Terjemahnya:

Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda- tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir.3

Sumber utama dalam hukum Islam adalah al-Qur‟an dan sunah, yang keduanya menjadi pedoman hidup bagi seluruh umat manusia. al-Qur‟an dan

1Naṣrun Salmān, Fqhu al-Ṭalaq fī Ḍau‟i al-Kitāb wa al-Sunnah (Cet. I; Bairut: Dar Ibn Hazm, 1432 H/2011 M), h. 16.

2Abdurraḥmān bin Nāṣir al-Sa‟dī, Taysīr al-Karī, al- Raḥmān (Cet. I; Bairut:

Mu‟assasah al-Risaah, 1423 H/2002 M), h. 368.

3Kementrian Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan Terjemahnya (Bandung: Al- Qosbah, 2020), h. 406.

(15)

2

sunah telah merinci dan menjelaskan tentang garis besar segala aspek kehidupan manusia. Adapun hal-hal baru/kontemporer yang belum diatur secara jelas didalam al-Qur‟an dan hadis, maka mencari dan menemukan jawaban atas problem yang ada menjadi tuntutan bagi umat manusia, dengan tetap berpedoman kepada kedua sumber utama dalam hukum Islam. Dengan pembahasan dan penelitian diperlukan untuk mendapatkan ketetapan hukum syar‟i yang jelas, agar menjadi jawaban atas permasalahan yang dihadapi umat manusia.

Pemasalahan yang berkembang dalam pernikahan menuntut ijtihad para ulama salaf dan kontemporer untuk menuangkan buah pikiran dan pendapatnya dalam menjawab permasalahan yang semakin berkembang, dan hal itupun berimplikasi timbulnya beragam pendapat. Diantara permasalahan yang terdapat dalam pernikahan yang hingga saat ini terus menjadi kontroversi dibahas dikalangan para ulama maupun akademisi adalah permasalahan poligami.

Kitab Fadīlatu Ta‟addud al-Zawjāt yang ditulis oleh Khālid bin Abdurrahmān al-Jaraisī, di dalam buku tersebut terdapat fatwa Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz mengatakan bahwa kalau dilihat dari perbuatan Nabi saw.

maka akan didapati bahwa Nabi saw. menikahi sampai 9 (sembilan) perempuan, dan itu adalah kekhususan kepada Nabi saw. Adapun yang selainnya pada umat Nabi saw. maka tidak diperbolehkan melebihi 4 (empat) istri.4Jadi poligami adalah pernikahan yang dilakukan oleh seorang lali-laki lebih dari satu orang istri.

Poligami memang dibolehkan dan tidak dilarang oleh syariat, selama laki- laki mampu berbuat adil sebagaimana yang diperintahkan dalam al-Qur‟an.

Seorang ulama Mesir Sayyid Sābiq berpendapat bahwa Allah swt. diantara bentuk

4Khālid bin Abdurrahmān al-Jaraisī, Fadīla Ta‟addud al-Zawjāt (Riyad: Dār al-Mannār al-Kharj 1991 M/1411 H), h. 18-19.

(16)

3

kasih sayangnya kepada manusia ialah membolehkan laki-laki menikah lebih dari satu istri sampai empat, dengan syarat mampu berbuat adil kepada istri-istri yang dilakukan oleh seorang laki-laki, baik adil dari hal nafkah lahir maupun nafkah batin. Jika laki-laki memiliki keraguan untuk berbuat adil dengan empat istri, maka sebaiknya satu istri sudah cukup baginya.5 Dalam hal ini, Allah berfirman dalam Q.S al-Nisā/4:3

َعٰة ِر َو َ د ٰ

ل ِ

ذ َو ى ٰنْر َم ّءۤا َسّ نلا َن ّ م ْم ِ ك َ

ل َبا َظ ا َم ا ْي ِط ّك ْناَف ى ٰمٰخَيْلا ىّف اْي ِع ّسْلِح ا َّ

ل َ ا ْمِخ ْ

ف ّخ ْ ن ّا َو ْج َ

ك َ ل َم ا َم ْو َ

ا ًة َد ّحا َي َ ف ا ْي ِ

ل ّد ْعَح ا َّ

ل َ ا ْمِخ ْ

ف ّخ ْ نّا َ

ف ۗاْي ِ

ل ْي ِعَح ا َّ

ل َ ا ىٰٓن ْد َ

ا َكّل ٰذ ۗ ْم ِ كِناَمْي َ

ا

Terjemahnya:

“Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya), nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Akan tetapi, jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil, (nikahilah) seorang saja atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki. Yang demikian itu lebih dekat untuk tidak berbuat zalim.”6

Dijelaskan dalam Tafsir Ibnu Katsir bahwa apabila di bawah pemeliharaan salah seorang terdapat wanita yatim dan ia merasa takut tidak dapat memberikan mahar sebanding, maka carilah wanita lainnya. Karena wanita cukup banyak, dan Allah tidak akan memberikan kesempitan padanya. Al-Bukhari meriwayatkan:

"Telah menceritakan kepada kami Abdul Aziz bin Abdullah, telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Sa'ad dari Shalih bin Kaisan dari Ibnu Syihab, ia berkata: Urwah bin az-Zubair mengabarkan kepadaku bahwa ia bertanya kepada Aisyah tentang firman Allah "Jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu menikahinya)", beliau

5Sayyid Sābiq, Fiqhu al- Sunnah (Cet. I; Mesir: Dār al-Hadial-Qāhirah 2004 M/1425 H), h. 556.

6Kementrian Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 77.

(17)

4

menjawab: "Wahai anak saudaraku, anak yatim perempuan yang dimaksud adalah wanita yatim yang berada pada perneliharaan walinya yang bergabung dalam hartanya. Sedangkan ia menyukai harta dan kecantikannya. Lalu, walinya ingin mengawininya tanpa berbuat adil dalam maharnya, hingga memberikan mahar yang sama dengan mahar yang diberikan orang lain. Maka, mereka dilarang untuk menikahinya kecuali mereka dapat berbuat adil kepada wanita-wanita tersebut dan memberikan mahar yang terbaik untuk rnereka. Dan mereka diperintahkan untuk menikahi wanita-wanita yang mereka sukai selain mereka.7 Seorang laki-laki dituntut untuk menjalankan kewajibannya ketika akan melakukan pernikahan, secara khusus kewajiban seorang laki-laki jika akan melaksanakan poligami tentunya dengan syarat-syarat fikih Islam maupun ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam. Jika seorang laki-laki tidak dapat menjalankan kewajibannya untuk bisa berbuat adil, maka dicukupkan untuk menikahi seorang wanita.

Di Indonesia dan Malaysia, poligami sudah tidak asing lagi, hampir sebagian dari laki-laki melakukan poligami. Fakta yang ada ialah adanya orang yang sangat butuh dengan poligami tersebut. Di Indonesia seseorang yang ingin berpoligami dipersyaratkan adanya izin dari istri pertama. Dengan Adanya bukti izin dari istri atau istri-istri baik secara tertulis dan bisa disampaikan secara langsung didepan sidang Pengadilan Agama, hal ini untuk menghindari pemalsuan berkas izin istri, maka sebaiknya istri menyampaikan langsung persetujuannya kepada suami didepan persidangan.8

7Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Al-Sheikh, Lubaabut Tafsiir Min Ibni Katsiir, terj. M. Abdul Ghoffar E.M., Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2 (Bogor: Pustaka Imam Asy- Syafi‟i, 2003), h.231-232

8 Hari Widiyanto, Dasar Hukum Dan Pertimbangan Hakim Dalam Memutus Permohonan Izin Poligami Karena Istri Tidak Bisa Menjalankan Kewajiban (Analisis Putusan Hakim Pengadilan Agama Purworejo No. 0090/Pdt.G/2018/PA.Pwr)), Al Furqan: Jurnal Imu Al Quran dan Tafsir, vol. 3, no. 1 (2020) h. 27.

(18)

5

Malaysia merupakan negara yang bersistem pemerintahan federal dan menyatakan resmi bahwa Islam sebagai agama negara. Walaupun sistem pemerintahan federal tetapi kekuasaannya terpusat kepada kerajaan dan apabila ketentuan di negara bagian dengan ketentuan kerajaan bertentangan maka yang berlaku adalah ketentuan kerajaan. Negara bagian hanya mengatur tentang keamanan, kependudukan, kekeluargaan, kepemilikan tanah, Mahkamah Syariah, dan hal-hal yang berkaitan dengan keIslaman. Sedangkan kerajaan atau pemerintah pusat mengatur tentang hubungan diplomatik, pertahanan, keamanan, hukum civil perdata, hukum pidana, kewarganegaraan, perdagangan, perniagaan, Mahkamah Civil.

Sistem hukum di Malaysia masih memiliki kaitan yang erat dengan Inggris karena Malaysia merupakan jajahan Inggris atau negara persemakmuran commonwealth country, maka sistem hukum nya adalah Anglo Saxon yang bersifat plural antara Inggris koloni dengan adat Melayu. Dalam sistem peradilan di pemerintahan pusat masih mengikuti sistem administrasi Inggris, berbeda dengan di negara bagian yang menerapkan hukum Islam dan Mahkamah Syariah sebagai lembaga yudikatif di negara bagian yang mengatur dan mengurus orang yang beragama Islam, untuk orang yang Non-Muslim lembaga yang berhak mengadili adalah Mahkamah Civil.9

Poligami juga menjadi isu di Malaysia dan termasuk negara bagian karena menjadi kritikan bagi kalangan aktivis perempuan karena belum adanya keseragaman peraturan perundang-undangan dalam hal putusan pengadilan mengenai poligami. Pada tahun 1962 Malaysia memberikan langkah awal untuk

9 Yusrizal. “Studi Komperatif Pelaksanaan Peradilan Islam di Negara Malaysia dan Saudi Arabia” (De Lega Lata, Desember, 2017), h. 452-453.

(19)

6

memberi keseragaman perundang-undangan untuk semua negara bagian, dan Selangor adalah negeri yang mengambil langkah awal untuk diberlakukannya peraturan poligami. Melihat praktik poligami pada saat sebelum keseragaman UU di Malaysia banyak merugikan pihak wanita karena praktik poligami liar. Oleh karena itu Mahkamah Syariah mengeluarkan Enakmen Undang-undang Keluarga Selangor di syeksen 23 untuk suami yang ingin berpoligami harus mendapat kebenaran atau izin dari Mahkamah terlebih dahulu. Apabila melanggar ketika mengajukan itsbat nikah kepada mahkamah tetapi belum ada surat izin dari Mahkamah maka perkawinan tersebut tidak dapat di daftarkan dan mendapatkan sanksi yaitu denda 1000RM dan juga mendapat kurungan kurang lebih 6 (enam) bulan penjara.10

di Malaysia dinyatakan bahwa setiap permohonan untuk poligami harus mendapat izin tertulis dari Mahkamah Syariah ataupun Hakim Syariah.

Sebagaimana yang disebutkan dalam Seksyen 23 tentang poligami dalam Akta Undang-Undang Keluarga Islam Wilayah-Wilayah Persekutuan 1984, bahwa poligami dapat dilakukan jika mendapat izin tetulis dari Mahkamah Syariah ataupun Hakim Syariah. Problema yang terjadi ditengah-tengah masyarakat adalah pemahaman berkenaan tentang poligami yang masih belum banyak diketahui, dalam hal ini bagaimana poligami dari sisi syariat dari sisi Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia, sehingga memicu poligami tanpa izin yang dilakukan laki-laki yang tidak sesuai dengan persyaratan yang ada.

10 Noraziah Ali Jawiah Dakir, Isu-Isu Wanita di Malaysia (Selangor: International Law Book Servives, 2008), h. 209.

(20)

7

Pernikahan seorang laki-laki lebih dari satu orang wanita di Indonesia secara khusus diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan atau dalam Kompilasi Hukum Islam, maka seorang suami terlebih dahulu memenuhi serangkaian persyaratan yang telah ditentukan dalam Pengadilan Agama yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Pasal 4 dan 5 ayat (1) dan Pasal 55, 56, 57 dan 58 KHI. Tidak cukup itu, permohonan juga harus melalui beberapa persyaratan dipersidangan Pengadilan Agama, dengan mengajukan permohonan tertulis.11 Dan di Malaysia poligami diatur di Seksyen 23 tentang poligami dalam Akta Undang-Undang Keluarga Islam Wilayah-Wilayah Persekutuan 198412. Menyatakan bahwa tidak ada seorang pun laki-laki saat adanya pernikahan poligami, kecuali dengan izin telebih dahulu secara tertulis dari pengadilan. Ini berarti prosedur poligami di wilayah Malaysia memiliki persyaratan yang ketat sebelum memohon untuk berpoligami antaranya adalah setiap pemohon yang ingin berpoligami haruslah menyatakan alasan-alasan kenapa harus berpoligami, harus mendapat izin dari istri dan pendapatan pemohon pada saat itu.

Di Indonesia dan Malaysia, poligami menjadi polemik di tengah-tengah masyarakat, sehingga muncul ketegangan diantara pihak-pihak tertentu. Di kalangan laki-laki poligami sangat disukai dan didukung, dan dari pihak perempuan poligami tidak disukai dan dihindari, olehnya banyak keluhan-keluhan dari pihak tertentu dengan mengatakan bahwa penyebab perceraian adalah akibat dari pernikahan poligami, suami tidak memberikan nafkah dan keadilan yang

11Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (t.t., Pustaka: YPAN, t.th), h. 2.

12Akta Undang-Undang Keluarga Islam (Wilayah-Wilayah Persekutuan 1984), Seksyen 23.

(21)

8

sewajarnya. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat belum memahami fungsi dan tujuan poligami yang disyariatkan dalam Islam. Kondisi ini telah merusak citra poligami yang dibenarkan dalam Islam, akibat dari ketidakfahaman masyarakat tentang konsep poligami dalam Islam. Olehnya, peneliti akan membahas Tentang Poligami Tanpa Izin Pengadilan Agama Perspektif Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia.

B. Fokus Penelitian dan Deskripsi Fokus 1. Fokus Penelitian

Karena pentingnya cakupan dalam bidang penelitian, civitas akademika bekerja keras untuk memperjelas dan memberikan pedoman yang jelas dalam proses penelitian, sehingga mungkin ada beberapa masalah yang perlu ditangani selama proses penulisan. Berikut ini adalah pembelajaran dan strategi pemecahan masalah penelitian:

a. Poligami

Nabi saw. melakukan poligami, dengan memiliki istri sebanyak sembilan orang. Hal ini menjadi kekhususan bagi Nabi saw. sebagaimana yang dijelaskan para ulama. Adapun kepada umatnya nabi memberikan batasan tidak lebih dari empat istri.13 Hal ini disebutkan dalam sabda Nabi saw. dalam hadis riwayat at-Tirmizi:

ِه َرمأف ِه َعم َنملسأف ّثَّيلواجلا يف ٍةيسن ِرشع ِه َ

لو َملسأ َّىفلَّرلا َثملس َنة َ

ناليغ َّ

نأ ًعةرأ َّنىْنم َدَّيخخي نأ ملسو هيلع للها ىلص ُّيبَّنلا

14. Artinya:

13Abdullah bin Muhammad bin Abdurrahman bin Ishaq Al-Sheikh, Lubaabut Tafsiir Min Ibni Katsiir, terj. M. Abdul Ghoffar E.M., Tafsir Ibnu Katsir Jilid 2 (Bogor: Pustaka Imam Asy-Syafi‟I, 2003), h.233

14Abu Isa Muhammad ibn Isa ibn Saurah al-Turmuzi, Sunan At-Turmuzi (Jilid 2, Bairut:

Dar al-Fikr, 1994), h. 368.

(22)

9

“Bahwasanya Ketika Ghailan bin Salamah ats-Tsaqafy masuk Islam, ia memiliki sepuluh orang istri dimasa jahiliyah dan para istrinya juga masuk islam bersamanya, kemudian Nabi saw. memerintahkannya untuk memilih atau mempertahankan empat orang istri saja dari mereka.”

Hadis diatas menjadi penguat dan memperjelas firman Allah swt. yang terdapat dalam surat an-Nisa ayat tiga. Sehingga poligami yang disebutkan dalam al-Qur‟an dan hadis menjadi legitimasi dan keabsahan untuk menjadi alasan masyarakat banyak mempraktekkannya. Poligami sejak dulu telah populer dikalangan masyarakat dunia, Kawasan Asia, Afrika dan bahkan China dan Turki poligami sejak dulu telah menjadi adat istiadat, akan tetapi hal tersebut telah dibatasi dan dilarang berdasarkan undang-undang kedua negara tersebut (China dan Turki).15

b. Izin Pengadilan Agama

Syarat-syarat poligami yang tercantum dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan mempersyaratkan izin Pengadilan Agama bagi seorang laki-laki yang akan beristri lebih dari satu wanita.16 Pengadilan Agama sebagaimana yang diatur dalam pasal 49 Undang-Undang No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama menyebutkan tugas dan fungsinya, sebagai pengadilan tingkat pertama bertugas dan memiliki kewenangan untuk memeriksa, memutuskan, dan menyelesaikan perkara tingkat pertama yang terdapat diantara orang-orang Islam, khususnya dibidang perkawinan, kewarisan, dan

15Istibsyaroh,-Poligami Dalam Cita Dan Fakta (Jakarta: Blantika, 2004), h.2

16 Surjanti, “Tinjauan kompilasi hukum islam terhadap poligami di indonesia”, -Jurnal Universitas-Tulungagung-BONOROWO Vol.-1.No.2-(2014).h.-13

(23)

10

Sedekah. 17 di Malaysia menyatakan bahwa setiap permohonan untuk poligami harus mendapatkan izin tertulis dari Makamah Syariah ataupun Hakim Syariah. Seperti yang ditegaskan dalam Seksyen 23 Subseksyen (1) dan Subseksyen (2) Undang-Undang Malaysia Akta 303. Sehingga poligami menjadi salah satu tugas dan fungsi yang diatur dan dijalankan didalam Pengadilan Agama di Indonesia dan Malaysia

c. Kompilasi Hukum Islam

Undang-undang menentukan syarat untuk berpoligami dengan persyaratan yang berat dan tidak membatalkan sistem poligami sepenuhnya. Undang- undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sesuai dengan pedoman monogami, namun jika peraturan tertentu dan izin agama, pasangan dapat memiliki lebih dari satu istri dengan memenuhi keadaan tertentu dan diizinkan oleh Pengadilan Agama. Seorang laki-laki dapat melakukan poligami selama ia memenuhi syarat-syarat tertentu yang telah ditentukan dalam peraturan perkawinan ini sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 3 ayat (2), untuk lebih khusus pengadilan dapat mengizinkan seorang suami untuk berpoligami lebih dari seorang istri jika ada diberikan izin dari pihak yang bersangkutan yaitu istri.18

d. Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia

Pengaturan Perkawinan dan Perceraian di Malaysia diatur dalam Undang- Undang Malaysia akta 303 atau Akta Undang-Undang Keluarga Islam (Wilayah-Wilayah Persekutuan) 1984. Dan akta ini hanya terpakai bagi

17 Pengadilan Agama kota Cimahi, “Tugas-Pokok-Dan-Fungsi-Peradilan-Agama”, https://www.pa-cimahi.go.id/tentang-pengadian/kekuasaan-dan-ruang-lingkup-pengadilan-agama.

(29 Mei 2022)

18 Surjanti, “Tinjauan Kompilasi Hukum Islam Terhadap Poligami di Indonesia”, h.14

(24)

11

wilayah-wilayah persekutuan Kuala Lumpur, Putrajaya dan Labuan. Seperti yang telah ditegaskan dalam Seksyen 1 Subsekysen (1) Undang-Undang Malaysia Akta 303.

2. Deskripsi Fokus

Penelitian ini berjudul “Poligami Tanpa Izin Pengadilan Agama Perspektif Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia”.

Adapun gambaran fokus tesis ini sebagai berikut : a. Poligami Tanpa Izin Pengadilan Agama

Di Indonesia, Pasal 3 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974, pada dasarnya, dalam perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai satu pasangan dan seorang wanita hanya dapat memiliki satu pasangan.19 Poligami tidak boleh dilakukan oleh setiap laki-laki, namun poligami harus diselesaikan setelah mendapat izin dari Pengadilan Agama. di Malaysia dinyatakan bahwa setiap permohonan untuk poligami harus mendapatkan izin tertulis dari Makamah Syariah ataupun Hakim Syariah. Seperti yang ditegaskan dalam Seksyen 23 Subseksyen (1) dan Subseksyen (2) Undang-Undang Malaysia Akta 303.20 Untuk ini, laki-laki yang bersangkutan harus terlebih dahulu mengajukan permohonan tertulis ke pengadilan di tempat tinggal calon. Pengadilan mungkin mengizinkan pasangan untuk melakukan poligami jika ada penjelasan yang sah dan keadaan telah terpenuhi.

b. Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia

19Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, h. 2.

20 Malaysia, Akta Undang-Undang Keluarga Islam (Wilayah Persekutuan) 1984, Seksyen 23.

(25)

12

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengandung pedoman monogami, namun jika dalam ketentuan hukum tertentu dan izin agama, seorang suami dapat beristri lebih dari satu dengan memenuhi keadaan tertentu dan diperbolehkan oleh Pengadilan Agama. Seorang laki-laki dapat melakukan poligami selama ia memenuhi persyaratan-persyaratan khusus yang telah ditentukan dalam Undang-undang perkawinan. hal ini sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 3 ayat (2), yaitu secara khusus pengadilan dapat mengizinkan seorang suami untuk beristri lebih dari seorang jika pihak istri yang bersangkutan memberikan izin.21

Undang-Undang Malaysia Akta 303, berlaku untuk pernikahan didalam Wilayah-Wilayah Persekutuan dengan pria yang bertempat tinggal didalam atau diluar wilayah persekutuan dan pernikahan diluar Wilayah- Wilayah Persekutuan dari seorang pria yang bertempat tinggal di Wilayah- Wilayah Persekutuan. Didalam Undang-Undang Malaysia Akta 303 telah memberikan beberapa kondisi yang perlu dipatuhi oleh Makamah Syariah sebelum menyetui permohonan izin poligami, seperti yang ditegaskan dalam Seksyen 23 Subseksyen (3).22

Dalam hukum Islam, standar pernikahan adalah monogami. Hal ini terlihat dari surat an-Nisa ayat 3, Allah swt. menawarkan kesempatan untuk menikahi hingga empat wanita, namun hal ini diharapkan dengan syarat yang sangat berat untuk dilakukan selain oleh orang tertentu. Syarat sahnya dan penjelasan di balik diperbolehkannya poligami dalam peraturan Islam adalah akibat dari ijtihad para peneliti dalam lingkup kajian fikih.

21 Surjanti, “Tinjauan Kompilasi Hukum Islam Terhadap Poligami di Indonesia”, h.14

22 Refo Afdhal, dkk, Perbandingan Pengaturan Poligami di Indonesia dan Malaysia”, Zaaken: Journal of Civil and Bussiness Law (2021). h. 418

(26)

13

C. Rumusan Masalah

Berdasarkan landasan diatas, masalah mendasar yang diteliti adalah

Poligami Tanpa Izin Pengadilan Agama Perspektif Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia” yang dapat diturunkan dalam beberapa rumusan masalah, sebagai berikut:

1. Bagaimana keabsahan poligami perspektif Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia?

2. Bagaimana konsep Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan Undang- Undang Keluarga Islam di Malaysia terhadap penetapan syarat izin Pengadilan Agama dalam melakukan poligami?

3. Bagaimana konsekuensi poligami tanpa izin Pengadilan Agama menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia?

D. Kajian Pustaka/Penelitian Terdahulu

Sebuah penelitian membutuhkan dukungan hipotetis dan referensi berbeda yang memiliki relevansi dalam penelitian. Sebelum peneliti melakukan penelitian, perlu diadakan kajian pustaka terhadap karya ilmiah yang memiliki relevansi terhadap pembahasan dalam penelitian ini.

1. Penelitian berjudul “Sanksi Hukum Poligami tanpa Izin Pengadilan Agama Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Ditinjau dari Hukum Islam.” Jurnal penelitian yang ditulis oleh Raflisman,23 pada tahun 2016 di Kabupaten Bengkulu Selatan di Kantor Kementrian

23Raflisman, Sanksi Hukum Poligami tanpa Izin Pengadilan Agama dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Ditinjau dari Hukum Islam”, Bengkulu Selatan: QIYAS 1, no. 1 (2016).

(27)

14

Agama menemukan bahwa pelaku poligami tanpa izin Pengadilan Agama akan dikenakan sanksi penjara maksimal 6 (enam) bulan, dan dikenakan pidana denda sebesar 6 (enam) juta rupiah hal ini dijelaskan dalam RUU. Adapun penelitian ini fokus pada status poligami tanpa izin Pengadilan Agama dari sisi sah atau tidaknya pernikahan tersebut di Pengadilan Agama sesuai dengan perspektif Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia.

2. Penelitian berjudul “Praktik Poligami Tanpa Izin Pengadilan Agama dan Penerapan Sanksi Hukumnya (Studi Pandangan Hakim, Ulama, dan Pegiat Kesetaraan Gender di Kabupaten Malang)”. Sebuah tesis yang disusun oleh Lia Noviana pada tahun 2012 di Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim, Malang.24 Hasilnya mengungkap tindakan poligami tanpa otorisasi Pengadilan Agama dari penerapan sanksi hukuman perspektif hakim, ulama, dan aktivis kesetaraan gender dibagi menjadi dua pendapat, yaitu pendapat mayoritas ulama yang tidak keberatan dengan hal ini dan para hakim, dan aktivis kesetaraan gender yang umumnya tidak menyukainya.

Dari dua kesimpulan ini, ada pendapat yang percaya bahwa yang utama adalah izin dari pasangan dan Pengadilan Agama. Lebih jauh, ada orang yang berpendapat bahwa tindakan poligami yang diselesaikan dalam struktur apa pun akan berbahaya, apakah ada izin, apalagi tanpa persetujuan. Adapun sanksi hukumnya dapat berupa pembatalan perkawinan, pemutusan hubungan kerja untuk pegawai pemerintah,

24 Lia Noviana, Praktik Poligami Tanpa Izin Pengadilan Agama dan Penerapan Sanksi Hukumnya (Studi Pandangan Hakim, Ulama, dan Pegiat Kesetaraan Gender di Kabupaten Malang), Tesis (Malang: PPs UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, 2012).

(28)

15

denda, penahanan, dan bahkan sanksi pidana atas pemalsuan dokumen ataupun identitas. Perbedaan antara penelitian ini terletak pada inti permasalahan yang dibicarakan, di mana peneliti terdahulu mengedepankan Sanksi hukum bagi para pelaku poligami tanpa persetujuan dari pengadilan agama sesuai perspektif hakim, ulama, maupun aktivis kesetaraan gender, sementara penelitian ini memusatkan perhatian pada apakah pernikahan itu sah atau tidak. di Pengadilan Agama menurut pandangan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia.

3. Penelitian berjudul: “Praktek Poligami tanpa Izin Pengadilan Agama Palembang”. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Meriyati dan Mustamiruddin, pada Tahun 2019 di Palembang. 25 Bahwa alasan suami melakukan poligami tanpa persetujuan Pengadilan Agama adalah dengan alasan bahwa perbuatan poligami tidak diketahui bagi orang lain, Tuntutan Profesi, tidak mampu memenuhi persyaratan dari pengadilan Agama, malu kepada keluarga dan anggota keluarga untuk poligami, tidak memiliki keinginan untuk memenuhi syarat atas kebutuhan yang akan membuatnya sulit untuk mencapai keinginannya, karena terlanjur hamil. Peneliti terdahulu memperoleh data dengan cara wawancara kepada orang-orang yang terkait seperti hakim, sedangkan peneliti sekarang menggunakan perspektif Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia.

25 Meriyati dan Mustamiruddin, “Praktek Poligami tanpa Izin Pengadilan Agama Palembang”, Jurnal Hukum dan Syari‟ah 11, no. 1 (2019)..

(29)

16

4. Penelitian dengan judul: “Sanksi Pidana Terhadap Perkawinan Poligami Tanpa Adanya Persetujuan Istri.” Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Yusuf Siregar, pada Tahun 2017.26 Bahwa Jika seorang laki- laki tidak memberitahu istrinya untuk berpoligami, maka ketentuan ancama hukum pidana pencara paling lama lima tahun. Adapun penelitian ini fokus pada status poligami tanpa izin Pengadilan Agama dari sisi sah atau tidaknya pernikahan tersebut di Pengadilan Agama sesuai dengan perspektif Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia.

5. Penelitian dengan judul “Poligami Tanpa Izin Istri Dalam Perspektif Hukum: Bentuk Kekerasan Psikis Terhadap Istri”. ditulis oleh Rizkal,27 Hasil penelitian ini mengungkapkan bahwa poligami tanpa izin istri dapat di kategorikan sebagai bentuk kekerasan dalam rumah tangga, sehingga istri dapat mengajukan gugatan perceraian ke Pengadilan Agama jika tidak tahan hidup Bersama dengan suaminya. Adapun penelitian ini fokus pada status poligami tanpa izin Pengadilan Agama dari sisi sah atau tidaknya pernikahan tersebut di Pengadilan Agama sesuai dengan perspektif Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia.

6. Penelitian Surjanti28, dengan judul “Tinjauan Kompilasi Hukum Islam Terhadap Poligami di Indonesia.”, penelitian ini berfokus pada dasar

26Muhammad Yusuf Siregar, “Sanksi Pidana Terhadap Perkawinan Poligami Tanpa Adanya Persetujuan Istri”, Jurnal Ilmiah Advokasi Vol. 05, no. 1 (2017).

27Rizkal, Poligami Tanpa Izin Istri Dalam Perspektif Hukum: Bentuk Kekerasan Psikis Terhadap Istri”, Jurnal Yustika Vol. 22 No. 1 (2019).

28 Surjanti, “Tinjauan Kompilasi Hukum Islam Terhadap Poligami di Indonesia”, Jurnal Universitas Tulungagung BONOROWO Vol. 1.No.2 (2014).

(30)

17

pertimbangan Kompilasi Hukum Islam dalam hal membolehkan adanya perkawinan poligami, sedangkan penelitian yang penulis angkat berkenaan dengan keabsahan pernikahan poligami tanpa izin Pengadilan Agama perspektif Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan Undang- Undang Keluarga Islam di Malaysia.

7. Disertasi berjudul “Pembatasan Dan Pengaturan Poligami Dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dan Hukum Islam Perspektif Maqashid Asy-Syari‟ah.” 29 , penelitian yang berfokus pada pembatasan dan pengaturan poligami di dalam undang-undang dengan perspektif Maqashid Asy-Syari‟ah, sedangkan penelitian yang penulis angkat berkenaan dengan keabsahan pernikahan poligami tanpa izin dari Pengadilan Agama perspektif Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia.

8. Penelitian berjudul “Izin Poligami Di Indonesia Dan Malaysia Suatu Pendekatan Komparatif” ditulis oleh Syed Mohd Fauzi Bin Wan Yusof.30 penelitian ini berfokus pada pengaturan izin yang terdapat dalam Undang-Undang dan perbandingan dari kedua pengaturan tersebut, sedangkan penelitian yang penulis angkat berkenaan dengan keabsahan pernikahan poligami tanpa izin Pengadilan Agama perspektif Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia.

29 Dri Santoso, “Pembatasan Dan Pengaturan Poligami Dalam Undang Undang Nomor 1 Tahun 1974 Dan Hukum Islam Perspektif Maqashid Asy-Syari‟ah”, Disertasi (Lampung: PPs UIN Raden Intan, 2020).

30Syed Mohd Fauzi Bin Wan Yusof, “Izin Poligami Di Indonesia Dan Malaysia Suatu Pendekatan Komparatif”, SAKINA: Journal of Family Studies Vol. 3. (2019).

(31)

18

9. Penelitian berjudul “Izin Poligami Di Pengadilan Agama (Suatu Tinjauan Filosofis)” yang ditulis oleh Azni31, penelitian ini membahas tentang izin poligami di Pengadilan Agama dengan tinjauan filosofis. Hasil dari pembahasan tersebut adalah, adanya undang-undang yang mengatur tentang izin poligami karena untuk mengatur masyarakat serta jaminan perlindungan hukum terhadap hak dan kewajiban. Adapun penelitian ini berkenaan dengan keabsahan pernikahan poligami tanpa izin Pengadilan Agama perspektif Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan Undang- Undang Keluarga Islam di Malaysia.

10. Penelitian berjudul “Prosedur Poligami di Malaysia (Analisi Akta Undang-Undang Keluarga Islam Wilayah-Wilayah Persekutuan)” yang ditulis oleh Muslim Ibrahin dan Muhammad Safiq Imran Bin Samsudin32, penelitian tersebut membahas prosedur poligami yang ada di Malaysia serta menganalisis akta undang-undang yang ada. Hasil tersebut bahwa terdapat daerah tertentu yang meringankan pensyaratan untuk berpoligami yaitu tanpa izin istri bisa melakukan poligami. Adapun penelitian ini berkenaan dengan keabsahan pernikahan poligami tanpa izin Pengadilan Agama perspektif Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia.

E. Kerangka Teoretis

31Azni, “Izin Poligami di Pengadilan Agama (Suatu Tinjauan Filosofis)”. Jurnal RISALAH, Vol. 26, No. 2, (2015)

32 Muslim Ibrahim dan Muhammad Safiq Bin Samsudin, “Prosedur Poligami Di Malaysia (Analisis Akta Undang-Undang Wilayah-Wilayah Persekutuan)” Samarah: Jurnal Hukum Keluarga dan Hukum Islam, Vol. 2 No. 1. (2018)

(32)

19

Perkawinan merupakan ikatan sosial atau hubungan janji yang sah antara manusia dalam membentuk hubungan keluarga atau membingkai sebuah keluarga.

Alasan sah dilaksanakannya perkawinan di Indonesia telah diatur dalam Peraturan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut Undang-undang Perkawinan) dan juga diatur dalam Peraturan Pemerintah (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Kompilasi Hukum Islam (selanjutnya disebut KHI). Adapun perkawinan di Malaysia diatur dalam Undang-Undang Malaysia akta 303 atau Akta Undang-Undang Keluarga Islam (Wilayah-Wilayah Persekutuan) 1984. Perkawinan dicirikan sebagai hubungan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai pasangan suami istri yang bertekad untuk membentuk keluarga (keluarga) yang bahagia dan langgeng di sisi Tuhan Yang Maha Esa. Sementara itu, Pasal 2 Buku I Peraturan Perkawinan KHI mencirikan perkawinan sebagai perjanjian atau mitsaqan ghalizan yang sangat mengesankan untuk mematuhi perintah Allah dan melakukannya adalah Ibadah.33

Gagasan pengaturan perkawinan di Indonesia pada dasarnya sesuai dengan pedoman monogami, yaitu seorang laki-laki hanya boleh memiliki satu pasangan pada waktu tertentu sama halnya dengan perempuan. Aturan monogami dalam pernikahan bersifat terbuka (tidak mutlak), menyiratkan bahwa laki-laki dapat memiliki lebih dari seorang istri, ini dimungkinkan kapan pun diinginkan dan sesuai dengan aturan hukum agama suami.34 Pengaturan poligami di Indonesia diatur dalam Pasal 3 ayat (2) Undang-undang Perkawinan, yang mengacu pada prinsip-prinsip aturan bagi laki-laki untuk memiliki lebih dari satu istri dengan

33 Rizkal, Poligami Tanpa Izin Istri Dalam Perspektif Hukum: Bentuk Kekerasan Psikis Terhadap Istri”, h.26

34 Dahlan Hasyim, Tinjauan Teoritis Asas Monogami Tidak Mutlak Dalam Perkawinan, Mimbar Jurnal Sosial dan Pembangunan, Jurnal Universitas Islam Bandung (UNISBA), Volume XXIII No. 2 ( 2007), h. 300- 311.

(33)

20

ketentuan izin dari pihak istri yang mengizinkan. Adapun di Malaysia poligami diatur di Seksyen 23 tentang poligami dalam Akta Undang-Undang Keluarga Islam Wilayah-Wilayah Persekutuan 1984, yang mengacu pada prinsip Mahkamah yang mengizinkan poligami. Pengaturan poligami juga diatur dalam hukum Islam, sebagaimana tercantum dalam al-Qur'an surat an-Nisa ayat 3 yang artinya: “Dan jika kamu khawatir tidak akan mampu berlaku adil terhadap (hak- hak) perempuan yatim (Bilamana kamu menikahinya), maka nikahilah perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu khwatir tidak akan mampu berlaku adil maka (nikahilah seorang saja, atau hamba sahaya perempuan yang kamu miliki). Yang demikian itu lebih dekat agar kamu tidak berbuat zalim.”

Tindakan poligami pada dasarnya bertujuan untuk memperbaiki derajat wanita, tujuan ini diterapkan oleh Nabi Muhammad saw. pada saat pernikahan poligami, dengan syarat ia memiliki keadilan. Meskipun demikian, tindakan poligami dalam banyak kasus disalahartikan oleh individu-individu tertentu, di mana gagasan poligami yang berkembang bahwa pasangan dapat menikahi hingga empat wanita sekaligus tanpa memperhatikan keadaan syarat-syarat hukumnya, baik yang diungkapkan dalam Undang-undang pernikahan di indonesia maupun didalam al-Qur'an.35

Ketidakpedulian bagi laki-laki dalam melakukan poligami tanpa memperhatikan syarat-syarat poligami dari hukum negara yang mengharuskan adanya syarat perizinan kepada istri dan kepada Mahkamah ataupun persyaratan dalam hukum Islam agar berlaku adil, akan menimbulkan konflik dalam

35Rizkal, Poligami Tanpa Izin Istri Dalam Perspektif Hukum: Bentuk Kekerasan Psikis Terhadap Istri”, h.27

(34)

21

kehidupan berumah tangga, bahkan berujung kepada gugatan perceraian yang dilakukan oleh sang istri ke Pengadilan Agama. Seharusnya menurut undang- undang Perkawinan dan Kompilasi hukum Islam, suami wajib meminta persetujuan dari istri pertama sebagai salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam hal ia akan berpoligami. Adapun di Malaysia mengharuskan Izin dari Mahkamah yang diajukan oleh laki-laki. Bagaimanapun, pada praktiknya, masih belum ada kesadaran hukum dari laki-laki dalam memahami gagasan konsep poligami sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Perkawinan di Indonesia dan Malaysia, serta apa yang menjadi prasyarat poligami dalam Hukum Islam.

Skema kerangka teoretis dalam penelitian ini akan digambarkan secara sederhana sebagai berikut:

F. Metodologi Penelitian

PERKAWINAN

POLIGAMI TANPA IZIN PENGADILAN AGAMA

KOMPILASI HUKUM ISLAM DI INDONESIA

UNDANG-UNDANG KELUARGA ISLAM DI MALAYSIA

KEABSAHAN POLIGAMI MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG

KELUARGA ISLAM DI MALAYSIA KONSEKUENSI POLIGAMI TANPA IZIN PENGADILAN AGAMA MENURUT KOMPILASI

HUKUM ISLAM DAN UNDANG-UNDANG KELUARGA ISLAM DI MALAYSIA

(35)

22

Penelitian merupakan suatu penelitian ilmiah yang berkaitan dengan analisis dan kontruksi yang dilakukan secara metodologi, sistematis, dan konsisten. Metode merupakan cara utama yang digunakan untuk mencapai tujuan, ketelitian, jumlah dan jenis yang dihadapi. Metode merupakan suatu cara atau jalan yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan dengan menggunakan alat-alat tertentu.36

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dipilih dalam penelitian adalah kualitatif deskriptif.

Kualitatif adalah suatu jenis penelitian mengambil sumber data dari buku-buku perpustakaan (Library Research). Secara definitif, library research adalah penelitian yang dilakukan di perpustakaan dan penelitian berhadapan dengan berbagai macam literatur sesuai tujuan dan masalah yang sedang dipertanyakan.

Sedangkan deskriptif adalah mendeskripsikan dan melukiskan realita sosial yang kompleks atau menggambarkan apa adanya suatu tema yang akan dipaparkan.

2. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif analisis dengan pendekatan yuridis normatif, merupakan pendekatan hukum yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka sebagai bahan dasar untuk diteliti dengan cara mengadakan penelusuran terhadap peraturan-peraturan dan literatur-literatur yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.37 Pendekatan ini dikenal pula dengan pendekatan kepustakaan, yakni dengan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan dan dokumen lain yang berhubungan dengan penelitian ini.

Pendekatan ini diperlukan untuk menulusuri sumber atau dasar hukum, yaitu

36 Sutrisno Hadi, Metode Penelitian (Surakarta: UNS Press.1989 M), h. 4.

37 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat (Jakarta: Rajawali Pers, 2001), h. 13-14.

(36)

23

dengan melacak pembenarannya melalui al-Qur‟an, hadis Rasulullah saw., serta hukum perundang-undangan Islam yang berlaku di Indonesia dan Malaysia.

3. Metode Pengolahan Data

Untuk mengumpulkan dan mengolah data dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode studi kepustakaan atau Library Research yaitu dengan cara mengumpulkan data melalui hasil bacaan maupun literatur lainnya yang berkaitan dengan masalah yang akan diteliti. Hal tersebut dapat dilakukan melalui beberapa tahap sebagai berikut:

a. Mendapatkan data dan informasi dengan mengumpulkan data dengan membaca sejumlah literatur atau karya ilmiah yang berkaitan dengan metode- metode tersebut sebagai sumber data.

b. Menelaah buku-buku yang telah diteliti tanpa mempersoalkan keanekaragaman pandangan tentang pengertian dan penerapan metode- metode tersebut. Kemudian mengadakan pemilihan terhadap isi buku yang berhubungan dengan masalah penelitian.

c. Menganalisis data atau informasi yang telah dikumpulkan dengan senantiasa mengacu kepada penelitian.

d. Menerjemahkan isi kitab yang telah diseleksi ke dalam Bahasa Indonesia (jika kitab tersebut berbahasa asing).

4. Metode Analisis Data

Adapun metode analisis yang akan digunakan dalam penulisan ini adalah:

Deduktif; yaitu metode analisa yang bertitik tolak dari pengetahuan yang umum, kemudian mengambil kesimpulan yang bersifat khusus, sehingga hasil pemahamannya dapat dengan mudah dipahami dan disampaikan. Deduktif merupakan proses penalaran dari satu atau lebih pernyataan umum (premis) untuk

(37)

24

mencapai kesimpulan tertentu. Metode deduktif akan membuktikan suatu kebenaran baru yang berasal dari kebenaran-kebenaran yang sudah ada dan diketahui sebelumnya (berkesinambungan

G. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

a. Untuk Menganalisis keabsahan poligami perspektif Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia .

b. Untuk Menganalisis konsep Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia terhadap penetapan syarat izin Pengadilan Agama dalam melakukan poligami.

c. Untuk Menganalisis konsekuensi poligami tanpa izin Pengadilan Agama menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia

2. Kegunaan Penelitian a. Kegunaan Teoretis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan, wawasan, dan bahan dalam penerapan ilmu penulis yang berkaitan dengan Keabsahan Pernikahan Poligami tanpa Seizin Pengadilan Agama Perspektif Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia serta penelitian ini bermanfaat sebagai bahan referensi penulis.

b. Kegunaan Praktis

Dapat menambah ilmu pengetahuan mahasiswa khususnya mahasiswa jurusan hukum Islam dalam membahas Poligami tanpa Seizin Pengadilan Agama Perspektif Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan Undang-Undang Keluarga

(38)

25

Islam di Malaysia, dan dapat menambah pengetahuan penulis sehingga dapat dijadikan sebagai acuan atau referensi dalam mengetahui hal-hal yang terkait

dengan hukum Islam.

(39)

26 BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG PERNIKAHAN POLIGAMI

A. Makna Pernikahan Sesuai dengan Hukum Islam, Kompilasi Hukum Islam di Indonesia dan Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia

1. Pernikahan dalam Hukum Islam

Pernikahan yang berasal dari bahasa Arab yaitu Nakaha yang mempunyai arti mengumpulkan, saling memasukkan dan digunakan arti bersetubuh. Tetapi arti majazi atau arti hukum adalah akad (perjanjian) yang menjadikan halal hubungan seksual sebagai suami istri antara seorang pria dan seorang Wanita.38 Pernikahan dalam istilah fikih menggunakan dua kata, yaitu kata nikah dan kata zawaj. Kedua kata ini digunakan dalam rutinitas rutin orang Timur Tengah dan umumnya ditemukan dalam Al-Qur'an dan hadits.39 Kata nakaha banyak terdapat dalam al-Quran seperti dalam Q.S An-Nisā/4 : 22

هَّنّا ۗ ف َ َ

ل َس ْد ك ا َم ا َ َّ

ل ّا ّءۤا َسّ نلا َن ّ م ْم ِ كِؤۤاَة ٰ

ا َص َ

كَن ا َم ا ْي ِط ّك ْنَح اَلَو َءۤا َس َو ۗاًخ ْ

ل َم َّو ًث َش ّضا َ ف نا َ َ

ك

ا ً ل ْيّب َس

Terjemahnya:

“Janganlah kamu menikahi wanita-wanita yang telah dinikahi oleh ayahmu, kecuali (kejadian pada masa) yang telah lampau. Sesungguhnya (perbuatan) itu sangat keji dan dibenci (oleh Allah) dan seburuk-buruk jalan (yang ditempuh).”40

Demikian pula kata zawaja banyak terdapat dalam Alquran seperti dalam firman Allah Q.S al-Ahzab/33:37

38 ‟Ulamā Najid al-‟Alām, Majmu‟ah al-Rasāil wal-Masāil al-Najdiyah, Jilid 1, (Cet. I;

Mesir: Al-Mannār 1344-1348 H), h. 150.

39 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan (Cet II; Jakarta: Kencana, 2007), h. 35.

40 Kementrian Agama Republik Indonesia, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, h. 81.

(40)

27

َ ه

للها ّق َّحاَو َك َجْوَز َكْيَلَع ْك ّسْم َ ا ّهْي َ

ل َع َج ْم َعْن َ ا َو ّه ْي َ

ل َع ِ ه للها َم َعْن َ

ا ٖٓ ْي ّذ َّ

لّل ِ ل ْي ِ

لَح ْذ ّا َو ْيّف ْي ّف ْخ ِتَو

ۗاًر َظ َو ا َىْن ّ م ٌدْي َز ى ٰض ك اَّم َ َ ل َ

ف ۗ ِهى ٰشْخ َ ت ن ْ َ

ا ُّق َض َ ا ِ ه

للها َو َساَّنلا ى َش ْخ َتَو ّهْي ّدْتِم ِ هللها اَم َك ّسْفَن ا ْي َض َ

ك ا َذ ّا ْم ّهِٕىۤاَي ّع ْدَا ّجاَوْز َ

ا ٖٓ ْيّف ٌجَر َض َنْيّنّم ْؤِم ْ لا ى َ

ل َع َ ن ْي ِ

كَي ا َ ل ْي َ

كّل ا َى َ

كٰن ْس َّوَز َّنِىْن ّم

ا ً ل ْي ِع ْ

ف َم ّ ه للها ِر ْم َ

ا َ نا َ

كَو ۗاًر َظ َو

Terjemahnya:

(Ingatlah) ketika engkau (Nabi Muhammad) berkata kepada orang yang telah diberi nikmat oleh Allah dan engkau (juga) telah memberi nikmat kepadanya, “Pertahankan istrimu dan bertakwalah kepada Allah,” sedang engkau menyembunyikan di dalam hatimu apa yang akan dinyatakan oleh Allah, dan engkau takut kepada manusia, padahal Allah lebih berhak untuk engkau takuti. Maka, ketika Zaid telah mengakhiri keperluan terhadap istrinya (menceraikannya), Kami nikahkan engkau dengan dia (Zainab) agar tidak ada keberatan bagi orang mukmin untuk (menikahi) istri-istri anak- anak angkat mereka, apabila mereka telah menyelesaikan keperluan terhadap istri-istrinya. Ketetapan Allah itu pasti terjadi.41

Pernikahan adalah salah satu ibadah yang sangat agung, pernikahan juga merupakan perintah Allah swt. dan Rasul-Nya, karena begitu pentingnya pernikahan maka banyak ayat-ayat al-Qur‟an dan hadis-hadis nabi yang memerintahkan seorang untuk menikah adalah dari „Abdullah bin Mas‟ūd mengatakan bahwa Rasulullah saw. berkata kepada kami:

ِن َص ْض َ

أ َو ّر ُصَتْلّل ُّض َغ َ أ ِهَّنّإ َ

ف ، ْجَّوَذَت َي ْ ل َ

ف َة َءا َب ْ لا ِم ِ

كْن ّم َعا َعَخ ْسا ّنَم ، ّباَت شلا َر َش ْع َم اَي َّ

َ ل ِهَّنّإ َ

ف ، ّم ْي َّصلاّة ّهْي َ ل َع َ

ف ْع ّعَخ ْس َي ْمَل ْنَمَو ، ّجْرَف ْ ٌءا َج ّو ِه لّل

.

42

Artinya:

“Wahai para pemuda, barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah. Karena menikah lebih dapat menahan pandangan dan

41 Kementrian Agam

Gambar

Tabel 2 dapat dilihat perbedaan poligami di Indonesia dan Malaysia, untuk  KHI  di  Indonesia  Secara  umum  diberlakukan  untuk  seluruh  Masyarakat  Negara

Referensi

Dokumen terkait

Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salh satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2)

“Dalam hal isteri tidak mau memberikan persetujuan, dan pemberian izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan dalam pasal 55 ayat 2 dan 5

24 KHI pasal 58 ayat (2), “Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975, persetujuan istri atau istri-istri dapat diberikan secara

dasar pertimbangan hakim mengabulkan permohonan izin poligami dengan alasan diatas dengan dasar hukum pada pasal 55 ayat (2), pasal 58 ayat (1), pasal 57 huruf (c)

Dalam pasal 59 dikatakan bahwa: “Dalam hal isteri tidak mau memberikan persetujuan, dan permoho- nan izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas

Dalam hal tidak diberikannya izin suami oleh pihak isteri diatur dalam pasal 59 ( Centre, Media ., 1992) yaitu: Dalam hal isteri tidak mau memberikan persetujuan, dan

Pasal 59 Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan, dan permohonan izin untuk beristeri lebih dari satu orang berdasarkan atas salh satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat 2

Sehingga bagi istri yang tidak mau memberikan persetujuan kepada suami untuk berpoligami,43 persetujuan itu dapat diambil alih oleh Pengadilan Agama lebih lengkapnya bunyi Pasal 59