PENGGUNA NAPZA DI MADANI MENTAL
HEALTH CARE
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Oleh :
ADIMAS WALUYO
NIM : 205070000480
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2010
MADANI MENTAL HEALTH CARE
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat-syarat memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Oleh :
ADIMAS WALUYO NIM : 205070000480
Di Bawah Bimbingan
BAMBANG SURYADI, Ph.D NIP. 197005292003121002
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2010
DENGAN OPTIMISME KESEMBUHAN PENGGUNA NAPZA DI MADANI MENTAL HEALTH CARE telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 26 Oktober 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata 1 (S1) pada Fakultas Psikologi.
Jakarta, 26 Oktober 2010 Sidang Munaqasyah
Dekan/ Pembantu Dekan/
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
Jahja Umar, Ph.D Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si
NIP. 130885522 NIP.195612231983032001
Anggota :
Penguji I Penguji II
Neneng Tati Sumiati, M. Si, Psi Dra. Zahrotun Nihayah, M.Si
NIP. 197307102005011006 NIP.196207241989032001
Pembimbing
Bambang Suryadi, Ph.D NIP. 197005292003121002
Saya yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Adimas Waluyo NIM : 205070000480
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul “Hubungan Antara Orientasi Masa Depan dengan Optimisme Kesembuhan Pengguna Napza di Madani Mental Health Care” adalah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat dalam penyusunan skripsi tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam penyusunan skripsi ini telah saya cantumkan sumber pengutipannya dalam daftar pustaka.
Saya bersedia untuk melakukan proses yang semestinya sesuai dengan Undang-Undang jika ternyata skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan dari karya orang lain.
Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebaik-baiknya.
Jakarta, 26 Oktober 2010
Adimas Waluyo NIM : 205070000480
Email : adimaspasha03@yahoo.com
Keyakinan seseorang akan kemampuannya
berpengaruh besar terhadap kemampuan itu.
(Albert Bandura)
Optimisme merupakan sikap cerdas secara emosional.
(Daniel Goleman)
Karya ini adalah sebuah Idealisme
yang kudedikasikan untuk Alm.
Ayahku dan Ibuku tercinta,
Keluargaku serta
Sahabat-sahabatku
(A) Fakultas Psikologi (B) 2010
(C) Adimas Waluyo
(D) Hubungan Antara Orientasi Masa Depan dengan Optimisme Kesembuhan Pengguna Napza di Madani Mental Health Care
(E) x +69 halaman
(F) Banyak hal tengah mengancam masa depan generasi muda bangsa Indonesia. Ancaman tersebut diantaranya adalah keterlibatannya generasi muda terhadap penggunaan NAPZA (narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya). Alternatif yang telah dilakukan pemerintah dan pihak swasta yang peduli terhadap generasi muda bangsa Indonesia adalah menyediakan tempat rehabilitasi NAPZA. Para pasien pengguna NAPZA yang berada di tempat rehabilitasi pada umumnya beranggapan negatif tentang masa depannya, diantaranya mereka merasa bahwa masa depan mereka telah hancur, harapan mereka telah hilang dan merasa dirinya sudah tidak berguna. Namun tidak sedikit juga dari mereka yang memiliki pandangan positif terhadap masa depannya, yang diantaranya mereka beranggapan bahwa mereka masih memiliki impian, cita-cita, dan harapan terhadap masa depannya. Dengan demikian diharapkan dapat meningkatkan keyakinan mereka untuk sembuh dan terlepas dari ketergantungan NAPZA.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah ada hubungan yang signifikan antara orientasi masa depan dengan optimisme kesembuhan pengguna NAPZA di Madani Mental Health Care.
Penelitian ini menggunanakan pendekatan kuantitatif. Penelitian dilaksanakan di Madani Mental Health Care, yang terletak di Jakarta Timur. Populasi berjumlah 118 pasien. Responden penelitian ini adalah pasien rawat inap Madani Mental Health Care di Jakarta Timur sebanyak 50 pasien yang diambil dengan teknik Simple Random Sampling. Instrumen pengumpul data yang digunakan adalah skala model Likert. Teknik pengolahan dan analisa data dilakukan dengan analisa statistik korelasi Spearman untuk menguji validitas item, Alpha Cronbach untuk menguji reliabilitas instrumen pengumpul data, dan uji-r korelasi untuk pengujian hipotesis penelitian.
Jumlah item valid dalam skala orientasi masa depan sebanyak 46 item, sedangkan jumlah item valid dalam skala optimisme kesembuhan sebanyak 30 item. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara orientasi masa depan dengan optimisme kesembuhan pengguna NAPZA di
(G) Bahan Bacaan : 27 (dari thn 1989 - 2010) + 5 pustaka online
Assalamu`alaikum Wr. Wb
Alhamdulillahirobbilalamin. Rasa syukur yang luar biasa penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya setiap saat, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Hubungan Antara Orientasi Masa Depan Dengan Optimisme Kesembuhan Pengguna Napza Di Madani mental Health care”. Salawat serta salam semoga tetap Allah limpahkan kepada Nabi Muhammad SAW, atas segala perjuangannya sehingga kita dapat merasakan indahnya hidup di bawah naungan Islam.
Penulis menyadari bahwa terselesaikannya skripsi ini tidak dapat terlepas dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu, perkenankanlah penulis untuk mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada :
1. Dekan Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah, Jahja Umar, Ph.D. Berkat bimbingan, arahan, nasihat dan cerita-cerita beliau mengenai hal-hal yang baru bagi penulis, membuat penulis termotivasi untuk terus belajar dan berjuang.
2. Pembimbing Skripsi Bambang Suryadi, Ph.D, atas segala bimbingan, saran, dan motivasinya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
3. Pembimbing Akademik Dra. Zahrotun Nihayah, M.Si, atas bimbingannya selama penulis menjalani perkuliahan.
4. Pembimbing seminar proposal skripsi Neneng Tati Sumiati, M.Si, atas segala bimbingan, dan sarannya.
5. Para dosen Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah yang dengan penuh kesabaran dan keikhlasan untuk memberikan ilmu kepada penulis.
6. Para staf akademik Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah yang dengan penuh kerelaan dan kesabaran mau berbagi informasi akademik.
7. Kepala Divisi Internal di Madani Mental Health Care, Darmawan S.H, yang telah memberikan kemudahan kepada penulis dalam melakukan penelitian di Madani Mental Health Care.
8. Seluruh Ustad di Madani Mental Health Care, yang telah memberikan bantuan serta kemudahan kepada penulis dalam melakukan penelitian di Madani Mental Health Care.
9. Seluruh Pasien rawat inap di Madani Mental Health Care, yang telah bersedia menjadi responden dalam penelitian ini.
10.Yang paling penulis hormati dan kasihi setelah Allah dan Rasul-Nya, Papahku (Alm) Bapak M. Walidy Kamil, Mamahku tercinta Ibu Dwi Biyati, adikku tersayang Surya Nugraha Batara dan Tridiwa Arief Sulistyo, saudara-saudaraku tercinta Abang Bulganon Amir, Om Hasiri, Pakde Nano, Om Yono, Om Anton, Om Ranto, Bulik Prapti, Mas Arief, Bude Bojong dan Bude Celilitan, serta seluruh keluarga besarku yang tak pernah putus memberikan dorongan, doa, cinta dan kasih sayang yang tulus kepada penulis.
hari-hari yang telah kita lalui baik dalam keadaan senang maupun sedih serta kebersamaan kita yang tidak akan pernah penulis lupakan.
12.Seluruh teman-teman di Fakultas Psikologi Non Reguler khususnya angkatan 2005 yang selalu kompak dan solid. Teman seperjuangan skripsiku, Eka, Izzah, Iqbal, Nida, Nur, Retno, Rizky Koruptor, Yuniar, terima kasih atas bantuan dan kebersamaannya dalam proses pengerjaan skripsi penulis. Dan Adi Waskito S.Psi sebagai pembimbing kedua penulis yang selalu memberikan motivasi serta bantuannya kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
13.Semua teman-teman yang tak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih.
Semoga Allah memberikan pahala yang tak henti-hentinya, sebagai balasan atas segala kebaikan dan bantuan yang di berikan. Harapan penulis, semoga skripsi ini memberi manfaat, khususnya bagi penulis dan umumnya bagi seluruh pihak yang terkait.
Jakarta, 26 Oktober 2010
Penulis
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN ... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN PERNYATAAN... iv
PERSEMBAHAN ... v
ABSTRAKSI ... vi
KATA PENGANTAR ... viii
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xiv
DAFTAR GAMBAR... xv
DAFTAR LAMPIRAN ... xvi
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 5
1.2.1 Pembatasan Masalah ... 5
1.2.2 Rumusan Masalah ... 5
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6
1.3.1 Tujuan Penelitian ... 6
1.3.2 Manfaat Penelitian ... 6
1.3.2.1 Manfaat Teoritis... 6
1.3.2.2 Manfaat Praktis ... 6
1.4 Sistematika Penulisan ... 7
2.1.1 Pengertian Optimisme ... 9
2.1.2 Perbedaan Antara Optimisme dan pesimisme ... 10
2.1.3 Ciri-ciri Orang Optimis ... 12
2.1.4 Aspek-aspek Optimisme ... 13
2.1.5 Cara untuk meningkatkan Optimisme ... 15
2.1.6 Fungsi dan Manfaat Optimisme dalam Kesehatan ... 16
2.1.7 Faktor-faktor yang mempengaruhi Optimisme... 18
2.1.8 Optimisme Kesembuhan ... 19
2.2 Orientasi Masa Depan ... 19
2.2.1 Pengertian Orientasi Masa Depan ... 19
2.2.2 Perkembangan Orientasi Masa Depan ... 21
2.2.3 Dimensi Orientasi Masa Depan ... 23
2.2.4 Orientasi Masa Depan sebagai Sistem ... 27
2.2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi Orientasi Masa Depan 27 2.2.6 Orientasi Masa Depan dalam Perspektif Islam ... 30
2.3 Napza ... 32
2.4 Pengguna Napza ... 35
2.5 Kerangka Berfikir ... 37
2.6 Hipotesis ... 41
BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian ... 42
3.1.1 Pendekatan Penelitian ... 42
3.1.2 Metode Penelitian ... 43
3.2 Definisi Variabel dan Operasional Variabel ... 43
3.2.3 Definisi Operasional ... 44
3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 45
3.3.1 Populasi ... 45
3.3.2 Sampel ... 45
3.4 Pengumpulan Data ... 46
3.4.1 Teknik Pengumpulan Data... 46
3.4.2 Instrumen Penelitian ... 47
3.5 Teknik Uji Instrumen ... 51
3.5.1 Uji Instrumen ... 51
3.5.1.1 Uji Validitas ... 51
3.5.1.2 Uji Reliabilitas ... 52
3.5.2 Hasil Uji Instrumen... 53
3.5.3 Teknik Analisa Data... 58
3.5.3.1 Uji Reliabilitas Instrumen ……….... 58
3.5.4 Prosedur Penelitian ... 59
BAB 4 PRESENTASI DAN ANALISIS DATA 4.1 Gambaran Umum Subyek Penelitian ... 62
4.2 Kategorisasi... 63
4.2.1 Kategorisasi Orientasi Masa Depan... 63
4.2.2 Kategorisasi Optimisme Kesembuhan ... 64
4.3 Pengujian Hipotesis... 64
5.2 Diskusi ... 66
5.3 Saran ... 68
5.3.1 Saran Teoritis ... 68
5.3.2 Saran Praktis ... 69
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
xiv
Tabel 3.1 Kategori Respon ... 46
Tabel 3.2 Blue Print Skala Orientasi Masa Depan ………... 48
Tabel 3.3 Blue Print Skala Optimisme kesembuhan ………. 49
Tabel 3.4 Interpretasi Nilai
r
... 53Tabel 3.5 Blue Print Setelah Try Out Skala Orientasi Masa Depan ... 54
Tabel 3.6 Blue Print Setelah Try Out Skala Optimisme Kesembuhan ... 56
Tabel 3.8 Koefisien Realibilitas Instrumen Penelitian... 59
Tabel 4.1 Gambaran Umum Subyek Penelitian berdasarkan jenis kelamin, usia dan pendidikan ... 62
Tabel 4.2 Kategori Orientasi Masa Depan ... 63
Tabel 4.3 Kategori Optimisme kesembuhan ... 64
Gambar 2.1 Perkembangan Orientasi Masa Depan dan Proses yang Terdapat
Di Dalamnya ... 22 Gambar 2.2 Bagan Kerangka Berfikir ... 40
xvi Lampiran 1 Try Out Orientasi Masa Depan Lampiran 2 Hasil Try Out Orientasi Masa Depan Lampiran 3 Try Out Optimisme kesembuhan Lampiran 4 Hasil Try Out Optimisme Kesembuhan Lampiran 5 Kuisioner Penelitian
Lampiran 6 Gambaran Umum Responden Lampiran 7 Field Tes Orientasi Masa Depan Lampiran 8 Field Tes Optimisme Kesembuhan
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Sumber daya manusia (SDM) merupakan faktor penentu kemajuan bangsa.
Potensi yang ada pada sumber daya manusia dapat menjadi pendukung bagi
kemajuan sebuah negara. namun dibalik kekuatan, ternyata sumber daya manusia
juga merupakan unsur yang paling mudah diserang dan dilumpuhkan untuk
menghancurkan sebuah bangsa. Sejarah telah membuktikan, bangsa-bangsa hancur
oleh karena potensi sumber daya manusianya dilumpuhkan, salah satunya melalui
candu NAPZA (narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif) (BNN, 2008).
Peredaran pasar narkoba di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke
tahun. Dalam kasus tindak pidana berdasarkan tingkat pendidikan terdapat
angka-angka yang semakin mengkhawatirkan. Diantaranya pelaku tindak pidana narkoba
dari tahun 2001 dan dibandingkan dengan data pada pada tahun 2006. terdapat
perbedaan angka yang sangat signifikan. Pelaku tindak pidana narkoba oleh siswa
SD sebanyak 246 kasus pada tahun 2001, kemudian meningkat tajam menjadi 3.247
kasus di tahun 2006. Di tingkat SLTP, dari 1.832 pada tahun 2001 menjadi 6.632
kasus di tahun 2006. Jumlah kasus di SMU, dari 2.617 pada tahun 2001 menjadi
20.977 kasus di tahun 2006. Sedangkan pada tingkat pendidikan perguruan tinggi
dari 229 kasus pada tahun 2001 menjadi 779 kasus di tahun 2006 (BNN, 2008).
Permasalahan penyalahgunaan NAPZA mempunyai dimensi yang luas dan
maupun psikososial (ekonomi, politik, sosial-budaya, kriminalitas, kerusuhan
massal dan lain sebagainya). Dari sekian banyak permasalahan yang ditumbulkan
sebagai dampak penyalahgunaan NAPZA adalah antara lain, merusak hubungan
kekeluargaan, menurunkan kemampuan belajar dan produktivitas kerja secara
drastis, ketidakmampuan untuk membedakan mana yang baik dan buruk (Hawari,
2006).
Mereka yang mengkonsumsi NAPZA akan mengalami gangguan mental dan
perilaku, sebagai akibat terganggunya sistem neuron transmitter (zat kimia di otak
yang menghubungkan informasi antar sel saraf), maka dapat mengakibatkan
terganggunya fungsi kognitif (alam fikiran), afektif (perasaan) dan perilaku (Hawari,
2006).
Hawari (2006) dalam penelitiannya telah menemukan suatu metode terapi
dan rehabilitasi pasien pengguna dan ketergantungan NAPZA terhadap
kesembuhannya yang dikenal sebagai pendekatan holistik (pengobatan jasmani,
kejiwaan, sosial dan keimanan). Prinsip terapi metode Dadang Hawari adalah
berobat dan bertobat. Berobat artinya membersihkan NAPZA dari tubuh
(detoksifikasi) dan mengobati komplikasi medik, psikiatrik dan sosial, sedangkan
bertobat artinya mohon ampun kepada Allah SWT dan berjanji tidak akan
mengulanginya lagi.
Keseimbangan antara perasaan-perasaan yang muncul dan bagaimana
individu menghadapi tekanan yang dialami dapat dilihat hubungannya dengan
derajat optimisme dan pesimisme individu. Individu yang optimis adalah individu
yang terencana dan memiliki kecenderungan untuk fokus dalam menghadapi
juga berusaha untuk melihat sisi positif dan belajar dari kejadian yang mereka alami
dengan melakukan penyangkalan yang berlebihan dan penyalahgunaan obat-obatan.
Optimisme merupakan sikap individu yang mengharapkan hasil akhir yang
positif, meskipun berada dalam situasi sulit. Dengan demikian, keyakinan ini akan
menghasilkan campuran perasaan yang relatif positif. Sebaliknya, pesimis
merupakan individu yang berfikir bahwa hal-hal yang buruk akan terjadi pada
dirinya di masa yang akan datang. Adanya keraguan ini dapat menghasilkan
kecenderungan yang lebih besar akan munculnya perasaan negatif seperti cemas,
perasaan bersalah, marah, sedih atau putus asa (Carver & Scheier; Synder et al.,
dalam Synder & Lopez, 2005).
Suardana (2009) mengemukakan bahwa paradigma yang dianut oleh
Indonesia selama ini harus diakui sebagai faktor utama dari terjadinya dehumanisasi
(penghilangan harkat manusia) terhadap para pengguna NAPZA di tempat
rehabilitasi, paradigma negara yang steoritif terhadap pengguna napza menular dan
membentuk paradigma yang sama ke dalam masyarakat. Paradigma ini secara tidak
langsung memberikan dampak negatif pada pengguna NAPZA dalam
menumbuhkan harapannya dalam konteks masa depan dan proses penyembuhannya
di tempat rehabilitasi.
Berdasarkan observasi dan wawancara yang penulis lakukan terhadap para
pasien dan tenaga pendidik di Madani Mental Health Care. Penulis menyimpulkan
bahwa para pengguna NAPZA yang berada dalam perawatan di Madani Mental
Health Care, banyak yang mengalami perkembangan yang lebih baik untuk
kesembuhannya, namun tidak sedikit juga yang justru malah sebaliknya, pengguna
pesimis terhadap kesembuhannya, hal tersebut dikarenakan mereka merasa bahwa
masa depan mereka telah hancur, harapan mereka telah hilang, dan menganggap
bahwa dirinya sudah tidak berguna.
Menurut Weiner (dalam Nurmi, 1989) atribusi terhadap kegagalan dan
kesuksesan dengan penyebab tertentu akan diikuti oleh emosi tertentu, model
Weiner ini pada dasarnya digunakan untuk mengevaluasi hasil dari kejadian dimasa
lalu. Namun pada kenyataannya model ini juga dapat dimanfaatkan untuk
mengevaluasi tujuan dan rencana yang dibuat individu akan masa depannya.
Para pengguna NAPZA yang dirawat di tempat rehabilitasi diharapkan
memberikan manfaat yang positif bagi para pengguna NAPZA tersebut, dengan
harapan para pengguna NAPZA itu dapat terlepas dari ketergantungan NAPZA.
Sehingga dapat menumbuhkan kembali harapan baru dalam menggapai cita-cita
mereka (Subakti, 2008). Untuk bisa membangkitkan kembali keinginan untuk
menggapai masa depan sekaligus bisa berhenti dari ketergantungan NAPZA
memang bukan hal yang mudah, hal tersebut membutuhkan niat dan kemauan yang
besar dari para pecandunya serta ditambahnya program-program disetiap tempat di
rehabilitasi harus terus dikembangkan agar dapat membantu mengembalikan rasa
percaya diri kembali pada korban pengguna NAPZA (Mudawijaya, 2007).
Dengan uraian diatas penulis tertarik untuk meneliti korelasi antara orientasi
masa depan dengan optimisme kesembuhan pengguna NAPZA di Madani Mental
1.2 Batasan dan Rumusan Masalah
1.2.1 Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah diatas, penulis membatasi masalah
penelitian pada hubungan antara orientasi masa depan dengan optimisme
kesembuhan pengguna NAPZA di Madani Mental Health Care. Untuk
memperjelas pokok masalah penelitian, penulis memberi batasan sebagai
berikut:
a. Orientasi Masa Depan : gambaran yang dimiliki individu tentang dirinya
dalam konteks masa depan.
b. Optimisme Kesembuhan : sebuah harapan didalam diri individu untuk
sembuh dari penyakitnya atau kembali ke kondisi normal.
c. NAPZA : NAPZA adalah singkatan dari narkotika, alkohol, obat – obat
psikotropika dan zat adiktif lainnya.
d. Pengguna Napza : Individu yang menggunakan NAPZA tanpa indikasi
medis dan tidak dalam pengawasan dokter.
1.2.2 Rumusan Masalah
Masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut :
Apakah ada hubungan signifikan antara orientasi masa depan pengguna
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara
orientasi masa depan dengan optimisme kesembuhan pengguna NAPZA di
Madani Mental Health Care.
1.3.2 Manfaat Penelitian
1.3.2.1 Manfaat teoritis.
Peneliti sangat mengharapkan agar penelitian ini, secara teoritis,
dapat bermanfaat untuk menambah pengetahuan dan wacana baru bagi
disiplin ilmu psikologi, khususnya bidang psikologi klinis tentang orientasi
masa depan seseorang terhadap optimisme yang dimunculkan, khususnya
orientasi masa depan dengan optimisme kesembuhan pengguna NAPZA di
Madani Mental Health Care.
1.3.2.2 Manfaat secara praktis :
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan gambaran tentang
hubungan antara orientasi masa depan dengan optimisme kesembuhan
pengguna NAPZA di Madani Mental Health Care. selain itu juga
memberikan sumbangan pemikiran untuk mencarikan alternatif yang terbaik
bagi pengguna NAPZA khususnya, dan kepada masyarakat, orang tua serta
dukungannya baik moril maupun materil, serta tidak memandang sebelah
mata pada pengguna NAPZA, sehingga dapat membantu mereka dalam
menimbulkan kembali harapan baru untuk menggapai masa depannya.
1.4 Sistimatika Penulisan
Agar dalam penyusunan penelitian lebih terarah dan sitematis, maka penulis
membuat sistematika penulisan yang terdiri dari :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini penulis akan menguraikan latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan dan
manfaat penelitian serta sistimatika penulisan.
BAB II : KAJIAN PUSTAKA
Dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang teori yang
berkaitan dengan optimisme, mulai dari pengertian optimisme,
perbedaan antara optimisme dan pesimisme, ciri-ciri orang optimis,
aspek-aspek optimisme, optimisme kesembuhan. Teori orientasi
masa depan, mulai dari pengertian orientasi masa depan,
perkembangan orientasi masa depan, proses pembentukan orientasi
masa depan, orientasi masa depan sebagai sistem, faktor-faktor yang
mempengaruhi orientasi masa depan. Pengertian NAPZA, pengguna
NAPZA dan faktor yang mempengruhi penyalahgunaan NAPZA.
Dalam bab ini penulis akan menguraikan jenis penelitian, meliputi
pendekatan dan metode penelitian, populasi, sampel dan teknik
pengambilan sampel, teknik pengumpulan data dan metode
pengolahan data.
BAB IV : HASIL PENELITIAN
Meliputi gambaran umum subyek dan hasil pengumpulan data dari
kuesioner.
BAB V : PENUTUP
Berisi kesimpulan, diskusi dan saran.
KAJIAN TEORI
2.1 Optimisme
2.1.1 Pengertian Optimisme
Seligman (dalam Ghufron dan Risnawati, 2010) menyatakan bahwa
optimisme adalah suatu pandangan secara menyeluruh, melihat hal yang baik,
berfikir positif, dan mudah memberikan makna bagi diri. Menurut Carver & Scheier
(dalam Synder & Lopez, 2005) individu yang optimis merupakan individu yang
mengira akan terjadi hal-hal baik pada diri mereka dan individu yang pesimis adalah
individu yang mengira akan terjadi hal-hal buruk pada diri mereka.
Sedangkan menurut Ubaedy (2007) Optimisme memiliki dua pengertian.
Pertama, optimisme adalah doktrin hidup yang mengajarkan kita untuk meyakini
adanya kehidupan yang lebih baik. Kedua, optimisme berarti kecenderungan batin
untuk merencanakan aksi untuk mencapai hasil yang lebih bagus atau meyakini
adanya kehidupan yang lebih baik dan keykinan itu kita jadikan sebagai bekal untuk
meraih hasil yang lebih baik.
McGinnis (1995) menyatakan bahwa individu yang optimis adalah individu
yang bertindak karena mereka yakin bahwa mereka mempunyai pengendalian yang
besar sekali atas masa depan mereka. Sedangkan menurut Segerestrom (dalam
Ghufron dan Risnawati, 2010) optimisme adalah cara berfikir positif dan realistis
dalam memandang suatu masalah.
Penelitian yang dilakukan oleh Gill (dalam Nevid, 2006), menunjukan
pasien yang mempunyai pikiran lebih pesimis selama masa sakitnya akan lebih
menderita dan distress.
Berdasarkan beberapa pengertian mengenai optimisme, maka pengertian
optimisme dalam penelitian ini adalah sikap individu yang mengharapkan akan
terjadi hal-hal baik dimasa yang mendatang.
2.1.2 Perbedaan antara Optimisme dan Pesimisme
Individu yang optimis dan individu yang pesimis memiliki perbedaan dalam
beberapa cara yang berpengaruh besar dalam hidup mereka. Perbedaan mereka
terletak pada cara pendekatan dalam menghadapi masalah dan tantangan yang
mereka alami, dan mereka berbeda dalam tata cara serta kesuksesan dalam
mengatasi permasalahan hidup. Individu yang optimis memiliki kecenderungan
untuk menganggap bahwa seluruh masalah dapat terselesaikan, baik dengan satu
cara maupun cara lainnnya. Mereka juga memiliki keyakinan dan kegigihan dalam
menghadapi suatu masalah. Di lain pihak, individu yang pesimis memiliki
kecenderungan untuk mengantisipasi kemungkinan bertambah buruknya masalah,
dan mereka juga cenderung ragu-ragu dalam menghadapi masalah yang mereka
alami (Carver & Scheier, dalam Synder & Lopez, 2005).
Menurut Seligman (dalam Goleman, 2000) mendefinisikan optimisme dalam
kerangka bagaimana orang memandang keberhasilan dan kegagalan mereka. Orang
yang optimis menganggap kegagalan disebabkan oleh sesuatu hal yang dapat
orang pesimis menerima kegagalan sebagai kesalahannya sendiri, menganggapnya
berasal dari pembawaan yang telah mendarah daging yang tak dapat mereka ubah.
Seligman (dalam Lestari dan Lestari, 2005) menyatakan bahwa yang
dimaksud optimisme adalah keyakinan individu bahwa peristiwa buruk atau
kegagalan hanya bersifat sementara, tidak mempengaruhi semua aktivitas dan bukan
mutlak disebabkan diri sendiri tetapi bisa situasi, nasib atau orang lain. Ketika
mengalami peristiwa yang menyenangkan individu yang optimis akan berkeyakinan
bahwa peristiwa tersebut akan berlangsung lama, mempengaruhi semua aktivitas
yang lain dan disebabkan dirinya sendiri. Sebaliknya pesimisme adalah
kecenderungan individu untuk berkeyakinan bahwa peristiwa buruk akan
berlangsung lama, mempengaruhi semua aktivitas dan disebabkan oleh diri sendiri.
Ketika mengalami peristiwa menyenangkan individu yang pesimis akan
berkeyakinan bahwa peristiwa yang dialami hanya sementara, tidak mempengaruhi
aktivitas yang lain dan disebabkan oleh situasi atau orang lain.
McClean (dalam Lestari dan Lestari, 2005) berpendapat bahwa optimisme
dan pesimisme mengandung tiga dimensi, yaitu:
1. Time Factor, yaitu menerangkan hal yang berhitungan dengan
waktu.
2. Space Factor, yaitu menerangkan pengaruhnya terhadap situasi yang
berbeda.
3. Cause Factor, yaitu menerangkan siapa yang menjadi penyebab
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa individu yang
optimis adalah individu yang mengharapkan akan terjadi hal-hal baik di masa yang
mendatang, sedangkan pesimis adalah sikap individu yang mengharapkan akan
terjadi hal-hal yang buruk di masa yang akan datang.
2.1.3 Ciri-ciri Orang Optimis
Para ahli telah menguraikan beberapa ciri dari orang optimis. Diantaranya
menurut Ubaedy (2007) bahwa untuk menjadi orang optimis tidak secara otomatis
langsung membuat kita mendapatkan impian yang kita inginkan, tetapi untuk
mendapatkan impian itu dibutuhkan batin yang optimis.
Sedangkan menurut McGinnis (1995) ciri-ciri orang optimis diantaranya meliputi:
1) Jarang merasa terkejut oleh kesulitan
2) Mampu mencari pemecahan masalah
3) Merasa yakin bahwa mampu mengendalikan atas masa depan
4) Memungkinkan terjadinya pembaharuan secara teratur
5) Menghentikan pemikiran yang negatif
6) Meningkatkan kekuatan apresiasi
7) Menggunakan imajinasi untuk melatih sukses
9) Merasa yakin bahwa memiliki kemampuan yang hampir tidak terbatas untuk di
ukur
10) Suka bertukar berita baik
Robinson (dalam Ghufron dan Risnawati, 2010) menyatakan individu yang
memiliki sikap optimis jarang menderita depresi dan lebih mudah menggapai
kesuksesan dalam hidup, memiliki kepercayaan, dapat berubah ke arah yang lebih
baik, adanya pemikiran dan kepercayaan mencapai sesuatu yang lebih dan selalu
berjuang dengan kesadaran penuh.
McGinnis (1995) menambahkan bahwa kaum optimis tidak memendam
ganjalan atau menyimpan ingatan tentang kesalahan di masa lalu, ini bukan karena
mereka mempunyai pandangan yang tinggi mengenai umat manusia, tetapi juga
karena mereka punya cara berfikir yang berbeda tentang hakikat kesalahan. Mereka
melihat kesalahan sebagai papan loncatan untu belajar.
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa orang optimis
yaitu orang yang merasa mampu mengatasi setiap masalah fisik maupun psikologis
yang menimpanya berdasarkan pandangannya yang selalu positif terhadap suatu
masalah.
2.1.4 Aspek-aspek Optimisme
Seligman (dalam Lestari dan Lestari, 2005) mengemukakan ada tiga macam
gaya penjelasan (ekplanatory style), yaitu permanence, pervasiveness dan
a. Permanence
Menerangkan hal-hal yang berhubungan dengan waktu yaitu temporer atau
permanen
b. Pervasiveness
Menerangkan bagaimana pengaruh peristiwa yang dialami terhadap situasi yang
berbeda dalam hidup, yaitu spesifik atau global
c. Personalization
Internal dan eksternal, individu dalam menjelaskan siapa yang menjadi
penyebab suatu peristiwa, diri sendiri (internal) atau orang lain (eksternal)
Seligman (2005) menambahkan bahwa Orang-orang yang membuat
penjelasan permanen dan universal untuk kejadian bagus, begitu pula penjelasan
temporer dan spesifik untuk kejadian buruk, dengan cepat pulih kembali dan dengan
mudah kembali melangkah begitu mereka mendapatkan sebuah keberhasilan.
Orang-orang yang memberikan penjelasan temporer dan spesifik untuk
keberhasilan, serta penjelasan permanen dan universal untuk kegagalan, cenderung
kolaps ketika terkena tekanan pada keduanya dalam waktu yang lama dan menyebar
ke berbagai situasi dan jarang aktif kembali.
Orang optimis akan menerangkan situasi yang menyenangkan secara
internal (diri sendiri yang menyebabkan terjadinya situasi yang menyenangkan).
Sebaliknya orang optimis akan menerangkan situasi yang tak menyenangkan secara
menyenangkan). Orang pesimis cenderung menerangkan situasi yang
menyenangkan karena orang lain atau situasi (eksternal) misalnya: “kemampuan
teman-teman saya yang menyebabkan tim saya menang”. Sebaliknya, orang pesimis
cenderung menerangkan situasi yang tak menyenangkan karena dirinya sendiri
(internal).
Berdasarkan uraian di atas dapat kita simpulkan bahwa orang yang optimis
akan memandang suatu kejadian positif sebagai suatu hal yang akan terus terjadi
(permanent) meski dalam kondisi apapun (universal), hal ini diakibatkan karena
mereka percaya bahwa kejadian positif itu muncul akibat faktor dari dalam dirinya
(internal). Sementara bila mereka berhadapan dengan kejadian negatif mereka akan
memandangnya sebagai suatu hal yang sementara dan spesifik (hanya pada saat
terntentu saja). Hal ini diakibatkan karena mereka percaya bahwa hal yang negatif
muncul diakibatkan faktor dari luar dirinya (eksternal).
2.1.5 Cara untuk Meningkatkan Optimisme
Seligman (dalam Lestari dan Lestari, 2005) menemukan cara untuk
meningkatkan optimisme yaitu dengan menggunakan model ABCDE. Model ini
dikembangkan dari model ABC yang sebelumnya telah dikembangkan oleh Albert
Ellis dan Aaron Beck. Adapun yang dimaksud dengan Model ABCDE adalah:
1. Adversity (A) berupa peristiwa, dapat bersifat positif atau negatif,
seperti liburan gagal, permusuhan dengan teman, kematian seseorang
yang dicintai dan sebagainya.
3. Consequences (C) yaitu bagaimana perasaan dan perilaku yang
mengikuti peristiwa.
4. Disputation (D) yaitu argument yang dibuat untuk membantah
keyakinan yang telah dibuat sebelumnya.
5. Energization (E) yaitu akibat emosi dan perilaku dari argument yang
dibuat.
Dari uraian diatas disimpulkan bahwa cara pandang individu yang kurang
optimis atau pesimis dapat diubah menjadi optimis melalui belajar serangkaian
keterampilan kognitif. Adapun salah satu cara yang dapat diajarkan adalah dengan
menggunakan model ABCDE yang dikembangkan oleh Seligman.
2.1.6 Fungsi dan Manfaat Optimisme dalam Kesehatan
Fungsi dan manfaat optimis menurut Ubaedy (2007), dibagi menjadi tiga
bagian, yaitu:
a. Sebagai Energi Positif (dorongan)
untuk menciptakan langkah dan hasil yang lebih bagus dibutuhkan harapan
yang baik, memiliki harapan baik akan memunculkan energi dorongan yang lebih
baik pula.
b. Sebagai Perlawanan
Tingkat perlawanan seseorang terhadap masalah atau hambatan yang
dihadapi terkait dengan tingkat ke optimisannya. Orang dengan optimisme kuat
orang dengan optimism rendah (pesimis), biasanya punya tingkat perlawanan yang
lebih lemah, cenderung lebih lemah menyerah pada realitas ketimbang
memperjuangkannya.
c. Sebagai Sistem Pendukung
Optimisme juga berfungsi sebagai sistem pendukung. Kalau seseorang
menginginkan keberhasilan, maka ia akan berhasil, punya kemauan untuk berhasil,
punya sikap yang dibutuhkan untuk berhasil, dan melakukan hal-hal yang
dibutuhkan untuk keberhasilan itu maka logikanya ia akan berhasil.
Sedangkan manfaat itu sendiri, studi sejumlah pakar kesehatan mental
menunjukan bahwa orang yang optimis jauh dari berbagai penyakit yang
disebabkan oleh kerusakan emosi, seperti stress, distress, depresi dan lain-lain
(Ubaedy, 2007). Selain itu optimisme juga dapat bermanfaat untuk membangkitkan
gairah hidup, untuk membangun masa depan yang lebih baik (Tebba, 2006).
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa fungsi dan manfaat
optimisme dalam kesehatan sangat memiliki peran yang penting bagi setiap individu
dalam meraih kesuksesan dan kebahagiaan dalam hidup. Dimana optimisme dalam
fungsinya dapat memberikan energi yang positif terhdap individu tersebut serta
sistem pendukung untuk melawan rasa ketidakpercayaan diri terhadap frustasi,
depresi maupun ketika individu tersebut dalam menghadapi dan menyelesaikan
masalahnya, dapat menjadikan individu tersebut memiliki kesehatan dalam
mentalnya sehingga dapat menjauhkan diri dari berbagai penyakit distress, depresi
dan kondisi batin yang terpuruk serta kondisi yang dapat menghanyutkan individu
2.1.7 Faktor-faktor yang mempengaruhi Optimisme
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi optimisme menurut para ahli, yaitu :
1. Pesimis, banyak orang yang menyatakan mereka ingin bisa lebih positif,
tetapi berfikir mereka terkutuk dengan sifat pesimistik, dan untuk dapat
mengubah dirinya dari pesimis menjadi optimis dapat melalui rencana
tindakan yang ditetapkan sendiri (McGinnis, 1995)
2. Pengalaman bergaul dengan orang lain, kemampuan untuk mengagumi dan
menikmati hal pada diri orang lain merupakan daya yang sangat kuat,
sehingga dapat membantu mereka memperoleh optimisme (Clark dalam
McGinnis, 1995)
3. Prasangka, prasangkaan hanyalah prasangkaan, bisa merupakan fakta, bisa
pula tidak (Seligman, 2005).
4. Explanatory style yang menjadi petunjuk seseorang cenderung optimis atau
pesimis dipengaruhi oleh genetika, orang tua, guru, media dan trauma
(Carver & Scheier, dalam Synder & Lopez, 2005).
berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor
yang dapat mempengaruhi optimisme seseorang adalah mereka yang memiliki
kepercayaan diri yang rendah, lingkungan pergaulan yang tidak baik, selalu
memiliki prasangka yang tidak baik untuk dirinya maupun dengan orang lain.
Dari penjelasan tentang optimis diatas, maka dapat di ambil kesimpulan
bahwa optimisme adalah suatu pola berfikir yang positif dalam melihat suatu
masalah dan dengan adanya keyakinan ini, akan menimbulkan harapan bahwa hasil
yang baik, akan mudah datang dari pada hasil yang buruk.
Unsur yang dapat membantu menciptakan pemikiran yang harmonis adalah
optimisme atau pandangan positif (positive Thinking) mampu membantu seseorang
agar dapat berfikir secara benar dan mempunyai kemampuan untuk bergerak ke
arah kesempurnaan (Sayyid, 1993).
Menurut Indrawan (1999) sembuh adalah pulih menjadi sehat kembali dari
sakit. Oleh karena itu maka dapat di ambil kesimpulan bahwa optimisme
kesembuhan merupakan suatu harapan di dalam diri individu untuk sehat dari
penyakitnya atau kembali ke kondisi normal.
2.2 Orientasi Masa Depan
2.2.1 Pengertian Orientasi Masa Depan
Orientasi masa depan menurut Sadarjoen (2008), adalah upaya antisipasi
terhadap harapan masa depan yang menjanjikan. Sedangkan Menurut Agustian
(2001), orientasi masa depan adalah bagaimana seseorang merumuskan dan
menyusun visi kedepan dengan membagi orientasi jangka pendek, menengah dan
jangka panjang.
Trommsdorf (dalam Desmita, 2005) mengemukakan bahwa pengertian
yakni antisipasi dan evaluasi tentang diri di masa depan dalam interaksinya dengan
lingkungan.
Sedangkan Nurmi (dalam McCabe & Bernett, 2000) mengemukakan bahwa
orientasi masa depan merupakan gambaran mengenai masa depan yang terbentuk
dari sekumpulan skemata, atau sikap dan asumsi dari pengalaman masa lalu, yang
berinteraksi dengan informasi dari lingkungan untuk membentuk harapan mengenai
masa depan, membentuk tujuan dan aspirasi serta memberikan makna pribadi pada
kejadian di masa depan.
Sebagai suatu fenomena kognitif motivasional yang kompleks, orientasi
masa depan berkaitan erat dengan skemata kognitif, yaitu suatu organisasi
perceptual dari pengalaman masa lalu beserta kaitannya dengan pengalaman masa
kini dan di masa yang akan datang (Chaplin dalam Desmita, 2005). Skemata
kognitif memberikan suatu gambaran bagi individu tentang hal-hal yang dapat
diantisipasi di masa yang akan datang, baik tentang dirinya sendiri maupun tentang
lingkungannya, atau bagaimana individu mampu menghadapi perubahan konteks
dari berbagai aktivitas di masa depan (Desmita, 2005).
Selanjutnya Desmita (2005) menjelaskan bahwa skemata kognitif berisikan
perkembangan sepanjang rentang hidup yang diantisipasi, pengetahuan kontekstual,
ketrampilan, konsep diri dan gaya atribusi. Dari skemata yang dihasilkan, individu
berusaha mengantisipasi peristiwa-peristiwa di masa depan dan memberikan makna
pribadi terhadap semua peristiwa tersebut, serta membentuk harapan-harapan baru
Dari penjelasan diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa orientasi masa
depan merupakan gambaran yang dimiliki individu tentang dirinya dalam konteks
masa depan. Gambaran ini terbentuk dari sekumpulan skemata, sikap atau asumsi
dari pengalaman masa lalu, yang berinteraksi dengan informasi dari lingkungan
untuk membentuk harapan dan cita-cita baru demi menggapai masa depan yang
lebih baik.
2.2.2 Perkembangan Orientasi Masa Depan
Orientasi masa depan merupakan proses yang kompleks dan bersifat terus
menerus. Ada tiga aspek penting yang perlu diperhatikan (Nurmi, 1991) :
1. Orientasi masa depan berkembang dalam konteks kultural dan institusional.
Ekspektansi normatif dan pengetahuan mengenai masa depan menjadi dasar
untuk membentuk minat dan rencana masa depan, dan hubungan antara
atribusi kausal dan afek.
2. Minat, rencana dan keyakinan yang berkaitan dengan masa depan dipelajari
melalui interaksi sosial dengan orang lain.
3. Orientasi masa depan juga dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri individu
seperti kognitif dan perkembangan sosial.
Anticipated life span development Normative
Life-events
Goals
Plans
Attributions emotional
Planning
Evaluation
Gambar 2.1 Perkembangan Orientasi Masa Depan dan Proses yang Terdapat di
Dalamnya (Nurmi,1991).
Menurut Nurmi (1991), orientasi masa depan berkembang akibat interaksi
dengan lingkungan (lihat gambar 2.1).
1. Peristiwa atau kejadian dalam hidup yang bersifat normatif, tugas
perkembangan dan jadwal pencapaian tugas perkembangan menjadi dasar
pembentukan tujuan dan minat yang berorientasi masa depan.
2. Perubahan dalam kesempatan bertindak (action opportunity) dan model
penyelesaian tugas perkembangan berdasarkan usia menjadi dasar
pembentukan rencana dan strategi berdasar pada masa depan.
3. Standar dan tenggang waktu dan solusi evaluasi dari tugas perkembangan
dinilai sukses menjadi dasar pembentukan tahap evaluasi dalam orientasi
masa depan.
Lingkungan atau konteks sosial (keluarga, sekolah dan lainnya) ini
berinteraksi dengan skemata yang ada dalam diri individu (internal) sebagai wujud
antisipasi terhadap perkembangan rentang kehidupan, perkembangan kontekstual
orientasi masa depan yaitu motivasi, perencanaan dan evaluasi yang kemudian
membentuk gambaran mengenai masa depan.
2.2.3 Dimensi Orientasi Masa Depan
Menurut Nurmi (1991) dimensi orientasi masa depan yaitu, motivation
(motivasi), planning (perencanaan) dan evaluation (evaluasi). Untuk membentuk
suatu orientasi masa depan, ketiga dimensi tersebut akan berinteraksi dengan
skemata kognitif yang sebelumnya telah dijelaskan. Secara skematis, keterkaitan
antara skema kognitif dengan ketiga dimensi pembentukan orientasi masa depan
tersebut, dapat di lihat pada gambar 2.1.
Adapun pengukuran orientasi masa depan (Nurmi, 1989) yaitu:
1. Motivational (Motivasi)
Tahap motivasional merupakan dimensi awal dari hasil proses pembentukan
orientasi masa depan. Tahap ini mencakup motif, minat dan tujuan yang berkaitan
dengan orientasi masa depan. Pada mulanya individu menetapkan tujuan
berdasarkan perbandingan antara motif umum dan penilaian, serta pengetahuan
yang telah dimiliki tentang perkembangan sepanjang rentang hidup yang dapat di
antisipasi. Ketika keadaan masa depan beserta faktor pendukungnya telah menjadi
sesuatu yang diharapkan dapat terwujud, maka pengetahuan yang menunjang
terwujudnya harapan tersebut menjadi dasar penting bagi perkembangan motivasi
dalam orientasi masa depan (Nurmi dalam Desmita, 2005).
Minat, motif, pencapaian dan tujuan individu merupakan sistem
dibedakan berdasarkan derajat generality dan abstractness dari tujuan yang dibuat
(Emmons; Lazarus dan Folkman dalam Nurmi, 1989). Dengan kata lain semakin
tinggi tingkatan tujuan maka semakin umum dan abstrak, begitu juga sebaliknya.
Prinsip utama dari tingkatan kerja ini adalah tingkatan motif, nilai atau pencapaian
yang semakin tinggi membutuhkan tingkatan tujuan yang lebih rendah, yang
bekerja melalui beberapa tujuan kecil. Dengan kata lain, untuk mencapai satu tujuan
besar diperlukan tujuan-tujuan kecil (tujuan perantara). Sebelum mencapai tujuan
besar individu terlebih dahulu harus mencapai tujuan perantara dan ini merupakan
strategi merealisasikan tujuan yang lebih besar.
Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Nurmi (dalam Desmita
2005), bahwa perkembangan motivasi dari orientasi masa depan merupakan suatu
proses yang kompleks, yang melibatkan beberapa subtahap, yaitu:
1) Pertama, munculnya pengetahuan baru yang relevan dengan motif umum
atau penilaian individu yang menimbulkan minat yang lebih spesifik
2) Kedua, individu mulai mengeksplorasi pengetahuannya yang berkaitan
dengan minat baru tersebut
3) Ketiga, menentukan tujuan spesifik, kemudian memutuskan kesiapannya
untuk membuat komitmen yang berisikan tujuan tersebut.
2. Planning (Perencanaan)
Perencanaan merupakan dimensi kedua dari hasil proses pembentukan
orientasi masa depan individu. yaitu bagaimana individu membuat prencanaan
bagaimana individu merencanakan realisasi dari tujuan dan minat mereka dalam
konteks masa depan (Nurmi, 1989).
Nurmi (1989) menjelaskan bahwa perencanaan dicirikan sebagai suatu
proses yang terdiri dari tiga subtahap, yaitu :
1) Penentuan subtujuan. Individu akan membentuk suatu representasi dari
tujuan-tujuannya dan konteks masa depan di mana tujuan tersebut dapat
terwujud. Kedua hal ini didasari oleh pengetahuan individu tentang konteks
dari aktifitas di masa depan, dan sekaligus menjadi dasar dari subtahap
berikutnya.
2) Penyusunan rencana. Individu membuat rencana dan menetapkan strategi
untuk mencapai tujuan dalam konteks yang dipilih. Dalam menyusun suatu
rencana, individu dituntut menemukan cara-cara yang dapat
mengarahkannya pada pencapaian tujuan dan menentukan cara mana yang
paling efisien. Pengetahuan tentang konteks yang diharapkan dari suatu
aktivitas di masa depan menjadi dasar bagi perencanaan ini.
3) Melaksanakan rencana dan strategi yang telah disusun. Individu dituntut
melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan rencana tersebut. Pengawasan
dapat dilakukan dengan membandingkan tujuan yang telah ditetapkan
dengan konteks yang sesungguhnya di masa depan.
Untuk menilai sebuah perencanaan yang dibuat oleh individu, dapat dilihat
dari tiga komponen yang tercakup di dalamnya, yaitu pengetahuan (knowledge),
perencanaan (Plans), dan realisasi (realization) (Nurmi, 1989). Pengetahuan disini
Perencanaan ini berkaitan dengan hal-hal yang telah ada dan akan dilakukan
individu dalam usaha untuk merealisasikan tujuan.
3. Evaluation (Evaluasi)
Evaluasi merupakan dimensi akhir dari hasil proses pembentukan orientasi
masa depan. Tahap evaluasi ini adalah derajat dimana minat dan tujuan diharapkan
dapat terealisir. Nurmi (1989) memandang evaluasi sebagai proses yang melibatkan
pengamatan dan melakukan penilaian terhadap tingkah laku yang ditampilkan, serta
memberikan penguat bagi diri sendiri. Jadi, meskipun tujuan dan perencanaan
orientasi masa depan belum diwujudkan, tetapi pada tahap ini individu telah harus
melakukan evaluasi terhadap kemungkinan-kemungkinan terwujudnya tujuan dan
rencana tersebut (Desmita, 2005).
Dalam mewujudkan tujuan dan rencana dari orientasi masa depan, proses
evaluasi melibatkan causal attributions; yang didasari oleh evaluasi kognitif
individu mengenai kesempatan yang dimiliki dalam mengendalikan masa depannya,
dan affects; berkaitan dengan kondisi-kondisi yang muncul sewaktu-waktu dan
tanpa disadari (Nurmi, 1989). Menurut Weiner (dalam Nurmi, 1989) atribusi
terhadap kegagalan dan kesuksesan dengan penyebab tertentu akan diikuti oleh
emosi tertentu.
Model Weiner ini pada dasarnya digunakan untuk mengevaluasi hasil dari
kejadian dimasa lalu. Namun pada kenyataannya model ini juga dapat dimanfatkan
untuk mengevaluasi tujuan dan rencana yang dibuat individu akan masa depannya
(Nurmi, 1989).
Orientasi masa depan merupakan sebuah kesatuan yang terkait dalam satu
sistem dimana tahapan-tahapan orientasi masa depan saling berkaitan. Bandura
(dalam Nurmi, 1991) menjelaskan bahwa suatu pencapaian tujuan dalam
membangun konsep diri yang positif dapat meningkatkan kepercayaan diri,
sehingga berhasil memunculkan sebuah gagasan yang dapat mempengaruhi
pandangannya terhadap orientasi masa depan.
Bandura (dalam Nurmi, 1991) selanjutnya menjelaskan dengan teorinya
bahwa tujuan dan standar pribadi menjadi dasar bagi individu dalam mengevaluasi
kinerja mereka dalam pencapaian tujuan membangun konsep diri yang positif dan
atribusi internal. Selain itu, efektivitas dari rencana yang dibuat mempengaruhi hasil
pencapaian rencana dan pada akhirnya akan mempengaruhi evaluasi diri.
Dari uraian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa orientasi masa
depan sebagai sistem adalah bentuk dasar pemikiran manusia yang terkait dengan
sebuah kesatuan tahapan-tahapan orientasi masa depan.
2.2.5 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Orientasi Masa Depan
Ada beberapa hal yang dapat mempengaruhi orientasi masa depan. Menurut
Nurmi (1989) terdapat dua faktor yang mempengaruhi orientasi masa depan.
Faktor-faktor tersebut adalah :
Beberapa faktor ini adalah faktor-faktor yang berasal dari dalam diri
individu (internal). Faktor-faktor tersebut adalah :
1) Konsep diri
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Nurmi (1989) menemukan bahwa
konsep diri memberikan pengaruh terhadap orientasi masa depan. Individu dengan
konsep diri yang positif dan percaya dengan kemampuan mereka cenderung untuk
lebih internal dalam pemikiran mereka mengenai masa depan dibandingkan
individu dengan konsep diri yang rendah.
Konsep diri juga dapat mempengaruhi penetapan tujuan. Salah satu bentuk
dari konsep diri yang dapat mempengaruhi orientasi masa depan adalah diri ideal.
Diri ideal terdiri atas konsep individu mengenai diri ideal mereka yang berhubungan
dengan lingkungannya dapat berfungsi sebagai motivator untuk dapat mencapai
tujuan jangka panjang.
Bagian dari konsep diri yang cukup sering diteliti adalah self esteem. Hasil
penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa individu dengan self esteem
yang tinggi memiliki belief mengenai masa depannya yang lebih internal dan
memiliki perencanaan yang lebih panjang dibandingkan individu dengan self esteem
yang rendah (Nurmi, 1989).
2) Trait Kecemasan
Penelitian yang dilakukan oleh Zelenski dan Larsen (dalam Palupi, 2007)
menunjukkan hubungan antara nilai skor trait neuroticism dengan skor judgement
terhadap kejadian yang akan terjadi di masa depan. Berdasarkan penelitian, individu
cenderung untuk mempersepsikan bahwa akan terjadi kejadian yang buruk di masa
yang akan datang.
2. Faktor Kontekstual
Berikut ini adalah faktor-faktor kontekstual yang dapat mempengaruhi
orientasi masa depan :
1) Gender
Berdasarkan tinjauan literatur ditemukan adanya perbedaan gender yang
signifikan antara domain-domain pada orientasi masa depan, tetapi pola perbedaan
yang muncul akan berubah seiring berjalannya waktu. Pada penelitian yang
dilakukan oleh Nurmi (1991) ditemukan bahwa perempuan lebih berorientasi ke
arah masa depan keluarga sedangkan laki-laki lebih berorientasi ke arah masa depan
karir. \
2) Status Sosial ekonomi
Kemiskinan dan status sosial ekonomi yang rendah berkaitan dengan
perkembangan orientasi masa depan yang menyebabkannya menjadi terbatas
(Nurmi dalam McCabe & Barnet, 2000). Sejalan dengan hal tersebut, penelitian
yang dilakukan oleh Nurmi (1991dalam McCabe & Barnet, 2000) menunjukkan
bahwa individu yang memiliki latar belakang status sosial ekonomi yang tinggi
cenderung untuk memiliki pemikiran mengenai masa depan karir yang lebih jauh
dibandingkan individu dengan latar belakang sosial ekonomi rendah.
Dalam konteks ini, teman sebaya dapat mempengaruhi orientasi masa depan
dengan cara yang bervariasi. Teman sebaya berarti teman sepermainan dengan
jenjang usia yang sama dan berada pada tingkat perkembangan yang sama, dimana
teman sebaya dapat saling bertukar informasi pada pemikiran mengenai tugas
perkembangannya. Kelompok teman sebaya (peer group) juga memberikan
individu kesempatan untuk membandingkan tingkah lakunya dengan temannya
yang lain (Nurmi, 1991).
2.2.6 Orientasi Masa Depan Dalam Perspektif Islam
Masa depan merupakan yang tak luput dari pandangan Al-quran dan Hadist
pun membicarakan banyak hal mengenai orientasi masa depan. Hal ini terdapat
dalam Q.S. Ad-Dhuha (93) :4 yang berbunyi :
Artinya : Sesungguhnya hari Kemudian itu lebih baik bagimu daripada yang
sekarang (permulaan).
Maksudnya ialah bahwa akhir perjuangan nabi Muhammad SAW itu akan
menjumpai kemenangan-kemenangan, sedang permulaannya penuh dengan
kesulitan-kesulitan. Ada pula sebagian ahli tafsir yang mengartikan akhir dengan
kehidupan akhirat beserta segala kesenangannya dan ada pula dengan arti kehidupan
dunia.
Ketika seseorang mengerjakan sesuatu hendaklah berorientasi pada akhir,
kesuksesan. Al-quran juga mengajarkan pada umat manusia untuk selalu
merencanakan masa depan dengan membuat perencanaan dan mengevaluasi setiap
rencana tersebut, karena keteraturan itu selalu diajarkan dalam islam, hal ini
terdapat dalam Q.S Al-Hasyar (59) : 18 yang berbunyi :
☺
☺
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang Telah diperbuatnya untuk hari esok
(akhirat); dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
apa yang kamu kerjakan.
Ayat ini menjelaskan betapa pentingnya perencanaan untuk hari esok, dan
mengevaluasi apa yang telah dilakukan hari ini dengan melihat kesalahan dan
kekurangannya serta memperbaikinya. Umumnya kegagalan suatu usaha terletak
pada tahap perencanaan awal, salah dalam menetapkan tujuan akan berakibat fatal
dalam hidup. Demikian juga dengan evaluasi, karena selalu menilai sebuah
pekerjaan makan perbaikan akan terus diberlakukan maka hasil yang memuaskan
akan dapat terwujud.
Istilah napza, narkoba, narkotika dan obat terlarang merupakan istilah yang
beredar di masyarakat baik melalui media maupun pembicaraan langsung. Semua
istilah ini mengacu kepada sekelompok zat yang nampaknya mempunyai satu resiko
yang oleh masyarakat disebut bahaya yakni kecanduan atau ketergantungan. Salah
satunya adalah NAPZA (narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya)
yang merupakan bahan atau zat yang bila masuk ke dalam tubuh akan
mempengaruhi tubuh terutama susunan saraf pusat atau otak, sehingga
menyebabkan gangguan fisik, psikis dan fungsi sosial (BNN dan Departemen
Kesehatan RI, 2004).
BNN dan Departemen Kesehatan RI, (2004) menjelaskan jenis-jenis
NAPZA yang sering disalahgunakan:
1. Narkotika, merupakan zat yang berasal dari tanaman atau bukan
tananaman baik sintetis maupun semisintetis yang dapat menyebabkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi
sampai menghilangkan rasa nyeri dan dapat menimbulkan
ketergantungan.
2. Psikotropika, merupakan zat atau obat, baik alamiah maupun sintetis
bukan narkotika yang bersifat proaktif melalui pengaruh selektif pada
susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktivitas
mental dan perilaku.
3. Zat Adiktif Lainnya, bahan ini merupakan zat yang membuat pengaruh
1) Minuman beralkohol, adalah larutan yang mengandung atlialkohol,
yang berpengaruh terhadap sistem saraf pusat dan sering menjadi
bagian dari budaya tertentu.
2) Tembakau, ialah zat yang sangat luas digunakan oleh masyarakat,
mengandung nikotin dan berbagai zat berbahaya akibat proses
pembakarannya.
BNN dan Departemen Kesehatan RI, (2004) menjelaskan berdasarkan
tingkat-tingkat pemakaian NAPZA terbagi menjadi 5, yaitu:
1. Pemakaian Coba-coba
Yaitu pemakaian NAPZA yang tujuannya ingin mencoba untuk
memenuhi rasa ingin tahu. Sebagian pemakai berhenti pada tahap ini,
dan sebagian lain berlanjut pada tahap yang lebih berat.
2. Pemakaian Sosial atau Rekreasi
Yaitu pemakaian NAPZA dengan tujuan bersenang-senang, pada saat
rekreasi atau santai. Sebagian bertahan pada tahap ini, yang lain
meningkat pada tahap yang lebih berat.
3. Pemakaian Situasional
Yaitu pemakaian pada saat mengalami keadaan tertentu, seperti
ketegangan, kesedihan, kekecewaan dan sebagainya, dengan maksud
4. Penyalahgunaan
Yaitu suatu pola penggunaan yang bersifat patologik yang ditandai
oleh intoksikasi sepanjang hari, tak mampu mengurangi atau
menghentikan, berusaha berulang kali mengendalikan, terus
menggunakan walaupun sakit fisiknya cukup berat akibat zat tersebut.
Keadaan ini akan menimbulkan gangguan antara lain: perilaku agresif
dan tidak wajar, hubungan dengan teman terganggu, sering bolos
sekolah atau kerja, melanggar hukum dan tak mampu berfungsi secara
efektif.
5. Ketergantungan
Yaitu telah terjadi toleransi dan gejala putus zat, bila pemakaian zat
dihentikan atau dikurangi dosisnya. Agar tidak berlanjut pada tingkat
yang lebih berat (ketergantungan), maka sebaiknya tingkat-tingkat
pemakaian tersebut memerlukan perhatian dan kewaspadaan keluarga
dan masyarakat.
BNN dan Departemen Kesehatan RI (2004) menjelaskan terjadinya
penyalahgunaan NAPZA terjadi akibat interaksi 3 faktor berikut:
1. Faktor NAPZA, semua jenis napza bekerja pada bagian otak yang menjadi
pusat penghayatan kenikmatan, termasuk stimulasi seksual. Oleh karena itu
penggunaan NAPZA ingin diulangi lagi untuk mendapatkan kenikmatan
yang diinginkan sesuai dengan khasiat farmakologiknya.
2. Faktor Individu, kebanyakan penyalahgunaan napza dimulai atau terdapat
biologik, psikologik maupun sosial yang pesat merupakan individu yang
rentan untuk menyalahgunakan NAPZA.
3. Faktor Lingkungan, meliputi faktor keluarga dan lingkungan pergaulan, baik
pergaulan dilingkungan rumah, disekolah maupun di tempat-tempat umum.
Dari uraian diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa NAPZA
merupakan jenis-jenis dari narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya.
Sehingga ketika seseorang mengkonsumsinya, maka akan menimbulkan ketagihan
atau ketergantungan serta memiliki efek yang negatif terhadap fungsi otak serta
organ tubuh. Dan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi terjadinya
penyalahgunaan NAPZA, dapat terjadi akibat adanya tiga interaksi yang
diantaranya, faktor NAPZA sebagai zat yang dapat memberikan penghayatan
kenikmatan sesaat pada otak, kemudian faktor individu dimana penggunaan
NAPZA dijadikan sebagai suatu peralihan dari masalah yang dihadapinya atau suatu
percobaan akibat rasa ingin tahu yang lebih, dan yang terakhir adalah faktor
lingkungan yang tidak kondusif sehingga memiliki pengaruh yang besar terhadap
terjadinya penyalahgunaan NAPZA.
2.4 Pengguna NAPZA
Pengguna NAPZA atau penyalahguna NAPZA adalah individu yang
menggunakan narkotika atau psikotropika tanpa indikasi medis dan tidak dalam
pengawasan dokter (BNN, 2003). Korban penyalahguna NAPZA atau pengguna
disebabkan oleh penyalahgunaan NAPZA, baik atas kemauan sendiri maupun
paksaan dari orang lain (BNN dan Departemen Kesehatan RI, 2003).
Menurut Makmur (2008) saat ini jumlah panti rehabilitasi sosial
penyalahgunaan NAPZA yang dikelola oleh pemerintah pusat hanya terdapat dua
unit, yakni Panti Sosial Parmadi Putra (PSPP) Galih Pakuan di Bogor dan PSPP
Insyaf di Medan. Selama periode 2001-2008, kedua panti itu telah memberikan
pelayanan kepada 2.240 jiwa penyalahguna NAPZA. Sehingga rata-rata setiap
tahunnya, kedua panti itu telah memberikan pelayanan kepada 280 jiwa
penyalahguna NAPZA. Sedangkan lembaga rehabilitasi sosial yang dikelola
instansi lain, pemerintah daerah dan masyarakat terdapat 82 unit panti rehabilitasi,
Dan selama periode 2001-2008 telah memberikan pelayanan kepada 22.466 jiwa,
sehingga dari 82 unit panti rehabilitasi yang dikelola oleh pihak swasta, memiliki
rata-rata setiap tahunnya telah memberikan pelayanan kepada 2.808 jiwa
penyalahguna NAPZA.
Makmur (2008) menyatakan bahwa Departemen Sosial RI saat ini sedang
mengembangkan sistem rehabilitasi sosial di luar panti dengan mengembangkan
pusat rehabilitasi sosial berbasis masyarakat serta lembaga konsultasi dan informasi
penanggulangan NAPZA. Departemen Sosial RI menargetkan pada tahun 2015
seluruh desa dan kecamatan di seluruh Indonesia sudah punya tim pencegahan
berbasis masyarakat. Saat ini Departemen Sosial RI telah melatih 30 ribu petugas
pencegahan penyalahgunaan napza di tingkat kecamatan dan kelurahan di seluruh
Indonesia.
Dari uraian diatas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa pengguna
terhadap NAPZA (narkotika, alkohol, psikotropika dan zat adiktif lainnya) tanpa
adanya indikasi medis dan diluar dari pengawasan dokter. Dan perhatian yang
diberikan pemerintah melalui Departemen Sosial RI ialah mengembangkan pusat
rehabilitasi berbasis masyarakat serta lembaga konsultasi dan informasi dalam
penanggulangan NAPZA di tingkat kecamatan dan kelurahan di seluruh Indonesia.
2.5 Kerangka Berfikir
Sangat memprihatinkan melihat fenomena para pengguna NAPZA di tempat
rehabilitasi saat ini yang banyak dilakukan oleh generasi muda bangsa, dimana
mereka pada dasarnya adalah generasi penerus bangsa. Para pengguna NAPZA
yang berada di tempat rehabilitasi umumnya memiliki keinginan untuk sembuh dan
terlepas dari ketergantungan NAPZA. Dan salah satu faktor yang mendasari mereka
untuk sembuh adalah keinginan mereka untuk bisa menggapai impian dan cita-cita
mereka dimasa yang akan datang.
Para pengguna NAPZA yang berada di tempat rehabilitasi memiliki
pemahaman yang berbeda-beda dalam mengorientasikan masa depannya, banyak
yang mengorientasikan negatif tentang masa depannya dan ada juga yang
mengorientasikan positif tentang masa depannya, semua itu tergantung dari
pemahaman masing-masing individu. Dan salah satu hal yang ingin di kaji adalah
orientasi masa depan yang dimiliki oleh para pengguna NAPZA, dimana orientasi
masa depan yang dimaksud adalah gambaran mengenai masa depan yang terbentuk
dari sekumpulan skemata, atau sikap dan asumsi dari pengalaman masa lalu, yang
masa depan, membentuk tujuan dan aspirasi serta memberikan makna pribadi pada
kejadian di masa depan (Nurmi, 1991).
Para pengguna NAPZA, mayoritas memiliki pandangan bahwa masa depan
mereka telah hancur dan sulit untuk membangunnya kembali, selalu memberikan
penilaian yang negatif tentang dirinya, tidak memiliki perencanaan dan strategi,
serta tidak memiliki target dalam mewujudkan masa depannya, dalam hal ini
individu tersebut termasuk kedalam pandangan yang memiliki orientasi negatif
tentang masa depannya. Sebaliknya, individu yang selalu memberikan penilaian
yang positif tentang dirinya, individu yang memiliki perencanaan, strategi dan target
dalam mewujudkan masa depannya, maka individu tersebut memiliki orientasi yang
positif terhadap masa depannya.
Untuk membangun rasa optimisme yang kuat untuk sembuh, bukanlah hal
yang mudah. Hal tersebut diperlukan dukungan baik moril maupun materi dari
berbagai pihak. selain itu diperlukan juga dukungan dari dalam dirinya sendiri, yaitu
bagaimana individu tersebut menafsirkan dirinya. Individu yang optimis merupakan
individu yang mengira akan terjadi hal-hal baik pada diri mereka (Carver & Scheier,
dalam Synder & Lopez, 2005).
Berdasarkan penelitiannya, Seligman (dalam McGinnis, 1995) telah
merancang sebuah tes dua puluh menit untuk menetapkan apakah seseorang itu
optimis atau pesimis. Dalam meninjau sikap orang itu, Seligman mencari apa yang
disebutnya gaya dalam menjelaskan, dan menurut Seligman kita semua mempunyai
kebiasaan menjelaskan hal buruk yang terjadi, dan gaya penjelasan inilah yang
memberikan petunjuk halus terhadap kepribadiannya. Pertanyaan yang diajukan
melihat penyebab peristiwa buruk sebagai hal yang sementara atau permanen,
spesifik atau meliputi segala-galanya. Beberapa orang menempatkan kemungkinan
penafsirannya yang paling buruk pada kegagalan. Lestari dan Lestari (2005)
mendapatkan sebuah hasil penelitian yang menunjukan bahwa pelatihan berfikir
optimis efektif untuk menurunkan perilaku coping yang berorientasi pada emosi.
Dengan demikian, pelatihan berfikir optimis cukup memiliki potensi untuk
dikembangkan sebagai metode intervensi untuk menurunkan perilaku coping yang
berorientasi pada emosi.
Dari uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa optimisme merupakan
sikap individu yang mengharapkan hasil akhir yang positif, meskipun berada dalam
situasi sulit. Dengan demikian, keyakinan ini akan menghasilkan campuran
perasaan yang relatif positif . Sebaliknya, pesimis merupakan individu yang berfikir
bahwa hal-hal yang buruk akan terjadi pada dirinya di masa yang akan datang.
Adanya keraguan ini dapat menghasilkan kecenderungan yang lebih besar akan
munculnya perasaan negatif seperti cemas, perasaan bersalah, marah, sedih atau
putus asa.
Mencermati hal tersebut penulis melihat bahwa terdapat kemungkinan
adanya keterkaitan antara Orientasi masa depan dengan optimisme kesembuhan
pengguna NAPZA di Madani Mental Health Care. Dimana para pengguna NAPZA
memiliki orientasi yang berbeda-beda tentang masa depannya, ada yang memiliki
orientasi masa depan yang negatif dan ada juga yang memiliki orientasi masa depan
Hubungan antara orientasi masa depan dengan optimisme kesembuhan pada
pengguna NAPZA di Madani Mental Health Care dapat diperjelas sesuai bagan 2.2
dibawah ini.
Bagan Kerangka Berfikir. 2.2
Pengguna NAPZA
Individu yang mengkonsumsi narkotika, alkohol, psikotropika
dan zat adiktif tanpa ada indikasi medis dan tidak dalam
pengawasan dokter
Orientasi Masa Depan (+) Orientasi Masa Depan (−)
- Memiliki perencanaan dan
Strategi - Tidak memiliki perencanaan
- Memiliki target - Tidak memiliki target
- Memberikan penilaian yang
positif tentang dirinya. - Memberikan penilaian
negatif tentang dirinya
- Memiliki motivasi yang kuat
dalam konteks masa depannya - Motivasi yang lemah dalam
konteks masa depannya
- Selalu mengevaluasi dari setiap
Kejadian yang dialaminya. - Tidak pernah mengevaluasi
dari setiap kejadian yang di
alaminya
2.7 Hipotesis
Hipotesis adalah jawaban sementara tentang masalah yang akan diteliti.
Berdasarkan uraian diatas dapat dirumuskan hipotesis sebagai berikut :
Ha : Ada hubungan antara orientasi masa depan dengan optimisme kesembuhan
pengguna NAPZA di Madani Mental Health Care.
Ho : Tidak ada hubungan antara orientasi masa depan dengan optimisme
BAB 3
METODELOGI PENELITIAN
Bab ini akan menjelaskan mengenai pendekatan serta metode yang
digunakan dalam penelitian ini, meliputi subyek penelitian, instrumen pengumpulan
data dan prosedur penelitian.
3.1 Jenis Penelitian
3.1.1 Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang akan digunakan oleh penulis dalam penelitian
ini adalah pendekatan kuantitatif. Menurut Sugiyono (2008) penelitian kuantitatif
dapat diartikan sebagai metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat
positivisme, digunakan untuk meneliti pada populasi atau sampel tertentu,
pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian, analisis data bersifat
kuantitatif atau statistik, dengan tujuan untuk menguji hipotesis yang telah
ditetapkan.
Penelitian kuantitatif dilakukan untuk pengujian hipotesis dan
menyimpulkan hasilnya pada suatu probabilitas kesalahan penolakan hipotesis nihil
sehingga pendekatan kuantitatif akan memperoleh signifikansi hubungan antar
variabel yang diteliti. Pada umumnya, penelitian kuantitatif merupakan penelitian