• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum prubahan status wakaf (studi kasus masjid al-Istiqomah wa hayatuddin kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Hukum prubahan status wakaf (studi kasus masjid al-Istiqomah wa hayatuddin kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat"

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh:

Ahmad Firmansyah NIM : 106044101381

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(2)

HUKUM PERUBAHAN STATUS WAKAF

(Studi Kasus Masjid Al-Istiqomah wa Hayatuddin Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh:

K O N S E N T R A S I P E R A D I L A N A G A M A

PROGRAM STUDI AHWAL SYAKHSHIYYAH

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

J A K A R T A

(3)
(4)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya, yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh Gelar Strata Satu (S 1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 5 Nopember 2010

(5)

iii

Alhamdulillâhirabbil’âlamîn. Seiring dengan rahmat Allah SWT,

ma’unah serta barokah-Nya, akhirnya penulis dapat merampungkan penulisan

skripsi yang berjudul “Hukum Perubahan Status Wakaf (Studi Kasus Masjid

Al-Istiqomah wa Hayatuddin Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang

Jakarta Pusat)”. Kepada Allah SWT. kita memanjatkan pujian, meminta

pertolongan, dan memohon ampunan. Kepada-Nya pula kita meminta

perlindungan dari keburukan diri dan kejahatan amal perbuatan. Dialah Tuhan

Pencipta hukum yang tiada hukum paling tinggi malainkan hukum ciptaan-Nya.

Telah Ia syariatkan ajaran-ajaran ketauhidan melalui kitab-kitab suci yang

disampaikan para Rasul, manusia pilihan yang diutus-Nya.

Shalawat dan salam teriring mahabbah semoga senantiasa tercurahkan

kepada Rasulullah Muhammad saw., beserta keluarga, sahabat, dan orang-orang

yang mengikuti ajaran beliau hingga hari Akhir. Dialah Nabi utusan Allah SWT

yang terakhir dan tiada Nabi setelahnya. Kemuliaannya lebih utama dari pada

manusia dan makhluk lainnya, Dialah manusia pilihan yang paling bertakwa dan

paling taat akan perintah-perintah Allah SWT, Rasul yang sangat mencintai

umatnya, ridha Allah SWT agar bisa hidup berdampingan dengan Rasulullah

(6)

iv

Dalam proses penyusunan skripsi ini, Penulis banyak menemui hambatan

dan cobaan. Namun, Penulis berusaha menghadapi semuanya dengan ikhtiar dan

tawakal. Penulis sadar dengan sepenuh hati bahwa skripsi ini hanyalah setitik

debu jalanan untuk menitik jalan menuju orang-orang besar. Namun dalam

kapasitas Penulis yang serba dho’if dan dihimpit dengan berbagai keterbatasan,

skripsi ini rasanya sebuah pencapaian monumental yang membuat diri ini serasa

besar, minimal membesarkan perasaan Penulis dan mengobarkan bara semangat

untuk memburu pencapaian-pencapaian berikutnya yang dianggap besar oleh

orang-orang besar. Lebih dari itu, skripsi ini merupakan seteguk air dalam rentang

kemarau studi yang Penulis tempuh selama ini.

Penulis juga sadar sepenuhnya bahwa diri ini berutang budi kepada banyak

pihak yang telah berkontribusi langsung maupun tidak langsung dalam penulisan

skripsi ini. Penulis juga ingin menyampaikan ungkapan rasa terima kasih yang

sedalam-dalamnya kepada para pihak yang telah menanamkan jasa baik berupa

bimbingan, arahan serta bantuan yang diberikan sehingga Penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu, Penulis ingin

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM.

Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bapak Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA. Ketua Program Studi dan

(7)

v

Damanhuri Mustafa, SH. Dosen Pembimbing yang telah berkenan meluangkan waktu, tenaga, fikiran dan kesabarannya untuk

memberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan skripsi ini.

4. Kepala Kantor Kementerian Agama Kota Administrasi Jakarta Pusat,

Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Tanah Abang, Pimpinan

Cabang Muhammadiyah Tanah Abang I, Pengurus Nazhir/Dewan

Kemakmuran Masjid Al Istiqomah wa Hayatuddin Kelurahan Kebon

Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat, yang telah memberikan

izin untuk mengadakan penelitian dan memberikan keterangan serta

data yang diperlukan penulis.

5. Seluruh dosen dan civitas akademika Fakultas Syariah dan Hukum,

terima kasih atas ilmu dan bimbingannya. Seluruh Staf Akademik,

Jurusan, Kasubag, dan Perpustakaan, terima kasih atas bantuan dalam

upaya membantu memperlancar penyelesaian skripsi ini.

6. Ayahanda dan Ibunda tercinta atas pengorbanan dan cinta kasihnya baik

berupa moril dan materil, serta doa yang tak terhingga sepanjang masa

untuk keberhasilan studi Penulis, segala hormat Penulis persembahkan.

7. Seluruh keluarga besarku yang senantiasa memberi dorongan dan

motivasi agar tetap semangat dalam menempuh studi di kampus tercinta

(8)

vi

8. Sahabat-sahabatku tercinta, khususnya teman-teman seperjuangan

Peradilan Agama angkatan 2006, yang senantiasa menebarkan

benih-benih keceriaan dalam bingkai kebersamaan, dan senantiasa menjaga

ikatan tali silaturahmi.

Besar harapan bagi Penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapa

saja yang memerlukannya dan dapat memberikan khazanah baru dalam dunia

akademik. Sebagai manusia yang dho’if, yang memiliki keterbatasan dan

kekurangan, tentunya skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,

dengan tangan terbuka dan kerendahan hati Penulis akan sangat berterima kasih

apabila para pembaca yang budiman memberikan kritik dan saran yang

membangun demi kebaikan dan perbaikan atas karya-karya yang lainnya.

Akrinya, hanya kepada Allah SWT. juga kita memohon agar apa yang

telah kita lakukan menjadi suatu investasi yang sangat berharga dan kelak dapat

membantu kita di Yaumil Akhir .

Wassalamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, 5 Nopember 2010

(9)

vii

KATA PENGANTAR ………iii

DAFTAR ISI ……….vii

BAB I PENDAHULUAN………...1

A. Latar Belakang Masalah……….1

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah………....8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian……….10

D. Tinjauan Kajian Terdahulu………...11

E. Metode Penelitian……….13

F. Sistematika Penulisan………...………....16

BAB II KETENTUAN UMUM TENTANG PERWAKAFAN……...18

A. Pegertian dan Dasar Hukum Wakaf………...18

B. Rukun, Syarat, Tujuan dan Fungsi Wakaf………...27

C. Kewajiban dan Hak-Hak Nazhir Atas Benda Wakaf………....35

D. Macam-Macam Wakaf………..40

(10)

viii

BAB III PERUBAHAN STATUS WAKAF DAN MEKANISMENYA………....46

A. Perubahan Status Wakaf dalam Hukum Islam………...46

B. Perubahan Status Wakaf dalam Hukum Positif………...53

C. Mekanisme Perubahan Status Wakaf………...56

BAB IV PERUBAHAN STATUS WAKAF MASJID AL-ISTIQOMAH WA HAYATUDDIN………...59

A. Gambaran Umum Masjid Al-Istiqomah wa Hayatuddin………...59

B. Faktor Penyebab dan Dampak Perubahan Status Wakaf Masjid Al-Istiqomah wa Hayatuddin………62

C. Proses dan Reaksi Masyarakat terhadap Perubahan Status Wakaf Masjid Al-Istiqomah wa Hayatuddin………...64

D. Analisis Data Penelitian………68

BAB V PENUTUP………...75

A. Kesimpulan………...75

B. Saran-Saran………...77

(11)

1 A. Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama universal, tidak hanya mengatur bidang ibadah secara khusus (mahdhoh) tetapi juga ibadah secara umum (ghoiru mahdhoh). Islam mewarnai perilaku manusia dalam berpikir, bertindak dengan batas-batas yang telah ditetapkan tidak lain untuk mencari ridla Allah SWT. Pada hakekatnya manusia di muka bumi ini untuk mengabdi atau beribadah kepada Allah SWT.

Pelaksanaan ibadah dipraktekkan dan dimanifestasikan melalui pengabdian keseluruhan diri manusia beserta segala apa yang dimilikinya. Ada ibadah melalui bentuk pengabdian badan, seperti shalat, puasa atau juga melalui bentuk pengabdian berupa pengorbanan apa yang kita miliki/harta benda, seperti zakat, shodaqoh, ilmu pengetahuan seperti mengajar/memberi ilmu, di samping ada juga secara bersama-sama badan dan harta, seperti puasa dan haji. Satu bentuk ibadah melalui pengorbanan dengan harta yang kita miliki untuk kepentingan kemanusiaan, kemasyarakatan, dan keagamaan yang telah diatur oleh syari’at Islam adalah wakaf.1

Di Indonesia, Islam merupakan agama yang banyak penganutnya (mayoritas), mempunyai beberapa lembaga yang diharapkan mampu

(12)

2

membantu untuk mewujudkan kesejahteraan sosial, salah satunya adalah wakaf. Dalam Islam, wakaf termasuk kategori ibadah kemasyarakatan yang hukumnya sunnah, amalan wakaf merupakan amalan yang besar karena amalan ini tidak dapat berhenti atau putus pahalanya bila orang tersebut telah meninggal dunia, maka amalan wakaf akan tetap mengalir pahalanya dan tetap diterima oleh wakif walaupun ia telah meninggal.

Wakaf merupakan salah satu lembaga keagamaan yang dianjurkan oleh Allah SWT untuk dijadikan sarana penyaluran harta yang dikaruniakan-Nya kepada manusia. Amalan wakaf amat besar artinya bagi kehidupan sosial ekonomi, kebudayaan dan keagamaan.2 Lembaga perwakafan adalah salah satu bentuk perwujudan keadilan sosial dalam Islam. Prinsip pemilikan harta dalam ajaran Islam menyatakan bahwa harta tidak dibenarkan hanya dikuasai oleh sekelompok orang atau dimiliki sendiri, tetapi harus dinikmati bersama. Ini mengingatkan pada umat manusia bahwa Islam mengajarkan fungsi sosial harta.

Fungsi sosial dari perwakafan mempunyai arti bahwa penggunaan hak milik seseorang harus memberi manfaat langsung atau tidak langsung kepada masyarakat. Dalam ajaran pemilikan terhadap harta benda (tanah) tercakup di

(13)

dalamnya benda lain, dengan perkataan lain bahwa dalam benda seseorang ada hak orang lain yang melekat pada harta benda tersebut.3

Di dalam Hukum Islam dikenal banyak cara untuk mendapatkan hak atas tanah. Perolehan dan peralihan hak atas tanah dapat terjadi antara lain melalui jual beli, tukar-menukar, hibah, hadiah, infak, sedekah, wakaf, wasiat, ihya-ulmawat (membuka tanah baru).

Diantara banyak title perolehan atau peralihan hak yang dikenal dalam Hukum Islam tersebut, maka ternyata wakaf mendapat tempat pengaturan secara khusus di antara perangkat perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, dalam hal ini berbentuk Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, yang dimaksudkan untuk melaksanakan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria. Dengan demikian wakaf merupakan salah satu lembaga Hukum Islam yang mempunyai titik temu secara konkrit dengan peraturan yang berlaku di Indonesia.4

Salah satu faktor penting yang ikut mewarnai corak dan perkembangan wakaf di era Indonesia modern adalah ketika Negara ikut mengatur kebijakan wakaf melalui seperangkat Hukum Positif. Dalam proses

3Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat

Islam dan Penyelenggaraan Haji, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia (Jakarta: Depag RI, 2006), h. 89.

4Adijani al-Alabij, Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teoti dan Praktek (Jakarta: PT

(14)

4

perumusan kebijakan tersebut, visi dan arah kebijakan wakaf banyak ditentukan oleh bagaimana rezim berkuasa melihat potensi maupun organisasi wakaf, baik dalam kerangka kepentingannya maupun kepentingan umat Islam pada umumya.5

Sejak datangnya Islam, wakaf telah dilaksanakan berdasarkan paham yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Islam Indonesia, yaitu paham Syafi’iyyah dan adat kebiasaan setempat. Pola pelaksanaan wakaf sebelum adanya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (Buku III Hukum Perwakafan), dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, masyarakat Islam Indonesia masih menggunakan kebiasaan-kebiasaan keagamaan, seperti kebiasaan melakukan perbuatan hukum perwakafan tanah secara lisan atas dasar saling percaya kepada seseorang atau lembaga tertentu, kebiasaan memandang wakaf sebagai amal shaleh yang mempunyai nilai mulia di hadirat Tuhan tanpa harus melalui prosedur administratif, dan harta wakaf dianggap milik Allah semata yang siapa saja tidak akan berani mengganggu gugat tanpa seizin Allah.6

5Andy Agung Prihatna, dkk., Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan: Studi tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia (Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2006), h.81.

(15)

Tradisi wakaf tersebut kemudian memunculkan berbagai fenomena yang mengakibatkan perwakafan di Indonesia tidak mengalami perkembangan yang menggembirakan untuk kepentingan masyarakat banyak. Bahkan banyak kita jumpai aset wakaf yang mengalami permasalahan-permasalahan akibat tidak adanya tertib administrasi, dan salah satunya mengenai perubahan status wakaf seperti dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya. Kenyataan ini tentu tidak sesuai dengan ketentuan wakaf dan tujuan dari fungsi wakaf sendiri.

Dari kenyataan itulah, sejak diundangkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (Buku III Hukum Perwakafan), dan lahirnya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, perwakafan mulai dan terus dibenahi dengan melakukan pembaharuan-pembaharuan di bidang pengelolaan wakaf secara umum, salah satunya mengenai paradigma baru terhadap perubahan status wakaf yang sangat menarik penulis untuk menelaah ketentuan ini lebih lanjut, dan mencoba menelusuri kenyataan atau praktek yang terjadi di masyarakat.

(16)

6

terlebih dahulu meminta izin dari Menteri Agama Republik Indonesia dengan dua alasan, pertama karena tidak sesuai dengan tujuan wakaf dan yang kedua demi kepentingan umum. Secara subtansial, benda-benda wakaf boleh diberdayakan secara optimal untuk kepentingan umum dengan jalan tukar-menukar. Keberadaan aturan tersebut merupakan upaya pembaharuan paham yang sejak awal diyakini oleh mayoritas ulama dan masyarakat Indonesia yang mengikuti pendapat Imam Syafi’i bahwa benda-benda wakaf tidak boleh diutak-atik, walaupun demi kepentingan manfaat sekalipun.7

Paradigama baru terhadap perubahan status harta benda wakaf memang menjadi salah satu bukti bahwa paham wakaf di Indonesia sejatinya sudah cukup baik, paling tidak sejak adanya Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (Buku III Hukum Perwakafan), dan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf khususnya yang berkaitan dengan perubahan status dan peruntukannya.

Pada kenyataannya, dalam operasional di lapangan masih ditemukan masalah-masalah perwakafan yang perlu mendapat perhatian dari pihak-pihak terkait secara terkoordinasi, salah satunya wakaf Masjid Al-Istiqomah wa Hayatuddin di Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta

7Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat

(17)

Pusat. Karena disebabkan untuk kepentingan yang lebih luas dan bermanfaat bagi kepentingan umum, serta dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik lalu lintas, keamanan, kemanfaatan, rencana tata ruang dan pengembangan wilayah di Kecamatan Tanah Abang yang setiap tahun semakin ramai dengan aktivitas masyarakat, dengan begitu tiada pilihan kecuali menukar dan memindahkan wakaf tersebut ke tempat lain.

Upaya atau langkah-langkah para pihak yang terkait dalam menyelesaikan masalah perwakafan yang menyangkut perubahan status wakaf tersebut perlu diperhatikan, sehingga dapat mempunyai penyelesaian masalah yang sesuai dengan ketentuan hukum, baik dari segi Hukum Islam maupun perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

Hal tersebut menarik penulis untuk meneliti dan mengkaji lebih lanjut proses perubahan status wakaf yang berlangsung, dengan harapan dapat memberikan masukan solusi agar pada masa mendatang dapat dilakukan perubahan status wakaf yang benar, sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, dengan tetap memberikan kemanfaatan bagi kepentingan umum dan umat Islam secara khususnya.

Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka penulis merasa tergerak untuk mengadakan penelitian mengenai: “Hukum Perubahan Status Wakaf (Studi Kasus Masjid Al-Istiqomah wa Hayatuddin

(18)

8

B. Pembatasan dan Rumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah

Agar penulisan skripsi ini dapat mencapai hasil yang baik sesuai dengan tujuan yang dikehendaki, maka penulis akan membatasi pada masalah-masalah tertentu saja, yang ada kaitannya dengan judul skripsi sehingga masalah-masalah yang diteliti tidak begitu luas. Penulis dalam menyusun skripsi ini membatasi pada hukum melakukan perubahan status harta benda wakaf, khususnya mengenai tukar-menukar (ruislagh) tanah wakaf dalam ketentuan Hukum Islam dan Hukum Positif di Indonesia serta prosedurnya.

2. Perumusan Masalah

Dalam teori, perwakafan yang telah dilaksanakan berdasarkan paham yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Islam Indonesia, yakni paham Syafi’iyyah menyatakan bahwa tidak boleh melakukan perubahan status pada aset wakaf seperti menjual, merubah bentuk, memindahkan atau menukar dengan benda lain, namun dalam prakteknya, ternyata saat ini ada praktik tersebut di masyarakat, bahkan dilegalkan oleh negara dalam bentuk perundang-undangan.

(19)

Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf Pasal 51 yang berbunyi sebagai berikut:

Penukaran terhadap harta benda wakaf yang akan diubah statusnya dilakukan sebagai berikut:

a. Nazhir mengajukan permohonan tukar ganti kepada Menteri melalui Kantor Urusan Agama Kecamatan setempat dengan menjelaskan alasan perubahan status/tukar-menukar tersebut;

b. Kepala KUA Kecamatan meneruskan permohonan tersebut kepada Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota;

c. Kepala kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota setelah menerima permohonan tersebut membentuk tim dengan susunan dan maksud seperti dalam Pasal 49 ayat (4), dan selanjutnya bupati/walikota setempat membuat Surat Keputusan;

d. Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten/Kota meneruskan permohonan tersebut dengan dilampiri hasil penelitian kepada Kepala Kantor Wilayah Departemen Agama Provinsi dan selanjutnya meneruskan permohonan tersebut kepada Menteri;

e. Setelah mendapatkan persetujuan tertulis dari Menteri, maka tukar ganti dapat dilaksanakan dan hasilnya harus dilaporkan oleh Nazhir ke kantor pertanahan dan/atau lembaga terkait untuk pendaftaran lebih lanjut.

namun dalam prakteknya, terdapat pelaksanaan perubahan status/tukar-menukar harta benda wakaf yang belum sepenuhnya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku tersebut, salah satunya yang penulis kemukakan ialah proses ruislagh tanah wakaf antara Masjid Al-Istiqomah dan Musholla Hayatuddin Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat, dengan tanah pengganti milik PT Jakarta Realty.

(20)

10

1. Bagaimanakah ketentuan perubahan status wakaf dalam Hukum Islam dan Hukum Positif serta mekanismenya?

2. Faktor apa sajakah yang menyebabkan terjadinya perubahan status wakaf Masjid Al Istiqomah wa Hayatuddin di Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat dan dampaknya?

3. Bagaimanakah proses perubahan status wakaf Masjid Al-Istiqomah wa Hayatuddin di Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat dan apa reaksi masyarakat setempat terhadap perubahan tersebut?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan yang hendak dicapai penulis dalam penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui ketentuan perubahan status wakaf dalam Hukum Islam dan Hukum Positif serta mekanismenya.

2. Untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya perubahan status wakaf Masjid Al-Istiqomah wa Hayatuddin di Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat serta dampaknya.

(21)

Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritik

Diharapkan dapat menambah kontribusi pengetahuan tentang perwakafan, khususnya mengenai perihal perubahan status wakaf, sekaligus memperkaya kepustakaan hukum khususnya Hukum Islam.

2. Manfaat Praktis

Dapat memberikan masukan yang berguna bagi pihak yang berkepentingan dan pihak terkait lainnya.

D. Tinjauan Kajian Terdahulu

Dalam skripsi yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Tentang Adanya Perubahan Status Tanah Wakaf (Studi Kasus di KUA Kecamatan Pamulang)” yang ditulis oleh Lilih Munawaroh Jurusan Peradilan Agama Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2005. Penulis membahas seputar ketentuan Hukum Islam tentang perubahan status tanah wakaf dan penarikan kembali tanah wakaf serta prosedurnya di KUA Kecamatan Pamulang.

(22)

12

[image:22.595.111.517.222.544.2]

Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2006. Penulis membahas mengenai gambaran umum tentang sengketa perubahan status tanah wakaf di TPU Griya Abadi Desa Parung, pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif tentang perubahan status tanah wakaf dan penulis juga membahas tentang cara penyelesaian terhadap sengketa tanah wakaf di TPU Griya Abadi Desa Parung.

Dalam skripsi yang berjudul “Pengalihan Wakaf Tanah dan Bangunan Menurut Hukum Islam (Studi Kasus Masjid Jami’ Al-Ikhlas Kelurahan Malaka Jaya Kecamatan Duren Sawit Jakarta Timur)” yang ditulis oleh Ahmad Ulfi Maula Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007, penulis membahas pandangan ulama mazhab terhadap pengalihan wakaf tanah dan bangunan.

(23)

Pusat, dampaknya, serta proses dan reaksi masyarakat setempat terhadap perubahan tersebut.

E. Metode Penelitian

Metodologi penelitian berarti cara yang dipakai untuk mencari, mencatat, merumuskan, dan menganalisis sampai menyusun laporan guna mencapai suatu tujuan.8 Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode sebagai berikut:

1. Jenis dan Metode Penelitian

Jenis penelitian yang penulis lakukan adalah penelitian kualitatif, yakni dengan menggunakan instrumen penelitian lapangan. Sedangkan metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif, yakni berusaha menyajikan fakta-fakta yang objektif sesuai dengan kondisi dan situasi yang sebenarnya terjadi pada saat penelitian dilakukan.

Di samping itu, peneliti juga menggunakan instrumen penelitian kepustakaan, yaitu penelitian dengan jalan menelaah buku-buku ilmiah, meneliti buku-buku yang memiliki relevansi dengan objek penelitian, artikel, kitab-kitab karangan para ulama, internet, dan lain-lain sebagai faktor penunjang yang melandasi dasar-dasar teoritis.

8 Cholid Nurboko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian (Jakarta: Bumi Aksara Pustaka,

(24)

14

2. Lokasi Penelitian

Dalam penelitian ini penulis mengambil lokasi di Masjid Al-Istiqomah wa Hayatuddin yang terletak di Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat.

3. Sumber Data a. Data Primer

Merupakan data yang diperoleh langsung dari melalui studi lapangan yaitu dengan mengadakan penelitian di instansi atau perorangan yang ada kaitannya dengan penelitian skripsi ini.9

b. Data Sekunder

Merupakan data yang diperoleh melalui studi kepustakaan yang bertujuan memperoleh landasan teori yang bersumber dari buku-buku yang memiliki relevansi dengan objek penelitian, artikel, kitab-kitab karangan para ulama, internet, dan literatur lain yang berkaitan dengan objek penelitian.10

4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa teknik pengumpulan data sebagai berikut:11

9 Tommy Hendra Purwaka, Metodologi Penelitian Hukum (Jakarta: Penerbit Universitas

Atma Jaya (PUAJ), 2007), h.54.

10Ibid.,

11 Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik (Jakarta: PT Rineka

(25)

a. Dokumentasi, yaitu penelusuran dokumen-dokumen tertulis untuk memperoleh data, seperti surat-surat, arsip, dan lain-lain.

b. Wawancara atau interview, yaitu pengambilan data dengan menggunakan tanya jawab kepada pihak-pihak yang terkait dengan objek penelitian. Dalam hal ini penulis melakukan wawancara terhadap Pengurus Nazhir Wakaf/Dewan Kemakmuran Masjid Al-Istiqomah wa Hayatuddin, Kantor Urusan Agama Kecamatan Tanah Abang, dan Kantor Kementerian Agama Kota Jakarta Pusat.

c. Observasi, yang merupakan sebuah proses penelitian secara mendalam untuk mengetahui dalam hal ini faktor penyebab dilakukannya ruislagh tanah wakaf Masjid Al-Istiqomah dan Musholla Hayatuddin, dengan tanah pengganti milik PT Jakarta Realty, dampaknya, serta proses dan reaksi masyarakat setempat terhadap perubahan tersebut. 5. Teknik Analisa Data

Dalam menganalisa data, pendekatan yang dilakukan adalah pendekatan kualitatif, yaitu dengan memeriksa kelengkapan, kejelasan dan relevansi data yang diperoleh kemudian disajikan secara deskriptif untuk menemukan fakta dengan intervensi yang tepat dan menganalisis lebih dalam tentang hubungan dari fakta-fakta tersebut.12

(26)

16

6. Teknik Penulisan

Mengenai teknik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada Buku Pedoman Penulisan Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Tahun 2007.

F. Sistematika Penulisan

Guna memberikan gambaran yang jelas mengenai keseluruhan isi skripsi, maka penulis memberikan sistematika skripsi yang secara garis besar berguna untuk pembaca. Sistematika skripsi menjadi 5 (lima bab), dan isi dari masing-masing bab secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut:

Bab pertama tentang pendahuluan, bab ini merupakan pengantar untuk dapat menjawab pertanyaan apa yang diteliti, mengapa, bagaimana dan untuk apa penelitian ini dilakukan. Oleh karena itu, bab ini terdiri dari uraian tentang latar belakang masalah, pembatasan dan rumusan masalah, tujuan penelitian dan manfaat penelitian, tinjauan kajian terdahulu, metode penelitian, dan sistematika pembahasan.

(27)

wakaf. Macam-macam wakaf. Kewajiban dan hak-hak nadzir atas benda wakaf. Pendaftaran dan pengumuman harta benda wakaf.

Bab ketiga tentang perubahan status wakaf dan mekanismenya, bab ini berisi penjelasan mengenai perubahan status wakaf dalam Hukum Islam dan Hukum Positif serta mekanismenya.

Bab keempat tentang data dan analisis, bab ini terdiri dari dua bagian besar, yaitu deskripsi obyek penelitian dan jawaban dari permasalahan penelitian. Dalam bab ini diuraikan tentang gambaran umum Masjid Al-Istiqomah wa Hayatuddin Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat. Faktor penyebab dan dampak dari dilakukannya perubahan tersebut. Proses dan reaksi masyarakat setempat terhadap perubahan tersebut. Analisa data penelitian.

(28)

18

BAB II

KETENTUAN UMUM TENTANG PERWAKAFAN

A. Pengertian dan Dasar Hukum Wakaf 1. Pengertian Wakaf

Kata wakaf berasal dari bahasa Arab al-waqf bentuk masdar

dari

ْﻗًﻔ

َو

ُﻒ

َﯾِﻘ

َﻒ

َََََﻗ

َو

.

Kata al-waqf semakna dengan al-habs bentuk

masdar dari

ًﺴ

ْﺒ

َﺣ

ُﺲ

ِﺒ

ْﺤ

َﯾ

َﺲ

َﺒ

َﺣ

yang berarti menahan atau berhenti,1 mengekang atau menghentikan,2 tetapnya sesuatu dalam keadaan semula.3

Menurut istilah, wakaf adalah:

َﺣ

ْﺒ

ُﺲ

ٔﻻا

ْﺻ

ِﻞ

َو

َﺗ

ْﺴ

ِﺒْﯿ

ُﻞ

اَﺜﻟ

ْﻤ

َﺮ

ِة

.

ٔا

ْي

َﺣ

ْﺒ

ُﺲ

ْﻟا

َﻤ

ِل ﺎ

َو

َﺻ

ْﺮ

ُف

َﻣَﻨ

ِﻓ ﺎ

ِﻌ

ِﮫ

ِﻓ

ْﻲ

َﺳ

ِﺒ

ِﻞﯿ

ِﷲا

4

Artinya:

“Menahan benda asal (pokok) dan menjadikan buah atau hasil untuk sabilillah atau jalan kebaikan, yakni menahan benda atau harta dan menyalurkan hasilnya di jalan Allah.”

Dalam pengertian istilah secara umum, wakaf adalah sejenis pemberian yang pelaksanaannya dilakukan dengan jalan menahan (pemilikan)

1Sayyid Sabiq, Fiqh Sunnah, alih bahasa oleh Kamaluddin A., Marzuki, dkk., cet.VIII,

(Bandung: Al-Ma’arif, 1996), Jilid XIV, h.148.

2Save M. Dagun, Kamus Besar Ilmu Pengetahuan (Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan

Nusantara (LPKN)), h.1193. Lihat juga Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam, cet.IV, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), h.168.

3 M. Abdul Mujieb, dkk, Kamus Istilah Fiqh, cet.III, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002), h.414.

4

(29)

asal (tahbisul ashli), lalu menjadikan manfaatnya berlaku umum. Sedangkan yang dimaksud dengan “tahbisul ashli” ialah menahan barang yang diwakafkan itu agar tidak diwariskan, disewakan, dan digadaikan kepada orang lain. Sedangkan pengertian “cara pemanfaatannya” adalah menggunakan sesuai dengan kehendak pemberi wakaf (wakif) tanpa imbalan.5

Menurut istilah para ahli fiqih terdapat beragam pengertian tentang wakaf, yaitu:

a. Menurut Abu Hanifah:

َﺣ

ْﺒ

ُﺲ

ْﻟا

َﻌْﯿ

ِﻦ

َﻋ

ﻰﻠ

ِﻣْﻠ

ِﻚ

ْﻟا

َﻮ

ْﻗا

ِﻒ

َو

ﱠﺘﻟا

َﺼ

ﱡﺪ

َق

ِﺑ

َﻤْﻨ

َﻔ

َﻌِﺘ

َﮭﺎ

6 Artinya:

“Menahan benda yang menurut hukum statusnya tetap menjadi milik dari orang yang berwakaf (wakif) dan yang disedekahkan adalah manfaatnya saja.”

Berdasarkan definisi itu maka kepemilikan dari harta wakaf itu tidak lepas dari si wakif bahkan ia dibenarkan untuk menarik kembali harta wakafnya dan ia juga diperbolehkan untuk menjualnya. Karena yang lebih kuat menurut pendapat Abu Hanifah adalah bahwa wakaf hukumnya jaiz

(boleh), tidak wajib.

5Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masayrakat Islam

Departemen Agama, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, cet.III, (Jakarta: Direktorat Pemberdayaan Wakaf Direktorat Jenderal Bimbingan Masayrakat Islam Departemen Agama, 2006), h.1.

6 Ibn Najm Zainuddin, Al-Bahrur Raiq (Mesir: Dar al-Kitab al-‘Arabiyyah al-Kubro, t.th), Juz

(30)

20

b. Menurut Imam Malik:

َﺟ

ْﻌ

ُﻞ

َﻣْﻨ

َﻔ

َﻌ

ُﺔ

َﻣ

ُﻠﻤ

ْﻮ

ٍك

َو

َﻟْﻮ

ِﺑَٔﺎ

ْﺟ

َر

ٍة

َٔا

ْو

ُﻏ

ﱠﻠٍﺔ

ِﻟُﻤ

ْﺴ

َﺘ

ِﺤ

ﱟﻖ

ِﺑ

ِﺼ

ْﯿَﻐ

ٍﺔ

ُﻣ

ﱠﺪَة

َﻣ

َﯾ ﺎ

َﺮ

ُها

ُﻤﻟا

ْﺤ

ِﺒ

ِﺲ

7

Artinya:“

Menjadikan manfaat benda yang dimiliki baik yang berupa sewa atau hasilnya untuk diserahkan kepada yang berhak (maukuf alaih) dalam bentuk penyerahan yang berjangka waktu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh orang yang mewakafkan (wakif).”

Dengan kata lain, pemilik harta menahan benda itu dari penggunaan secara pemilikan tetapi membolehkan pemanfaatan hasilnya bagi orang banyak untuk tujuan kebaikan, sedangkan perwakafan itu berlaku untuk suatu masa tertentu, oleh karena itu tidak boleh disyaratkan sebagai wakaf kekal (selamanya).

c. Menurut Imam Syafi’i:

َﺣ

ْﺒ

ُﺲ

َﺎﻣ

ٍل

ُﯾ

ْﻤ

ِﻜ

ُﻦ

ْا

ِٕﻻ

ْﻧِﺘ

َﺎﻔ

ُع

ِﺑِﮫ

َﻣ

َﻊ

َﺑ

ِءﺎﻘ

َﻋ

ْﯿِﻨ

ِﮫ

ِﺑََﻘ

ْﻄ

ٍﻊ

ﱠﺘﻟا

َﺼ

ﱡﺮ

ٍف

ِﻓ

َر

ْﻗَﺒ

ِﺘِﮫ

َﻋ

َﻠ

َﻣ

ْﺼ

َﺮ

ٍف

ُﻣَﺒ

ٍحﺎ

8

Artinya:

“Menahan harta yang dapat diambil manfaatnya dengan tetap utuhnya barang dan barang itu lepas dari penguasaan si wakif serta dimanfaatkan pada sesuatu yang diperbolehkan oleh agama.”

Maksud dari “lepas” definisi di atas adalah lepasnya kepemilikan benda wakaf dari si wakif dan menjadi milik Allah SWT, dan hasil dari

7Sayyid Ali Fikri, Al-Mu’aamalatul Madiyah Wal Adabiyah, (Mesir: Mushthofa Baabi

Al-Halani, 1938), Juz II, h.304.

8Asy-Syarbini Muhammad al-Khatib, Mughnil Muhtaaj, (Mesir: Mushthofa Baabi

(31)

pemanfaatan benda wakaf tersebut digunakan untuk kebaikan yang sangat dianjurkan dalam Islam.

d. Menurut Ahmad Bin Hanbal:

َﺗ

ْﺤ

ِﺒْﯿ

ُﺲ

َﻣ

ِﻟﺎ

ٍﻚ

ُﻣ

ْﻄ

َﻠ

َﻖ

ﱠﺘﻟا

َﺼ

ﱡﺮ

ِف

َﻣ

َﻟﺎ

ُﮫ

ْﻟا

ُﻤْﻨ

َﺘِﻔ

ُﻊ

ِﺑِﮫ

َﻣ

َﺑﺎ

َﻘ

ِعﺎ

َﻋ

ْﯿِﻨ

ِﮫ

ﻊﻄﻘﯾ

َﺗ

َﺼ

ّﺮ

ِﻓِﮫ

َو

َﻏ

ْﯿ

ِﺮ

ِه

ِﻓ

َر ﻰ

ْﻗَﺒ

ِﺘِﮫ

ِﻟَﻨ

ْﻮ

ٍع

ِﻣ

ْﻦ

ٔاْﻧ

َﻮ

ِعا

ﱠﺘﻟا

َﺼ

ﱡﺮ

ِف

َﺗ

ْﺤ

ِﺒْﯿ

ًﺴ

ُﯾ

ْﺼ

َﺮ

ُف

ِر

ْﯾ

ُﻌ

ُﮫ

ِٕاﱠﻟ

ِﺑ

ﱟﺮ

َﺗََﻘ

ﱡﺮ

ًﺑ

ِٕا ﺎ

ﱠﻟ

ِﷲا

9

Artinya:

“Menahan kebebasan pemilik harta dalam membelanjakan hartanya yang bermanfat dengan tetap utuhnya harta dan memutuskan semua hak penguasaan atas harta itu sedangkan manfaatnya dipergunakan pada suatu kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah.”

Dalam definisi di atas terdapat kata “putus” yang maksudnya adalah terputusnya kepemilikan benda wakaf dari si wakif dan menjadi milik Allah SWT, dan hasil dari pemanfaatan benda wakaf tersebut digunakan untuk kebaikan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Selain definisi yang terdapat menurut fiqih klasik, khusus di Negara kita Indonesia ini terdapat rumusan wakaf sebagaimana terdapat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun1977 tentang Perwakafan Tanah Milik Pasal 1 ayat (1), bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam.

Dalam Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (Buku III Hukum Perwakafan) Pasal 215 ayat (1), bahwa wakaf

(32)

22

adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.

Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 1 ayat (1), bahwa yang dimaksud dengan wakaf adalah perbuatan hukum wakif

untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.

Selain itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengeluarkan Fatwa tentang wakaf melalui rapat Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 11 Mei 2002, bahwa wakaf adalah:

ِفﱡﺮَﺼﱠﺘﻟا ِﻊْﻄََﻘِﺑ ِﮫِﻠْﺻَٔا ْؤا ِﮫِﻨْﯿَﻋ ءَﺎﻘَﺑ َﻊَﻣ ِﮫِﺑ ُعﺎَﻔِﺘْﻧِٕﻻْا ُﻦِﻜْﻤُﯾ ٍلَﺎﻣ ُﺲْﺒَﺣ

ﻰِﻓ

ْﻗَر

ٍحﺎَﺒُﻣ ِفَﺮْﺼَﻣ ﻰﻠَﻋ ِﮫِﺘَﺒ

ٍدْﻮُﺟْﻮَﻣ

10

Artinya:

“Menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokonya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan, atau mewariskannya), untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada.”

Dari definisi di atas, meskipun terdapat perbedaan pengertian wakaf antara satu ulama dengan ulama yang lainnya, namun pada dasarnya

10Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat

(33)

mengandung makna yang sama. Perbedaan yang ada hanya dalam hal-hal yang sekunder (cabang) bukan primer (prinsip), sedangkan dalam hal-hal yang pokok, ada ukuran-ukuran yang disepakati oleh sebagian besar ulama, yaitu eksistensi benda wakaf itu haruslah bersifat tetap.

Dengan ungkapan lain istilah wakaf diterapkan untuk harta benda yang tidak musnah dan manfaatnya dapat diambil tanpa mengonsumsi harta benda itu sendiri. Artinya biarpun faedah atau manfaat benda itu diambil, zat benda tersebut masih tetap ada selamanya, sedangkan hak kepemilikannya berakhir, tidak boleh dijual, diwariskan, dihibahkan, serta harta tersebut dipersembahkan oleh si wakif (orang yang mewakafkan) untuk tujuan amal saleh guna mendapatkan keridhaan Allah SWT. Dengan melepaskan harta wakaf itu menjadi milik Allah SWT sehingga tidak dapat dimiliki atau dipindahtangankan kepada siapapun dan dengan cara bagaimanapun juga.

2. Dasar Hukum Wakaf

(34)

24

Artinya:

“kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. dan apa saja yang

kamu nafkahkan Maka Sesungguhnya Allah mengetahuinya.”(QS. Ali ‘Imran,

3:92)

ﺎَﯾ

ﺎَﮭﱡﯾَأ

َﻦﯾِﺬﱠﻟا

اﻮُﻨَﻣآ

ﻘﻔﻧأ

اﻮ

ْﻦِﻣ

ِتﺎَﺒِّﯿَﻃ

ﺎَﻣ

ﺘْﺒَﺴَﻛ

ْﻢ

ﱠﻤِﻣَو

ﺎَﻨْﺟَﺮْﺧَأ

ْﻢُﻜَﻟ

َﻦِﻣ

ِضْرﻷا

)

ةﺮﻘﺒﻟا

/

٢

:

٢٦٧

(

Artinya:

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan

dari bumi untuk kamu.”(QS. Al-Baqarah, 2:267)

ُﻞَﺜَﻣ

َﻦﯾِﺬﱠﻟا

ﻘﻔﻨﯾ

َنﻮ

ْﻢُﮭَﻟاَﻮْﻣَأ

ﻲِﻓ

ِﻞﯿِﺒَﺳ

ِﮫﱠﻠﻟا

ِﻞَﺜَﻤَﻛ

ٍﺔﱠﺒَﺣ

ْﺖَﺘَﺒْﻧَأ

َﻊْﺒَﺳ

َﻞِﺑﺎَﻨَﺳ

ﻲِﻓ

ِّﻞُﻛ

ٍﺔَﻠُﺒْﻨُﺳ

ُﺔَﺋﺎِﻣ

ٍﺔﱠﺒَﺣ

ُﮫﱠﻠﻟاَو

ُﻒِﻋﺎَﻀُﯾ

ْﻦَﻤِﻟ

ُءﺎَﺸَﯾ

ُﮫﱠﻠﻟاَو

ٌﻊِﺳاَو

ٌﻢﯿِﻠَﻋ

)

ةﺮﻘﺒﻟا

/

٢

:

٢٦١

(

Artinya:

“Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah

Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.”(QS. Al-Baqarah, 2:261)

(35)

Adapula beberapa hadist yang berkaitan dengan wakaf yang dijelaskan secara umum, yaitu:

َو ِﮫْﯿَﻠَﻋ ُﷲا ﻰﱠﻠَﺻ ِﷲا َلْﻮُﺳَر ﱠنٔا ُﮫْﻨَﻋ ُﷲا َﻲِﺿَر َ ةَﺮْﯾَﺮََََُھ ْﻲﺑأ ْﻦَﻋ

ﻢﱠﻠَﺳ

َلَﺎﻗ

:

ُﻦْﺑِا َتﺎَﻣ اَذِٕا

ٍثَﻼَﺛ ْﻦِﻣ ﱠﻻِٕا ُﮫُﻠَﻤَﻋ َﻊَﻄََﻘْﻧِا َمَدَا

:

ْؤا ٍﺔَﯾِرﺎَﺟ ٍﺔَﻗَﺪَﺻ

ُﮫَﻟ اْﻮُﻋْﺪَﯾ ِﺢِﻟﺎَﺻ ٍﺪَﻟَو ْؤا ِﮫِﺑ ُﻊَﻔَﺘْﻨُﯾ ٍﻢْﻠِﻋ

}

ﻢﻠﺴﻣ هاور

{

11

Artinya:

“Dari Abu Hurairah RA bahwasanya Rasulullah SAW telah bersabda apabila seseorang meninggal dunia maka terputuslah semua amal perbuatannya kecuali tiga hal yaitu shadaqah jariah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, atau anak shaleh yang mendo’akannya.” (HR. Muslim)

َﻋ

ْﻦ

ِاْﺑ

ِﻦ

ُﻋ

َﻤ

َﺮ

َر

ِﺿ

َﻲ

ُﷲا

َﻋ

ْﻨُﮭ

َﻤ

َﻗ ﺎ

َلﺎ

:

َٔا

َﺻ

َبﺎ

ُﻋ

َﻤ

ُﺮ

َٔا

ْر

ًﺿ

ِﺑ ﺎ

َﺨ

ْﯿَﺒ

َﺮ

َﻓَٔﺎ

َﺗ

ﱠﻨﻟا

ِﺒ

ﱠﻲ

َﺻ

ﱠﻠ

ُﷲا ﻰ

َﻋ

َﻠْﯿ

ِﮫ

َو

َﺳ

ﱠﻠَﻢ

ُﯾ

ْﺴ

َﺘْٔﺎ

َﻣ

َﺮ

ِﻓْﯿ

َﮭ

َﻓ ﺎ

َﻘ

َلﺎ

:

َﯾﺎ

َر

ُﺳ

ْﻮ

َل

ِﷲا

ِٕاﱢﻧ

ٔا

َﺻ

ْﺒ

ُﺖ

َٔا

ْر

ًﺿ

ِﺑ ﺎ

َﺨ

ْﯿَﺒ

َﺮ

َﻟْﻢ

َٔا

ِﺻ

ْﺐ

َﻣ

َٔﻻ ﺎ

َﻗ

ﱡﻂ

ُھ

َﻮ

ٔاْﻧ

َﻔ

ُﺲ

ِﻋ

ْﻨِﺪ

ْي

ِﻣْﻨ

ُﮫ

َﻓ

َﻤ

َﺗ ﺎ

ْٔﺎُﻣ

ُﺮ

ِﻧ

ْﻲ

ِﺑِﮫ

؟

َﻓَﻘ

َلﺎ

َﻟُﮫ

َر

ُﺳ

ْﻮ

ُل

ِﷲا

َﺻ

ﱠﻠ

ُﷲا ﻰ

َﻋ

َﻠْﯿ

ِﮫ

َو

َﺳ

ﱠﻞ

ِٕا

ْن

ِﺸ

ْﺋ

َﺖ

َﺣ

َﺒ

ْﺴ

َﺖ

َا

ْﺻ

َﻠَﮭ

َو ﺎ

َﺗ

َﺼ

ﱠﺪْﻗ

َﺖ

ِﺑَﮭ

.

َﻓََﺘ

َﺼ

ﱠﺪ

َق

ِﺑَﮭ

ُﻋ ﺎ

َﻤ

ُﺮ

َٔاﱠﻧ

َﮭ

َﻻ ﺎ

ُﺗَﺒ

ُعﺎ

َو

َﻻ

ُﺗ

ْﻮ

َھ

ُﺐ

َو

َﻻ

ُﺗ

ْﻮ

َر

ُث

.

َﻓَﻘ

َلﺎ

:

َو

َﺗ

َﺼ

ﱠﺪ

َق

ِﺑَﮭ

ِﻓ ﺎ

ْﻟا ﻰ

ُﻔََﻘ

َﺮ

ِءا

َو

ِﻓ

ْﻟا ﻰ

ُﻘ

ْﺮ

َﺑ

َو ﻰ

ِﻓ

ﱢﺮﻟا ﻰ

ََﻗ

ِب ﺎ

َو

ِﻓ

َﺳ ﻰ

ِﺒْﯿ

ِﻞ

ِﷲا

َو

ْﺑ

ِﻦ

ﻟا

ّﺴ

ِﺒْﯿ

ِﻞ

َو

ﱠﻀﻟا

ْﯿ

ِﻒ

َﻻ

ُﺟ

َﻨ

َح ﺎ

َﻋ

َﻠ

َﻣ

ْﻦ

َوِﻟ

َﯿَﮭ

َٔا

ْن

َﯾْٔﺎ

ُﻛ

َﻞ

ِﻣْﻨ

َﮭﺎ

ِﺑ

ْﻟﺎ

َﻤ

ْﻌ

ُﺮ

ْو

ِف

َو

ُﯾ

ْﻄ

ِﻌ

ُﻢ

َﻏ

ْﯿ

َﺮ

ُﻣَﺘ

َﻤ

ﱢﻮ

ٍل

}

هاور

و ىرﺎﺨﺒﻟا

ﻢﻠﺴﻣ

{

12

Artinya:

“Dari Ibnu Umar RA berkata : bahwa sahabat Umar RA memperoleh sebidang tanah di khaibar, kemudian ia menghadap kepada Rasulullah untuk memohon petunjuk dan bertanya : Ya Rasulullah sesungguhnya aku mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, suatu harta yang belum pernah aku dapatkan sama sekali yang lebih baik bagiku selain tanah itu, lalu apa yang hendak kau perintahkan kepadaku ? Maka jawab Nabi Muhammad SAW : Jika engkau suka tahanlah pangkalnya dan sedekahkan hasilnya. Lalu Umar menyedekahkan, dengan syarat dengan syarat tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwarisi. Yaitu untuk orang-orang kafir untuk keluarga dekat, untuk memmerdekakan sahaya, utnuk menjamu tamu, untuk orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan (Ibnu Sabil), dan tidak

11Imam Abi al-Husain Muslim al-Hijaj, Shahih Muslim, (Mesir: Dar-al-Hadits al-Qahirah,

1994), Jilid 6, h.95.

12Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari (Beirut: Dar El-Fikr, t.th), Juz 3, h.196. Lihat juga Ibid.,

(36)

26

berdosa orang yang meburusinya itu untuk memakan sebagiannya dengan cara yang wajar dan untuk memberi makan (kepada keluarganya) dengan

syarat jangan dijadikan hak milik.”(HR. Bukhari dan Muslim)

Di samping hadist yang menyatakan landasan hukum wakaf tanah yang merupakan benda yang tidak bergerak, ada juga hadist yang menyatakan kebolehan benda bergerak sebagaimana hadist yang berasal dari Abu Hurairah dan diriwayatkan oleh Bukhari yang berbunyi sebagai berikut:

َﻋ

ْﻦ

َاِﺑ

ُھ ﻰ

َﺮ

ْﯾ

َﺮ

ََة

َر

ِﺿ

َﻰ

ُﷲا

َﻋ

ْﻨُﮫ

َﻗ

َلﺎ

:

َﺎﻗ

َل

َر

ُﺳ

ْﻮ

ُل

ِﷲا

ُﷲا ﻰﱠﻠَﺻ

َﻋ

َﻠْﯿ

ِﮫ

َو

َﺳ

ّﻠ

:

ْﻦَﻣ

ِا

ْﺣ

َﺘَﺒ

َﺲ

َﻓ

ْﺮ

ًﺳ

ِﻓ

َﺳ

ِﺒْﯿ

ِﻞ

ِﷲا

ِاْﯾ

َﻤ

ًﻧ ﺎ

َو

ْﺣا

ِﺘ

َﺴ

ًﺑﺎ

,

ِﺎﻓ

ﱠن

ُﮫَﻌَﺒِﺸ

َو

َر

َﺜْﻓ

ُﮫ

,

َو

َﺑ

ْﻮَﻟ

ُﮫ

,

ِﻓ

ْﻲ

ِﻣْﯿ

َﺰ

ِﻧا

ِﮫ

َﺣ

َﺴ

َﻨ

ٌتﺎ

}

ىﺮﺨﺒﻟا هاور

{

13 Artinya:

“Dari Abi Hurairah RA berkata, Rasulullah bersabda: Barangsiapa mewakafkan seekor kuda di jalan Allah dengan penuh keimanan dan keikhlasan maka sesungguhnya jasad, kotoran, dan kencingnya akan menjadi amal kebaikan pada timbangan pada hari kiamat.”(HR. Bukhari)

Walaupun hadist di atas hanya menunjukan keabsahan wakaf hewan, dalam hal ini kuda, tapi jika ditinjau dari fungsi hewan itu di zaman nabi yaitu sebagai hewan yang tercepat, maka dapat disimpulkan bahwa wakaf benda bergerakpun sah menurut hukum manakala pemanfaatannya dapat diperoleh tanpa menghabiskan barang itu sendiri.

Uraian hadist di atas mengarah pada adanya dua bentuk benda wakaf, yaitu benda bergerak yang disebut al-manqul atau al-musya’ dan benda yang tidak bergerak yang bisa disebut al-‘aqar.14

13Ibid., h.198.

(37)

Dari beberapa hadist di atas dapat disimpulkan bahwa disyariatkannya wakaf sebagai tindakan hukum dengan cara melepaskan hak kepemilikannya atas asal barang dan mensedekahkan manfaatnya untuk kepentingan umum, dengan maksud memperoleh pahala dari Allah. Kepentingan tersebut bisa berupa kepentingan sosial atau kepentingan agama.

B. Rukun, Syarat, Tujuan, dan Fungsi Wakaf 1. Rukun dan Syarat Wakaf

Meskipun para pakar hukum Islam berbeda pendapat dalam merumuskan definisi wakaf, namun mereka sepakat dalam menentukan rukun wakaf,15 tanpa adanya rukun-rukun sesuatu tidak akan berdiri tegak. Wakaf sebagai suatu lembaga Islam mempunyai beberapa rukun. Tanpa adanya rukun-rukun yang telah ditetapkan, wakaf tidak dapat berdiri atau tidak sah.16 Menurut Abdul Wahhab Khallaf rukun wakaf ada empat macam yaitu:17 a. Orang yang berwakaf (Wakif)

Yang dimaksud dengan wakif adalah pemilik harta benda yang melakukan perbuatan hukum (menyerahkan harta bendanya). Menurut para pakar hukum Islam, suatu wakaf dianggap sah dan dapat dilaksanakan apabila

15Abdul Manan, Aneka Masalah Hukum perdata Islam di Indonesia, cet.II, (Jakarta: Kencana,

2008), h.240.

16

Said Agil Husin Al-Munawar, Hukum Islam dan Pluralitas Sosial (Jakarta: Permadani, 2004), h.135.

17

(38)

28

wakif mempunyai kecakapan untuk melakukan (tabarru) yakni melapas hak milik dengan ikhlas tanpa mengharapkan imbalan materil. Orang dapat dikatakan mempunyai kecakapan melakukan dalam hal perwakafan, apabila orang tersebut merdeka, benar-benar pemilik harta yang diwakafkan, berakal sehat, baligh dan pandai (rasyid). Kemampuan melakukan dalam perbuatan wakaf ini sangat penting, karena wakaf merupakan pelepasan benda dari pemiliknya untuk kepentingan umum.

b. Harta yang diwakafkan (Mauquf bih)

Agar harta benda yang diwakafkan sah, maka harta benda tersebut harus memenuhi tiga syarat, pertama: mutaqawwin (mal mutaqawwin) yakni harta pribadi milik si wakif secara sah dan halal, benda bergerak atau tidak bergerak, kedua: benda yang diwakafkan itu jelas wujudnya dan pasti batas-batasnya dan tidak dalam keadaan sengketa, ketiga: benda yang diwakafkan itu harus kekal yang memungkinkan dapat dimanfaatkan secara terus-menerus. Namun demikian menurut Imam Malik dan golongan Syiah Imamiyah wakaf dapat atau boleh dibatasi waktunya.

c. Tujuan wakaf (Mauquf alaih)

(39)

benda-benda yang termasuk dalam bidang yang mendekatkan diri (qurbat) kepada Allah SWT.

d. Ikrar wakaf (Sighat wakaf)

Tentang sighat wakaf ini merupakan rukun wakaf yang disepakati oleh jumhur fuqaha. Tanpa adanya ikrar wakaf, para fuqaha menganggap wakaf belum sempurna dilaksanakan. Yang dimaksud dengan ikrar wakaf adalah pernyataan yang merupakan penyerahan barang-barang wakaf kepada nazhir untuk dikelola sebagaimana yang diharapkan oleh pemberi wakaf.

Pada umumnya, lafaz qabul hanya diperuntukkan kepada wakaf perorangan, tetapi bagi wakaf untuk umum tidak disyaratkan adanya lafaz qabul, cukup dengan ikrar penyerahan saja.18

Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Pasal 2 ditentukan bahwa wakaf sah apabila dilaksanakan menurut syarat-syarat rukun yang ditentukan syariah. Selanjutnya dalam Pasal 6, wakaf dilaksanakan dengan memenuhi unsur sebagai berikut; Wakif; Nazhir; Harta Benda Wakaf; Ikrar Wakaf; peruntukan harta benda wakaf; dan jangka waktu wakaf.

Pada Pasal 7 ditentukan bahwa wakif meliputi; perseorangan; organisasi; badan hukum. Selanjutnya pada Pasal 8 Wakif perseorangan hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi persyaratan; dewasa; berakal; sehat; tidak terhalang melakukan perbuatan hukum; dan pemilik sah harta

18

(40)

30

benda wakaf. Sedangkan wakif organisasi hanya dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan organisasi untuk mewakafkan harta benda wakaf milik organisasi sesuai dengan anggaran dasar organisasi yang bersangkutan. Wakif badan hukum dapat melakukan wakaf apabila memenuhi ketentuan badan hukum untuk mewakafkan harta benda wakaf milik badan hukum sesuai dengan anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan.

(41)

Dalam Pasal 1 ayat (5) disebutkan bahwa, harta benda wakaf adalah harta benda yang memiliki daya tahan lama dan/atau manfaat jangka panjang serta mempunyai nilai ekonomi menurut syariah yang diwakafkan oleh wakif. Disyaratkan pula dalam pasal 15 bahwa harta benda wakaf hanya dapat diwakafkan apabila dimiliki dan dikuasasi oleh wakif secara sah.

Menurut pasal 1 ayat (3), yang dimaksud dengan ikrar wakaf adalah pernyataan kehendak wakif yang diucapkan secara lisan dan/atau tulisan kepada nazhir untuk mewakafkan harta benda miliknya. Sedangkan dalam pasal 17 dikatakan bahwa, ikrar wakaf dilaksanakan oleh wakif kepada nazhir dihadapan PPAIW (Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf) dengan disaksikan oleh 2 orang saksi dan dinyatakan secara lisan dan/atau tulisan serta dituangkan dalam akta ikrar wakaf oleh PPAIW.

2. Tujuan dan Fungsi Wakaf

(42)

32

kuat menolong yang lemah. Yang demikian, merupakan wahana bagi manusia untuk melakukan kebajikan sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah, sehingga interaksi antarmanusia terus terjalin.19

Wakaf memiliki fungsi sosial, artinya bahwa penggunaan hak milik oleh seseorang harus memberi manfaat langsung atau tidak langsung kepada masyarakat. Dalam ajaran kepemilikan terhadap harta benda seseorang, agama Islam mengajarkan bahwa di dalamnya melekat hak fakir miskin yang harus diberikan oleh pemiliknya secara ikhlas kepada yang memerlukannya sesuai aturan yang telah ditentukan yakni melalui infak, sedekah, wasiat, hibah, dan wakaf. Hal ini adalah sesuai dengan firman Allah SWT, sebagaimana tersebut dalam QS. adz-Dzaariyaat ayat 19:

ِموُﺮْﺤَﻤْﻟاَو ِﻞِﺋﺎﱠﺴﻠِﻟ ﱞﻖَﺣ ْﻢِﮭِﻟاَﻮْﻣَأ ﻲِﻓَو

}

تﺎﯾراّﺬﻟا

/

٥١

:

١٩

{

Artinya:

“dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta

dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.”(QS. Adz-Dzariyat, 51:19)

Kepemilikan harta benda yang tidak menyertakan kepada kemanfaatan terhadap orang lain merupakan sikap yang tidak disukai oleh Allah SWT. Agama Islam selalu menganjurkan agar selalu memelihara keseimbangan sebagai makhluk pribadi dan makhluk sosial dalam tata kehidupan masyarakat.20

19Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf Serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf (Jakarta: IIMaN Press, 2003), h.83.

(43)

Dalam konsep Islam, dikenal istilah jariyah artinya mengalir. Maksudnya, sedekah atau wakaf yang dikeluarkan, sepanjang benda wakaf itu dimanfaatkan untuk kepentingan kebaikan maka selama itu pula si wakif mendapat pahala secara terus-menerus meskipun telah meninggal dunia,21

ْﺪَﻘَﻟ

ﻘَﻠَﺧ

ﺎَﻨ

َﺴْﻧﻹا

َنﺎ

ﻲِﻓ

ِﻦَﺴْﺣَأ

ﻘَﺗ

ٍﻢﯾِﻮ

)

٤

(

ﺛﱠﻢ

ُهﺎَﻧْدَدَر

َﻞَﻔْﺳَأ

َﻦﯿِﻠِﻓﺎَﺳ

)

٥

(

ﻻِإ

َﻦﯾِﺬﱠﻟا

اﻮُﻨَﻣآ

اﻮُﻠِﻤَﻋَو

ِتﺎَﺤِﻟﺎﱠﺼﻟا

ْﻢُﮭَﻠَﻓ

ٌﺮْﺟَأ

ُﺮْﯿَﻏ

ﻨْﻤَﻣ

ٍنﻮ

)

٦

(

}

ّﺘﻟا

ﻦﯿ

/

٩٥

:

٦

{

Artinya:

“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam bentuk yang sebaik-baiknya. kemudian Kami kembalikan Dia ke tempat yang serendah-rendahnya (neraka), kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh;

Maka bagi mereka pahala yang tiada putus-putusnya.”(QS. Al-Tiin, 95:4-6)

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik pasal 2 dan Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (Buku III tentang Hukum Perwakafan) pasal 216 menyebutkan, bahwa fungsi wakaf adalah mengekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf, yaitu melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.

Tujuan wakaf yang dimaksud oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dijelaskan pada pasal 4, bahwa wakaf bertujuan untuk memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya. Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf ditambahkan dalam pasal 22, bahwa harta benda wakaf hanya dapat diperuntukkan bagi; sarana dan kegiatan ibadah;

(44)

34

sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan; bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa; kemajuan dan peningkatan ekonomi umat; dan/atau kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.

Sebagaimana dimaksud dalam pasal 22, penetapan peruntukan harta benda wakaf dilakukan oleh wakif pada saat pelaksanaan ikrar wakaf. Sedangkan dalam hal wakif tidak menetapkan peruntukkan harta benda wakaf, nazhir dapat menetapkan peruntukkan harta benda wakaf yang dilakukan sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf.

Dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf pasal 5 dijelaskan bahwa fungsi wakaf adalah mewujudakan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum. Wakaf merupakan tindakan hukum sukarela yang amat dianjurkan sebagai manifestasi rasa syukur atas anugerah rezeki yang diterima oleh seseorang dan difungsikan untuk kepentingan sosial dan keagamaan. Dalam pelaksanaannya, agar fungsi wakaf sesuai dengan tujuan wakaf, maka objek wakaf hendaknya didayagunakan dengan sebaik-baiknya dalam pengelolaannya. Untuk itu diperlukan nazhir yang profesional dibidangnya dengan mengedepankan prinsip dan ajaran Islam.

(45)

dapat lebih produktif, sehingga dapat memberikan sumbangan bagi kesejahteraan masyarakat dan pembangunan bangsa serta dapat mencegah timbulnya permasalahan atau sengketa yang dapat timbul di kemudian hari.

C. Kewajiban dan Hak-Hak Nazhir atas Benda Wakaf

Nazhir wakaf, baik perorangan, organisasi maupun yang berbentuk badan hukum merupakan orang yang diberi amanat oleh wakif untuk memelihara, mengurus dan menyelenggarakan harta wakaf sesuai dengan ikrar wakaf. Sebagai pemegang amanah tersebut, nazhir tentu mempunyai berbagai kewajiban dan hak tertentu. Kewajiban adalah menyangkut hal-hal yang harus dikerjakan dan diselesaikan demi tercapainya tujuan wakaf sebagaimana yang dikehendaki oleh ikrar wakaf, sedangkan hak adalah menyangkut penghargaan atas jasa atau jerih payah dari nazhir yang telah mengelola harta wakaf baik berupa honor atau gaji maupun fasilitas harta wakaf yang telah dikelolanya.

(46)

36

laporan tentang semua hal yang menyangkut kekayaan wakaf, mulai dari keadaan, perkembangan harta wakaf sampai kepada pemanfaatan hasil-hasilnya.22

Kewajiban nazhir secara lebih rinci terdapat dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik Pasal 10 sebagai berikut:

(1) Nazhir berkewajiban melaporkan, mengurus dan mengawasi harta kekayaan wakaf dan hasilnya, meliputi:

a. Menyimpan Lembaran Salinan Akta Ikrar Wakaf; b. Memelihara tanah wakaf;

c. Memanfaatkan tanah wakaf;

d. Memanfaatkan dan berusaha meningkatkan hasil wakaf; e. Meyelenggarakan pembukuan/administrasi yang meliputi:

1. buku catatan tentang keadaan tanah wakaf;

2. buku catatan tentang pengelolaan dari hasil tanah wakaf; 3. buku catatan tentang penggunaan hasil tanah wakaf (2) Nazhir berkewajiban melaporkan:

a. Hasil pencatatan perwakafan tanah milik dalam buku tanah dan sertifikatnya kepada Kepala KUA;

b. Perubahan status tanah milik yang telah diwakafkan dan perubahan penggunaannya;

c. Pelaksanaan kewajiban yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini kepada Kepala KUA tiap satu tahun sekali yaitu pada tiap akhir bulan Desember.

(3) Nazhir berkewajiban pula untuk melaporkan adanya salah seorang anggota nadzir yang berhenti dari jabatannya sebagai diatur dalam pasal 8 ayat (2) peraturan ini.

(4) Bilamana jumlah anggota nadzir kelompok karena berhentinya salah seorang anggota atau lebih berakibat tidak memenuhi syarat sebagai diatur dalam pasal 8 ayat (1) peraturan ini, anggota nadzir lainnya berkewajiban

22

Farid Wadjdy dan Mursyid, Wakaf dan Kesejahteraan Umat: Filantropi Islam yang Hampir Terlupakan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h.167.

(47)

mengusulkan penggantiannya untuk disahkan oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf.

Peraturan Menteri Agama di atas, kemudian oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf pasal 11 disederhanakan lagi menjadi sebagai berikut:

a. Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf;

b. Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya;

c. Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;

d. Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.

Di samping dibebani beberapa kewajiban, nazhir juga diberi hak untuk memperoleh penghasilan yang layak sebagai imbalan atas jerih payahnya mengelola harta wakaf.23 Adanya upah bagi si nazhir ini, telah dipraktikkan oleh Umar Ibn Khattab, Ali ibn Abi Talib, dan sahabat-sahabat lainnya. Besarnya upah yang diterima nazhir, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan waqif atau hakim.24

Golongan Hanafiyyah berpendapat bahwa nazhir berhak mendapatkan gaji selama ia melaksanakan segala sesuatu yang diminta saat wakaf itu terjadi. Besarnya gaji bisa sepersepuluh atau seperdelapan, dan sebagainya, sesuai dengan ketentuan wakif. Namun, apabila wakif tidak menetapkan upah nazhir, maka hakimlah yang menetapkan upah nazhir tersebut. Besarnya upah

23Farid Wadjdy dan Mursyid, Wakaf dan Kesejahteraan Umat: Filantropi Islam yang Hampir Terlupakan, h.170.

(48)

38

pada umumya disesuikan dengan berat-ringannya tugas-tugas yang diberikan kepada nazhir.

Pendapat golongan Malikiyyah mengenai upah nazhir ini hampir sama dengan pendapat golongan Hanafiyyah. Hanya saja, sebagian golongan Malikiyyah berpendapat bahwa jika waqif tidak menentukan upah nazhir, maka hakim dapat mengambil upah itu dari bait al-mal.

Adapun golongan Syafi’iyyah berpendapat bahwa yang menetapkan gaji nazhir itu waqif. Mengenai jumlahnya sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Jika wakif tidak menetapkan upah bagi nazhir, menurut golongan Syafi’iyyah, nazhir tidak berhak mendapatkan gaji. Jika mengharapkan gaji, nazhir harus mengajukan permohonan kepada hakim. Selama tidak mengajukan permohonan, nazhir tidak berhak mendapatkan gaji tersebut. Jika ia memohon kepada hakim, sebagian golongan Syafi’iyyah menyatakan bahwa nazhir berhak mendapatkan gaji yang seimbang. Sebagian golongan Syafi’iyyah menyatakan bahwa sebenarnya ia tidak berhak memohon gaji, kecuali apabila keadaannya sangat membutuhkan.

Di kalangan golongan Hanabilah terdapat dua pendapat. Pendapat pertama, nazhir tidak halal mendapatkan upah kecuali hanya untuk makan sepatutnya. Pendapat kedua, nazhir wajib mendapatkan upah sesuai dengan pekerjaannya.25

(49)

Dari pembahasan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditegaskan di sini bahwa nazhir boleh menerima upah, baik diambil dari harta wakaf maupun dari sumber lain. Jumlah upah di samping didasarkan situasi dan kondisi di suatu tempat. Juga didasarkan pada ketentuan yang ditetapkan oleh waqif maupun hakim yang bertugas di wilayah di mana wakaf itu berada. Hak-hak nazhir dirumuskan pula dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf pasal 12, yaitu nazhir dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak boleh melebihi 10% (sepuluh persen). Bahkan dalam pasal selanjutnya disebutkan bahwa nazhir berhak mendapat pembinaan dari Menteri dan Badan Wakaf Indonesia.

Karena nazhir mempunyai peran sentral dalam pengembangan harta wakaf, maka posisi nazhir menjadi sangat penting, karena tanpa nazhir pegelolaan harta wakaf menjadi tidak akan terlaksana dengan baik seperti yang diharapkan oleh instrumen disunahkannya wakaf. Oleh karena itu, nazhir harus ditetapkan pada waktu ikrar wakaf termasuk peruntukan harta wakaf.

(50)

40

dan masa yang akan datang. Hal lain agar harta wakaf terhindar dan memperkecil terjadinya sengketa yang berakibat hilangnya harta wakaf.26

D. Macam-Macam Wakaf

Bila ditinjau dari segi peruntukan ditujukan kepada siapa wakaf itu, maka wakaf dapat dibagi menjadi dua (2) macam:27

1. Wakaf Ahli

Yaitu wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, seorang atau lebih, keluarga si wakif atau bukan. Wakaf seperti ini juga disebut wakaf

Dzurri. Wakaf jenis ini (wakaf ahli/dzurri) terkadang juga disebut wakaf ‘alal aulad, yaitu wakaf

Gambar

gambaran umum tentang sengketa perubahan status tanah wakaf di TPU Griya
Gambaran Umum Masjid Al-Istiqomah wa Hayatuddin

Referensi

Dokumen terkait