• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB V PENUTUP

B. Saran-Saran

B. Saran-Saran

Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan di atas, maka saran-saran yang dapat penulis berikan diantaranya adalah:

1. Kepada Pengurus Nadzir/Dewan Kemakmuran Masjid khususnya pada Masjid Al Istiqomah wa Hayatuddin Tanah Abang Jakarta Pusat, hendaklah melaksanakan tugas dengan sebaik-baiknya, sehingga aset wakaf dapat dikelola sesuai dengan amanat undang-undang.

2. Kepada Pemerintah Republik Indonesia dalam hal ini Kementerian Agama Republik Indonesia, hendaklah memberikan perlindungan, judifikasi, pengawasan, pencatatan, dan pendataan untuk tanah wakaf. Khususnya terhadap tanah wakaf yang rawan terkena dampak Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) kota, sehingga karena itu dilakukan perubahan status

78

wakaf seperti menjual, merubah bentuk/sifat, memindahkan ke tempat lain, atau menukar dengan benda lain, harap dapat ditangani dengan sebaik-baiknya.

3. Kepada para instansi terkait dan kalangan akademisi yang lebih memahami mengenai perwakafan khusunya mengenai prosedur perubahan status wakaf, diharapkan dapat berperan lebih aktif dalam mensosialisasikan segala macam hal yang berkaitan dengan perwakafan pada sekarang ini terutama pada masyarakat yang masih awam.

4. Terakhir untuk kita semua, sekecil apapun jenis penyimpangan yang kita lakukan, tetaplah hal itu merupakan suatu bentuk pelanggaran terhadap ketentuan hukum yang ada. Hal ini hendaklah menjadi perhatian kita bersama, agar ke depan, apa yang diamanatkan oleh ketentuan hukum yang berlaku, dapat kita jalankan dengan sebaik-baiknya. Terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Alabij, Adijani. Perwakafan Tanah di Indonesia Dalam Teori dan Praktek.

Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002, cet.IV.

Al-Bukhari. Shahih al-Bukhari. Beirut: Dar El-Fikr, t.th, juz III.

Al-Hijaj, Imam Abi al-Husain Muslim. Shahih Muslim. Mesir: Dar-Hadits al-Qahirah, 1994, jilid VI.

Al-Kabisi, Muhammad Abid Abdullah. Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf Serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf. Jakarta: IIMaN Press, 2004.

Al-Khatib, Asy-Syarbini Muhammad. Mughnil Muhtaaj. Mesir: Mushthofa Al-Baabi Al-Halabi, 1958, juz II.

Al-Munawar, Said Agil Husein. Hukum Islam dan Pluralitas Sosial. Jakarta: Permadani, 2004, Cet.I.

Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Rineka Cipta, 2006.

Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Islam tentang Wakaf, Ijarah, Syirkah. Bandung: PT Al-Ma’rif, 1987.

Dagun, Save M. Kamus Besar Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Lembaga Pengkajian Kebudayaan Nusantara (LPKN).

Departemen Agama RI. Al Qur’an dan Terjemahannya. Semarang: CV. Thaha Putra, 1989.

Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam. Ensiklopedi Islam. Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997, cet.IV.

Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji. Paradigma Baru Wakaf di Indonesia. Jakarta: Depag RI, 2006.

. Perkembangan Pengelolaan Wakaf di Indonesia. Jakarta: Depag RI, 2006.

. Peraturan perundangan Perwakafan. Jakarta: Depag RI, 2006.

. Fiqih Wakaf. Jakarta: Depag RI, 2006, cet.IV.

Fikri, Sayyid Ali. Al-Mu’aamalatul Madiyah Wal Adabiyah. Mesir: Mushthofa Al-Baabi Al-Halani, 1938, juz II.

Khallaf, Abdul Wahhab. Ahkam al-Waqf. Kairo, Mesir: Matba’ah al Misr, 1951.

Manan, Abdul. Aneka Masalah Hukum Perdata Di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2008.

Mugniyah, Muhammad Jawad. al-Ahwal al-Syakhsiyah ala al-Mazahib al-Khamsah.

Beirut: Dar al-Ilm li al-Malayin, 1964.

Mujieb, M. Abdul, dkk. Kamus Istilah Fiqh. Jakarta: Pustaka Firdaus, 2002, cet.III.

Nurboko, Cholid dan Achmadi, Abu. Metodologi Penelitian. Jakarta: Bumi Aksara Pustaka, 1997.

Praja Juhaya S. Perwakafan di Indonesia, Sejarah, Pemikiran, Hukum dan

Prihatna, Andy Agung. dkk. Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan: Studi tentang Wakaf dalam Perspektif Keadilan Sosial di Indonesia. Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2006, cet.I.

Purwaka, Tommy Hendra. Metodologi Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit Universitas Atma Jaya (PUAJ), 2007.

Rofik, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2000.

Sabiq, Sayyid. Fiqhus sunnah. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Arabi, 1987, jilid III.

. Fiqh Sunnah. alih bahasa oleh Kamaluddin A., Marzuki, dkk., cet.VIII, Bandung: Al-Ma’arif, 1996, jilid XIV.

Shomad, Abd. Hukum Islam: Penormaan Prinsip Syariah dalam Hukum Indonesia. Jakarta: Kencana, 2010.

Suparman, Usman. Hukum Perwakafan di Indonesia. Jakarta: Darul Ulum Press, 1994.

Wadjdy, Farid dan Mursyid. Wakaf dan Kesejahteraan Umat (Filantropi Islam yang

Hampir Terlupakan). Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Zahrah, Muhammad Abu. Al-Waqf. Beirut: Dar Al-Fikr, 1971, cet.II.

Zainuddin, Ibn Najm. Al-Bahrur Raiq. Mesir: Dar al-Kitab al-‘Arabiyyah al-Kubro, t.th, juz V.

Zuhdi, Masfuk. Studi Islam dan Muamalah. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1993, cet.II.

Narasumber : Drs. Adeng Nurdin

Jabatan : Wakil Ketua DKM Al Istiqomah wa Hayatuddin Hari/Tanggal : Rabu, 21 Juli 2010

Tempat : Kantor Pimpinan Cabang Muhammadiyah Tanah Abang I Waktu : Pukul 09.30 - 10.30 WIB

1. Bagaimanakah sejarah berdirinya Masjid Al Istiqomah wa Hayatuddin ini ?

Jawaban:

Awalnya terdapat dua bangunan rumah ibadah yaitu Masjid Al Istiqomah dan Musholla Al Hayatuddin. Keduanya terletak di wilayah Kelurahan Kebon Melati Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat, lalu kerena ada perkembangan wilayah dan tata kota di wilayah tersebut rencananya akan dijadikan apartemen. Akhirnya dari pihak pengembang dalam hal ini PT Jakarta Realty menemui kami selaku pengurus kedua rumah ibadah tesebut, dikarenakan warga dan pengurus sebelumnya sudah pindah, sehingga masjid dan musholla tersebut diserahkan ke Pimpinan Cabang Muhammadiyah Tanah Abang I, hal ini dilakukan mengingat sebelumnya kedua rumah ibadah tersebut berada di bawah Ranting Muhammadiyah Kebon Melati V. Ketika akan dijadikan apartemen pihak pengembang mengubungi kami sekitar tahun 2003 guna menegosiasikan harga untuk pembelian tanah kami, namun hal tersebut menemui jalan buntu sebab tidak terjadi kesepakatan harga di antara kedua belah pihak sampai akhirnya keluar Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf. Setelah adanya

Undang-Undang Wakaf tersebut muncul usulan dari pihak pengembang untuk dilakukan ruislagh (tukar ganti) tanah wakaf terhadap tanah kami dan akan digantikan dengan tanah miliknya di tempat lain. Setelah kami pertimbangkan baik dari sisi kemaslahatan juga dilihat dari lokasi pengganti yang lebih strategis tempatnya dan tanahnya yang lebih luas dari sebelumnya, akhirnya kami menyetujuinya. Kemudian proses ruislah dilakukan pada tahun 2005 mulai dari perizinan untuk melakukan ruislah hingga pembangunan masjid baru di lokasi pengganti. Setelah semuanya selesai pada tahun 2008, kemudian masjid tersebut kami beri nama, oleh karena asalnya dari hasil ruislagh dua rumah ibadah sebelumnya, maka masjid ini diberi nama Masjid Al Istiqomah wa Hayatuddin.

2. Melihat dari sejarahnya masjid ini berdiri dari hasil ruislagh (tukar ganti) tanah wakaf Masjid Al Istiqomah dan Musholla Al Hayatuddin, apakah ada hambatan dalam prosesnya ?

Jawaban:

Ada, ketika itu ahli waris dari wakif Musholla Al Hayatuddin ada yang tidak setuju dengan ruislagh ini. Sehingga terjadi pertentangan antara pihak ahli waris dengan pihak pengembang. Alasan ahli waris tidak setuju dikarenakan mereka ingin mengambil kembali tanah tersebut yang padahal sudah diwakafkan oleh bapaknya sebelumnya untuk dibangun musholla, mereka merasa bahwa tanah ini miliknya sebab ini adalah tanah yang diwakafkan oleh bapaknya selaku wakif ketika itu, di samping itu mereka beralasan karena tidak mempunyai tempat tinggal selain di sini sehingga mereka akan tetap meguasai tanah tersebut bila tidak ada ganti rugi uang untuk mencari tempat tinggal di tempat lain. Akhirnya setelah dimusyawarahkan pihak pengembang bersedia memberikan ganti rugi kepada pihak ahli waris untuk bersedia memberikan tanahnya untuk dikelola oleh pihak pengembang.

Jawaban:

Untuk tanah Masjid Al Istiqomah luasnya 166 M², kemudian statusnya sudah AIW (Akta Ikrar Wakaf) dan sudah bersertifikat tanah wakaf, sedangkan untuk tanah Musholla Al Hayatuddin luasnya 112,5 M² statusnya belum AIW dan belum bersertifikat. Untuk tanah pengganti luasnya 420 M² dengan status dan kepemilikan saat itu sedang dalam proses sertifikasi.

4. Menyambung pertanyaan nomor 3 (tiga), bagaimanakah status tanahnya setelah Masjid Al Istiqomah wa Hayatuddin ini berdiri ?

Jawaban:

Untuk saat ini status tanahnya sudah bersertifikat tanah wakaf.

5. Setelah masjid ini berdiri bagaimana dengan kepengurusannya ?

Jawaban:

Setelah Masjid Al Itiqomah wa Hayatuddin berdiri pada tahun 2008 kami melakukan pergantian kepengurusan nazhir terlebih dahulu untuk menggantikan kepengurusan yang lama. Permohonan pergantian nazhir tersebut kami ajukan ke Badan Wakaf Indonesia untuk mendapatkan penetapan, setelah memperoleh penetapan tersebut, kepengurusan nazhir yang baru ini kemudian membentuk Pengurus Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) Al Istiqomah wa Hayatuddin ini untuk masa bakti selama dua tahun. Sampai saat ini kami sudah melakukan 2 (dua) kali pergantian Pengurus DKM, terakhir kami adakan pergantian

kepengurusan DKM pada bulan April lalu dan akan habis masa jabatannya pada bulan April 2012. Sedangkan untuk kepengurusan nazhir akan berakhir 2 (dua) tahun lagi.

6. Untuk memakmurkan masjid, kegiatan peribadatan apa sajakah yang diadakan di masjid ini ?

Jawaban:

Yang utama tentu mengadakan shalat lima waktu, shalat Jum’at, shalat tarawih pada bulan Ramadhan dan shalat hari raya Fitri/Adha secara berjamaah. Selain itu kami pengurus juga mengadakan pengajian bulanan dan pengajian untuk memperingati hari besar Islam. Kemudian di luar kegiatan peribadatan di masjid kami ini juga menyediakan jasa penyewaan tempat untuk acara hajatan seperti resepsi pernikahan yang ditempatkan di lantai 1 (satu). Yang terakhir tersebut kami mencoba untuk menjalankan amanat dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf agar aset wakaf ini dapat dikelola secara produktif tidak hanya untuk keperluan peribadatan semata, mengingat tanah pengganti ini yang cukup luas, ke depan Insya Allah kami juga akan membangun koperasi masjid.

NIP : 196808091994031003

Jabatan : Penghulu Madya – Wakaf Kantor Urusan Agama Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat Hari/Tanggal : Rabu, 14 Juli 2010

Tempat : Kantor Urusan Agama Kecamatan Tanah Abang Jakarta Pusat Waktu : Pukul 09.30 - 10.30 WIB

1. Sampai saat ini benda apa sajakah yang sudah diwakafkan di wilayah Kecamatan Tanah Abang ?

Jawaban:

Sampai saat ini dalam data wakaf di Kantor Urusan Agama Kecamatan Tanah Abang hanya terdapat wakaf benda tidak bergerak seperti tanah dan bangunan berupa Masjid, Musholla/Langgar, serta Yayasan/Madrasah.

2. Berapakah luas tanah wakaf se-Kecamatan Tanah Abang sampai dengan saat ini ? Jawaban:

Menurut data yang ada pada Kantor Urusan Agama Kecamatan Tanah Abang luas tanah wakaf se-Kecamatan Tanah Abang saat ini berjumlah sebanyak 149 persil dengan luas 55.027,24 M², dengan rincian sebagai berikut:

a. Masjid : 74 persil dengan luas 35.537,24 M² b. Musholla/Langgar : 57 persil dengan luas 5.473 M² c. Yayasan/Madrasah : 18 persil dengan luas 14.019 M²

3. Dari keseluruhan tanah wakaf di Kecamatan Tanah Abang tersebut, bagaimanakah statusnya ?

Jawaban:

Dari 7 (tujuh) Kelurahan yang terdapat di Kecamatan Tanah Abang sebanyak 136 lokasi tanah wakaf berstatus sudah AIW (Akta Ikrar Wakaf) / APAIW (Akta Pengganti Ikrar Wakaf), 121 sudah bersertifikat, dan 28 belum bersertifikat.

4. Untuk melakukan ruislah (tukar ganti) tanah wakaf prosedur awalnya Nazhir mengajukan permohonan ke Kantor Urusan Agama setempat dengan menjelaskan alasannya, hal tersebut apakah dilakukan secara lisan atau tertulis ?

Jawaban:

Alasan tersebut diajukan oleh nazhir yang bersangkutan bersamaan dengan permohonan untuk melakukan ruislah secara tertulis ke Kantor Urusan Agama setempat.

5. Menyambung pertanyaan nomor 4 (empat), alasan apa sajakah yang dapat dibenarkan sehingga permohonan Nazhir tersebut dapat diterima ataupun ditolak ?

Jawaban:

Mengenai alasan apa saja yang dapat dibenarkan, kita kembalikan ke Pasal 49 ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf yakni a. karena digunakan untuk kepentingan umum sesuai dengan rencana umum tata ruang (RUTR) berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan tidak bertentangan dengan prinsip syariah; b. harta benda wakaf tidak dapat dipergunakan sesuai dengan ikrar wakaf; atau c. pertukaran dilakukan untuk keperluan keagamaan secara langsung dan mendesak.

Sebelum adanya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf Kepala Kantor Urusan Agama yang berwenang, namun setelah Undang-Undang tersebut berlaku yang berwenang adalah Badan Wakaf Indonesia.

7. Menyambung pertanyaan nomor 6 (enam), seperti apakah proses pergantian Nazhir tersebut ?

Jawaban:

Kalau sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf pengurus nazhir lokasi wakaf yang bersangkutan datang ke Kantor Urusan Agama setempat dengan membawa hasil keputusan mengenai pergantian nazhir tersebut, kemudian Kepala Kantor Urusan Agama setempat menindaklanjutinya dengan menetapkannya ke dalam W.5 (Surat Ketetapan Nazhir). Namun setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf, sesudah permohonan tersebut diajukan ke Kantor Urusan Agama setempat, lalu oleh pihak Kantor Urusan Agama setempat ditindaklanjuti dengan meneruskannya ke Badan Wakaf Indonesia untuk dibuatkan penetapannya.

8. Setelah proses ruislah selesai, apakah harus melakukan ikrar wakaf kembali ? Jawaban:

Harus dilakukan ikrar wakaf kembali terhadap wakaf pengganti.

9. Menyambung pertanyaan nomor 8 (delapan), pihak siapa sajakah yang harus ada ketika itu dan dilangsungkan di mana ?

Jawaban:

Yang pertama wakif, kemudian para nazhir. Wakif dan para nazhir tersebut datang ke Kantor Urusan Agama tempat lokasi wakaf pengganti dengan membawa surat keterangan kepala desa tentang perwakafan tanah milik (WK), kemudian bukti kepemilikan yang dimiliki seperti akte jual beli tanah, sertifikat tanah, lalu wakif membuat pernyataan secara tertulis bahwa dia akan/telah mewakafkan. Dalam proses tersebut Kepala KUA membimbing ikrar tersebut di hadapan nazhir dengan disaksikan oleh minimal 2 (dua) orang saksi.

10.Untuk melakukan ikrar wakaf adakah biaya yang harus dikeluarkan ? Jawaban:

Tidak ada biaya yang di keluarkan untuk itu. Namun mereka biasanya memberi infak istilahnya untuk sekedar membantu dalam urusan administrasi.

11.Apakah Bapak mengetahui latar belakang penyebab diadakannya ruislah pada Masjid Al Istiqomah wa Hayatuddin ?

Jawaban:

Saya tidak mengetahui detilnya, sebab saat saya bertugas di sini hal itu sudah terjadi, namun dari dokumen yang ada, setahu saya awal mulanya di karenakan adanya rencana pengembangan area usaha oleh PT Jakarta Realty.

Narasumber : M. Syarifudin, SE.

NIP : 197410122005011005

Jabatan : Pelaksana Zakat Wakaf

Kantor Kementerian Agama Kota Jakarta Pusat Hari/Tanggal : Selasa, 27 Juli 2010

Tempat : Kantor Kementerian Agama Kota Jakarta Pusat Waktu : Pukul 10.30 – 11.30 WIB

1. Mohon penjelasan tentang istilah ruislagh ? Jawaban:

Dilihat dari segi bahasa sepertinya berasal dari bahasa Belanda atau dari bahasa Agraria. Tapi yang pasti istilah ruislagh (tukar menukar) tanah wakaf tersebut dipakai karena semakna dengan yang terdapat dalam Perundang-undangan tentang Wakaf yang memakai istilah perubahan status atau tukar-menukar tanah wakaf.

2. Apa sajakah syarat untuk melakukan ruislagh tanah wakaf ? Jawaban:

Yang pertama harta wakaf tersebut digunakan untuk kepentingan umum atau Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) kota, bisa juga karena sudah tidak dapat digunakan sesuai dengan ikrar wakaf, dapat pula dilakukan untuk keperluan keagamaan secara langsung dan mendesak. Dari segi harta penukar haruslah sudah memiliki sertifikat. Kemudian nilai penukar atau tanah penukar minimal seimbang, seimbang ini bukan berarti luasnya tapi nilai jualnya, jadi yang dinilai itu bukan luasnya tapi nilai jualnya.

3. Dalam proses ruislagh terdapat tim ruislagh, seperti apakah bekerjanya ? Jawaban:

Tim ruislagh ini sebagai tim penilai awal sebelum melangkah ke tahapan yang lebih tinggi seperti menteri yang nantinya dalam memberikan izin ruislagh salah satu acuannya adalah dari hasil penilaian tim ruislagh tersebut. Penilaian tim ruislagh tersebut seperti tanah wakaf yang akan ditukar nilai jualnya berapa, penukarnya berapa, bagaimana status tanah penukarnya sudah bersertifikat atau belum dan dari segi letak tanah penukar lebih strategis atau tidak.

4. Kapan proses ruislagh Masjid Al Istiqomah dan Musholla Al Hayatuddin dilakukan ?

Jawaban:

Ruislaghnya terjadi tahun 2005, sehingga dalam prosesnya ketika itu selain menggunakan ketentuan yang terdapat dalam Surat Edaran Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji Departemen Agama Republik Indonesia Nomor DII/5/HK.007/901/1989 tentang Petunjuk Perubahan Status/Tukar Menukar Tanah Wakaf juga mengacu pada ketentuan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

5. Apakah ada batasan waktu atau Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam melakukan ruislagh ?

Jawaban:

Sampai saat ini belum ada, tapi ke depan nantinya akan ada.

6. Adakah hambatan dalam proses ruislagh Masjid Al Istiqomah dan Musholla Al Hayatuddin ?

digunakan kembali. Intinya masyarakat sekitar dan wakif/nazhir mengetahui, bahwa tanah wakaf tersebut dipindahkan dan tetap sesuai fungsi awalnya, karena memang dilihat dari kondisi sebetulnya ketika itu ada dua segi kebutuhan, yang pertama dari segi aset wakaf agar tidak hilang dan dapat digunakan kembali, kemudian yang kedua dari segi pengembang pun juga butuh tanah itu untuk mengembangkan usahanya.

7. Selain ruislagh Masjid Al Istiqomah dan Musholla Al Hayatuddin adakah kasus ruislagh lainnya di wilayah Jakarta Pusat ?

Jawaban:

Banyak, karena di DKI Jakarta khusunya wilayah Jakarta Pusat proyek pengembangan itu sangat cepat sekali, sehingga banyak membutuhkan tanah, salah satunya yang masih berlangsung adalah Musholla Darul Falah di lingkungan yang saat ini berdiri gedung Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK).

8. Menyambung pertanyaan nomor 7 (tujuh), dari sekian banyak kasus ruislagh di wilayah Jakarta Pusat tersebut rata-rata latar belakang penyebabnya apa ?

Jawaban:

Kebanyakan dikarenakan adanya Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) kota di wilayah Jakarta Pusat.

9. Khusus kasus ruislagh Masjid Al Istiqomah dan Musholla Al Hayatuddin latar

Jawaban:

Penyebab utamanya sama karena adanya Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) kota, kemudian penyebab lainnya adalah upaya penyelamatan aset wakaf agar tidak hilang, sebab masyarakat sekitar ketika itu sudah dipindahkan lebih dulu, sehingga lebih baik dilakukan ruislagh, agar aset wakaf dapat digunakan kembali sesuai dengan ikrar wakaf.

10.Setelah proses ruislagh selesai terhadap status tanah pengganti bagaimana, apakah perlu dilakukan ikrar wakaf kembali ?

Jawaban:

Status tanah pengganti sudah menjadi tanah wakaf, sebab sudah ada keputusan dari menteri bahwa tanah ini adalah tanah pengganti tanah yang diruislagh sebelumnya, sehingga tidak perlu ada ikrar wakaf kembali, cukup dirubah sertifikatnya saja karena yang diperlukan bukan akta ikrar wakafnya tapi sambungan ke arah perubahan itu. Di samping itu agar tidak terjadi kepemilikan data lebih dari satu.

Dokumen terkait