• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KETENTUAN UMUM TENTANG PERWAKAFAN

C. Kewajiban dan Hak-Hak Nazhir Atas Benda Wakaf

Nazhir wakaf, baik perorangan, organisasi maupun yang berbentuk badan hukum merupakan orang yang diberi amanat oleh wakif untuk memelihara, mengurus dan menyelenggarakan harta wakaf sesuai dengan ikrar wakaf. Sebagai pemegang amanah tersebut, nazhir tentu mempunyai berbagai kewajiban dan hak tertentu. Kewajiban adalah menyangkut hal-hal yang harus dikerjakan dan diselesaikan demi tercapainya tujuan wakaf sebagaimana yang dikehendaki oleh ikrar wakaf, sedangkan hak adalah menyangkut penghargaan atas jasa atau jerih payah dari nazhir yang telah mengelola harta wakaf baik berupa honor atau gaji maupun fasilitas harta wakaf yang telah dikelolanya.

Sebagai pemegang amanah, nazhir tidak dibebani resiko apapun atas kerusakan-kerusakan yang terjadi atau menimpa terhadap harta wakaf, selagi kerusakan-kerusakan dimaksud bukan atas kesengajaan atau kelalaiannya. Hanya saja untuk menghindari kerusakan terhadap harta benda wakaf, nazhir dibebankan pengurusan yang meliputi pemeliharaan, pengurusan dan pengawasan harta wakaf serta hasil-hasilnya. Selain itu juga menyangkut

36

laporan tentang semua hal yang menyangkut kekayaan wakaf, mulai dari keadaan, perkembangan harta wakaf sampai kepada pemanfaatan hasil-hasilnya.22

Kewajiban nazhir secara lebih rinci terdapat dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik Pasal 10 sebagai berikut:

(1) Nazhir berkewajiban melaporkan, mengurus dan mengawasi harta kekayaan wakaf dan hasilnya, meliputi:

a. Menyimpan Lembaran Salinan Akta Ikrar Wakaf; b. Memelihara tanah wakaf;

c. Memanfaatkan tanah wakaf;

d. Memanfaatkan dan berusaha meningkatkan hasil wakaf; e. Meyelenggarakan pembukuan/administrasi yang meliputi:

1. buku catatan tentang keadaan tanah wakaf;

2. buku catatan tentang pengelolaan dari hasil tanah wakaf; 3. buku catatan tentang penggunaan hasil tanah wakaf (2) Nazhir berkewajiban melaporkan:

a. Hasil pencatatan perwakafan tanah milik dalam buku tanah dan sertifikatnya kepada Kepala KUA;

b. Perubahan status tanah milik yang telah diwakafkan dan perubahan penggunaannya;

c. Pelaksanaan kewajiban yang tersebut dalam ayat (1) pasal ini kepada Kepala KUA tiap satu tahun sekali yaitu pada tiap akhir bulan Desember.

(3) Nazhir berkewajiban pula untuk melaporkan adanya salah seorang anggota nadzir yang berhenti dari jabatannya sebagai diatur dalam pasal 8 ayat (2) peraturan ini.

(4) Bilamana jumlah anggota nadzir kelompok karena berhentinya salah seorang anggota atau lebih berakibat tidak memenuhi syarat sebagai diatur dalam pasal 8 ayat (1) peraturan ini, anggota nadzir lainnya berkewajiban

22

Farid Wadjdy dan Mursyid, Wakaf dan Kesejahteraan Umat: Filantropi Islam yang Hampir Terlupakan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h.167.

mengusulkan penggantiannya untuk disahkan oleh Pejabat Pembuat Akta Ikrar Wakaf.

Peraturan Menteri Agama di atas, kemudian oleh Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf pasal 11 disederhanakan lagi menjadi sebagai berikut:

a. Melakukan pengadministrasian harta benda wakaf;

b. Mengelola dan mengembangkan harta benda wakaf sesuai dengan tujuan, fungsi dan peruntukannya;

c. Mengawasi dan melindungi harta benda wakaf;

d. Melaporkan pelaksanaan tugas kepada Badan Wakaf Indonesia.

Di samping dibebani beberapa kewajiban, nazhir juga diberi hak untuk memperoleh penghasilan yang layak sebagai imbalan atas jerih payahnya mengelola harta wakaf.23 Adanya upah bagi si nazhir ini, telah dipraktikkan oleh Umar Ibn Khattab, Ali ibn Abi Talib, dan sahabat-sahabat lainnya. Besarnya upah yang diterima nazhir, sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan waqif atau hakim.24

Golongan Hanafiyyah berpendapat bahwa nazhir berhak mendapatkan gaji selama ia melaksanakan segala sesuatu yang diminta saat wakaf itu terjadi. Besarnya gaji bisa sepersepuluh atau seperdelapan, dan sebagainya, sesuai dengan ketentuan wakif. Namun, apabila wakif tidak menetapkan upah nazhir, maka hakimlah yang menetapkan upah nazhir tersebut. Besarnya upah

23Farid Wadjdy dan Mursyid, Wakaf dan Kesejahteraan Umat: Filantropi Islam yang Hampir Terlupakan, h.170.

38

pada umumya disesuikan dengan berat-ringannya tugas-tugas yang diberikan kepada nazhir.

Pendapat golongan Malikiyyah mengenai upah nazhir ini hampir sama dengan pendapat golongan Hanafiyyah. Hanya saja, sebagian golongan Malikiyyah berpendapat bahwa jika waqif tidak menentukan upah nazhir, maka hakim dapat mengambil upah itu dari bait al-mal.

Adapun golongan Syafi’iyyah berpendapat bahwa yang menetapkan gaji nazhir itu waqif. Mengenai jumlahnya sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Jika wakif tidak menetapkan upah bagi nazhir, menurut golongan Syafi’iyyah, nazhir tidak berhak mendapatkan gaji. Jika mengharapkan gaji, nazhir harus mengajukan permohonan kepada hakim. Selama tidak mengajukan permohonan, nazhir tidak berhak mendapatkan gaji tersebut. Jika ia memohon kepada hakim, sebagian golongan Syafi’iyyah menyatakan bahwa nazhir berhak mendapatkan gaji yang seimbang. Sebagian golongan Syafi’iyyah menyatakan bahwa sebenarnya ia tidak berhak memohon gaji, kecuali apabila keadaannya sangat membutuhkan.

Di kalangan golongan Hanabilah terdapat dua pendapat. Pendapat pertama, nazhir tidak halal mendapatkan upah kecuali hanya untuk makan sepatutnya. Pendapat kedua, nazhir wajib mendapatkan upah sesuai dengan pekerjaannya.25

Dari pembahasan yang telah dikemukakan di atas, maka dapat ditegaskan di sini bahwa nazhir boleh menerima upah, baik diambil dari harta wakaf maupun dari sumber lain. Jumlah upah di samping didasarkan situasi dan kondisi di suatu tempat. Juga didasarkan pada ketentuan yang ditetapkan oleh waqif maupun hakim yang bertugas di wilayah di mana wakaf itu berada. Hak-hak nazhir dirumuskan pula dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf pasal 12, yaitu nazhir dapat menerima imbalan dari hasil bersih atas pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf yang besarnya tidak boleh melebihi 10% (sepuluh persen). Bahkan dalam pasal selanjutnya disebutkan bahwa nazhir berhak mendapat pembinaan dari Menteri dan Badan Wakaf Indonesia.

Karena nazhir mempunyai peran sentral dalam pengembangan harta wakaf, maka posisi nazhir menjadi sangat penting, karena tanpa nazhir pegelolaan harta wakaf menjadi tidak akan terlaksana dengan baik seperti yang diharapkan oleh instrumen disunahkannya wakaf. Oleh karena itu, nazhir harus ditetapkan pada waktu ikrar wakaf termasuk peruntukan harta wakaf.

Pengaturan demikian dilakukan untuk menertibkan perwakafan agar harta wakaf kekal manfaatnya dan secara admnistratif akan lebih baik. Disamping itu, dengan perincian yang jelas mengenai kewajiban dan hak nazhir, diharapkan pengelolaan harta wakaf akan lebih baik untuk sekarang

40

dan masa yang akan datang. Hal lain agar harta wakaf terhindar dan memperkecil terjadinya sengketa yang berakibat hilangnya harta wakaf.26

Dokumen terkait