PERGERAKAN PARTAI MASYUMI DI
INDONESIA 1945-1960
Oleh :
NOOR ISHAK
NIM: 204033203130JURUSAN PEMIKIRAN POLITIK ISLAM
FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
Pengesahan Panitia Ujian
Skripsi berjudul “PERGERAKAN PARTAI MASYUMI DI INDONESIA
1945-1960”, telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 22
Januari 2009. Skripsi ini telah ditetapkan sebagai salah satu syarat memperoleh
gelar Sarjana Sosial (S. Sos) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam.
Jakarta, 26 Juni 2008
Sidang Munaqosyah
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
Drs. Harun Rasyid, M.A Drs. Rifqi Muchtar, M.A
NIP. 150 232 921 NIP. 150 282 120
Anggota,
Penguji I, Penguji II,
Dra. Haniah Hanafi, M. Si Dra. Hermawati, M.A
NIP. 150 299 932 NIP. 150 227 408
Pembimbing,
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul “PERGERAKAN PARTAI MASYUMI DI INDONESIA
1945-1960”, telah diujikan dalam sidang munaqosyah Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 22
Januari 2009. Skripsi ini telah ditetapkan sebagai salah satu syarat memperoleh
gelar Sarjana Sosial (S. Sos) pada Program Studi Pemikiran Politik Islam.
Jakarta, 26 Juni 2008
Sidang Munaqosyah
Ketua Merangkap Anggota Sekretaris Merangkap Anggota
Drs. Harun Rasyid, M.A Drs. Rifqi Muchtar, M.A
NIP. 150 232 921 NIP. 150 282 120
Anggota,
Penguji I, Penguji II,
Dra. Haniah Hanafi, M. Si Dra. Hermawati, M.A
NIP. 150 299 932 NIP. 150 227 408
Pembimbing,
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi
salah satu persyaratan memperoleh gelar Strata-1 di UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya
cantumkan dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia
menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 22 Januari 2009
KATA PENGANTAR
Limpahan nikmat, barakah dan kasih sayank yang sangat besar telah
menggetarkan hati dan menggerakkan lisan penulis untuk senantiasa mengukir
rasa syukur ke hadirat Illahi Rabbi –Allah SWT–, atas semua yang telah kita
lewati. Shalawat serta salam senantiasa tercurahkan kepada junjungan nabi besar
Rasulullah Muhammad SAW, beserta keluarganya, sahabatnya serta para
pengikutnya, yang telah memberi banyak pelajaran hidup kepada kita.
Jika air mata ini harus tertumpah, jika raga ini harus tersungkur, dan jika
jiwa ini harus berhimpun, maka semua itu adalah ungkapan rasa syukur yang
paling dalam kepada Sang Pemilik Ilmu Pengetahuan atas terselesaikannya skripsi
yang penulis beri judul “ Pergerakan Parati Masyumi 1945-1960.” Sebagai
sebuah karya, rasanya skripsi ini akan tidak memiliki makna apa-apa, apabila di
dalamnya tidak merajut untaian terima kasih kepada seluruh pihak yang telah
membantu penyelesaian penulisan skripsi ini. Adapun ucapan terimakasih saya
haturkan sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Komarudin Hidayat, MA selaku Rektor UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Dr. Amin Nurdin, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin dan
Filsafat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Drs. Harun Rasyid, M.A dan Drs. Rifqi Muchtar, M.A selaku Ketua
dan Sekretaris Program Non Reguler Fakultas Ushuluddin dan Filsafat
4. Bapak Drs. Agus Nugraha, M.Si selaku Dosen Pembimbing. Terima kasih
yang sebesar-besarnya atas semua dedikasi dan perhatian dalam
memberikan masukan dan arahan selama penulis menyelesaikan skripsi
ini.
5. Ibu Dra. Haniah Hanafi, M.Si selaku dosen penguji I, terima kasih atas
perhatian, masukan, dan kritikan serta arahan yang beliau berikan kepada
saya. penulis haturkan banyak-banyak terima kasih.
6. Ibu Dra. Hermawati, M.A, selaku dosen penguji II, saya hanya bisa
bersyukur dan berterima kasih kepada beliau, sehingga saya mampu
menyelesaikan dan menuangkan revisi tulisan ini.
7. Seluruh dosen dan staff pengajar pada Program Studi Pemikiran Politik
Islam ( PPI ) yang telah sangat banyak mentransformasikan ilmu dan
intelektualitas selama penulis duduk di bangku perkuliahan.
8. Seluruh jajaran, staff, dan petugas di Perpustakaan Utama UIN Jakarta,
Perpustakaan Fakultas Ushuluddin dan Filsafat, Perpustakaan Pusat
Universitas Indonesia, Perpustakaan Miriam Budiardjo ( Fakultas FISIP
UI ), dan Perpustakaan LIPI ( Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia )
yang banyak memberikan kemudahan penulis dalam mengakses seluruh
literatur yang tersedia dan juga yang rela “menunggu” penulis hingga
larut.
9. Sebesar-besarnya kebanggaan ini penulis persembahkan kepada kedua
orangtua, Ayahanda Chalimi (alm) dan Ibunda tercinta Zama’inah,
Kakanda Ali Asrori beserta keluarga, Kakanda Zulianti beserta keluarga,
Adinda Syamsul Arief beserta keluarga, dan Adinda Siti May Syaroh.
semangat bagi penulis, Paman Hamzah beserta keluarga, Soelaiman,
Salamun, Rohimin, dan Soekarwie, beserta keluarga masing-masing.
Bibik, Ruhamah, Sri Aini dan Soekandar, Zainal Anwar, Beserta keluarga,
Nufus Nitami dan Iray Agusti. Seluruh keluarga besar yang berada di
Kudus. Mereka semua tak pernah lelah memotivasi penulis untuk menjadi
lebih baik, terima kasih atas bantuan moral dan financial selama penulis
menempuh study S1 di Ibu Kota. Dan mereka semua layak mendapat
balasan surga dari Allah SWT. Amien
10.Kepada Kakanda yang terhormat Ali Asrori dan seluruh keluarga besar
Istri Ali Asrori, terimakasih atas segala curahan perhatian dan
dorongannya baik moral maupun spiritual kepada penulis. Semoga Allah
senantiasa memberikan kesabaran dan kemanfaatan dalam setiap jejak
langkah yang akan ditempuhnya.
11.Kepada seluruh teman-teman kelas PPI Angkatan 2004 Non-Reguler,
Nufus Nitami (Psikologi), Ayu Sartika, Estria (Guru Bahasa Indonesia)
Ade Nissa ( Ekonomi ), Sofyan (V.Onk), Tsani ( Kak Asep ), Yusuf Fadli
( Ucup ), Muhsin, Hudori, Zulfikar, Indra, Tya/Maulidia ( Sosiologi
Agama ), Isti, Buhari, Tohid, Sa’di, Aziz, Fadil, Galo, Agus ( Awe ), Iin
Solihin, Asep Muharuddin, Lia ( SA ), Surono, Saiman, Iray Agusti (
medan ), dr. Ricardo, Mas Harris, dan lain-lain. Keyakinan dan
kesungguhan merekalah yang menjadi sumber inspirasi penulis.
12.Teman-teman yang tergabung dalam mengajar di SMA Yayasan
Pendidikan Dharma Karya, Ibu Suparmi, Spd selaku Kepala Sekolah
yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, semangat perjuangan dan
bantuan mereka selalu memberi inspirasi dan semangat bagi penulis.
13.Teman-teman yang tergabung dalam mengajar di SMP N 250 Jakarta,
Kepala Sekolah SMPN 250, Pak Tumardi, Pak Tri, Pak Paryono, Bu
Kristi, Bu Suyani, dan teman-teman yang tidak bisa penulis sebutkan satu
persatu, terima kasih atas motivasi dan dukungannya.
14.Teman-Teman yang tergabung dalam mengajar di Yayasan Kesejahteraan
BKUI Jakarta, Ibu Dra. Tutik selaku ketua Yayasan, Pak Andhi Alfian,
Pak Rahmatullah, Ibu Hetty Novianti, beserta teman-teman yang lain
tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, terima kasih atas do’a restunya
sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi dan wisuda sarjana.
15.Heningnya suasana malam, dan terangnya gemintang, rembulan,
lampu-lampu jalan, hembusan angin, dan balutan semesta malam yang selalu
setia menemani penulis selama menjalani perkuliahan di Program
Non-Reguler Fakultas Ushuluddin dan Filsafat.
Akhirnya kesempurnaan hanyalah milik Allah, dan kita sebagai manusia
sangat tidak layak untuk mengakui kesempurnaan itu. Begitu pula skripsi ini,
yang tak luput dari kesalahan dan kekurangan. Penulis berharap dari
ketidaksempurnaan itu, akan hadir kebaikan untuk semua.
Jakarta, Mei 2009
DAFTAR ISI
LEMBAR PERSETUJUAN ... i
LEMBAR PENGESAHAN ... ii
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
KATA PENGANTAR... iv
DAFTAR ISI... viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah... 1
B. Sistematika Penelitian ... 13
C. Tujuan Penelitian ... 13
D. Metodologi Penelitian ... 14
E. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 15
BAB II MASYUMI A....Aw al Berdirinya Masyumi... 16
B....Asa s Partai Masyumi ... 23
C...Sus unan Organisasi Masyumi ... 25
BAB III DINAMIKA PERGERAKAN MASYUMI DALAM
PERPOLITIKAN DI INDONESIA
A. Masyumi Sebagai Wahana Perjuangan politik Islam
(1945-1947) ... 38
B. Masyumi dan Kabinet Amir Syarifuddin (1947-1948)... 44
C. Masyumi dan Kabinet Hatta (1948-1949)... 52
BAB IV MASYUMI DAN DEMOKRASI PARLEMENTER
A....Ma syumi dan Kabinet Natsir (1950-1951)... 67
B....Ma syumi dan Kainet Soekiman (1951-1952 )... 76
C...Ma syumi dan Kabine Burhanuddin (1955-1956) ... 82
D....Ma syumi dan Kabinet Ali Sastroamidjoyo II (1956-1957) ... 84
BAB V PENUTUP
A. Saran ... 90
B. Kesimpulan... 93
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Wacana mengenai Pergerakan Masyumi 1945-4960 dalam diskursus
perpolitikan di Indonesia sejak dahulu memang tidak pernah habis untuk di
bahas. Perdebatanya dalam kaitan ini secara umum mengacu pada gagasan dan
sentiment yang membentuk kerangka konseptual tentang identitas nasional
yang sering hadir bersamaan dengan identits yang lain, seperti: agama, suku,
bahasa, teretorial dan kelas. Oleh karena itu, pergerakan Masyumi adalah
faham yang meyakini kebenaran dan pikiran, bahwa setiap bangsa seharusnya
bersatu dalam komunitas politik yang dikelola dalam kehidupan bernegara.
Benturan ideologi peran partai Masyumi belum berahir, tidak sedikit
orang menilai bahwa peran Partai Masyumi dari beberapa Kabinet tidak
bertahan lama, kaena mosi tidak percaya dari bebrapa anggota parlemen
menjatuhkan kabinet-kabinet tersebut. Peran partai Masyumi sebagai kabinet
tidak bisa hidup secara berdampingan secara harmonis. Walaupun sebagian
umat muslim lain menganggap tidak ada sebuah pertentangan diantara
keduanya. Pro-kontar tidak hanya berhenti disini saja, belum kita bahas lebih
dalam, pertikaian ternayta bukan saja berlanjut dalam aspek politik, ekonomi,
soasial, dan budaya, akan tetapi sampai keranah sejarah. Hitam-putihnya
Meskipun partai Masyumi mendapat kesempatan memimpin kabinet,
bukan berarti Masyumi memonopoli dalam menetukan anggota-anggota
kabinetnya. Contoh kabinet Natsir merangkul berbagi partai antara lain dari:
Masyumi, PIR, Demokrat, PSI, Parinda, Katholik, Parkindo, dan Partai
Syarekat Islam Indonesia. 1
Banyak literatur barat, mencatat sejarah kebangkitan nasionalsime
sering kali dikaitkan dengan kebangkitan para pemimpin sekuler, termasuk
Budi Utomo dan Partai Nasional Indonesia-nya Soekarno. Nasionalisme
diyakini sebagai sebuah barang Impor dari Barat, dan para pemimpin di didik
secara sekuler untuk memperkenalkan konsep tersebut di Negara Indonesia.
Disinilah letak sejarah berkemabangnya sebuah Negara, tidak heran apabila
banyak masyarakat yang menentang.
Istilah nasionalisme yang telah diserap ke dalam bahasa Idonesia
memiliki dua pengertian: paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara
sendiri dan kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial
atau aktual bersama-sama untuk mencapai, mempertahankan, dan
mengabadikan identitas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa tersebut.
Pemahaman nasionalisme dari penulis adalah sebuah upaya untuk
memperjuangkan dan mewujudkan sebuah negara-bangsa (nation state).
Orientasi kenegaraan nasional dari konsep nasionalisme merupakan gerakan
kemerdekaan dari dominasi kolonial, kemudian sebagai gerakan demokrasi.
Oleh karena itu nasionalisme memiliki dua dimensi yang saling berkaitan,
1
yaitu dimensi internal dan eksternal. Dimensi internal merujuk pada
kemampuan domestik untuk menciptakan suasana yang kondusif bagi
pembangunan nasional, terutama konsensus nasional untuk memperkecil
bahkan meniadakan konflik-konflik internal itu yang lebih penting. Kemudian
dimensi ekstrenal adalah mencerminkan kemampuan nasional suatu
negara-bangsa dalam menjalankan hubungan luar negerinya dengan berbagai aktor
negara-negara tetangga. Dengan demikian nasionalisme merupakan faktor
determinan dalam politik luar negeri suatu negara yang akan memepengaruhi
efektifitas perpolitikan luar negeri.2
Pemikiran dan pergerakan nasionalisme maupun Islam bisa dilihat dari
kebangkitan nasiomalisme dan Islam di Indonesia pada abad ke-20. sebagai
mana sejarah mencatat bangkitnya pergerakan di Indonesia awal abad kedua
puluh ditandai dengan perubahan kesadaran politik yang tumbuh dengan
subur, yang tepatnya pada tahun 1920-1930, terjadi pergolakan pemikiran
untuk mencari nilai dasar atau ideologi untuk memperjuangkan kemerdekaan
atau dalam bahasa Taufik Abdullah sebagai “dasawarsa ideologi” dalam
sejarah pergerakan di Indonesia.3
Nasionalisme berasal dari kata Nation yang dipadankan dengan
bangsa. Dalam bahasa Indonesia, bangsa mempunyai dua pengertian yaitu
pengertian antropologis-sosiologis, dan pengertian politis. Dalam pengertian
antropologis dan sosiologis bangsa adalah suatu masyarakat yang merupakan
suatu persekutuan hidup yang berdiri sendiri dan masing-masing angggota
merasa sebagai satu kesatuan Ras, Bahasa, Agama, Sejarah, dan Adat Istiadat.
Sedangkan yang dimaksud bangsa dalam politik adalah masyarakat dalam
suatu daerah yang sama dan tunduk kepada kedaulatan negaranya sebagai
suatu kekuasaan tertinggi, baik keluar maupun kedalam.
Gelombang nasionalisme pada abad ke-19 dan awal abad ke-20 yang
melanda negara-negara Islam, telah memberikan pengaruh yang signifikan
terhadap perpolitikan umat Islam. Dalam kaitan ini, secara umum istilah
nasionalisme mengacu kepada gagasan yang membentuk kerangka konseptual
tentang identitas nasional yang hadir bersama identitas lain seperti, Agama,
bahasa, suku, teritorial, dan kelas. Sehingga negara bangsa (nation state)
menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari umat Islam4. Oleh karena itu,
nasionalisme atau kebangsaan adalah faham dan meyakini kebenaran, bahwa
kebenaran setiap bangsa harus bersatu padu dalam komunitas politik yang
dikelola secara rasional dalam kehidupan bernegara.
Memasuki abad-21, serbuan globalisasi mengguncang sendi-sendi
identitas nasional. Proses globalisasi yang berlangsung cepat, cendrung
melenyapkan batas-batas negara dan nasionalisme. Bentuk perubahan sosial
yang menyertai Era globalisasi tersebut, mempengruhi cara pandang
masyarakat terhadap kehidupan dan semesta. Tatanan globalisasi ini semakin
menjauhkan manusia dari kepastian moral dan nilai luhur yang telah
dipegang-teguh sebelumnya.
4
Jadi benarkah nasionalisme telah telah tiada? Dalam karya klasik
Daniel Bell, The End of Ideology, nasionalisme adalah ideologi intelektual
lama abad ke-19, dan ketika ideologi marxisme telah lumpuh (exhausted)
dalam masyarakat Barat, terutama Eropa Barat dan Amerika, ideologi-ideologi
baru semacam ini, seperti industrialisasi, modernisasi, Pan-Arabisme, warna
kulit (etnisitas), dan nasionalisme justru menemukan momentum, kesadaran
dan pemberdayaan menurut keperluan yang dihadapi, khususnya di
negara-negara yang baru bangkit di Asia Afrika seusai perang dunia II. Jadi,
nasionalisme memang surut di negara-negara maju, namun yang jelas
nasionalisme tidak mati. 5
Pada dewasa ini di Indonesia, ada isu mengenai nasionalisme yang
semakin memudar, indikasi seperti ini bisa dilihat dari fenomena yang
berkembang pada tataran masyarakat (grass root) terutama pada generasi
muda sedikit sekali dari salah satu mereka yang mengerti makna nasionalisme,
terlebih mengaplikasikan nilai-nilai nasionalisme dalam kehidupan keseharian
dalam bingkai kebangsaan.
Komposisi Indonesia sebagai bangsa yang sangat besar, baik dari segi
luas wilayah negara (teritorial), ragam Agama, multi kultural dan multi etnis,
yang meniscayakan terbangunnya nasionalisme secara kokoh. Kondisi yang
sangat rentan tersebut di perparah dengan adanya mekanisme globalisasi
dunia, yang membuat jarak geografis antara negara yang semakin tipis atau
mengecil. Jika hal tersebut tidak dihindari atau diwaspadai dan diambil
5
Azyumardi Azra,Renaisans Islam Asia Tenggara: Sejarah Wacana dan Kekuasaan,
tindakan preventif sedini mungkin, maka dapat berimbas hilangnya identitas
suatu masyarakat bahkan negara.
Salah satu hal penting yang dilakukan dalam pergerakan nasional
adalah munculnya pencarian yang dilakukan oleh sekian banyak warga yang
terdidik dari berbagai daerah yang berbeda, namun dalam lingkup wilayah
yang sama yaitu Indonesia, dari Sabang sampai Meraoke. Pencarian identitas
seperti ini ditopang oleh kecerdasan serta keberanian yang kuat. Hal seperti ini
ditandai oleh berdirinya Masyumi, Karena organisasi ini berkaitan dengan
tingkah laku dan kebudayaan, serta tujuannya adalah untuk memersatukan,
dan menegakkan kedulatan republik Indonesia yang berlandaskan agama
Islam serta memberikan pendidikan kepada warga negara dan anak-anak
bangsa.
Cara pandang terhadap sejarah sebuah pergerakan, baik bersifat sosial,
pendidikan, maupun politik, dengan melihat motif atau tujuan dan latar
belakang sosio-ideologis-politis, gerakan tersebut adalah sangat penting.
Dengan begitu, maka akan diketahui secara jelas bagaimana paradigma,
asumsi nilai, pemikiran dan ideologi untuk mencapai tujuan yang diinginkan,
dengan gerakan tersebut dibangun oleh tokoh pendiri atau pengambil inisiatif,
dalam konteks ini, kata kunci nasionalisme adalah supreme loyality terhadap
bangsa. Kesetiaan itu muncul karena adanya kesadaran akan identitas yang
berbeda dengan yang lain. Signifikansi nasionalisme dewasa ini pada dasarnya
kelompok yang berbeda. Nasionalisme dipandang sebagai kekuatan perekat
agar negara tidak bercerai berai.
Dapat kita lihat dalam organisasi yang berkaitan dengan tingkah laku
dan kebudayaan, warga yang terdidik dapat menggerakkan perpolitik dengan
tujuan untuk kemerdekaan, dan membebaskan dari penjajahan demi warga dan
negara Indonesia. Dengan adanyan nasionalisme masyarakat Indonesia pada
masa penjajahan yang perlu diperhatikan adalah politiknya, yang terpusat pada
tercapainya kemerdekaan, dan yang lebih komitmen adalah kepada ajaran
Islam.6
Sehingga ahirnya Masyumi dilahirkan, karena adanya pengumuman
pemerintah tanggal 3 Oktober 1945 yang menghendaki agar rakyat mendirikan
partai. Terjadilah perbedaan pendapat, ketika akan melahirkan Masyumi,
akhirnya pada tannggal 7 dan 8 November 1945 diadakan Muktamar Islam
Indonesia di Yokyakarta yang dihadiri oleh hampir semua tokoh berbagai
organisasi Islam dari masa sebelum perang sampai masa kependudukan
Jepang. Ahirnya muktamar memutuskan mendirikan Majlis Syuro pusat bagi
umat Islam Indonesia dan Masyumi dianggap sebagi satu-satunya partai
politik bagi umat Islam.
Politik dan agama sudah meluas di Dunia muslim lainnya, kemudian
Islam menjadi salah satu kekuatan dalam peta kekuatan politik. Sehingga
perkembangan politik pun pararel dengan kebangkitan reformisme Islam, yang
6
di lahirkan dalam perputaran keanggotaan agar Peran partai Masyumi dapat
dilihat sebagai wakil uamt, tanpa ada yang merasa tidak terwakili.
Salah satu faktor yang berkaitan dengan persoalan politik umat Islam,
adalah pandangan umum seperti pendapat Oliver Roy, (political Imagination)
imaginasi politik dalam pengertian cakrawala, baik oleh sebagian besar
komunitas Islam maupun non-Islam. Imaginasi politik tersebut berujung pada
tumbuhnya suatu keyakinan akan ketidakterpisahan antara, Wilayah Agama,
Hukum, dan Politik. Yang ditegaskan oleh Oliver Roy dan para pengamat
politik Islam lainnya adalah memiliki elemen-elemen yang tidak sepenuhnya
bisa direkonsiliasikan dengan pembangunan politik modern. Politik modern
yang dimaksud adalah sebuah struktur, sistem, tatanan, atau konstruksi politik
yang berjalan diatas logikanya sendiri. Tesis “berjalan diatas logikanya
sendiri” antara lain ditandai oleh dianutnya ideologi negara-bangsa (
nation-state) sebagai sebuah struktur, sistem, tatanan atau konstruksi politik yang
sekuler. Imajinasi politik diatas adalah kenyataan kehidupan politik yang
berjalan menurut logikanya sendiri sehingga menimbulkan gesekan yang tidak
mudah untuk disintesiskan.7
Indonesia merupakan panggung politik yang cukup baik untuk
menggambarkan tingkat sintesis antara Islam dan nasionalisme dalam politik
modern. Tiga priodisasi politik Indonesia dengan jelas mencerminkan
gesekan-gesekan yang masih belum terselesaikan secara baik, sehubungan
dengan politik umat Islam Vis a Vis kehidupan politik nasional Indonesia.
7
Upaya seperti ini hendaknya tidak dilihat sebagai “pemolitikan agama” yaitu
menjadikan isu-isu agama sebagai komoditas politik untuk memperoleh
kekuasaan dan semacamnya, akan tetapi lebih pada “pengamanan politik”
yaitu menjadikan agama sebagai pengawas para pelaku politik, agar tidak
terjebak dalam politik Machiavelinisme, yang menghalalkan segala cara untuk
mencapai tujuan. Hal inilah yang menjadi acuan penulis untuk membahas
tentang Pergerakan Masyumi di Indonesia 1945-1960. Masyumi merupakan
partai politik yang mempunyai Tiga lapangan perjuangan yaitu: Pertama,
memperluas pengetahuan dan percakapan umat Islam Indonesia dalam
perjuangan politik. Kedua, memperkokoh barisan umat Islam untuk berjuang
mempertahankan agama, dan kedaulatan negara. Dan yang Ketiga adalah
melaksanakan kehidupan masyarakat berdasarkan Iman dan Taqwa yang
berprikemanusiaan, persaudaraan dan persamaan hak menurut ajaran Islam.
Priode pertama mencakup pengalaman 1945-1947 yaitu gesekan
ideologis dan politis. Hal ini membawa akibat terpinggirnya peran politik
umat Islam. Yang bergilir sejak awal kemerdekaan bersifat Inimical
(bermusuhan dengan konstruksi ideologi nasional) oleh karena itu, keabsahan
nasionalisme menemukan alasan yang bersifat kualitatif dengan adanya
prinsip kewarganegaraan. Prinsip seperti ini memiliki daya reduksi yang
sangat besar dalam memenuhi hasrat setiap komunitas atas persamaan. Dalam
perkembangannya, prinsip kewarganegaraan mengalami proses pertumbuhan
Priode kedua 1947-1948 adalah transformasi pemikiran dan praktek
politik umat Islam terjadi dalam situasi kehidupan politik nasional besifat
tidak kompetitif. Karena itu tranformasi hanya terjadi sebagian pemikir dan
pelaku politik. Adapun ranah struktur, adalah ketidak adanya persetujuan
perundingan tentang renvill, yang sering kali dipahami sebagai bentuk
perpolitikan, atau strategi politik. Dalam pengertian ini, Partai Masyumi
merupakan bagian dari fenomena politik. Oleh karena itu politik selalu
berkaitan dengan kekuasaan, bahwa kekuasaan selalu berkaitan dengan
persoalan pengendalian negara, maka partai Masyumi selalu berkenaan
dengan bagaimana meperoleh dan menggunakan kekuasaan tersebut.
Priode ketiga 1950-1951 yaitu dimulainya demokrasi parlementer
berdasarkan UUDS 1950, massa yang kemudian sering di asosiasiakan dengan
priode kehidupan demokrasi ini membuat kehidupan sosial-budaya,
ekonomi-politik, hingga Agama, menjadi kompetitif (persaingan). Situasi seperti ini
seolah-olah apa saja dapat dilakukan. Semangat inilah yang kemudian
melahirkan reformalisasi politik Islam. Dengan itu, formalisasi pertama
mengambil bentuk menjadikan Islam sebagai simbol dan asas partai.
Islam dalam perkembangan ini tidak lagi bertahan sebagai identitas
kultural, namun bersamaan dengan munculnya rasa nasionalisme yang
membara, Islam menjadi ide politik yang terbuka untuk kemerdekaan bangsa.
Oleh karena itu hubungan Islam telah menjadi kesadaran politik yang sangat
kuat. Di Indonesia yang notabennya adalah penduduknya mayoritas Islam,
rakyat yang sejahtera, hal seperti ini masuk akal karena kaum muslim
dimana-mana menghadapi kemiskinan.8
Sampai sekarang pergerakan Masyumi 1945-1960 akan terus menjadi
wacana politik umat Islam di tengah-tengah modernisasi dan globaisasi yang
hampir meruntuhkan identitas-identitas negara dan budaya nasional. Atas
dasar inilah yang melatar belakangi penulis untuk mengambil tema,
“PERGERAKAN PARTAI MASYUMI 1945-1960” sebagai judul skripsi.
Dalam berbagai skripsi yang berjudul tentang Masyumi, baik dari
pembentukan, program kerjanya maupun yang lain sudah ada disebutkan,
maka penulis lebih mengarahkannya kepada Pergerakan. Sebagai salah satu
rujukan penulis adalah dari matarantai sejarah, “keputusan politik” yang
mengenai titik kebangkitan nasional yang masih dan pasti memunculkan
pendapat lain, suara-suara beda yang harus di dengar dan dipertimbangkan.
Karena kejujuran suatu sejarah akan sangat tergantung sejauhmana kita
bersedia menghiraukan dan membahas tentang kenyataan-kenyataan lain
yang lebih mungkin.
Selama beberapa tahun silam memang perbincangan masalah
pergerakan Masyumi dalam persepektif Islam merupakan hal yang sangat
umum kita dengar maupun kita baca, akibatnya banyak para aktifis Islam
yang membuat jarak terhadap permasalahan ini. Sehingga konstribusi penulis
memahami gerakan Islam dan Masyumi masih harus ditelusuri, apa yang
menyebabkan berbeda dengan dari gerakan-gerakan tersebut.
8
Dengan demikian, tidak kecil kemungkinan maknanya dalam sejarah
Indonesia, adanya Masyumi yang sebelumnya tidak dipahami seperti ini,
sekarang banyak kalangan Mahasiswa, maupun kalangan-kalangan umum,
yang mempunyai kepedulian yang sangat besar, dan rela berkorban dengan
harta, nyawa, ilmu, waktu, dan apa saja demi kemajuan bangsa. Tulisan ini
adalah salah satu bentuk yang mengingatkan, bukan berarti gangguan bagi
sifat kebangsaan dan gerakan-gerakan Masyumi.
Berangkat dari etos kebangkitan nasionalisme (kebangsaan) Indonesia,
maka penulis menyusun dengan sederhana dan keterbatasan, namun dengan
harapan semoga menjadi bahan penyumbang penyadaran bagi mahasisiwa
yang masih aktif di perkuliahan, demi menyongsong era kebangkitan nasional
yang baru. Tentu sangat sederhana, tulisan penulis ini hadir dihadapan
khalayak pembaca. Akan tetapi besar manfaatnya bila kita sama-sama
memberi respon positif atas sekripsi yang penulis uraikan, dengan judul
“Pergerakan Partai Masyumi di Indonesia 1945-1960” Insya Allah
memberikan manfaat besar untuk kemajuan bersama.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
1. Pembatasan Masalah
Mengingat kompleksitas masalah yang akan diteliti dan
keterbatasan yang dimiliki oleh penulis, maka masalah yang akan dibahas
hanya akan dibatasi kepada perdebatan mengenai Pergerakan Partai
Kemerdekaan Indonesia 1945. Pembatasan ini akan bermaksud untuk
mempermudah dalam penulisan skripsi bagi penulis, agar skripsi ini lebih
terfokus dan terarah.
2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah diatas maka
permasalahan ini dirumuskan sebagai berikut:
Bagaimana Pergeraka Partai Masyumi 1945-1960 yang mempunyai peran
dan aktifitas perpolitikan di Indonesia serta mengatur sebuah negara yang
berkulturkan Islam yang beberapa kali berganti-ganti kabinet?
C. Tujuan dan Manfaaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Pergerakan Partai Masyumi
di Indonesia 1945-1960
2. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan oleh penulis agar memberikan manfaat,
antara lain:
a. Secara teoritis maupun akademis, diharapkan oleh penulis agar dapat
b. Secara praktis agar dapat memberikan masukan kepada mahasiswa
yang lain agar bisa menilai dan merespon tentang kebaikan dan
kejelekan yang menyangkut Pergerakan Partai Masyumi pada masa itu.
D. Metodologi Penelitian
Tipe Penelitian ini adalah metode kualitatif, yaitu teknik
pengumpulan datanya dilakukan dengan mencari data mengenai persoalan
yang dibahas dengan menelusuri melalui literatur buku, surat kabar, dan
majalah, Analisa data menggunakan metode deskriptif, yaitu bersifat
eksploratif dengan menginterpretasikan data lalu mengambil sebuah metode
yang analitis.
Untuk pedoman penulisan skripsi, Penulis menggunakan buku Pedoman
Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi) yang diterbitkan oleh
Universitas Islam Negeri Syarif Hidyatullah Jakarta tahun 2007.
E.Sistematika Penelitian
Dalam sistematika penulisan dan penelitian ini, penulis membagi
dalam Lima bab. Yang masing-masing bab terdiri dari sub bab secara
sistematis. Hal seperti ini penulis bermaksud untuk memberikan gambaran
yang jelas mengenai uraian diatas, sehingga dapat memudahkan para pembaca
dalam memahami penulisan ini:
Bab I Adalah pendahuluan yang berisikan tentang Latar Belakang
Masalah, Pembatasan Perumusan Masalah, Metode Penelitian dan
Bab II Pembahasan dalam bab ini adalah mengenai Awal berdirinya
Masyumi, Asas Partai Masyumi, dan Keanggotaan Masyumi
Bab III Pembahasan pada bab ini akan membahas tentang, Dinamika
Pergerakan Masyumi dalam Perpolitikan di Indonesia, Masyumi
Sebagai Wahana Perjuangan Politik Islam, Masyumi dan Kabinet
Syahrir (1945-1947), Masyumi dan Kabinet Amir Syarifuddin
(1947-1948), serta Masyumi dan Kabinet Hatta (1948-1949).
Bab VI Pembahasan pada bab ini, akan membahas tentang Masyumi dan
Demokrasi Parlementer, yang isinya Peran Masyumi dalam
Kabinet Nasir (1950-1951), Masyumi dan Kabinet Soekiman
(1951-1952), Masyumi dan Kabinet Boerhanuddin (1955-1956),
Serta Masyumi dan Kabinet Ali Sastroamidjoyo II (1956-1957).
BAB V Bab ini adalah penutup atau bagian terahir dari penulisan skripsi,
BAB II
MASYUMI
A. Awal Berdirinya Masyumi
Tumbuh dan berkembangnya partai-partai politik di Indonesia sejak
proklamasi kemerdekaan adalah setelah dikeluarkannya maklumat pemerintah
tanggal 4 November 1945. Maklumat tersebut berisikan bahwa pemerintah
menyukai timbulnya partai-partai politik yang teratur dan difahami oleh
masyarakat. Sejak keluarnya maklumat, maka berdirilah partai-partai politik,
pada umumnya partai politik yang didirikan adalah kelanjutan dari
organisasi-organisasi sosial dan partai politik yang sudah terbentuk pada masa kekuasaan
kolonial belanda dan kekuasaan pendudukan Jepang. Antara lain adalah partai
Masyumi, PNI, PKI, dan PSI.
Sejarah pembentukan Masyumi tidak terlepas dari motif sejarah sebuah
gerakan, yang bersifat sosial, pendidikan, dan politik. Partai Masyumi lahir 7
November 1945 yang berdasarkan keputusan kongres Muslimin Indonesia di
Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah, Yogyakarta. Muhammadiyah adalah
salah satu organ yang turut mensponsori berdirinya partai Masyumi. 9 dalam
pembentukan partai-partai politik, tampak jelas dalam pengorganisasian
partai-partai politik, yang terpengaruh oleh ikatan primordial, seperti Agama,
suku, dan kedaerahan. Dalam hal ini sangat kentara pada waktu pemilihan
umum 1955. Pada waktu paska kemerdekaan Indonesia merupkan perwujudan
9
dari aliran pemikiran yang ada dalam masyarakat politik Indonesia. Masyumi,
Muhammadiyah dan NU merupakan perwujudan aliran pemikiran Islam, PNI
merupakan perwujudan aliran nasionalisme Radikal, PKI merupakan
perwujudan aliran Komunis, dan PSI merupakan perwujudan aliran
sosialisme-Demokrat. 10
Tampilnya Masyumi sebagai partai Islam yang bercorak satu kesatuan
dalam kemerdekaan Indonesia bukan suatu kebetulan dalam sejarah (an
historical accident) yang tidak dilatarbelakangi kesadaran yang dalam dan
panjang. Kelahiran Masyumi dapat dikatakan sebagai suatu keharusan sejarah
(an historical necessity) bagi perjalanan politik umat Islam Indonesia.
Dalam pembahasan seperti ini, penulis akan meluruskan kembali tentang
Islam, Nasionalisme, dan Masyumi. Utamanya dalam rangka untuk
mengantisipasi impact (dampak) yang sangat buruk untuk pertikaian ideologi
kebangsaan yang terus berkembang di Indonesia, Indonesia adalah sebuah
negara yang sebagian besar penduduknya adalah beragama Islam, mempunyai
berbagai pembahasan hubungan antara Islam dan nasionalisme dalam konteks
Indonesia kembali akan menyita banyak perhatian bagi akademisi dan banyak
kalangan lain. Dalam persoalan aspek sosial, politik dan kemanusiaan, Islam
mengakui aspek plural sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip ajaran
Islam. Berkaitan dengan persoalan nasionalisme, Masyumi berpandangan
untuk menegaskan bahwa nasionalisme tidak bertentangan dengan Islam baik
dari segi ajaran maupun sejarahnya.
10
Inisiatif pembentukan Masyumi adalah inisiatif para tokoh partai politik
dan gerakan sosial keagamaan Islam sejak zaman pergerakan, seperti Agus
Salim, Prof. Abdul Kahar Muzakkir, Abdul Wahid Hasim, Muhammad Nasir,
Muhammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Dr. SoekimanWirosandjojo,
Kibagus Hadikusumo, Mohammad Mawardi, dan Dr. Abu Hanifah.
Keputusan pembentukan Masyumi oleh sejumlah tokoh Islam tersebut tidak
hanya sekedar keputusan, akan tetapi sebuah keputusan dari seluruh umat
Islam melalui wakil-wakilnya. Penilaian seperti ini cukup beralasan apabila
Masyumi dilihat dari susunan kepengurusannya, yang merupakan sebuah
cerminan wakil-wakil sejumlah partai politik dan gerakan sosial keagamaan
Islam tersebut. 11
Secara eksplisit sistematika politik yang disusun Masyumi, adalah
sebagai politik yang tidak terlepas dari fungsi-fungsi lain, seperti artikulasi
kepentingan, seleksi kepentingan, dan komunikasi politik. Secara implisit
upaya pendidikan politik Masyumi adalah usaha untuk mencapai tujuan, yang
dengan cara menginsafkan dan memperluas pengetahuan kecakapan umat
Islam Indonesia dalam perjuangan politik. Perjuang politik Masyumi yang
sangat kuat adalah perjuangan ideologi untuk menghadapi komunis yang
diperjuangkan oleh PKI berdasarkan “teori-teori Marx, Engles Lenin, Stalin
dan Mao Tse Tung. Keyakinan Masyumi sebagai propaganda ideologi yang
bisa menyesatkan adalah PKI, yang disebar luaskan melalui media cetak sepeti
buku-buku tentang Marxise.
11
Untuk mengantisipasi propaganda tersebut Partai Masyumi
mengeluarkan sebuah kebijakan bagi para anggotanya, kebijakan itu adalah
buku-buku yang bertemakan “sosialisme-religius” atau lebih dikenal dengan
buku-buku bacaan keluaga Masyumi.12
Pilihan Islam sebagai ideologi partai Masyumi adalah sejalan dengan
latar belakang pembentukan Masyumi. Karena cita-cita Islam sebagai ideologi
Masyumi sudah tampak jelas, dalam rumusan tujuan yang pertama kali
diputuskan dalam kongres umat Islam di Yogyakarta, pada tanggal 7-8
November 1945, pada pasal II ayat I, yang berbunyi kedaulatan Rebuklik
Indonesia dan Agama Islam, adalah melaksanakan cita-cita Islam dalam
urusan ketatanegaraan. Dengan demikian, menegakkan Islam tidak dapat
dipisahkan dari Masyarakat, Negara, dan kemerdekaan.
Apabila dihubungkan dengan situasi tahun 1945, maka pembentukan
Masyumi adalah dalam rangka menyalurkan aspirasi politik umat sebagai
cerminan dari potensi yang sangat besar dan konkret. Pada masa itu, masa
konkrit adalah masa yang tanpa pimpinan politik yang berasaskan Islam.
Dapat dipahami pula bahwa munculnya masyumi pada tahun 1945 dipandang
sebagi jawaban positif umat, terhadap manifiesto politik yang mendorong
partai-partai, dan direspon oleh pihak-pihak lain. Sehingga umat Islam-pun
merespon kesempatan tersebut dengan mendirikan partai yang berasaskan
Islam, yang diberi nama Masyumi (Majlis Syuro Muslimin Indonesia). Yang
dianggap sebagai satu-satunya partai politik yang berasaskan Islam di
Indonesia pada waktu itu.
12
Pada awalnya pendukung Masyumi terdiri dari empat organisasi yaitu
Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama (NU), Perserikatan Umat Islam, dan
Persatuan Umat Islam. Dalam perkembengan Masyumi hampir semua
organisasi Islam bergabung menjadi anggota. Ketua umum partai Masyumi
yang pertama adalah DR. Soekiman, dia adalah pemimpin muslim yang
terkenal dari Syarikat Islam, dan dia dibantu oleh pemikir-pemikir intelektual
muslim muda, seperti Syarifuddin Prawiranegara, Muhmmad Roem, Mr.
Kasman Singodimedja, Yusuf Wibisana, Abu Hanifah dan Mohammad Nasir.
Dalam perkembangan berikutnya terdapat tiga kelompok dalam partai
Masyumi yaitu, konserfatif, moderat, dan sosialis religius. Kelompok
Konserfatif adalah terdiri dari pemimpin agama Islam, kelompok Moderat
yang terdiri dari Mohammad Nasir, Syarifuddin dan Muhammada Roem,
sedangkan kelompok Sosialis Religius, lebih berfikir secara kebaratan, seperti
DR. Soekiman, Yusuf Wibisono, dan Abu Hanifah. Pada awal pembentukan
partai Masyumi secara formal pernah mengalami kejayaan, yang berhasil
mempersatukan umat Islam. Akan tetapi lima belas tahun kemudian nasib
partai Masyumi sangat memprihatinkan. Karna Masyumi belum berhasil
melakukan konsolidasi politik yang berkaitan dengan pengkaderan. Sehingga
konsep dan pemikiran partai Masyumi belum menjadi semangat para tokoh
yang terkait, hal seperti ini disebabkan adanya perbedaan yang mendasar
tentang pola fakir para tokoh yang telah terkotak-kotak sebagaiman kita telah
Dilihat dari pertumbuhan partai Masyumi yang secara sepontan dan para
tokoh idealisnya yang berfariasi dapat diprediksi bahwa partai Masyumi akan
menghadapi banyak kendala dalam mewujudkan misinya. Hal seperti ini dapat
dibuktikan ketika Masyumi dihadapkan kepada pembahasan struktur yang
tidak kunjung pernah selesai sebagaimana diungkapkan oleh M. Fahry.
“Masyumi mengalami berbagi macam persoalan internal”, diantara persoalan
internal tersebut, semenjak berdirinya sampai menjelang dibubarkan (1960),
ini adalah persoalan struktural organisasi partai yang tidak pernah
tertuntaskan. Dari konggres ke konggres persoalan tersebut selalu
diperbincangkan, termasuk juga masalah keanggotaannya. Dari penuturan M.
Fahri tersebut dapat digambarkan bahwa partai Masyumi adalah partai Islam
yang belum berhasil membawa umat Islam dari hambatan yang dialaminya,
baik dari dalam maupun dari luar. Keberadaan para tokoh yang irasionalnya
masih belum cukup handal untuk menangkal pengaruh-pengaruh yang datang.
Mekanisme Syura yang ada belum dapat memberikan solusi dari
permasalahan yang diajukan, semua bertumpu pada integritas partai yang pada
dasarnya melambangkan eksistensi Ukhuwah Islamiyah yang belum mantap.13
Konsep dan pemikiran (Visi dan Misi) partai Masyumi, adalah
menegakkan kedaulatan Negara Republik Indonesia dan Agama Islam, dan
yang kedua, melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan kenegaraan,
sedangkan dalam anggaran dasar anggaran rumah tangga partai Masyumi yang
tertuang dalam pasal III diungkapkan untuk:
13
1. Menginsafkan serta memperluas pengetahuan serta kecakapan umat islam
indonesia dalam perjuangan politik
2. Menyusun dan memperkokoh barisan umat islam untuk berjuang dan
mempertahankan agama dan kedaulatan negara
3. Melaksanakan kehidupan rakyat berdasarkan iman dan taqwa, pri
kemanusiaan persaudaraan, dan persamaan hak menurut agama islam
4. Bekerja sama dengan golongan lain dalam lapangan perjuangan
menegakkan kedaulatan negara.
Dilihat dari anggaran dasar dan anggaran rumah tangga sebagaimana
tercantum diatas partai Masyumi adalah sangat toleran artinya, Masyumi ingin
mewujudkan Negara Republik Indonesia yang berdaulat, (toyyibatun
warobbun ghofur), dengan demikian Masyumi tidak meniggalkan kelompok
minoritas selain Islam di Negara Republik Indonesia. Mereka diajak
bersama-sama berjuang untuk kepentinagn Negara dengan tidak mencampuri urusan
peribadatan mereka sedikitpun, bahkan mereka diajak kerja sama untuk
menegakkan kedaulatan negara.
Pemimpin-pemimpin partai Masyumi menafsirkan konsep Syura dalam
Al-qur’an dengan demokrasi parlementer sebagaimana yang telah berkembang
di Barat, meski tidak selalu pararel dengan partai Masyumi, sikap Masyumi
seperti ini memberikan kesan bahwa Masyumi benar-benar partai Islam yang
konsisten dengan visi dan misinya benar-benar Islami. Dari uraian tentang
visi misi secara umum tampaknya Masyumi cukup idealis dan moderat dalam
berarti keempat macam tujuan usaha yang diungkapkan pada anggaran dasar
yang begitu ideal tidak terimplementasikan dengan baik. Pada kegiatan partai
selama Lima Belas tahun nampak ada kelemahan dalam pelaksanaan
program-programnya. Mungkin penyebabnya adalah lemahnya sistem menejerial
keorganisasian anggota yang banyak tidak ditangani dengan sugguh-sungguh.
B. Asas Partai Masyumi
Partai Masyumi adalah partai yang berasaskan Islam, yang tujuannya
adalah agar terlaksananya ajaran dan hukum Islam dalam kehidupan
bermasyarakat dan negara di republik Indonesia, untuk menuju keridhaan
Ilahi. Pemilihan Islam sebagai asas Partai Masyumi adalah sejalan dengan
pembentukannya, cita-cita Islam sebagai ideologi Masyumi sudah nampak
dari rumusan yang pertama kali diputuskan oleh Konggres Umat Islam di
Jogjakart, tanggal 7-8 November 1945, yaitu pasal II, yang berbunyi (1)
menegakkan kedaulatan Republik Indonesia dan Agam Islam (2)
melaksanakan cita-cita Islam dalam urusan ketatanegaraan. 14
Asas tersebut mengemukakan agar semua hukum dan peraturan negara
sesuai dengan hukum dan peraturan Islam. Hal ini tidak akan merugikan bagi
yang berlainan agama karena ini tidak merugikan dan tidak ada prinsip Islam
yang berlawanan dengan ajaran-ajaran agama-agama lain. Menurut Masyumi
asas Islam, merupakan cita-cita yang bisa tumbuh dalam ketertiban dan
keamanan, kekacauan akan memboroskan tenaga, harta dan jiwa,. Kekacauan
14
akan meruntuhkan segala usaha dan ihtiar. Oleh karena itu partai menolak
setiap usaha dari pihak manapun yang mengakibatkan kekacauan dan
kelumpuhan negara serta alat-alatnya. 15
Tafsir asas yang menimbulkan pendirian partai Masyumi secara dasar
terumuskan pada tahun 1952 pada konggres ke-6 bulan Agustus. Ini
merupakan tonggak sejarah dalam pertumbuhan Masyumi sehingga pertikaian
dapat dikembalikan pada partainya. Tafsir asas ini bermula dengan uraian
entang keadaan International. Perkembangan terjadi dengan dua kekuatan dan
analogi yang dibuat dengan membandingkan cerita-cerita dalam al-Quran.
Yaitu Kapitalis dan Matrealisme yang menghasilkan falsafah perebutan hidup.
(struggle for life) dan kejayaan sikuat yang mengalahakan si lemah, sehingga
mengakibatkan permusuhan antara majikan dan bueruh. Dengan demikian
damai tidak akan muncul karena masyarakat terpecah dalam golongan yang
bermusuhan tanpa berniat untuk mengutamakan kepentingan bersama.
Komunisme tidak jauh dengan pernyataan ini, dalam komunisme
kesewenangan diperbaharui, hak-hak rakyat ditindas, dan dunia juga ingin
direbut. 16
15
Deliar Noer, Partai Islam di Pentas Nasional, 1945-1965, (Jakarta, P.T. Temprint, 1987), h. 138
16
C. Susunan Organisasi Masyumi
Cara pandang terhadap sejarah sebuah gerakan, baik bersifat sosial,
pendidikan, maupun politik, maka harus melihat motif atau tujuan kondisi
sosio-ideologis-politis gerakan tersebut adalah sangat dianjurkan. Maka akan
mengetahui secara jelas bagaimana paradigma asumsi nilai, pemikiran, dan
ideologi untuk mencapai tujuan gerakan yang akan dijalankan.
Sejarah pembentukan Masyumi tidak terlepas dari motif dan
faktor-faktor yang melatarinya, suasana revolusi dan persaingan berbagi kelompok
ideologi di Indonesia pasca kemerdekaan, serta peran tokoh-tokoh yang
mengambil inisiatif ikut mewarnai pembentukan Masyumi. “Partai Politik
Islam Indonesia Masyumi” didirikan dan di ikrarkan sebagai satu-satunya
partai politik Islam pada 7 November 1945, yang berdasarkan keputusan
konggres umat Islam di Jogjakarta. Inisiatif pembentukan ini berasal dari
tokoh partai politik dan gerakan sosial keagamaan Islam sejak zaman
pergerakan, seperti: Agus Salim, Prof. Abdul Kahar Muzakkir, Abdul Wahid
Hasyim, Mohammad Nastir, Mohammad Roem, Prawoto Mangkusasmito, Dr.
Soekiman Wirjosandjojo, Ki Bagus Hadikusumo, Mohammad Mawardi, dan
Dr. Abu Hanifah.
Keputusan membentuk Masyumi oleh sejumlah tokoh Islam itu tidak
sekedar sebagai keputusan tokoh-tokoh tesebut, tetapi keputusan dari seluruh
umat Islam melalui utusan wakil-wakil mereka. Penilaian ini cukup beralasan
apabila Masyumi dilihat dari susunan kepengurusannya, yang mencerminkan
wakil-wakil sejumlah partai politik dan gerakan sosial keagmaan Islam
1. Majlis Syura (Dewan Partai)
a. Hadratus Syeikh K.H. Hasyim Asj’ari (NU), Ketua Umum
b. Ki Bagus Hadikusuma (Muhammadiyah), Ketua Muda I
c. K.H. Wahid Hasjim (NU), Ketua Muda II
d. Mr. Kasman Singodimedjo (Muhammadiyah), Ketua Muda III
Anggota:
a. R.H.M. Adnan (Persatuan Penghulu dan Pegawainya, PPDP)
b. H. Agoes Salim (Penjadar)
c. K.H. Abdul Wahab (NU)
d. K.H. Sanusi (PUI)
e. K.H. Abdul Halim (PUI)
f. Syeh Djamil Djambek (Majlis Tinggi, MIT)
2. Pengurus Besar
a. Dr. Sukiman Wirjosandjojo (Partai Islam Indonesia, PII), Ketua
Umum
b. Mr. Muhammad Roem Wakil Ketua I
c. Mr. Syamsudin Wakil Ketua II
d. Abikusno Tjokrosujoso (PSII), Ketua Muda I
e. Wali Alfatah (PII) Ketua Muda II
f. Harsono Tjokroaminoto (PSII), Sekretaris I
g. Prawoto Magkusasmito (Muhammadiyah), Sekretaris II
3. Pimpinan Bagian Penerangan
a. Wiwoho Purbohadidjojo, (Menteri Penerangan)
b. K.H. Wahid Hasyim, (Menteri Agama)
4. Utusan Luar Negeri
a. Mr, Syamsudin, (Duta Besar Indonesia di Mesir)
b. H. Dahlan Abdullah, (Duta Besar Indonesaia di Irak)
c. Mohammad Roem, (Komisaris Tinggi Indonesia di Negeri Belanda)
5. Bagian Barisan Sabilillah dan Hizbullah:
a. K.H. Masykur (NU)
b. W. Wondoamiseno (PSII)
c. Hasyim (Muhammadiyah)
d. Sulio Hadikusumo (Jong Islamiten Bond, JIB)
6. Bagian Keuangan:
a. Mr. R.A. Kasmat (PII)
b. R. Prawiro Juwono (Muhammadiyah)
c. H. Hamid BKN (Muhammadiyah)
d. Harsono Tjokroaminoto (PSII)
7. Anggota-anggota:
a. K.H. Dahlan (NU)
b. Ki Bagus Hadikusumo
c. H.M. Farid Ma’ruf (Muhammadiyah)
d. Junus Anis (Muhammadiyah)
f. Dr. Abu Hanifah
g. Mohammad Natsir (Persis)
h. S.M. Kartosuwiryo (PSII Baru)
i. Anwar Cokro Aminoto (PSII)
j. Dr. Syamsuddin (Muhammadiyah)
k. Mr. Muhammad Roem (Penjadar)
l. Mr. Syafruddin Prawiranegara
Keterwakilan tokoh-tokoh berbagai organisasi Islam dalam Masyumi
menceminkan sifat pluralisme sebagai “partai tunggal Islam” yang
menghimpun semua potensi kekuatan politik Islam. Motif itu, menurut Yusril
Ihza Mahendra didorong oleh pandangan-pandangan dasa modernisme yang
positif dan optimis dalam memandang pluralisme. Perbedaan pandangan
sebagai ramat Tuhan, karena perbedaan itu tidak bersifat fundamental, akan
tetapi hanya berhubungan dengan masalah furu’iyah (perkara-perkara kecil).
Tidaklah mengherankan apabila pada akhirnya para tokoh tersebut mengambil
keputusan dalam pembentukan partai Masyumi guna menyatukan
golongan-golongan Islam kedalam satu partai politik yang kuat.
Perakara-perkara besar yang dipandang perlu dan mendesak dilakukan
menurut para tokoh pembentuk Masyumi adalah menyikapi suasana “revolusi
Indonesia” dan persaingan berbagai ideologi politik dalam masyarakat
Indonesia. Suasana revolusi sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia pada
tanggal 17 Agustus 1945 oleh Soekarno dan Mohammad Hatta. Suasana
kelihatan sangat patriotik dan nasionalistik. Inilah yang perlu di garis bawahi,
sebagai kemantapan judul sekripsi yang penulis uraikan. Tujuan Masyumi
pada kongres Umat Islam itu adalah “menegakkan kedaulatan Republik
Indonesia dan Agama Islam”, dengan senantiasa melaksanakan cita-cita Islam
dalam urusan kenegaraan. Pencapaian tujuan itu kemudian merumuskan
program kerja sebagaimana terbaca pada paparan berikut:
D. Keanggotaan Partai Masyumi
Keanggotaan partai Masyumi dibagi menjadi dua macam:
1. Perorangan: untuk menjadi anggota perorangan harus berumur 18 tahun
atau sudah berkeluarga, tidak boleh merangkap anggota partai lain, dan
setiap anggota mempunyai hak suara.
2. Organisasi (anggota Istimewa): anggota ini berdasarkan
organisasi-organisasi, mempunyai hak nasehat atau saran. 17
Adanya dua macam keanggotaan ini dengan alasan untuk
memperbanyak anggota dan agar Masyumi dapat dilihat sebagai wakil umat,
tanpa tidak ada yang merasa terwaili. Pada mulanya yang menjadi anggota
istimewa Partai Masyumi adalah Muhammadiyah, Nahdhatul Ulama,
Perserikatan Umat Islam dan Persatuan Umat Islam, ahirnya bersatu menjadi
Persatuan Umat Islam Indonesia yang bersifat tradisional dalam bidang
agama, tetapi modern dalam bidang keduniaan, sehingga memudahkan mereka
untuk bekerja sama dengan kalangan modernis.
17
Selain keempat organisasi tersebut, keanggotaan Masyumi mulai
bertambah dengan masuknya Persisi (Bandung) pada tahun 1948 dan
Al-Irsyad Jakarta pada tahun 1950. dari Sumatra Utara ikut pula bergabung, yaitu
Al-Jamiatul Wasliyah dan Al-Ittihadiyah dari Aceh, serta PUSA ikut
bergabung pada tahun 1949-1953. orgaisasi-organisasi Islam didaerah
pendudukan juga ikut bergabung dengan menjadi cabang Masyumi di daerah.
Pada awalnya Masyumi kelihatan solid dan terkenal dengan integritas
pribadi yang dimiliki oleh para pengurus Masyumi, namun ketika terjadi
konflik antara Masyumi dengan Soekarno masalah Pemberontakan Pemerintah
Revolusioner RI, maka para anggota istimewa Masyumi melepaskan ikatan
dengan Masyumi.
Selain anggota perorangan dan istimewa sebagai pendudung partai ini,
Masyumi mencoba menggalang dukungan melalui “anak organisasi” 17 yang
didirikan, seperti Muslimat, Persatuan Dagang Islam Indonesia, Persatuan
Tani Indonesia, yang didirikan masa revolusi. Persatuan Nelayan Islam
Indonesia, Persatuan Buruh Islam Indonesia didirikan pada tahun 1950-an. 18
Partai Masyumi yang didirikan pada tahun 1945 dan terpaksa bubar pada
tahun 1960 dapat dikatakan pula partai Islam terbesar di dunia. Partai
Masyumi juga mengemukakan dialog yang produktif antara Islam dan
demokrasi, sejarah partai ini dapat dilihat dari kegiatan maupun
program-programnya mengenai identitas Islam dihadapan pluralisme politik. Selama
massa begejolak yang dialami Indonesia, partai Masyumi menyusun dan
18
mempertahankan suatu demokrasi Islam yang merupakan subtitusi dari
pertarungan politik dan parlementer tentang tuntutan agar Negara Islam
didirikan di Indonesia. 19
Pemilu 1955, adalah pemilihan umum yang pertama kali dilaksanakan
semenjak Indonesia merdeka, pada awalnya pemilu direncanakan pada tahun
1946, enam bulan setelah kemerdekaan. Nemun situasi yang tidak
memungkinkan karena adanya perang kemerdekaan akibat agresi Belanda I
dan II, jadi pelaksanaan pemilu tertunda. Pada saat memasuki demokrasi
parlementer, setiap kabinet dalam programnya mencantumkan pelaksanaan
pemilu. Namun hal ini tidak terjadi karena perebutan kekuasaan yang
mengakibatkan kabinet jatuh-bangun, sehingga menimbulkan dampak tidak
terlaksananya program pelaksanaan pemilu.
Kabinet Hatta (Desember 1949-Agustus 1951) pada mulanya berencana
untuk menyelenggarakan pemilu sebagai program kerjanya, sehingga suatu
dewan konstituante hasil pemilihan akan menentukan apakah Negara RI,
mengambil bentuk suatu Negara Federal atau Negara Kesatuan. Namun
dorongan kuat dari rakyat Indonesia untuk Negara kesatuan melalui Mosi
Integrasi Nastir, ahirnya membatalkan pemilu.
Kabinet Nastir (September 1950-Maret 1951) adalah menerusakan
kebijakan, sebelumnya serta mengajukan suatu RUU pemilihan atas dasar
pemilihan tidak langsung. Namun kabinet Nastir keburu jatuh sebelum RUU
diajukan keparlemen. Kabinet Soekiman (April 1951-Februari 1952) adalah
19
meneruskan kebijakan kabinet sebelumnya, yaitu mengajukan RUU, namun
ditolak juga oleh parlemen, karena parlemen menghendaki adanya pemilihan
umum secara langsung.
Menurut Herbert Feith, adanya penundaan-penundaan, pemilu di
Indonesia adalah, pertama, banyaknya anggota parlemen yang mendapatkan
kursi namun keadaannya belum normal. Karna itu mereka sadar bahwa apabila
pemilu dilaksanakan akan di copot dari jabatannya. Kedua adanya
kehawatiran pemilu akan menggeser Negara yang ber-ideologi islam.
Pemilu bisa terlaksana pada kabinet Burhanuddin Harahap (salah satu
ketua dari Masyumi), pada tanggal 29 September 1955, pemilu dilaksanakan
guna untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di DPR dan
konstituante. Dalam pemilu ini tidak kurang dari 28 partai politik peserta
pemilu, dengan menganut sistem proporsional. Yang secara garis besar dilihat
dari segi ideologi, dapat digolongkan dalam tiga kategori yaitu, Islam,
Nasionalis, dan Komunis atau Sosialisme. 20 Namun ketiga aliran dasar itu
muncul kedalam berbagai kelompok dan organisasi politik, dan mereka
mengikuti pemilihan umum dengan penuh semangat dalam suasana bebas dan
demokratis.
Hasil pemilu ternyata tidak memuaskan pihak manapun, terutama
Masyumi dan PNI, yang sebelumnya mempunyai harapan besar akan menang
(Masyumi) yang hanya memperoleh kursi 75, dalam parlemen dari jumlah
total 257 kursi yang diperebutkan. Sedangkan NU mendapatkan kursi 45, dan
20
PKI, 39. dan partai-partai lain kurang dari 10 kursi. Hasil perolehan yang
hampir sama dengan kekuatan nasionalis, maka akan sukar bagi golongan
Islam untuk memperjuangkan dasar negara Islam dalam konstituante.
Fenomena perolehan suara partai-partai Islam yang tidak keluar sebagai
pemenang pemilu tersebut dapat dilihat bahwa semua umat Islam yang
mayoritas, untuk memilih partai-partai Islam. Bahkan sebagian diantara
mereka memilih partai-partai sekuler dan partai atheis, (PKI). Hal ini memang
umat Islam Indonesia tidak homogen dalam pemahaman terhadap Islam.
Karena Islam di Indonesia terdiri atas Islam Santri dan Islam Abangan.
Pemilihan umum bagi Masyumi telah menjadi perhatian khusus sejak
Muktamar ke-III di Kediri tahun 1947, dan termasuk sebagai urgensi program
Masyumi adalah revolusi untuk memperahankan kemerdekaan dari penjajahan
oleh Belanda, sejak penyerahan kedaulatan Masyumi dikasih kesemepatan
untuk memimpin pemerintahan, dan pemilu menjadi hal penting dalam
tiap-tiap Kabinet sampai dengan ditetapkannya UU No. 7 tahun 1953 tentang
pemilihan anggota konstituante dan anggota DPR. UU ini berhasil diterapkan
oleh kabinet Wilopo, dan Muhammad Roem (Masyumi) menjabat sebagai
Menteri dalam Negeri yang bersama-sama dengan Menteri Kehakiman
bertanggung jawab atas terselenggaranya Pemilu. 21
Masyumi sebagai partai politik terbesar, tentunya mempunyai
karakteristik yang tersendiri sebagai ciri khas partai Islam pada waktu itu. Ciri
khasnya antara lain merupakan sebuah organisasi politik yang mampu
merumuskan citra Islam dan cita-cita kebangsaan secara modern bagi umat
21
Islam keseluruhan di Indonesia. Dalam wadah partai Masyumi berhasil
menghimpun suatu kekuatan politik umat Islam Indonesia sehingga menjadi
bersatu, mungkin bisa dinilai yang bersifat formal, namun pada waktu itu
memang kekuatan politik Masyumi sangat maha dahsat, sehingga umat Islam
berada dalam satu pimpinan.
Masyumi bekerja sama dengan partai-partai Islam lain untuk
memperjuangkan Islam sebagai ideologi negara republik Indoneisa dalam
konstituante. Ini merupakan konsekwensi dan cita-cita Masyumi untuk
memperjuangkan berlakunya ajaran Islam secara menyeluruh dalam
kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Namun ada hal lain yang perlu
dipahami, bahwa memperjuangkan cita-cita Negara berdasarkan Islam melalui
musyawarah dalam konstituante hasil pemilu betapapun tidak bertentangan
dengan undang-undang yang sudah di bentuk pemerintah sebelumnya dan
sudah berlaku.
Secara umum dapat dikatakan bahwa prilaku politik Masyumi selama
priode kritis pada waktu itu memang tidak ada cacat sedikitpun, karena
Masyumi keperpihakannya terhadap martabat Negara Republik Indonesia
begitu jelas, penuh konsisten dan penuh dengan perhitungan. Dengan rumusan
serta tujuan yang hendak diperjuangkan oleh Masyumi adalah menciptakan
Indonesia yang bercoraka Islam, namun memberikan kebebasan penuh kepada
golongan-golongan lain untuk berbuat dan memperjuangkan aspirasi politik
sesuai dengan ideologinya masing-masing. 22
22
Masyumi melibatkan diri sebagai peranan penting dalam kancah politik
demokrasi parlementer pada tahun 1950 dan 1957 adalah menginginkan
sebuah Negara Islam, dan ingin membentuk pemerintahan yang berpandangan
pragmatis, serta ingin berkoalisi dengan partai-partai sekuler dan Kristen. Pada
awal demokrasi parlementer, Masyumi mengalami ketimpangan dalam
pembagian kekuasaan pemerintahan yang terkesan kurang adil, sehingga
Masyumi tidak terlalu banyak andil dalam Kabinet. Akan tetapi Masyumi
lebih menekankan perlunya persatuan serta pertahanan kemerdekaan dari pada
mempersoalkan kepentingan partainya sendiri, oleh karena itu Masyumi tidak
setuju dengan adanya perubahan sistem kabinet presidensil ke kabinet
parlementer.23
Masyumi dan pemerintahan pada Massa 1955-1960 adalah priode
pemilihan umum yang ditandai dengan munculnya empat partai besar, yaitu
Masyumi PNI, NU dan PKI. Pada bulan Maret 1956-1957 terbentuk kabinet
Sastroamidjojo II dan aktifnya Soekarno sebagai Presiden Konstitusional
menurut undang-undang dasar sementra 1950 kedalam persoalan politik
praktis. Pada posisi cabinet ini Masyumi mewakili kedudukan sebagai Perdana
Menteri dalam kepemerintahan.
Dalam priode 1956-1957 Presiden Soekarno mengumumkan konsepnya
yang terkenal dngan nama Demokrasi Terpimpin, dengan pernyataan in
Masyumi menghadapi perubahan-perubahan. Sementara wakil-wakilnya di
konstituante dengan gigih memperjuangkan terciptanya sebuah konstituante
23
yang mencerminkan aspirasi-aspirasi Islam, yang berhubungan dengan
ideologi Negara. Dalam priode ini juga terjadinya peristiwa PRRI yang
melibatkan sejumlah tokoh penting Masyumi yang dan dikeluarkannya dekrit
Presiden serta terbentuknya Kabinet Djuanda.
Sedangkan pada tahun 1959 dan 1960 merupakan tahun yang
menimbulkan ketegangan bagi kalangan Masyumi baik didalam pemerintahan
maupun didalam partainya, karena pada tanggal 31 Desember 1959, Presiden
Soekarno mengeluarkan penetapan Presiden (Penpres) No. 7 / 1959 yang
mengatur kehidupan partai politik dan pembubaran partai. Penetapan tersebut
memberikan hak kepada Presiden untuk menindak partai-partai yang anggaran
dasarnya bertentangan dengan dasar Negara, atau pula pemimipinya terlibat
dalam pemberontakan atau menolak untuk menindak anggota-anggotanya
yang terlibat dalam pemberontakan.
Setelah penetapan tersebut, tepatnya pada tahun 1960 dikeluarkanlah
Keputusan Presiden (Kepres) No. 200 / 1960 yang secara resmi
memerintahkan pembubaran partai Masyumi. Tepatnya pada jam 05.20 pada
tanggal 17 Agustus 1960, dimana pemimpin pusat Masyumi menerima surat
dari direktur Kabinet Presiden yang mengemukakan bahwa dalam waktu tiga
puluh hari sesudah tanggal keputusan, pemimpin partai Masyumi harus
menyatakan partainya bubar. Dan pembubarannya harus diberitahukan oleh
Presiden, kalaupun tidak partai Masyumi akan di umumkan sebagi partai
Apa yang saya tulis sebagai skripsi ini adalah salah satu karya cemerlang
dari karir politik Masyumi, karya politik itu adalah prestasi partai dalam
membela bangsa dan Negara. Karena pembelaan itu memang dituntut pada
setiap patriot Indonesia. Prestasi politik yang cemerlang perlu kita menengok
lebih dekat “dapur Masyumi” yang di huni berbagai kecendrungn keagamaan
dan politik yang sulit dipersatukan. Fenomena subkelompok dalam Masyumi
tersebut berdasarkan kategori yang dibuat oleh Wahid Hasyim, yaitu saling
BAB III
DINAMIKA PERGERAKAN MASYUMI
DALAM PERPOLITIKAN DI INDONESIA
E. Masyumi Sebagai Wahana Perjuangan Politik Islam
Pendeknya usia piagam Jakarta dalam sejarah konstitusionalisme
Indonesia tidak mengendorkan semangat perjuangan politik umat Islam di
alam kemerdekaan. Bila selama ini kesatuan gerak politik di kalang organisasi
dan partai-partai Islam yang dirasakan tidak memadai sebagai wahana
perjuangan, maka dipandang sudah sangat mendesak agar umat merapatkan
barisan dalam satu partai politik. Partai politik itu ialah Masyumi, tapi bukan
Masyumi buatan Jepang, “seperti yang dibentuk pada 1943, atas kebaikan”
penguasa Jepang di Indonesia. Masyumi yang berdiri pada tanggal 7-8
November 1945 sepenuhnya merupakan hasil karya pemimpin-pemimpin
umat Islam dalam sebuah konggres yang bertempat di gedung Madrasah
Muallimin Muhammadiyah Jogjakarta.
Dilihat dari data sosiologis umat, pendukung utama partai Masyumi
adalah Muhammadiyah dan NU. Jadi jelas secara ideologis, Masyumi adalah
kelanjutan dari MIAMI, tapi kali ini menghususkan perjuangan dibidang
p[olitik dalam rangka menegakkan ajaran Islam dalam wadah Indonesia
merdeka. Selain Muhammadiyah dan NU, hampir semua organisasi Islam di