PERBUATAN MENJUAL TANAH WAKAF DALAM
PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
(Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor Perkara : 995 K/Pdt/2002)Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Syarat-Syarat Mencapai Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh Sayyidi Jindan NIM.1110048000018
KONSENTRASI HUKUM BISNIS
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
ABSTRAK
Sayyidi Jindan. NIM 1110048000018. PERBUATAN MENJUAL TANAH WAKAF DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor Perkara: 995/K/Pdt/2002). Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Bisnis, Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2014 M.
Penelitian ini dilakukan karena banyaknya harta wakaf yang jauh dari pengawasan langsung oleh Pemerintah serta banyaknya hal-hal yang dikesampingkan dari peraturan-peraturan yang mengatur harta wakaf, dimulai dari pendaftarannya hingga kepada perubahan status harta wakaf yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak berkepentingan atas harta wakaf sehingga menimbulkan sengketa harta wakaf seperti kasus yang saya analisis dalam penelitian ini.
Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan atau penelitian studi pustaka (library research) dan jenis penelitiannya adalah penelitian normatif, sedangkan sumber data didapat dari Primer, sekunder dan hasil wawancara untuk menguatkan Undang-undang atau teori yang ada dalam sumber data primer dan sekunder.
Hasil penelitan ini adalah bahwa perubahan status harta/tanah wakaf adalah dapat dilakukan yang mana diawali dengan melakukan jual beli terlebih dahulu untuk tanah wakaf dan setelah itu hasilnya dibelikan tanah pengganti sebagai penukar tanah wakaf sesuai prosedur dan peraturan tanah wakaf dan hal ini harus dilakukan oleh orang-orang yang berkepentingan, terutama Nadzir dan apabila hal tersebut dilanggar, Undang undang secara tegas akan mengenakan sanksi apabila ada yang melanggar termasuk contohnya yang ada dalam putusan yang saya analisis untuk penelitian ini.
v
Alhamdulillâhirabbil’âlamîn. Seiring dengan rahmat Allah swt, ma’unah
serta barokah-Nya, akhirnya penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Perbuatan Menjual Tanah Wakaf Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor Perkara :995 K/Pdt/2002)”. Kepada Allah swt. kita memanjatkan pujian, meminta pertolongan, dan memohon ampunan. Kepada-Nya pula kita meminta perlindungan dari keburukan diri dan kejahatan amal perbuatan.
Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi besar Sayyidina Muhammad saw., beserta keluarga, sahabat, dan orang-orang yang mengikuti ajaran beliau hingga hari Akhir. Dialah Nabi utusan Allah swt yang terakhir dan tiada Nabi setelahnya. Kemuliaannya lebih utama dari pada manusia dan makhluk lainnya, Dialah manusia pilihan yang paling bertakwa dan paling taat akan perintah-perintah Allah swt, Rasul yang sangat mencintai umatnya, ridha Allah swt agar bisa hidup berdampingan dengan Rasulullah saw di surga merupakan cita-cita para hamba-Nya.
vi
Penulis juga sadar sepenuhnya bahwa diri ini berutang budi kepada banyak pihak yang telah berkontribusi langsung maupun tidak langsung dalam penulisan skripsi ini. Penulis juga ingin menyampaikan ungkapan rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada para pihak yang telah menanamkan jasa baik berupa bimbingan, arahan serta bantuan yang diberikan sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Oleh karena itu, Penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Phil. JM. Muslimin, M.A Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Djawahir Hejazziey, S.H, M.A. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs. Abu Tamrin, M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H.,M.H.dan Dra. Hafni Muchtar, S.H.,M.H.,M.M.Dosen Pembimibing yang telah berkenan meluangkan waktu, tenaga, fikiran dan kesabarannya untuk memeberikan bimbingan dan arahan dalam penyusunan skripsi ini.
4. Seluruh dosen dan civitas akademika Fakultas Syariah dan hukum, terimakasih atas ilmu dan bimbingannya. Seluruh Staf Akademik, Jurusan, Kasubag dan Perpustakaan, terimakasih atas bantuan dalam upaya membantu memperlancar penyelesaian skripsi ini.
5. Ayahanda dan ibunda tercinta, Ayahanda Al Walid Drs. K.H Marzuki
vii
terimakasih, kakak ucapkan untuk dua adikku yang imut-imut dan cantik-cantik adinda Hilallia Fitri dan adinda Nazwa Salsabillah yang telah memberikan semangat, doa, dan senyuman ketika penulis mengerjakan penulisan skripsi ini.
6. Seluruh keluarga besarku yang senantiasa memberi dorongan dan motivasi agar tetap semangat dalam menempuh studi di Kampus tercinta ini.
7. Terimakasih penulis ucapakan untuk guru-guruku di luar kampus, khususnya Alhabib Muhsin bin Ali bin Hasyim Al athas (Pimpinan Majelis Ratib Al attas), Alhabib Abdullah bin Fahmi bin Alwi Al athas (Bekasi Timur) dan Alhabib Ali bin Abdul Aziz bin Jindan (Pimpinan Majelis Alkhairiyyah Ibnu Jindan) atas motivasi yang telah diberikan baik doa maupun fikiran khususnya hukum Islam dalam upaya membantu penyelesaian skripsi ini dan tak lupa penulis ucapkan terimakasih kepada Para Habaib dan Assaatidz yang ikut mendoakan maupun sumbangsi fikiran dalam kelancaran skripsi.
viii
tercinta yang senantiasa menebarkan benih-benih keceriaan dalam pelangi kebersamaan dan senantiasa menjaga ikatan tali silaturrahim.
Besar harapan bagi Penulis, semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapa saja yang memerlukannya dan dapat memberikan khazanah baru dalam duniaakademik khususnya Jurusan Ilmu Hukum yang berada dibawah naungan Universita Islam dimanapun berada. Sebagai manusiamemiliki keterbatasan dankekurangan, tentunya skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,dengan tangan terbuka dan kerendahan hati Penulis akan sangat berterima kasihapabila para pembaca yang budiman memberikan kritik dan saran yangmembangun demi kebaikan dan perbaikan atas karya-karya yang lainnya.
Akhirnya, hanya kepada Allah swt. juga kita memohon agar apa yangtelah kita lakukan menjadi suatu investasi yang sangat berharga dan kelak bermanfaat dari ilmu pengetahuan yang kita dapat baik dalam agama, dunia dan akhirat.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Jakarta, 27 Januari 2014
ix
LEMBAR PERNYATAAN ... iii
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Rumusan Masalah ... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7
D. Metode Penelitian... 8
E. Sistematika Penulisan ... 11
BAB II RUANG LINGKUP WAKAF DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF A. Perwakafan Perspektif Hukum Islam ... 14
1. Pengertian dan Dasar Hukum Wakaf ... 14
2. Syarat dan Rukun Wakaf ... 21
3. Tujuan dan Manfaat Wakaf ... 30
4. Macam-macam Wakaf ... 33
B. Perwakafan Perspektif Hukum Positif ... 35
BAB III PERBUATAN MENJUAL TANAH WAKAF DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF SERTA AKIBAT HUKUMNYA A. Jual-beli Tanah Wakaf Perspektif Hukum Islam ... 39
B. Jual-Beli Tanah Wakaf Perspektif Hukum Positif ... 47
x
D. Akibat Hukum Perubahan Peruntukan Tanah Wakaf Hak Milik Menurut UU No.5 Tahun 1960 tentang UUPA... 57 E. Penyelesaian Perselisihan Tanah Wakaf ... 59
BAB IV ANALISIS PENYELESAIAN SENGKETA
PERBUATAN MENJUAL TANAH WAKAF PADA MAHKAMAH AGUNG (Analisa Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor Perkara :995 K/Pdt/2002)
A. Posisi Kasus dan Permasalahan ... 62 1. Duduk Perkara ... 62 2. Amar Putusan Mahkamah Agung ... 63 B. Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor
Perkara : 995 K/Pdt/2002 ... 64 1. Analasis Kasus Perspektif Hukum Islam ... 64 2. Analisis Kasus Perspektif Hukum Positif ... 67
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 71 B. Saran ... 73
1 A. Latar Belakang Masalah
Secara harfiah wakaf bermakna “pembatasan” atau “larangan”. Sehingga kata waqf (jama‟:Auqaf) digunakan dalam Islam untuk maksud “pemilikan dan pemeliharaan” harta benda tertentu untuk kemanfaatan sosial
tertentu yang ditetapkan dengan maksud mencegah penggunaan harta wakaf tersebut di luar tujuan khusus yang telah ditetapkan.1
Perwakafan tanah sangat penting bagi kepentingan manusia karena fungsi dan perannya mencakup berbagai aspek sosial, ekonomi, politik maupun budaya. Jumlah penduduk yang selalu bertambah sedangkan lahan tanah yang sangat terbatas ditambah dengan perkembangan pembangunan sehingga mengakibatkan fungsi tanah sangat dominan karena lahan tanah tidak sebanding dengan kebutuhan yang diperlukan.2 Tanah merupakan objek benda tidak bergerak yang penguasaannya berada pada negara, manfaat dari tanah tersebut adalah digunakan oleh negara melalui pemerintah yang tujuannya adalah mewujudkan kemakmuran masyarakat.Sebagaimana dijelaskan dalam pasal 33 ayat (3) UUD 1945:
“Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai
oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kepentingan rakyat”.
1
Wabah Zhuhaili, Al-Fiqhu al-Islam wa ‘Adillatuhu (Damaskus : Dar Fikr
al-Mu‟ashir), h. 7599
2
2
Mengingat akan pentingnya persoalan mengenai pertanahan yang berdasarkan hukum agama, sudah diatur dalam ketentuan pasal 49 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, yaitu sebagai berikut: 1. Hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang
dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial, diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial.
2. Untuk keperluan peribadatan dan keperluan suci lainnya sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 dapat diberikan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dengan hak pakai.
3. Perwakafan tanah milik dilindungi dan diatur dengan peraturan pemerintah.
4. Penerapan Hukum Islam telah diberlakukan sedikit demi sedikit secara bertahap oleh umat Islam dalam kehidupan sehari-hari. Dalam penerapannya telah dilakukan ijtihad-ijtihad dalam berbagai variasi kelembagaan dan pasang surutnya situasi dan kondisi, dalam bentuk adat istiadat. Demikian juga dalam bentuk yurisprudensi dan perundang-undangan, walaupun masih sedikit dibandingkan materi hukum Islam itu sendiri. Dalam PP No.28 Tahun 1977, Perwakafan tanah merupakan perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian harta kekayaannya yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk selama-lamanya untuk kepentingan peribadatan atau kepentingan umum lainnya sesuai dengan ajaran agama Islam dan sosial.3
Karena itu perlu suatu upaya pemberdayaan wakaf berkesinambungan dengan memperhatikan tanah wakaf agar tercapai tujuan optimal. Mengingat wakaf merupakan perbuatan hukum yang berkembang dan dilaksanakan masyarakat, yang pengaturannya belum maksimal. Perbuatan mewakafkan adalah perbuatan yang suci, mulia dan terpuji sesuai dengan ajaran agama Islam. Berhubungan dengan itu maka tanah yang hendak diwakafkan itu harus
3
betul-betul merupakan milik bersih dan tidak ada cacatnya dari sudut kepemilikan.4
Pasal 40 Undang-undang No.41 Tahun 2004 mengatur setelah benda diwakafkan dilarang untuk dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar, atau dialihkan dalam bentuk pengalihan hak lainnya. Apabila terjadi sengketa wakaf hal tersebut diatur dalam pasal 62 Undang-undang No.41 Tahun 2004 bahwa Penyelesaian sengketa perwakafan dapat ditempuh melalui musyawarah untuk mencapai mufakat. Apabila cara penyelesaiaan sengketa secara musyawarah tidak berhasil maka dapat diselesaikan melalui mediasi, arbitrase, dan pengadilan.
Menurut UU No.3 Tahun 2006 pengadilan yang berwenang menyelesaikan sengketa perwakafan adalah Pengadilan Agama dan Pengadilan Umum dan Pengadilan Tata Usaha Negara. Perwakafan dalam UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama diatur sah atau tidaknya barang wakaf, sengketa tentang apakah barang wakaf sudah dijual, digadaikan atau sudah diwariskan oleh orang yang mengelola barang wakaf (Nazhir).
Wakaf adalah perikatan antara orang yang memberikan wakaf (wakif)
kepada orang yang menerima wakaf untuk tujuan wakaf (Nazir). Perikatan adalah suatu hubungan hukum yang bersifat harta kekayaan antara dua orang atau lebih, atas dasar mana pihak yang satu berhak dan pihak lain berkewajiban atas suatu prestasi.5 Apabila tanah wakaf kehilangan manfaat sesuai dengan tujuannya, tanah wakaf tersebut dapat dijual oleh nazir.
4
Ibid.,hal.5.
5
4
penjualannya wajib dibelikan tanah lain yang nilai dan manfaatnya harus sama dengan harta wakaf awal yang dijual. Jika perikatan terjadi maka secara otomatis didalamnya mengandung sebuah kata “sepakat” sesuai dengan Asas Konsensualisme.
Perbuatan menjual tanah wakaf pada dasarnya sebagai perbuatan melawan hukum apabila dilakukan dengan sengaja tanpa memperhatikan syarat, pengecualian, prosedur hukum yang berlaku khususnya hukum wakaf. Perbuatan tersebut batal demi hukum, karena objek jual beli adalah harta wakaf. Menurut Pasal 1335 dan 1337 BW, persetujuan tidak akan menimbulkan perikatan jika objeknya bertentangan dengan ketertiban umum atau kesusilaan atau jika dilarang oleh undang-undang.6
Dalam Pasal 225 Kompilasi Hukum Islam ditentukan, bahwa benda yang telah diwakafkan tidak dapat dilakukan perubahan atau penggunaan lain dari pada yang dimaksud dalam ikrar wakaf. Penyimpangan dari ketentuan dimaksud hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan berdasarkan saran dari Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat dengan alasan:7
a. Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh
wakif;
b. Karena kepentingan umum.
6
Ibid.,hal.4.
7
Namun, pada kenyataannya jual-beli tanah wakaf pernah dilakukan baik dari keluarga wakif, pihak pemerintah, maupun orang-orang yang tidak bertanggung jawab dengan tidak memperhatikan syarat dan tata cara yang berlaku .
Hal tersebut terjadi dalam sebuah kasus yang penulis angkat dalam skrispsi ini mengenai jual-beli tanah wakaf yang dikategorikan melawan hukum karena prosedur atau tata caranya tidak sesuai dengan aturan yang ditetapkan pemerintah dalam pengaturan wakaf, pengaturan BWI dan UU No.41 Tahun 2004 tentang wakaf. Kasus jual-beli tanah wakaf tersebut terjadi di Medan di mana tanah wakaf tersebut dijual oleh Syekh Ali Oemar Bahadjadj yang termasuk keponakan wakif sekaligus ketua Yayasan Syekh Oemar Salmin Bahadjadj selaku tergugat II dan tergugat I adalah Yayasan Syekh Oemar Salmin Bahadjadj yang didirikan oleh orang tua tergugat 1 bernama Syekh Oemar Salmin Bahadjadj.
Dahulu semasih orang tua tergugat II masih hidup, ia sempat membuat surat wasiat yang bertujuan salah satunya untuk membiayai Madrasah Arabiyah Islamiyah yang merupakan, lembaga pendidikan Islam khusus WNI keturunan Arab dan umumnya bagi penduduk muslim di Medan yang berdiri diatas tanah wakaf paman dari tergugat II yang bernama Syekh Abdullah bin Salmin Bahadjadj,namun tujuan wasiat yang dilakukan oleh orang tua tergugat II tidak tercapai.
6
Arabiyah Islamiyah dan mengalihkankan tanah wakafnya dengan jual-beli. Jual-beli tanah wakaf tidak diperbolehkan menurut PP No.42 Tahun 2006 tentang pelaksanaan UU No.41 Tahun 2004 tentang wakaf yang harus memperhatikan pengecualian atau alasan dilakukan jual-beli tanah wakaf, tetapi dengan sengaja tergugat II tidak mengindahkan peraturan tersebut.
Dalam hal gugatan yang dimohonkan oleh penggugat di Pengadilan Negri Medan, hakim telah memenangkan para tergugat dengan alasan penggugat tidak memiliki bukti yang kuat bahwa Madrasah Arabiyah Islamiyah diwakafkan oleh Abdullah Salmin Bahadjadj,, dan hal perkara ini terus berlangsung hingga permohonan kasasi, sehingga Mahkamah Agung mengeluarkan putusan bahwasannya yang dilakukan Para tergugat adalah memang melawan hukum. Maka dari sumber kasus inilah penulis berkeinginan dan tertarik untuk menulis skripsi dengan judul “PERBUATAN MENJUAL TANAH WAKAF DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor Perkara :995 K/Pdt/2002)”.
B. Pembatasan dan rumusan masalah 1. Pembatasan Masalah
membatasi pada perbuatan menjual tanah wakaf dalam perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif.
2. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Bagaimana Ketentuan menjual tanah wakaf dalam pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif?
b. Bagaimana pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif terhadap kasus jual beli tanah wakaf yang dilakukan Yayasan Syekh Oemar Salmin Bahadjadj terhadap Madrasah Arabiyah Islamiyah ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :
a. Untuk mengetahui Ketentuan menjual tanah wakaf dalam pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif
b. Untuk mengetahui pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif terhadap kasus gugurnya penjualan tanah wakaf yang dilakukan Yayasan Syekh Oemar Salmin Bahadjadj terhadap Madrasah Arabiyah Islamiyah
2. Manfaat dari penulisan skripsi ini adalah :
8
signifikan bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama pengkaji hukum yang khusus bergerak dibidang wakaf
b. Secara praktis untuk memenuhi syarat memperoleh gelar Strata I dalam bidang hukum. Dan dijadikan sebagai salah satu konseptual pengembangan perangkat sistim hukum khususnya tentang wakaf.
D. Metode Penelitian
Menurut Soerjono Soekanto, penelitian merupakan suatu usaha untuk menganalisis serta mengadakan konstruksi secara metodologis, sistematis dan konsisten.8 Metodologis artinya suatu penelitian dilakukan dengan mengikuti metode atau tata cara tertentu, sistematis artinya suatu penelitian harus mengikuti langkah-langkah maupun tahap-tahap tertentu, dan konsisten berarti penelitian dilakukan secara taat asas.
Dan pada dasarnya sesuatu yang dicari dalam penelitian ini tak lain adalah “pemahaman” apabila kita sudah paham tentu kita mengetahuinya yang disebut sebagai “pengetahuan”, di mana pengetahuan yang benar ini nantinya dapat dipakai untuk menjawab pertanyaan atau ketidaktahuan tertentu.
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah jenis penelitian Normatif yakni penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud
8
adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undang, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran).9
Didalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan.10 Dengan pendekatan tersebut, penulis akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu yang sedang dicoba untuk dicari jawabnya. Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah : a. Pendekatan Peraturan Perundang-undangan : Pasal 29 ayat (2) UUD
1945, Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, Pasal 34 ayat (1) UUD 1945, UU No.41 Tahun 2004 tentang wakaf dan Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2006 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dan Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 tentang Peraturan Pelaksana Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik Dan Undang-Undang Pokok Agraria UU No.5 Tahun 1960.
b. Pendekatan Konseptual : Kitab Kifayatul Akhyar karangan Imam Taqiyuddin, Kitab Mughni Wa Syarh Al-Kabir karangan Ibnu Qudamah, Kitab Majmu‟ Fatawa karangan Ibnu Taimiyyah, Fiqh
Sunnah Karangan Sayyid Sabiq, Fiqh Islam karangan Sulaiman Rasyid dan Buku-buku yang berkenaan dengan Hukum Perwakafan di Indonesia.
9
Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si. dkk. Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010). h. 31
10
10
2. Instrumen pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan metode kepustakaan atau penelitian studi pustaka (library research). Dimana buku-buku yang berkaitan dan memberikan informasi yang sesuai dengan penelitian penulis dijadikan rujukan. dan kasus diambil dari Putusan Mahkamah Agung Nomor Perkara : 995 K/Pdt/2002.
3. Sumber data
Untuk menunjang penelitian ini maka diperlukan sumber data yang berkaitan dengan penelitian yang akan dilakukan. Sumber data dapat diperoleh dari bahan yang tersedia, yakni data sekunder karena jenis penelitian skripsi ini menggunakan jenis penelitian Normatif, diantaranya : a. Bahan Hukum Primer: UU No.5 Tahun 1960, Pasal 29 ayat (2) UUD 1945, Pasal 33 ayat (4) UUD 1945, Pasal 34 ayat (1) UUD 1945, UU No.41 Tahun 2004 tentang wakaf dan Peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977.
b. Bahan Hukum sekunder : Buku III Kompilasi Hukum Islam, kitab Al Mughni karangan Ibnu Qudamah, Hadits yang berkenaan dengan wakaf, buku-buku yang berkaitan dengan hukum perwakafan, artikel, situs internet dan ensiklopedia.
4. Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis normatif kualitatif.11 Yaitu dengan menganalisis ketentuan dalam perundang-undangan serta buku-buku yang berkaitan secara komprehensip.
5. Teknik Penarikan Ksimpulan
Dalam penelitian ini menggunakan metode deduktif, yakni proses penalaran yang berawal dari hal yang umum untuk menetukan hal yang khusus sehingga mencapai suatu kesimpulan.12
6. Tekhnik Penulisan
Dalam penulisan skripsi ini, mengacu pada buku “Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syari‟ah dan Hukum” yang diterbitkan oleh Fakultas Syari‟ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta, Tahun 2012.13
E. Sistematika Penulisan
Untuk dapat lebih mudah memahami materi skripsi yang berjudul “PERBUATAN MENJUAL TANAH WAKAF DALAM PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor Perkara :995 K/Pdt/2002)” ini, penulis menyusun sistematika
11
Fahmi Muhammad Ahmadi, M.Si. dkk. Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010). h. 54
12
Peter, Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group,2007),Cetakan Ketiga, h.93.
13
12
materi dalam lima bab. Masing-masing bab akan diuraikan sebagaimana diuraikan :
BAB I : Pendahuluan
Bab ini terdiri dari 5 sub-bab,yaitu (a) latar belakang masalah, (b) pembatasan dan perumusan masalah, (c) tujuan dan manfaat penelitian, (d) metode penelitian (e) sistematika penulisan
BAB II : Ruang Lingkup Wakaf Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif
Bab ini terdiri dari 2 sub bab, yaitu (a) Perwakafan Perspektif Hukum Islam, yang terdiri dari 4 pokok bahasan yaitu : 1. Pengertian dan Dasar Hukum Wakaf 2. Syarat dan Rukun Wakaf 3. Tujuan dan Manfaat Wakaf 4. Macam-macam Wakaf. (b) Perwakafan Perspektif Hukum Positif, yang terdiri dari 2 pokok bahasan yaitu : 1. Sejarah dan Perkembangan Wakaf di Indonesia 2. Ketentuan Perwakafan dalam Undang-Undang Wakaf.
BAB III : Perbuatan Menjual Tanah Wakaf Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Hukum Positif sertaAkibat Hukumnya.
UU No.5 Tahun 1960 Tentang UUPA (e) Penyelesaian Perselisihan Tanah Wakaf
BAB IV : Analisis Penyelesaian Sengketa Perbuatan Menjual Tanah Wakaf Pada Mahkamah Agung (Analisa Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor Perkara :995 K/Pdt/2002)
Bab ini terdiri dari 2 sub bab, yaitu (a) Posisi Kasus dan Permasalahan, yang terdiri dari 2 pokok bahasan, yaitu : 1. Duduk Perkara 2. Amar Putusan Mahkamah Agung (b) Analisis Terhadap Putusan Mahkamah Agung Nomor Perkara : 995 K/Pdt/2002, yang terdiri dari 2 pokok bahasan, yaitu : 1. Analasis Kasus Perspektif Hukum Islam 2. Analisis Kasus Perspektif Hukum Positif
BAB V : Penutup
14 BAB II
RUANG LINGKUP WAKAF DALAM PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
A. Perwakafan Perspektif Hukum Islam 1. Pengertian dan Dasar Hukum Wakaf
Kata wakaf berasal dari bahasa Arab al-waqf bentuk masdar dari
waqafa-yaqifu-waqfansama artinya dengan “Hasaba Yahbisu Tahsiban‟‟
yang berarti berdiri atau berhenti atau diam ditempat.1Pengertian “berhenti” jika dihubungkan dengan ilmu baca Al-Qur‟an atau ilmu tajwid
mengandung makna menghentikan bacaan baik seterusnya maupun untuk mengambil nafas sementara, dari mana harus dimulai dan dimana harus berhenti.Pengertian wakaf dalam arti “berdiamdi tempat” dikaitkan dengan wukuf yaitu berdiam diArafah pada tanggal 9 Dzulhijjah ketika menunaikan ibadah haji.Kata al-waqf semakna dengan al-hasb bentuk masdar dari hasaba-yasibu-hasban artinya menahan.2Dalam Kamus istilah agama Islam dijelaskan bahwa wakaf adalah menahan, yakni menahan sesuatu benda yang kekal zatnya dan dapat dimanfaatkan dijalan kebaikan.
Secara harfiah wakaf bermakna “pembatasan” atau “larangan”. Sehingga kata waqf (jama‟:Auqaf) digunakan dalam Islam untuk maksud “pemilikan dan pemeliharaan” hartabenda tertentu untuk kemanfaatan
sosial tertentu yang ditetapkan dengan maksud mencegah penggunaan harta wakaf tersebut diluar tujuan khusus yang telah ditetapkan.
1
Op. Cit., h.7599
2
Para Ulama berbeda pendapat dalam memberikan pengertian wakaf diantaranya:
1. Menurut Abu Hanifah3:
Artinya:
“Menahan benda yang statusnya tetap milik si wakif (orang yang mewakafkan) dan yang disedekahkan hanya manfaatnya saja dengan cara yang benar”
Imam Abu Hanifah memandang akad wakaf tidak mengikat, dalam artian bahwa orang yang berwakaf boleh saja mencabut wakafnya kembali dan boleh diperjual-belikan oleh pemilik semula. Dengan demikian mewakafkan harta secara mutlak menurutnya akad wakaf baru bersifat mengikat apabila:
a. Terjadi sengketa antara yang mewakafkan (waqif) dan pemelihara harta wakaf (Nadzhir) dan Hakim memutuskan bahwa wakaf itu mengikat
b. Wakaf itu dipergunakan untuk masjid
c. Putusan hakim terhadap harta wakaf itu dikaitkan dengan kematian orang yang berwakaf.
Alasan Imam Abu Hanifah yang menyatakan bahwa wakaf tidak mengikat adalah sabda Rasulullah yang menjelaskan “Tidak boleh
3
16
memakan harta yang merupakan ketentuan-ketentuan Allah”. (H.R Daruqutni).
Harta yang sah diwakafkan menurut Imam Hanifah :
a. Benda tidak bergerak. Benda tidak bergerak ini dipastikan memiliki sifat kekal dan memungkinkan dapat diambil manfaat seterusnya. b. Benda bergerak. Pada prinsipnya yang sah diwakafkan adalah benda
tidak bergerak, Ta‟bid (tahan lama). Prinsip ini dijelaskan kembali
dengan memenuhi beberapa hal: pertama, keadaan benda bergerak itu mengikuti benda tidak bergerak dan ini ada dua macam: (1) barang tersebut mempunyai hubungan dengan sifat diam di tempat, misalnya pohon (2) benda bergerak dipergunakan untuk membantu benda tidak bergerak, misalnya alat pembajak. Kedua,wakaf senjata dan binatang. Sebagaimana diriwayatkan Khalid bin Walid pernah mewakafkan senjatanya dijalan Allah (3) wakaf bergerak mendatangkan pengetahuan, missal wakaf buku, kitab dan mushaf dan termasuk dinar(uang).
2. Menurut Malikiyah:4
Artinya :
“ Wakaf adalah seorang pemilik yang memperuntukan manfaat harta benda miliknya baik berupa sewa maupun hasilnya untuk diserahkan kepada pihak yang berhak dengan bentuk penyerahan
4
berjangka waktu sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh orang yang berwakaf.”
Menurut teori Imam Malik wakaf itu mengikat dalam arti lazim, tidak mesti dilembagakan secara abadi dalam arti mu‟abbad dan boleh saja diwakafkan untuk tenggang waktu tertentu yang disebut mu‟aqot.Wakaf itu tidak boleh ditarik ditengah perjalanan dengan katalain, si wakif tidak boleh menarik ikrar wakaf sebelum habis tenggang wakaf waktu yang telah ditetapkannya. Harta itu berstatus milik si wakif, akan tetapi si wakif tidak mempunyai hak untuk menggunakan harta tersebut (Tasharuf)
18
Artinya :
“… Umar mempunyai tanah di Khaibar, kemudian ia datang kepada Rasulullah SAW. meminta untuk mengolahnya seraya ia berkata : Yaa Rasulullah, aku memiliki sebidang tanah di Khaibar. Tetapi aku belum mengambil manfaatnya, bagaimana aku harus berbuat untuk itu ? Nabi bersabda : Jika kau menginginkannya, tahanlah itu dan shodaqohkanlah hasilnya. Tanah tersebut tidak boleh dijual atau diperjual belikan dihibahkan atau diwariskan.Ibn Umar menshodaqohkan (mewakafkan) tanah di Khaibar itu kepada Faqir Miskin, Karib, kerabat, Budak (Riqab), dan Ibnu Sabil.”
Alasan yang dikemukan Imam Malik mengapa wakaf itu berstatus milik si wakif berdasarkan kasus Ibn Umar sebagai pemilik benda yang diwakafkan yang diperintahkan Rasulullah untuk mengeluarkan miliknya itu.Sementara alasan mengenai keabsahan wakaf untuk sementara waktu ialah berdasarkan atas kenyatkan tidak adanya dalil yang mengharuskan wakaf itu Mu‟abbad (abadi).Tekhnik pengekalan harta wakaf ialah dengan menjual harta wakaf itu yang tidak/kurang mempunyai nilai manfaat hasil penjualannya digunakan untuk membeli benda lain yang mempunyai nilai atau manfaat yang sama sesuai dengan apa yang dikehendaki si wakif. Pendapat ini akan nampak sebagai paham hukum yang dianut dalam peraturan nomor 28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik.5
3. Menurut Syafi‟iyyah:6
5
Praja, Juhaya S,, Perwakafan di Indonesia; Sejarah, Pemikiran, Hukum dan Perkembangannya, (Bandung : Yayasan Piara, 1995) h.18.
6
Artinya :
“Menahan harta yang diambil manfaatnya dengan tetap utuhnya barang, dan barang itu lepas dari penguasaan si wakif serta dimanfaatkan pada sesuatu yang diperbolehkan oleh agama yang telah disepakati.”
Imam Syafi‟i menamakan wakaf dengan istilah-istilah :
al-shodaqot al-muharramat al-mauqufat. Selanjutnya ia membagi jenis pembagian wakaf dalam dua macam : pemberian yang diserahkan sipemberi ketika ia masih hidup dan pemberi yang diserahkan ketika si pemberi telah wafat.7
4. Menurut Hanabilah
Artinya :
“ Menahan kebebasan pemilik harta dalam membelanjakan hartanya yang bermanfaat dengan tetap utuhnya harta dan memutuskan semua hak penguasaan terhadap harta itu, sedangkan manfaatnya dipergunakan pada suatu kebaikan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.”8
Sedangkan menurut Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al Husaini, dalam Kitab Kifayatul akhyar, wakaf secara istilah adalah9 :
Artinya :
7
Al-Imam, Syafi‟I, Al-Umm, (Beirut : Darul Fikr,Tt) Jilid 3 h, 512.
8
Wabah, Zhuhaili, Fiqh al-Islam Wa ‘Adilatuhu, (Beirut : Daar El-Fikr, Tt) Juz 2 h.152
9
20
“wakaf ialah menyerahkan harta untuk selamanya yang bisa dimanfaatkan namun materinya (barangnya) tetap dan barang tersebut digunakan untuk kebaikan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah, dengan ketentuan barang tersebut tidak boleh ditasharrufkan.”
Selain itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga telah mengeluarkan Fatwa tentang Wakaf melalui rapat Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 11 Mei 2002, bahwa wakaf adalah:
س۹ح݆۵من݃میع۵فۿنا۵ھ۹عمء۵ق۹ھنیعو۵ھ݇ص۵عطق۹فڱܕصڰۿ݆۵ݖفھۿ۹قܕݖ݇عفܕصم
10
ح۵۹مܐݕجݕم
Artinya:
“Menahan harta yang dapat dimanfaatkan tanpa lenyap bendanya atau pokoknya, dengan cara tidak melakukan tindakan hukum terhadap benda tersebut (menjual, memberikan, atau mewariskannya), untuk disalurkan (hasilnya) pada sesuatu yang mubah (tidak haram) yang ada.”
Dari definisi di atas, meskipun terdapat perbedaan pengertian wakaf antara satu ulama dengan ulama lainnya, namun pada dasarnya mengandung makna yang sama. Perbedaan yang ada hanya dalam hal-hal sekunder (cabang) bukan primer (prinsip), sedangkan dalam hal-hal yang pokok, ada ukuran-ukuran yang disepakati oleh sebagian besar ulama, yaitu eksistensi benda wakaf itu haruslah bersifat tetap.
2. Dasar Hukum Wakaf
Dasar hukum wakaf sebagai lembaga yang diatur dalam ajaran Islam tidak dijumpai secara tersurat dalam Al-Qur‟an.Namun
10
Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama, Paradigma Baru Wakaf di Indonesia, cet.II,
(Jakarta: Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf. Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat
demikian, terdapat ayat-ayat yang memberi petunjuk dan dapat dijadikan sebagai sumber hukum perwakafan. Ayat-ayat yang dipahami berkaitan dengan wakaf diantaranya adalah:
می݇ع
ن݆۴ݕ݆۵نتڰܕ۹݆۵ݖڰۿح۴ݕقفنت۵ڰممنݕڱ۹حت۵مو۴ݕقفنۿنمءيشڰنإفھڰ݆݇۵ھ۹
(
٢٩
:
٣
/
݄۵
ن۴ܕمع
)
Artinya:
“kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan. Maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.”(QS. Ali „Imran, 3:92)
݅ثمنیܓڰ݆۵نݕقفنیمھ݆۴ݕمأیف݇ی۹سھڰ݆݇۵݇ثمكۻڰ۹حۿۿ۹نأع۹س݇ب۵نسیفڲ݇كۻ݇۹نسۻئ۵مۻڰ۹ح
Artinya:
“perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tiap butir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang dia kehendaki.Dan Allah maha luas (karunia-nya) lagi maha mengetahui.”(Q.S Al-Baqarah, 2:261)
Kata-kata menafkahkan harta yang disebut dalam Al-Qur‟an tidak kurang dari 73 kata, namun cukup bagi penulis dalam skripsi ini menjelaskan atau mengutip 2 ayat saja, yang secara umum menganjurkan agar kaum muslimin bersedia menafkahkan sebagian kekayaan baik yang berkonotasi pada nafkah wajib, seperti zakat atau memberi nafkah keluarga maupun yang menunjukkan hukum sunnah seperti hibah, wakaf, dan lain-lain. Selain itu Allah menjanjikan kepada orang yang menafkahkan hartanya akan dilipat gandakan pahalanya menjadi 700 kali lipat.
22
Adapula beberapa Hadits yang berkaitan dengan Wakaf yang dijelaskan secara umum, yaitu :
ھ
:
:
)
(
Artinya :“Dari Abu Hurairah RA bahwasannya Rasulullah SAW telah bersabda apabila seorang telah meninggal dunia maka terputuslah semua amal perbuatannya kecuali tiga hal yaitu shadaqah jariyah (wakaf), ilmu yang bermanfaat, atau anak yang sholeh yang mendoakannya.” (HR.Muslim)11
݄۵ق۵مھنعھ݆݇۵یضܔܕمعنب۵نع
:
ڰن݆۵ݖت۵فܕ۹یب۵ضܔ۴ܕمعب۵ص۴
݄۵قف۵ھیفܕم۵ۿسیمڰ݇سݕھی݇عھ݆݇۵ݖڰ݇صڰی۹
:
قف؟ھ۹ینܕم۵ت۵مفھنمیܑنعسفن۴ݕھڱطقا۵م۹ص۵م݆ܕ۹یب۵ضܔ۵ۿ۹ص۵یڲن۵ھ݆݇۵݆ݕسܔ۵ی
ܕھ݆݇۵
ص۵ۿس۹حۿ۳شن۵ڰ݇سݕھی݇عھ݆݇۵ݖڰ݇صھ݆݇۵݆ݕس
۵ھ۹ۿقڰܑصتو۵ھ݇
.
ݕع۵۹تا۵ھڰن۴ܕمع۵ھ۹قڰܑصۿف
܀ܔݕتاݕ۹ھݕتا
.
݄۵قف
:
ح۵نجافیڰض݆۴ݕ݇ی۹س݆۵نبݕھ݆݇۵݇ی۹سݖفݕب۵قڲܕ݆۵ݖفݕݖبܕق݆۵ݖفوء۴ܕقف݆۵ݖف۵ھ۹قڰܑصتو
نم݇ك۵ین۴۵ھی݆ݕنمݖ݇ع
݄ڲݕمۿمܕیغمعطیݕفوܕعم݆۵ب۵ھ
)
م݇سمݕݖܔ۵۹݆۵ھ۴وܔ
(
Artinya:12“Dari Ibnu Umar RA, berkata : bahwa sahabat Umar RA memperoleh sebidang tanah di Khaibar, kemudian ia menghadap kepada Rasulullah SAW untuk memohon petunjuk dan bertanya : Yaa Rasulullah sesungguhnya aku mendapatkan sebidang tanah di Khaibar, suatu harta yang belum pernah aku dpaatkan sama sekali yang lebih baik bagiku selain tanah itu, lalu apa yang hendak kau perintahkan kepadaku? Maka jawab Nabi Muhammad SAW jika engkau suka tahanlah pangkalnya dan
11
Imam Abi al-Husain Muslim al-Hijjaj, Shahih Muslim, (Mesir: Dar al-Hadits al-Qahirah 1994),jilid 6,hal.95.
12
sedekahkanlah hasilnya. Lalu Umar menyedekahkan, dengan syarat tidak boleh dijual, tidak boleh dihibahkan, dan tidak boleh diwarisi. Yaitu untuk orang-orang fakir, kelaurga dekat, untuk memerdekakan hamba sahaya, untuk menjamu tamu, untuk orang yang kehabisan bekal dalam perjalanan (Ibnu Sabil), dan tidak berdosa orang yang mengurusinya itu untuk memakan sebagiannya dengan cara yang wajar dan untuk memberi makan (kepada keluarganya) dengan syarat jangan dijadikan hak milik .”(HR. Bukhari dan Muslim).
Disamping Hadits yang menyatakan landasan hukum wakaf tanah yang merupakan benda yang tidak bergerak, ada juga Hadits yang menyatakan kebolehan benda bergerak sebagaimana hadits yang berasal dari Abu Hurairah dan diriwayatkan oleh Bukhari yang berbunyi sebagai berikut :
݄۵قھنعھ݆݇۵ݖضܔۺܕیܕھݖب۵نع
:
م݇سݕھی݇عھ݆݇۵ݖڰ݇صھ݆݇۵݆ݕسܕ݆۵ق
:
۵ب۵سۿح۴و۵ن۵می۵ھ݆݇۵݇ی۹سݖف۵سܕفس۹ۿح۵نم
,
ھثفܔݕھع۹شڰن۵ف
,
ھ݆ݕبو
,
ۼ۵نسحھن۴زیمیف
)
ݖܕ۹݆۵ھ۴وܔ
(
Artinya :“Dari Abu Hurairah RA berkata, Rasulullah bersabda : Barangsiapa mewakafkan seekor kuda dijalan Allah dengan penuh keimanan dan keikhlasan maka sesungguhnya jasad, kekotoran , dan kencingnya akan menjadi amal kebaikan pada timbangan di Hari kiamat.”
(HR. Bukhari)13
Walaupun Hadit di atas hanya menunjukan keabsahan wakaf hewan, dalam hal ini kuda, tapi jika ditinjau dari fungsi hewan itu di zaman Nabi yaitu sebagai hewan yang tercepat, maka dapat disimpulkan bahwa wakaf benda bergerakpun sah menurut hukum manakala pemanfaatannya dapat diperoleh tanpa menghabiskan barang itu sendiri.
13
24
Uraian Hadits di atas mengarah pada adanya dua bentuk benda wakaf, yaitu benda bergerak yang disebut al-manqul atau al-musya‟ dan benda yang tidak bergerak yang bisa disebut al‟aqar.14 Dari beberapa Hadits di atas dapat disimpulkan bahwa disyariatkannya wakaf sebagai tindakan hukum dengan cara melepaskan hak kepemilikannya atas asal barang dan mensedekahkan manfaatnya untuk kepentingan umum, dengan maksud memperoleh pahala dari Allah. Kepentingan tersebut bisa berupa kepentingan sosial atau kepentingan agama.
2. Syarat dan Rukun Wakaf.
Untuk memperjelas rukun dan syarat wakaf maka lebih dahulu dikemukakan pengertian rukun dan syarat baik dari segi etimologi maupun terminology. Syarat dalam Kamus Al Munawwir adalah mengikat,kesepakatan dan perjanjian dan Menurut Faris Efendy M.Zein, bahwa menurut bahasa (etimologi), syarat adalah sesuatu yang menghendaki adanya sesuatu yang lain atau sebagai tanda, melazimkan sesuatu.15
Secara terminologi, yang dimaksud dengan syarat adalah sesuatu yang tergantung adanya hukum dengan adanya sesuatu tersebut, dan tidak adanya sesuatu itu mengakibatkan tidak ada pula hukum, namun dengan adanya sesuatu tidak mesti pula adanya hukum. Hal ini sebagaimana dikemukakan Abd al-Wahhab Khalaf, bahwa syarat adalah sesuatu yang keberadaan suatu hukum tergantung pada keberadaan sesuatu itu , dan dari
14
Juhaya S. Praja, Perwakafan di Indonesia, Sejarah, Pemikiran, Hukum dan Perkembangannya (Bandung: Yayasan piara, 1995), h.13.
15
ketiadaan sesuatu itu diperoleh ketetapan ketiadaan hukum tersebut. Yang dimaksudkan adalah keberadaan secara syara‟, yang menimbulkan
efeknya.Hal senada dikemukakan oleh Muhammad Abu Zahrah, asy-syarth (syarat) adalah sesuatu yang menjadi tempat bergantung wujudnya hukum.Tidak adanya syarat berarti pasti tidak adanya hukum.Tetapi wujudnya syarat tidak pasti wujudnya hukum.16 Diantara yang menjadi syarat Wakaf adalah sebagai berikut :
a. Perwakafan benda itu tidak dibatasi untuk jangka waktu tertentu saja, tetapi untuk selama-lamanya. Wakaf yang dibatasi waktunya untuk lima tahun saja adalah tidak sah
b. Tujuannya harus jelas, tanpa menyebutkan tujuannya secara jelas perwakafan tidak sah. Namun demikian, apabila seorang wakif menyerahkan tanahnya kepada suatu badan hukum tertentu yang sudah jelas tujuan dan usahanya, wewenang untuk penentuan tujuan wakaf itu berada pada badan hukum yang bersangkutan sesuai dengan tujuan badan hukum itu
c. Wakaf harus segera dilaksanakan setelah ikrar wakaf dinyatakan oleh wakif tanpa menggantungkan permasalahan pelaksanaannya pada suatu peristiwa yang akan terjadi dimasa yang akan datang. Sebabnya ikrar wakaf itu menyebabkan lepasnya hubungan pemilikan seketika itu juga, antara wakif dengan wakaf yang bersangkutan. Bila
16
26
digantungkan dengan kematian seseorang yang berlaku adalah hukum wasiat.
d. Wakaf yang sah wajib dilaksanakan, karena ikrar wakaf yang dinyatakan oleh wakif berlaku seketika dan untuk selama-lamanya.
Rukun dalam terminologi fikih adalah sesuatu yang dianggap menentukan suatu yang disiplin tertentu, dimana ia merupakan bagian integral dari disiplin itu sendiri. Atau dengan kata lain rukun adalah penyempurna sesuatu, dimana ia merupakan bagian dari sesuatu itu.17
Adapun unsur (rukun) wakaf dan syarat yang menyertainya adalah sebagai berikut :
a. Waqif (orang yang mewakafkan).
Syarat wakif adalah sehat akalnya, dalam keadaan sadar, tidak dalam keadaan terpaksa atau dipaksa, dan telah mencapai umur baligh.Wakif adalah sempurna harta yang diwakafkan.18 Dalam versi pasal 215 (2) KHI jo. pasal 1 (2) PP 28/1977 dinyatakan : “Wakif adalah orang atau
orang-orang ataupun badan hukum yang mewakafkan benda miliknya”. Adapun syarat-syarat Wakif adalah :
1. Badan-badan hukum Indonesia dan orang atau orang-orang yang telah dewasa dan sehat akalnya serta yang oleh hukum tidak terhalang untuk melakukan perbuatan hukum, atas kehendak
17
Abdul Ghofur Anshori, Hukum dan Praktik Perwakafan di Indonesia, Yogyakarta: Pilar Media, 2006, h.25.
18
sendiri dapat mewakafkan benda miliknya dengan memperhatikan peraturan Perundangan-undangan yang berlaku.
2. Dalam hal badan-badan hukum, maka yang bertindak untuk dan atas namanya adalah pengurusnya yang sah menurut hukum (pasal 3 Peraturan Pemerintah 28/1977)
b. Mauquf atau benda yang diwakafkan
Barang atau benda yang diwakafkan (mauquf) haruslah memenuhi syarat-syarat berikut.Pertama, harus tetap zatnya dan dapat dimanfaatkan untuk jangka waktu yang lama, tidak habis sekali pakai.Pemanfaatan itu haruslah untuk hal-hal yang berguna, halal dan sah menurut hukum.Kedua, harta yang diwakafkan itu haruslah jelas wujudnya dan pasti batas-batasnya (jika berbentuk tanah misalnya).Ketiga, benda itu sebagaimana disebutkan di atas, harus benar-benar kepunyaan wakif dan bebas dari segala beban.Keempat, harta yang diwakafkan itu dapat berupa benda dapat juga berupa benda bergerak seperti buku-buku, saham, surat-surat berharga dan sebagainya. Kalau ia berupa saham atau modal, haruslah diusahakan agar penggunaan modal itu tidak untuk usaha-usaha yang bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum Islam, misalnya untuk mendirikan atau membiayai tempat perjudian atau usaha-usaha maksiat lainnya.
c. Mauquf 'alaih (tujuan wakaf)
Untuk menghindari penyalahgunaan wakaf, maka wakif
28
fakir miskin, dan lain-lain, atau untuk kepentingan umum (waqfkhairy).Yang jelas tujuannya adalah untuk kebaikan, mencari keridhaanAllah dan mendekatkan diri kepada-Nya.19Kegunaan wakaf bisa untuksarana ibadah murni, bisa juga untuk sarana sosial keagamaan lainnyayang lebih besar manfaatnya.
Karena itu, wakaf tidak bisa digunakan untuk kepentingan maksiat, membantu, mendukung atau yang memungkinkan untuk tujuan maksiat. Menurut Abu Yahya Zakariya, menyerahkan wakaf kepada orang yang tidak jelas identitasnya adalah tidak sah.20Faktor administrasi, kecermatan, dan ketelitian dalam mewakafkan barang menjadi sangat penting, demi keberhasilan tujuan dan manfaat wakaf itu sendiri.Alangkah ruginya, jika niat yang baik untukmewakafkan hartanya, tetapi kurang cermat dalam tertib administrasinya, mengakibatkan tujuan wakaf menjadi terabaikan.Jika tertib administrasi ini ditempatkan sebagai wasilah (instrumen) hukum, maka hukumnya bisa menjadi wajib.Sebagaimana aksioma hukum yang diformulasikan para ulama "li al-wasail hukm al-maqashid" artinya "(hukum) bagi perantara, adalah hukum apa yang menjadi tujuannya".21
d. Sighat (Ikrar atau Pernyataan Wakaf)
Ikrar adalah pernyataan kehendak dari wakif untuk mewakafkantanah atau benda miliknya (ps. 1 (3) PP No. 28/1977 jo. ps. 215 (3) KHI).Pernyataan atau ikrar wakaf ini harus dinyatakan secara tegas baik lisanmaupun tertulis, dengan redaksi "aku mewakafkan" atau "aku menahan"atau
19
Ahmad Rofiq, Fiqh Kontekstual, op.cit.,h.323
20
Ibid.,h.324.
21
kalimat yang semakna lainnya. Ikrar ini penting, karena pernyataanikrar membawa implikasi gugurnya hak kepemilikan wakif, dan hartawakaf
menjadi milik Allah atau milik umum yang dimanfaatkan untukkepentingan umum yang menjadi tujuan wakaf itu sendiri.Karena itu,konsekuensinya, harta wakaf tidak bisa dihibahkan, diperjualbelikan, ataupun diwariskan.Namun, Para ulama tidak mensyaratkan qabul di dalam wakaf adalah karena menyamakan ijab di dalam wakaf tersebut dengan ijab di dalam pemerdekaan budak yang disyaratkan harus ada qabul. Mereka itu antara lain adalah al-Mawardi, bahkan al-Baghawi dan ar-Ruyani telah memutuskan tanpa qabul.(kifayatul akhyar).
Sebagai ibadah Tabarru‟ (mendermakan harta), wakaf memang tidak mengharuskan adanya qabul, hal ini sebagaimana dinyatakan Sayyid Syabiq:
“Bila seorang yang berwakaf berbuat sesuatu yang menunjukan kepada
wakaf atau mengucapkan kata-kata wakaf, maka tetaplah wakaf itu, dengan syaratorang yang berwakaf adalah orang yang sah tindakannya, misalnya cukup sempurna akalnya, dewasa, merdeka dan tidak dipaksa.Untuk terjadinya wakaf ini tidak diperlukan qobul dari yang diwakifi.”
30
yang kemudian menuangkannya dalam bentukAkta Ikrar Wakaf (AIW) dengan disaksikan oleh minimal dua orang saksi(2). Dalam keadaan tertentu, penyimpangan dari ketentuan dimaksuddalam ayat (1) dapat dilaksanakan setelah terlebih dahulu mendapatpersetujuan Menteri Agama.22
e. Nadzir (Pengelola) Wakaf
Penerima Wakaf adalah orang yang ahli memiliki seperti syarat bagi orang yang berwakaf.Tujuan dari wakaf itu harus jelas, hendaklah disebutkan dengan terang kepada siapa yang diwakafkan.
Karenanya tidak sah berwakaf kepada anak yang masih dalam kandungan ibunya, begitu juga kepada hamba sahaya. Tidak sah wakaf kalau tidak disebutkan “saya wakafkan kebun ini” tanpa disebutkan kepada siapa kebun itu diwakafkan.
3. Tujuan dan Fungsi Wakaf
Jika kita menggali Syari‟at Islam, akan ditemukan bahwa tujuan Syari‟at
Islam adalah demi kemaslahatan manusia. Allah memberi manusia kemampuan dan kararkter yang beraneka ragam .Dari sinilah, kemudian timbul kondisi dan lingkungan yang berbeda diantara masing-masing individu.Ada yang miskin, kaya, cerdas, bodoh, kuat dan lemah, dibalik semua itu tersimpan hikmah, dimana Allah memberi kesempatan kepada yang kaya menyantuni yang miskin, yang cerdas membimbing yang bodoh dan yang kuat menolong yang lemah.Yang demikian, merupakan wahana bagi manusia untuk melakukan kebajikan sebagai
22
upaya mendekatkan diri kepada Allah, sehingga interaksi antar manusia terus terjalin.23
Syaikh Abu Syuja‟ berkata:
Artinya
“Wakaf itu harus dilaksanakan sesuai dengan apa yang disyaratkan oleh pemberi wakaf, mana yang didahulukan dan mana yang diakhirkan, serta mana yang diberi sama dan mana yang diberi lebih.”(kifayatul akhyar)
Wakaf memiliki fungsi sosial, artinya bahwa penggunaan hak milik oleh seseorang harus memberi manfaat langsung atau tidak langsung kepada masyarakat.Dalam ajaran kepemilikan terhadap harta benda seseorang, agama Islam mengajarkan bahwa di dalamnya melekat hak fakir miskin yang harus diberikan oleh pemiliknya secara ikhlas kepada yang memerlukannya sesuai aturan yang telah ditentukan yakni melalui infak, sedekah, wasiat, hibah, dan wakaf. Hal ini adalah sesuai dengan firman Allah SWT:
Artinya:
“dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian.” (QS.Adz-Dzariat,51:19)
Kepemilkan harta benda yang tidak menyertakan kepada kemanfaatan terhadap orang lain merupakan sikap yang tidak disukai Allah SWT. Agama
23
Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf: Kajian Kontomporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf Serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf
32
Islam selalu menganjurkan agar selalu memelihara keseimbangan sebagai makhluk pribadi dan makhluk sosial dalam tata kehidupan masyarakat.
Dalam konsep Islam, dikenal istilah Jariyah artinya mengalir. Maksudnya, sedekah atau wakaf yang dikeluarkan , sepanjang benda wakaf itu dimanfaatkan untuk kepentingan kebaikan maka selama itu pula si wakif mendapat pahala secara terus menerus meskipun telah meninggal dunia.
Dalam pasal 2 peraturan Pemerintah No.28 Tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik, fungsi wakaf adalah mengkekalkan manfaat benda wakaf sesuai dengan tujuan wakaf, yaitu melembagakannya untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam.
Tujuan Wakaf yang dimaksud oleh pasal 4 Undang-undang No.41 Tahun 2004 tentang wakaf untuk memanfaatkan harta benda wakaf sesuai dengan fungsinya. Dalam rangka mencapai tujuan dan fungsi wakaf ditambahkan dalam pasal 22, bahwa harta benda wakaf hanya dapat diperuntukan bagi sarana dan kegiatan ibadah, sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan, bantuan kepada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa, kemajuan dan peningkatan ekonomiumat; dan/atau kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.
wakaf, nazhir dapat menetapkan peruntukan harta benda wakaf yang dilakukan sesuai dengan tujuan dan fungsi wakaf.
Dalam pasal 5 Undang-undang No.41 Tahun 2004 tentang wakaf, fungsi wakaf adalah mewujudkan potensi dan manfaat ekonomis harta benda wakaf untuk kepentingan ibadah dan untuk memajukan kesejahteraan umum.Dan pelaksanaanya, agar fungsi wakaf sesuai dengan tujuan wakaf, maka objek wakaf hendaknya didayagunakan dengan sebaik-baiknya dalam pengelolaannya. Untuk itu diperlukan nadzir yang profesional dibidangnya dengan mengedepankan prinsip dan ajaran Islam.
4. Macam-macam Wakaf
Dari tujuanya tersebut di atas, wakaf dapat dibedakan menjadi wakaf keluarga atau wakaf ahli yang disebut juga wakaf khusus dan wakaf umum atau wakaf khairi.24
a. Wakaf Keluarga
Yang dimaksud dengan wakaf keluarga atau wakaf Ahli (disebut juga wakaf khusus) adalah wakaf yang khusus diperuntukkan bagi orang-orang tertentu, seorang-orang atau lebih, baik ia keluarga wakif maupun orang-orang lain.
Di beberapa negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti di negara-negara timur tengah misalnya, wakaf ahli ini setelah berlangsung puluhan tahun lamanya, menimbulkan masalah terutama kalau wakaf keluarga itu berupa tanah pertanian. Maksud semula sama
24
34
dengan wakaf umum, untuk berbuat baik pada orang lain dalam rangka pelaksanaan amal kebajikan menurut ajaran Islam. Namun, kemudian terjadilah penyalahgunaan. Penyalahgunaan itu misalnya: (1) Menjadikan wakaf keluarga itu sebagai alat untuk menghindari pembagian atau pemecahan harta kekayaan pada ahli waris yang berhak menerimanya, setelah wakif meninggal dunia, dan (2) Wakaf keluarga itu dijadikan alat untuk mengelakan tuntutan kreditor terhadap hutang-hutang yang dibuat oleh seseorang, sebelum ia mewakafkan tanahnya itu. Oleh Karena itu, dibeberapa negara, karena penyalahgunaan tersebut, wakaf keluarga ini kemudian dihapuskan (di Mesir misalnya, pada tahun 1952), sebab praktek-praktek menyimpang yang demikian tidak sesuai dengan ajaran Islam.
Dalam hubungan dengan wakaf keluarga ini perlu dicatat bahwa harta pusaka tinggi di Minangkabau misalnya, mempunyai ciri-ciri yang sama dengan wakaf keluarga. Ia merupakan harta keluarga yang dipertahankan tidak dibagi-bagi atau diwariskan kepada keturunan secara individual, karena ia telah diperuntukan bagi kepentingan kepentingan keluarga, memenuhi kebutuhan baik dalam keadaan biasa apalagi dalam keadaan yang tidak disangka-sangka atau darurat.
b. Wakaf Khairi (Umum)
lembaga sosial dalam bentuk masjid, madrasah, pesantren, asrama, rumah sakit, rumah yatim-piatu, tanah pekuburan dan sebagainya. Wakaf khairi atau wakaf umum inilah yang paling sesuai dengan ajaran Islam dan yang dianjurkan pada orang yang mempunyai harta untuk melakukannya guna memperoleh pahala yang terus mengalir bagi orang yang bersangkutan kendatipun ia telah meninggal dunia, selama wakaf itu masih dapat diambil manfaatnya. Dari bentuk-bentuknya tersebut di atas, wakaf khairi ini jelas merupakan wakaf yang benar-benar dapat dinikmati manfaatnya oleh masyarakat dan merupakan salah satu sarana penyelenggaraan kesejahteraan masyarakat baik dalam bidang keagamaan maupun dalam bidang ekonomi, sosial, budaya dan pendidikan.
B. Perwakafan Perspektif Hukum Positif
1. Sejarah dan Perkembangan Wakaf di Indonesia a. Sejarah Wakaf di Zaman Kerajaan Islam
36
Islam Indonesia sudah ada pengaturan harta wakaf sekalipun masih pada hal-hal yang terbatas.
b. Sejarah Wakaf di Zaman Kolonial
Pada Zaman Kolonial Belanda telah pula dikeluarkan berbagai peraturan yang mengatur berbagai persoalan wakaf antara lain:25
Surat Edaran Government pertama pada tanggal 31 Januari 1905, Nomor 435, yang termuat dalam Bijbbland 1905 Nomor 6196 tentang Toezicht op denbouw van Mohammedaanshe bedenhuizen. Dalam surat edaran ini tidak diatur secara khusus tentang wakaf, tetapi tidak melarang orang Islam menjalankan ajaran agamanya, namun harus izin terlebih dahulu apabila mendirikan tempat ibadah untuk umum.
1. Pada tanggal 4 Juni 1931 dikeluarkan Surat Edaran Nomor 12573 tentang Bedenhuizen en Wakafs, surat edaran ini mengatur tentang tanah wakaf BS (Bijbland op hat staatsblad) tersebut bahwa tanah yang akan dibangun di atas masjid atau tempat ibadah lainnya harus seizing Pemerintah Hindia-Belanda.
2. Pada tanggal 24 Desember 1934 Nomor 13390 tentang Bededehizen vridagdiesten moskieen en wakaf, BS (Bijblad op hat staatsblaad) mengatur wakaf dan pembangunan masjid dan mengatur perizinan sholat
c. Pada era Pasca Kemerdekaan
25
Setelah Indonesia merdeka yang diiringi dengan pembentukan Departemen Agama (Jawatan Urusan Agama) tanggal 3 Januari 1946, maka wakaf mulai jadi wewenang Departemen Agama. Wewenang Departemen Agama di bidang wakaf ini berdasarkan atas Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1949 juncto Peraturan Pemerintah No.8 Tahun 1950 serta berdasarkan Peraturan Menteri Agama No.9 dan Peraturan Menteri Agama No.10 Tahun 1952. Dalam peraturan tersebut disebutkan Departemen Agama dan lembaga hierarki ke bawah berkewajiban menyelidiki, menentukan, mendaftar dan mengawasi pemeliharaan harta wakaf (khusus benda tak bergerak yang berupa tanah dan bangunan masjid).
Kemudian berdasarkan Surat Edaran Jawatan Urusan Agama Nomor 5/D/1956 tentang Prosedur Perwakafan Tanah, Urusan Perwakafan menjadi Wewenang Kantor Urusan Agama, maka urusan perwakafan diserahkan ke Kantor Urusan Agama. Dalam edaran ini Kantor Urusan Agama dianjurkan membantu orang-orang yang akan mewakafkan hartanya lengkap dengan prosedurnya sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Jawatan Urusan Agama Nomor 5/D/1956 tersebut.26
Dari perspektif sejarah perkembangan pengaturan mengenai perwakafan tanah milik dan perwakafan di atas dapat diketahui, bahwa masalah perwakafan ini tidak hanya menyangkut masalah dibidang keagamaan, namun menyangkut pelaksanaan tugas-tugas keagrariaan, sehingga wakaf sebagai suatu lembaga keagamaan yang dapat
26
38
39
HUKUM POSITIF SERTA AKIBAT HUKUMNYA.
A. Jual-Beli Tanah Wakaf dalam Perspektif Hukum Islam
Ajaran Islam merupakan ajaran yang sempurna, yang didalamnya terkandung sumber acuan dalam hal ibadah baik hubungan antara manusia kepada Allah maupun manusia dengan manusia. Sumber acuan tersebut yakni adalah Al-Qur‟an dan Assunnah (Alhadits). Namun pada perkembangannya agar dapat
menyesuaikan antara hukum dengan zaman, perlu adanya penjelasan yakni baik yang berasal dari Al-Qur‟an maupun Asunnah. Untuk mempermudah dalam memahami hukum hukum tersebut, dibutuhkan Ijtihad (pendapat) para Ulama, yang dikelompokan dari berbagai macam Madzhab yakni : Hanafiyah, Hanabilah, Syafi‟iyah, dan Malikiyah.
Mayoritas penduduk Muslim Indonesia dalam menentukan hukum, baik dalam hal mu‟amalah, munakahat dan lain sebagainya yang berkaitan dengan hal
ibadah mereka menggunakan pendapat Imam Syafi‟i, karena mayoritas Muslim di
40
Syafi‟i tidak diminati penduduk Muslim Indonesia tetapi dalam kaitan dengan
kegiatan perwakafan ketentuan hukum perundang-undangan mengambil sebagian dari pendapat Imam Syafi‟i dan sebagian lagi dari ijtihad (pendapat) para
imam/ulama dari madzhab yang lain selain Imam Syafi‟i.
Wakaf yang produktif adalah wakaf yang memberikan manfaat yang besar kepada masyarakat/ dalam hal kemaslahatan orang banyak sesuai dengan tujuan wakaf. Dalam hal jual beli harta/tanah wakaf memang pada dasarnya banyak perbedaan pendapat dari Imam-imam Madzhab, tetapi dalam Pasal 40 UU No.41 Tahun 2004 mutlak tidak diperbolehkan tanah wakaf untuk diperjual belikan, namun ada pengecualian yang dapat memperbolehkannya. Dalam hal jual beli harta/tanah wakaf menurut Islam akan dijelaskan dari beberapa pendapat para Ulama, yaitu sebagai berikut:
1. Pendapat Pertama : Boleh menjual wakaf dan atau menariknya kembali. Pendapat ini diriwayatkan dari Abu Hanifah. Tetapi murid-muridnya mengingkari hal ini, berkata Abu Yusuf “:tidak diperbolehkan harta wakaf untuk diperjual belikan tanpa kecuali”, dan Imam Muhammad salah seorang
sahabat Abu Yusuf berkata : “apabila harta wakaf telah rusak, maka secara
otomatis harta wakaf tersebut kembali kepada pemilik awal (wakif)”
tersebut tidak terputus manfaatnya. Ini adalah pendapat Imam Malik dan Imam Syafi‟I.
Meskipun pada prinsipnya para ulama Malikiah melarang keras penggantian barang wakaf, namun mereka tetap memperbolehkannya pada kasus tertentu dengan membedakan barang wakaf yang bergerak dan yang tidak bergerak. a. Mengganti Barang Wakaf yang Bergerak
Kebanyakan fuqoha madzhab maliki memperbolehkan penggantian barang wakaf yang bergerak dengan pertimbangan kemaslahatan. Untuk mengganti barang wakaf yang bergerak, ulama Malikiah mensyaratkan bahwa barang tersebut harus tidak bisa dimanfaatkan lagi. Mengikuti syarat ini, kita boleh menjual buku-buku wakaf yang berisi bermacam disiplin ilmu jika terlihat usang, rusak, dan tidak dapat dipergunakan lagi. Namun sebaliknya, kita tidak boleh menjual buku-buku itu selama masih bisa digunakan.
b. Mengganti barang wakaf tidak bergerak
42
Dasar yang mereka gunakan sebagai pijakan adalah bahwa penjualan akan berpeluang pada kemaslahatan dan kepentingan umum.1
Dikalangan ulama Malikiah sendiri terdapat perbedaan pendapat tentang menjual atau memindahkan tanah wakaf. Mayoritas ulama Malikiah melarang menjual atau memindahkan tanah wakaf sekalipun tanah tersebut tidak mendatangkan hasil sama sekali. Sebagian ulama Malikiah memperbolehkan menggantikan dengan menukarkan tanah wakaf yang tidak atau kurang bermanfaat dengan tanah lain yang lebih baik, namun dengan tiga syarat yaitu :2
1) Wakif ketika ikrar mensyaratkan kebolehan ditukar atau dijual;
2) Benda wakaf itu berupa benda bergerak dan kondisinya tidak sesuai lagi dengan tujuan semula diwakafkannya;
3) Apabila penggantian benda wakaf dibutuhkan untuk kepentingan umum, seperti pembangunan masjid, jalan raya dan lain sebagainya.3
Dan Dalam masalah penggantian barang wakaf, kalangan ulama Syafi‟iyah dikenal lebih berhati-hati dibanding ulama madzahab lainnya,
hingga terkesan seolah-olah mereka mutlak melarang istibdal dalam kondisi apapun. Mereka mensinyalir penggantian tersebut dapat berindikasi penilapan atau penyalahgunaan barang wakaf. Namun, dengan
1
Al-Kabisi, Hukum Wakaf: Kajian Kontemporer Pertama dan Terlengkap tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf Serta Penyelesaian atas Sengketa Wakaf, h.366-368.
2
Muhammad Abu Zahrah, al-Waqf, Cet II (Beirut: Dar Al-Fikr, 1971), h.171.
3
ekstra hati-hati, mereka tetap membahas masalah penggantian beberapa barang wakaf, secara garis besar dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok:
a. Kelompok yang melarang penjualan barang wakaf dan atau menggantinya. Mereka melarang penjualan barang wakaf apabila tidak ada jalan lain untuk memanfaatkannya, selain dengan cara mengkonsumsi sampai habis. Sebagai implikasi pendapat tersebut, jika barang wakaf berupa pohon yang kemudian mengering tak berubah dan hanya bisa dimanfaatkan untuk kayu bakar, maka penerima wakaf mempunyai wewenang untuk menjadikannya sebagai kayu bakar, tanpa memiliki kewenangan menjualnya. Sebab, dalam pandangan mereka meskipun barang wakaf hanya bisa dimanfaatkan dengan cara mempergunakannya sampai habis, barang tersebut tetap memiliki satu unsur yang menjadikannya sebagai barang wakaf, sehingga tak boleh dijual.
b. Kelompok yang memperbolehkan penjualan barang wakaf dengan alasan tidak mungkin dimanfaat seperti yang dikehendaki wakif. Pendapat ulama Syafi‟iyah tentang kebolehan penjualan barang wakaf
ini berlaku jika barang wakaf tersebut berupa benda bergerak. Mengenai hukum barang wakaf yang tidak bergerak, ulama Syafi‟iyah
44
yang tak bergerak tidak mungkin kehilangan manfaatnya sehinggatidak boleh dijual atau diganti.4
3. Pendapat Ketiga : Boleh menjual wakaf jika manfaatnya hilang, atau wakaf tidak berfungsi lagi, seperti masjid yang roboh, atau masyarakat sekitar masjid tersebut pindah tempat, sehingga tidak ada yang memanfaatkan masjid tersebut . Ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam riwayat lain.
Adapun dalilnya sebagai berikut :
Dalil Pertama : Atsar Umar bin Khattab ketika sampai kepadanya berita bahwa Baitul Maal di Kufah telah rusak, maka beliau memerintahkan Saad bin Abi Waqqas gubernur Kufah untuk memindahkan masjid yang berada di Tamarin, dan memindahkan Baitul Maal di depan masjid. Peristiwa ini diketahui oleh para sahabat, dan tidak ada satupun dari mereka yang menolaknya, hal ini menunjukkan adanya kesepakatan mereka.
Dalil Kedua : Bahwa Syariah Islam selalu memperhatikan maslahat dan menghilangkan mafsadah. Jika dengan menjual aset wakaf dan menggantikan dengan lainnya membawa masalahat yang lebih banyak dan mengurangi kerusakan yang ada, maka hal itu dibolehkan karena sesuai dengan ruh Syariah Islam.
4
Berkata Ibnu Taimiyah : “ Jika kebutuhan mendesak, maka wakaf tersebut wajib diganti dengan yang sama, jika tidak ada kebutuhan mendesak dibolehkan menggantikannya dengan yang lebih baik, hal itu karena ada maslahat yang hendak dicapai. “
Berkata Ibnu Uqail : “Wakaf itu sifatnya langgeng, jika tidak bisa
melanggengkannya secara khusus (karena rusak dan yang lainnya), maka paling tidak kita menjaga maksud (dari wakaf itu sendiri), yaitu pemanfaatan yang terus menerus dengan barang lain, yaitu dengan cara diganti, karena kalau tetap mempertahankan aset wakaf yang sudah tidak berfungsi lagi, justru malah tidak sesuai dengan tujuan (wakaf) itu sendiri”.
Pendapat ketiga ini lebih kuat, karena sesuai dengan tujuan wakaf itu sendiri yaitu untuk kemaslahatan kaum muslimin. Untuk menghindari adanya penyelewengan, ketika menjual dan menggantikan dengan yang lebih baik, harus di bawah pengawasan pemerintah atau lembaga sosial yang dapat dipercaya.
46
wakaf. Penyimpangan dari ketentuan dimaksud hanya dapat dilakukan terhadap hal-hal tertentu setelah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan tertulis dari Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan berdasarkan saran dari Majelis Ulama Kecamatan dan Camat setempat dengan alasan:
a. Karena tidak sesuai lagi dengan tujuan wakaf seperti diikrarkan oleh wakif;
b. Karena kepentingan umum.
Dalam Peraturan Menteri Agama Nomor 1 Tahun 1978 yang merupakan Peraturan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik pasal 12 dijelaskan : (1) Untuk mengubah status dan penggunaan tanah wakaf, nazhir berkewajiban mengajukan permohonan kepada Kepala Kanwil Depag cq. Kepala Bidang melalui Kepala KUA dan Kepala Kanwil Depag secara hierarkis dengan menyebut alasannya.
(2) Kepala KUA dan Kepala Kandepag meneruskan permohonan tersebut pada ayat (1) secara hierarkis kepada kepala Kanwil Depag cq. Kepala Bidang dengan disertai pertimbangan
(3) Kepala Kanwil Depag cq. Kepala Bidang diberi wewenang untuk memberikan persetujuan atau p