• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konflik Elit Politik Dalam Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Aceh Tenggara Secara Langsung Tahun 2006

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Konflik Elit Politik Dalam Pemilihan Kepala Daerah Kabupaten Aceh Tenggara Secara Langsung Tahun 2006"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

Tugas Ujian Kusus matakuliah Studi Kebijakan Publik

DISUSUN

OLEH

NAMA : RASADI NIM : 030906022 DEPARTEMEN : ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

ABSTRAKSI

Konflik diartikan sebagai suatu pertentangan, pertikaian dan perkelahian. Konflik biasanya terjadi didalam memperebutkan jabatan atau kedudukan. Begitu juga halnya dengan Pilkada, karena Pilkada merupakan pesta lokal bagi Daerah-daerah yang pelaksanaanya dilakukan setiap lima (5) tahun sekali yang bertujuan untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung dan demokratis.

Elit Politik Lokal merupakan seseorang yang menduduki jabatan-jabatan politik dieksekutif dan legislatif yang dipilih melalui Pemilu dan dipilih dalam proses politik yang demokratis di tingkat lokal. Elit politiknya seperti: Gubenur, Bupati, Walikota, Ketua DPRD, dan pemimpin-pemimpin partai politik.

Konflik yang terjadi pada pilkada langsung di Kabupaten Aceh Tenggara merupakan konflik dalam bentuk rivalitas, persaingan dan pertentangan yang sudah tampak dari awal proses lambatnya pembentukan KIP Kabupaten Aceh Tenggara dan dan Pengusungan Bakal Calon Kepala Daerah.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif, dengan pendekatan “kualitatif” yang suatu metode dalam meneliti individu maupun kelompok masyarakat, sistim pemikiran maupun suatu peristiwa pada masa tertentu.

Dari penelitian ini dapat dikatakan bahwa konflik yang terjadi antara Drs. H. Armen Desky dengan Ir.H. Hasanuddin B. MM. pada Pilkada langsung di Kabupaten Aceh Tenggara menunjukan adanya bentuk pertentangan antara tiga (3) kekuatan politik utama. Pertama, Adanya pertentangan antara calon itu sendiri, Kedua, Adanya pertentangan antara kekuatan partai politik. Ketiga, Adanya pertentangan antar kelompok yang berimbang kekuatanya.

(3)

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan segala puji dan syukur kehadirat Allah S.W.T, yang telah memberiakn rahmatNya, karuniaNya dan hidayahNya berlimpah kepada penulis sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik. Penulis sangat bersyukur kepada Allah S.W.T, juga selalu memberikan jalan yang terbaik bagi penulis yang sesuai kehendakNya. Semuanya hanya karunia-Mu Ya ALLAH Ya Rahman, Yarrahim sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

Skripsi ini Berjudul “ KONFLIK ELIT POLITIK DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH KABUPATEN ACEH TENGGARA SECARA LANGSUNG TAHUN 2006”. Dalam Studi ini penulis akan mengekplorasi defenisi konflik ataupun teori-teori konflik yang sesungguhnya dapat menimbulkan fenomena baru terhadap masyarakat. Konflik merupakan bagian dari kehidupan manusia yang tidak lenyap dari sejarah. Selam manusia masih hidup, konflik terus ada dan tidak mungkin manusia menghapus konflik dari dunia ini, baik konflik antara individu-dengan individu, individu dengan kelompok maupun kelompok dengan kelompok yang ada dalam lingkup masyarakat.

(4)

Defenisi konflik menurut para ahli sangatlah bervariasi karena para ahli melihat konflik dari berbagai sudut pandang satu perspektif yang berbeda-beda. Akan tetapi secara umum konflik dapat digambarkan sebagai benturan kepentingan antara dua pihak atau lebih, di mana salah satu pihak merasa diperlakukan secara tidak adil, kemudian kecewa. Dan kekecewaan itu dapat diwujutkan melalui konflik dengancara-cara yang legal dan tidak lega. Konflik juga diartikan sebagai hubungan antar dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki atau merasa sasaran-sasaran yang tidak sejalan. Dan proposisi yang mengemukakan pandangan sistematis tentang gejala dengan menjabarkan relasi diantara variabel untuk menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut.

Mulai perencanaan sampai dengan penyelesaian skripsi ini, penulis telah banyak mendapat bantuan-bantuan dari berbagai pihak, oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada pihak-pihak sebagai berikut:

1. Segala puji syukur kepada allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunianya kepada penulis.

2. Yang terhormat pembimbing saya Bapak Drs. Jakaria Taher yang selalu mengajari, mengarahkan dan mensupport saya sehingga skripi ini bisa ter selesaikan dengan baik.

3. Yang terhormat Kepada Bapak Dekan, Bapak DR. M. Arif Nasition M.A. 4. Keluarga Besar IMADIP FISIP USU.

5. Yang terhormat Reader saya Bapk Indra Kesuma, S.IP M.Si karena berkat arahan Beliaulah saya berhasil menyelesaikan skripsi ini.

(5)

7. Yang terhormat Dekan FISIP USU dan para Dosen Departemen ilmu politik yang telah memimbing dan mengajar saya selama ini.

8. Yang terhormat Bang Rusdi dan Kak Uci yang telah banyak membantu segala keperluan administrasi saya.

9. Ayahnda dan Ibunda yang tercinta telah memberikan konstribusi materi, curhatan perhatian, kasih sayangnya, semangat dan do’a yang tulus kepada penulis mulai lahir sampai saat ini terkhusus dalan penyusunan skripsi ini. 10. Kepada pacarku yang tercinta dan tersayang suryani AMD Sektaris yang

selalu memberikan semangat, dukungan dan motivasi yang tak ternilai. 11. kawan – kawan yang banyak membantu dalam menyelesaikan skripsi ini,

Bang arza, Bang Pandi, Bang Rio, Bang Safaruddin (kalon), Wein Gayoni, Bang Wardi, Bang Izal, Fajri, Ardian Ansori, Bukhari Ridho Siregar, Deni Hariyanto Ginting, Rusdi Sembiring, Bang Ayi, Saiful Muktar, Hendri Gayo Budi(Ibenku), Khairul, Bang Padlun ( Keluarga Besar BIGULETOV ).

12. Kawan-kawan POL’03 Jufri Adi Ali(Badrun) Yudi Arfan, Frima Ardani, Mimi, Fadilah, Zulfan, Yudha, Coki, Surya, Andi, Rolan, Fandi, Tata, Aulia, Vivi, Yos, Walid dan lain-lain.

13. Setiap orang yang telah memberikan masukan bantuan dan tuladan kepada penulis selama ini.

Medan, ….. Februari 2008

(6)

DAFTAR ISI

Abstraksi ...

Kata Pengantar ... iii

Daftar Isi ... vii

Daftar Tabl ... x

Daftar Lampiran ... xi

BAB I. KONFLIK ELIT POLITIK DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH KABUPATEN ACAH TENGARA SECARA LANGSUNG TAHUN 2006 ... A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan ... 11

C. Tujuan Penelitian ... 12

D. Manfaat Penilitian ... 12

E. Dasar-dasar Teori ... 12

E.1. Teori Konflik ... 13

E.1.1. Pengertian Konflik ... 16

E.1.2. Bentuk-bentuk Konflik ... 17

E.1.3. Kelebihan dan Kelemahan Konflik ... 17

E.2. Teori Elit ... 20

E.2.1. Pengertian Elit ... 21

E.2.2. Klasifikasi Elit ... 22

E.2.3. Elit Politik ... 23

(7)

E.3.1. Pengertian Politik Lokal... 24

E.3.2. Bentuk-bentuk Politik Lokal ... 25

E.3.3. Fungsi Politik Lokal ... 27

E.3.4. Pilkada Menurut UU No. 32/2004 & UU No. 11/2006 ... 28

E.3.5. Pilkada Sebagai Demokrasi Politik Lokal ... 30

F. Metode Penilitian ... 35

F.1 jenis Penilitian ... 35

F.2 Lokasi Penilitian ... 35

F.3 Teknik Pengumpulan Data ... 35

F.4 Teknik Anilisa Data ... 36

G. Sistematika Penulisan………... 36

BAB II. PILKADA KABUPATEN ACEH TENGGARA 2006 ... A. Sejarah ... 38

B. Geografi... 40

B.1 Iklim ... 40

B.2 Letak Wilayah ... 41

B.3 Penduduk ... 43

C. Pemerintahan ... 44

D. Infrastruktur... 44

D.1 Jalan ... 44

D.2 Pos dan Telkomunikasi ... 45

E. Pendidikan ... 46

(8)

G. Peta Politik ... 48

G.1 Dasar Hukum ... 48

G.2 Penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah ( PILKADA ) Aceh Tenggara... 49

H. Profil Kandidat/calon. ... 53

BAB III. PENYEBAB KONFLIK ELIT POLITIK PADA PILKADA ACEH TENGGARA 2006 ... A. Awal Mula Terjadinya Konflik Elit Politik ... 54

A.1 Penyebab Konflik di Kabupaten Aceh Tenggara... 54

A.2 Langkah-langkah Apa Saja Yang di Lakukan KIP Dalam Menyelesaikan Konflik Di Kabupaten Aceh Tenggara ... 58

A.3 Proses Pengusungan Bakal Calon ... 59

A.4 Proses Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah ... 60a B. Penyelesaian Konflik ... 72

BAB IV. KESIMPULAN DAN SARAN ... A. Kesimpulan ... 75

B. Saran ... 89

(9)

Daftar Tabel

1. Potensi Lahan Di Kabupaten Aceh Tenggara Pada Tahun 2005 ... 41 2. Letak Wilayah Kabupaten Aceh Tenggara Menurut Luasnya ... 42 3. Data Penduduk Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2005 Berdasarkan Jenis

Kelaminnya ... 43 4. Pos Dan Telkomunikasi Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2005 ... 45 5. Data Pendidikan Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2002 Jumlah Sekolah, Murid,

Dan Guru ... 46 6. Daftar Nama-nama Partai Yang Memperoleh Kursi Pada Pemilihan Umum

Legislatif Tahun 2004 Kabupaten Aceh Tenggara ... 52 7. Database Calon Kepala Daerah Dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Aceh

Tenggara Tahun 2006 ... 53 8. Data Pemilih Tetap Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2006 ... 63 9. Rekapitulasi TPS & KKPS Per Desa Kabupaten Aceh Tenggara Tahun

2006 ... 64 10.Data Penduduk Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2006 ... 65 11.Hasi Perolehan Suara Rekapitulasi Dari KKPS Se Kabupaten Aceh Tenggara

(10)

Daftar Lampiran

1. Rekapitulasi hasil Penghitungan Suara Pemilihan Bupati/Wakil Bupati Aceh Tenggara Oleh KIP Provinsi NAD 2006.

2. Daftar Jumlah Pemilih Tetap (DPT) Pada Pilkadasung Gubenur/Wakil Gubenur, Bupati/Wakil Bupati Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2006.

(11)

ABSTRAKSI

Konflik diartikan sebagai suatu pertentangan, pertikaian dan perkelahian. Konflik biasanya terjadi didalam memperebutkan jabatan atau kedudukan. Begitu juga halnya dengan Pilkada, karena Pilkada merupakan pesta lokal bagi Daerah-daerah yang pelaksanaanya dilakukan setiap lima (5) tahun sekali yang bertujuan untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung dan demokratis.

Elit Politik Lokal merupakan seseorang yang menduduki jabatan-jabatan politik dieksekutif dan legislatif yang dipilih melalui Pemilu dan dipilih dalam proses politik yang demokratis di tingkat lokal. Elit politiknya seperti: Gubenur, Bupati, Walikota, Ketua DPRD, dan pemimpin-pemimpin partai politik.

Konflik yang terjadi pada pilkada langsung di Kabupaten Aceh Tenggara merupakan konflik dalam bentuk rivalitas, persaingan dan pertentangan yang sudah tampak dari awal proses lambatnya pembentukan KIP Kabupaten Aceh Tenggara dan dan Pengusungan Bakal Calon Kepala Daerah.

Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode deskriptif, dengan pendekatan “kualitatif” yang suatu metode dalam meneliti individu maupun kelompok masyarakat, sistim pemikiran maupun suatu peristiwa pada masa tertentu.

Dari penelitian ini dapat dikatakan bahwa konflik yang terjadi antara Drs. H. Armen Desky dengan Ir.H. Hasanuddin B. MM. pada Pilkada langsung di Kabupaten Aceh Tenggara menunjukan adanya bentuk pertentangan antara tiga (3) kekuatan politik utama. Pertama, Adanya pertentangan antara calon itu sendiri, Kedua, Adanya pertentangan antara kekuatan partai politik. Ketiga, Adanya pertentangan antar kelompok yang berimbang kekuatanya.

(12)

BAB I

KONFLIK ELIT POLITIK DALAM PEMILIHAN KEPALA DAERAH KABUPATEN ACEH TENGGARA SECARA LANGSUNG TAHUN 2006

A. Latar Belakang

Indonesia sebagai sebuah negara yang dalam proses menuju suatu negara demokrasi yang lebih baik. Dengan keanekaragaman masyarakat dan kulturalnya mulai dari Sabang sampai Merauke tentunya bukan suatu yang mudah untuk menjadikan negara ini tetap dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kalau kita telusuri dari sejarah terbentuknya Indonesia ini hingga sampai saat ini telah banyak terjadi peristiwa sejarah yang mungkin masih kita ingat. Berbagai rezim kekuasaan pemerintahan telah diterapkan di negara ini sampai pada reformasi saat ini. Ketika krisis moneter, pemerintah saat itu kehilangan nyali mencari jalan keluar dan lemah dalam melakukan restruktur ekonomi, karena adanya perubahan politik. Momen tersebut ternyata telah menimbulkan desakan gerakan arus bawah (people power) yang mendorong untuk bergulirnya reformasi di Indonesia dalam segala bidang. Pasca rezim Orde Baru, bersamaan dengan desakan pembentukan lembaga-lembaga yang memiliki trust yang kuat, sehingga muncul dan hadirnya lembaga-lembaga baru yang melakukan tugas penting proses politik seperti, Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden.

(13)

masalah tersendiri. Menyadari hal itu, tuntutan penyelenggaraan pemilihan yang harus sesuai dengan tenggang waktu yang ditetapkan dan desakan arus bawah reformasi kekuasaan, berbagai masalah teknis, yang harus dilakukan oleh KPU. Di sisi lain, kesuksesan penyelenggaraan pemilu seolah-olah terlepas dari kesuksesan sebuah pekerjaan besar. Namun dalam sejarah politik Indonesia semua warga memiliki hak dan kewajiban dan harus mempertanggungjawabkan masalah-masalah lain, yang berhubungan dengan hukum.

Dalam Pemilihan Kepala Daerah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, pemerintah memberikan kewenangan pada Komisi Independen Pemilihan (KIP) sebagai penyelenggara Pemilihan Kepala Daerah secara langsung untuk Gubernur/Wakil Gubernur, Bupati/Wakil Bupati dan Walikota/Wakil Walikota melalui sistem pemilihan langsung di Nanggroe Aceh Darussalam yang baru saja lepas dari konflik yang berkepanjangan. Pemilihan kepala daerah diidealkan memiliki tingkat kredibilitas yang benar-benar legitimasi untuk diterima umum, selanjutnya akan melahirkan proses serta mekanisme demokrasi berdasarkan aspirasi rakyat era reformasi. Semangat yang membara tersebut muncul karena pengalaman pemilu sejak tahun 1971 sampai 1997, dimana sistem demokrasi dalam pemilu tersebut diwarnai dengan berbagai kecurangan. Baik dalam seleksi sistem calon perwakilan serta percaturan partai politik yang penuh intrik, dimana kolaborasi elit politik atas nama rakyat sering dijadikan alat dan korban untuk mempertahankan kekuasaan.

(14)

politik. Sekarang dalam era reformasi hal seperti itu telah dijauhi oleh masyarakat. Sehingga sikap kekritisan masyarakat terhadap mekanisme penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah menjadi semakin peka dan sensitif. Maka tidak heran kalau pemilihan kepala daerah di Aceh penuh dengan wacana kritis dan menjadi perhatian banyak pihak, baik dalam maupun luar negeri untuk mencermati gerak-gerik lembaga-lembaga penyelenggara pesta demokrasi ini. Hal tersebut menjadi alasan rasional bila terjadi ketimpangan dan kecurangan dalam tahap proses pelaksanaannya.

Aceh sebagai bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dimana masyarakat Aceh memiliki budaya yang berbeda dengan masyarakat Indonesia pada umumnya. Perbedaan ini terlihat dalam tingkah laku, pola berbicara, adat istiadat, sopan santun dalam bertamu dan budaya ketika menjamu tamu. Berbedanya budaya yang satu dengan yang lain menunjukan bahwa bangsa Indonesia telah menyimpan kekayaan budaya yang luar biasa yang perlu dilestarikan. Untuk melestarikan budaya yang tersimpan dalam masyarakat Aceh , seseorang harus menyempurnakan diri tinggal beradaptasi dengan mereka. Budaya religius telah tertanam dari sejak zaman dahulu sehingga Aceh sampai saat ini disebut sebagai Serambi Mekah.

(15)

dan tingkat kesejahteraan masyarakat yang jauh menurun dari daerah-daerah di Indonesia ini. Kemiskinan menempati urutan ke-4, tingkat pendidikan jauh tertinggal disebabkan karena konflik yang berkepanjangan. Belum lagi ditambah bencana tsunami, banjir bandang yang terjadi di aceh tenggara lengkap sudah penderitaan rakyat Aceh.

Perdamaian menjadi harapan besar bagi masyarakat. Setelah menempuh berbagai cara, pada akhirnya dicapai kata sepakat yang tertuang dalam MoU atau Nota Kesepahaman antara Pemerintah Republik Indonesia dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada tanggal 15 Agustus 2005 di Helsinki, Finlandia. MoU Helsinki ini merupakan cikal bakal terjadinya perubahan di Nanggroe Aceh Darussalam di masa depan. Perjanjian ini menjadi awal bagi masyarakat Aceh untuk bangkit dari ketertinggalan dan keterpurukan dengan daerah lain. Mou Helsinki merupakan amanah yang harus dijalankan baik itu pemerintah republik Indonesia maupun Gerakan Aceh Merdeka (GAM) serta masyarakat Aceh khususnya untuk duduk bersama membangun daerah kembali.

(16)

Pemilihan kepala daerah yang satu ini memang berbeda dengan daerah yang lain, dimana memiliki keistimewaan dan fenomena yang lain. Baru mungkin kita lewati pesta demokrasi ditingkat lokal khususnya Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Ini merupakan pemilihan kepala daerah yang terbesar di Indonesia. Dimana dilaksanakan di 19 kabupaten/kota. Pemilihan kepala daerah yang pertama dilakukan secara langsung oleh rakyat Aceh. Ini artinya, masyarakatlah yang menentukan masa depan daerah dan pemimpinnya. Dalam kurun sejarah Aceh merupakan daerah modal bagi Indonesia. Tetapi keistimewaan dan kekhususan yang diberikan ternyata belum bisa menyentuh hati rakyat.1

Melaksanakan pemilihan kepala daerah secara langsung setelah MoU Helsinki dan tsunami, banjir bandang merupakan tantangan yang paling berat. Karena sumber daya manusia dan infrastruktur di beberapa daerah hancur. Apalagi kota Banda Aceh yang paling terparah sehingga terpaksa masyarakat mengungsi di barak-barak pengungsian sampai pada saat ini. Walaupun sebenarnya tidak ada pengalaman di negeri ini membangun demokrasi pasca konflik. Oleh karena itu, kita sangat bersyukur karena partisipasi masyarakat dalam menyambut pemilihan kepala daerah ini cukup tinggi. Berdasarkan data yang diperoleh oleh beberapa lembaga swadaya masyakat (LSM)/NGO bahwa tingkat partisipasi masyarakat secara umum mencapai 79,9 %. Ini merupakan hal yang sangat membanggakan dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia ini.

2

1

Undang-Undang No 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, Anggota IKAPI, Fokus Media, Bandung,2006,hal.52

2

Newsletter Komisi Independen Pemilihan (KIP), edisi VII, 1-5 Januari 2007

(17)

yang selama ini terjadi. Terkait dengan penyelesaian konflik vertikal dan horizontal, pilkada langsung menjadi relevan dan bisa menjadi jalan keluar dalam rangka demokrasi yang damai. Pemilihan langsung akan menjadi barometer dari variasi model demokrasi yang diterapkan di Indonesia guna menyeimbangkan kepentingan pemerintah pusat dan daerah di satu sisi, sekaligus memberi peluang bagi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai kekuatan politik di Aceh.

Setelah beberapa lama RUU (Peraturan Aceh) PA disahkan menjadi Undang-Undang No.11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, pemilihan daerahpun ditetapkan pada 11 Desember 2006 lalu. Lamanya perjalanan menuju pemilihan kepala daerah tidak hanya membuat partai politik , pemilih, maupun penyelenggara pilkada berdebar-debar. Masyarakat internasionalpun dibuat ketakutan, karena ini juga merupakan bagian integral dari proses damai tersebut. Pemilihan kepala daerah yang ini memang luar biasa dari segi aturan dan penuh dengan keunikan serta keistimewaan yang tidak ada di daerah lain di Indonesia dan hanya ada Aceh. Dari segi aturan main, ada dua hal khusus yang membedakan pemilihan kepala daerah Aceh.

Pertama; penyelenggaraan pemilihan kepala daerah dilaksanakan oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) yang komposisi anggotanya terdiri atas anggota KPUD dan anggota masyarakat. Kedua; dibukanya ruang bagi calon independen untuk maju dalam pemilihan kepala daerah.3

3

Ibid,.hal.54.

(18)

Sebelum keluar UU No.11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, bahwa calon kepala daerah masuk melalui jalur partai politik, gabungan partai politik, sedangkan di Aceh calon non-partai memiliki jalur tersendiri yaitu jalur independen (perseorangan) serta langsung mendaftarkan diri ke Komisi Independen Pemilihan (KIP) sesuai dengan UU No.11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh. Bukan hal yang aneh, jika bursa kandidat begitu banyak dalam pemilihan kepala daerah ini. Partai nasional dalam pemilihan kepala daerah kali ini harus mengakui keunggulan pasangan dari jalur independen. Karena banyak masyarakat yang pada saat ini kepercayaan kepada sebuah partai telah menipis. Ini mungkin disebabkan karena janji-janji partai yang belum terealisasikan dalam pandangan masyarakat. Dan bukan tidak mungkin ini berdampak besar bagi eksistensi dan konstituen partai tersebut dalam pemilu berikutnya.

Walaupun jalur independen hal yang baru bagi kita dalam pemilihan kepala daerah di Indonesia, tetapi telah membuktikan bahwa ternyata kendaraan (partai politik) belum bekerja secara maksimal sesuai dengan fungsinya. Ini berimplikasi pada rendahnya kepercayaan masyarakat pada partai politik dan wakil-wakilnya dengan mengumbar janji pada kampanye. Artinya ini menjadi pelajaran bagi partai politik dalam mengemban amanah dari rakyat dan bahkan sesuai dengan fungsinya dalam mendidik kader-kader calon wakil dan peminpin rakyat yang memiliki kualitas dan kredibilitas yang tinggi di mata masyarakat.

(19)

langsung ini ditetapkan pertama kalinya di Indonesia sejak Juni 2005. Lahirnya gagasan Pilkada Langsung ini sempat menimbulkan pro dan kontra ditengah-tengah kondisi masyarakat yang rindu akan perubahan akan nasip mereka (daerahnya), mungkin selama ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah. Kelompok pro berpandangan bahwa Pilkada Langsung akan memperkecil penyimpangan demokrasi dalam praktek Pilkada DPRD, sebagai jalan masuk bagi demokrasi Politik di Daerah karena dapat mencegah terjadinya Politik Uang (Money politics), memperkecil intervensi pengurus parpol, dan memberikan kesempatan kepada rakyat memilih pimpinan Daerahnya secara objektif.

Sedangkan kelompok kontra beranggapan bahwa Pilkada Langsung merupakan ide dan keputusan prematur yang tidak relevan peningkatan kualitas demokrasi di daerah lebih di tentukan oleh faktor-faktor lain, kita misalkan kulitas DPRD dan kualitas pemilih jauh berbeda dari apa yang kita harapkan. Jadi dengan kata lain kelompok kontra sangat menentang kehadiran Pilkada Langsung ini, karena bisa menimbulkan Euphoria

demokrasi di tingkat lokal.4

Ada juga yang berpendapat bahwa Pemilihan Kepala Daerah Langsung (Pilkada) ini dikatakan sebagai “lompatan demokrasi”. Artinya Pilkada itu bisa bersifat positif dan bisa juga bersifat negatif. Positif disini adalah Pemilihan Kepala Daerah Langsung sebagai sarana demokrasi untuk memberikan kesempatan pada rakyat sebagai infrastruktur politik untuk memilih Kepala Daerah secara Langsung melalui mekanisme pemungutan suara. Hal ini bertujuan memberikan kebebasan kepada rakyat untuk memilih sendiri Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang mereka sukai, tampa adanya paksaan dan intervensi dari pihak manapun. Dalam pengertian negatif sendiri,

4

(20)

Pemilihan Kepala Daerah Langsung sebagai “lompatan demokrasi” yang mencerminkan penafsiran sepihak atas manfaat dari proses Pilkada. Artinya bahwa rakyat bebes untuk melakukan tindakan-tindakan yang bersipat anarki, karena tidak adanya peraturan-peraturan yang mengatur hal itu.5

“Kepala Daerah Tingkat I dan Tingkat II dicalonkan dan di pilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dari sebanyak-banyaknya 5 orang calon yang telah dimusyawarahkan dan disepakati bersama antara Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah/Pimpinan Fraksi-Fraksi dengan Mentri Dalam Negeri. Hasil pemilihan tersebut diajukan oleh DPRD yang bersangkutan kepada Presiden melalui Mentri Dalam Negeri sedikit-dikitnya 2 orang untuk diangkat salah seorang diantaranya”.

Berbicara mengenai Kepala Daerah ada beberapa Undang-undang yang harus diperhatikan: Yang pertama; Undang-undang No.5 tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah, telah terbukti hanya berfungsi untuk menjadikan Pemerintah Daerah sebagai perpanjangan tangan pemerintah belaka. Kontrol yang sangat ketat ini misalnya terlihat pada proses Pemilihan Kepala Daerah dan pembuatan Peratuan Daerah (perda). Hal ini dapat dilihat pada pasal 15 yang menerangkan bahwa:

6

Bagi ahli Pemerintahan Daerah dari Universitas Gajah Mada, Yogyakarta, Waskito Utomo mengatakan, formulasi dan penerapan Otonomi-desentralisasi berdasarkan pada Undang-undang No. 5 Tahun 1974 dilandasi oleh Politik Orde Baru yang berorentasi pada 3 hal, yaitu: Pertama, bagaimana membangun legitimasi sebagai penguasa. Kedua, bagaimana membangun stabilitas demi pembangunan dan Ketiga,

5

Amirudin &A. Zaini Basri, Pilkada Langsung Problem & Prospek Seketsa Singkat Perjalanan Pilkada,

Yogyakarta Pelajar, 2005, hlm. 1-2 6

(21)

bagaimana membangun kekuasaan sebagai Pemerintah Pusat yang mempunyai kewenangan di Daerah-daerah.7

Munculnya UU Nomor 11 tahun 2006 banyak kalangan pihak yang menyatakan bahwa undang-undang ini akan menimbulakan arus re-sentralisasi, tentu tidak semudah itu dapat diterima,. Penguatan demokrasi ditingkat lokal tidak mesti selalu dimakni betapa kuat dan otonominya pemerintah ditingkat lokal, yang sering kali justru hanya membuat elit-elit lokal makin seenaknya sendiri untuk mendemonstrrsikan kekuasaanya itu. Ide untuk melakukan demokrtisi di tingkat lokal sesungguhnya adalah sebuah

Yang kedua: Undang-undang No. 11/2006 tentang Pemerintahan ini lebih memberikan keleluasan Kepada Daerah untuk menyelengarakan Pemerintahan Daerahnya sendiri melalui sistem Otonomi Daerah yang seluas-luasnya. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 7 poin 1 Undang-undang No.11/2006 yang menyebutkan bahwa:

Pemerintah Aceh dan Kabupaten/kota berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam semua sektor publik kecuali urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan pemerintah.

Yang ketiga: UU Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Daerah Aceh Tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, karena banyaknya kejanggalan pasal-pasal yang terdapat didalam UU No. 32/2004, maka dimulailah babak baru dalam rentang sejarah dinamika lokalisme politik di Indonesia. Persoalan dalam kurun waktu satu atau dua dekade lalu seolah hanya sebuah impian, saat ini telah menjadi kenyataan. Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah di pilih langsung oleh rakyat. Ini menunjukan keberhasilan dan kemajuan bagi sistem demokrtisasi di Indonesia, dimana penepatan posisi dan kepentingan rakyat berada di atas segala-galanya dari berbagai kekuatan politik elit yang selama ini dinilai terlampau mendominasi dan terkesan menghegomoni.

7

(22)

gagasan yang muncul berlandas dari pemikiran perlunya mendekatkan dinamika Negara dan dinamika Rakyat. Pada masa desentralisasi, Negara gitu tinggi sementara rakyat berbeda jauh dibawah. Sehingga otonomisasi lokal adalah untuk mendekatkan komunikasi antara Rakyat dan negara (pemerintahan daerah). Pilkada langsung, bila di tinjau dari sudut ini sangatlah sejajar dengan arus demokrtisasi yang sedang berlangsung.

Susilo Utomo8

1. Bagaimankah konflik elit politik yang terjadi pada pilkada langsung di Kabupaten aceh Tenggara Tahun 2006?

di dalam penelitianya yang berjudul Pilkada langsung & kepemimpinan Lokal Di Jawa Tenggah, yang di sampaikan pada Seminar Nasional XIX & Kongres VI “AIPI” Pilkada Langsung & Demokrasi di Indonesia, Batam 22-24 Maret 2005 mengatakan bahwa pengenalan Pilkada secara langsung ini memberikan kesempatan bagi terlaksananya sistim Desentralisasi secara lebih bermakana, karena desentralisasi mampu menyediakan landasan bagi peningkatan kesejahteraan rakyat

(Smith: 1985; Turner and Huylmer: 1997; Peters: 2000). Pelaksanaan Pilkada secara Langsung juga berkaitan dengan krisis perwakilan politik dalam lima tahun terakhir ini, dimana rakyat kurang mempercayai lagi wakil-wakil mereka di lembaga perwakilan

B.Permasalahan

Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas, penulis mencoba merumuskan permasalahan yaitu:

2. Langkah-langkah apa saja yang di perlukan KIP untuk mengatasi konflik Elit politik yang terjadi pada Pilkada Kabupaten Aceh Tenggara Thun 2006?

8

(23)

C. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimanakah konflik elit politik yang terjadi pada pilkada langsung di Kabupaten Aceh Tenggara Tahun 2006.

2. Untuk mengetahui langkah-langkah apa saja yang di perlukan untuk mengatasi konflik elit politik yang terjadi pada pilkada Kabupaten Aceh Tenggara.

D. Manfaat Penelitian

1. Secara Akademis, penelitian ini diharapkan mampu memperkaya penelitian di bidang ilmu sosial dan ilmu politik, khususnya pada mata kuliah Pemerintahan dan Politik Lokal.

2. Secara individu, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan bagi peneliti lain yang ingin meneliti Konflik Elit Lokal dalam Pilkada, khususnya mengenai Konflik Elit yang terjadi dalam Pilkada Kabupaten Aceh Tenggara. 3. Bagi lembaga-lembaga politik seperti KIP dan Parpol, hasil penelitian ini

diharapkan dapat memperbaki stigma-stigma negatif yang berkembang di masyarakat mengenai Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).

E. Dasar-Dasar Teori

(24)

sistematis tentang suatu fenomena pada umumnya.9

Konflik berasal dari bahasa latin, conflictus yang artinya pertentangan.

Berdasarkan difinisi di atas dapat disimpulkan bahwa teori adalah sebuah konsep sistematis yang mengandung pengertian. Karena penelitian ini adalah menganalisis suatu konflik elit politik lokal dalam pilkada, maka penelitian mencoba menggunakan teori-teori mengenai konflik elit lokal, Pilkada menurut UU. No.32/2004 & UU.No.11/2006, Pilkada sebagai demokratisasi politik lokal.

E.1. Teori Konflik

10

Depenisi konflik menurut para ahli sangatlah bervariasi karena para ahli melihat konflik dari berbagai sudut pandang atau perspektif yang berbeda-beda . Akan tetapi secara umum konflik11

9

. Undang-Undang No. 11 Tahun 2006, Tentang Pemerintahan Aceh.Dan Undang-undang RI No.32/2004,

Tentang Otonomi Daerah

10

Poerwordaminto, W. J.S Kamus Umum Bahasa Indonesia Jakarta: Balai Pustaka, 2000, hal.461. 11

Nasikun, Dr, Sistem Sosial Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995, hal. 21.

(25)

juga mengalahkan pihak lain (Zero- Sum Conflict) seperti kelas konflik yang terjadi pada masyarakat industri.12

Menurut Webster, istilah “Conflict” di dalam bahasa aslinya suatu perkelahian, peperangan atau perjuangan yaitu berupa konfrontasi fisik antara beberapa pihak. Kata ini kemudian berkembang dengan masuknya ketidaksepakatan yang tajam atau oposisi atas berbagai kepentingan, ide, dan lain-lain. Dengan kata lain, istilah tersebut sekarang juga menyentuh aspek piskologis di balik konfrontasi fisik yang terjadi, selain konfrontasi itu sendiri. Secara singkat, istilah “conflict” menjadi begitu melus sehingga beresiko kehilangan statusnya sebagai sebuah konsep. Dengan demikian konflik di artikan sebagai persepsi mengenai perbedaan kepentingan ( perceived of interest), atau suatu kepercayaan bahwa aspirasi pihak-pihak yang berkonflik tidak dapat di capai secara simultan.13

Secara umum ada beberapa teori terjadinya konflik antara lain: Pertama, Konflik adalah merupakan suatu unsur sosial yang alami ( K. Lorenz ).

14

Kedua, Dari sudut pandang pisikologi sosial, konflik berasal dari pertentangan antara dorongan dan motivasi fisik manusia di satu sisi dan tuntutan norma di sisi lain. Ketiga, Dahrendrof15

12

Ralf Dahrendorf, Class and Class Conflict in Indonesia Sosieity, Standfod: Standfod University Press, 1959, hal. 210-222. (Lihat Decki Natalis Pigay Bik, Op. Cit., Evolusi dan Sejarah konflik Politik di Papua. Hal. 68).

13

Dean G. Pruit& Jeffrey Z. Rubin, Op. Cit., hal. 9. 14

Konrad Lorenz Lihat Op.Cit., Peter Schoder, dalam Strategi Politik, hal. 359. 15

Raif Dahrendorf, lihat Peter Schroder dalam Strategi politik, Jakarta: Friendrich Naumanniftung, 2003, hal.359.

(26)

sosial di situ akan terdapat konflik. Keempat, Dari sisi Marxisme, konflik di sebabkan oleh kepemilikan harta benda.16

16

Raif Dahrendorf, lihat Peter Schroder dalam Strategi politik, Jakarta: Friendrich Naumanniftung, 2003, hal.359.

Ada banyak teori mengenai terjadinya konflik antara lain: Pertama, Teori hubungan masyarakat yaitu menganggap bahwa konflik disebabkan oleh olarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok yang berbeda dalam suatu masyrakat. Kedua, Teori Negoisasi Prinsip yaitu menganggap bahwa konflik disebabkan oleh posisi yang tidak selaras dan perbedaan pandangan tentang suatu hal yang oleh.

Ketiga, Teori kebutuhan Manusia berasumsi bahwa kinflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia yang berupa kebutuhan fisik, mental, sosial, yang tidak terpenuhi atau di halangi. Keempat, Teori identitas berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya suatu atau penderitaan di massa lalu yang tidak di selesaikan.

(27)

Sedangkan penyebab konflik menurut Paul Conn adalah karena dua hal, Pertama,

kemajemukan horizontal yakni masyarakat secara cultural seperti: suku, ras, agama, antar golongan, dan bahasa dari masyarakat majemuk secara horizontal sosial dalam arti perbedaan pekerjaan dan profesi. Kedua, Kemajemikan vertikal seperti struktur masyarakat yang terpolarisasikan menurut pemilikan kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan.17

Konflik elit politik terbentuk karena adanyan penguasa politik. Karena tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai penguasa politik artinya, tidak ada masyarakat yang tidak mempunyai konflik politik. Dalam hal ini konflik politik yang terutama adalah konflik antar penguasa politik dalam melihat objek kekuasaan politik. Konflik dapat terjadi karena salah satu pihak memiliki aspirasi tinggi atau karena alternativ yang bersifat dinilai sulit didapat. Konflik dapat juga didepenisikan sebagai suatu perbedaan persepsi mengenai kepentingan bermanfaat untuk meramalkan apa yang di lakukan orang. Hal ini di sebabkan persepsi yang biasanya mempunyai dampak yang bersifat segera terhadap perilaku.

E.1.1. Pengertian konflik

18

Secara umum ada dua tujuan dasar konflik yakni, mendapatkan dan/atau mempertahankan sumber-sumber. Tujuan konflik untuk mendapatkan sumber-sumber merupakan ciri manusia yang bersifat materil-jasmaniah untuk maupun spiritual-rohaniah untuk dapat hidup secara layak dan terhormat dalam masyarakat. Yang ingin diperoleh manusia meliputi hal-hal yang sesuai dengan kehendak bebas dan kepentinganya. Tujuan

17

Paul Conn, Conflict and Decision Making, An Induction to Political Science, New York: Harper and Row Publisher, 1971 dalam Decki Natalis Pigay Bik “Evolusi dan Sejarah Konflik Politik di Papua”, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2000, hal. 70.

18

(28)

konflik untuk mempertahankan sumber-sumber yang selama ini sudah dimiliki juga merupakan kecenderungan hidup manusia. Manusia ingin memperoleh sumber-sumber yang menjadi miliknya, dan berupaya mempertahankan dari usaha pihak lain untuk merebut atau mengurangi sumber-sumber tersebut. Yang ingin di pertahankan bukan hanya harga diri, keselamatan hidup dan keluarganya, tetapi juaga wilayah/daerah tempat tinggal, kekayaan, dan kekuasaan yang dimiliki. Tujuan mempertahankan diri tidak menjadi monopoli manusi saja karena binatang sekalipun memiliki watak untuk berupaya mempertahankan diri. Maka dengan itu dirumuskan tujuan konflik politik sebagai upaya untuk mendapatkan dan/atau mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting.19

Konflik merupakan sebagian dari kehidupan manusi yang tidak lenyap dari sejarah. Selama manusia masih hidup, konflik terus ada dan tidak mungkin manusia menghapus konflik dari dunia ini, baik konflik antar individu dengan individu, individu dengan kelompok maupun kelompok dengan kelompok yang ada dalam lingkup masyarakat. Konflik senantiasa mewarnai kehidupan masyarakat yang mencakup aspek politik, sosial, ekonomi, budaya dan berbagai aspek lainnya.

E.1.2.Bentuk-Bentuk Konflik

20

Meskipun sejak zaman dahulu kala orang telah tertarik untuk meneliti mengenai konflik, abad kesembilan belas telah membuat geberakan yang dramatis dan enerjik, yang dampaknya masih dapat dirasakan sampai sekarang. Charles Darwin tertarik mengenai

E.1.3. Kelebihan dan Kelemahan Konflik

19

Ramlan Surbakti, Op.Cit., hal . 155 20

(29)

perjuangan yang dilakukan suatu spesies untuk bertahan hidup(“survivel of the fittest”).

Sigmund Freud mempelajari tentang perang antarberbagai kekuatan psikodinamika untuk mengontrol Ego yang terjadi di dalam diri seseorang. Dan Karl Marx mengembangkan analisis politis dan ekonomis berdasarkan asumsi bahwa konflik adalah bagian yang terletak dalam sebuah masyarakat, yang mencerminkan filosofi dialektis yang menjadi pegangannya.21

Meskipun konflik dapat ditemukan di hampir setiap bidang interaksi manusia, Darwin, Freud, dan Mark telah membuat hal ini menjadi jelas dan meskipun berbagai episode konflik merupakan peristiwa-peristiwa paling signifikan dan pantas menjadi berita dalam kehidupan manusia, tetapi anggapan bahwa setiap interaksi perlu melibatkan konflik adalah salah. Orang pada umumnya mampu bergaul dengan baik dengan orang-orang, kelompok, maupun organisasi lain, pergaulan itu mereka lakukan dengan penuh perhatian, kemauan untuk membantu, dan keterampilan sedemikian rupa sehingga hanya sedikit terjadi konflik di dalamnya. Bilamana konflik itu memang tejadi, maka lebih sering konflik itu dapat diatasi daripada tidak, bahkan dapat diselesaikan dengan sedikit masalah dan dapat memuaskan semua pihak. Beberapa fungsi positifnya sebagi tambahan bagi apa yang telah di kemukan oleh Darwin, Frued, dan Marx.

Dengan menarik kesimpulan dari hasil-hasil pemikiran para pemikir abad kesembilan belas, bahwa konflik selalu bersifat merusak, sebenarnya kita kehilangan inti dari hasil kerja mereka. Dan ketiganya juga melihat adanya konsekuensi merugikan maupun menguntungkan yang dapat muncul dari terjadinya konflik.

Kelebihan konflik

21

(30)

Pertama, konflik adalah persemaian yang subur bagi terjadinya perubahan sosial.

Kedua, dari konflik sosial adalah tersebut memfasilitasi tercapainaya rikinsilasi atas berbagai kepentingan. Ketiga atas dasar kedua fungsi pertama tadi, konflik dapat mempercepat persatuan kelompok.

Kelemahan konflik adalah

Kita telah menyaksikan banyak perubahan sosial yang tidak di sertai terjadinya konflik. Di samping itu, ketika konflik memeng terjadi, biasanya dapat di atasi tampa sakit hati maupun dendam, bahkan di sertai sejumlah fungsi positif. Sekalipun demikian, konflik benar-benar mampu menimbulkan malapetaka di masyrakat.

Ketika orang menangani konflik dengan contengding, dimana masing-masing berusaha agar dapat mungkin pihak lawanlah yang berkorban, maka sejumlah tindakan dan tindakan balik yang dilakukan justru akan cenderung meningkatkan intensitas konflik. Kami menyebut meningkatan intensitas ini sebagai eskalasi. Eskalasi konflik diliat meskipun bukan berati tidak mungkin untuk di balik. Pertama, taktik contentiousi

(31)

konflik yang mengalami eskalasi beranjak dari kepentingan awal salah satu pihak untuk mendapatkan yang terbaik, yang kemudian berkembang kearah penyerangan terhadap pihak lain dan pada akhirnya kearah memastikan dari bawah pihak lain lebih menderita daripada dirinya. Kelima, jumlah pihak yang berkonflik cenderung meningkat, pertama-tama hanya antara saya dan anda, kemudian antara keluarga batih kita, lalu cepat atau lambat akan melibatkan seluruh keluarga besar kita. Sekali konflik mulai mengalami eskalasi, maka transformasi yang menyertainya akan sulit untuk di de-eskalasikan.

E.2. Teori Elit

Kajian ini membagi dua katagori elit22

A. Elit Politik Lokal merupakan seseorang yang menduduki jabatan-jabatan politik (kekuasaan) di eksekutif dan legislatif yang dipilih melalui pemilihan umum dan dipilih dalam proses politik yang demokratis ditingkat lokal. Mereka menduduki jabatan politik tinggi ditingkat lokal yang membuat dan menjalankan kebijakan politik. Elit polotiknya seperti: Gubenur,Bupati, Walikota, Ketua DPRD, dan pimpinan-pimpinan partai politik.

dalam konteks lokal yaitu elit politik lokal dan elit non politik lokal.

22

(32)

B. Elit Non Politik Lokal adalah seseorang yang menduduki jabatan-jabatan strategis dan mempunyai pengaruh untuk memerintah orang lain dalam lingkup masyarakat. Elit non politik ini seperti: elit keagamaan, elit organisasi kemasyarakatan, kepemudaan, profesi dan lain sebagainya.

Perbedaan tipe elit lokal ini diharapkan selain dapat membedakan ruang lingkup mereka, juga dapat memberikan penjelasan mengenai hubungan antar-elit politik maupun elit mesyarakat dalam proses Pemilihan Kepala Daerah di tingkat lokal.

Dalam sirkulasi elit, konflik bisa muncul dari dalam kelompok itu sendiri maupun antarkelompok pengusaha maupun kelompok tandingan. Sirkulasi elit menurut Pareto terjadi dalam dua kategori yaitu: Pertama, pergantian terjadi antara kelompok-kelompok yang memerintah sendiri, dan Kedua, pergantian terjadi di antara elit dengan penduduk lainya. Pergantian model kedua ini bisa berupa pemasukan yang terdiri atas dua hal yaitu: (a). Individu-individu dari lapisan yang berbeda kedalam kelompok elit yang sudah ada, dan atau (b). Individu-individu dari lapisan bawah yang membentuk kelompok elit baru dan masuk kedalam kancah perebutan kekuasaan dengan elit yang sudah ada.23

Sementara Mosca melihat bahwa pergantian elit terjadi apabila elit yang memerintah dianggap kehilangan kemampuanya dan orang luar di kelas tersebutu menunjukan kemampuan yang lebih baik, maka terdapat segala kemungkinan bahwa kelas yang berkuasa akan dijatuhkan dan digantikan oleh kelas penguasa yang baru.

E.2.1.Pengertian Elit

24

23

S.P. Varma,Teori Politik Modern, Jakarta: Rajawali Pres, 1987, hlm. 203 24

(33)

Dalam sirkulasi elit yang disebutkan oleh masco, terutama karena terjadinya “ penjatuhan rejim,” konflik pasti tidak terhindarkan, karena masing-masing pihak akan menggunakan berbagai macam cara. Duverger menjelaskan bahwa dalam konflik-konflik politik sejumlah alat digunakan seperti organisasi dan jumlah, uang (kekayaan), sistem, militer, kekerasan fisik, dan lain sebagainya.25

Untuk memetakan perubahan politik di masyarakat antarwaktu misalnya, kita bisa meminjam kategori teoritik dari Amitai Etzionis (1961) yang membagi masyarakat atau massa kedalam tiga kategori besar. (1) massa moral; (2) massa kalkulatif, dan (3) massa alienatif.

Tata cara mekanisme sirkulasi elit ini akan sangat menentukan sejauh mana sistem politik memberikan karangka bagi terujutnya pergantian kekuasaan di suatu Negara. Dalam konteks pergantian seperti itu, kenyataannya perosesnya tidak selalu mulus, apalagi dalam konteks politik Internasional yang menunjukan sifat-sifat ketidaknormalan. Meskipun ada tata cara umum sebagaimana di atur dalam UU No.22/1999, tetapi masing-masing DPRD mempunyai tata cara dan mekanisme masing-masing dalam pergantian elit.

Dalam memahami konstelasi dan rivalitas politik elit, perlu juga di pahami tentang fenomena dan perilaku massa.

E.2.2.Klasifikasi Elit

26

25

Varma, ibit, hlm. 275. 26

Amitai Etzioni, A Comparative Analysis of Complex Organization, (New York: Free Press, 1961).

(34)

dihadapi oleh masyarakat di sekitarnya. Massa ini akrap dengan modenitas, sebagian besar menepati lapisan tengah masyarakat, memiliki sifat kosmopolit (berpandangan mendunia) dan punya perhitungan (kalkulasi) terhadap berbagai interaksi. Massa alienatif adalah massa yang terlienasi (terasingkan) dan pasrah pada mobilitisi politik, dan pada saat yang sama tidak menyadari sepenuhnya akibat-akibat mobilisasi politik itu bagianya dan bagi proses politik secara umum. Bagaimanapun karakteristik konfliknya, kecenderungan untuk terjadinya “integrasi” dalam rangka untuk mengakhiri konflik pasti terjadi. Oleh karena itu, gagasan pendekatan baru bahwa sistem politik demokrasi dapat digunakan sebagai upaya penyelesaian konflik dan dapat digunakan sebagai pisau analisis.27

Dalam menganalisa kedudukan elit dalam masyarakat, elemen yang perlu di perhatikan adalah konsep kekuasaan. Hal ini disadari bahwa elit dan kekuasaan merupakan dua variable yang tidak dapat dipisahkan, karena elit adalah merupakan sekelompok orang yang memiliki sumber-sumber kekuasaan dan sebaliknya. Kekuasaan

E.2.3. Elit Politik

Elit merupakan seseorang yang menduduki jabatan-jabatan politik (kekuasaan) di eksekutif dan legislatif yang dipilih melalui pemilihan umum dan dipilih dalam proses politik yang demokratis ditingkat lokal. Mereka menduduki jabatan politik tinggi ditingkat lokal yang membuat dan menjalankan kebijakan politik. Elit polotiknya seperti: Gubenur,Bupati, Walikota, Ketua DPRD, dan pimpinan-pimpinan partai politik

27

(35)

merupakan salah satu unsur terbentuknya elit. Elit politik adalah sekelompok orang yang memiliki kekuasaan politik.28

Berbagai pembaharuan dalam sistem pemilu tersebut menandai babakan baru bagi proses demokratisasi yang lebih substantif dan partisipatif di Indonesia. Dalam kaitan dengan pemilihan kepala daerah secara langsung (Pilkadasung), pembaruan ini sangatlah penting artinya dalam mengupayakan sitem rekrutmen Kepala Daerah yang lebih demokratis, partisipatoris, jurdil dan lebih kontekstual sesuai dengan kondisi yang khas di tiap-tiap daerah. Melalui pilkadasung diharapkan dapat disaring Kepala daerah yang lebih akuntabel dan peka terhadap tuntutan rakyat di daerah karena merekalah yang memilih pemimpinnya secara langsung.

E.3.Politik Lokal

Pemilu 2004 baru-baru ini telah melahirkan satu terobosan politik yang sangat signifikan bagi pendalaman proses demokrtisasi di Indonesia, yaitu pembaharuan sistem perwakilan melalui anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan juga memilih Presiden dan wakil Presiden secara langsung. Selain anggota Dewan dan pasangan Presiden-Wapres, saat ini pemilihan langsung juga diberlakukan untuk kepala daerah. Tak kurang dari 33 gubenur, 349 Bupati, dan 91 Walikota akan dipilih oleh rakyatsecara langsung diberbagai Provinsi, Kabupaten., dan Kota di Indonesia pada tahun 2005 ini.

28

(36)

Dengan begitu, maka pilkadasung diharapkan dapat menetralisir struktur oligarkihs dalam struktur ekonomi-politik dan sitem kepartaian nasioanal yang ditengarai cenderung makin menguat pasca gerakan reformasi(Robinson dan Hadiz 20004).29

Meskipun demikian, berbagai perubahan politik di atas juga dihadapkan pada sejumlah tantangan yang tak kalah mendasarnya. Salah satunya adalah sejauh mana proses pemilihan secara langsung ini mampu menjabatani dan menjamin bentuk-bentuk dan kelembagaan partisipasi yang hidup di tengah masyarakat, ataukah justru malah terjebak pada bentu-bentuk fiodalisme politik (baru maupun lama) di daerah. Terkait dengan tantangan ini adalah masih adanya hambatan bagi lahirnya pimpinan eksekutif dari figure-figur yang mekar di masyarakat dan non-partisan. Didalam undang-undang No.11/2006 tentang Pemerintahan Derah Aceh pemelihan kepala daerah dilakukan secara langsung artinya kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. Jadi yang di maksud kepala daerah adalah kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis.

Pada saat yang sama, dari sisi pelembagaan partisipasi politik, sitem itu juga akan membuka peluang bagi kemungkinan tercapainya bentuk-bentuk kontrak politik dan kelembagaan komunikasi serta kontrol politik yang lebih permanen antara konstituen dengan puncak pimpinan eksekutuf yang dipilihnya.

Daniel S. Salossa, Ibid, hlm.15.

(37)

Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, menyatakan antara lain bahwa DPRD tidak memiliki tugas dan wewenang untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, maka pemilihan secara demokratis dalam UU. Ini dilakukan secara rakyat secara langsung dan Kepala Daerah dalam melaksankan tugasnya dibantu oleh seorang Wakil Kepala Daerah, dan perangkat Daerah.

E.3.2. Bentuk-Bentuk Politik Lokal

Terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No 20/2007 Tentang Partai politik lokal di Aceh menjadi kabar baik bagi mereka yang ingin mengartikulasikan kepentingan politiknya secara konstitusional, damai dan demokratis di Aceh.31

Dari dimensi, politik partai politik lokal merupakan saluran demokratik dari perlawanan politik yang selama ini muncul di Aceh. Ada hak-hak politik, ekonomi dan sosial rakyat Aceh yang terabaikan sehingga menimbulkan reaksi keras khas Aceh : perang. Pembentukan partai politik lokal ini menegaskan bahwa rakyat Aceh bukan hanya bisa memperjuangkan hak-haknya melalui perjuangan bersenjata, tetapi siap juga hidup dalam aturan-aturan demokrasi. Kehadiran partai lokal penting karena ia mendekatkan dua jarak yang selama ini tidak terpertemukan, yaitu jarak kepentingan antara konstituens dengan partai, dan jarak ideologis antara kelompok perlawanan di Aceh dengan pemerintah.

Kendati PP tersebut terbit terlambat karena para penggagas partai lokal telah melakukan berbagai persiapan jauh-jauh hari sebelumnya, keberadaan PP tersebut akan menjadi legal standing penting bagi pembentukan partai lokal. Lalu masalahnya, akankah partai lokal meraih kejayaan politik di Aceh? Dan bagaimana strategi partai nasional menyikapi situasi ini?

31

(38)

Dimensi lokalitas partai lokal berfungsi untuk mendekatkan jarak kepentingan pertama. Selama ini partai lokal nasional seperti hidup dalam sistem kedekatan imajiner dengan para konstituens di akar rumput. Elit partai baik di level nasioal maupun level lokal hanya menjadi juru bicara bagi dirinya sendiri dan tidak membawa kepentingan rakyat secara aspiratif. Publik lebih mengenal partai lokal nasional dan tokoh-tokohnya karena konflik internal atau skandal, bukan karena program partai yang mencerdaskan, mensejahterakan dan mencerahkan. Jarak ini terlembaga selama puluhan tahun dalam sistem politik nasional yang mengabaikan keterwakilan aspirasi politik. Bagi elit partai nasional, pengurus pusat atau DPP bagaikan raja yang titah-titahnya harus dipatuhi. Keputusan DPP tidak bisa dilawan oleh pengurus-pengurus lokal karena bisa berpeluang terjadinya pembekuan kepengurusan di daerah. Intervensi-intervensi DPP bahkan kadang-kadang mengorbankan para politisi lokal yang memiliki akar kekuasaan di daerahnya.

(39)

politik tersebut hanya bisa diabsahkan melalui proses pemilihan dan pelembagaan politik kelompok-kelompok tersebut dalam sistem politik yang ada. Memang terdapat kemungkinan buruk bahwa kelompok-kelompok perlawanan yang telah terlembaga secara politik bisa menukar alat perjuangan politik mereka dengan terus menerus memperkuat otonomi politik hingga munculnya komunitas politik baru yang merdeka, tetapi kemungkinan tersebut bisa diantisipasi dengan memperkuat komitmen pemerintah Indonesia untuk membangun Aceh secara bermartabat dan berkeadilan.

E.3.3. Fungsi politik Lokal

Secara teoritis, partai politik berperan sebagai sarana untuk mengoperasionalkan fungsi-fungsi politik, seperti sosialiasi politik, rekrutmen politik, artikulasi dan agregasi kepentingan politik masyarakat. Fungsi-fungsi ini terkait dengan kedudukan partai politik sebagai salah satu penghuni sistem politik. Sistem politik sendiri menurut pendekatan Fungsional Estonian terdiri dari dua sub sistem yaitu, infrastruktur politik dan suprastruktur politik. Dalam pengertian sederhana, infrastruktur politik merupakan suasana kehidupan politik di tingkat masyarakat yang mencerminkan dinamika organisasi sosial politik di luar pemerintahan. Sementara suprastruktur politik merupakan suasana kehidupan politik di dalam pemerintahan dan berkaitan dengan peran dan fungsi lembaga-lembaga pemerintahan.

(40)

akan melakukan transformasi menjadi gerakan politik dengan membentuk partai-partai politik. Suasana baru ini disambut dengan antusias oleh banyak kalangan karena mereka melihat bahwa diantara agenda penting di Aceh adalah merawat perdamaian dan menyuburkan demokrasi. Perdamaian tidak bisa langgeng ketika kelompok kritis dan strategis tidak bisa mendapatkan ruang untuk mengartikulasikan kepentingan politiknya.32

Sedangkan desetralisasi berasal dari bahasa latin yaitu de yang berarti lepas, dan

centrum yang berarti pusat. Dengan demikian Desentralisasi berarti dilepas atau lepas E. 3.4. Pilkada Menurut UU No.32/2004 & UU.11/2006

Berbicara pilkada ada dua yang harus di perhatiakan , yaitu:

1) Undang-undang No. 32Tahun 2006 tentang pemerintahan daerah.

Undang – undang No. 32/2006 tentang pemerintahan daerah melahirkan sebuah gagasan Otonomi Daerah secara luas kepada Kabupaten/Kota yang didasarkan pada program disentralisasi. Otonomi (Autonomie) berasla dari bahasa Yunani yaitu kata auto

yang berarti sendiri & nomos yang berarti Undang-undang (TB. Silalahi,1996, mengutip kamus Petitlarousse). Dengan demikian Otonomi adalah “ pemberian hak dan kekuasaan perundang-undangan untuk mengatur rumah tangganya sendiri kepada instansi, perusahan Daearah. Menurut UU No.32/2006, Otonomi Daerah didefinisikan sebagi “kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasrkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.

32

(41)

dari pusat. Davit Osborne dan Ted Gaebler dalam bukunya yang terkenal “Reinventing Goverment” (hlm.250), mengatakan ada empat keuntungan dari desentralisasi, yaitu:

1. Desentralisasi jauh lebih fleksibel dari pada sentralisasi, oleh karena itu Desentralisai dapat merespon dengan cepat perubaha-perubahan lingkungan dan kebutuhan masyarakat.

2. Desentralisasi jauh lebih efektif dari pada sentralisasi. 3. Desentralisasi jauh lebih inovatif dari pada sentralisi.

4. Desentralisasi lebih meningkatkan moral, komitmen dan produktifitas. Di dalam UU No.22/1999 bahwa Kepala Daerah dipilih oleh DPRD bukan dipilih oleh rakyat, hal ini dapat dilihat dalam Pasal 35 Undang-undang No.22/1999 seperti yang telah disebut kan di atas.

2. Undang-Undang No.11 Tahun 2006 tentang pemerintahan daerah Aceh.

Lahirnya UU. No.11/2006 tentang pemerintahan daerah Aceh ini di latar belakangi oleh berbagai ketidak sempurnaan dari peraturan perundangan yang dulu terbit yaitu UU.No.22/1999 tentang pemerintahan daerah.33

Didalam undang-undang No.11/2006 pemelihan kepala daerah dilakukan secara langsung artinya kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat. Jadi yang di maksud kepala Undang-undang pemerintahan Aceh No.11/2006. Yang di maksud pemerintahan daerah menurut Undang-Undang No.11/2006 adalah pelaksanaan fungsi- fungsi daerah yang dilakukan oleh lembaga pemerintahan daerah yaitu Pemerintahan Daerah dan DPRD.

33

(42)

daerah adalah kepala pemerintahan daerah yang dipilih secara demokratis. 34

Kajian tentang Pilkada secara langsung pada dasarnya merupakan pilar yang bersifat memperkukuh bangunan demokrasi secara nasional. Sebagai mana dinyatakan oleh Tip O Neiil,”all politics is lokal”,

Pemilihan secara demokratis terhadap kepala daerah tersebut, dengan mengingat bahwa tugas dan wewenang DPRD menurut UU.No.22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, menyatakan antara lain bahwa DPRD tidak memiliki tugas dan wewenang untuk memilih Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, maka pemilihan secara demokratis dalam UU. Ini dilakukan secara rakyat secara langsung dan Kepala Daerah dalam melaksankan tugasnya dibantu oleh seorang Wakil Kepala Daerah, dan perangkat Daerah.

E.3. 5.Pilkada Sebagai Demokratisasi Politik Lokal

35

Secara sederhana demokrasi adalah sebuah sistem untuk membuat keputusan-keputusan politik dimana individu-individu mendapat kekuasaan melalui pertarungan kompetitif memperebutkan suara rakyat. Pemaknaan demokrasi, dengan tekanan pada

yang berarti demokrasi akan berkembang subur dan terbangun kuat diaras nasioanal apabila tingkatan yang lebih rendah (Lokal) nilai-nilai demokrasi berakar kuat.Pilkada secara langsung adalah perkembangan menarik dalam sejarah perpolitikan lokal di Negeri ini, karena pilkada langsung merupakan momentum pelekatan dasar fondasi kedaulatan rakyat dan sistem politik serta demokrasi di aras lokal.

34

Daniel S. Salossa, Ibid, hlm.15. 35

(43)

konsep kompotisi dan partisipasi, antara lain di anut oleh Samuel P.Huntinton.36

Syamsudin Haris

Berlangsungnya Pemilu berkala yang bebas adil, demokratis, kompotitif, dan dengan hak pilih universal merupakan pembeda paling penting antara sistem demokrasi dan sistem

otoriter.

37

Bob Sunggeng Hadiwinata dan Puis Sunggeng Prasetyo

di dalam Analisisnya yang berjudul Pilkada Langsung dan Penguatan Demokrasi di Indonesia Pasca Soeharto yang di sampaikan dalam Seminar Nasional XIX dan Kongres VI AIPI. “Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung dan Demokratisasi di Indonesia,” Batam, 22-24 Maret 2005, mengatakan bahwa meskipun Kepala-Kepala Daerah hasil Pilkada memiliki legitimasi yang kuat lantaran di pilih secara langsung, Pemerintaha lokal produk Pilkada belum tentu menjanjikan kualitas demokrasi lokal dan tata pemerintahan daerah yang lebih baik. Selain problem legitimasi

yang kompleks, masyarakat tampaknya harus siap kecewa terhadap kualitas kinerja dan akuntabilitas mereka.

38

36

Samuel P.Huntinton,Gelombang Demokrasi ke Tiga, Jakarta: Pustaka Utama Grapiti, 1997 37

Lihat Jurnal Ilmu Politik No. 20 Tahun 2006. 38

I Made samiana, dkk. (Editor), Etika Politik Dan demokrasi Dinamika Politik Lokal di Indonesia, Jakarta: Pustaka Percik, 2006, hlm. 9.

(44)

Baru, ternyata mematikan demokrasi dan bahwa berbagai aktivitas seperti seleksi kepemimpinan, kontrol, dan bahkan pembuatan keputusan sering kali melibatkan norma institusi- institusi tradisional setempat.

Syarif Hidayat39

Tommi A. Legowo

di dalam Makalhnya yang berjudul “Urgensi dan Bahaya Pilkada” yang dismpaikan pada seminar Internasional keenam, Kampoeng Percik, 2 Agustus 2005 mengatakan bahwa Desentralisasi dan Otonomi Daerah sangat terkait dengan pencapaian tujuan hakiki dari Disentralisasi dan otonomi Daerah, yakni melahirkan good governance, kemakmuran, dmokratisasi ditingkat lokal. Beberapa ilmuwan mencoba membangun preposisi atau postulat, misalnya Brian Smith mengatakan bahwa Pemilihan kepala daerah secara langsung merupakan salah satu prasyarat untuk terujutnya accountability, responsvitas dan political equity (persamaan politik) di tingkat lokal. Hal serupa juga dikemukakan arghiros, yang mengatakan Desentralisasi sebagai alat dan demokratisasi sebagi tujuan, maka pilkada merupakan bagian yang menghubungkan alat tujuan tadi.

40

39

I Made samiana, Ibid, hlm. 22. 40

Lihat Jurnal Ilmu Politik No.20,Tahun 2006, hlm 42-49

(45)

Good Gavernance di daerah akan merupakan jaminan bagi Otonomi Daerah yang ;langsung dan bermutu. Tetapi Otonomi daerah yang di dasarkan pada program Desentralisasi pemerintahan juga akan tergantung pada Polotical Will & Political Commitment dari pemerintahan di tingkat pusat. Kedua hal ini merupakan faktor- faktor utama untuk menimbang masa depan Otonomi Daerah. Otonomi Daerah yang di dasarkan pada program Desentralisasi meniscayakan kewenangan pemerintah pusat untuk menentukan seberapa besar dan luas Otonomi Daerah itu akan di berikan. Pemerintahan pusat yang di kuasai secara bergantian oleh kekuatan- kekuatan politik yang berbeda-beda aliran dapat berpengaruh terhadap berubah-ubahnya kebijakan desentrilisasi yang di terapkan untuk masa-masa yang berbeda-beda.

Smith, Dahl, maupun Mawhood mengatakan bahwa untuk mengujutkan apa yang di sebut: Lokal Accountability, Political equity, and lokal responsiveness, yang merupakan tujuan Desentralisasi, ada beberapa prasyarat yang harus di penuhi yakni: Pemerintahan Daerah harus memiliki teritorial kekuasaan yang jelas (legal territorial of power); memiliki Pendapatan Daerah sendiri (lokal own income); meimiliki lembaga perwakilan rakyat (lokal representative body) yang berpungsi untuk mengontrol Eksekutif Daerah; dan adanya Kepala Daerah yang di pilih secara langsung oleh masyarakat melalui mekanisme pemilihan umum (Syarif Hidayat, 2002).

Fitriyah41

41

Lihat Jurnal Ilmu Politik No. 20, Tahun 2006, hlm. 23-24

(46)

yang signifikan terhadap peran rakyat dalam rekrutmen pejabat publik maupun dalam kebijakan publik. Dalam Pilkada peran rakyat sangat minimal, karena UU No.22/1999 menentukan bahwa Kepala Daerah di pilih sepenuhnya oelh DPRD bukan oleh rakyat secara langsung. Ini tidak menjadi masalah tatkala fungsi sebagai wakil rakyat yang sesungguhnya yang di emban oleh DPRD menjadi proritas, yakni menyerap aspirasi, mengartikulasi kepentingan, menggagregasi kepentingan rakyat daerah, termasuk menyerap aspirasi rakyat untuk menentukan siapa yang bakal menjadi pemimpinnya. Namun sayang proses politik di daerah realitasnya masih di dominasi oleh elit DPRD. Dengan kata lain UU. No.22/1999 sesungguhnya menggunakan sistem Parlementer.

Berbeda halnya yang di kemukan oleh Tommi A.Legowo42

42

Lihat Jurnal Ilmu Politik No.20, Tahun 2006, hlm 50.

di dalam Analisisnya yang berjudul Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung, Good Governance & Masa Depan Otonomi Daerah yang di sampaikan dalam Seminar Nasional XIX & Kongres VI AIPI “ Pilkada Secara langsung & Demokratisasi di Indonesia,” Batam, 22-24 Maret 2005 Mengatakan bahwa pasal-pasal yang terdapat di dalam UU. No.32/2004 terkesan nuansa Re-sentralisasi terhadap Otonomi Daerah yang selama ini telah dinikamati oleh Daerah berdasarkan UU. No. 22/1999. ketentuan-ketentuan tentang peraturan Daerah (Perda) tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (Pasal 186), misalnya, mencerminkan lunturnya Otonomi Daerah Kabupaten/Kota karena sebelum Pemerintahan Daerah dapat mengesahkan rancangan Perda tersebut rancangan itu harus mendapat persetujuan dari Gubenur, yang tidak lain adalah wakil Pemerintahan Pusat di Daerah. F.Metode Penelitian

(47)

Adapun jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah Studi Descriptif, dengan pendekatan “Kualitatif” yaitu suatu metode dalam meneliti indivu maupun kelompok masyarakat sistem pemikiran maupun suatu peristiwa pada masa tertentu. Tujuan penelitian deskriptif ini adalah membuat, menggambarkan, meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi atau berbagai variabel yang timbul di masyarakat yang menjadi objek penelitian tersebut.43

F.2. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada Kabupaten Aceh Tenggara Propinsi Nanggroe Aceh

Darussalam.

F.3.Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulakan data dan informasi yang di butuhkan, maka penulis melakukan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu:

1. Tinjauan Kepustakaan (Data Sekunder). Metode ini dilakukan dengan cara mengumpulakan dokumen- dokumen penting baik dalam bentuk kronologi peristiwa, berita-berita surat kabar, buku, dll.

2. Penelitian Lapangan (Data Primer).

Penelitian lapangan di lakukan dengan cara, yaitu:

- Wawancara Mendalam ( Indepth Interview) yaitu mengadakan Kontak secara langsung atau berkomunikasi tatap muka terhadap responden yang di anggap mempunyai keterangan cukup valid.

43

(48)

F.4. Teknik Analisa Data

Penelitian ini bersifat deskriptif dengan arah tujuan memberikn gambaran mengenai situasi ataupun kondisi yang terjadi. Data-data yang terkumpul, baik data yang berasal dari kepustakaan maupun penelitian lapangan akan dieksplorasi secara mendalam, selanjutnya akan menghsilakan suatu kesimpulan yang menjelaskan masalah yang diteliti. G.Sistemmatika Penulisan.

Bab I: Pendahuluan

Bab I ini Berisikan Latar Belakang Masalah, Permasalahan, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Dasar- dasar Teori, Metode Penelitian.

Bab II: Deskripsi Lokasi Penelitian

Bab II ini akan menguraikan gambaran umum lokasi penelitian yang diteliti yang terdiri dari: Sejarah singkat Kabupaten Aceh Tenggara, Kondisi Geografi Kabupaten Aceh Tenggara, Pemerintahan Aceh Tenggara, Infrastruktur, Pendidikan, Kesehatan, Peta Politik, serta Fropil Kandidat Calon Kabupaten Aceh Tenggara.

Bab III: Penyebab Konflik Elit Politik Pada Pilkada Aceh Tenggara 2006

(49)

Bab IV: Penutup

Bab IV berisikan kesimpulan yang diperoleh dari hasil penelitian. Dan juga memberikan saran Konstruktif yang relevan dengan penelitian ini.

(50)

BAB II

PILKADA KABUPATEN ACEH TENGGARA 2006

A.Sejarah

Kabupaten Aceh Tenggara (Agara) beribukota Kota Cane berda di Lembah Alas, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Sebuah hikayat menyebutkan bahwa Tanah Alas dulunya adalah sebuah danau besar, yang tebentuk pada masa Kwartnaire. Secara faktual hal ini dapat dilihat dari banyaknya suku, terutama suku Alas, Gayo, Batak Toba, Karo, Padang, Jawa, dan suku Aceh Sendiri. Nama desa satu daerah yang masih menggunakan kata pulo(pulau), ujung, dan tanjung, seperti Pulo Piku, Pulonas, Pulo Kembiri, Pulo Gadung, Pulo Latong, Tanjung, Kuta Great, Kuta Ujung, dan Ujung Barat, selain itu, ditemukan banyak kuburan yang berada diatas gunung, seperti kuburan Raja Dewa di atas gunung Lawe Sikap, kuburan Panglima Seridane diatas Gunung Batu Bergoh, dan kuburan Panglima Panjang. Nama Alas sendiri diyakini berasal dari kata Alas yang bermakna tikar atau landasan karena berbentuk lapangan yang sangat luas.

(51)

keluhakan yang disebut keluhakan (kekuasaan, pemerintahan) Aceh Tengah (Takengon). Ibukota keluhakan direncanakan digilir setiap enam bulan antara Takengon, Belangkejeren, dan Kutacane.44

Jarak yang sangat jauh dan waktu tempuh yang sangat lama antara Kutacane dan Takengon sekitar 250 Km ditempuh dalam waktu 5-8 hari dengan jalan kaki atau kalau menggunakan kenderaan harus melalui Medan, Aceh Timur, dan Aceh Utara dengan menempuh jarak sekitar 850 Km, menyebabkan pelaksanaan Pemerintahan tidak berjalan efektif. Terlebih lagi pada tanggal 21 September 1953 meletus peristiwa Aceh (Daud Bereueh), yang mendorong beberapa tokoh yang berasal dari Sumatera Utara yang mencoba memasukan daerah Tanah Alas kedalam wilayah Sumatera Utara. Namun upaya ini tidak mendapat dukungan dari rakyat Tanah Alas. Pada tahun 1956 Pemerintah pusat menyadari bahwa salah satu penyebab meletusnya peristiwa Aceh di leburnya Provinsi Aceh kedalam Provinsi Sumatera Utara dan untuk memutuskan untuk mengembalikan status Provinsi pada Aceh. Hal ini semakain mendorong pemimpin di Tanah Alas dan Gayo Lues untuk membentuk Kabupaten sendiri, terlepas dari Kabupaten Aceh Tengah seperti saat ini, membentuk pemerintahan sendiri.

44

(52)

B. Geografi B. 1. Iklim

(53)

Tabel 1

POTENSI LAHAN DI KABUPATEN ACEH TENGGARA PADA TAHUN 2005

No KECAMATA

(54)

merupakan daerah suaka alam Taman Nasional Gunung Loser (TNGL). Suhu udara berkisar 25 sampai 320 Co.

Tabel 2

LETAK WILAYAH KABUPATEN ACEH TENGGARA MENURUT LUASNYA

No KECAMATAN LUAS/KM2 JUMLAH

DESA MUKIM

1. Lawe Alas 86,71 23 -

2. Babul Rahmat 211,84 18 -

3. Lawe Sigala-gala 79,91 26 -

4. Babul Makmur 278,37 23 -

5. Semadam 64,45 16 -

6. Bambel 72,45 32 -

7. Bukit Tusam 324,85 18 -

8. Babussalam 108,32 19 1

9. Lawe Bulan 222,60 24 -

10. Badar 203,21 32 -

11. Darul Hasanah 159 18 -

Jumlah 1811,71 249 1

(Sumber:Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Aceh Tenggara )

(55)

B.3. Penduduk

Kabupaten Aceh Tenggara jumlah penduduknya pada tahun 2005 berjumlah 168.874 jiwa dengan jumlah rumah tangganya mencapai 573.727 Rt. Hal ini dapat dilihat pada tabel tiga (3):

Tabel 3

DATA PENDUDUK KABUPATEN ACEH TENGGARA TAHUN 2005 BERDASARKAN JENIS KELAMINNYA

No KECAMATAN LK PR JUMLAH

1. Lawe Alas 7316 7447 14763

2. Babul Rahmat 4422 4307 8729

3. Lawe Sigala-gala 8407 8567 16974

4. Babul Makmur 7326 7481 14807

5. Semadam 4980 5134 10114

6. Bambel 9887 10252 20139

7. Bukit Tusam 4591 4630 9221

8. Babussalam 11599 11849 23448

9. Lawe Bulan 8257 8351 16608

10. Badar 11792 11460 23252

11. Darul Hasanah 5403 5416 10819

Jumlah/Total 83.980 84.894 168.874

(56)

C. Pemerintahan

Kabupaten Aceh Tenggara Ibukota Kuta Cane, berada di daerah pegunungan dengan ketinggian 1.000 meter diatas permukaan laut, yakni bagian dari pegunungan Bukit Barisan. Taman Nasional Gunung Lauser yang merupakan daerah cagar alam nasional terbesar terdapat di kabupaten ini. Pada dasarnya wilayah Kabupaten Aceh Tenggara kaya akan potensi wisata alam, salah satu diantaranya adalah Sungai Alas yang sudah di kenal luas sebagai tempat olah raga Arung Sungai (Arung Jeram) yang sangat menantang.

Secara umum ditinjau dari potensi pengembangan ekonomi, wilayah ini termasuk Zona pertanian. Potensi ekonomi daerah berhawa sejuk ini adalah kopi dan hasil hutan. Dalam bidang pertambangan, Aceh Tenggara memiliki deposit bahan galian golongan -C yang sangat beragam dan potensial dalam jumlah cadanganya.

(Sumber:http://www.agaramedia.go.id/online/open.php?id=Agara

D. Infrastruktur D.1. Jalan

Jalan merupakan pasar pengangkutan yang penting untuk memperlancar dan mendorong kegiatan perekonomian. Makin meningkat usaha di bidang ekonomi menuntut pula peningkatan pembangunan jalan untuk memudahkan mobilitas penduduk dan memperlancar lalu lintas barang dari satu daerah kedaerah lain.

(57)

kabupaten 2.141,55 km. Setiap tahunya baik prasarana jalan maupun jembatan selalu mendapatkan prioritas untuk perbaikan dengan menggunakan berbagai sumber dana.

Panjang jalan di seluruh Kabupaten Aceh Tenggara pada tahun 2005 sepanjang 1.682,52 km yang terdiri dari jalan Negara 92,58 km, jalan provinsi 126,14 km, dan jalan kabupaten 1.463,79 km mengalami kemajuan pada tahun 2006, yaitu kondisi baik 132,29 km atau 9,04%, kondisi sedang sepanjang 315,35 km tau 21,54%, kondisi rusak sepanjang 775,50 km atau 52,98%.

D.2. Pos dan Telkomunikasi

Tabel 4

POS DAN TELKOMUNIKASI KABUPATEN ACEH TENGGARA TAHUN 2005

No JENIS KIRIMAN JUMLAH

1. Surat Biasa 7080 Buah

2. Surat Kilat 7080 Buah

3. Paket Pos 107 Unit

4. Wesel Pos 4685 Buah

JUMLAH 4806,16 Buah

(Sumber: Pos dan Telkomunikasi Kabupaten Aceh Tenggara)

Gambar

Tabel 1
Tabel 2
Tabel 4
Tabel 5
+6

Referensi

Dokumen terkait

direkomendasikan : Jika produk ini mengandung komponen dengan batas pemaparan, atmosfir tempat kerja pribadi atau pemantauan biologis mungkin akan diperlukan untuk

Kegiatan pelatihan dimaksudkan untuk menambah pengetahuan masyarakat dan aparat Desa Buntulia Barat Kecamatan Duhiadaa terhadap pemanfaatan teknologi informasi untuk

Pengukuran kemiringan lereng penambangan menghasilkan perbedaan pada masing-masing pengukuran, yaitu peletakan titik patok, sehingga sudut kemiringan yang terbentuk

2.2Menjelaskan urutan membuat atau melakukan sesuatu dengan kalimat yang runtut dan mudah dipahami 2.3Memberikan tanggapan dan saran sederhana terhadap suatu masalah

Pengambilan data menggunakan rangkaian pada gambar 3 dilakukan dengan memvideo nilai yang tertera pada alat ukur, yaitu penerjemah termokopel untuk mendapatkan nilai

penyertaan-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “ Analisis Perubahan Struktur Sektor Potensial terhadap Pembangunan Ekonomi di Kabupaten Jember

Penelitian ini bertujuan mengetahui kepadatan, kepadatan relatif dan pola penyebaran dari masing-masing jenis gastropoda serta indeks keanekaragam komunitas

The effects of programmed culture training upon the performance of volunteer medical teams in Central America.. Seattle : Orgnizational Research, University of