• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Ketuhanan dalam Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Konsep Ketuhanan dalam Islam"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Konsep Ketuhanan dalam Islam

Istilah Tuhan dalam sebutan Al-Quran digunakan kata ilaahun, yaitu setiap yang menjadi penggerak atau motivator, sehingga dikagumi dan dipatuhi oleh manusia. Orang yang mematuhinya di sebut abdun (hamba). Kata ilaah (tuhan) di dalam Al-Quran

konotasinya ada dua kemungkinan, yaitu Allah, dan selain Allah. Subjektif (hawa nafsu) dapat menjadi ilah (tuhan). Benda-benda seperti : patung, pohon, binatang, dan lain-lain dapat pula berperan sebagai ilah. Demikianlah seperti dikemukakan pada surat Al-Baqarah (2) : 165, sebagai berikut:

ههللللا بلهححكل ممهحنلوبلححهيح اددادلنمأل ههللللا نهودح نممه ذحخهتلليل نممل سهانلللا نلمهول Diantara manusia ada yang bertuhan kepada selain Allah, sebagai tandingan terhadap Allah. Mereka mencintai tuhannya itu sebagaimana mencintai Allah.

Sebelum turun Al-Quran dikalangan masyarakat Arab telah menganut konsep tauhid (monoteisme). Allah sebagai Tuhan mereka. Pengakuan mereka bahwa Allah sebagai

pencipta semesta alam dikemukakan dalam Al-Quran surat Al-Ankabut (29) ayat 61 sebagai berikut;

نلوكحفلؤميح ىنللألفل هحللللا نلللحوقحيللل رلملقللماول سلممشلللا رلخللسلولضلرمأللماول تهاولملسلللا قلللخل نممل ممهحتللمألسل نمئهللول Jika kepada mereka ditanyakan, “Siapa yang menciptakan lagit dan bumi, dan

menundukkan matahari dan bulan?” Mereka pasti akan menjawab Allah.

Inti konsep ketuhanan Yang Maha Esa dalam Islam adalah memerankan ajaran Allah yaitu Al-Quran dalam kehidupan sehari-hari. Tuhan berperan bukan sekedar Pencipta, melainkan juga pengatur alam semesta.

Penciptaan dan penguasaan alam semesta dideskripsikan sebagai suatu tindakan kemurahhatian yang paling utama untuk semua ciptaan yang memuji keagungan-Nya dan menjadi saksi atas keesan-Nya dan kuasa-Nya. Menurut ajaran Islam, Tuhan muncul dimana pun tanpa harus menjelma dalam bentuk apa pun. Al-Quran menjelaskan, "Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui." (Al-'An'am 6:103).

1. Filsafat ketuhanan dalam Islam

Filsafat adalah study tentang seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan dijabarkan dalam konsep mendasar. Filsafat tidak didalami dengan

(2)

Sedangkan Filsafat Ketuhanan adalah pemikiran tentang Tuhan dengan pendekatan akal budi, maka dipakai pendekatan yang disebut filosofis. Bagi orang yang menganut agama tertentu (terutama agama Islam, Kristen, Yahudi), akan menambahkan pendekatan wahyu di dalam usaha memikirkannya. Jadi Filsafat Ketuhanan adalah pemikiran para manusia dengan pendekatan akal budi tentang Tuhan. Usaha yang dilakukan manusia ini bukanlah untuk menemukan Tuhan secara absolut atau mutlak, namun mencari pertimbangan kemungkinan-kemungkinan bagi manusia untuk sampai pada kebenaran tentang Tuhan.

Dalam filsafat Islam, Tuhan diyakini sebagai Zat Maha Tinggi Yang Nyata dan Esa, Pencipta Yang Maha Kuat dan Maha Tahu, Yang Abadi, Penentu Takdir, dan Hakim bagi semesta alam.

Islam menitik beratkan konseptualisasi Tuhan sebagai Yang Tunggal dan Maha Kuasa (tauhid).Dia itu wahid dan Esa (ahad), Maha Pengasih dan Maha Kuasa.Menurut

al-Qur'an terdapat 99 Nama Allah (asma'ul husnaartinya: "nama-nama yang paling baik") yang mengingatkan setiap sifat-sifat Tuhan yang berbeda. Semua nama tersebut mengacu pada Allah, nama Tuhan Maha Tinggi dan Maha Luas.Di antara 99 nama Allah tersebut, yang paling terkenal dan paling sering digunakan adalah "Maha Pengasih" (ar-rahman) dan "Maha Penyayang" (ar-rahim).

Tuhan dalam Islam tidak hanya Maha Agung dan Maha Kuasa, namun juga Tuhan yang personal: Menurut al-Qur’an, Dia lebih dekat pada manusia daripada urat nadi manusia. Dia menjawab bagi yang membutuhkan dan memohon pertolongan jika mereka berdoa pada-Nya. Di atas itu semua, Dia memandu manusia pada jalan yang lurus, “jalan yang di ridhoi-Nya.”

Islam mengajarkan bahwa Tuhan dalam konsep Islam merupakan Tuhan sama yang disembah oleh kelompok agama Abrahamik lainnya seperti Kristen dan Yahudi.

Filsafat ketuhanan dalam Islam digolongkan menjadi dua: konsep ketuhanan yang berdasar al-Qur’an dan hadits secara harafiah dengan sedikit spekulasi sehingga banyak pakar ulama bidang akidah yang menyepakatinya, dan konsep ketuhanan yang bersifat spekulasi berdasarkan penafsiran mendalam yang bersifat spekulatif, filosofis, bahkan mistis.

1. Filsafat ketuhanan berdasarkan Al-Qur’an dan Hadits

Menurut para mufasir(ahli agama), melalui hadis al-Qur’an (Al-’Alaq [96]:1-5), Tuhan menunjukkan dirinya sebagai pengajar manusia. Tuhan mengajarkan manusia berbagai hal termasuk diantaranya konsep ketuhanan. Umat Muslim percaya al-Qur’an adalah wahyu Allah, sehingga semua keterangan Allah dalam al-Qur’an merupakan “penuturan Allah tentang diri-Nya”

(3)

Artinya : Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab: “Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi”. (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak

mengatakan: “Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)” (Al-A’raf [7]:172).

Ketika masih dalam bentuk roh, dan sebelum dilahirkan ke bumi, Allah menguji keimanan manusia terhadap-Nya dan saat itu manusia mengiyakan Allah dan menjadi saksi. Sehingga menurut ulama, pengakuan tersebut menjadikan bawaan alamiah bahwa manusia memang sudah mengenal Tuhan. Seperti ketika manusia dalam kesulitan, otomatis akan ingat keberadaan Tuhan. Al-Qur’an menegaskan ini dalam surah Az-Zumar[39]:8

Artinya : Dan apabila manusia itu ditimpa kemudharatan, dia memohon (pertolongan) kepada Tuhannya dengan kembali kepada-Nya; kemudian apabila Tuhan memberikan nikmat-Nya kepadanya lupalah dia akan kemudharatan yang pernah dia berdoa (kepada Allah) untuk (menghilangkannya) sebelum itu, dan dia mengada-adakan sekutu-sekutu bagi Allah untuk menyesatkan (manusia) dari jalan-Nya. Katakanlah: “Bersenang-senanglah dengan kekafiranmu itu sementara waktu; sesungguhnya kamu termasuk penghuni neraka” surah Az-Zumar [39]:8.

2. Filsafat Tuhan berdasar spekulasi

Spekulasi adalah membuat suatu keputusan dengan pengetahuan dan pengalaman yang kita miliki dan keyakinan untuk mendapatkan yang diinginkan, dengan pemikiran yang matang walaupun kadang hasil yang diterima tidak sesuai harapan.

Sebagian ulama berbeda pendapat terkait konsep Tuhan. Namun begitu, perbedaan tersebut belum sampai mengubah Al-Qur’an. Pendekatan yang bersifat spekulatif untuk menjelaskan konsep Tuhan juga bermunculan mulai dari berfikir rasional

hingga agnostisisme (ada teorinya) dan lainnya dan juga ada sebagian yang bertentangan dengan konsep tauhid sehingga dianggap sesat oleh ulama terutama ulama syariat.

2.

Cara mengenal Tuhan

(4)

Allah berfirman:

(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram.” (QS: Ar-Ra’d 28).

Adapula hadis yg menjelaskan pentingnya berdjikir untuk mendekatkan diri kepada tuhan yaitu Hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim menyebutkan:

“Aku ini adalah menurut dugaan hamba-Ku, dan Aku menyertainya dimana saja ia berdzikir kepada-Ku, jika ia berdzikir atau ingat pada-Ku dalam hatinya maka Aku akan ingat pula padanya dalam hati-Ku, dan kalau ia mengingati-Ku di depan umum, maka Aku akan mengingatinya pula di depan khalayak yang lebih baik. Dan seandainya ia mendekatkan dirinya kepada-Ku sejengkal, Aku akan mendekatkan diri-Ku kepadanya sehasta, dan jika ia mendekat kepada-Ku sehasta, Aku akan mendekatkan diri-Ku kepadanya sedepa, dan jika ia datang kepada-Ku secara berjalan kaki, Aku akan datang kepadanya dengan berlari.”

Mengenal Allah ada empat cara yaitu mengenal wujud Allah, mengenal Rububiyah Allah, mengenal Uluhiyah Allah, dan mengenal Nama-nama dan Sifat-sifat Allah.

1. Mengenal Wujud Allah.

Yaitu beriman bahwa Allah itu ada. Dan adanya Allah telah diakui oleh fitrah, akal, panca indera manusia, dan ditetapkan pula oleh syari’at. Ketika seseorang melihat makhluk ciptaan Allah yang berbeda-beda bentuk, warna, jenis dan sebagainya, akal akan

menyimpulkan adanya semuanya itu tentu ada yang mengadakannya dan tidak mungkin ada dengan sendirinya. Dan panca indera kita mengakui adanya Allah di mana kita melihat ada orang yang berdoa, menyeru Allah dan meminta sesuatu, lalu Allah mengabulkannya. Adapun tentang pengakuan fitrah telah disebutkan oleh Allah di dalam Al Qur’an:

“Dan ingatlah ketika Tuhanmu menurunkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman ): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu’ Mereka menjawab: ‘(Betul Engkau Tuhan kami) kami mempersaksikannya (Kami lakukan yang demikian itu) agar kalian pada hari kiamat tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami bani Adam adalah orang-orang yang lengah terhadap ini

(keesaan-Mu) atau agar kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya orang-orang tua kami telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu sedangkan kami ini adalah anak-anak keturunan

yang datang setelah mereka.’.” (QS. Al A’raf: 172-173)

2. Mengenal Rububiyah Allah

Menyakini bahwa Allah adalah Dzat yang menciptakan, menghidupkan, mematikan, memberi rizki, mendatangkan segala mamfaat dan menolak segala mudharat. Dzat yang mengawasi, mengatur, penguasa, pemilik hukum dan selainnya dari segala sesuatu yang menunjukkan kekuasaan tunggal bagi Allah. Dari sini, seorang mukmin harus meyakini bahwa tidak ada seorangpun yang menandingi Allah dalam hal ini. Allah mengatakan:

(5)

Maka ketika seseorang meyakini bahwa selain Allah ada yang memiliki kemampuan untuk melakukan seperti di atas, berarti orang tersebut telah mendzalimi Allah dan menyekutukan-Nya dengan selain-Nya.

3. Uluhiyah Allah

Uluhiyah Allah adalah mengesakan segala bentuk peribadatan bagi Allah, seperti berdo’a, meminta, tawakal, takut, berharap, menyembelih, bernadzar, cinta, dan selainnya dari jenis-jenis ibadah yang telah diajarkan Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam. Allah berfirman di dalam Al Qur’an:

“Hanya kepada-Mu ya Allah kami menyembah dan hanya kepada-Mu ya Allah kamimeminta.” (QS. Al Fatihah: 5)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah membimbing Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu dengan sabda beliau:

“Dan apabila kamu minta maka mintalah kepada Allah dan apabila kamu minta tolong maka minta tolonglah kepada Allah.” (HR. Tirmidzi)

Allah berfirman:

“Dan sembahlah Allah dan jangan kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun” (QS. An Nisa: 36)

Allah berfirman:

“Hai sekalian manusia sembahlah Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi orang-orang-orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al Baqarah:

21)

Dengan ayat-ayat dan hadits di atas, Allah dan Rasul-Nya telah jelas mengingatkan tentang tidak bolehnya seseorang untuk memberikan peribadatan sedikitpun kepada selain Allah karena semuanya itu hanyalah milik Allah semata.

4. Mengenal Nama-nama dan Sifat-sifat Allah

Maksudnya, kita beriman bahwa Allah memiliki nama-nama yang Dia telah menamakan diri-Nya dan yang telah dinamakan oleh Rasul-diri-Nya. Dan beriman bahwa Allah memiliki sifat-sifat yang tinggi yang telah Dia sifat-sifati diri-Nya dan yang telah disifat-sifati oleh Rasul-Nya. Allah memiliki nama-nama yang mulia dan sifat yang tinggi berdasarkan firman Allah:

“Dan Allah memiliki nama-nama yang baik.” (Qs. Al A’raf: 186) “Dan Allah memiliki permisalan yang tinggi.” (QS. An Nahl: 60)

(6)

Ketika berbicara tentang sifat-sifat dan nama-nama Allah yang menyimpang dari yang dimaukan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka kita telah berbicara tentang Allah tampa dasar ilmu. Tentu yang demikian itu diharamkan dan dibenci dalam agama.

Allah berfirman:

“Katakanlah: ‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tampa alasan yang

benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah (keterangan) untuk itu dan (mengharamkan) kalian berbicara tentang

Allah tampa dasar ilmu.” (QS. Al A’raf: 33)

“Dan janganlah kamu mengatakan apa yang kamu tidak memiliki ilmu padanya, sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya akan diminta pertanggungan

jawaban.” (QS. Al Isra: 36)

3. Mencintai Tuhan yang Maha Esa

Cinta adalah unsur terpenting dalam ibadah. Bersama raja` (berharap)

dankhauf (takut), cinta menjadi perasaan hati yang melengkapi ketundukan kita kepada Allah. Allah berfirman:

“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan

takut akan azab-Nya; sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus)

ditakuti.” (QS. Al Isra [17]: 57)

Tanda-Tanda Cinta Kepada Allah

Pokok cinta ada dalam hati. Namun cinta juga dapat diungkapkan oleh lisan. Cinta pun harus dibuktikan dalam perbuatan. Berikut adalah tanda-tanda orang yang mencintai Allah. Siapa saja yang memilikinya, berarti ia benar-benar mencintai Allah. Jika tidak, maka bisa kita katakan cintanya adalah cinta palsu atau hanya sekedar pengakuan.

1. Senantiasa mendahulukan perkara yang Allah cintai atas selainnya

Orang yang mencintai Allah nampak dari prilaku dan tindakannya yang senantiasa mengedepankan apa pun yang dicintai oleh Allah dari kepentingan siapa pun dan urusan apa pun, dari keinginannya, hawa nafsunya, akal pikirannya, orang yang dicintainya dan lain sebagainya. Cintanya yang agung kepada Allah mewujud menjadi bentuk-bentuk pengorbanan yang menakjubkan. Kerelaan hati orang-orang yang jujur dalam cintanya kepada Allah tidak pernah kering dari amal-amal kebaikan yang bervisi akhirat dan maslahat. Tidak segan meninggalkan segala kepentingan, selain kepentingan yang dicintai oleh Allah azza wa jalla.

(7)

Ciri orang yang mencintai Allah selanjutnya adalah mentauladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena Allah telah memilih seorang utusan untuk diikuti jejak dan titahnya dan Allah ridho kepadanya. Bukti cinta kita kepada Allah harus diwujudkan dengan cara-cara yang sesuai dengan ajaran Rasulullah. Karena Allah hanya ridho jika kita mengikuti Rasulullah dalam beribadah kepadanya. Maka, jika ada

seseorang yang mengaku cinta kepada Allah, namun perbuatannya tidak sesuai dengan contoh Rasulullah, pastilah cintanya itu tidak berbalas cinta dari Allah. Amati firman Allah berikut,

مميحئرك رموفأغك هأللكلاوك مدكأبكونأذأ مدكألك ردفئغديكوك هأللكلا مأكأبدبئحديأ ينئوعأبئتلكافك هكللكلا نكوبلأحئتأ مدتأندكأ ندإئ لدقأ “Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah Aku, niscaya Allah

mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali Imran [3]: 31)

3. Mencintai orang-orang yang mencintai Allah

Ciri orang yang mencintai Allah adalah membangun persaudaraan yang kokoh diatas cinta kepada Allah, saling menyayangi, mengayomi dan membantu antara orang-orang beriman yang mencintai Allah.

Allah berfirman:

ىلكعك ةةزلكعئأك نكينئمئؤدمألدا ىلكعك ةةللكذئأك هأنكوبلأحئيأوك مدهأبلأحئيأ مةودقكبئ هأللكلا يتئأديك فكودسكفك هئنئيدئ ندعك مدكأندمئ دلكتكرديك ندمك اونأمكآ نكيذئللكا اهكيلأأك ايك

مميلئعك عمسئاوك هأللكلاوك ءأاشكيك ندمك هئيتئؤديأ هئللكلا لأضدفك ككلئذك مةئئالك ةكمكودلك نكوفأاخكيك الكوك هئللكلا لئيبئسك يفئ نكودأهئاجكيأ نكيرئفئاككلدا “Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya,

Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintaiNya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut

kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui.”

(QS. Al Maa`idah [5]: 54)

4. Keras terhadap orang-orang kafir

Jika kasih sayang dan rasa cinta kepada sesama orang beriman adalah ciri kecintaan kita kepada Allah, maka, begitu pun ciri cinta kepada Allah adalah membenci, keras, tegas dan berlepas diri dari orang-orang kafir. Maka tidak disebut orang benar-benar mencintai Allah, jika kita mencintai dan berloyalitas kepada orang-orang kafir. Karena mereka adalah musuh-musuh Allah. Allah membenci mereka, maka kita pun harus membenci mereka.

5. Berjihad di jalan Allah

Jihad adalah puncak tertinggi dari agama. Mengerahkan kemampuan dalam berperang melawan musuh Islam dengan tujuan meninggikan kalimat Allah ini adalah ciri cinta kepada Allah yang sangat besar. Sehingga Allah menjanjikan bagi orang-orang yang wafat dalam jihad surga yang akan mereka masuki tanpa hisab.

(8)

Selanjutnya, sebagaimana yang Allah nyatakan dalam surat Al Maa`idah diatas, ciri orang yang mencintai Allah adalah tidak takut dengan celaan, cemoohan, cibiran dan hinaan orang-orang yang tidak suka kepadanya karena ia berpegang teguh terhadap agama dan ajaran Allah. Kekuatan cinta telah membuatnya kebal dengan semua itu. Seperti teladannya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang juga mendapat kata-kata dan hinaan buruk dari orang-orang musyrik dahulu. Beliau disebut penyihir, orang gila dan pemecah belah. Namun semua hinaan itu tidak membuatnya menyurutkan langkah walaupun sedikit pun dalam berdakwah kepada Allah.

10 Cara Agar Bisa Mencintai Allah

Ibnu Qayyim menyebutkan 10 cara agar bisa mencintai Allah:

1. Membaca Al Qur'an, mentadabburi, dan memahami makna-maknanya. 2. Bertaqarrub kepada Allah dengan mengamalkan amal-amal yang sunnah. 3. Selalu berdzikir kepada Allah di setiap keadaan, dengan lisan, hati dan amal. 4. Lebih mementingkan apa yang dicintai oleh Allah di atas yang dicintai oleh hamba

ketika bertabrakan.

5. Menyelami nama-nama Allah dan sifatNya serta pengaruh dan kesempurnaan yang ditunjukkan olehnya.

6. Memikirkan nikmat-nikmat Allah yang bersifat lahiriyah dan batiniyah. Serta menyaksikan kebaikan-kebaikaNya kepada hambaNya.

7. Menundukkan hati di hadapan Allah dan selalu merasa faqir kepadaNya.

8. Bermunajat kepada Allah di saat sepertiga malam terakhir dengan shalat, membaca alqur'an dan istighfar.

9. Bershahabat dengan orang-orang shalih dan mengambil faidah dari mereka. 10. Menjauhi semua yang menghalangi hati dari Allah.

4. Peringkat dan konsekuensi cinta

Peringkat Cinta

Dalam Islam ada peringkat-peringkat cinta. Peringkat cinta ini sebaiknya dipahami oleh para remaja. Bila mereka menempatkan proiritas yang salah, maka akan terjadi kesalahan yang luar biasa. Salah-salah mereka bisa menjadi hamba Allas yang musyrik karena menandingi cinta kepada Allah dengan cinta kepada makhluk-Nya.

Menurut Ibnul Qayyim, seorang ulama di abad ke-7 terdapat enam peringkat cinta (maratibul mahabah), yaitu :

Peringkat pertama adalah tatayyum, yang merupakan tingkat paling tinggi dan merupakan hak Allah semata.

"Dan di antara manusia ada orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang beriman amat sangat cintanya kepada Allah...."(Q.S al-Baqarah: 165).

(9)

menjadi puncak dari segala cinta yang kita miliki, karena Dia-lah yang memberikan kita segala nikmat dan kebaikan sejak kita dilahirkan di dunia ini.

Peringkat kedua adalah 'isyk yang hannya merupakan hak Rasulullah saw. Cinta yang melahirkan sikap hormat, patuh, ingin selalu membelanaya, ingin mengikutinya, emcontohnya dll. Namun, bukan menghambakan diri kepadanya. Kita mencintai

Rasulullahsaw. dengan segenap konsekuensinya. Kita akan dengan bangga menjalankan sunnah-sunnahnya dan mengikuti petunjuknya dalam mengamalkan agama ini. Kita juga akanmencintai kehidupannya yang begitu luhur dan penuh amal shalih. Cinta kita kepada Rasululllah akan mendorong kita untuk membela agama ini dengan kekuatan yang kita miliki. Demikian juga membela sunnah-sunnagnya bila diinjak-injak oleh orang lain. "Katakanlah jika kalian cinta kepada Allah, maka ikutilah aku (Nabi saw) maka Allah mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian."(Q.S Ali Imran : 31)

Peringkat ketiga adalah syauq, yaitu cinta antara mukmin dengan mukmin lainnnya. Antara suami istri, antara orang tua dan anak, yang membuahkan rasa mawaddah wa rahmah. Cinta yang timbuh pada diri mereka akan menambah ketentraman hati dan ketenangan jiwa.

Peringkat keempat adalah shabahah, yaitu cinta sesama muslim yang melahirkan ukhuwah islamiyah. Cinta ini menuntut sebuah kesabaran yang untuk menerima perbedaan dan melihatnya sebagai sebuah hikamh yang berharga. Seperti kita ketahui bahwa saat ini sedikit perbedaan saja seringkali terjadi perpecahan. Belum lagi kalau kita lihat betapa banyak kelompok harakah islamiyah yang bermunculan. Bila cinta ini ada, insya Allah segala perbedaan bisa disinergiskan. Tidak semua perbedaan harus dipaksa sama, tapi kadang hannya membutuhkan hubungan dalam tubuh uamat islam.

Peringkat kelima adalah 'ithf (simpati) yang ditunjukan kepada sesama manusia. Rasa simpati ini melahirkan kecenderungan untuk menyelamatkan manusia, termasuk puli didalamnya adalah dakwah. Rasa ini seringkali muncul bila sisi kemanusiaan kita tersentuh. Di saat melihat anak kecil yang memelas membutuhkan bantuan, duduk disebuah bangku gubuk dengan wajah peb-nuh oenderitaan, atau saat melihat korban musibah alam yang berjatuhan, tentu saja mengetuk kepedulian kita yang terdalam. Sisi kemanusiaan kita menjadi tersentuh dan ingin menitikkan air mata. Hati kita tidak tega melihat sebuah penderitaan yang tak kunjung berakhir. Inilah bentuk simpati yang muncul dari hati yang paling dalam.

Peringkat keenam adalah cinta yang paling rendah dan sederhana, yaitu cinta keinginan kepada selain manusia; harta benda. Namun, keinginan ini

sebatas intifa'(pendayagunaan/pemanfaatan). Cinta jenis ini pula yang sering kali

menggelincirkan manusia, karena sifat harta memang selalu melenakan. Namun, bila kita cerdas, banyaknya harta benda seharusnya tidak menjadikan kita terlena. Sebaliknya, ia hannya menjadi sarana untuk meraih cinta yang sebenarnya yaitu kepada Allah SWT.

(10)

Cinta kita pada sesuatu menuntut kita untuk mencintai apa yang dicintainya dan membenci apa yang dibencinya. Kebencian kita pada sesuatu yang dicintainya akan menjadikan kebenciannya kepada kita. Cinta kita pada sesuatu yang dibencinya juga akan menjadikan kebenciannya pada kita. Adalah lazim dalam tradisi cinta mencintai bahwa kekasih senantiasa berusaha menyatu dengan kekasihnya. Ia merasakan apa yang dirasakan oleh kekasihnya. Ia sedih dengan kesedihannya, ia bahagia dengan kebahagiaannya,

menderita dengan penderitaannya, ia gembira dengan kegembiraannya. Konsekuensi cinta lebih lanjut akan diuraikan berikut ini

1. Mencintai siapa yang dicintai sang kekasih

Mencintai siapa saja yang dicintai kekasih merupakan bagian yang tak terpisahkan dari cinta kepada kekasihnya itu. Lafadz man [siapa] biasanya digunakan untuk yang berakal meskipun kada ada juga sebagian orang yang menggunakannya untuk yang tidak berakal. Penggunaan lafadz man untuk orang yang tidak berakal biasanya terjadi dalam personifikasi pada karya-karya sastra baik prosa maupun puisi. Al-Qur’an sendiri kadang menggunakan lafadz ini untuk yang tidak berakal. Mereka yang dicintai Allah adalah para malaikat-Nya, para nabi dan rasul, para shiddiqiin, syuhada, dan shalihin (an-Nisaa’: 69).

a. Muhsinin (orang yang baik).

b. At-tawabin, orang yng senantiasa bertobat.

c. Al-Mutotohirin, orang yang senantiasa mensucikan dirinya.

d. Al-mutaqin, ornag yang senantiasa bertakwa kepada allah dan berhati-hati dalam hidup didunia.

e. Al-Mutawakilin, Orang yang senantiasa bertakwa pada Allah SWT. f. Orang yang selalu Berjama’ah dan orang yang merapatkan barisan.

2. Mencintai apa yang dicintai oleh kekasih

Ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari cintanya kepada kekasihnya itu. Lafadz maa [apa] biasanya digunakan untuk yang tidak berakal meskipun kadang ada juga sebagian orang yang menggunakannya untuk yang berakal. Penggunaan lafadz maa untuk yang berakal biasanya terjadi dalam karya-karya sastra baik prosa maupun puisi bahkan al-Qur’an sendiri kadang menggunakan lafadz ini untuk yang berakal. Mencintai apa dan siapa pun yang dicintai dalam konteks cinta kepada Allah, tidak terlepas dari kalimat tauhid bagian kedua. Kata wala’, mempunyai pengertian bahwa orang yang mencintai Allah sudah barang tentu mencintai apa dan siapa saja yang memiliki hubungan wala’ tersebut [cinta, loyalitas, solidaritas, kepemimpinan, perlindungan, keberpihakan, pembelaan, ketaatan dan sejenisnya.

a. Orang yang mengucap hamdallah pada saat bersin.

b. Mempermudah urusan saudara, mementingkan orang lain. c. Mencintai keindahan d. Allah mencinti keindahan .

d. Allah mencintai yang ganji.

e. Allah mencintai 3hal yaitu, sedikit makan, Sedikit tidur, Sedikit bicara. f. Allah mencintai orang yang visioner , pandanya kuat, pikiran jernih.

(11)

3. Membenci siapa saja yang dibenci sang kekasih

Sebagaimana cinta, kebencian kekasih juga ditujukan kepada pihak-pihak yang dibenci kekasihnya. Dalam konteks cinta kepada Allah, kebencian mukmin ditujukan kepada siapa saja yang tidak berpihak kepada Allah yaitu iblis dan syaitan [baik dari kalangan jin maupun manusia]. Bahkan Allah secara eksplisit menyuruhnya untuk menjadikan syaitan sebagai musuh.

a. Kafirin, ornag-orang yang kafir. b. Orang yang sombong Allah tidak suka. c. Orang yang slalu berkhianat.

d. Orang yang cabul.

4. Membenci apa yang dibenci oleh kekasih

Dalam konteks cinta kepada Allah, seorang mukmin harus membenci apa yang dibenci oleh Allah berupa kemungkaran, kemaksiatan, kedhaliman, kefasikan, kemunafikan, dusta, kebodohan, kesesatan, kemusyrikan, dan kerusakan-kerusakan lainnya. Barangkali kata fasad [kerusakan] ini merupakan istilah yang dapat

merepresentasikan segala hal yang dibenci Allah.

“Padahal Allah tidak menyukai kerusakan.” (al-Baqarah: 205)

Referensi

Dokumen terkait

riddah dalam pernikahan perspektif Imam Syafi‟i dan Kompilasi Hukum Islam yang meliputi bentuk putusnya pernikahan karena riddah. perspektif Imam Syafi‟i dan Kompilasi

Dalam al-Asmaa al-Husnaa (Nama-nama yang Baik ) , terdapat sifat- sifat pendidik dan Allah adalah sumber dari segala sumber pendidik. Karena Allah adalah yang mengajarkan

Mu’tazilah berpendirian bahwa nama-nama dan sifat-sifat yang dilekatkan kepada Allah seperti Yang Maha Kuasa, Yang Maha Hidup, dan seterusnya, tidak dimaksudkan untuk

Mu’tazilah berpendirian bahwa nama-nama dan sifat-sifat yang dilekatkan kepada Allah seperti Yang Maha Kuasa, Yang Maha Hidup, dan seterusnya, tidak dimaksudkan untuk

"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat); dan bertakwalah

Artinya : Itulah (karunia) yang (dengan itu) Allah menggembirakan hamba-hamba- Nya yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh. Katakanlah: "Aku tidak meminta

Jadi, dapat disimpulkan bahwa pengertian iman adalah pembenaran dengan segala keyakinan tanpa keraguan sedikitpun mengenai yang datang dari Allah SWT dan rasulNya..

Sebenarnya apa yang disebut dengan iman kepada yang ghaib oleh orang mukmin, adalah iman kepada hakikat yang tidak dapat diamati.. Hal ini tidak berarti