• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dispersion Modeling Of Pm10 And So2 Based On Atmospheric Boundary Layer Stability Over Industrial Area

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Dispersion Modeling Of Pm10 And So2 Based On Atmospheric Boundary Layer Stability Over Industrial Area"

Copied!
152
0
0

Teks penuh

(1)

PEMODELAN DISPERSI PM

10

DAN SO

2

DENGAN PENDEKATAN DINAMIKA STABILITAS ATMOSFER

DI LAPISAN PERBATAS PADA KAWASAN INDUSTRI

ANA TURYANTI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi berjudul Pemodelan Dispersi PM10 dan SO2 dengan Pendekatan Dinamika Stabilitas Atmosfer di Lapisan Perbatas

pada Kawasan Industri adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Februari 2016

Ana Turyanti

(4)
(5)

ANA TURYANTI. Dispersion Modeling of PM10 and SO2 based on Atmospheric Boundary Layer Stability over Industrial Area. Under supervision of TANIA JUNE, EDVIN ALDRIAN, and ERLIZA NOOR

Air pollution has been a major concern in many cities around the world as a consequence of industrials development. Understanding the potential impact of the air pollution to human health, developing strategies to mitigate the pollution should be taken seriously. This study was aimed to evaluate the dispersion of some criticals and Tangerang Regency. Such fluctuation concentration was due to some factors, one of which is atmospheric stability that comprise of static and dynamic stability. continuously in the areas of maximum concentration.

(6)

ANA TURYANTI. Pemodelan Dispersi PM10 dan SO2 dengan Pendekatan

Dinamika Stabilitas Atmosfer di Lapisan Perbatas pada Kawasan Industri.

Dibimbing oleh : TANIA JUNE sebagai ketua, EDVIN ALDRIAN dan ERLIZA NOOR masing-masing sebagai anggota.

Aktivitas pembangunan tidak bisa dilepaskan dari perkembangan sektor industri dan transportasi. Namun konsekuensi berupa emisi pencemar ke udara tidak dapat dihindari. Konsentrasi pencemar udara di suatu lokasi berfluktuasi, mengikuti kondisi meteorologi setempat. Proses pencemaran udara terjadi di lapisan atmosfer terbawah yang dikenal sebagai lapisan perbatas (boundary layer). Pemahaman mengenai dispersi pencemar udara di lapisan perbatas menjadi penting untuk menduga lokasi-lokasi yang rawan terpapar pencemar udara dengan konsentrasi maksimum. Pemantauan kualitas udara yang kontinu memerlukan biaya tinggi, sehingga penentuan lokasi pemantauan yang efektif dan representatif sangat diperlukan. Pemodelan terintegrasi meteorologi dan kualitas udara menjadi salah satu pilihan untuk dapat menganalisis kualitas udara secara spasial dari waktu ke waktu (dinamis), sehingga dapat membantu menganalisis lokasi-lokasi yang rawan pencemaran udara, juga dapat membantu mengenali karakteristik atmosfernya. Salah satu model yang dapat digunakan adalah Weather Research Forecasting-Chemistry

(WRFChem).

Bagi wilayah industri PM10 dan SO2 menjadi pencemar utama, sehingga perlu

dipelajari pola dispersi kedua jenis pencemar tersebut. Salah satu wilayah industri di Indonesia adalah Kabupaten Tangerang. Di daerah ini belum ada pemantauan

kualitas udara ambien yang kontinu, sehingga bantuan pemodelan untuk

menganalisis sebaran pencemar terutama PM10 dan SO2 menjadi sangat bermanfaat.

Wilayah ini berbatasan dengan DKI Jakarta yang merupakan wilayah urban dengan emisi yang tinggi, juga berada di pinggir pantai, sehingga dalam analisis dispersi pencemar kedua kota ini menjadi satu wilayah kajian.

Berdasarkan hasil pemodelan didapatkan bahwa pola sebaran PM10 dan SO2

mengikuti pola angin, terutama pola angin laut-darat, yang terjadi di Jakarta bagian Utara. Konsentrasi maksimum kedua pencemar pada malam hari cenderung terjadi di wilayah Jakarta Pusat dan Jakarta Utara, dengan nilai berturut-turut > 200 µg m-3 untuk PM10 dan 471 µg m-3 untuk SO2. Nilai tersebut berpotensi melebihi nilai Baku

(7)

WRFChem, didapatkan bahwa pada malam hari lapisan atmosfer stabil terbentuk pada ketebalan hingga 100 m. Di atas lapisan stabil terdapat lapisan atmosfer netral dan lapisan dengan turbulensi lemah pada ketinggian 100-200 m. Menurut teori dasar, lapisan ini disebut lapisan residual (residual layer). Lapisan ini dapat dimanfaatkan untuk melepaskan emisi pencemar bagi cerobong industri.

Terdapat perbedaan karakteristik stabilitas atmosfer antara Balaraja

(Tangerang) dan Jakarta, yaitu waktu pembentukan dan ketebalan lapisan stabil malam hari. Pada lapisan perbatas atmosfer di wilayah Jakarta, lapisan stabil dan netral terbentuk lebih awal dibandingkan dengan lokasi Balaraja Tangerang. Menjelang tengah malam hingga pagi hari lapisan stabil bertambah ketebalannya. Pada waktu ini pencemar akan mengendap dan terakumulasi di permukaan, serta dapat menurunkan kualitas udara. Oleh karena itu pada waktu-waktu tersebut disarankan untuk membatasi emisi pencemar.

Peningkatan ketebalan lapisan stabil berbeda antara wilayah Balaraja (Tangerang) dan wilayah Jakarta, diduga akibat perbedaan karakteristik permukaan Jakarta dan Balaraja. Penutupan lahan wilayah Jakarta sebagai kota besar (urban area), cenderung berupa lahan terbangun dan tertutup lapisan perkerasan serta beton, mempengaruhi kondisi atmosfer di atasnya. Sementara Balaraja walaupun banyak industri, tetapi masih banyak area yang terbuka dan termasuk daerah suburban. Lahan terbangun di wilayah Jakarta 30% lebih luas dibandingkan di Balaraja, diduga menyebabkan perbedaan ketebalan lapisan atmosfer stabil maksimum pada malam hari sekitar 26-29%. Ketebalan lapisan stabil tersebut mempengaruhi jumlah polutan yang terakumulasi dan akan mempengaruhi kualitas udara setempat.

Penurunan kualitas udara dapat menimbulkan risiko gangguan kesehatan. Risiko kesehatan (HR) dianalisis dengan pendekatan perbandingan dosis potensial dengan nilai Low Observed Adverse Effet level (LOAEL). Didapatkan bahwa dari kelima lokasi stasiun pengamatan di Jakarta, 4 diantaranya memiliki konsentrasi PM10 sudah melampaui nilai LOAEL untuk orang dewasa yang terpapar minimal 6 perhatian baik dari pemerintah maupun masyarakat.

Paparan tersebut di atas merupakan bagian dari kebaruan (novelty) penelitian ini, yaitu (a) integrasi aspek meteorologi, kimia atmosfer dan risiko keterpaparan publik terhadap pencemar udara, (b) pendekatan dinamika stabilitas atmosfer serta ketebalan lapisan perbatas dan keterkaitannya dengan konsentrasi pencemar, (c) dinamika stabilitas atmosfer sebagai basis ilmiah dalam rekomendasi kebijakan penentuan tinggi cerobong dan waktu pengamatan kualitas udara ambien.

Berdasarkan penelitian secara keseluruhan maka beberapa rekomendasi untuk kebijakan pengendalian pencemaran udara dan pengelolaan kualitas udara adalah pemantauan lebih intensif di Jakarta Pusat dan Utara, pemantauan di wilayah industri khususnya di wilayah Tangerang dilakukan 24 jam atau minimal dilakukan pada malam hari, pengajuan rekomendasi kebijakan tinggi cerobong yang aman > 150 m dan atau pengelolaan waktu emisi yang tepat melalui pembatasan emisi pada malam hari.

(8)
(9)

©

Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah, dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(10)
(11)

PEMODELAN DISPERSI PM

10

DAN SO

2

DENGAN PENDEKATAN DINAMIKA STABILITAS ATMOSFER

DI LAPISAN PERBATAS PADA KAWASAN INDUSTRI

ANA TURYANTI

DISERTASI

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

DOKTOR

pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Penguji pada Ujian Tertutup : Dr Rahmat Hidayat

Dr Ir Mahally Kudsy

Penguji pada Ujian Terbuka : Dr Rahmat Hidayat

Dr Ir Mahally Kudsy

(13)

Judul Disertasi : Pemodelan Dispersi PM10 dan SO2 dengan Pendekatan Dinamika

Stabilitas Atmosfer di Lapisan Perbatas pada Kawasan Industri

Nama : Ana Turyanti

NIM : P062100061

Disetujui oleh

Komisi Pembimbing

Dr Ir Tania June, MSc Ketua

Prof (Ris) Dr Edvin Aldrian, B.Eng, MSc Prof Dr Ir Erliza Noor

Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Pengelolaan Sumberdaya Alam

dan Lingkungan

Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr

(14)
(15)

Alhamdulillahirobbil’alamiin, puji dan syukur hanya terpanjat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala, karena dengan karuniaNya penulis dapat menyusun dan menyelesaikan disertasi ini. Ucapan terimakasih serta penghargaan yang tinggi disampaikan kepada Ibu Dr Ir Tania June, MSc. selaku Ketua Komisi Pembimbing, Bapak Prof (Ris) Dr Edvin Aldrian, B Eng, MSc dan Ibu Prof Dr Ir Erliza Noor, selaku anggota komisi pembimbing, yang telah dengan sabar dan berlapang dada membimbing penulis dalam menyusun disertasi ini. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada Bapak Prof Dr Ir Cecep Kusmana, MS sebagai Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan yang telah memberi kesempatan untuk memperdalam ilmu lingkungan pada program studi ini. Tidak lupa penulis menyampaikan ucapan terimakasih serta penghargaan yang tinggi kepada Bapak Dr Rahmat Hidayat. dan Bapak Dr Ir Mahally Kudsy sebagai penguji luar komisi pada ujian tertutup yang telah meluangkan waktu untuk menelaah disertasi ini dan memberi masukan kepada penulis dalam masalah pemodelan lingkungan.

Penulis juga menyampaikan rasa terimakasih tiada terhingga kepada Rektor IPB, Dekan FMIPA-IPB dan Ketua Departemen Geofisika dan Meteorologi (GFM) FMIPA-IPB yang telah memberi ijin penulis untuk melanjutkan studi pada program Strata-3. Tidak lupa terimakasih disampaikan kepada Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi yang telah memberi kesempatan penulis untuk mendapatkan beasiswa BPPS dalam menempuh studi ini. Penulis juga menyampaikan rasa terimakasih sebesar-besarnya kepada Bapak Prof Dr Ir Ahmad Bey selaku Kepala Bagian Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer Departemen GFM IPB yang banyak memberi masukan dan wawasan serta dorongan semangat kepada penulis. Kepada rekan-rekan sejawat di Departemen GFM penulis sampaikan terimakasih atas segala dukungan yang tiada henti, begitu pula untuk teman-teman seperjuangan di PSL 2010 dan para staf administrasi PSL, penulis sampaikan rasa terimakasih atas kebersamaan dan dukungannya. Demikian pula untuk pihak BMKG, BPLHD DKI Jakarta, BLHD Kabupaten Tangerang yang sudah membantu pelaksanaan penelitian ini.

Kepada Ayahanda Bapak Danadiredja dan Ibunda Kartimi Kursi’ah,

Ayahanda Mertua Bapak Ubad dan Ibunda Mertua Ibu Ronasih, terimakasih tiada terhingga atas pengertian, kasih sayang dan do’a yang senantiasa mengalir setiap saat. Kepada suami tercinta, Ependi dan putri-putri terkasih Syifa dan Izzati, terimakasih atas segala pengertian, pengorbanan dan cinta yang berlimpah. Banyak pihak telah membantu penyelesaian disertasi ini dan tidak dapat disebut satu per satu, penulis ucapkan terimakasih yang tulus, semoga Allah SWT membalas dengan kebaikan yang berlipat ganda dan penuh berkah.

Penulis menyadari disertasi ini masih jauh dari sempurna, namun semoga dapat memberi warna bagi perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang meteorologi dan pencemaran udara. Kritik serta saran yang membangun sangat diharapkan. Akhir kata semoga Allah SWT senantiasa meridloi langkah kebaikan

kita yang lalu, kini dan yang akan datang. Aamiin Ya Robbal ‘Alamiin.

Bogor, Februari 2016

(16)
(17)

Penulis dilahirkan di Ciamis pada tanggal 7 Juli 1971 dari pasangan Bapak

Danadiredja dan Ibu Kartimi Kursi’ah, sebagai bungsu dari 10 bersaudara. Penulis

menikah dengan Ependi putra dari Bapak Ubad dan Ibu Ronasih pada 27 April 1998, dan saat ini dikaruniai 2 putri yaitu Syifa Nadiyya Nurul Fitri dan Izzatunnisa Aulia Rahmah.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar dan menengah di Ciamis Jawa Barat. Pada tahun 1990 lulus dari SMA Negeri 1 Ciamis dan melanjutkan studi strata-1 di Institut Pertanian Bogor, dengan program studi yang diambil adalah Agrometeorologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA, lulus tahun 1995. Pada tahun 2002 penulis mendapat kesempatan untuk melanjutkan studi strata-2 pada Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung, dengan beasiswa BPPS, lulus tahun 2005. Pada tahun 2010 melanjutkan pendidikan S-3 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL), Sekolah Pascasarjana IPB, dengan beasiswa BPPS-DIKTI.

Penulis menjadi staf pengajar di Departemen Geofisika dan Meteorologi (GFM) FMIPA-IPB sejak tahun 1998. Sejak menyelesaikan pendidikan S-2 penulis memperdalam dan mengembangkan ilmu terkait meteorologi dan pencemaran udara, di Bagian Meteorologi dan Pencemaran Atmosfer Departemen GFM FMIPA IPB. Selama menjadi dosen penulis juga mengikuti berbagai seminar dan ikut aktif di organisasi Perhimpunan Meteorologi Pertanian (PERHIMPI) sebagai pengurus pusat.

(18)

DAFTAR TABEL... xx

DAFTAR GAMBAR... xx

DAFTAR LAMPIRAN ... xxii

I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang... 1

1.2 Perumusan Masalah... 2

1.3 Tujuan Penelitian... 4

1.4 Kerangka Pemikiran... 4

1.5 Manfaat Penelitian…... 7

1.6 Kebaruan (Novelty)... 7

1.7 Sistematika Penulisan... 7

II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pencemaran Udara... 9

2.2 Karakteristik Pencemar dan Dampaknya terhadap Kesehatan Masyarakat…… 10

2.2.1 Partikulat (Particulate Matter)………... 10

2.2.2 Sulfurdioksida (SO2)……….………. 11

2.3 Pengaruh Faktor Meteorologi terhadap Dispersi Pencemar Udara………. 12

2.4 Pemodelan Dispersi Pencemar Udara... 15

2.4.1 Tinjauan Umum Model Dispersi Pencemar Udara WRFChem…………. 16

2.4.2 Penggunaan WRFChem……..……….. 19

2.5 Analisis Risiko Pajanan Masyarakat terhadap Pencemar Udara... 21

2.5.1 Analisis Paparan / Pajanan………...…… 22

2.5.2 Analisis Risiko Kesehatan ………..……… 24

2.6 Kebijakan dalam Rangka Pengendalian Pencemaran Udara dan Pengelolaan Kualitas Udara sekitar Kawasan Industri...………... 25

2.7 Tinjauan Umum Lokasi Kajian…………... 26

2.7.1 Kondisi Geografi………... 27

2.7.2 Kondisi Iklim……...……… 27

2.7.3 Kondisi Kualitas Udara dan Kesehatan Masyarakat……… 28

(19)

3.3 Tahapan Analisis Data………... 32

3.3.1 Analisis Dispersi Pencemar menggunakan WRFChem……….. 33

3.3.2 Analisis Stabilitas Atmosfer berdasar Stabilitas Statis (dT/dz) dan Richardson Number(Ri)………. 33

3.3.3 Analisis Potensi Pajanan Masyarakat terhadap Pencemar dengan Konsentrasi Maksimum………... 34

V ANALISIS STABILITAS LAPISAN PERBATAS ATMOSFER WILAYAH JAKARTA DAN KABUPATEN TANGERANG 5.1 Pendahuluan ……….…….... 57

5.3.2 Analisis Stabilitas Statis dan Dinamis Lapisan Atmosfer……….. 63

5.3.3 Pengaruh Faktor Meteorologi terhadap Fluktuasi Konsentrasi Pencemar……….. 65

5.3.4 Analisis Stabilitas Atmosfer untuk Pendugaan Ketinggian Cerobong yang Aman untuk Dispersi Pencemar………. 68

5.4 Simpulan dan Saran……….. 75

5.4.1 Simpulan………..………... … 75

(20)

PAJANAN PM10 DAN SO2

6.1 Pendahuluan ……….. 76

6.2 Metode ………….………..… 77

6.2.1 Data……….…….. 77

6.2.2 Analisis Data………... 77

6.3 Hasil dan Pembahasan 6.3.1 Analisis Potensi Risiko Kesehatan di Balaraja……….… 78

6.3.2 Analisis Potensi Risiko Kesehatan di Wilayah Jakarta………. 79

6.4 Simpulan dan Saran 6.4.1 Simpulan………. 86

6.4.2 Saran……… 86

VII PEMBAHASAN UMUM………... 87

7.1 Pola Dispersi PM10 dan SO2 di Wilayah Tangerang dan Jakarta……… 88

7.2 Analisis Stabilitas Lapisan Perbatas Atmosfer Wilayah Jakarta dan Balaraja Kabupaten Tangerang 7.2.1 Analisis Stabilitas Statis dan Dinamis……….……….. 90

7.2.2 Pengaruh Faktor Meteorologi terhadap Fluktuasi Konsentrasi Pencemar………... 91

7.2.3 Analisis Stabilitas Atmosfer untuk Pendugaan Ketinggian Cerobong yang Aman untuk Dispersi Pencemar………... 92

7.3 Potensi Pajanan Masyarakat terhadap Pencemar dengan Konsentrasi Maksimum……….. 93

VIII SIMPULAN DAN SARAN 8.1 Simpulan………. 94

8.2 Saran…..………. 95

DAFTAR PUSTAKA……… 96

LAMPIRAN………... 105

(21)

No. Halaman

1 Contoh konfigurasi parameterisasi……….…………..………... 19

2 Pilihan skema parameter pada tahap WRF………... 33

3 Lokasi stasiun pengamatan kualitas udara ambien DKI Jakarta ... 39

4 Nilai koefisien korelasi r dan nilai MNBE konsentrasi PM10 model dan SO2………….. 47

5 Koefisien korelasi pola diurnal PM10luaran WRFChem dan data observasi……….. 50

6 Koefisien korelasi pola diurnal SO2 luaran WRFChem dan data observasi……….... 54

7 Nilai koefisien korelasi faktor meteorologi model dan observasi ……..………. 62

8 Nilai dT/dz vertikal lapisan atmosfer pada lokasi Balaraja (Tangerang)………. 63

9 Nilai dT/dz vertikal lapisan atmosfer rata-rata di Jakarta………. 63

10 Nilai Ri vertikal lapisan atmosfer pada lokasi Balaraja (Tangerang)………... 64

11 Nilai Ri vertikal lapisan atmosfer rata-rata di Jakarta……….. 64

12 Nilai koefisien korelasi parameter meteorologi dengan konsentrasi pencemar... 66

DAFTAR GAMBAR No. Halaman 1 Bagan alir kerangka pemikiran penelitian... 6

2 Fluktuasi ketebalan lapisan pencampuran dari waktu ke waktu... 13

3 Profil suhu dan pola kepulan asap cerobong berdasar stabilitas atmosfer………….. 14

4 Konsep pemodelan kualitas udara ambien terintegrasi... 16

5 Skema struktur pemodelan WRFChem (WRFARW)... 20

6 Curah hujan rata-rata bulanan periode 2009-2013 (Stasiun Meteorologi Curug Budiarto Tangerang……… 28

7 Arah angin bulan November dan April…………..……….. 28

8 Arah angin bulan Mei dan Juli………. 28

9 Jumlah penderita penyakit terkait pernapasan di Kecamatan Balaraja……… 29

10 Peta administratif wilayah kajian………. 30

11 Sebaran industri dan lokasi stasiun pengamatan kualitas udara ambien…... 31

12 Bagan alir tahapan penelitian………... 35

13 Lokasi stasiun pengamatan kualitas udara ambien DKI Jakarta………... 38

(22)

16 Sebaran PM10 Desember 2014 pk 11.00 WIB dan pk 05.00 WIB………. 42

23 Pola fluktuasi konsentrasi PM10 data observasi bulan (a) Agustus dan (b) Desember 48

24 Pola fluktuasi konsentrasi PM10 DKI1 bulan Agustus 2014……….. 51

25 Pola fluktuasi konsentrasi PM10 DKI1 bulan Desember 2014……….. 51

26 Pola fluktuasi konsentrasi SO2 luaran model bulan (a) Agustus dan (b) Desember 52

27 Pola fluktuasi konsentrasi SO2 data observasi bulan (a) Agustus dan (b) Desember 53

28 Fluktuasi kecepatan angin di 5 SPKU DKI Jakarta……… 54

29 Pola fluktuasi konsentrasi SO2 DKI1 bulan Agustus 2014……….... 54

30 Pola fluktuasi konsentrasi SO2 DKI1 bulan Desember 2014……… 55

31 Plot data suhu udara permukaan luaran model dan observasi………….……… 62

32 Kecepatan angina rata-rata diurnal SPKU DKI3 (Jagakarsa)………. 62

33 Plot fluktuasi ketebalan lapisan turbulen dan konsentrasi pencemar, model

dan kecepatan angin observasi………. 67

40 Nilai rata-rata Ri pada lapisan perbatas Balaraja (Kabupaten Tangerang)…... 72 41 Fluktuasi ketebalan lapisan stabil pada malam hari di Balaraja Tangerang………. 74 42 Fluktuasi ketebalan lapisan stabil pada malam hari di DKI Jakarta………..…. 74

43 Fluktuasi konsentrasi dan dosis potensial SO2Balaraja……….. 79

(23)

46 Fluktuasi konsentrasi dan dosis potensial SO2 Bundaran HI Jakarta ……….. 80

47 Fluktuasi konsentrasi dan dosis potensial PM10Kelapa Gading Jakarta ..………….. 82

48 Fluktuasi konsentrasi dan dosis potensial SO2Kelapa Gading Jakarta ……….. 82

49 Fluktuasi konsentrasi dan dosis potensial PM10Jagakarsa Jakarta ………. 83

50 Fluktuasi konsentrasi dan dosis potensial SO2Jagakarsa Jakarta ………... 83

51 Fluktuasi konsentrasi dan dosis potensial PM10 Lubang Buaya Jakarta....………….. 84

52 Fluktuasi konsentrasi dan dosis potensial SO2Lubang Buaya Jakarta ………... 84

53 Fluktuasi konsentrasi dan dosis potensial PM10Kebon Jeruk Jakarta....…... 85

54 Fluktuasi konsentrasi dan dosis potensial SO2Kebon Jeruk Jakarta ……….. 85

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1 Zona industri kawasan dan non-kawasan di Kabupaten Tangerang... 105

2 Kepadatan penduduk Kabupaten Tangerang perr Kecamatan... 106

3 (a) Contoh pola sebaran konsentrasi PM10 bulan Agustus pada pagi hari, siang hari

dan malam hari……….……… 107

(b) Contoh pola sebaran konsentrasi SO2 bulan Agustus pada pagi hari, siang hari

dan malam hari………. 108

4 (a) Contoh pola sebaran konsentrasi PM10 bulan Desember pada pagi hari, siang

hari dan malam hari……….. 109

(b) Contoh pola sebaran konsentrasi SO2 bulan Desember pada pagi hari, siang hari

dan malam hari……… 110

5 Pola diurnal PM10 bulan Agustus………. 111

6 Pola diurnal SO2 bulan Agustus………. …….. 112

7 Fluktuasi suhu udara (C) selama periode pemodelan bulan Agustus………. 113 8 Fluktuasi kecepatan angina permukaan selama periode pemodelan bulan Agustus… 114 9 Nilai stabilitas statis (dT/dz) siang hari di DKI Jakarta dan Balaraja Kabupaten

Tangerang……….. 115

(24)

(f) Nilai stabilitas statis (dT/dz) siang hari di Balaraja Kab Tangerang………….. 120 10 Kondisi permukaan lokasi penelitian

(a) DKI Jakarta (sekitar Bundaran HI)………. 121

(b) Balaraja Tangerang………..… 121

11 Variasi ketebalan lapisan stabil dan netral malam hari berdasar stabilitas statis

selama 5 hari pemodelan ………... 122

12 Plot ketebalan lapisan stabil malam hari berdasar stabilitas dinamis (Ri)

selama 5 hari pemodelan di 5 SPKU DKI Jakarta………. 124

(25)

I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan adalah upaya manusia dalam mencapai kemajuan dan kesejahteraan

hidupnya. Namun pembangunan juga menghadapkan manusia pada sebuah konsekuensi

masalah lingkungan. Bahkan pada tingkat tertentu masalah lingkungan tersebut dapat

meniadakan manfaat pembangunan itu sendiri (Soemarwoto 2008).

Pada umumnya pembangunan di negara berkembang ditandai oleh pertumbuhan

sektor industri dan transportasi yang pesat, tapi berpotensi terjadi pencemaran udara.

Pencemaran udara dapat mengakibatkan berbagai gangguan kesehatan, mulai dari

gangguan pernapasan hingga penyakit jantung, tekanan darah tinggi, stroke, kanker

berbagai organ tubuh, gangguan reproduksi serta dapat menyebabkan kematian (Ranzi et

al. 2011; Lopez-Cima et al. 2011; Bacarelli et al 2011). Hal tersebut akan lebih parah

jika pengelolaan kualitas udara dan pengendalian pencemaran udara tidak diperhatikan.

Penanganan pencemaran udara di negara berkembang seringkali terkendala,

terutama karena perhatian masyarakatnya lebih besar untuk upaya pemenuhan kebutuhan

pokok (Véron 2006). Penelitian Hu et al. (2008), mendapatkan bahwa risiko kematian

akibat stroke terdapat di wilayah dengan penduduk berpendapatan rendah, tingkat

pencemaran udara tinggi tetapi ruang terbuka hijau rendah, yang menandakan

pengelolaan kualitas udara di wilayah tersebut masih kurang.

Dampak negatif pencemaran udara berkaitan erat dengan konsentrasi dan lama

pajanan serta tingkat toksisitas pencemar. Konsentrasi pencemar udara di suatu lokasi

berfluktuasi, maka Finn et al. (2010) menyarankan konsentrasi maksimum harus

dipertimbangkan sebagai faktor penting dalam menentukan risiko pajanan.

Daerah-daerah yang rawan terpajan pencemar udara dengan konsentrasi maksimum menjadi

penting untuk dikenali, agar dapat dilakukan penanganan di lokasi tersebut ataupun

dilakukan pengendalian emisi dari sumbernya. Perlu ada kebijakan pemerintah serta

kerjasama dengan pihak terkait untuk melakukan pengendalian emisi dalam rangka

pengendalian pencemaran udara dan pengelolaan kualitas udara.

Menurut Brook et al.(2007), hal penting dalam pengelolaan kualitas udara adalah

membuat hubungan kuantitatif antara besar emisi dan konsentrasi pencemar di udara

ambien untuk memudahkan pemahaman mengenai pergerakan pencemar serta berapa

besar kemungkinan dampak negatif yang dihasilkan. Pergerakan pencemar serta

(26)

lapisan perbatas (boundary layer). Lapisan ini merupakan lapisan tempat manusia

beraktivitas, sehingga kualitasnya berdampak pada kesehatan manusia dan

lingkungannya. Faktor meteorologi seperti arah dan kecepatan angin rata-rata, fluktuasi

kecepatan turbulen, serta stabilitas atmosfer sangat berpengaruh terhadap proses

terjadinya pencemaran udara pada lapisan tersebut (Oke 1986, Nasstrom et al. 2000,

Stroh et al 2005), oleh karena itu penting untuk memahami karateristik meteorologi

lapisan perbatas dalam rangka menganalisis proses pencemaran udara.

Daerah sekitar kawasan industri maupun daerah yang ditempati oleh banyak

industri merupakan salah satu lokasi penting yang perlu dipantau kualitas udaranya.

Pencemar utama di wilayah industri antara lain PM10 dan sulfurdioksida (SO2), memiliki

dampak buruk bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Selain menyebabkan gangguan

saluran pernapasan, partikel dapat mengandung pencemar lain seperti logam berat yang

membahayakan kesehatan. Salah satu contoh adalah adanya potensi kematian akibat

kanker pada populasi wanita terutama di lokasi yang terpajan logam berat dengan

konsentrasi tinggi bersumber cerobong incinerator di Forli, Itali (Ranzi et al 2011).

Lokasi serta waktu yang berpotensi terpajan konsentrasi pencemar maksimum

dapat dikenali dengan cara pemantauan kontinu dalam waktu yang lama, namun

memerlukan biaya yang tidak sedikit. Hal tersebut dapat dibantu menggunakan

pemodelan. Salah satu pemodelan kualitas udara yang sudah memadukan proses fisika

dan kimia atmosfer adalah Weather Research Forecasting – Chemistry (WRF/Chem).

Pada model ini proses transport maupun transformasi kimia pencemar berlangsung secara

simultan atau disebut online couple (Grell et al. 2005; Yerramilli et al. 2012; Zhang et al.

2009; Tucella et al. 2011). Di Indonesia beberapa penelitian yang sudah menggunakan

model WRF-Chem diantaranya untuk dispersi pencemar perkotaan (Darmanto dan

Sofyan 2011), serta pemodelan dispersi asap kebakaran hutan (Heriyanto 2015, Nuryanto

2015).

1.2 Perumusan Masalah

Di Indonesia kemajuan di bidang industri sangat pesat dan tidak akan terlepas dari

dampaknya terhadap kualitas udara dan kesehatan masyarakat. Pemantauan kualitas

udara ambien menjadi hal yang penting, namun masih ada permasalahan yaitu :

a. Pemantauan kualitas udara ambien secara kontinu belum memadai, hanya ada di

kota-kota besar, belum menjangkau wilayah-wilayah industri yang cukup tersebar di

daerah suburban. Sesuai Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 12 Tahun

(27)

dilaporkan setahun sekali, dengan lokasi-lokasi yang sudah ditentukan

peruntukannya.

b. Lokasi dan waktu pemantauan yang dilakukan di wilayah industri tidak konsisten.

Pada umumnya pemantauan dilakukan hanya pada satu waktu tertentu yaitu siang

hari, dan hanya berorientasi kepada kesehatan dan keselamatan kerja karyawan

industri setempat serta sebagai persyaratan memenuhi dokumen lingkungan hidup

sesuai peraturan yang berlaku.

c. Pengukuran kualitas udara ambien di lingkungan masyarakat umum sangat terbatas,

serta belum melibatkan secara aktif pengaruh faktor meteorologi

d. Pemodelan belum banyak digunakan untuk membantu menentukan kebijakan

khususnya dalam pengelolaan kualitas udara dan pengendalian pencemaran udara

Pada peraturan yang berlaku, faktor meteorologi sudah masuk sebagai bahan

pertimbangan dalam penentuan lokasi pemantauan kualitas udara. Panitia Teknis Sistem

Manajemen Lingkungan sudah memasukkan faktor meteorologi dalam tata cara sampling

udara ambien dan sudah distandarisasi dalam SNI No. 19-7119.6-2005, dan untuk

sampling udara pinggir jalan atau roadside tercantum dalam SNI No. 19-7119.9-2005

(BSN 2005). Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup No.12 tahun 2010 Lampiran

VI tentang Pedoman Teknis Pemantauan Kualitas Udara Ambien, juga sudah

memasukkan faktor meteorologi sebagai faktor yang dipertimbangkan (KLH 2010).

Namun seperti apa faktor tersebut dilibatkan dalam proses penentuan lokasi dan waktu

sampling tidak dijelaskan.

Salah satu lokasi di Indonesia yang merupakan wilayah yang cukup pesat

perkembangan industrinya adalah Kabupaten Tangerang. Menurut hasil analisis Fiddien

et al. (2014), 3 kecamatan yang paling besar kontribusinya terhadap perkembangan

luasan lahan industri di Kabupaten Tangerang adalah Balaraja, Cikupa dan Tigaraksa.

Ketiga kecamatan tersebut mengalami penambahan luas wilayah industri sekitar 840.88

Ha dari tahun 2005 hingga 2013.

Bahkan ke depan sesuai Rencana Tata Ruang dan Wilayah Kabupaten Tangerang

Tahun 2011 – 2031, direncanakan wilayah industri besar dan sedang akan diperluas

berturut-turut menjadi 8 407 Ha dan 3 586 Ha. Maka potensi pencemaran udara juga

akan meningkat. Namun demikian di Kabupaten Tangerang belum ada pemantauan

kualitas udara ambien secara kontinu. Selama ini pemantauan kualitas udara ambien

hanya dilakukan oleh masing-masing industri. Hal ini belum sejalan dengan Peraturan

(28)

Pemantauan kualitas udara yang kontinu memerlukan biaya tinggi, sehingga

penentuan lokasi pemantauan yang efektif dan representatif sangat diperlukan.

Pemodelan terintegrasi meteorologi dan kualitas udara menjadi salah satu pilihan untuk

dapat menganalisis kualitas udara secara spasial dari waktu ke waktu (dinamis), sehingga

dapat membantu menganalisis lokasi-lokasi yang rawan pencemaran udara, serta dapat

membantu mengenali karakteristik atmosfernya. Bagi wilayah industri PM10 dan SO2

menjadi pencemar utama, sehingga perlu dipelajari pola dispersi kedua jenis pencemar

tersebut.

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini adalah mendapatkan model dispersi PM10 dan SO2

menggunakan WRF/Chem dengan pendekatan dinamika stabilitas atmosfer di lapisan

perbatas untuk menduga potensi pajanan pencemar udara masyarakat sekitar kawasan

industri. Adapun tahapan yang dilakukan dalam mencapai tujuan utama tersebut adalah :

1. Menganalisis pola sebaran pencemar udara dan pengaruh stabilitas atmosfer di lapisan

perbatas terhadap pola dispersi spasial PM10 dan SO2 menggunakan model

WRF/Chem

2. Menduga potensi pajanan pencemar udara bagi masyarakat di wilayah kajian

3. Mengajukan rekomendasi metoda pengendalian pencemaran udara serta lokasi dan

waktu pemantauan kualitas udara sekitar wilayah industri

1.4 Kerangka Pemikiran

Lokasi-lokasi yang berpotensi mengalami pajanan pencemar udara dengan

konsentrasi maksimum perlu dikenali, karena penting dalam menentukan kebijakan yang

harus diambil. Salah satu upaya pengenalan lokasi-lokasi tersebut adalah melalui analisis

dipersi pencemar udara. Dispersi pencemar udara ditentukan oleh karakteristik emisi dan

karakteristik meteorologi setempat. Karakteristik emisi meliputi laju emisi, jenis dan

besaran emisi, yang bergantung pada aktivitas sumber. Pengendaliannya sangat

ditentukan oleh pengelola industri itu sendiri yaitu dengan pengaturan aktivitas serta

bentuk fisik cerobong sebagai media yang menjadi alat pengeluaran emisi ke udara.

Pencemar yang diemisikan ke atmosfer akan mengalami transportasi dan atau

trasnformasi kimia, yang ditentukan oleh karakteristik meteorologi dan topografi

setempat, seperti arah dan kecepatan angin, turbulensi vertikal serta stabilitas atmosfer

(29)

menunjukkan kecenderungan gerak vertikal udara, yang berkaitan erat dengan gradien

suhu (dT) dan kecepatan angin (dū) secara vertikal (dz). Secara umum ketika kondisi

atmosfer tidak stabil maka udara termasuk kandungan pencemar di dalamnya akan

cenderung bergerak vertikal dan terjadi pengenceran. Sebaliknya pada saat atmosfer

stabil maka udara cenderung mengendap, dan pencemar berpotensi terakumulasi di

permukaan, sehingga konsentrasinya maksimum. Penentu stabilitas atmosfer bukan

hanya suhu udara tetapi juga kecepatan angin antar lapisan. Stabilitas atmosfer dan

kecepatan angin bersama-sama mempengaruhi posisi konsentrasi maksimum polutan

jatuh di permukaan (Palau et al. 2008; Ruhiyat 2009).

Kondisi permukaan seperti jenis tutupan lahan dan topografi, akan menentukan

kondisi meteorologi lapisan udara di atasnya (lapisan perbatas), yang selanjutnya

mempengaruhi perilaku pergerakan (transportasi) maupun transformasi pencemar di

udara. Dengan demikian dispersi pencemar dipengaruhi oleh karakteristik atmosfer

lapisan perbatas. Parameter meteorologi dan pencemar saling mempengaruhi satu sama

lain, sehingga terdapat hubungan yang kompleks antara zat pencemar dan parameter

meteorologi serta antar parameter meteorologi itu sendiri. Pemodelan akan membantu

menggambarkan hubungan tersebut secara kuantitatif, serta menghubungkan besar emisi

dengan konsentrasi pencemar di udara ambien, yang sangat penting dalam rangka

pengelolaan kualitas udara (Brook et al. 2007, Yerramilli et al. 2011).

Konsep pengendalian pencemaran udara (Air Pollution Control)lebih menekankan

pada kebijakan-kebijakan dalam aktivitas sumber pencemar. Sebagai contoh penerapan

konsep produksi bersih, penanganan limbah sebelum keluar area sumber, serta

teknik-teknik pengendalian emisi lainnya. Pada masalah pencemaran udara, yang umum

dilakukan adalah dengan cara pengaturan aktivitas emisi, pengaturan tinggi dan bentuk

cerobong, penggunaan alat tambahan untuk menyaring, dan sebagainya (Cooper dan

Alley 2011). Ketinggian emisi jika ditempatkan secara tepat, maka tidak akan terlalu

membahayakan kualitas udara di permukaan.

Konsep pengelolaan kualitas udara berkaitan dengan kebijakan dalam memelihara

lingkungan udara ambien, termasuk di dalamnya pemantauan kualitas udara yang

kontinu. Menurut Shin et al (2009), seringkali terjadi perrubahan bentuk hubungan antara

konsentrasi pencemar dan dampak kesehatan, sebagai akibat dari perpindahan lokasi

pemantauan kualitas udara ambien. Oleh karena itu lokasi pemantauan kualitas udara

ambien seharusnya tetap atau tidak berpindah sepanjang waktu, agar mengurangi

(30)

lokasi tersebut dapat dibantu oleh pemodelan. Pemodelan kualitas udara sebaiknya

dihubungkan dengan evaluasi keterpaparan penduduk sehingga dapat memberikan

dukungan yang baik terhadap pengelolaan kualitas udara perkotaan, membantu memberi

pertimbangan dan menyediakan data penting untuk pengambil keputusan dan informasi

mengenai risiko kesehatan dalam bentuk risiko keterpaparan populasi (Baklanov et al.

2007).

Berdasar pemaparan di atas maka pengambilan kebijakan pengendalian

pencemaran udara dan pengelolaan kualitas udara harus dibuat berdasar analisis yang

terintegrasi berbasis dinamika emisi pencemar, dinamika atmosfer, serta sosial-ekonomi

masyarakat. Pengendalian emisi pencemar harus memperhatikan kondisi meteorologi

setempat, terutama kondisi stabilitas atmosfer. Pengenalan lokasi-lokasi yang rawan

terpapar pencemar udara dengan konsentrasi maksimum penting dilakukan, agar

kebijakan yang diterapkan lebih tepat sasaran. Gambar 1 menunjukkan bagan alir

kerangka pemikiran dan penyelesaian masalah dalam penelitian ini.

(31)

1.5 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat antara lain :

1. Memberi kontribusi ilmiah penerapan sains atmosfer dalam masalah lingkungan

khususnya pencemaran udara

2. Menjadi bahan masukan bagi industri terkait tinggi cerobong dan waktu emisi

yang aman, dalam rangka upaya pengendalian pencemaran dan pengelolaan

kualitas udara

3. Dapat dijadikan basis bagi pemerintah dalam penentuan kebijakan terkait lokasi

aman dan rawan terhadap pencemaran udara untuk pemukiman di sekitar kawasan

industri

4. Dapat digunakan dalam menentukan lokasi pemantauan kualitas udara ambien

kontinu sebagai bagian kebijakan dalam pengelolaan kualitas udara, serta dapat

dijadikan basis dalam analisis risiko kesehatan masyarakat

5. Sebagai informasi bagi masyarakat mengenai kualitas udara di lingkungannya,

agar menjadi bahan pertimbangan dalam aktivitas sehari-hari, dan lebih

menyadari risiko kesehatan yang dihadapi

1.6 Kebaruan (Novelty)

Penelitian ini memiliki nilai kebaruan berupa :

1. Integrasi antara aspek meteorologi, kimia atmosfer serta keterkaitannya dengan

potensi risiko keterpaparan pencemar udara bagi publik

2. Analisis keterkaitan konsentrasi pencemar dengan dinamika ketebalan lapisan

perbatas di wilayah kajian

3. Dinamika stabilitas lapisan perbatas sebagai basis ilmiah dalam rekomendasi

kebijakan penentuan tinggi cerobong dan waktu pemantauan kualitas udara

ambien

1.7 Sistematika Penulisan

Disertasi ini dibagi ke dalam 8 Bab yang terdiri dari Pendahuluan, Tinjauan

Pustaka, Metodologi, 3 Bab Hasil Analisis dan Pembahasan, Pembahasan Umum,

Simpulan dan Saran. Bab Pendahuluan berisi latar belakang penelitian terkait

pencemaran udara beserta dampak dan faktor yang mempengaruhinya, serta

permasalahan terkait pengendalian dan pengelolaan kualitas udara. Pada bab ini juga

diuraikan manfaat penelitian, kebaruan (novelty) serta ruang lingkup penelitian termasuk

(32)

disampaikan pada Bab II yaitu Tinjauan Pustaka. Karakteristik pencemar yang dipilih,

pengaruh faktor meteorologi serta teori dasar mengenai lapisan perbatas juga dampak

pencemar terhadap kesehatan masyarakat dibahas pada Bab II ini, termasuk di dalamnya

tinjauan tentang model WRFChem dan tinjauan umum wilayah kajian. Bab III

menyajikan metodologi, mulai dari penentuan lokasi kajian dan waktu penelitian, serta

metode analisis yang digunakan secara keseluruhan. Bab IV membahas hasil penelitian

mengenai pola dispersi pencemar PM10 dan SO2 di wilayah Tangerang dan Jakarta. Hasil

analisis model WRFChem dibahas secara spasial maupun temporal, serta dibahas

mengenai validasinya. Bab V membahas analisis stabilitas statis dan dinamis lapisan

perbatas wilayah Jakarta dan Kabupaten Tangerang. Stabilitas atmosfer secara temporal

dibahas untuk melihat keterkaitannya dengan fluktuasi konsentrasi pencemar. Stabilitas

atmosfer dianalisis melalui 2 pendekatan yaitu statis dan dinamis, dan ditelaah antar

lapisan secara vertikal, serta dibahas implikasinya terhadap kebijakan pengendalian

pencemaran udara di wilayah Balaraja Kabupaten Tangerang dan DKI Jakarta. Tingkat

keamanan kualitas udara ambien diukur berdasar pengaruhnya terhadap kesehatan

masyarakat, yang dapat diduga dari potensi paparan pencemar, yang dibahas pada Bab

VI. Bab ini menguraikan tentang potensi pajanan masyarakat terhadap PM10 dan SO2

dengan konsentrasi maksimum di sekitar kawasan industri, dalam hal ini diwakili oleh

Kecamatan Balaraja Kabupaten Tangerang. Wilayah Jakarta Pusat dan Jakarta Utara juga

dianalisis sebagai wilayah perkotaan yang berpotensi terpapar konsentrasi maksimum

selama periode penelitian. Potensi pajanan diduga berdasar laju intake dan perkiraan

dosis yang diterima tubuh serta dibandingkan dengan Lowest Observed Adverse Effect

Level (LOAEL). Keseluruhan penelitian dibahas secara umum pada Bab VII. Pada bab

ini hasil penelitian dibahas mulai dari sebaran dispersi hingga potensi pajanan terhadap

masyarakat. Ditutup dengan beberapa rekomendasi kebijakan berdasar hasil penelitian,

seperti waktu dan lokasi yang representatif untuk pemantauan kualitas udara ambien,

ketinggian cerobong yang aman untuk dispersi, waktu yang direkomendasikan untuk

penghentian emisi sementara, serta waktu-waktu yang aman bagi warga masyarakat

untuk beraktivitas di luar. Disertasi ditutup dengan simpulan dan saran pada Bab VIII,

yang berisi mengenai simpulan umum serta saran-saran berupa alternatif kebijakan

pemerintah. Keseluruhan informasi baik teori maupun data pendukung merujuk pada

(33)

II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pencemaran Udara

Atmosfer mengandung berbagai gas, dengan jumlah bervariasi dari waktu ke

waktu, namun ada pula beberapa gas yang berjumlah tetap. Fluktuasi jumlah gas terjadi

karena masukan yang berasal dari emisi berbagai sumber di permukaan bumi, serta

reaksi-reaksi kimia yang terjadi di atmosfer. Secara alami, udara memiliki kemampuan

untuk menampung serta mengencerkan zat yang masuk dari berbagai aktivitas di

permukaan bumi tersebut. Namun demikian pada tingkat tertentu udara memiliki batas

jenuh, sehingga penambahan zat yang masuk secara terus menerus dapat mengakibatkan

pencemaran udara. Seinfeld (1986) mendefinisikan pencemaran udara sebagai kondisi

atmosfer dengan kandungan substansi yang sudah melebihi batas normal, yang dapat

menimbulkan pengaruh (yang terukur) pada manusia, hewan, vegetasi maupun bahan

bangunan. Substansi yang dimaksud adalah unsur kimia alami atau buatan manusia atau

senyawa yang terbentuk di udara, berupa gas, butir cairan atau partikel padat, yang

bersifat membahayakan ataupun aman, tetapi lebih ditekankan pada efek yang tidak

diharapkan. Undang-undang RI No.32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup, serta Peraturan Pemerintah RI Nomor 41 tahun 1999 tentang

Pengendalian Pencemaran Udara, mendefinisikan pencemaran udara sebagai proses

masuk atau dimasukkannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke udara

dan atau berubahnya tatanan udara oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga

kualitas udara turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara menjadi kurang

atau tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya (KLH 2002, KLH 2009).

Definisi di atas menggambarkan bahwa unsur yang terkait dalam pencemaran udara

adalah sumber pencemar, atmosfer sebagai media, dan reseptor. Emisi pencemar dapat

berasal dari berbagai sumber seperti industri, transportasi juga domestik, dan secara alami

dapat bersumber dari letusan gunung berapi maupun percikan air laut dan penghancuran

mahluk hidup secara biologi. Atmosfer merupakan media tempat terjadinya transformasi

kimia dan transportasi pencemar, sehingga karakteristik atmosfer akan sangat

mempengaruhi proses pencemaran udara. Reseptor menerima pencemar dan akan

bereaksi terhadap pencemar yang berlebih.

Pencemar udara adalah substansi di atmosfer yang pada kondisi tertentu, akan

membahayakan manusia, hewan, tanaman atau kehidupan mikroba atau bahan bangunan

(34)

dengan penggunaan bahan bakar fosil yang umumnya digunakan pada aktivitas industri

serta transportasi.

2.2 Karakteristik Pencemar dan Dampaknya terhadap Kesehatan Masyarakat

Jenis pencemar udara yang dominan berasal dari emisi industri bergantung pada

berbagai aktivitas yang terjadi dalam industri, baik aktivitas produksi maupun aktivitas

lain seperti penggunaan bahan bakar untuk pembangkit tenaga listrik. Pada umumnya

pencemar yang dominan atau selalu terkandung dalam emisi industri adalah partikel (PM)

dan sulfurdioksida (SO2). Partikel dan gas memiliki karakteristik berbeda, sehingga akan

mempengaruhi pola penyebarannya. Hal tersebut melandasi dipilihnya PM10 dan SO2

dalam penelitian ini.

2.2.1 Partikulat (Particulate Matter)

Partikulat merupakan bahan padat atau cair dengan diameter bervariasi mulai

ukuran 0.001µm (fumes) hingga lebih dari 100 µm (debu kasar) bercampur dengan gas

yang keluar dari sumber pencemar dan masuk ke atmosfer (Wark & Warner 1981, Cooper

& Alley 2011, Ostro 2004, WHO 2006). Sumber utama partikulat di lingkungan

perkotaan dapat berupa kendaraan bermotor maupun industri. Namun demikian

partikulat juga dapat terbentuk secara sekunder di atmosfer, sebagai akibat teroksidasinya

SO2 menjadi aerosol sulfat (Wallace & Hobbs 2006). Menurut Yerramilli et al (2011),

di daerah urban, partikulat sekunder terdapat dalam bentuk sulfat dan nitrat dalam kisaran

konsentrasi 10 – 40 µg m-3 bahkan dapat mencapai 100 µg m-3.

Secara fisik untuk penentuan kualitas udara ambien, partikulat dikelompokkan

menjadi PM10 yaitu partikulat dengan ukuran <10m, PM2,5 yaitu partikulat dengan ukuran < 2,5m, dan TSP (Total Suspended Particulate) yaitu seluruh partikel yang tercampur di udara (KLH 2002, WHO 2006). Secara kimia partikel dapat dikelompokkan

menjadi partikel anorganik (garam-garaman, berbagai oksida, senyawa nitrogen, senyawa

sulfur, berbagai logam, dan radionuklida) dan fly ash (sisa debu dari sistem cerobong

industri yang menggunakan bahan bakar fossil; komposisi kimia dan ukurannya akan

bergantung pada sumber bahan bakar). Kandungan partikel seperti logam dan

radionuklida dapat mengakibatkan timbulnya penyakit lain yang sama sekali tidak

berkaitan dengan penyakit pernafasan, tetapi terkait dengan penyakit kronis seperti

kanker, akibat kandungan kimia di dalam partikulat yang terhisap dan masuk ke dalam

(35)

Dampak partikulat terhadap gangguan saluran pernafasan menjadi hal yang paling

umum muncul, seperti radang paru, penurunan fungsi pernafasan hingga pada kasus

kronis timbul kanker paru (WHO 2006). Partikulat yang terdapat di udara perkotaan dan

lingkungan industri merupakan faktor penting untuk pemicu penyakit jantung kronis dan

kematian, dengan mekanisme berawal dari hypoxia, radang paru, penurunan fungsi paru,

viskositas plasma darah meningkat dan laju jantung meningkat (Pope 2001). Menurut

Bacarelli et al. (2011), partikulat berdampak pada peningkatan tekanan darah. PM10

dapat meningkatkan produksi dahak kronis dan sesak napas pada orang dewasa

non-perokok selain itu, dapat memicu asthma juga menimbulkan eczema dan alergi rhinitis

pada anak-anak di lingkungan perkotaan (Zemp et al. 1999,Pénard-Morand et al. 2010).

Dampak terhadap lingkungan, partikulat terutama yang berukuran kecil bersifat

mampu menyerap dan memencarkan cahaya sehingga dapat menurunkan jarak pandang

(visibility), mudah masuk ke pernafasan serta mampu menyerap substansi lain di atmosfer

yang menyebabkan kerusakan bahan bangunan, tekstil, tanaman dan kesehatan manusia

dan hewan. Partikel dengan ukuran yang lebih besar cenderung tersaring oleh

rambut-rambut di saluran pernapasan dan dapat keluar melalui dahak atau tertelan (Manahan

1992). Selain itu pada skala global, jika jumlah partikulat di atmosfer terus meningkat,

dapat menghalangi masuknya radiasi matahari, sehingga efeknya adalah penurunan suhu

udara permukaan.

2.2.2 Sulfurdioksida (SO2)

Sulfurdioksida (SO2) merupakan gas yang tidak berwarna dengan bau menyengat,

dapat mencair ketika diberi tekanan, mudah larut dalam air dan tidak mudah terbakar (US

Departement of Health and Human Services 1998). Sumber senyawa sulfur di atmosfer

adalah penghancuran secara biologi (biology decay), pembakaran bahan bakar fossil dan

bahan organik, dan percikan air laut serta industri peleburan logam. Aktivitas

antropogenik melepaskan sulfur terutama dalam bentuk SO2, yang selanjutnya teroksidasi

menjadi SO3, kedua senyawa tersebut dikenal sebagai oksida sulfur (SOx). SO2 bersifat

larut dalam air dan dapat mengiritasi mata, kulit, selaput lendir dan sistem pernafasan

serta pada konsentrasi tinggi dapat menyebabkan kanker paru hingga kematian (Seinfeld

1986, Abbey et al. 1999). Jika membentuk kabut (haze) dari reaksi fotokimia aerosol,

SO2, oksida nitrogen dan hidrokarbon di atmosfer, senyawa sulfur dapat menurunkan

jarak pandang; jika bereaksi dengan air hujan akan meningkatkan keasaman air hujan

(36)

menyebabkan korosi logam dan bahan bangunan lain.Waktu tinggal SO2 dapat mencapai

6 hari, sehingga memungkinkan adanya akumulasi sebelum bereaksi dengan zat lain.

Sifat SO2 yang mudah larut menyebabkan SO2 mudah diserap oleh bagian yang

lembab pada sistem pernafasan bagian atas. Pada konsentrasi di atas 1 ppm dengan

periode pemaparan 5 menit saja sudah dapat mengakibatkan gangguan kesehatan

terutama pada saluran pernafasan. Periode pajanan  1 hari dapat menyebabkan

penurunan kesehatan pada pasien dengan gejala penyakit bronchitis, bahkan dapat

meningkatkan kematian, pajanan singkat tetapi mencapai > 40 ppm juga dapat berakibat

kematian (Seinfeld 1986, US Departement of Health and Human Services 1998). Pajanan

dengan konsentrasi kecil tetapi lama sebagai contoh terpapar 0.4 – 3.0 ppm selama 20

tahun, dapat menyebabkan perubahan fungsi paru.

2.3 Pengaruh Faktor Meteorologi terhadap Dispersi Pencemar Udara

Pencemaran udara terjadi pada lapisan terendah atmosfer yang disebut lapisan

perbatas (atmospheric boundary layer– ABL). Lapisan perbatas adalah lapisan atmosfer

yang sifat-sifat dan karakteristiknya sangat ditentukan oleh kondisi permukaan di

bawahnya, tempat terjadinya pertukaran momentum, panas ataupun massa, yang

diakibatkan oleh interaksi antara permukaan dengan lapisan udara di atasnya (Arya 2001).

Ketebalan lapisan ini sangat dipengaruhi oleh laju pemanasan ataupun pendinginan

permukaan, kekuatan angin, kekasapan permukaan, serta karakteristik topografi. Lapisan

ini juga dikenal sebagai lapisan pencampuran (mixing layer).

Secara spasial ketebalan lapisan pencampuran rata-rata 1 km dengan kisaran 0.2 –

5 km, bergantung pada lokasi geografisnya di permukaan bumi. Secara temporal,

ketebalan lapisan pencampuran berfluktuasi sesuai dengan besaran radiasi yang diterima

permukaan (Gambar 2). Pada pagi hari intensitas radiasi matahari masih rendah,

pemanasan belum intensif. Semakin siang pemanasan makin intensif dan lapisan udara

semakin mengembang sehingga ketebalan lapisan pencampuran pun meningkat hingga

mencapai maksimum beberapa saat setelah tengah hari, sesuai dengan fluktuasi suhu

udara permukaan. Menjelang sore radiasi matahari menurun maka suhu udara juga

menurun, dan lapisan pencampuran menipis hingga mencapai ketebalan terendah pada

malam hingga pagi hari. Fluktuasi ketebalan lapisan ini berimplikasi terhadap proses

pencampuran pencemar udara, sehingga pada siang hari proses pencampuran intensif dan

berpotensi menurunkan konsentrasi pencemar. Sebaliknya pada malam hari volume

(37)

Gambar 2 Fluktuasi ketebalan lapisan pencampuran berdasar waktu (Sheng 2004)

Konsentrasi pencemar di udara selain dipengaruhi oleh ketebalan lapisan

pencampuran juga dipengaruhi laju emisi dari sumber, laju perubahan baik fisik maupun

kimia dari pencemar, serta dispersi dan transportasi pencemar dari dan ke suatu wilayah

lainnya (Yerramilli et al. 2011). Menurut Arya (1999), mekanisme dispersi pencemar

dari suatu sumber emisi dipengaruhi oleh karakteristik sumber emisi dan karakteristik

meteorologi dan topografi setempat.

Faktor meteorologi terdiri dari unsur-unsur radiasi matahari, suhu dan tekanan

udara, angin, curah hujan, kelembaban, serta evaporasi. Faktor meteorologi yang

berpengaruh langsung terhadap dispersi pencemar adalah angin (arah dan kecepatan)

serta stabilitas atmosfer. Kelembaban dan curah hujan lebih berpengaruh pada proses

removal atau penghilangan pencemar. Sementara itu bentuk topografi akan turut

mempengaruhi karakteristik meteorologi setempat, terutama pola angin (Turyanti 2005).

Radiasi tidak secara langsung mempengaruhi dispersi, tetapi mempengaruhi fluktuasi

suhu dan tekananyang akan mempengaruhi angin dan stabilitas atmosfer.

Stabilitas atmosfer adalah kecenderungan udara untuk bergerak secara vertikal.

Stabilitas atmosfer dibagi 3 kelompok utama yaitu: stabil, netral dan tidak stabil. Pada

saat atmosfer tidak stabil, suhu menurun terhadap ketinggian ditandai dengan laju

penurunan suhu udara lebih tajam, terutama jika dibandingkan dengan laju penurunan

suhu udara kering atau dikenal sebagai Dry Adiabatic Lapse Rate (DALR) yang

diasumsikan sebesar 6-7 ºC/km (Wallace & Hobbs 2006). Kondisi atmosfer netral

ditunjukkan oleh laju penurunan suhu udara sama dengan DALR. Kondisi stabil terjadi

ketika suhu udara meningkat terhadap ketinggian, atau dikenal pula dengan istilah inversi.

Contoh paling mudah untuk melihat gambaran stabilitas atmosfer dan hubungannya

(38)

kondisi stabilitas (Gambar 3). Grafik sebelah kiri pada Gambar 3 menunjukkan profil

suhu udara terhadap ketinggian pada ketiga kondisi stabilitas atmosfer.

Pada kondisi netral pergerakan udara secara vertikal dan horizontal seimbang,

sedangkan pada kondisi stabil pergerakan udara cenderung horizontal atau bahkan terjadi

kecenderungan pengendapan pencemar. Sementara itu kondisi tidak stabil mendorong

udara bergerak vertikal secara intensif menyebabkan konsentrasi pencemar di permukaan

menurun. Hal ini umumnya terjadi pada siang hari.

Gambar 3 Profil suhu dan pola kepulan asap cerobong berdasar stabilitas atmosfer (a) tidak stabil, (b) netral dan (c) stabil (Godish 2004)

Stabilitas atmosfer dan kecepatan angin bersama-sama mempengaruhi posisi

konsentrasi maksimum polutan jatuh di permukaan (Palau et al. 2008; Ruhiyat 2009).

Pada kondisi atmosfer tidak stabil, jarak konsentrasi maksimum polutan di permukaan

menjadi lebih dekat dengan sumber dengan konsentrasi yang lebih tinggi, sedangkan pada

kondisi stabil sebaliknya, jarak konsentrasi polutan maksimum di permukaan menjadi

lebih jauh dari sumber dengan konsentrasi lebih rendah. Menurut penelitian Ashrafi dan

Hoshyaripour (2010), hubungan yang kuat antara kualitas udara dan stabilitas atmosfer

terjadi pada saat musim panas, dan melemah pada musim dingin, dan lebih lemah pada

musim semi dan gugur. Angin yang kuat pada musim semi dan gugur mempengaruhi

lemahnya korelasi tersebut.

Pengaruh angin terhadap dispersi pencemar terjadi baik karena arah maupun

(39)

angin akan menentukan seberapa jauh pencemar akan terbawa sepanjang arah angin

dominan. Hal ini menunjukkan, bahwa pada lokasi-lokasi tertentu akan terjadi akumulasi

polutan lebih tinggi dibanding yang lain.

Memandang berbagai faktor yang mempengaruhi dispersi pencemar, maka dapat

dipahami bahwa tingkat pencemaran udara di suatu wilayah/lokasi sangat ditentukan oleh

sumber yaitu jenis dan besar emisinya, serta oleh kondisi meteorologi yaitu angin dan

stabilitas atmosfer. Kedua faktor utama tersebut merupakan faktor yang sangat dinamis,

sehingga dalam menduga dampak pencemaran udara memerlukan bantuan pemodelan.

2.4 Pemodelan Dispersi Pencemar Udara

Pemodelan kualitas udara yang paling umum digunakan adalah dengan pendekatan

sebaran gauss atau dikenal sebagai Gaussian Model, tetapi lebih sesuai untuk analisis

sumber titik, atau pun modifikasi dari sumber garis. Model Gauss merupakan model

dispersi yang relatif sederhana sehingga banyak digunakan, tetapi menggunakan banyak

asumsi yang terlalu ideal (Beychok 2003). Beberapa penelitian sebelumnya yang

menggunakan dispersi Gauss adalah Rahmawati (2003), Hadibowo & Huboyo (2006),

Warlina (2008), Ruhiyat (2009).

Pemodelan kualitas udara yang melibatkan karakteristik dinamika atmosfer, pada

umumnya menggabungkan model prediksi cuaca numerik (Numerical Weather

Prediction/NWP) dengan model pencemaran udara, sehingga menghasilkan model

kualitas udara yang terintegrasi (Grell et al. 2005). Contoh model yang sudah banyak

digunakan adalah model WRF/HYSPLIT (Srinivas et al. 2009, Yerramilli et al. 2008),

MM5/CHIMERE, WRF/CHIMERE (Jorba et al. 2008, de Meij et al. 2009, Menut et al.

2012, Terrenoire 2013), MM5/CMAQ (Zhou et al. 2012, Sharma et al. 2014). Semua

model tersebut merupakan model offline couple, yaitu pasangan model tetapi dijalankan

masing-masing, model meteorologi dijalankan di awal lalu outputnya menjadi input

untuk model pencemaran udara.

Perkembangan teknologi komputer mendorong perkembangan dunia pemodelan,

termasuk dikembangkannya model online couple, yaitu model meteorologi yang

dijalankan simultan dengan model kualitas udara. Pada model ini proses pemodelan

meteorologi berjalan dengan tambahan input kondisi kimia atmosfer, sehingga proses

kimia atmosfer terakomodasi di dalamnya. The Weather Research and Forecasting/

Chemistry (WRF/Chem) Model merupakan model online couple. Model tersebut

dikembangkan oleh the National Center for Atmospheric Research (NCAR), the

(40)

Atmospheric Administration (NOAA), the Cooperative Institute for Research in

Environmental Studies (CIRES), the Max Plank Institute, the University of Chile dan

Centro de Previsão de Tempo e Estudos Climáticos (NCAR 2014). WRF/CHEM

merupakan model meteorologi skala meso yang dipasangkan dengan model kimia yang

memungkinkan untuk menduga reaksi dan proses fisik yang terjadi secara simultan di

atmosfer(Grell et al. 2005, Yerramilli et al. 2012, Zhang et al. 2009, Tucella et al. 2012).

Pemanfaatan pemodelan terintegrasi ini akan sangat penting terutama dalam membantu

menyelesaikan masalah pencemaran udara di perkotaan. Sebagaimana menurut Baklanov

et al. (2007), pemodelan terintegrasi antara meteorologi, kimia atmosfer dan pajanan

pencemar akan sangat membantu pengambilan kebijakan terkait kesehatan masyarakat

terutama di perkotaan. Bagan pemodelan tersebut ditunjukkan oleh Gambar 4.

Gambar 4 Konsep pemodelan kualitas udara ambien terintegrasi (modifikasi dari

Baklanov et al. 2007)

2.4.1 Tinjauan umum model WRFChem

WRF/Chem adalah model meteorologi skala meso yang meliputi beberapa pilihan

parameterisasi fisik dari lapisan perbatas planetari, permukaan lahan dan proses

keawanan (WRF) yang digabungkan secara “online” dengan model kimia, dimana komponen meteorologi dan kimia diprediksi secara simultan (Tucella et al. 2011).

(41)

memerlukan input berbagai faktor meteorologi serta proses kimia di atmosfer yang

bersifat sangat dinamis (Grell et al. 2005). Pada kondisi sebenarnya di alam, proses fisik

dan kimia atmosfer berlangsung bersamaan dan saling mempengaruhi. Hal ini

merupakan kesulitan tersendiri dalam prediksi kualitas udara. Oleh karena itu

penggunaan model yang ”online” sangat diperlukan agar proses pemodelan lebih

mendekati proses yang sebenarnya di alam.

Pada pemodelan untuk prediksi kualitas udara yang offline, output dari model cuaca

dijadikan input untuk model kualitas udara. Namun pemisahan proses pemodelan

tersebut mengakibatkan hilangnya informasi penting tentang proses di atmosfer jika skala

yang digunakan kurang dari output waktu model meteorologi, padahal mungkin informasi

tersebut penting untuk prediksi kualitas udara (Grell, Baklanov 2011).

Sebagaimana pada umumnya, sistem pemodelan kualitas udara mempertimbangkan

berbagai proses fisika dan kimia seperti transport, deposisi, emisi, transformasi kimia,

interaksi aerosol, fotolisis dan radiasi. Demikian pula, pada paket model WRF-Chem

komponen yang dapat dianalisa adalah deposisi kering, pilihan emisi biogenik, pilihan

emisi antropogenik, beberapa pilihan mekanisme kimia fase gas, pilihan skema fotolisis,

pilihan skema aerosol beserta efek lamgsung tak langsung, pilihan untuk transport gas

rumah kaca, serta pilihan untuk aerosol debu vulkanik. Secara rinci dapat dipelajari

dalam User’s Guide (NCAR 2014).

Model WRFChem menjadi bagian dari dynamic solver ARW (Advanced Research

WRF). Program utama dalam WRF-Chem adalah : WPS (WRF Pre-processing System),

WRF-Var data assimilation system, WRF-solver (ARW-core only) meliputi

post-processing dan alat visualisasi.

WPS (WRF Pre-processing System)

WPS adalah 1 set dari 3 program yang secara keseluruhan mempersiapkan input

program real untuk simulasi data riil pada domain model. Domain model adalah batasan

wilayah studi yang akan dianalisis. Setiap program menampilkan satu tahap persiapan :

a. geogrid menentukan domain model dan menginterpolasi data geografis statik

menjadi data grid; untuk mendefinisikan domain simulasi, dan menginterpolasi

berbagai data terestrial ke grid model. Pada file ini informasi yang dimasukkan adalah

lintang, bujur, skala peta, dan geogrid akan menginterpolasi kategori tanah,

penggunaan lahan, ketinggian tempat, suhu tanah, fraksi vegetasi, albedo, kategori

(42)

b. ungrib mengekstrak data meteorologi dari file format GRIB; menuliskan data dalam

format yang sederhana yang disebut intermediate format. File GRIB mengandung

data meteorologi variasi waktu dari model regional atau global lain seperti model

NCEP’s dan GFS.

c. metgrid secara horizontal menginterpolasi data meteorologi yang telah diekstrak oleh

ungrib ke dalam domain simulasi yang telah didefinisikan oleh geogrid. Interpolasi

secara vertikal data meteorologi ke WRF eta levels dilakukan dalam program real.

Setiap program WPS membaca parameter dari file namelist. Selain itu ada tabel

tambahan yang digunakan untuk program secara individu tetapi tidak perlu diubah oleh

pengguna, yaitu file GEOGRID.TBL, METGRID.TBL dan Vtable.

Weather Research Forecasting (WRF)

Model WRF adalah model meteorologi skala meso yang memberi keleluasaan

dalam parameterisasi fisik Planetary Boundary Layer (PBL), permukaan lahan dan

proses pembentukan awan (cloud processes) sesuai kondisi lokal di permukaan. Model

ini memiliki program inisialisasi (real.exe), program integrasi numerik (wrf.exe),

program untuk nesting (ndown.exe) dan program untuk mengerjakan badai tropis tiruan

(tc.exe). Perbedaan WRFChem dengan WRF biasa adalah pada WRFChem ada bagian

model kimia yang memerlukan data grid tambahan terkait emisi. Tambahan data ini

disediakan oleh WPS (dust emission fields) atau dibaca selama inisialisasi (misal biomass

burning, biogenic emission dan sebagainya), atau selama eksekusi WRF (antropogenic

emission, boundary condition, volcanic emission, dan seterusnya). Kesulitan biasanya

muncul pada modifikasi kode, konfigurasi model, untuk mendapat bentuk yang tepat

sesuai project. Konfigurasi parameter yang digunakan pada WRFChem adalah seperti

pada Tabel 1 (Grell et al.2005), tetapi pilihan parameter harus dipelajari sesuai kondisi

lokasi penelitian.

Proses mikrofisik meliputi perhitungan proses presipitasi, awan dan uap air.

Skema radiasi terdiri dari gelombang panjang dan pendek mengakomodasi proses

pemanasan atmosfer dan permukaan. Skema surface layer menghitung kecepatan

gesekan dan koefisien pertukaran panas dan kelembaban oleh model land-surface, serta

tegangan permukaan di lapisan perbatas. Skema boundary layer bertanggungjawab

terhadap perhitungan fluks vertikal yang disebabkan oleh eddy transport dalam seluruh

kolom atmosfer, bukan hanya di lapisan perbatas. Parameter cumulus bertanggungjawab

Gambar

Gambar 1  Bagan alir kerangka pikir perumusan masalah
Gambar 3 Profil suhu dan pola kepulan asap cerobong berdasar stabilitas atmosfer
Gambar 4  Konsep pemodelan kualitas udara ambien terintegrasi (modifikasi dari
Gambar 5 Skema struktur pemodelan WRFChem (WRF-ARW)
+7

Referensi

Dokumen terkait