• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Risiko Pajanan Masyarakat terhadap Pencemar Udara

Menurut Krzyzanowski (1997) metode dalam pendugaan dampak pencemaran udara meliputi 4 hal yaitu :

a. pendugaan pencemar yang dilepaskan,

b. pendugaan pajanan,

c. pendugaan konsekuensi atau dampak dan

d. pendugaan risiko.

Konsentrasi pencemar akan selalu berfluktuasi, tetapi jika terdapat arah angin utama mengarah ke lokasi tertentu, maka akumulasi pencemar mungkin terjadi dan akan mempengaruhi kesehatan masyarakat di sekitar lokasi tersebut. Dampak negatif pencemaran udara berkaitan erat dengan besar dan lama pajanan serta tingkat toksisitas pencemar. Finn et al. (2010) menyarankan fluktuasi konsentrasi maksimum harus dipertimbangkan sebagai faktor penting dalam menentukan risiko pajanan.

Risiko adalah potensi terjadinya suatu konsekuensi negatif yang tidak diinginkan, baik terhadap manusia, bangunan maupun lingkungan (Gratt 1996). Pendugaan risiko biasanya didasarkan pada nilai harapan terjadinya suatu kejadian dikalikan dengan konsekuensi harapannya. Pendugaan risiko kesehatan secara kuantitatif biasanya

digunakan secara rutin untuk mendukung keputusan suatu kebijakan lingkungan (Lai et

al. 2000). Bagi pihak industri misalnya, evaluasi risiko kesehatan manusia akibat terpapar pencemar udara yang bersifat racun sangat diperlukan sebagai bagian dari perolehan izin beroperasinya kegiatan mereka.

Deguen dan Zmirou-Navier (2010) menyatakan bahwa terdapat 2 mekanisme utama yang memberi kontribusi terhadap kesehatan masyarakat terkait pencemaran udara, yaitu perbedaan pajanan dan perbedaan tingkat kerentanan. Keduanya dapat terjadi

secara saling bebas, tetapi bisa juga terjadi secara sinergis. Perbedaan pajanan terhadap pencemar udara dapat terjadi akibat :

a. perbedaan kondisi kualitas udara ambien (differrential environment condition), karena kualitas udara ambien antar lokasi berbeda.

b. perbedaan pajanan (differential exposure), misalnya karena perbedaan kondisi rumah, jenis pekerjaan, lokasi dan jarak tempat bekerja.

Perbedaan kerentanan (differential susceptibility) dapat terjadi akibat perbedaan umur, gender, status sosial ekonomi yang mengakibatkan daya tahan tubuh menjadi rendah, dan rentan terhadap dampak pencemaran udara. Menurut Soemirat (2013), paparan atau pajanan ata u exposure adalah pengalaman kontak dengan suatu benda asing / agent untuk jangka waktu tertentu di titik reseptor. Analisis pajanan seharusnya dilakukan melalui 5 tahap, yaitu : karakterisasi kondisi pajanan berdasar waktu, tempat, durasi dan frekuensi; identifikasi jalur pajanan; estimasi kuantitas pajanan; identifikasi masyarakat yang terpajan; dan estimasi intake

2.5.1 Analisis paparan / pajanan

Langkah penting dalam menduga risiko kesehatan manusia akibat emisi pencemar udara adalah mengevaluasi transport dari sumber ke reseptor, menggunakan pendekatan pemodelan. Model pendugaan paparan suatu populasi terhadap suatu pencemar yang diemisikan oleh sebuah sumber pencemar memerlukan data emisi dan data meteorologi serta sebuah model dispersi untuk menduga konsentrasi pencemar tersebut di arah tujuan angin atau downwind. Pendugaan potensi terpapar pencemar dan besar yang terhirup oleh masyarakat memerlukan data dan informasi terkait populasi di arah tujuan angin. Menurut Baklanov et al. (2007), pemodelan kualitas udara perlu digabungkan dengan model waktu aktivitas dan mobilitas populasi, untuk menduga ditribusi pajanan aktual yang disebabkan oleh kejadian pencemaran udara ambien bahkan ketika nilai baku mutu udara ambien tercapai. Umumnya risiko kesehatan didapat dengan mengalikan paparan atau dosis dengan faktor risiko.

Metode pendugaan awal untuk menganalisis risiko pencemaran udara adalah Inhalation Transfer Factor (ITF), yaitu rasio antara massa pencemar yang terhirup oleh individu terhadap massa pencemar yang diemisikan dari sumber pencemar (Lai et al. 2000). ITF didasari oleh hubungan linier emisi dengan dosis paparan. Risiko kesehatan dapat dihitung dengan perkalian jumlah emisi dengan ITF dan satuan risiko. Hal ini merupakan pendugaan awal karena tidak dapat mengakomodasi keseluruhan kompleksitas. Jika laju emisi dari sumber dianggap konstan, demikian pula dengan

kondisi meteorologi dan laju napas, maka ITF dari suatu lokasi tertentu dapat diduga menggunakan persamaan 2).

�� = �… … … . … … … …

Keterangan :

ITF = Inhalation Transfer Factor;

C = konsentrasi pencemar yang terhirup napas (g/m3); QB = laju napas (m3/jam);

E = laju emisi pencemar dari sumber (g/jam)

Jika yang dianalisa berupa sekumpulan masyarakat (populasi), maka digunakan

Population Inhalation Transfer Factor (PITF) yaitu bagian dari total pencemar yang diemisikan yang terhirup oleh seluruh anggota populasi yang terpapar. Menurut Lai et al. (2000), tipikal PITF untuk udara ambien perkotaan adalah 10-6 - 10-3; sementara untuk

udara dalam ruang atau kendaraan bermotor yang bergerak adalah 10-3 – 10-1. Secara

umum, bentuk persamaan untuk PITF adalah :

�� =∫ ∫ ∫ , , � , ,

∫ … … … . .

P = kepadatan populasi yang terpapar (orang per m2), x,y = koordinat (windward, crosswind)

Pada wilayah tertentu ketersediaan data emisi terbatas, sehingga perlu dicari solusi agar analisis risiko pajanan pencemar masih bisa dilakukan, untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan dampak kesehatan yang timbul, ataupun untuk menentukan kebijakan yang harus diambil oleh pemerintah sebagai pemangku kebijakan. Salah satu yang dapat dilakukan adalah dengan menduga laju intake. Intake adalah pengukuran pajanan yang diekspresikan sebagai massa suatu zat yang kontak dengan batas pertukaran per satuan berat per satuan waktu (Gratt 1996). Pada kasus paparan pencemar udara maka dianggap sebagai jumlah pencemar yang akan terhisap atau masuk ke badan reseptor melalui saluran pernapasan. Laju intake pada kasus pencemaran udara adalah:

Ir = Ci x Inhr………....4)

Ir = laju intake (µg jam-1) ; Ci = konsentrasi pencemar di udara (µg m-3 );

Inhr = laju inhalasi (m3 jam-1)

Menurut Soemirat (2013), laju intake dapat menjadi acuan besaran dosis atau jumlah yang masuk ke dalam badan manusia, dengan mempertimbangkan lama paparan dan bobot badan. Berdasar perhitungan USEPA (1992), persamaan 5) disebut juga sebagai dosis rata-rata harian (Averaged Daily Doses (ADDs)).

Keterangan :

th = waktu pajanan (jam per hari) Ft = frekuensi pajanan (hari per tahun) Dt = durasi pajanan (tahun)

BB = Berat badan (kg)

AT = averaging time (365 hari x y tahun); y bergantung pada periode yang akan dihitung

USEPA (1992) menghitung dosis potensial (Dpot) dengan pendekatan :

Dpot = Ci x Inhr x th………..……….6)

2.5.2 Analisis Risiko Kesehatan

Risiko dampak pencemaran udara terhadap kesehatan alat pernapasan menjadi salah satu tema yang banyak diteliti, terutama berkaitan dengan risiko kanker paru (Lopez-Cima et al. 2011). Seperti yang dilakukan di Spanyol bagian Utara, hasil studi

menunjukkan adanya peningkatan risiko adenocarcinoma dan risiko kanker yang

signifikan secara statistik, di lokasi sekitar kawasan industri. Metode yang digunakan adalah studi hospital-basedcase-control, dengan metode logistic regression, odds ratios

(ORs) dan 95% confidence intervals (95%CIs) . Pada umumnya metode yang digunakan untuk meduga risiko kesehatan akibat pencemaran udara antara lain adalah Relative Risk

(RR), Consentration-respons (CR), Risk Quotient (RQ), CI, attributable proportion (AP) (WHO 1999, Wang & Mauzerall 2006, Naess et al. 2007, Nandasena et al. 2010, Soemirat 2010, Mahmood 2011).

Risiko pencemaran udara tidak hanya dipengaruhi oleh konsentrasi pencemar di udara ambien saja, tetapi juga dipengaruhi oleh karakteristik populasi yang terpapar seperti umur, jenis kelamin dan mobilitas, tingkat ekonomi, serta karakteristik sosial lainnya yang dapat mempengaruhi pola hidup, termasuk kebijakan yang berlaku di suatu lokasi. Beberapa studi telah mengidentifikasi adanya faktor lain yang memodifikasi risiko antara lain persentase rumah yang menggunakan air conditioning (AC), pola makan yang buruk, kurang olahraga dan stress (Shin et al. 2009, Véron 2006, Mahmood 2011). Berdasar penelitian Naess et al. (2007) dan Finkelstein et al (2003), pendapatan dan tingkat pencemar saling sinergi dalam mempengaruhi mortalitas akibat pencemaran udara partikulat maupun SOx. Jerret et al (2005) menyatakan bahwa faktor sosial ekonomi merupakan faktor confounding terbesar dalam analisis dampak pencemaran terhadap kesehatan. Faktor confounding adalah faktor yang mempengaruhi suatu faktor lain, tapi tidak berhubungan langsung dengan faktor lainnya dalam suatu hubungan sebab akibat. Sebagai contoh, pencemar udara mempengaruhi kesehatan, kemampuan ekonomi juga mempengaruhi tingkat kesehatan, tetapi kemampuan secara ekonomi tidak ada

hubungannya dengan pencemaran udara dan sebaliknya. Maka faktor sosial ekonomi menjadi confounder factor.

Dampak pencemaran udara yang paling ringan umumnya berupa timbulnya gejala (symptoms) seperti bersin-bersin dan batuk. Terdapat 4 tahapan tingkat pengaruh konsentrasi pencemar terhadap respon tubuh manusia :

a. NOEL : No-Observed-Effects-Level, yaitu level konsentrasi yang tidak

mengakibatkan perubahan yang terlihat

b. NOAEL : No-Observed-Adverse-Effect-Level, yaitu level konsentrasi yang tidak mengakibatkan timbulnya dampak negatif

c. LOEL : Lowest-Observed-Effect-Level, level konsentrasi terendah yang

menunjukkan adanya suatu perubahan

d. LOAEL : Lowest-Observed-Adverse-Effect-Level, level konsentrasi terendah

yang menunjukkan timbulnya efek negatif

Risiko kesehatan (Health Risk –HR) dapat dihitung dengan menggunakan

perbandingan antara dosis potensial dengan LOAEL pencemar tertentu (Zhao et al.2013, Cerna et al. 1998). Menurut Cerna et al. (1998) nilai LOAEL untuk PM10 dan SO2 sama

besar, yaitu 15.7 µg per kg berat badan per hari.

2.6 Kebijakan dalam Rangka Pengendalian Pencemaran Udara dan Pengelolaan

Dokumen terkait