• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemanfaatan Data Equatorial Atmosphere Radar (EAR) Dalam Mengkaji Monsun di Kawasan Barat Indonesia.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pemanfaatan Data Equatorial Atmosphere Radar (EAR) Dalam Mengkaji Monsun di Kawasan Barat Indonesia."

Copied!
102
0
0

Teks penuh

(1)

DI KAWASAN BARAT INDONESIA

VEZA AZTERIA

MAYOR METEOROLOGI TERAPAN

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

the West Area Indonesia. Supervisor: Sobri Effendy and Eddy Hermawan

Kototabang, Padang Panjang and Sicincin city are area in the West part of Indonesia and they are relative in the equator line. Otherwise, three of these cities have difference of behaviors of rainfall for Monsoon. In this study, we were used EAR Data, which were including the rainfall Kototabang, Padangpanjang, and Sicincin. Base on this data (i.e EAR data) in Kototabang, there is monsoon in 8-18 km layer and the higher monsoon is in 14 km layer during the April 2002-April 2006 period. Analisis Power Spectral Density (PSD) and Transformasi wavelet were shown that Monsoon oscillation around 12 months. While vertical profile was presented that the stronger monsoon will be in the wet weather on January. The domination of wind in Kototabang city is South Wind, it is because the wind took water vapor mass from South to North.

According to analysis of rainfall in Kototabang, Padangpanjang and Sicincin City, meridional wind in the the Sicincin has rainfall pattern the same as with monsoon. Its was indicated that there were local indicator which can cause the monsoon. From the cross correlation between meridonial wind speed with rainfall in Kototabang, Pontianak and Sicincin, they were shown that three of these cities have significant correlation

(3)

Hermawan, M.Sc.

Daerah Kototabang, Padangpanjang, dan Sicincin merupakan daerah yang terletak di kawasan barat Indonesia dan relatif berada di sekitar ekuator. Namun perilaku atau karakteristik curah hujan di ketiga tempat tersebut memiliki pola yang berbeda-beda terhadap Monsun. Data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data EAR, Curah Hujan Kototabang, Padangpanjang, dan Sicincin. Berdasarkan data EAR di Kototabang periode April 2002-April 2006, Monsun terdapat pada lapisan 8-18km dan Monsun terkuat terjadi pada lapisan 14km. Analisis Power Spectral Density (PSD) dan Transformasi wavelet, Monsun berosilasi sekitar 12 bulanan. Profil vertikal menunjukkan bahwa Monsun kuat pada saat musim basah dengan puncaknya terjadi pada bulan Januari. Daerah Kototabang angin yang mendominasi adalah angin selatan hal ini disebabkan angin membawa massa uap air dari selatan ke utara . Berdasarkan hasil analisis pola curah hujan di daerah Kototabang, Padangpanjang dan Sicincin dengan angin meridional ternyata daerah Sicincin memiliki pola curah hujan yang sama dengan Monsun. Hal ini mengindikasikan adanya faktor lokal yang lebih dominan dalam mempengaruhi terjadinya Monsun. Hasil korelasi silang antara kecepatan angin meridional dengan curah hujan di Kototabang, Pontianak, dan Sicincin menunjukkan adanya hubungan yang signifikan di ketiga daerah tersebut.

(4)

DI KAWASAN BARAT INDONESIA

VEZA AZTERIA

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada

Departemen Geofisika dan Meteorologi

DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

“Pemanfaatan Data EAR (Equatorial Atmosphere Radar) dalam Mengkaji Terjadinya Monsun di Kawasan Barat Indonesia”. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada:

1. Bapak Dr. Ir Sobri Effendy, M.Si selaku pembimbing I yang telah memberikan arahan dan saran dalam penyelesaian penulisan tugas akhir ini hingga terselesaikannya tugas akhir ini. 2. Bapak Dr.Ir Eddy Hermawan, M.sc sebagai pembimbing II yang selalu memberikan

dorongan, semangat, saran, dan banyak membantu penulis dalam penyelesaian tugas akhir ini, sehingga penulis mampu menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik.

3. Bapak Prof. Ahmad Bey sebagai penguji terima kasih atas arahan dan masukan kepada penulis sehingga dapat membantu kelancaran penulis dalam masa studi.

4. Kedua orangtua ku tersayang Evarizal, S.Pd dan Emmi Lasveriza, S.Pd yang senantiasa memberikan semangat, kasih sayang, doa, dan dukungan kepada penulis, adikku Amichael Ahmad Reza, dan seluruh keluarga besar ku terima kasih atas dukungannya sehingga penulis bisa menyelesaikan tugas akhir ini dengan baik.

5. Bapak Yon Sugiarto selaku pembimbing akademik.

6. Ibu Ina, Ibu Shinta, Pak Terson, Kak Ining, Pak Midi, Kak Mian dan semua staff LAPAN Bandung khususnya bidang Pemodelan Iklim terima kasih atas bantuan dan perhatiannya selama penulis berada di LAPAN Bandung.

7. Seluruh staff pengajar Departemen Geofisika dan Meteorologi dan staff Tata Usaha terimakasih atas bantuan, masukan, dan bimbingan ilmu pengetahuannya kepada penulis. 8. Teman seperjuangann ku dalam penelitian ini Lisa Evana dan Widya Ningrum terimakasih

atas masukan, saran dan senantiasa menemani penulis dan bertukar pikiran tentang penelitian ini. Suka duka dalam penelitian ini tidak akan pernah penulis lupakan.

9. Teman-teman GFM’42:Indah, Dewy, Devita,Tigin, Ari, Gito, Anis, Rifa,Epi, Victor, Tanjung, Ivan, Franz, Hardi, Tumpal, Nancy, Cici, Wita, Dori, Zahir, Apit, Anton, Irvan, Indra, Yudi, Nizar, Aan, Hengky, Heri, Wahyu, Ghulam, Budi, Charita, Singgih, Dhani, Robert. Terima kasih atas kebersamaannya selama ini.

10. Teman-teman “Maharlika Depan” : Almira, Vina, Ninu, Ayu, Oby, Zil, Nisa dan Yuni yang senantiasa memberikan semangat kepada penulis.

11. Buat Muhamad Yandrie Azis S.Si, MM terima kasih atas bantuan dan semangatnya serta senantiasa menemani penulis baik dalam suka dan duka.

12. Semua pihak yang telah membantu yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu.

Akhirnya, meskipun tugas akhir ini jauh dari sempurna, mohon maaf atas kekurangan yang terdapat di dalam tugas akhir ini, semoga dapat bermanfaat bagi kita semua dan mohon masukannya untuk masa yang akan datang.

Bogor, Juli 2009

(6)
(7)

DAFTAR TABEL……… DAFTAR GAMBAR... DAFTAR LAMPIRAN………

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang……….………. 1.2 Tujuan……….………..

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Monsun……….………. 2.2 Monsun di Indonesia………..……….……….. 2.3 Equatorial Atmosphere Radar (EAR)……….. 2.4 Iklim di Indonesia………. 2.5 Struktur lapisan atmosfer……….. 2.6 Spectral Density……… 2.7 Semi Annual Oscillation (SAO) dan Annual Oscillation (AO)……… 2.8 Analisis korelasi silang……….

III. METODOLOGI

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian……… 3.2 Alat dan Data yang digunakan……….. 3.3 Metode Penelitian

3.3.1 Analisis Osilasi Monsun……….……….. 3.3.2 Analisis Statistika……….

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Osilasi Monsun………..……… 4.2 Analisis Statitika……….….……… KESIMPULAN DAN SARAN... DAFTAR PUSTAKA………..……..….. LAMPIRAN……….……

(8)

2002- April 2006……….. 3 Nilai korelasi silang angin meridional dengan curah hujan di Padangpanjang periode

April 2002-April 2006……….. 4 Nilai korelasisilang angin meridional dengan curah hujan di Sicincin periode April

2002-April 2006……… 18 19 20

(9)

1 Pola angin Monsun pada saat musim dingin (Winter)………... 2 Pola angin Monsun pada saat musim panas (Summer)……… 3 560 Yagi Antena EAR yang terdapat di Kototabang, Sumatera Barat……… 4 Antena radar……… 5 Curah hujan di Indonesia ……… 6 Pembagian pola iklim ……… 7 Posisi daerah Kototabang, Padangpanjang, dan Sicincin……… 8 Struktur lapisan atmosfer……… 9 Diagram alir penelitian……… 10 Time Height Section kontur plot angin meridional di Kototabang periode April 2002-April 2006………. 11 Time Height Section profil vertikal angin meridional di Kototabang periode April

2002- April 2006………... 12 Power Spectral Density kecepatan angin meridional pada ketinggian 14.1 di

Kototabang periode April 2002-April 2006……….. 13 Wavelet kecepatan angin meridional pada ketinggian 14.1 km di Kototabang periode

April 2002-April 2006………... 14 Lokasi daerah Kototabang, Padangpanjang dan Sicincin………. 15 Distribusi curah hujan Kototabang, Padangpanjang dan Sicincin……… 16 Power Spectral Density curah hujan Kototabang, Padangpanjang, dan Sicincin periode April 2002-April 2006………... 17 Wavelet curah hujan daerah Kototabang periode April 2002-April 2006……… 18 Wavelet curah hujan daerah Padangpanjang periode April 2002-April 2006………….. 19 Wavelet curah hujan daerah Sicincin periode April 2002- April 2006………. 20 Pola curah hujan Kototabang dan Angin meridional periode April 2002-April 2006 21 Pola curah hujan Padangpanjang dan angin meridional periode April 2002-April

2006………... 22 Pola curah hujan Sicincin dan angin meridional periode April 2002-April 2006……… 23 Grafik korelasi silang angin meridional dengan curah hujan di Kototabang periode

April 2002-April 2006……….. 24 Grafik korelasi silang angin meridional dengan curah hujan di Padangpanjang periode April 2002-April 2006……….. 25 Grafik korelasi silang angin meridional dengan curah hujan di Sicincin periode April

(10)

ketinggian 2-7 km……….. 2 Korelasi silang curah hujan Kototabang dengan angin meridional pada ketinggian 8-18km……….. 3 Korelasi silang curah hujan Padangpanjang dengan angin meridional pada ketinggian

8-18 km……….. 4 Korelasi silang curah hujan Sicincin dengan angin meridional pada ketinggian

8-18km………... 5 Tabel nilai korelasi, standar error angin meridional dan curah hujan Kototabang pada ketinggian 8-18km………. 6Tabel nilai korelasi, standar error angin meridional dan curah hujan Padangpanjang

pada ketinggian 8-18 km………... 7Tabel nilai korelasi, standar error angin meridional dan curah hujan Sicincin pada

ketinggian 8-18km………. 8Wavelet angin meridional pada ketinggian 8-18 km di Kototabang periode April 2002-April 2006………. 9Script program Power Spectral Density (PSD)……… 10 Script program kontur plot angin meridional……… 11 Script program wavelet………. 12 Data curah hujan daerah Kototabang, Padangpanjang, dan Sicincin periode April

2002-April 2006……… 13 Peta Lokasi Daerah Kototabang, Padangpanjang, dan Sicincin……….

(11)

1.1 Latar Belakang

Secara global, ada tiga kawasan penting dunia sebagai tempat perubahan iklim global salah satunya adalah negara Indonesia. Dua diantaranya merupakan atas daratan sekitar kawasan hutan hujan di Congo di ekuator Afrika dan kawasan Amazon di Amerika Selatan. Hal ini disebabkan oleh Indonesia dikelilingi oleh lautan sehingga menyebabkan pada kawasan ini di duga sebagai penyimpan panas terbesar baik yang sensibel maupun yang laten (tersembunyi) bagi pembentukan awan-awan Cumulus, seperti Cumulunimbus (Hermawan,2002).

Indonesia merupakan salah satu kawasan yang terletak di daerah ekuator yang memiliki karakteristik atmosfer yang berbeda-beda yang dikenal dengan Benua Maritim Indonesia (BMI). Bahwa Indonesia diapit oleh dua benua besar (Asia dan Australia) dan dua samudra besar (Hindia dan Pasifik) dengan distribusi antara lautan dan daratan yang tidak merata (Sipayung SB, 1995). Sehingga menarik apabila dilakukan kajian terhadap dinamika atmosfer kawasan Indonesia Bagian Barat. Akibat posisi tersebut, maka kondisi meteorologi permukaan Indonesia dipengaruhi oleh adanya iklim Monsun atau Monsoon climate.

Selain itu, disebabkan oleh adanya pergerakan massa udara yang lembab dari arah barat ke timur maupun sebaliknya akibat adanya pemanasan yang besar berasal dari Samudra Hindia (daerah dominan uap air dari angin barat) dan angin timur yang membawa uap air dari Samudra Pasifik sehingga pada kawasan tersebut relatif basah dan curah hujannya relatih lebih tinggi dari kawasan Indoenesia lainnya (Komalaningsih,2004)

Pemahaman tentang karakteristik dan mekanisme proses-proses fisis atmosfer, khususnya yang ada di kawasan Indonesia hingga saat ini belum sepenuhnya diketahui oleh orang. Hal ini disebabkan oleh minimnya data dan peralatan yang digunakan, terutama data profil angin meridional (Utara-Selatan) sebagai parameter utama ketika kita membahas fenomena Monsun.

Salah satu fenomena global yang mempengaruhi cuaca dan iklim di Indonesia adalah fenomena Monsun, salah satu fenomena atmosfer di daerah ekuator dengan osilasi atau embutan dominan antara 6-12

perubahan musim. Pada musim dingin permukaan tanah (benua) mengalami pendinginan lebih cepat daripada permukaan air (lautan). Perbedaan laju pendinginan ini menyebabkan timbulnya sistem tekanan tinggi di atas daratan dan sistem tekanan rendah di atas permukaan laut (June T, dalam Handoko 1995)

Keterkaitan fenomena Monsun dengan curah hujan belum sepenuhnya diketahui dengan baik dan benar. Keterkaitan Monsun dengan curah hujan dapat diketahui dengan menggunakan data EAR (Equatorial Atmosphere Radar) sehingga diharapkan mampu memberikan informasi yang lebih konperehensif.

Pengkajian terhadap karakteristik iklim khususnya di daerah ekuator belum sepenuhnya diketahui. Kototabang, Padangpanjang, dan Sicincin merupakan daerah yang berada di sekitar ekuator, walupun ketiga daerah tersebut berada di di ekuator namun memilki perilaku curah hujan yang berbeda-beda. Karena kita tidak tahu persis fenomena apa yang terjadi diantara lapisan 850 mb (batas lapisan bawah) hingga lapisan 200 mb (batas lapisan atas), maka peranan EAR dan fasilitas penunjang lain yang ada di Kototabang yang memang telah khusus dirancang dengan resolusi waktu dan tinggi pengamatan yang relatif amat singkat (dalam orde menit dan beberapa ratus meter),  

1.2Tujuan

Tujuan dibuatnya tugas akhir ini adalah 1. Meningkatkan pemahaman tentang

karakteristik, mekanisme proses-proses fisis atmosfer, khususnya masalah Monsun yang merupakan osilasi dominan yang terjadi di Indonesia

2. Mengkaji pola curah hujan di kawasan barat Indonesia guna mengidentifikasi fenomena pola osilasi Monsun.

3. Mengakaji keterkaitan antara Monsun dengan anomali curah hujan yang terjadi di kawasan barat Indonesia.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Monsun

(12)

iklim Monsun di atas, yakni adanya perbedaan yang tegas antara musim basah (wet season) dan musim kering (dry season) yang umumnya terjadi pada periode Desember, Januari, dan februari (DJF) dan Juni, Juli dan Agustus (JJA) (Chao et al, 2001).

Pada tahun 1686, Edmund Halley mengemukakan teori bahwa Monsun terjadi akibat adanya perbedaan panas antara daratan dengan lautan sebagai hasil dari zenithal march matahari (Chang, 1984). Kata Monsun biasanya digunakan hanya untuk system angin (Neuwolt,1977). Ramage(1971) memberikan kriteria untuk areal Monsun berdasarkan sirkulasi permukaan bulan Januari dan Juli sebagai berikut:

1. Angin yang dominan pada periode bulan Januari dan Juli memiliki perbedaan arah sedikitnya 1200

2. Frekwensi rata-rata angin dominan pada bulan Januari dan Juli melebihi 40%

3. Rata-rata kecepatan resultan angin pada salah satu bulan tersebut (Januari dan Juli) melebihi 10 m/s

Chang (1984) menyatakan angin dalam sistem Monsun tersebut harus ditimbulkan akibat efek thermal, dan bukan dari pergerakan akibat angin dalam skala planetan dan pressure belt.

Pada tahun 1957, Khomorov telah mengembangkan indeks Monsun untuk menentukan wilayah Monsun (Ramage, 1971)

Keterangan : Fjan dan F’juli merupakan frekuensi angin dominan (%) yang memiliki perbedaan arah sedikitnya 1200 antara periode bulan Januari dan Juli.

Berdasarkan indeks dari Khomorov tersebut, maka Indonesia merupakan daerah Monsun, yang pada umumnya wilayah Indonesia memiliki indeks Monsun antara 40-60% kecuali di pulau Sumatera bagian utara (termasuk wilayah Aceh) memiliki indeks Monsun lebih dari 60%.

Ramage (1971) mengemukakan bahwa ada dua sistem Monsun di Asia, yaitu Monsun Musim Dingin Asia Timur (the East Asian Winter Monsoon ) dan Monsun Musim Panas Asia Selatan (the South Asian Summer Monsoon).

Pada musim dingin, massa udara mengalir dari pusat tekanan tinggi ke pusat tekanan rendah ke arah selatan dan tenggara melewati Korea, Cina, dan Jepang. Massa udara yang kearah tenggara mengalami konvergensi di Laut Cina selatan dengan

massa udara timur laut dari Samudra Pasifik (Ding Y et al, 2004). Kemudian dua massa udara (massa udara yang mengalami konvergensi massa udara yang ke arah Selatan) bergabung menuju Tenggara dan membentuk Monsun Timur Laut dan selanjutnya berubah menjadi baratan di Indonesia (setelah melewati ekuator) (Jhun JP, 2003).

Gambar 1 Pola angin Monsun pada saat musim dingin (winter) (Johnson, 1991)

Pada musim panas, pusat tekanan rendah berada di sebelah timur laut India, tetapi Monsun mulai berkembang di Cina Selatan, kemudian ke Birma dan beberapa bulan kemudian berkembang di India (Barry dan Chorley, dalam Nieuwolt, 1977).

Ikh = (Fjan + F’juli)/2

Gambar 2 Pola angin Monsun pada saat musim panas (summer) (Johnson, 1991)

(13)

Monsun pada musim panas. Sumber massa udara yang pertama berasal dari Samudra Hindia di selatan ekuator. Massa udara ini bersifat lembab, hangat dan tidak stabil yang mengalami konvergensi setelah mendekati ekuator. Sumber massa udara yang kedua adalah tekanan tinggi di Australia. Massa udara ini bersifat stabil dan kering dan kondisi ini berlangsung sampai di Tenggara Indonesia dan lebih barat lagi, massa udara ini menjadi bersifat lembab dan tidak stabil. Massa udara ketiga berasal dari Samudra Pasifik yang bersifat lembab, hangat dan relatif stabil. Namun setelah melewati samudra hangat massa udara tersebut menjadi tidak stabil.

2.2 Monsun di Indonesia

Asia Timur dan Asia sebelah Selatan mempunyai sirkulasi Monsun yang terbesar dan paling berkembang. Sedangkan Monsun Asia Timur dan tenggara adalah Monsun yang berkembang dengan baik dan Monsun di Indonesia merupakan bagian dari Monsun Asia Timur dan Asia Tenggara. Hal ini disebabkan oleh besarnya Benua Asia dan efek dari daratan tinggi Tibet terhadap aliran udara (Prawirowardoyo,1996).

Trewartha (1995) mengemukakan massa daratan yang sangat luas di benua Asia memperhebat perbedaan yang timbul dari selisih pemanasan dan pendinginan antara daratan dan lautan. Lebih jauh, Asia yang membentang dari Timur-barat pada kisaran lebar dari garis bujur di hemisfer Utara, sedangkan di hemisfer Selatan terutama adalah samudera di Selatan Equator. Akibatnya bagian terbesar dari perbedaan pemanasan yang menyebabkan sirkulasi Monsun, meliputi juga perbedaan utara-selatan, jadi memperkuat pergeseran normal menurut garis lintang dari sistem-sistem angin utama. Karena adanya deretan pegunungan yang sangat tinggi di Asia yang terentang arah Timur-Barat yaitu arah Timur Laut Kaspia ke China, sirkulasi meridional udara sangat terhambat. Hal ini membuat perbedaan musiman dalam temperatur dan tekanan yang lebih dramatis lagi.

Selama musim dingin massa daratan disebelah utara pegunungan itu menjadi demikian dingin hingga menghasilkan sistem tekanan tinggi yang kuat di atas Asia Timur Laut dan suatu aliran keluar udara dingin yang cukup menonjol dari Asia Timur (Trewartha, 1995). Di lain pihak, pemanasan intensif musim panas atas daratan subtropis yang terletak di sebelah selatannya deretan pegunungan itu, melahirkan suatu kawasan

tekanan rendah dan suatu aliran inflow udara hangat yang kuat dan lembab ke Asia Selatan. Pada musim dingin di belahan bumi utara (BBU), yaitu pda bulan Desember, Januari, dan februari angin Monsun bertiup dari Siberia menuju ke benua Australia (Wu, 1999). Pada periode ini daerah yang membentang dari ujung Sumatera bagian selatan, jawa, Bali, Lombok, Nusa Tenggara sampai ke Irian angin Monsun bertiup dari barat ke timur.

Pola aliran udara rata-rata pada ketinggian 2000 kaki di bulan Januari merupakan bulan maksimum dari musim dingin di belahan bumi utara (BBU). Oleh sebab itu daerah ini dinamakan Monsun Barat dan musimnya disebut Musim Monsun Barat, sedangkan di daerah yang mencakup sebagian besar Sumatera lainnya dan Kalimantan Barat angin Monsun datang dari arah Timur Laut. Oleh karena itu, angin Monsun dai daerah ini disebut Monsun Timur Laut dan Musimnya disebut Musim Monsun Timur Laut.

Pada musim panas di belahan bumi utara (BBU), terjadi sebaliknya angin Monsun berhembus dari benua Australia menuju ke Asia. Oleh karena itu disebut Monsun Timur dan musimnya dinamakan Musim Monsun Timur, sedangkan di daerah yang melingkupi bagian Sumatera lainnya dari Kalimantan Barat angin Monsun bertiup dari arah barat daya ke timur laut sehingga angin Monsun ini disebut Monsun Barat Daya dan musimnya disebut Musim Monsun Barat Daya. Pola aliran udara rata-rata pada ketinggian 2000 kaki pada bulan maksimum musim padan di belahan bumi utara (BBU) yaitu bulan Juli (Prawirowardoyo,1996)

2.3 Equatorial Atmosphere Radar (EAR)

(14)

(Equtorial Atmosphere Radar) di stasiun Kototabang sekitar 19 km dari Bukittinggi bagian utara, Sumatera Barat Indonesia (0.20 LS; 100.320 BT, 865 mdpl) dimulai dari tanggal 26 Juni 2001 dengan tujuan untuk meneliti perilaku angin dan turbulensi yang terkadi di lapisan troposfer dan lapisan bawah stratosfer dengan resolusi tinggi dalam pengukuran waktu dan ketinggian (Hermawan,2002)

Selain itu EAR dirancang khusus untuk mengamati fenomena atmosfer dalam selang pengamatan yang relatif pendek biasanya permenit seperti pada peristiwa penjelasan gelombang Rossby, gelombang kelvin ataupun kombinasi dari keduanya (Hermawan,2002).

Gambar 3 560 Yagi Antena EAR yang terdapat di Kototabang, Sumatera Barat (Fukao et al.2003)

Prinsip pengukuran angin dengan radar adalah radar memancarkan dan menerima pulsa radiasi gelombang mikro di antenanya. Antena memfokuskan radiasi menjadi beam sempit, sehingga sinyal yang ditransmisikan berjalan kearah yang spesifik. Sinyal yang diterima dipantulkan dari target yang terletak di arah beam, dan jarak antara radar dengan target bias ditentukan secara akurat dari selang waktu sinyal dipancarkan sampai sinyal diterima.

Menurut Holton 1992 dalam Handayani 1996, komponen angin horizontal dapat dipisahkan menjadi dua komponen yaitu : 1. Komponen anigin Timur-Barat (angin

zonal)disebut komponen angin U.

2. Komponen angin Utara-Selatan (angin meridional) disebut komponen angin V. EAR merupakan Radar Doppler yang dibangun untuk observasi pada daerah ekuator, EAR beroperasi pada 47Mhz dengan

maksimum peak dan kekuatan transimisi rata-rata 100kW dan 5kW menggunakan three-element Yagi antenna squared sebanyak 560 buah pada ketinggian sekitar 865 mdpl.

Gambar 4Antena Radar (Shu, 2009) Kelebihan dari radar ini yaitu menggunakan antena putar sehingga dalam oprasinya dapat diputar ke segala arah, asalakan masih berada dalam radius 300 dari sumbu vertikal. Alat ini dirancang khusus untuk memantau arah dan kecepatan angin dan turbulensi secara kontinu dimulai dari lapisan 1.5 hingga 22 km (lapisan troposfer dan bawah stratosfer) dalam arah tiga dimensi (vertikal, meridional, dan zonal) dalam selang waktu menit-an pada setiap ketinggian 150 hingga 300 meter.

Salah satunya adalah pengamatan Quasi Biennal Osciallation (QBO) yang merupakan salah satu parameter penting dalam pendugaan datangnya ENSO (El-Nino and Southern Oscillation) di Indonesia. Kekurangan yang ada pada saat ini adalah minimnya datavertikal atmosfer yang ada. Padahal kita tahu bahwa ada keterkaitan yang erat antara fenomena yang terjadi di lapisan stratosfer/troposfer dengan lapisan di bawahnya yang dikenal dengan istilah coupling (Hermawan,2002)

EAR terdiri dari peralatan-peralatan sebagai berikut:

1. ANT (Antenna Array)

a. Power Distribution Unit (PDU) b. Transceiver Module (TRX

Module)

2. TRX(Transmitter and Receiver) a. Pre-Amplifier TRX Module b. TRX Module

3. SMD (Signal modular System and Demodulator)

(15)

a. Enginnering Workstation

b. Melco PC for maintanance purpose

c. SMD d. SP

6. SDU (Signal Distribution Unit) a. Power Supply (10 & 80 VDC) b. Signal is divide to 24

Menurut Hermawan (2002) EAR memiliki keunikan-keunikan diantaranya:

1. Mengamati fenomena atmosfer yang resolusi waktu pengamatannya relatif sangat pendek (biasanya per menit) seperti peristiwa penjalaran gelombang Rossby, gelombangg Kelvin atau kombinasi keduanya.

2. Menggunakan antenna putar sehingga dalam operasinya dapat diputar kesegala arah, asalkan masih dalam radius 300 dari sumbu vertikal. 3. Mampu mendeteksi fenomena

elektromagnetik yang terjadi pada lapisan sekitar 100km.

4. Untuk mendeteksi angin mulai dari lapisan 1.5 km hingga 20 km (operasional)

Tabel 1 Spesifikasi EAR (Equatorial Atmosphere Radar) di Kototabang

Lokasi 100.320BT; 0.20LS ; 865m dpl Frekwensi 47MHz Daya Keluaran 100 kW Sistem Antenna

560 antena Yagi tiga elemen berbaris pada area hampir lingkaran berdiameter 110m Lebar beam 3.40 (-3. One way) Arah beam Kesegala arah dalam

rentang 300dari sudut zenith

Jarak Pengamatan

1.5-20 km dalam arah 3 dimensi (vertikal, meridional dan zonal) untuk turbulensi atmosfer dalam selang waktu 2.3 menit untuk setiap ketinggian 150 meter dan lebih dari 90 km untuk irregularitas ionosfer (area tropofer sedikit dibawah statosfer)

Klarifikasi Instalasi

Penggunaan Untuk meneliti dinamika atmosfer yang terkait perubahan iklim dunia, terutama anomali iklim yang menyebabkan El-Nino dan La-Nina

Info Hasil Untuk mengamati resolusi tinggi arah dan kecepatan angin, yang memungkinkan

penelitian struktur atmosfer khatulistiwa secara lengkap.

Pengelola Deputi SAINS, Pengkajian dan Informasi-LAPAN

Beroperasi Tahun 2001 (Sumber: Fukao et al.2003)

2.4 Iklim di Indonesia

Iklim merupakan keseluruhan cuaca yang meliputi jangka waktu panjang di suatu wilayah, biasanya diikhtisarkan menurut rata-rata dan ukuran statistik keragaman. Unsur-unsur utama iklim adalah suhu udara, kelembaban, udara, curah hujan, tekanan udara, angin dan intensitas matahari (Handoko,1995)

Indonesia merupakan daerah pertemuan sirkulasi meridional (Hadley) dan sirkulasi zonal (Walker). Sehingga memiliki golakan yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Hal ini disebabkan oleh Indonesia merupakan daerah maritim yang memiliki topografi yang sangat bervariasi dan membentang luas di sekitar ekuator.

(16)

Selatan juga sangat dingin, sementara suhu muka laut Cina Selatan cukup tinggi.

Kadarsah (2007) mengemukakan Indonesia memiliki tiga jenis pola curah hujan:

1. Pola Curah Hujan Monsun

Wilayahnya memiliki perbedaan yang jelas antara periode musim hujan dan periode musim kemarau kemudian dikelompokan dalam Zona Musim (ZOM), tipe curah hujan yang bersifat unimodial (satu puncak musim hujan,DJF (Desember-Januari-Februari) musim hujan, JJA (Juni-Juli-Agustus) musim kemarau). Contoh pola hujan monsun adalah hujan bulanan di wilayah Lampung, Jakarta, Ujung Pandang dan Kupang.

2. Pola Curah Hujan Ekuator

Wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan bimodial dengan dua puncak musim hujan maksimum dan hampir sepanjang tahun masuk dalam kreteria musim hujan. Pola ekuatorial dicirikan oleh tipe curah hujan dengan bentuk bimodial (dua puncak hujan) yang biasanya terjadi sekitar bulan April dan Oktober atau pada saat terjadi ekinoks. Misalnya hujan bulanan wilayah Aceh, Padang, Solok dan Pontianak

3. Pola Curah Hujan Lokal

Wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan kebalikan dengan pola monsun. Pola lokal dicirikan oleh bentuk pola hujan unimodial (satu puncak hujan), tetapi bentuknya berlawanan dengan tipe hujan monsun. Misalnya hujan bulanan wilayah Ambon.

Gambar 5 Pola Curah Hujan di Indonesia (Kadarsah, 2007)

Curah Hujan memiliki keragaman dalam ruang dan waktu. Selain itu dalam bentuk lain

tiga daerah di Indonesia berikut ini berdasarkan metode korelasi ganda.

Gambar 6 Pembagian Pola Iklim (Kadarsah, 2007)

Region atau daerah A, pola curah hujannya berbentuk huruf U ( paling kiri), sedang pola Region B, pola curah hujannya berbentuk huruf M ( tengah) dengan dua puncak curah hujan.Sedangkan pola Region C berbentuk huruf U terbalik ( kanan) atau berkebalikan dengan Region A. Garis merah merupakan curah hujan dalam milimeter sedangkan garis hitam merupakan deviasinya. Region A: region Monsun tengara/Australian monsun

Region B: region semi-Monsun/NE Passat monsun

Region C :region anti-Monsun/Indonesian throughflow

Menurut Kadarsah (2007) Pola umum curah hujan di Indonesia antara lain dipengaruhi oleh letak geografis. Secara rinci pola umum hujan di Indonesia dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Pantai sebelah barat setiap pulau memperoleh jumlah hujan selalu lebih banyak daripada pantai sebelah timur. 2. Curah hujan di Indonesia bagian barat

lebih besar daripada Indonesia bagian timur. Sebagai contoh, deretan pulau-pulau Jawa, Bali, NTB, dan NTT yang dihubungkan oleh selat-selat sempit, jumlah curah hujan yang terbanyak adalah Jawa Barat.

3. Curah hujan juga bertambah sesuai dengan ketinggian tempat. Curah hujan terbanyak umumnya berada pada ketinggian antara 600 – 900 m di atas permukaan laut.

(17)

Demikian juga halnya di daerah-daerah rawa yang besar.

5. Saat mulai turunnya hujan bergeser dari barat ke timur seperti: 1) Pantai barat pulau Sumatera sampai ke Bengkulu mendapat hujan terbanyak pada

bulan November. 2) Lampung-Bangka yang letaknya ke

timur mendapat hujan terbanyak pada bulanDesember.

3) Jawa bagian utara, Bali, NTB, dan NTT pada bulan Januari – Februari.

6. Di Sulawesi Selatan bagian timur, Sulawesi Tenggara, Maluku Tengah, musim hujannya berbeda, yaitu bulan Mei-Juni. Pada saat itu, daerah lain sedang mengalami musim kering. Batas daerah hujan Indonesia barat dan timur terletak pada kira-kira 120( Bujur Timur. Grafik perbandingan empat pola curah hujan di Indonesia dapat Anda lihat pada gambar dibawah ini.

Kadarsah (2007) mengemukakan ada beberapa daerah yang mendapat curah hujan sangat rendah dan ada pula daerah yang mendapat curah hujan tinggi:

1. Daerah yang mendapat curah hujan rata-rata per tahun kurang dari 1000 mm, meliputi 0,6% dari luas wilayah Indonesia, di antaranya Nusa Tenggara, dan 2 daerah di Sulawesi (lembah Palu dan Luwuk). 2. Daerah yang mendapat curah hujan antara

1000 – 2000 mm per tahun di antaranya sebagian Nusa Tenggara, daerah sempit di Merauke, Kepulauan Aru, dan Tanibar. 3. Daerah yang mendapat curah hujan antara

2000 – 3000 mm per tahun, meliputi Sumatera Timur, Kalimantan Selatan, dan Timur sebagian besar Jawa Barat dan Jawa Tengah, sebagian Irian Jaya, Kepulauan Maluku dan sebagaian besar Sulawesi. 4. Daerah yang mendapat curah hujan

tertinggi lebih dari 3000 mm per tahun meliputi dataran tinggi di Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, dataran tinggi Irian bagian tengah, dan beberapa daerah di Jawa, Bali, Lombok, dan Sumba.

Posisi Kototabang terletak pada 0.20 LS; 100.320 BT; 865 mdpl, Padangpanjang 0.50 LS; 100.410 BT; 700 mdpl dan Sicincin terletak pada 0.60 LS; 100.220 BT; 500 mdpl (Suryantoro et al, 2009). Provinsi Sumatera Barat berbatasan dengan Provinsi riau, Jambi dan Sumatera Utara. Berdasarkan letak geografisnya Sumatera Barat dilalui oleh garis khatulistiwa (garis lintang nol derajat),

sehingga Sumatera Barat tergolong beriklim tropis dengan suhu udara dan kelembaban yang tinggi.

Gambar 7 Posisi Daerah Kototabang, Padangpanjang, dan Sicincin (http://gaw.kishou.go.jp/qasac /bkt_map.jpg,\)

Kawasan Sumatera Barat termasuk kedalam pola curah hujan ekuatorial, artinya yaitu daerah ini memiliki dua puncak hujan dalam setahun. Selain itu, banyak dipengaruhi oleh pengaruh topografi seperti adanya bukit barisan.

2.5Struktur Lapisan Atmosfer

Atmosfer bumi merupakan lapisan gas yang menyelimuti bumi dan penting bagi kehidupan makhluk hidup.atmosfer setinggi 5.5-5.6 km telah mencakup 50% dari massa total dan pada ketinggian 40 km mencakup 99.99%. Batas bawah atmosfer relatif lebih mudah ditentukan berdasarkan ketinggian permukaan laut. Sedangkan puncaknya sulit ditentukan karena disamping besarnya keragaman ukuran dan massa partikel terdapat pula keragaman suhu permukaan bumi dan kekuatan angin yang mempengaruhi pengangkatan bahan (Nasir, dalam Handoko, 1995).

(18)

Gambar 8 Struktur Lapisan Atmosfer (Annenberg, 2009)

Nasir, dalam Handoko (1995) mengemukakan perubahan suhu udara di atmosfer secara vertikal (menurut ketinggian) berbeda-beda dapat dikelompokkan menjadi tiga hal:

a. dT/dz > 0 Suhu naik, dengan bertambahnya ketinggian. Hal ini disebut inversi suhu

b. dT/dz = 0 Suhu tetap walaupun ketinggian berubah. Hal ini disebut isotermal

c. dT/dz < 0 Suhu udara turun dengan bertambahnya ketinggian disebut lapse rate

Troposfer merupakan lapisan terbawah dari atmosfer terdapat pada ketinggian dari 8 km di daerah kutub dan 16 km di ekuator. Ruang terjadinya sirkulasi dan turbulensi seluruh bahan atmosfer sehingga menjadi salah satu lapisan yang mengalami pembentukan dan perubahan cuaca seperti angin, awan, presipitasi, badai, kilat dan guntur. Kecepatan angin pada lapisan ini bertambah dengan naiknya ketinggian dan di troposfer ini pemindahan energi berlangsung. Radiasi surya menyebabkan pemanasan permukaan bumi yang selanjutnya panas tersebut diserap oleh air untuk berubah menjadi uap. Akibat proses evaporasi, energi panas diangkat oleh uap ke lapisan atas yang lebih tinggi berupa panas laten. Setelah terjadi pendinginan berlangsung proses kondensasi.

Pada lapisan ini suhu udara turun dengan bertambahnya ketinggian (dT/dz < 0) atau pada keadaan lapse rate. Rata-rata lapse rate seluruh dunia pada keadaan normal adalah -6.5K setiap kenaikan ketinggian 1 km. Pada atmosfer normal, suhu troposfer berubah dari 150C pada permukaan laut menjadi -600C di puncak troposfer. Tekanan dan kerapatan

udara di permukaan laut masing-masing adalah 1013.2 mb dan 1.23 km m-3.

Lapisan di atasnya dengan suhu tetap atau meningkat disebut stratofer kisaran ketinggiannya antara 12-50 km diatas permukaan laut. Lapisan ini terdiri dari 3 wilayah antara lain Stratofer bawah krtinggiannya 12-20 km daerah isotermis, Stratosfer tengah ketinggiannya 20-35 km daerah inversi suhu, Stratosfer atas ketinggiannya 35-50 km daerah inversi suhu yang kuat. Lapisan ini tidak mengalami turbulensi maupun sirkulasi. Stratosfer merupakan lapisan atmosfer utama yang mengandung gas ozon.

Lapisan dengan suhu menurun dari 50-80 km disebut mesosfer dengan perubahan suhu terhadap ketinggian adalah lapse rate. Pada lapisan inisuhu udara sekitar -50C pada lapisan hingga -950C pada puncaknya. Tidak mengalami turbuleni atau sirkulasi udara. Merupakan daerah penguraian 02 menjadi atom O. Batas atasnya adalah lapisan mesopause dengan perubahan suhu terhadap ketinggian mulai bersifat isotermal.

Lapisan di atasnya dengan suhu yang meningkat disebut termosfer. Lapisan ini ditandai dengan beberapa ciri yaitu memiliki ketinggian 80 km hingga batas yang sulit ditentukan karena sangat jarangnya partikel gas yang mencapai lapisan ini. Lapisan ini merupakan tempat berlangsungnya proses ionisasi gas ionasasi gas N2 dan O2 sehingga lapisan ini disebut ionosfer. Dimana diatas ketinggian 100km pengaruh radiasi uv dan sinar x makin kuat.

2.6Spectral Density

Metode analisis Spectral Density diantarnya adalah FFT (Fast Fourier Transform) dan transformasi wavelet. Spektral density merupakan fungsi untuk melihat sifat suatu frekuensi dalam sebuah deret data (time series). Analisa spektral adalah suatu cara yang umumnya digunakan untuk melihat adanya suatu periodisitas yang mungkin tersembunyi dalam data deret waktu tersebut.

(19)

fungsi spasial atau temporal menjadi fungsi frekuensi.

Transformasi wavelet berguna dalam menggambarkan perilaku sinyal-sinyal periodik dan semi periodik. Pada saat yang diterapkan pada data yang tidak lengkap, respon transformasi ini sangat tergantung pada ketidak teraturan jumlah dan spasi data. Dengan memperlakukan transformasi wavelet sebagai proyeksi terbobot, kemampuan untuk mendeteksi perilaku sinyal periodik dan semi periodik dapat ditingkatkan. Metode transformasi wavelet ini pertama kali diperkenalkan oleh Foster (1996) yang dikenal dengan nama Transformasi wavelet Terbobot Z atau Wavelet Weighted Z-Transform (WWZ). Transformasi wavelet juga dikembangkan oleh Torrence dan Compo (1998) dengan penggunaan metode Monte Carlo kasus SOI (Soutern Oscillation Index)

Analisis Fourier merupakan konsep dasar dengan menggunakan fungsi penjumlahan antara hubungan kosinus dan situs, analisis ini juga sering disebut dengan deret fourier yang dapat dirumuskan sebagai berikut:

(Persamaan 2.1)

 

Pada suatu selang

(0,2

π

), (-

π

,

π

)

dengan perioda 2π. Keterangan:

    (2.2)

  (2.3)

r=1,2,….

   (2.4)

Fungsi dari analisis spektral density ini dapat dituliskan sebagai berikut (Christopher, 1989):

  ………..  (2.5)

Keterangan:

F(ω) merupakan fungsi dari distribusi energi spektral jika f(ω) tetap, sehingga persamaan fungsi autokovarians dari analisis spektral yaitu:

γ

(k) =

……

(2.6)

γ

(k) =

….(2.7)

Persamaan diatas adalah persamaan integral biasa (Rienmann) dan oleh karena itu persamaan tersebut lebih mudah untuk digunakan. Dengan memasukkan nilai k=0 maka persamaan tersebut menjadi persamaan (2.8)

γ

(0) =

σ

x 2

Fungsi

f(

ω

) d

ω

dalam persamaan fisika dari spektrum merupakan bagian dari komponen varians dengan interval frekuensi

(

ω

,

ω

+d

ω

).

Puncak dari spektrum tersebut menunjukkan bagian yang sangat penting untuk varians dari suatu frekuensi yang tepat dalam suatu frekuensi yang tepat dalam suatu interval. Pada persamaan (2.8) yang menyatakan hubungan antara γ(k) dan f(ω) sebagai tranformasi dari fungsi cosinus. Hubungan inverse nya dapat dituliskan berikut:

………(2.9)

Spektrum tersebut merupakan bagian dari tranformasi fourier dari fungsi autokovarians. Pada saat

γ

(k)

merupakan fungsi yang tetap, sehingga persemaan (2.9) dituliskan kedalam persamaan (2.10) yaitu :

(2.10 )

Keterangan : Persamaan diatas digunakan untuk suatu proses yang mengandung komponen determinan suatu frekuensi ω0, juga

Σγ

(k) cos

ω

0

k

yang tidak akan bisa

terhitung pada saat fungsi dari F(ω) tidak bersifat diferensial pada ω0 dan f(ω0) tidak dapat ditentukan.

Pendekatan lainnya yang dapat digunakan untuk mendefinisikan spektum dengan interval

(-

π

,

π

),

yaitu:
(20)

Dari hubungan inverse nya dapat dinyatakan menjadi:

γ

(k) =

……...(2.12)

ƒ=

ω

/2

π

menyatakan sebagai variabel dari frekuensi. Sedangkan persamaan (2.11) dan (2.12) adalah bentuk pasangan dari persamaan transformasi fourier. Persamaan ini adalah bentuk tranformasi umum yang dapat diaplikasikan atau dipakai untuk bilangan kompleks dalam suatu deret waktu (time series). Tetapi untuk time series yang real, fungsi f(ω) adalah fungsi yang tetap dan ω>0. Sedangkan untuk nilai frekuensi yang negtiff maka kita dapat menghitung fungsi autokovarians f(ω) sama dengan persamaan (2.9) dengan interval frekuensi (0,π).

Fungsi (2.9) digunakan untuk bentuk normal dari fungsi spektral density yaitu:

f*(

ω

) = f(

ω

)/

σ

x2= ………..(2.13)

Dimana F*(ω) adalah ukuran dari varians yang dihitung dengan suatu frekwensi dengan interval (0,ω). Persamaan diatas merupakan bentuk dari fungsi distribusi spektal yaitu

ƒ*(

ω

) = ƒ(

ω

)/

σ

x2

2.7 Semi Annual Oscillation (SAO) dan

Annual Oscillation (AO)

Fenomena ini dipengaruhi oleh pergerakan semu matahari ke arah utara dan selatan yang melewati Ekuator sebanyak dua kali. Pada saat matahari berada di atas Ekuator, daerah yang berada dekat dengan Ekuator mengalami pemanasan lebih besar sehingga menyebabkan tekanan tekanan udara menurun sehingga massa udara dari daerah tekanan tinggi subtropik Belahan Bumi Utara dan Belahan Bumi Selatan menuju ke daerah tekanan rendah tersebut. ITCZ mengikuti pergerakan matahari dengan posisi sedikit di belakang matahari. Pengaruh ini di tandai dengan adanya dua puncak curah hujan maksimal dua kali dalam satu tahun, yaitu terjadi pada saat bulan April dan Oktober yaitu pada saat matahari dekat ekuator.

Adanya perubahan posisi matahari yang berosilasi dalam 1 tahun dari garis balik utara ke selatan dan sebaliknya merupakan penyebab utama terjadinya fenomena monsun (AO). Monsun dapat terjadi ketika matahari bergerak ke arah selatan yaitu ketika menuju ke arah garis balik selatan (23.50 LS) dan mencapai titik maksimum ketika matahari

berada di ekuator. Aktivitas AO memiliki periode 365 hari atau 1 tahun (Endarwin et al, 2000).

2.8 Analisis Korelasi Silang

Korelasi menunjukkan adanya hubungan keeratan antara dua variabel atau lebih. Jika dua atau lebih variabel tersebut berhubungan hasilnya dapat ditentukan dengan koefisien korelasi, nilai koefisien korelasi berkisar -1 dan +1 yang menunjukkan berbagai derajat hubungan dari yang sangat lemah hingga yang sangat kuat atau tinggi.

Korelasi silang merupakan ukuran hubungan (measure of association) yang di standarkan anatar satu deret angka berkala dengan nilai masalah pada saat ini dan pada saat yang akan datang dari deret berkala lainnya. Karakteristik korelasi silang sama dengan korelasi biasa dengan nilai berkisar -1 dan +1 yang berfungsi sebagai autokorelasi di dalam pemodelan transfer untuk analisis deret berkala univariat, korelasi silang sangat berperan penting dalam pemodelan multivariat yang berhubungan dengan suatu deret data time series dengan adanya suatu hubungan antara satu deret yang di lambangkan dengan lag dengan yang lainnya dan sebaliknya (Makridakis et al, 1999)

Menurut Silalahi (1999) jika koefisien korelasi 0 atau mendekati 0 mengindikasikan tidak adanya hubungan sistematik antara dua variabel maksudnya adalah peningkatan atau penurunan dalam satu variable tidak berhubungan dengan peningkatan atau penurunan dalam variable lain ataupun sebaliknya.

Varians atau ragam adalah sebuah parameter statistik untuk sampel atau populasi. Varians bisa dinyatakan sebagai Sx, Vx, dan COVxx (Makridakis et al, 1999).

Ragam merupakan rata-rata deviasi kuadrat nilai tengah dan variansi atau simpangan baku hanya berguna dalam embandingkan dua atau lebih distribusi yang sama satuan pengukurannya.

Adapun selang kepercayaan yang digunakan dalam korelasi silang ini yaitu 95%. Dalam statistika, selang kepercayaan (Bahasa Inggris: confidence interval, CI) merupakan sebuah interval antara dua angka, dimana dipercaya nilai parameter sebuah populasi terletak di dalam interval tersebut.

Persamaan 2.15

(21)

III. METODOLOGI

3.1Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di Bidang Pemodelan Iklim Lembaga Penerbangan dan Antariksa (LAPAN) Bandung dan Laboratorium Meteorologi dan Kualitas Udara Departemen Geofisika dan Meteorologi selama bulan Maret 2009-Juni 2009

3.2Alat dan Data yang digunakan

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah Laptop dengan softwere Microsoft Office, Matlab R2006a, SPSS 16.0

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1. Data EAR (Equatorial Atmosphere Radar) berupa data angin meridioanl periode April 2002-April 2006. Data EAR dapat diperoleh dari website

http://rslab.riko.shimane-u.ac.jp/CPEA.campaign/ karakteristik data yang digunakan berbentuk ASCII dengan format csv. Data EAR selengkapnya diperoleh dari LAPAN-Bandung.

2. Data curah hujan bulanan daerah Kototabang, Padangpanjang, dan Sicincin periode April 2002-April 2006

3.3Metode Penelitian

Analisis tugas akhir dilakukan dengan 2 tahap diantaranya:

3.3.1 Analisis Osilasi Monsun

Analisis osilasi Monsun ini dilakukan dengan mengolah data EAR dan Curah Hujan periode April 2002-April 2006. Pengolah data ini dilakukan untuk mengetahui periode osilasi Monsun di daerah kawasan barat Indonesia, pengolahan data dibantu dengan softwere Matlab versi R2006a. Kemudian hasil data tersebut dibandingkan dengan data curah hujan bulanan daerah Kototabang (0.230 LS; 100.320 BT; 865 mdpl) , Padangpanjang (0.50 LS; 100.410 BT; 700 mdpl) dan Sicincin (0.60 LS; 100.220 BT; 500 mdpl) (Suryantoro et al, 2009) pada periode April 2002-April 2006 yang diolah dengan menggunakan bantuan softwere matlab versi R2006a, dan Microsoft Excel.

Pengolahan data EAR untuk kawasan Kototabang merupakan data kecepatan angin meridional bulanan dengan resolusi waktu 10 menitan dan resolusi ketinggian 0.1 km atau 100m. data ini dirata-ratakan sehingga menjadi kecepatan angin meridional rata-rata bulanan.

Berdasarkan data kecepatan angin meridional rata-rata bulanan kemudian dibuat kontur plot dan profil vertikal angin meridional dengan menggunakan softwere Matlab versi R2006a, sehingga dapat diketahui puncak ketinggian terjadinya Monsun dan reversal (pembelokan arah angin). Nilai osilasi dominan kecepatan angin dapat diketahui dengan analisis Power Spektral Density (PSD) yang dianalisis dengan menggunakan analisis Fast Fourier Transform (FFT) dan Transformasi Wavelet.

Pengolahan data curah hujan daerah Kototabang, Padangpanjang, dan Sicincin juga dilakukan dengan analisis Power Spektral Density (PSD) dilakukan untuk mengetahui daerah mana yang memiliki osilasi dominan yang polanya sama dengan pola Monsun.

Selanjutnya adalah pengolahan data curah hujan dengan menggunakan Microsoft Excel periode April 2002-April 2006 dilakukan untuk melihat terhadap ketiga daerah tersebut yang memiliki pola yang sama dengan pola Monsun.

3.3.2 Analisis Statistika

Analisis statistika ini diolah dengan menggunakan teknik korelasi silang. Analisis dilakukan untuk membuktikan hubungan kecepatan angin meridional dan curah hujan. Softwere yang digunakan dalam pengolahan data ini adalah SPSS versi 16.0 for windows. Kecepatan angin yang dianalisis adalah kecepatan angin meridional pada ketinggian 14.1 km dengan curah hujan bulanan daerah Kototabang (0.230 LS; 100.320 BT; 865 mdpl), Padangpanjang (0.50 LS; 100.410 BT; 700 mdpl), dan Sicincin (0.60 LS; 100.220 BT; 500 mdpl) periode April 2002-April 2006. Korelasi silang dapat dihitung (Makridakis et al, 1998):

 

Merupakan variansi silang peubah X

 

Merupakan variansi silang peubah Y

(22)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Analisis Osilasi Monsun

Monsun merupakan angin yang memiliki osilasi 6-12 bulanan yang bertiup sepanjang tahun dan berganti arah dua kali dalam setahun, monsun memiliki ciri adanya perbedaan yang tegas antara musim basah (wet season) dan musim kering (dry season) yang pada umumnya terjadi pada bulan Desember, Januari dan Februari (DJF) bertiup dari tekanan tinggi ke tekanan rendah di Australia yang disebut Monsun Barat dan Juni, Juli, dan Agustus (JJA) terdapat sel tekanan rendah di Asia dan sel tekanan tinggi di Australia yang menggerakkan Monsun Timur (Visa J, dalam Tjasjono 1999).

Berdasarkan data angin meridional yang dilakukan dengan menggunakan data EAR (Equatorial Atmosphere Radar ) periode April 2002-April 2006 dapat terlihat dengan jelas perbedaan yang signifikan antara musim basah dan musim kering. Selain itu juga menunjukkan di Kototabang terlihat adanya propagasi atau penjalaran arah dan kecepatan angin meridional, lihat Gambar 10. Propagasi atau pola pengulangan angin meridional tersebut menunjukkan adanya Monsun. Dari Gambar 10, osilasi Monsun terjadi pada ketinggian 8-18 km dengan puncak ketinggian maksimum terjadi pada ketinggian 14.1 km.

Warna merah pada Gambar 10 menunjukkan bahwa pada bulan tersebut bulan basah, sedangkan warna biru menunjukkan bahwa pada bulan tersebut bulan kering.

Gambar 9 Diagram Alir Penelitian

(23)

Gambar 11 Time Height Section Profil Vertikal Angin Meridional di Kototabang dari Data EAR (Equatorial Atmosphere Radar)Periode April 2002-April 2006

Fenomena baru yang diungkap bahwa ternyata monsun dengan menggunakan data radar kuat di lapisan troposfer yaitu pada ketinggian 14.1 km. Sedangkan pada ketinggian 2-7 km atau pada lapisan permukaan tidak terdapat tanda-tanda adanya osilasi Monsun (lihat Gambar 10 dan Gambar 11).

Sehingga dengan menggunakan data profil angin meridional dapat mendeteksi adanya gejala Monsun. Hal ini terkait dengan pergerakan semu matahari terhadap bumi.

Angin meridional (utara-selatan) membawa massa uap air dari utara ke selatan. Berdasarkan Gambar 11, angin reversal atau pembelokan angin di Kototabang terjadi pada ketinggian 8 km dan 10.1 km. Angin yang dominan bergerak adalah angin dari arah selatan. Angin meridional tanda (+) menunjukkan bahwa angin berasal dari arah utara ke selatan, dan tanda (-) menunjukkan bahwa angin berasal dari selatan ke utara.

Berdasarkan hasil analisis terlihat bahwa Monsun terjadi pada bulan basah dengan puncak tertingginya terjadi yaitu pada bulan Januari (lihat Gambar 12)

Analisis Monsun dengan angin meridional (utara-selatan) diperoleh osilasi sekitar 12 bulanan dengan puncak maksimum terjadi pada ketinggian 14.1 km (lihat Gambar 12). Osilasi ini dapat diketahui dengan menggunakan analisis Fast Fourier Transform (FFT) yaitu dengan analisis Power Spectral Density (PSD) dan analisis Wavelet.

Analisis spektral merupakan suatu metode untuk melakukan transformasi dari domain waktu ke domain frekuensi, sehingga kita

dapat melihat pola periodiknya untuk kemudian dapat ditentukan jenis pola cuaca atau iklim yang terlibat didalamnya (Juaeni, 2009).

Analisis spektral angin meridional dapat dilihat pada Gambar 12. Setelah dilakukan analisis yang lebih mendalam, diperoleh puncak energi spektral yang menunjukkan adanya keberadaan pola osilasi dominan secara periodik yaitu Osilasi Tahunan (Annual Oscillation, AO) yang puncak energinya berada pada posisi sekitar 12 bulanan (Hermawan, 2009).

Energi spektral di daerah Kototabang memperlihatkan bahwa terdapat peak (puncak) yang sangat tajam pada periode 12 bulanan yang menunjukkan adanya keberadaan Monsun di daerah tersebut, sedangkan untuk periode lain tidak memperlihatkan adanya suatu puncak. Selain itu dapat dibuktikan bahwa pada ketinggian 2-7 km tidak terdapat adanya tanda-tanda Monsun.

(24)

Gambar 12 Power Spectral Density Kecepatan Angin Meridional di Kototabang Periode April 2002-April 2006

Gambar 13 Wavelet kecepatan Angin Meridional pada Ketinggian 14.1 km Periode April 2002-April 2006

Secara umum curah hujan di wilayah Indonesia dipengaruhi oleh beberapa fenomena diantaranya adalah fenomena Monsun (Visa, 2009). Kototabang (0.20 LS; 100.320 BT; 865 mdpl) ,Padangpanjang (0.5

0 LS; 100.410 BT; 700 mdpl) dan Sicincin (0.60 LS; 100.220 BT; 500 mdpl) (Suryantoro et al, 2009), merupakan kota-kota yang terletak di daerah ekuator, dapat dilihat pada Gambar 14.

Distribusi curah hujan bulanan periode April 2002-April 2006 yang ditunjukkan pada Gambar 15 dapat dilihat adanya perbedaan yang signifikan antara curah hujan Kototabang, Padangpanjang, dan Sicincin. Curah hujan maksimum dimiliki oleh daerah

Sicincin sebesar 819 mm, Padangpanjang 627 mm, dan Kototabang 409.6 mm.

(25)

Gambar 15 Distribusi Curah Hujan Bulanan Daerah Kototabang, Padangpanjang dan Sicincin Periode April 2002- April 2006

bulan Desember 2002 dan Desember 2004 (lihat Gambar 15). Berbeda dengan daerah Sicincin yang memiliki pola curah hujan Monsoonal. Puncak musim hujan daerah Sicincin terjadi pada bulan Oktober 2005.

Hasil ini berbeda dengan teori sebelumnya yang menyatakan bahwa di daerah Sumatera Barat tipe curah hujannya adalah equatorial atau Semi Annual Oscillation (SAO) (Kadarsah, 2007). Tapi, dengan menggunakan data curah hujan daerah Kototabang, Padangpanjang, dan Sicincin

dengan periode 3 tahun tidak semua daerah Sumatera Barat memiliki tipe curah hujan equatorial, karena berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh ternyata daerah Sicincin bertipe curah hujan Annual Oscillation (AO). (lihat Gambar 16). Hal ini disebabkan karena perbedaan periode data yang digunakan. Selain itu faktor lokal yang dominan juga mempengaruhi hasil analisis data.

         Gambar 16 PSD (Power Spectral

Density) Curah Hujan Daerah Kototabang,

(26)

Berdasarkan analisis dengan menggunakan teknik wavelet Kototabang memiliki dua puncak curah hujan dapat dilihat pada Gambar 17. Kadarsah (2007) mengemukakan dalam tipe hujan equatorial bentuk distribusi bulanan curah hujan menunjukkan maksima ganda (double maxima). Dalam tipe hujan ekuatorial bentuk distribusi bulanan curah hujan menyerupai huruf “M”.

Dengan periode dan teknik wavelet yang dianalisis curah hujan daerah Padangpanjang periode April 2002-April 2006 diperoleh hasil yang sama bahwa pada daerah Padangpanjang memiliki dua puncak curah hujan dapat dilihat pada Gambar 16 yaitu pada bulan April 2003 dan Januari 2004 (lihat Gambar 15).

Gambar 17 Wavelet Curah Hujan Daerah Kototabang Periode April 2002- April 2006

Gambar 18 Wavelet Curah Hujan Daerah Padangpanjang Periode April 2002- April 2006

Berbeda dengan daerah Sicincin yang memiliki pola curah hujan Monsun. Pola curah hujan Monsun atau Annual Oscillation (AO) dicirikan adanya perbedaan yang tegas antara musim basah (Desember-Januari-Februari) dan musim kering (Juni-Juli-Agustus) yaitu enam bulan musim hujan dan enam bulan musim kemarau. Puncak musim hujan daerah Sicincin terjadi pada bulan Oktober 2005(lihat Gambar 15) sehingga diduga bulan kering terjadi pada bulan April. Pada saat bulan kering bukan berarti tidak ada hujan melainkan curah hujan yang terjadi rendah dibandingkan pada saat bulan basah

Hasil analisis Power Spectral Density (PSD) curah hujan Sicincin dipertegas dengan adanya analisis wavelet, dengan teknik ini periode deret waktu khususnya dalam mengamati evolusi waktu yang tersebunyi sehingga dapat dilihat puncaknya, khususnya dalam mengamati periode, amplitudo, dan fase dari satu parameter (Juaeni, 2009) (lihat pada Gambar 19) yang mengahasilkan satu puncak curah hujan.

Gambar 19 Wavelet Curah Hujan Daerah Sicincin Periode April 2002 – April 2006

(27)

Gambar 20 Pola Curah Hujan di Kototabang dan Angin Meridional Periode April 2002-April 2006

Menurut Juaeni (2009) banyak faktor yang menyebabkan perbedaan pola adapun faktor yang kemungkinan dapat mempengaruhi diantaranya pengaruh pegunungan Bukit Barisan, topografi dan geografik yang terkait dengan posisi stasiun, sehingga hal ini dapat menyebabkan curah hujan yang tinggi pada saat musim peralihan. Selain itu, dari hasil yang diperoleh bahwa Monsun tersebut kuat pada lapisan 14.1 km hal ini tentunya sangat berbeda sekali dengan curah hujan yang hanya berada pada lapisan permukaan. Banyak faktor yang mempengaruhi pola Monsun yang dengan osilasi 12 bulanan pada ketinggian 14.1 km tersebut. Sehingga tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh adanya pola curah hujan.

Sama halnya dengan daerah padangpanjang tidak ditemukan adanya osilasi

yang sama dengan adanya osilasi Monsun 12 bulanan (dapat dilihat pada Gambar 21).

Walaupun sebelumnya telah dibuktikan dengan analisis spektral, namun dengan menggunakan analisis yang berbeda hasil yang diperoleh tidak jauh berbeda.

Beda halnya dengan daerah Sicincin (lihat Gambar 22), pada daerah ini sangat nampak dengan jelas pola curah hujan pada daerah ini sama dengan pola terjadinya Monsun di ketinggian 14.1 km. Yaitu terlihat dengan jelas adanya osilasi 12 bulanan. Adapun faktor yang mempengaruhi diantaranya adalah topografi daerah Sicincin yang lebih flat dibandingkan daerah Kototabang dan Padangpanjang sehingga diperoleh pola antara curah hujan dan Monsun sama yaitu berkisar 12 bulanan.

(28)

Gambar 22 Pola Curah Hujan Sicincin dan Angin Meridional Periode April 2002-April 2006

4.2 Analisis Statistika

Analisis statitik dilakukan untuk membuktikan hubungan antara kecepatan angin meridional dan curah hujan dengan menggunakan teknik korelasi silang (cross correlation) dengan bantuan perangkat lunak SPSS versi 16.0.

Sehubungan dengan fenomena Monsun tidak hanya terfokus kepada aktivitas pergerakan profil angin vertikal saja, maka analisis lebih lanjut ditujukan kepada data time-series curah hujan permukaan bulanan yang ada di sekitar kawasan Kototabang dan sekitarnya, yakni Kototabang (0.20 LS; 100.320 BT; 865 mdpl), Padangpanjang (0.50 LS; 100.410 BT; 700 mdpl) dan Sicincin (0.60 LS; 100.220 BT; 500 mdpl) (Suryantoro et al, 2009). Untuk analisis yang lebih tajam, maka dilakukanlah analisis korelasi silang ( cross-correlation ). Korelasi silang merupakan ukuran hubungan yang telah distandarkan antara satu deret berkala dengan nilai-nilai masalah, pada saat ini dan yang akan datang dari deret berkala lainnya. Data-data yang digunakan pada analisis ini adalah data angin pada ketinggian 14.1 km dan data curah hujan bulanan pada 3 titik dari kawasan barat Indonesia yaitu daerah Kototabang, Padangpanjang, dan Sicincin dengan periode April 2002-April 2006. Jumlah data (n) yang digunakan yaitu sebanyak 49 titik. Nilai selang kepercayaan dari kedua variabel tersebut adalah 2/n0.5 (Walpole, 1989 ) yaitu -0.286 sampai 0.286, dapat dilihat pada Gambar 23.

Adapun hasil korelasi silang antara kecepatan angin meridional dan curah hujan adalah sebagai berikut:

a. Angin Meridional dan Curah Hujan Di Kototabang

Gambar 23 Grafik Korelasi Silang Angin Meridional dengan CH di Kototabang Periode April 2002-April 2006

Tabel 2 Nilai Korelasi Silang Angin Meridional dengan CH di Kototabang Periode April 2002-April 2006

Lag

Cross

Correlation Std. Error

(29)

Tabel 2 Lanjutan

Lag Cross

Correlation Std. Error

-7 .047 .156 -6 -.189 .154 -5 -.357 .152

-4 -.363 .151

-3 -.230 .149 -2 -.038 .147 -1 .090 .146 0 .219 .144 1 .068 .146 2 .153 .147 3 .222 .149 4 .14.18 .151 5 -.043 .152 6 -.198 .154 7 -.170 .156 8 -.186 .158 9 -.196 .160 10 -.206 .162 Berdasarkan Gambar 23 menunjukkan bahwa ada nilai korelasi silang antara Kecepatan angin meridional pada ketinggian 14.1 km dengan curah hujan di Kototabang, yaitu pada lag number (selang waktu) -4 sampai -5 (lihat nilai korelasi pada tabel 2). Dengan nilai korelasi silang sebesar -0.363 ada pada lag number -4. Artinya bahwa korelasi negatif antara kecepatan angin dan curah hujan. Hal ini menunjukkan angin yang mendominasi adalah angin selatan namun curah hujan yang turun di atas Kototabang terjadi karena adanya intervensi atau pengaruh dari daerah lain. Selain itu juga disebabkan perbedaan data angin pada lapisan permukaan dan data curah hujan permukaan.

b. Angin Meridional dan Curah Hujan Di Padangpanjang

Gambar 24 Grafik Korelasi Silang Angin Meridional dengan CH di Padangpanjang Periode April 2002-April 2006

Tabel 3 Nilai Korelasi Silang Angin Meridional dengan CH di Padangpanjang Periode April 2002-April 2006

Lag

Cross

Correlation Std. Error

(30)

Tabel 3 Lanjutan

Lag Cross

Correlation Std. Error

3 -.052 .147 4 -.284 .149

5 -.345 .151

6 -.321 .152 7 -.313 .154 8 -.006 .156 9 -.016 .158 10 .261 .160

Hubungan kecepatan angin meridional dengan curah hujan di Padangpanjang mengindikasikan signifikan atau adanya korelasi silang dengan selang waktu atau lag number 5 sampai 7 (lihat nilai korelasi pada Tabel 3) dengan nilai korelasinya yaitu -0.345 (lihat Tabel 3 ). Sama halnya dengan daerah Kototabang, di Padangpanjang juga terjadi hal yang sama yaitu korelasinya bernilai negatif hal ini mengindikasikan bahwa pada daerah Padangpanjang angin yang mendominasi adalah angin selatan.

c. Angin Meridional dan Curah Hujan di Sicincin

Gambar 25 Grafik Korelasi Silang Angin Meridional dengan CH di Sicincin Periode April 2002-April 2006

Tabel 4 Nilai Korelasi Silang Angin Meridional dengan CH di Kototabang Periode April 2002-April 2006

Lag

Cross

Correlation Std. Error

-10 .383 .160 -9 .453 .158 -8 .379 .156 -7 .138 .154 -6 -.067 .152 -5 -.281 .151 -4 -.383 .149 -3 -.474 .147 -2 -.265 .14.6 -1 -.199 .144 0 .109 .143 1 .204 .144 2 .332 .146

3 .505 .147

4 .368 .149 5 .231 .151 6 -.156 .152 7 -.277 .154 8 -.442 .156 9 -.433 .158 10 -.306 .160

Hubungan kecepatan angin meridional dan curah hujan di Sicincin memiliki korelasi. Berbeda dengan daerah Kototabang dan Padangpanjang, daerah Sicincin memiliki nilai korelasi yang positif (dapat dilihat pada Tabel 4). Pada daerah Sicincin nilai korelasinya bervariasi yaitu positif dan negatif. Untuk korelasi positif terdapat pada lag number -10 hingga -8 dan 2 hingga 4. Sedangkan untuk korelasi negatif terdapat pada lag number -4 dan -3 serta 8 dan 9 (lihat Gambar 25).

[image:30.595.319.510.85.592.2]
(31)

Padangpanjang. Korelasi yang terjadi pada daerah Sicincin dengan kecepatan angin meridional adalah berkorelasi positif, dan nilai koefisien korelasi tertinggi yaitu 0.505 yang terdapat pada lag number 3, lihat pada Tabel 4. Hal ini mengindikasikan bahwa angin yang mendominasi adalah angin dari selatan. Selain itu hal ini menunjukkan bahwa pada saat angin meridional bergerak ke arah selatan (dengan asumsi membawa banyak kandungan uap air yang siap diturunkan sebagai hujan), maka curah hujan yang ada di kawasan Sicincin tinggi.

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Berdasarkan karakteristik hasil data EAR (Equatorial Atmephere Radar) dengan periode April 2002- April 2006 diketahui adanya Monsun signal yang berosilasi sekitar 12 bulanan pada ketinggian 8-18 km dengan puncak Monsun terkuat yaitu pada ketinggian 14.1km. Pada daerah Kototabang angin reversal terjadi pada ketinggian 8km dan 10.1 km dan angin yang dominan adalah angin selatan.

2. Berdasarkan pola curah hujan di Kototabang, Padangpanjang dan Sicincin. Maka Kototabang dan Padangpanjang memiliki pola iklim ekuatorial sedangkan Sicincin memiliki pola curah hujan Monsoonal. Dari ketiga wilayah tersebut Sicincin memiliki pola yang sama dengan pola Monsun yaitu berosilasi sekitar 12 bulanan.

3. Hasil analisis korelasi silang antara curah hujan dengan angin meridional diperoleh korelasi terbesar yaitu pada daerah Sicincin dengan koefisien korelasi maksimum sebesar 0.505 terdapat pada lagtime number 3 yaitu adanya jeda waktu selama 3 bulan dari datangnya angin sampai turunnya hujan. Korelasi negatif menunjukkan bahwa bahwa adanya indikasi angin cenderung dari arah selatan sehingga menyebabkan musim kering dan positif dari arah utara sehingga menyebabkan musim basah.

5.2 Saran

1. Masih perlu adanya tindak lanjut untuk melihat fenomena Monsun. Mengingat bahwa Monsun merupakan fenomena penting yang dapat mempengaruhi curah hujan di Indonesia.

2. Masih perlu adanya validasi dan kelengkapan data curah hujan dengan periode yang lebih panjang minimal 30 tahun untuk melihat pola Monsun.

3. Masih perlu dilakukan analisis statistika yang lebih beragam dan kompleks sehingga dapat menjelaskan hubungan antara curah hujan dengan angin meridional.

DAFTAR PUSTAKA

Annenberg. 2009. Structure Atmosphere. http://www.learner.org/courses/envsci/visu al/img_med/structure_atmosphere.jpg [15 Juni 2009]

Chang J. 1984. The Monsoon Circulation of Asia, hlm 3-34. Di dalam M.M. Yoshino (Penyunting). Climate and Agricultural Land Use in Monsoon Asia. Universitas of Tokyo Press. Tokyo.

Chao CW et al. 2001. The Origin Of Monsoon. Vol 58: 3497-3507

Ding Y et al. 2004. East Asian Monsoon. Di dalam: CP Chang, editor. The Global Monsoon System Research and Forcast. Secretariat of the World Meteorological Organization Geneva, Switzerland.

Endarwin, DK. 2000. Periodisitas Gerak Atmosfer dan Pengaruhnya Terhadap Fluktuasi Intensitas Curah Hujan di Indonesia. Jurnal Meteorologi dan Geofisika. Vol 1 No 3. Juli-Sseptember. Flatau MK et al. 2003. Geophysical Research

Letters. Delayed Onset Of The 2002 Indian Monsoon 30: 1-4.

Fukao S, Haschiguchi H, Yamamoto M, Tsuda T, Nakamura T, Yamamoto MK. 2003. The Equatorial Atmosphere Radar (EAR): System Description and First Result. Radio Science Center for Space and atmosphere. Kyoto University. Japan. Handoko. 1995. Klimatologi Dasar. Bogor:

(32)

Hermawan, E. 2002. Perbandingan Antara Radar Atmosfer Khatulistiwa dengan Middle and Upper Atmosphere radar dalam Pemantauan Angin Zonal dan Meridional. Warta LAPAN 4, No 1: 8-16 Hermawan, E. 2009. Pengaruh Kejadian

Dipole Mode terhadap Variabilitas Curah Hujan di Sumatera Barat dan Selatan. PUSFATSATKLIM. LAPAN. Bandung Holton, JR. 1992. An Introduction to Dynamic

Meteorology. Academic Press. New York. Jhun JP. 2003. A New East Asian Winter

Monsoon Index and Associated Characteristics of the Winter Monsoon 17: 711-726.

Johnson, RJ. 1993. Heat and Moisture Sources and Sinks of Asian Monsoon Presipitating System.J. Meteor. Soc.Japan,70. 353-371 Juaeni I. 2009. Periode Curah Hujan Dominan

dan Hubungannya dengan topoografi. Bandung: Lembaga Penerbangan dan Antariksa.

June, T. 1995. Angin. Di dalam: Handoko, editor. Klimatologi Dasar. Bogor: FMIPA IPB.

Kadarsah. 2007. Meteorologi dan sains Atmosfer. http:// kadarsah. wordpress. com/2007/08/30/itcz/ [30 Mei 2009] Komalaningsih, K.2004. Kaitan Karakteristik

IODM (Indonesia Ocean Dipole Mode) dengan Curah Hujan di Sumatera Barat. Laporan Praktik Lapang. Bogor: Geofisika dan Meteorologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Makridis, S. et al. 1998. Forecasting: Methode and Application. Second Edition. Di dalam: Hari Sumanto, editor. Metode dan Aplikasi Pemodelan. John Willey and Sons, Inc.

Keshavamurty NR. 1971. Atmospheric Science. On The Vertikal Tilt of Monsoon Disturbances 29: 993-995

Khrisnamurti NT, Bhalme NH. 1976. Oscillations of Monsoon System. Observational Aspect 33:1937-1953

McBride,J.L.10-11 November 1992. The Meteorology of Indonesia and the Maritime continent. Fourth International Symp. On Equatorial Atmosphere Obs. Over indonesia. Jakarta.

Muna R. 2005. On the origin of Monsoon: Conventional theory vs. new findings. Course ATM 656.

Nasir A. 1995. Atmosfer. Di dalam: Handoko, editor. Klimatologi Dasar. Bogor: Jurusan Geofiska dan Meteorologi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Nieuwolt, S.1977. Tropical Cliamtologgy: An Introduction to the Climates of the Low Latitudes. John Wiley & Son. New York. Nurhayati N. 2007. Propagasi dan Struktur

Vertikal MJO di Atas Kawasan Indonesia Bagian Barat Berbasis hasil Analisis Data EAR, BLR, Radiosonde dan NCEP/NCAR Re-Analisis. Departemen Geofisika dan Meteorologi. Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor.

Ping l. 2008. An East Asian Subtropical Summer Monsoon Index Defined By moisture transport. Journal of Tropical Meteorology. 14: 61-64

Prawirowardoyo, S. 1996. Meteorologi. Bandung : Institut Teknologi Bandung.

Ramage, CS .1971. Monsoon Meteorolgy.Academic Press. New York and London.

Ray AJ et al. 2007. Monsoon Region

Climate Applications Integrating Climate Science with Regional planning and policy. American Meteorological Society [RISH] Research Institute for Sustainable

(33)

Rizal. 2009. Lokasi Sumatera Barat. http://gaw.kishou.go.jp/qasac/bkt_map.jpg [15 Juni 2009]

Robert CW. 1985. Reed’s Yacht Master Series Meteorology. Thomas Publications Limited. Sunderland and London.

Shu. 2009. Radar Antenna. http://aktifisika.files.wordpress.com/2008/ 11/radar-antenna.jpg [15 Juni 2009] Sipayung, SB.1995. The Spectrum Analysis

of Mteorological Elements in Indonesia. Institut for Hydrospheric-Atmospheric Science. Nagoya university. JAPAN

Silalahi, U. 1999. Metode and Metodologi Penelitian. Bina Budhaya Bandung. Cetakan Pertama. Bandung.

Sunarsih I. 2008. Perilaku Curah Hujan di Kototabang, Pontianak, dan Biak Berbasis Hasil Data EAR dan WPR. Departemen Geofisika dan Meteorologi. FMIPA,IPB. Suryantoro et al. 2009. Variasi

Spasiotemporal Curah Hujan Indonesia Berbasis Observasi Satelit TRMM. PUSFATSATKLIM. LAPAN. Bandung. Trewartha,Glenn T,Horn Lyle.1995.

Pengantar Iklim. Gadjah Mada University Press.

Vina.J. 2009. Kejadian Curah Hujan Ekstrim di Sumatera (Palembang, Jambi dan Lampung). Pusat Pemanfaatan Sains Atmosfer dan Iklim. LAPAN. Bandung. Walpole RE. 1989. Probability and Statistics

For Engineers and Scientist. Fourth Edition. Di dalam: RK Sembiring, editor. Ilmu Peluang dan Statistika untuk Insinyur dan Ilmuwan. Macmilan Publishing co,Inc.

Wang B, Fan Z. 1998.  Choice of South Asian SummerMonsoon Indices. Bulletin of the American Meteorological Society 80: 629-638.

Wheeler CM, McBride LJ. 2005. Asian-Aurtralian Monsoon . Praxis, Springer Berlin Heidelberg.

Wu, Wang. 1999. Interannual Variability of Summer Monsoon Onset over the Western

North Pacific and the Underlying Processes 13: 2483-2500

(34)

Lampiran 1 Power Spectral Density (PSD) Angin Meridional Bulanan di Kototabang pada Ketinggian 2-7km

(35)
(36)

the West Area Indonesia. Supervisor: Sobri Effendy and Eddy Hermawan

Kototabang, Padang Panjang and Sicincin city are area in the West part of Indonesia and they are relative in the equator line. Otherwise, three of these cities have difference of behaviors of rainfall for Monsoon. In this study, we were used EAR Data, which were including the rainfall Kototabang, Padangpanjang, and Sicincin. Base on this data (i.e EAR data) in Kototabang, there is monsoon in 8-18 km layer and the higher monsoon is in 14 km layer during the April 2002-April 2006 period. Analisis Power Spectral Density (PSD) and Transformasi wavelet were shown that Monsoon oscillation around 12 months. While vertical profile was presented that the stronger monsoon will be in the wet weather on January. The domination of wind in Kototabang city is South Wind, it is because the wind took water vapor mass from South to North.

According to analysis of rainfall in Kototabang, Padangpanjang and Sicincin City, meridional wind in the the Sicincin has rainfall pattern the same as with monsoon. Its was indicated that there were local indicator which can cause the monsoon. From the cross correlation between meridonial wind speed with rainfall in Kototabang, Pontianak and Sicincin, they were shown that three of these cities have significant correlation

(37)

Hermawan, M.Sc.

Daerah Kototabang, Padangpanjang, dan Sicincin merupakan daerah yang terletak di kawasan barat Indonesia dan relatif berada di sekitar ekuator. Namun perilaku atau karakteristik curah hujan di ketiga tempat tersebut memiliki pola yang berbeda-beda terhadap Monsun. Data-data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data EAR, Curah Hujan Kototabang, Padangpanjang, dan Sicincin. Berdasarkan data EAR di Kototabang periode April 2002-April 2006, Monsun terdapat pada lapisan 8-18km dan Monsun terkuat t

Gambar

Tabel 4
Gambar 2  Pola angin Monsun pada saat musim panas (summer) (Johnson, 1991)
Gambar 4 Antena Radar (Shu, 2009)
Tabel 1
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengukuran kinerja Poltekkes Kemenkes Jakarta III pada tahun 2020 berdasarkan 16 (enam belas) indikator utama diperoleh bahwa capaian kinerja

Simpulan: Hasil penelitian menunjukan bahwa ada hubungan antara NO dengan RAKU pada subjek pria perokok usia dewasa muda yang diperoleh dari hasil analisis bivariat (p = 0.034)

Kesibukan yang dimiliki oleh mahasiswa jaman sekarang sering membuat mereka lupa untuk sarapan sehingga kekurangan asupan energi yang menyebabkan para mahasiswa

Ukuran-ukuran pada liang terlihat pada Gambar 2, yaitu dibedakan menjadi SD (surface diameter yaitu lebar lubang permukaan liang bioturbasi), AW (arm width yaitu

Tujuan dilakukannya penelitian value engineering ini untuk mengetahui alternatif desain struktur pelat khusunya pelat atap pada proyek pembangunan Hotel Aziza Solo dan

 Produk tenda camping ini telah mampu membantu pengguna yang berkebutuhan khusus seperti pengguna kursi roda untuk lebih mudah dalam menggunakan tenda. Sehingga

Indonesia Enterprise Risk Management Award III 2019 Penyelenggara/ Organizer Economic Review Tanggal/ Date 3 Agustus 2019/ August 3, 2019 PENgHARgAAN | aWaRd.. Penghargaan

Indonesia memiliki cadangan batu bara yang sangat besar dan menduduki posisi ke-4 di Indonesia memiliki cadangan batu bara yang sangat besar dan menduduki posisi ke-4 di dunia sebagai