• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Algoritma Untuk Estimasi Kedalaman Perairan Dangkal Menggunakan Data LANDSAT-7 ETM+ (Studi Kasus: Perairan Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengembangan Algoritma Untuk Estimasi Kedalaman Perairan Dangkal Menggunakan Data LANDSAT-7 ETM+ (Studi Kasus: Perairan Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta)"

Copied!
220
0
0

Teks penuh

(1)

MENGGUNAKAN DATA LANDSAT-7 ETM

(Studi Kasus: Perairan Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta)

PRIHATIN IKA WAHYUNINGRUM

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengembangan Algoritma untuk Estimasi

Kedalaman Perairan Dangkal Menggunakan Data Landsat-7 ETM+(Studi Kasus: Perairan Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta) adalah karya saya sendiri dan belum

diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi

yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis

lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

tesis ini.

Bogor, Agustus 2007

Prihatin Ika Wahyuningrum

(3)

perairan dangkal menggunakan data Landsat-7 ETM+(Studi kasus: Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta). Di bawah bimbingan: INDRA JAYA (Ketua), dan DOMU SIMBOLON (Anggota).

Kebutuhan terhadap pemetaan batimetri perairan dangkal sangat diperlukan sekali untuk berbagai macam pekerjaan keteknikan dan keamanan pelayaran. Penelitian ini mencoba mengestimasi kedalaman perairan dangkal menggunakan citra satelit Landsat-7 ETM+ dan menentukan kombinasi terbaik dari algoritman Van Hengel dan Spitzer (VHS) mencari model nilai digital asli (NDA) terbaik. Model NDA terbaik diperoleh melalui analisis korelasi, analisis komponen utama (PCA) dan menerapkan beberapa model regresi terhadap citra satelit Landsat-7 ETM+ band 1, 2 dan 3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Kedalaman perairan dangkal di Pulau Pari, sebagai lokasi penelitian, dapat diestimasi dari citra satelit Landsat-7 ETM+; 2) Kombinasi band 321 citra satelit Landsat 7 ETM+ adalah kombinasi terbaik dari algoritma VHS; 3) Model NDA terbaik untuk estimasi kedalaman perairan dangkal adalah persamaan eksponensial y = 21.07e-0.0591x; 4) Model NDA terbaik mempunyai galat rata-rata yang lebih kecil pada kedalaman kurang dari 9 meter sedangkan algoritma VHS mempunyai galat rata-rata yang lebih kecil pada kedalaman lebih dari 9 meter.

(4)

PRIHATIN IKA WAHYUNINGRUM. The improving algorithm to estimate shallow water depth by using Landsat-7 ETM+Data (Case study: Pari Island, Seribu Islands, Jakarta. Supervised by INDRA JAYA and DOMU SIMBOLON.

The need for accurate shallow water mapping is highly desireable for various engineering work and navigational safety. The current research attempts to estimate shallow water depth using Landsat-7 ETM+ and to formulate the best combination of Van

Hengel and Spitzer algorithm and the best original digital number model. The best digital number model is obtained by correlation analysis, Principal Component Analysis (PCA) and application of regression model to 1st, 2nd and 3rd bands of Landsat-7 ETM+ satellite

images. The results show that: (1) Shallow water depth in Pari Island, as a study site, can be estimated from Landsat-7 ETM+; (2) Combination of 321 bands of Land Satellite-7 Enhanched Thematic Mapper Plus (Landsat-7 ETM+ )is the best combination of algorithm

of Van Hengel and Spitzer; (3) The best model to estimate shallow water depth from original digital number is exponential equation: y = 21.07e-0.0591x; (4) The best original

digital number model has smaller mean error at the depth of less than 9 meter while the Van Hengel and Spitzer algorithm has smaller mean error at the depth of more than 9 meter.

(5)

©

Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi Institut Pertanian Bogor. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam

(6)

MENGGUNAKAN DATA LANDSAT-7 ETM

(Studi Kasus: Perairan Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta)

PRIHATIN IKA WAHYUNINGRUM

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(7)
(8)

Nama : Prihatin Ika Wahyuningrum

NIM : C551020211

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Teknologi Kelautan

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.

(9)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat, pertologan dan karunia-Nyalah sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2004 ini adalah Pengembangan Algoritma untuk Estimasi Kedalaman Perairan Dangkal Menggunakan Data Landsat-7 ETM+ (Studi Kasus: Perairan Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc dan Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dan pikirannya (disela-sela kesibukan beliau) dalam menyempurnakan tesis ini. Terima kasih juga untuk Dr. ir. Bisman Nababan, MSc untuk kesediannya menjadi Dosen Penguji serta masukan-masukan yang membangun. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. John Haluan selaku ketua Program Studi TKL, juga seluruh dosen yang telah membagi ilmu dan diskusi-diskusinya sampai penulis menyelesaikan S2.

Ucapan terimakasih untuk Ir. Rahmat Kurnia, M.Si yang telah meluangkan waktu dlm konsultasi statistik. Risti Endriani Arhatin, S.Pi, M.Si untuk diskusi dan persahabatannya. Bang Cacul untuk citra gratisnya. Muhammad Syahdan, S.Pi, M.Si untuk bantuan ke lapang. Gunawan, S.Pi; Pak Yayat; Nurdin dan teman-teman yang telah membantu pengambilan data lapang. Baharuddin, S. Kel, M.Si untuk diskusi-diskusi pasut dan arc viewnya, teman-teman yang sedang melanjutkan belajar di luar negeri (Zinoel, Shinta, Atik, Bang Acho dan teman-teman lain) yang telah membantu mencarikan jurnal-jurnal terkait dengan penelitian ini.

Terima kasih untuk teman-teman di TKL, terutama TKL’02 atas kenangan indah selama kebersamaan kita. Teman-teman di WCS (Wildlife Conservation Society) untuk pembelajaran, support dan keceriaannya.

‘Motivatorku’ untuk semua kata-kata bijak yang telah menyadarkan aku untuk segera menyelesaikan studi. Mbak Shinta dan Mbak Qib, semoga Allah membalas dengan kebaikan yang berlimpah.Juga untuk MS yang selalu mensupport dari jauh. Teman-teman pejuang syariah dan khilafah; juga untuk Iil, Agustin, Etik, Husni, Siti; teman-teman di Wisma Agung 1 dan 3; adik-adikku semuanya untuk kerelaannya tetap saling mengingatkan.

The Last but not the least untuk Ayah, Bunda, Dek Heni, Dek Aji, Dedek atas untaian doa yang tidak pernah putus, jerih payah, harapan, kepercayaan, motivasi, fasilitas dan kasih sayang yang tiada henti, serta kerelaan ‘hilangnya’ kebersamaan selama penulis melanjutkan studi di Bogor; “Semuanya takkan pernah cukup hanya dengan kata”.

Semoga tesis ini bermanfaat khususnya bagi penulis, rekan-rekan lain yang mengangkat masalah sejenis ini dan perkembangan ilmu pengetahuan di masa depan.

Bogor, Agustus 2007

(10)

viii

Penulis dilahirkan di Kebumen pada tanggal 13 Juni 1978, anak pertama dari

empat bersaudara, buah cinta dari pasangan Ayahanda Sudari, BA dan Ibunda Mursinah,

BA.

Penulis memulai pendidikan dasarnya di SD Kanisius Cungkup I Salatiga

kemudian dilanjutkan di SDN Wonokriyo 2 Gombong, Kebumen (lulus tahun 1990),

kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 2 Gombong (lulus tahun 1993). Tahun 1996,

penulis lulus dari SMA Negeri 1 Gombong dan diterima di Institut Pertanian Bogor melalui

jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Fakultas Perikanan -kemudian menjadi

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK)- Program Studi Ilmu Kelautan dan

menyelesaikan studi pada tahun 2001 dengan skripsi yang berjudul “Studi Evaluasi

Kesesuaian Wilayah Perairan untuk Budidaya Rumput Laut (Eucheuma) dengan Pemanfaatan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis”.

Tahun 2002 penulis melanjutkan pendidikan ke tingkat strata dua (S2) di Program

Studi Teknologi Kelautan Sekolah Pascasarjana IPB. Selama mengikuti program S2,

penulis aktif sebagai pengurus Forum Mahasiswa Teknologi Kelautan (FORMULA – IPB)

serta aktif pada berbagai kegiatan nonprofit di luar kampus.

Penulis pernah aktif di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi

Geografi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB dan di Laboratorium

Model dan Simulasi Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan IPB. Juga pernah

bekerja sebagai staff pengolah dan interpretasi data di PT Waindo SpecTerra Indonesia

(11)

MENGGUNAKAN DATA LANDSAT-7 ETM

(Studi Kasus: Perairan Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta)

PRIHATIN IKA WAHYUNINGRUM

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Pengembangan Algoritma untuk Estimasi

Kedalaman Perairan Dangkal Menggunakan Data Landsat-7 ETM+(Studi Kasus: Perairan Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta) adalah karya saya sendiri dan belum

diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi

yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis

lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

tesis ini.

Bogor, Agustus 2007

Prihatin Ika Wahyuningrum

(13)

perairan dangkal menggunakan data Landsat-7 ETM+(Studi kasus: Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta). Di bawah bimbingan: INDRA JAYA (Ketua), dan DOMU SIMBOLON (Anggota).

Kebutuhan terhadap pemetaan batimetri perairan dangkal sangat diperlukan sekali untuk berbagai macam pekerjaan keteknikan dan keamanan pelayaran. Penelitian ini mencoba mengestimasi kedalaman perairan dangkal menggunakan citra satelit Landsat-7 ETM+ dan menentukan kombinasi terbaik dari algoritman Van Hengel dan Spitzer (VHS) mencari model nilai digital asli (NDA) terbaik. Model NDA terbaik diperoleh melalui analisis korelasi, analisis komponen utama (PCA) dan menerapkan beberapa model regresi terhadap citra satelit Landsat-7 ETM+ band 1, 2 dan 3. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Kedalaman perairan dangkal di Pulau Pari, sebagai lokasi penelitian, dapat diestimasi dari citra satelit Landsat-7 ETM+; 2) Kombinasi band 321 citra satelit Landsat 7 ETM+ adalah kombinasi terbaik dari algoritma VHS; 3) Model NDA terbaik untuk estimasi kedalaman perairan dangkal adalah persamaan eksponensial y = 21.07e-0.0591x; 4) Model NDA terbaik mempunyai galat rata-rata yang lebih kecil pada kedalaman kurang dari 9 meter sedangkan algoritma VHS mempunyai galat rata-rata yang lebih kecil pada kedalaman lebih dari 9 meter.

(14)

PRIHATIN IKA WAHYUNINGRUM. The improving algorithm to estimate shallow water depth by using Landsat-7 ETM+Data (Case study: Pari Island, Seribu Islands, Jakarta. Supervised by INDRA JAYA and DOMU SIMBOLON.

The need for accurate shallow water mapping is highly desireable for various engineering work and navigational safety. The current research attempts to estimate shallow water depth using Landsat-7 ETM+ and to formulate the best combination of Van

Hengel and Spitzer algorithm and the best original digital number model. The best digital number model is obtained by correlation analysis, Principal Component Analysis (PCA) and application of regression model to 1st, 2nd and 3rd bands of Landsat-7 ETM+ satellite

images. The results show that: (1) Shallow water depth in Pari Island, as a study site, can be estimated from Landsat-7 ETM+; (2) Combination of 321 bands of Land Satellite-7 Enhanched Thematic Mapper Plus (Landsat-7 ETM+ )is the best combination of algorithm

of Van Hengel and Spitzer; (3) The best model to estimate shallow water depth from original digital number is exponential equation: y = 21.07e-0.0591x; (4) The best original

digital number model has smaller mean error at the depth of less than 9 meter while the Van Hengel and Spitzer algorithm has smaller mean error at the depth of more than 9 meter.

(15)

©

Hak Cipta milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2007

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi Institut Pertanian Bogor. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam

(16)

MENGGUNAKAN DATA LANDSAT-7 ETM

(Studi Kasus: Perairan Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta)

PRIHATIN IKA WAHYUNINGRUM

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(17)
(18)

Nama : Prihatin Ika Wahyuningrum

NIM : C551020211

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc. Ketua

Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Teknologi Kelautan

Prof. Dr. Ir. John Haluan, M.Sc.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.

(19)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat, pertologan dan karunia-Nyalah sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Juni 2004 ini adalah Pengembangan Algoritma untuk Estimasi Kedalaman Perairan Dangkal Menggunakan Data Landsat-7 ETM+ (Studi Kasus: Perairan Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc dan Dr. Ir. Domu Simbolon, M.Si selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu dan pikirannya (disela-sela kesibukan beliau) dalam menyempurnakan tesis ini. Terima kasih juga untuk Dr. ir. Bisman Nababan, MSc untuk kesediannya menjadi Dosen Penguji serta masukan-masukan yang membangun. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada Prof. Dr. John Haluan selaku ketua Program Studi TKL, juga seluruh dosen yang telah membagi ilmu dan diskusi-diskusinya sampai penulis menyelesaikan S2.

Ucapan terimakasih untuk Ir. Rahmat Kurnia, M.Si yang telah meluangkan waktu dlm konsultasi statistik. Risti Endriani Arhatin, S.Pi, M.Si untuk diskusi dan persahabatannya. Bang Cacul untuk citra gratisnya. Muhammad Syahdan, S.Pi, M.Si untuk bantuan ke lapang. Gunawan, S.Pi; Pak Yayat; Nurdin dan teman-teman yang telah membantu pengambilan data lapang. Baharuddin, S. Kel, M.Si untuk diskusi-diskusi pasut dan arc viewnya, teman-teman yang sedang melanjutkan belajar di luar negeri (Zinoel, Shinta, Atik, Bang Acho dan teman-teman lain) yang telah membantu mencarikan jurnal-jurnal terkait dengan penelitian ini.

Terima kasih untuk teman-teman di TKL, terutama TKL’02 atas kenangan indah selama kebersamaan kita. Teman-teman di WCS (Wildlife Conservation Society) untuk pembelajaran, support dan keceriaannya.

‘Motivatorku’ untuk semua kata-kata bijak yang telah menyadarkan aku untuk segera menyelesaikan studi. Mbak Shinta dan Mbak Qib, semoga Allah membalas dengan kebaikan yang berlimpah.Juga untuk MS yang selalu mensupport dari jauh. Teman-teman pejuang syariah dan khilafah; juga untuk Iil, Agustin, Etik, Husni, Siti; teman-teman di Wisma Agung 1 dan 3; adik-adikku semuanya untuk kerelaannya tetap saling mengingatkan.

The Last but not the least untuk Ayah, Bunda, Dek Heni, Dek Aji, Dedek atas untaian doa yang tidak pernah putus, jerih payah, harapan, kepercayaan, motivasi, fasilitas dan kasih sayang yang tiada henti, serta kerelaan ‘hilangnya’ kebersamaan selama penulis melanjutkan studi di Bogor; “Semuanya takkan pernah cukup hanya dengan kata”.

Semoga tesis ini bermanfaat khususnya bagi penulis, rekan-rekan lain yang mengangkat masalah sejenis ini dan perkembangan ilmu pengetahuan di masa depan.

Bogor, Agustus 2007

(20)

viii

Penulis dilahirkan di Kebumen pada tanggal 13 Juni 1978, anak pertama dari

empat bersaudara, buah cinta dari pasangan Ayahanda Sudari, BA dan Ibunda Mursinah,

BA.

Penulis memulai pendidikan dasarnya di SD Kanisius Cungkup I Salatiga

kemudian dilanjutkan di SDN Wonokriyo 2 Gombong, Kebumen (lulus tahun 1990),

kemudian melanjutkan ke SMP Negeri 2 Gombong (lulus tahun 1993). Tahun 1996,

penulis lulus dari SMA Negeri 1 Gombong dan diterima di Institut Pertanian Bogor melalui

jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada Fakultas Perikanan -kemudian menjadi

Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan (FPIK)- Program Studi Ilmu Kelautan dan

menyelesaikan studi pada tahun 2001 dengan skripsi yang berjudul “Studi Evaluasi

Kesesuaian Wilayah Perairan untuk Budidaya Rumput Laut (Eucheuma) dengan Pemanfaatan Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis”.

Tahun 2002 penulis melanjutkan pendidikan ke tingkat strata dua (S2) di Program

Studi Teknologi Kelautan Sekolah Pascasarjana IPB. Selama mengikuti program S2,

penulis aktif sebagai pengurus Forum Mahasiswa Teknologi Kelautan (FORMULA – IPB)

serta aktif pada berbagai kegiatan nonprofit di luar kampus.

Penulis pernah aktif di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi

Geografi Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB dan di Laboratorium

Model dan Simulasi Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan IPB. Juga pernah

bekerja sebagai staff pengolah dan interpretasi data di PT Waindo SpecTerra Indonesia

(21)

ix

PRAKATA ... vii

RIWAYAT HIDUP ... viii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

GLOSARI ... xiv

1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 3

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Manfaat Penelitian ... 4

1.5 Hipotesis ... 4

2. TINJAUAN PUSTAKA ... 5

2.1 Penginderaan Jauh ... 5

2.2 Transfer Cahaya (Radiative Transfer) dalam Sistem Sensor Satelit-Matahari-Laut ... 5

2.3 Sifat-sifat Optik dan Unsur Utama Penyusunnya dalam Penginderaan Jauh ... 8

2.4 Penginderaan Jauh untuk Menduga Kedalaman ... 11

2.5 Karakteristik LANDSAT-7 ETM+ ... 13

2.6 Kedalaman Perairan dengan Survei Echo Sounder ... 15

2.7 Pasang Surut ... 16

2.8 Pengertian Perairan Dangkal ... 17

3. METODE PENELTIAN ... 18

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 18

3.2 Alat dan Bahan ... 18

3.2.1 Alat ... 18

3.2.2 Bahan ... 18

3.3 Pengumpulan dan Pengolahan Data Lapangan ... 20

3.3.1 Pengukuran kedalaman ... 20

3.3.2 Pengukuran pasang surut ... 20

3.3.3 Koreksi pasang surut ... 20

3.4 Pengolahan Data Penginderaan Jauh ... 22

3.4.1 Koreksi radiometrik ... 23

3.4.2 Koreksi geometrik ... 24

3.4.3 Pembatasan wilayah penelitian (image cropping) ... 25

3.4.4 Pemisahan obyek laut dan bukan laut (image masking) ... 26

3.4.5 Transformasi citra ... 26

(22)

x

3.5.3 Penyusunan model penduga kedalaman dengan nilai respon spektral

data Landsat-7 ETM+ ... 27 3.5.4 Pemilihan model terbaik ... 28 3.6 Pengolahan Algoritma Van Hengel dan Spitzer ... 28 3.7 Galat (Error) Model Nilai Digital Asli dengan Algoritma Van Hengel dan

Spitzer ... 30

4. HASIL ... 32 4.1 Koreksi Radiometrik ... 32

4.2 Koreksi Geometrik ... 35 4.3 Pembatasan Wilayah Penelitian (Image Cropping)... 35 4.4 Pemisahan Obyek Laut dan Bukan Laut (Image Masking) ... 35 4.5 Transformasi dengan Algoritma Van Hengel dan Spitzer ... 37

4.5.1 Penentuan arah rotasi citra ... 37 4.5.2 Pengolahan algoritma Van Hengel dan Spitzer ... 38 4.6 Pembuatan Model dengan Nilai Digital Asli ... 42 4.6.1 Penentuan koefisien korelasi ... 42 4.6.2 Komponen utama pembentuk model ... 42 4.6.3 Kandidat model ... 43 4.6.4 Pemilihan model terbaik ... 44 4.7 Galat (Error) Model Nilai Digital Asli dan Algoritma Van Hengel dan Spitzer ... 46 5. PEMBAHASAN ... 49 5.1 Koreksi Radiometrik ... 49 5.2 Koreksi Geometrik ... 51 5.3 Pembatasan Wilayah Penelitian (Image Cropping)... 52 5.4 Pemisahan Obyek Laut dan Bukan Laut (Image Masking) ... 52 5.5 Algoritma Van Hengel dan Spitzer ... 52 5.6 Model dengan Nilai Digital Asli ... 55 5.7 Evaluasi Kemampuan Algoritma Van Hengel dan Spitzer serta Model

Kedalaman Nilai Digital Asli Terbaik dalam Menyajikan Informasi Kedalaman

Perairan ... 57 5.8 Evaluasi Kemampuan Citra Satelit Landsat-7 ETM+ dalam Menyajikan

Informasi Kedalaman Perairan ... 58

6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 60 6.1 Kesimpulan ... 60 6.2 Saran ... 60

(23)

xi

1 Karakteristik Landsat–7 ... 14 2 Spesifikasi Sensor ETM+ ... 14

3 Model regresi yang dicobakan ... 28

4 Susunan 6 kombinasi citra masukan algoritma Van Hangel dan Spitzer ... 29

5 Nilai spektral sebelum dan setelah koreksi geometrik ... 32

6 Hasil perhitungan nilai varian band 1, band 2 dan band 3 Landsat-7 ETM+ .. 37 7 Hasil perhitungan nilai kovarian band 1, band 2 dan band 3 Landsat-7 ETM+ 37 8 Nilai konstanta arah rotasi citra (r dan s)... 38

9 Persamaan regresi linear sederhana dan persamaan untuk menentukan kedalaman absolut ... 39

10 Koefisien korelasi antar peubah bebas Landsat-7 ETM+ ... 42 11 Komponen utama pembentuk model pada Landsat-7 ETM+ ... 43 12 Kandidat model penduga kedalaman ... 43

(24)

xii

1 Faktor-faktor yang mempengaruhi pantulan cahaya menuju sensor (a) penyebaran oleh bahan anorganik tersuspensi, (b) penyebaran oleh molekul-molekul air, (c) absorpsi oleh komponen yellow substance, (d) refleksi dari dasar perairan dan (e) penyebaran oleh komponen

fitoplankton (Sathyendranath 2000) ... 6

2 Komponen spektral cahaya matahari yang diterima oleh sensor satelit

(Senga 2002 yang diacu dalam Hendiarti 2003) ... 7 3 Penyinaran cahaya dan interaksinya di bawah dan di atas permukaan

air (Hendiarti 2003) ... 8

4 Koefisien penyerapan cahaya oleh air murni, klorofil a (1mg/m3) dan yellow

substance (1mg/dm3) (Siegel 1986 yang diacudalam Hendiarti 2003) ... 10 5 Lokasi penelitian ... 19

6 Desain survei kedalaman ... 22

7 Koreksi radiometrik dengan metode feature space ... 23 8 Ilustrasi teknik pemilihan GCP ... 25

9 Diagram alir proses pengolahan data ... 31

10 (a) Histogram citra band 1 sebelum koreksi radiometrik dan (b) Histogram

citra band 1 setelah koreksi radiometrik ... 33 11 (a) Citra sebelum koreksi radiometrik dan (b) Citra setelah koreksi

radiometrik ... 34

12 (a) Citra RGB (321) sebelum masking dan (b) Citra RGB (321) setelah

masking ... 36 13 Grafik persamaan regresi dan koefisien determinasi kedalaman relatif

algoritma Van Hangel dan Spitzer ... 40

14 Peta estimasi kedalaman laut menggunakan algoritma Van Hangel dan

Spitzer ... 41

15 Peta estimasi kedalaman laut menggunakan Model Nilai Digital Asli ... 45

16 Grafik kedalaman lapang (ZL), estimasi kedalaman dengan Model Van Hengel dan Spitzer 321 (ZVH321) dan estimasi kedalaman dengan Model

Nilai Digital Asli (ZNDA) ... 47 17 Galat (error) estimasi kedalaman dengan Model Van Hengel dan Spitzer

(321) dan estimasi kedalaman dengan Model Nilai Digital Asli dalam

(25)

xiii

1 Peta batimetri di perairan Gugus Pulau Pari ... 65

2 Histogram citra sebelum dan setelah koreksi radiometrik ... 66

3 Contoh perhitungan nilai ur dan us sehingga menghasilkan nilai konstanta r dan s ... 68

4 Nilai digital kedalaman relatif pada masing-masing citra dengan

menggunakan algoritma Van Hengel dan Spitzer ... 70 5a Hasil analisis residual kandidat model band 1 (linear) ... 77 5b Hasil analisis residual kandidat model band 1 (llogaritmik) ... 78 5c Hasil analisis residual kandidat model band 1 (power) ... 79 5d Hasil analisis residual kandidat model band 1 (eksponensial) ... 80 6 Perbandingan nilai kedalaman lapang (ZL), estimasi kedalaman dengan

(26)

xiv

Algoritma : serangkaian langkah bertahap atau perintah yang dirancang dan diprogramkan ke komputer untuk melakukan suatu fungsi spesifik atau untuk memecahkan suatu masalah (Ilyas dan Rais 1997)

Band : o disebut juga channel atau saluran. Suatu julat spektrum elektromagnetik yang dirancang untuk kepentingan misi tertentu pada sebuah pengindera. Sebuah pengindera sekurang-kurangnya memiliki satu saluran.

o sekumpulan data berisi nilai-nilai yang disimpan dalam suatu berkas (file) yang menggambarkan spectrum

elektromagnetik tertentu (Howard 1991)

Batimetri : ilmu yang mempelajari pengukuran kedalaman laut, samudera atau tubuh perairan lainnya dan pemetaan topografi yang sama dari kedalaman tersebut (Nurjaya 1992; Sager 1998)

Citra : Gambaran kenampakan permukaan bumi hasil penginderaan pada spectrum elektromagnetik tertentu yang ditayangkan pada layar atau disimpan pada media rekam/cetak (Howard 1991)

Citra Digital : suatu citra yang mempunyai nilai-nilai numerik yang melukiskan sifat warna keabu-abuan (grey tones) dimana setiap nilai numerik tersebut memiliki suatu sifat warna keabu-abuan yang berlainan (Jupp 1990)

Citra Satelit : Citra hasil penginderaan suatu jenis satelit tertentu (Howard 1991)

ER Mapper : Perangkat lunak pengolah data berbasis raster buatan Earth Resources Mapping, Australia

Ground Control Point (GCP)

: Titik yang digunakan dalam menetapkan atau mengesahkan proses transformasi geometrik, juga digunakan sebagai titik referensi pada pengukuran lapangan, titik kontrol medan harus tampak jelas dan diketahui baik pada citra maupun di lapangan (Lillesand danKiefer 1990)

Histogram : Penayangan grafis seperangkat data yang memperlihatkkan frekuensi kejadian dari pengukuran (sepanjang sumbu vertikal) atau nilai-nilai individual (sepanjang sumbu horisontal) suatu distribusi frekuensi (Ilyas el al. 1997)

Irradiance reflectance

: perbandingan antara penyinaran ke atas dan ke bawah tepat di bawah permukaan air pada satuan panjang gelombang

(27)

xv

Klasifikasi digital : Proses klasifikasi dengan mempergunakan metode kalkulasi algoritmis. Proses klasifikasi digital dapat berupa klasifikasi terselia (supervised/penentuan objek ditentukan penafsir) atau tak terselia (unsupervised/penentuan objek diserahkan kepada komputer) (Danoedoro 1996)

Klasifikasi multispektral

: Proses klasifikasi digital yang dilakukan dengan citra multispektral (Danoedoro 1996)

Koefisien Attenuasi : Besarnya pengurangan intensitas cahaya didalam air untuk saluran tertentu yang disebabkan oleh serapan dan hamburan oleh air (Biertwith 1993)

Koreksi Geometrik : Kegiatan ini juga sering dinamakan rektifikasi. Memperbaiki kemencengan, rotasi dan perspektif citra sehingga orientasi, projeksi dan anotasinya sesuai dengan yang ada pada peta. Koreksi geometri terdiri dari koreksi sistematik (karena karakteristik alat) dan non sistematik (Karena perubahan posisi penginderaan). Koreksi sistematik biasanya telah dilakukan oleh penyedia data. Koreksi non sistematik biasanya dilakukan dengan suatu proses koreksi geometri. Proses ini memerlukan ikatan yang disebut titik kontrol medan (ground control point/GCP) (Jensen 2000). GCP tersebut dapat diperoleh dari peta, citra yang telah terkoreksi atau tabel koordinat penjuru. GCP kemudian disusun menjadi matriks transformasi untuk rektifikasi citra

Koreksi Radiometrik : Langkah untuk memperbaiki kualitas visual citra dan memperbaiki nilai piksel yang tidak sesuai dengan nilai pantulan atau pancaran obyek yang sebenarnya (Jensen 2000)

Landsat (Land Satellite)

: Seri satelit sumberdaya alam milik Amerika Serikat yang mengelilingi bumi untuk mendapatkan citra multispektral pada band sinar tampak-infra merah jauh (Anonim 1999).

Laut Dangkal : wilayah perairan yang dekat dan berbatasan dengan daratan berada pada zone neritik pelagic. Perairan ini berada di pinggiran daratan utama, lautan sangat dangkal menutupi bawah air benua yang disebut paparan benua yang mencakup 7-8 persen seluruh luas lautan, mempunyai kemiringan sangat landai dari pantai sampai kedalaman 200m (Nybakken 1996)

Nadir : Titik permukaan bumi yang secara perspektif berada di bawah pusat lensa kamera atau lensa pandang (Iqbal 1983)

(28)

xvi

filter (Jensen 2000)

Penginderaan Jauh : Pengumpulan dan pencatatan informasi tanpa kontak langsung pada julat elektromagnetik ultraviolet, tampak, inframerah dan mikro dengan mempergunakan peralatan seperti penyiam (scanner) dan kamera yang ditempatkan pada wahana bergerak seperti pesawat udara atau pesawat angkasa dan menganalisis informasi yang diterima dengan teknik interpretasi foto, citra dan pengolahan citra (Fussel, Rundquist and Harrington 1986). Istilah ini juga memiliki pengertian yang sama untuk Remote Sensing (Inggris), Teledetection (Perancis) dan Sensoriamento Remoto (Spanyol)

Perairan Pantai : Daerah perairan (laut) yang masih terpengaruh oleh aktivitas daratan (Pratikno et al 1996)

Restorasi Citra : Perbaikan atau pemulihan citra untuk memperbaiki kesalahan data dengan melakukan koreksi geometrik dan radiometrik (Jensen 2000)

Resolusi : o Ukuran ketelitian data citra satelit

o Kemampuan menampilkan sejumlah pixel pada layer tayangan

o Kemampuan semua jenis pengindera (lensa, antenna, tayangan, bukaan rana, dll.) untuk menyajikan citra tertentu dengan tajam. Ukuran dapat dinyatakan dengan baris per mm atau meter. Pada citra RADAR resolusi biasa dinyatakan dalam lebar pancaran efektif dan panjang jangkauan. Pada citra infra merah resolusi biasa dinyatakan dalam IFOV. Resolusi juga dapat dinyatakan dalam perbedaan temperatur atau karakter lain yang mampu diukur secara fisik (Weissel 2005)

Resolusi spasial : Ukuran terkecil suatu obyek yang masih dapat dideteksi oleh suatu sistem pencitraan (Danoedoro 1996)

Resolusi temporal : Kemampuan suatu sistem untuk merekam ulang daerah yang sama (Danoedoro 1996)

Resolusi radiometrik : Kemampuan sensor dalam mencatat respons spektral obyek. Dinyatakan dalam satuan mWattcm-2sr. Kemampuan sensor ini secara langsung dikaitkan dengan kemampuan koding (digital coding) yaitu mengubah intensitas pantulan atau pancaran spektral menjadi angka digital. Kemampuan ini dinyatakan dlm bit (Danoedoro 1996)

(29)

xvii

(30)

1.1 Latar Belakang

Batimetri atau kedalaman perairan adalah ukuran kedalaman dari permukaan air

sampai dengan dasar laut. Peta batimetri memberikan informasi tentang kondisi

permukaan maupun dasar laut, struktur, bentuk dan penampakan. Selain itu dasar laut

sebagai bagian dari laut itu sendiri merupakan suatu sistem yang dinamis, setiap saat

perubahan-perubahan terjadi sehingga perbaikan peta-peta batimetri perlu sekali

dilakukan agar informasi-informasi mengenai dasar suatu perairan bisa seiring dengan

perubahan yang terjadi.

Pemetaan batimetri di perairan dangkal mempunyai peranan penting untuk

kegiatan perikanan dan kelautan baik secara langsung maupun tidak langsung. Terlebih

lagi dengan kondisi Indonesia yang memiliki banyak pulau kecil yang tersebar di seluruh

nusantara. Mengetahui kedalaman perairan dapat memberikan petunjuk atau informasi

mengenai struktur dan asal pembentukan dasar laut, salah satu faktor untuk perencanaan

pembangunan darmaga kapal, keselamatan pelayaran serta pemasangan maupun

pemeliharaan kabel dan pipa bawah laut dan sebagainya. Informasi kedalaman perairan

(batimetri) juga dapat digunakan untuk membantu membedakan dan memberikan ciri

(menggolongkan) habitat terumbu karang seperti pecahan karang, karang hidup, karang

mati maupun lamun dan rumput laut. Mengetahui struktur yang detail dari dasar laut di

perairan dangkal akan membantu dalam menggolongkan peranan dan sifat karang yang

merupakan tempat hidup ikan-ikan karang. Selain itu dalam penangkapan, pengetahuan

tentang struktur dasar perairan yang bervariasi akan menentukan alat penangkapan yang

lebih sesuai dengan kondisi perairan tersebut.

Teknologi pemetaan batimetri berkembang dari waktu ke waktu. Pada awalnya,

kedalaman diukur dengan menggunakan tambang yang ujungnya diberi pemberat dan

mencoba untuk memperhitungkan kapan pemberat tersebut menyentuh dasar. Tetapi

metode ini sulit dilakukan dan hasilnya hampir selalu tidak akurat karena arus yang kuat

dapat menarik tambang dan pemberatnya ke samping sehingga kedalaman yang

dihasilkan seringkali bukan kedalaman sebenarnya, jika perairan yang diukur relatif lebih

dalam maka tambang yang dibutuhkan akan lebih panjang dan sulit untuk mengetahui

(31)

membutuhkan waktu yang lama karena, kapal harus berhenti dalam waktu yang lama

untuk menurunkan dan menaikkan tambang (Sager 1998).

Dengan ditemukannya echo sounder kedalaman perairan lebih mudah diukur. Metode ini bekerja berdasarkan prinsip perambatan suara di dalam air. Metode ini bisa

menghasilkan kedalaman yang akurat untuk perairan dalam (Sager 1998). Tetapi metode

ini cukup sulit untuk diterapkan di perairan dangkal, dimana ekosistem terumbu karang dan

padang lamun berada di dalamnya. Kapal-kapal yang membawa berbagai perlengkapan

peralatan pemetaan seperti echo sounder, sonar dan lain-lain tidak dapat masuk ke perairan tersebut dengan leluasa karena akses yang sulit sehubungan dengan

karakteristik yang khas di perairan tersebut, seperti kondisi perairan yang dangkal serta

keadaan substrat dasar yang tidak beraturan. Di samping itu, mengingat ekosistem

perairan dangkal sangat luas maka kegiatan pemetaan dengan metode konvensional akan

membutuhkan waktu yang lama dan biaya yang sangat tinggi.

Dewasa ini teknologi penginderaan jauh telah banyak dilakukan karena dipandang

sebagai salah satu cara yang efektif dan efisien serta cukup terlihat kegunaannya dalam

mengkompilasi dan merevisi peta-peta sumberdaya yang ada juga berguna sebagai alat

bantu dalam perencanaan dan pengelolaan suatu sumberdaya (Butler 1988; Lillesand dan

Kiefer 1994; Danoedoro 1996). Teknologi ini mampu untuk mendapatkan informasi secara

sinoptik sehingga dapat mengamati fenomena yang terjadi di lautan yang luas dan

dinamis. Disamping itu teknologi ini mempunyai kemampuan memberikan informasi

secara kontinu karena wahana satelit telah diprogram melintas daerah yang sama dalam

waktu tertentu. Namun demikian, teknologi ini juga masih belum mampu memberikan hasil

yang memuaskan dalam hal keakuratan informasi, sehingga masalah keakuratan ini

merupakan suatu kegiatan penelitian yang terus berkembang sampai saat ini.

Keakuratan informasi yang dideteksi dengan sensor yang dipasang di satelit

dipengaruhi kondisi atmosfer dan kondisi perairan yang diliput. Agar pemetaan kedalaman

dengan penginderaan jauh mendekati nilai kedalaman yang sesungguhnya diperlukan

kondisi perairan yang dangkal dan jernih. Berdasarkan berbagai penelitian yang telah

dilakukan, sensor sinar tampak hanya dapat menjangkau sampai kedalaman 30 meter

pada perairan yang jernih. Harus pada perairan yang jernih, karena adanya fitoplankton,

(32)

berbeda yang tentunya akan memberikan estimasi kedalaman yang berbeda dengan nilai

kedalaman yang seharusnya.

Secara teoritis jika dasar perairan dapat dilihat maka dapat dibentuk suatu

hubungan antara kedalaman perairan dengan sinyal pantul yang diterima oleh sensor.

Pengembangan konsep hubungan ini sudah banyak dilakukan seperti Lyzenga (1985),

Hashim (1990), Van Hengel dan Spitzer (1991), Bierwith et al. (1993), Green et al. (2000), Stumpf et al. (2003), Islam et al. (2004), Leu dan Chang (2005). Algoritma tertentu dibuat untuk mengestimasi kedalaman perairan dengan menggunakan citra satelit.

Van Hengel dan Spitzer (1991) memperkenalkan sebuah algoritma baru untuk

dapat mengestimasi kedalaman perairan dengan citra Landsat TM. Algoritma ini didasari dari hasil penelitian Lyzenga (1978), Paredes dan Spero (1983) dan Spitzer dan Dirks

(1987) yang mengatakan bahwa kedalaman air berbanding lurus dengan radiansi pantul

dari dasar laut. Menurut Lyzenga (1978) serta Van Hengel dan Spitzer (1988) pada

penelitian terdahulunya mengatakan untuk mendapatkan nilai kedalaman relatif bisa

dilakukan dengan melakukan rotasi tertentu pada nilai spektral masing-masing band. Sebagian besar pemetaan kedalaman perairan di Indonesia menggunakan echo sounder, sedangkan pemetaan perairan dangkal di Indonesia dengan citra satelit menggunakan algoritma-algoritma yang dihasilkan oleh peneliti-peneliti luar negeri dan

sebagian lokasi penelitian di negeri 4 musim yang kondisi optik, fisika dan kimia

perairannya berbeda dengan Indonesia. Sehingga muncul keinginan untuk mencari

algoritma kedalaman perairan dangkal di wilayah Indonesia.

1.2 Permasalahan

Permasalahan yang ingin dikaji dalam penelitian ini adalah:

1. Mencari kombinasi band terbaik pada algoritma Van Hengel dan Spitzer untuk mengekstrak kedalaman perairan dangkal di Pulau Pari

2. Mengkaji seberapa jauh kemampuan citra digital Landsat-7 ETM+ dapat digunakan dalam pemetaan kedalaman perairan dangkal.

3. Mencari algoritma terbaik untuk pemetaan kedalaman perairan dangkal terutama di

(33)

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui kemampuan citra digital Landsat-7 ETM+ dalam memetakan kedalaman perairan dangkal

2. Mendapatkan kombinasi band terbaik pada algoritma Van Hengel dan Spitzer untuk mengekstrak kedalaman perairan dangkal di Pulau Pari

3. Menentukan model terbaik yang paling efektif untuk memetakan kedalaman perairan

dangkal

4. Mengetahui nilai gallat (error) algoritma kedalaman yang dihasilkan terhadap data lapang

1.4 Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. Bermanfaat bagi pengembangan ilmu dan teknologi kelautan dalam hal metode,

teknik dan dayaguna citra penginderaan jauh khususnya citra Landsat-7 ETM+ untuk pemetaan kedalaman perairan dangkal.

2. Bermanfaat bagi pembangunan karena penelitian ini dapat digunakan sebagai data

dasar dalam bidang perikanan dan rekayasa kelautan.

1. 5 Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Nilai digital pada citra Landsat-7 ETM+ mempunyai korelasi nyata terhadap kedalaman.

2. Tidak ada perbedaan gallat (error) antara kedalaman perairan yang diperoleh dari pengolahan citra digital algoritma kedalaman perairan dangkal (model nilai digital asli

dan algoritma Van Hengel dan Spitzer) dengan kedalaman perairan yang diperoleh

(34)

2.1 Penginderaan Jauh

Penginderaan jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu

obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa

kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer 1994).

Pengamatan tanpa kontak langsung ini dimungkinkan mengingat prinsip kerja alat

(yang ditempatkan pada ketinggian tertentu dari permukaan bumi) adalah memanfaatkan

radiasi gelombang elektromagnetik yang berasal dari emisi atau pantulan obyek-obyek yang

diamati. Adapun radiasi gelombang elektromagnetik dari objek ini bisa berasal dari alam yaitu

radiasi matahari maupun yang sengaja dibuat, kemudian mengenai obyek-obyek tersebut

secara berkala pula akan memancarkan dan memantulkan kembali.

Komponen penting yang terlibat dalam sistem penginderaan jauh adalah matahari

sebagai sumber energi yang berupa radiasi elektromagnetik, atmosfer yang merupakan

media lintasan dari radiasi elektromagnetik, target atau obyek sebagai fenomena yang

terdeteksi oleh sonar, dan sensor yang mendeteksi radiasi elektromagnetik dari suatu obyek.

2.2 Transfer Cahaya (Radiative Transfer) dalam Sistem Sensor Satelit-Matahari-Laut

Transfer atau perpindahan cahaya dalam sistem sensor satelit-matahari-laut dapat

dipahami sebagai proses transfer cahaya matahari ke dalam kolom air dan transfer cahaya

dari permukaan air ke sensor satelit (Sathyendranath 2000) yang dapat dilihat pada

Gambar 1. Interaksi antara cahaya matahari dan permukaan air laut mencakup

unsur-unsur tersuspensi dan terlarut yang mampu menyerap dan menghamburkan cahaya

matahari (Jerlov 1976; Mobley 1994; Hakvoort 1994 yang diacu dalam Hendiarti 2003).

Penyerapan cahaya matahari oleh beberapa unsur air laut dapat menurunkan jumlah

cahaya yang dipantulkan kembali oleh air laut sedangkan penghamburan cahaya matahari

akan meningkatkan jumlah cahaya yang dipantulkan kembali oleh air laut. Atmosfer

berperan penting sejak cahaya matahari dapat diserap dan dihamburkan oleh gas-gas,

molekul air dan aerosol sebelum mencapai permukaan air laut, demikian pula halnya pada

(35)
[image:35.792.91.726.125.428.2]

Sumber: Sathyendranath (2000)

Gambar 1 Faktor-faktor yang mempengaruhi pantulan cahaya menuju sensor.

(36)

satelit. Pada perairan dangkal, proses pemantulan cahaya pada lapisan permukaan air

dapat dipengaruhi oleh refleksi cahaya matahari dari dasar perairan (Ohde dan Siegel

1999 yang diacu dalam Hendiarti 2003).

Total cahaya matahari yang diterima oleh sensor satelit Lt (dengan satuan Wm-2

sr-1 nm-1 pada panjang gelombang tertentu, dimana sr-1 adalah satuan sudut ruang (solid

angle)) terdiri dari cahaya yang dipantulkan pada permukaan air Lr dan cahaya yang akan

diteruskan ke sensor satelit oleh atmosfer Ta serta jumlah cahaya matahari yang dapat

dihamburkan oleh aerosol udara La dan molekul air Lm secara langsung. Jika ditulis dalam

persamaan adalah sebagai berikut:

[image:36.612.218.441.422.653.2]

Lt (λ) = (Ta(λ)*(Lw(λ) + Lr(λ))) + La(λ) + Lm(λ) (1)

Gambar 2 menunjukkan komponen spektral cahaya matahari yang diterima oleh

sensor satelit dari air laut dengan panjang gelombang tampak yang berbeda. Pemantulan

cahaya matahari dari permukaan laut menambah sejumlah kecil jumlah cahaya yang

dipantulkan oleh air laut ke atmosfer. Oleh karena itu koreksi atmosferik merupakan

bagian yang penting dalam penginderaan jauh untuk aplikasi di laut (Gordon dan Morel

1983; Gordon dan Wang 1994; Gordon 1997 yang diacu dalam Hendiarti).

Sumber: Senga (2002) yang diacu dalam Hendiarti (2003)

(37)

φ=0

θ=0

¶/2

2.3 Sifat-sifat Optik dan Unsur Utama Penyusunnya dalam Penginderaan Jauh

Warna laut mengindikasikan adanya konsentrasi dan komposisi unsur utama

penyusun air laut dan ciri optiknya. Penginderaan jauh optik dapat digunakan untuk

mengamati beberapa parameter kualitas air. Perhitungan dasar untuk menjelaskan warna

air laut adalah penyinaran keatas (Upwelling irradiance) Eu dan penyinaran kebawah

(Downwelling irradiance) Ed. Gambar 3 memperlihatkan penyinaran cahaya di dekat

permukaan laut.

[image:37.612.128.513.230.464.2]

Sumber: Hendiarti (2003)

Gambar 3 Penyinaran cahaya dan interaksinya di bawah dan di atas permukaan air.

Penyinaran ke bawah Ed adalah penyinaran yang terus menerus per satuan luas

permukaan pada semua arah ke bawah. Sementara itu penyinaran ke atas Eu adalah

penyinaran yang terus menerus per satuan luas permukaan pada semua arah ke atas

seperti dijelaskan pada persamaan 2 dan persamaan 3 (Jerlov dan Nielsen 1974;

Sathyendranath 2000). Kedua bentuk penyinaran tersebut merupakan

parameter-parameter yang bermanfaat untuk mengukur intensitas cahaya.

(38)

φ=0

2¶ ¶

θ=¶/2

Kd (λ,z) = - 1

Z2 - Z1

Ed (λ,z2)

Eu (λ,z2)

(ln )

Rw (λ,z) =

Eu (0-)

Ed (0-)

Eu (z) =

L (z;θ,φ) |cosθ|dω (3)

dimana dω = sin θ dθ dφ, dan θ adalah jarak puncak serta φ adalah sudut dari nilai cahaya matahari yang terbentuk.

Penyinaran spektral ke bawah pada kedalaman air yang berbeda Ed (λ,z) (mW

cm-2 nm-1 pada panjang gelombang λ) dapat ditentukan dari penyinaran ke atas tepat dibawah permukaan air laut Ed (λ,0-) menurut persamaan 4.

Ed (λ,z) = Ed (λ,0-)e-Kd (λ,z)z (4) dimana Kd (λ,z) adalah koefisien pengurangan (attenuation coeffisient) cahaya matahari

secara vertikal per unit meter yang dirata-ratakan dari bawah permukaan air laut hingga

pada kedalaman tertentu (z=0-) ke kedalaman z dalam meter.

Koefisien pengurangan dapat digunakan untuk mengenali area difusi cahaya

seiring dengan bertambahnya kedalaman, begitu juga untuk membedakan massa air yang

secara optik tampak berbeda. Koefisien pengurangan cahaya vertikal Kd (λ,z) dapat

dihitung dari perbedaan penyinaran ke bawah antara dua kedalaman z1 dan z2.

Warna air laut ditentukan oleh pemantulan cahaya matahari oleh air laut Rw yang

sama dengan perbandingan antara penyinaran ke atas-bawah tepat di bawah permukaan

air pada satuan panjang gelombang.

(6)

Penyinaran ke bawah pada lapisan di bawah permukaan air Ed (0-) meliputi semua

penetrasi cahaya hingga kolom air, sedangkan penyinaran ke atas meliputi jumlah cahaya

matahari yang dihamburkan balik. Pada perairan dangkal dan jernih, terdapat bagian

cahaya yang cukup signifikan dari sinar matahari yang dapat mencapai dasar perairan dan

dipantulkan ke permukaan air. Pemantulan cahaya matahari pada permukaan air

dipengaruhi oleh pemantulan cahaya matahari oleh dasar perairan dan dapat ditulis dalam

bentuk persamaan sebagai berikut:

(39)

R (0) = Rw (λ) + (Rb – Rw (λ))θ-2kdz (7)

Unsur-unsur utama air laut yang berbeda memiliki konsentrasi sifat atau karakter

menyerap cahaya secara spesifik pada panjang gelombang yang berbeda yang penting

artinya dalam pemodelan secara optik. Air murni menyerap cahaya dengan sangat lemah

pada daerah spektrum biru dan hijau (antara 400-550 nm). Pada 550 nm, penyerapan

cahaya oleh air laut mulai meningkat secara signifikan dan terus berlanjut hingga pada

daerah spektrum merah (Gambar 4 pada kurva warna biru). Penyerapan cahaya

maksimal oleh klorofil a terjadi pada daerah spektrum biru (430 nm) dan pada spektrum

merah (662 nm) yang digambarkan warna hijau pada kurva. Penyerapan cahaya oleh

yellow substance secara eksponensial meningkat hingga pada panjang gelombang pendek

(warna kuning pada kurva).

[image:39.612.163.443.314.531.2]

Sumber: Siegel (1986) yang diacu dalam Hendiarti (2003)

Gambar 4 Koefisien penyerapan cahaya oleh air murni, klorofil a (1mg/m3) dan yellow substance (1mg/dm3).

Daya tembus cahaya matahari terhadap air sangat tergantung pada daya serap air

terhadap cahaya matahari yang mengenainya. Semakin besar daya serapnya maka

semakin kecil kemungkinan cahaya matahari untuk menembus air tersebut. Dua nilai ini

berbeda bagi panjang gelombang yang berbeda. Daya serap air yang terkecil terletak

pada panjang gelombang 0.4-0.6 μm. Oleh karena itu sinar dengan panjang gelombang Panjang Gelombang (nm)

(40)

ini merupakan yang terbaik untuk menginderaan kedalaman perairan dangkal (Sutanto

1992; Lillesand dan Kiefer 1994; Richard 1995).

2.4 Penginderaan Jauh untuk Menduga Kedalaman

Lyzenga (1985), mencoba mengembangkan pemetaan batimetri dengan

memanfaatkan dua sumber citra yang berskala dari citra perekaman sensor aktif (radar)

dan perekaman sensor pasif (multispektral). Model ini bertujuan untuk menggabungkan

keunggulan dari tiap-tiap jenis citra sehingga didapatkan ketelitian pemetaan yang cukup

tinggi. Penelitian dilakukan di Pantai Pulau Bahama pada tahun 1978 dengan hasil

ketelitian pemetaan yang cukup tinggi.

Jupp (1988) menyimpulkan dari beberapa hasil penelitian di perairan Great Barrier

Reef Australia mengatakan bahwa citra yang dapat digunakan dalam penentuan

kedalaman air adalah:

(1) Citra Landsat TM band 1 mempunyai kemampuan penetrasi kedalaman perairan

sampai kedalaman 25 meter, band 2 sampai kedalaman 15 meter, band 3 sampai

kedalaman 5 meter dan band 4 sampai kedalamn 0.5 meter.

(2) Citra Landsat MSS band 4 mempunyai kemampuan penetrasi kedalaman perairan

hingga kedalaman 15 meter, band 5 hingga kedalaman 5 meter, band 6 hingga

kedalaman 0.5 meter dan band 7 sepenuhnya diserah oleh air.

(3) Citra SPOT band 1 mempunyai kemampuan penetrasi kedalaman perairan hingga

0.5 meter.

Hal tersebut diperoleh dengan syarat kondisi citra yang bebas awan, sudut elevasi

matahari tidak terlalu besar dan wilayah perairannya bebas dari kekeruhan.

Hashim (1990), mengemukakan tentang kesempatan dan keterbatasan pemetaan

batimetri dari citra satelit. Lokasi yang dipilih adalah di Kepulauan Langkawi dan Kuala

Perlis, Kelang, Malaysia. Data yang digunakan adalah SPOT 1 dan Landsat 5 MSS.

Model-model yang dikembangkan adalah (1) radiative transfer model, (2) single band

reflectance model dan (3) two band reflectance model. Dari penelitiannya diperoleh

formula Y=a+b1x1+b2x2 atau Y=ax1+bx2+c dengan c=28.22; a=-0.19; b=-0.16; R2=0.62,

dimana x adalah citra asli dan Y adalah citra hasil pengolahan. Kelemahan dari penelitian

ini yaitu (1) pada kedalaman kurang dari 1 meter mempunyai simpangan yang sangat

(41)

ini menggambarkan bahwa model ini tidak dapat diterapkan pada air yang sangat dangkal.

Sehingga diperoleh kesimpulan bahwa model-model tersebut potensial untuk menentukan

atau menurunkan dengan cepat informasi kedalaman perairan, namun informasi yang

didapat tergantung pada jenis satelit atau sistem yang digunakan dan penyebab

kesalahan-kesalahan yang terjadi (seperti tipe substrat dasar, arus dan sedimen

tersuspensi).

Hengel dan Spitzer (1991) mencoba mengembangkan algoritma pemetaan

kedalaman perairan dengan memanfaatkan data multitemporal. Penelitian tersebut

dilakukan di Pulau Vlieland dan The de Richel, Itali. Algoritma yang diperkenalkan

merupakan penjabaran dari pendapat yang mengatakan bahwa kedalaman air berbanding

lurus dengan algoritma radiasi dan nilai kedalaman air relatif (data digital) yang dapat

diperoleh dengan melakukan transformasi khusus terhadap nilai radiasi khusus tiap band.

Algoritma ini memanfaatkan 3 citra multitemporal sebagai input data yaitu citra Landsat TM

bulan Juni 1986 pada masa surut, citra Landsat TM bulan Juni 1986 pada masa pasang air

serta Landsat TM bulan Juli 1987. Hasil yang diperoleh yaitu metode rotasi nilai radiasi

berdasarkan pendapat Lyzenga dapat digunakan untuk memperoleh data kedalaman air

laut dari citra satelit. Peta kedalaman air relatif dapat diperoleh tanpa terlebih dahulu

harus mengetahui nilai kedalaman air yang sebenarnya. Peta kedalaman air absolut

didapat dari hasil perhitungan korelasi antara nilai kedalaman yang sebenarnya dengan

nilai kedalaman air relatif. Metode ini diyakini memiliki kesalahan yang lebih kecil

dibandingkan dengan metode-metode lainnya.

Bierwirth et al. (1993) dari Australian Geological Survey Organizations (AGSO)

pernah melakukan penelian dengan tujuan serupa. Lokasi penelitian di Hamelin Pool,

Shark Bay, Australia Barat. Pendekatan yang dilakukan adalah dengan memperhitungkan

nilai koefisien attenuasi air terhadap masing-masing panjang gelombang pada citra

Landsat TM. Band yang digunakan adalah band pada panjang gelombang sinar tampak

(band 1, band 2 dan band 3). Koefisien attenuasi yang diperoleh untuk masing-masing

band yaitu 0.1 untuk band 1 (panjang gelombang sinar biru), 0.13 untuk band 2 (panjang

gelombang sinar hijau) dan 0.194 untuk band 3 (panjang gelombang sinar merah). Selain

itu juga menghasilkan peta kedalaman perairan hingga 11 meter (dari perkiraan maksimal

(42)

Green et al. (2000) mencoba untuk membandingkan beberapa model pemetaan

kedalaman perairan di Caicos Bank. Model yang dievaluasi adalah model dari (1) Benny

dan Dawson menghasilkan koefisien korelasi (r) sebesar 0.52, (2) Interpolated DOP/ Depth

of Penetration dengan koefisien korelasi (r) 0.71, (3) Calibrated DOP/ Depth of Penetration

dengan koefisien korelasi (r) 0.91 dan (4) Lyzenga dengan koefisien korelasi (r) 0.53.

Algoritma standar yang biasa digunakan untuk memetakan kedalaman perairan

(Lyzenga 1978) memerlukan 7 buah koefisien masukan untuk mengestimasi kedalaman

perairan dangkal. Penggunaan algoritma Lyzenga (1978) ini seringkali bermasalah

terutama untuk daerah yang mempunyai albedo yang rendah. Stumpf et al. (2003)

mengembangkan sebuah model rasio yang membandingkan 2 buah faktor reflektansi air.

Penelitian ini dilakukan di dua buah pulau atol di Hawai, menggunakan citra Ikonos dan

Lidar. Hasil penelitian ini menunjukkan algoritma Lyzenga (1978) hanya bisa

mengestimasi kedalaman air sampai dengan 15 meter sedangkan model rasio bisa

mengestimasi kedalaman perairan sampai dengan 25 meter.

2.5 Karakteristik LANDSAT-7 ETM+

LANDSAT-TM adalah jenis satelit sumberdaya alam yang pada awalnya

ditunjukkan untuk kepentingan sumberdaya alam yang ada di darat tetapi dalam

perkembangannya ternyata sensor thematic mapper dapat juga diaplikasikan untuk

sumberdaya kelautan (Butler et al. 1988). Generasi terbaru dari Landsat adalah Landsat 7

dengan sensor Enhanced Thematic Mapper Plus (ETM+).

Instrumen ETM+ berupa multispectral scanning radiometer yang berkemampuan

menghasilkan informasi pencitraan resolusi tinggi terhadap permukaan bumi. Peralatan

tersebut mendeteksi radiasi terfilter spektral pada sinar tampak, infra merah dekat dan

kanal-kanal frekuensi infra merah termal. ETM+ akan membuat sekitar 3.8 GB data tiap

scene. Sistem the Landsat World Wide Reference membuat katalog permukaan bumi

menjadi 57784 scene, masing–masing mempunyai lebar 115 mil (183 km) dan panjang

106 mil (170 km).

Landsat-7 menyediakan data yang berulang dan sinoptik meliputi permukaan

bumi. Band-band spektral meliputi spektrum elektromagnetik sinar tampak, infra merah

dekat dan infra merah termal serta kalibrasi radiometrik absolut. Karakteristik dan

(43)

Tabel 1 Karakteristik Landsat-7

Tanggal peluncuran 15-Apr-99

Tinggi (km) 705

Sensor ETM+

Repetisi / Perulangan 16 hari

Kecepatan transmisi 150 Mbps

Sumber: U.S Departement of Interior, U.S Geological Survey (1999) yang diacu dalam Berita Bank Data Inderaja (2000).

Tabel 2 Spesifikasi Sensor ETM+

Band Spektral

(µm)

Gelombang Resolusi

(m) Tujuan Penerapan

1 0,45 – 0,52 Biru 30 Pemetaan perairan pesisir, serapan klorofil, pembeda tanah dan vegetasi, pemetaan batimetri

2 0,52 – 0,60 Hijau 30 Kesuburan vegetasi, penduga konsentrasi sedimen, batimetri 3 0,63 – 0,69 Merah 30 Daerah penyerapan klorofil,

membedakan jenis tanaman 4 0,76 – 0,90 Inframerah

dekat

30 Membedakan badan air dan daratan, daerah pantulan vegetasi yang kuat 5 1,55 – 1,75 Inframerah

sedang

30 Pengukuran kelembaban tanah dan vegetasi, daerah pantulan batuan

6 10,4 – 12,5 Inframerah termal

60 Pemetaan termal dan informasi geologi termal

7 2,08 – 2,35 Inframerah jauh

30 Pemetaan hidrotermal, membedakan tipe batuan (geologi/minyak)

8 0,5 – 0,9 (pankromatik)

Hijau, merah dan inframerah

dekat

15 Pemetaan daerah yang besar dan studi perubahan pemukiman kota

Sumber: U.S Departement of Interior, U.S Geological Survey (1999) yang diacu dalam Berita Bank Data Inderaja (2000).

Satelit akan mengelilingi bumi pada ketinggian sekitar 438 mil (705 km) dengan

(44)

Subsistem kendali akan menjaga stabilitas satelit dan arah pengamatan ke bumi yaitu 0.05

derajat.

Ilmuwan menggunakan citra satelit Landsat dalam penelitian perubahan global

permukaan lahan dan sekitar wilayah pantai, studi perubahan lingkungan wilayah, serta

keperluan usaha dan umum lainnya. Adapun aplikasi dan penggunaan data Landsat-7

untuk sumberdaya kelautan adalah penentuan pola dan sirkulasi kekeruhan, pemetaan

perubahan garis pantai, pemetaan daerah lepas pantai dan dangkal, pelacakan erosi

pantai, pelacakan polutan dan tumpahan minyak, serta pemetaan es untuk pelayaran.

(Berita Bank Data Inderaja 2000).

2.6 Kedalaman Perairan dengan Survei Echo Sounder

Pada umumnya para pelaut melimpahkan kepercayaan yang tidak terhingga pada

peta laut yang telah dipublikasikan, dengan pemikiran bahwa keadaan yang dipetakan itu

adalah keadaan yang sebenarnya, dimana faktor yang berbahaya dapat dikurangi dan

karena itulah diperlukan peta yang harus diperbaharui dengan ketepatan data yang

semakin tinggi lagi. Peta laut dapat berfungsi sebagai penyedia informasi mengenai

topografi dasar laut, tanda-tanda navigasi di laut, daerah kedangkalan dan dengan

bantuan alat penentu posisi dapat memberikan informasi posisi kapal setiap saat di sekitar

lokasi atau area yang dilalui kapal dalam pelayarannya, misalnya untuk mendapatkan

lokasi pengambilan sedimen dasar laut diperlukan peta dasar laut atau peta batimetri.

Echo sounder mempunyai sebuah transducer, biasanya terletak pada dasar

lambung kapal, memancarkan pulsa suara. Pulsa tersebut mengarah turun, menyentuh

dasar laut dan kembali ke tranducer. Echo sounder mencatat waktu kembalinya sinyal dari

dasar lautan. Karena kita tahu kecepatan suara dalam air (biasanya 1500ms-1) maka

waktu bolak-baliknya dapat digunakan untuk menghitung kedalaman (Sager 2003).

Data posisi dan kedalaman biasanya dicatat secara periodik dalam survei

pemetaan dasar laut (batimetri) menggunakan alat echo sounder sehingga akuisisi data

batimetri terkait dengan data posisi dan data kedalaman. Salah satu syarat dari survei

hidrografi secara garis besar adalah keadaan dari dasar laut harus ditentukan posisinya,

perhatian khusus harus ditujukan pada puncak bukit dan benda-benda dikenal lainnya.

(45)

Pada proses pengambilan data batimetri, sebuah data yang teramati disebut titik

FIX yang harus mempunyai informasi tentang posisi dan kedalaman yang teramati pada

saat bersamaan sehingga pada proses tersebut pengunaan kedua alat ini (penentu posisi

dan kedalaman) harus dilakukan secara bersamaan pada saat pengamatan. Hal ini harus

didukung oleh kondisi dinamis dan wahana kapal yang membawa kedua peralatan

tersebut.

2.7 Pasang Surut

Pasang surut (pasut) adalah naik turunnya permukaan laut dalam selang waktu

12.4 jam dan dibeberapa tempat ada yang 24.8 jam. Pasang surut disebabkan adanya

gaya-gaya gravitasi matahari, bulan dan bumi. Perbedaan pasang surut terjadi karena

lintasan bumi dan bulan berbentuk elips sehingga kekuatan gaya gravitasi berbeda antara

satu tempat dengan tempat yang lain (Pickard and Pond 1983).

Pasat surut adalah gerakan naik turunnya permukaan laut secara periodik selama

suatu interval waktu tertentu yang disebabkan karena interaksi antara gaya gravitasi

matahari dan bulan terhadap bumi serta gaya sentrifugal yang ditimbulkan oleh rotasi bumi

dan sistem bulan. Akibat adanya gaya-gaya tersebut, air di pasut samudera tertarik ke

atas (Nybakken 1988).

Selain dari gaya tarik matahari dan bulan pasut juga dipengaruhi oleh beberapa

faktor lokal, seperti topografi dasar laut yang tidak merata tetapi sangat bervariasi dari

palung yang sangat dalam sampai gunung bawah laut, lebar selat yang sempit dan ada

yang panjang, bentuk laut seperti corong dengan dasar melandai dan sebagainya. Semua

itu menyebabkan lokasi yang berbeda memiliki ciri-ciri pasang surut yang berbeda (Nontji

1993).

Menurut Wyrtki (1961) pasang surut di Asia Tenggara terdapat empat tipe yaitu:

(1) pasang surut ganda, dimana dalam sehari terjadi dua kali pasang dan dua kali surut

(2) pasang surut tunggal, dimana dalam sehari terjadi satu kali pasang dan satu kali

surut

(3) pasang surut campuran dominasi ganda, dimana terdapat tipe pasang surut ganda

dan tunggal tetapi lebih banyak didominasi ganda

(4) pasang surut campuran dominasi tunggal, dimana terdapat tipe pasang surut

(46)

Secara geografi penyebaran pasang surut di Teluk Bengal, Laut Andaman, Selat

Sunda dan Barat Laut Australia memiliki pasang surut ganda. Sebagian besar Laut Cina

Selatan, Selat Sunda, sebagian besar Laut Jawa dan sebagian kecil di Laut Arafuru

memiliki tipe pasang surut campuran dominasi tunggal. Teluk Thailand, perairan antara

Pulau Sumatera dan Kalimantan serta sedikit bagian di Laut Jawa memiliki tipe pasang

surut tunggal. Kepulauan bagian timur memiliki tipe pasang surut campuran dominasi

ganda, hal ini karena pengaruh dari Samudera Hindia.

2.8 Pengertian Perairan Dangkal

Menurut Nybakken (1992) laut dangkal yaitu wilayah perairan yang dekat dan

berbatasan dengan daratan berada pada zone neritik pelagic. Perairan ini berada di

pinggiran daratan utama, lautan sangat dangkal menutupi bawah air benua yang disebut

paparan benua yang mencakup 7-8 persen seluruh luas lautan, mempunyai kemiringan

sangat landai dari pantai sampai kedalaman 200m.

Sistem penginderaan jauh pasif hanya mampu mengestimasi kedalaman perairan

dangkal kurang lebih sampai kedalaman 30 m (Lyzenga 1978). Pada beberapa tempat

bahkan kurang dari 30 m. Bierwith (1993) di perairan Great Barrier Reef hanya mampu

mengestimasi kedalaman sampai dengan 11 meter. Stumpt et al. (2003) mampu

mengestimasi kedalaman pada perairan yang sedikit keruh sampai dengan kedalaman 25

meter.

Kondisi perairan yang bermacam-macam mengakibatkan dasar laut dangkal

terdapat ekosistem yang berbeda dengan perairan dalam. Ekosistem yang menonjol

(47)

3.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juni 2004 sampai bulan Desember 2006.

Lokasi yang dipilih untuk studi kasus adalah Gugus Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Jakarta.

Lokasi penelitian ditampilkan pada Gambar 5. Pemrosesan data satelit dilakukan di

Laboratorium Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) Kelautan,

Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB,

Bogor.

3.2 Alat dan Bahan

3.2.1 Alat

Peralatan lapang yang diperlukan yaitu Global Positioning System (GPS) Sounder

untuk menentukan kedalaman air laut di Gugus Pulau Pari, kapal bermotor untuk

transportasi pengambilan data lapangan dan papan skala untuk mengukur pasang surut.

Alat untuk pengolahan data citra yaitu sebuah personal komputer yang dilengkapi

dengan perangkat lunak ER Mapper 6.1 untuk mengolah data citra Landsat-7 ETM+, Arc

View 3.3 untuk layout peta, MINITAB 13.3 dan Microsoft excel untuk mengolah data statistik.

3.2.2 Bahan

Bahan yang digunakan meliputi data digital citra Landsat-7 ETM+, Peta batimetri

skala 1:50.000, Peta Rupa Bumi 1:25.000, data pasang surut pada saat peliputan citra

dan saat pengambilan data kedalaman lapang dengan GPS Sounder di Gugus Pulau Pari

(48)
[image:48.792.90.703.97.524.2]

Gambar 5 Lokasi penelitian.

P. PARI

P. TENGAH P. KONGSI

BARAT

P. BURUNG P. TIKUS

GUGUS PULAU PARI

LOKASI PENELITIAN

Darat Laut

Perairan Dangkal

(49)

3.3 Pengumpulan dan Pengolahan Data Lapangan

Data lapangan diambil pada tanggal 25-28 Juli 2004. Data yang diambil yaitu

posisi koordinat dan kedalaman air serta pasang surut.

3.3.1 Pengukuran kedalaman

Desain survei dibuat sebelum survei dilakukan agar penelitian dilakukan secara

baik dan sempurna sesuai rencana sehingga data yang diperoleh valid dan sesuai dengan

tujuan penelitian. Desain survei terlihat pada Gambar 6. Pengambilan data kedalaman

dan posisi dengan GPS sounder sesuai dengan desain tersebut.

Pengambilan data kedalaman lapang dilakukan antara pukul 08.00-11.30 WIB dan

pukul 13.30-17.00 WIB. Pengambilan data kedalaman lapang dihentikan sekitar pukul

11.30-13.30 WIB karena pada waktu tersebut air laut surut sehingga banyak karang yang

bermunculan yang bisa membahayakan kapal. Metode survei yang direncanakan adalah

metode paralel tetapi karena lokasi penelitian yang tidak memungkinkan yaitu adanya

karang-karang yang muncul ke permukaan air dan banyaknya rumput laut yang

dibudidayakan maka pengambilan sampel kedalaman air dilakukan pada bagian luar tubir

dan di dalam tubir (pada jalur perahu yang biasa digunakan oleh penduduk setempat dan

atau petani rumput laut).

3.3.2 Pengukuran pasang surut

Pasang surut diukur dengan menggunakan papan yang diberi skala. Pasang surut

diukur selama 2x24 jam, tiap 15 menit. Data pasung surut yang diperoleh digunakan untuk

mengkalibrasi kedalaman dengan pengukuran GPS sounder.

3.3.3 Koreksi pasang surut

Pengambilan data lapang dilakukan pada waktu yang berbeda dengan waktu

perekaman citra sehingga memungkinkan kedalaman yang berbeda. Sehingga data

kedalaman lapang perlu dilakukan kalibrasi dengan data kedalaman laut pada saat

perekaman citra. Kalibrasi ini perlu dilakukan dengan alasan kondisi tinggi muka air laut

dan kedalaman laut bersifat tidak statis dan mengalami perubahan karena adanya pasang

surut air laut. Proses kalibrasi ini memerlukan data pasang surut pada waktu pengambilan

data kedalaman lapang, prediksi pasang surut pada waktu kedalaman lapang dan data

(50)

data pasang surut sehingga digunakan data pasang surut dari stasiun terdekat yaitu

stasiun Tanjung Priuk.

Proses kalibrasi data kedalaman lapang terhadap kedalaman laut pada citra

dilakukan dengan menggunakan logika langkah-langkah sebagai berikut:

1) Data kedalaman laut pada seluruh sampel tidak dapat diukur pada waktu yang

bersamaan pada seluruh tempat karena beberapa keterbatasan. Sehingga data

kedalaman lapang harus dikalibrasi pada jam 10.00 WIB agar data kedalaman laut

tersebut seolah-olah diukur pada waktu yang sama dengan jam perekaman citra.

2) Secara logika, pasang surut di Pulau Pari dan Tanjung Priuk memiliki beda fase. Data

pasang surut lapang dan data prediksi pasang surut pada saat pengambilan data

lapang dianalisa untuk menentukan beda fase antara keduanya. Beda fase digunakan

untuk kalibrasi pada data pasang surut saat perekaman citra.

3) Data kedalaman lapang dan data citra perlu disamakan. Maka data kedalaman lapang

yang telah dikalibrasi terhadap data pasang surut jam 10 WIB, dilakukan kalibrasi

kedua terhadap data pasang surut saat perekaman citra. Dengan demikiaan data

kedalaman lapang diharapkan sama dengan informasi kedalaman laut yang terekam

pada citra.

Koreksi pasang surut diperlukan untuk melakukan koreksi kedalaman yang

dihasilkan dari survei lapang. Perbedaan tersebut disebabkan adanya pasang naik dan

pasang surut muka air laut. Teknik penyesuaian data kedalaman antara waktu perekaman

citra dengan waktu pengambilan data lapangan dilakukan dengan menghitung selisih

kedalaman antara kedua data.

Dengan asumsi waktu perekaman citra dilakukan pada jam 10.00 (waktu

setempat). Mengurangi data kedalaman di atas jam 10.00 (waktu setempat) dengan

selisih antara nilai kedalaman saat itu dengan nilai kedalaman pada jam 10.00.

Persamaan yang digunakan untuk penentuan angka kedalaman (Berlianto 1998) adalah:

Gambar

Gambar 1 Faktor-faktor yang mempengaruhi pantulan cahaya menuju sensor. (a) penyebaran oleh bahan anorganik tersuspensi, (b) penyebaran oleh molekul-molekul air, (c)absorpsi oleh komponen yellow substance, (d) refleksi dari dasar perairan dan (e) penyebaran oleh komponen fitoplankton.
Gambar 2  Komponen spektral cahaya matahari yang diterima oleh sensor satelit.
Gambar 3  Penyinaran cahaya dan interaksinya di bawah dan di atas permukaan air.
Gambar 4  Koefisien penyerapan cahaya oleh air murni, klorofil a (1mg/m3) dan yellow substance (1mg/dm3)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Darmadi (2011 : 175) penelitian eksperimen adalah satu-satunya metode penelitian yang benar-benar dapat menguji hipotesis hubungan sebab-akibat. Dalam

Caranya isi wadah yang di tentukan dengan air tawar secukupnya, masukkan pupuk kandang atau kotoran ayam yang sudah kering ke dalam wadah secara merata dengan ketebalan kurang

Anggaran pemerintah merupakan dokumen formal hasil kesepakatan antara eksekutif dan legislatif tentang belanja yang ditetapkan untuk melaksanakan kegiatan pemerintah

Berdasarkan uraian di atas, bahwa limbah cair nata de coco memiliki konsentrasi asam yang tinggi dan mengandung bahan organik yang diduga akan berpengaruh

Alhamdulillahhirobbil’alamin selalu penulis panjatkan atas nikmat dan berkah yang senantiasa allah swt limpahkan, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

Meski sempat menuai kritik dari sebagian mahasiswa UI, akhirnya dengan bangga pada tanggal 13 Mei 2011, diadakan peluncuran awal Perpustakaan UI yang baru saja rampung

Hasil wawacanra pada studi awal yang dilakukan oleh peneliti terhadap 7 pekerja di industri pembuatan batu bata, terdapat 5 dari 7 orang tersebut merasakan adanya

[r]