• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KEKAMBUHAN KLIEN SKIZOFRENIA DI POLIKLINIK JIWA RSJD DR. RM. SOEDJARWADI PROVINSI JAWA TENGAH ABSTRACT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KEKAMBUHAN KLIEN SKIZOFRENIA DI POLIKLINIK JIWA RSJD DR. RM. SOEDJARWADI PROVINSI JAWA TENGAH ABSTRACT"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA RELIGIUSITAS DENGAN KEKAMBUHAN KLIEN SKIZOFRENIA DI POLIKLINIK JIWA RSJD DR. RM. SOEDJARWADI

PROVINSI JAWA TENGAH Nur Hidayat1, Joko Mei Widiyanto2

1,Program Studi Keperawatan STIKES Wira Husada Yogyakarta 2Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES Wira Husada Yogyakarta

ABSTRACT

Background: The lifetime prevalence number of schizophrenia patient in the world expand from 4 per million to 1.4 percent. Then, the prevalence number og heavy mental disorder expands as 1.7 per million. From the figure, the researcher has found that are prevalence number of metal disorder yhe Province of Central Java is 2,3 per million and the figure has been in the top three of provinces with heavy mental disorder. In relation to the finding, the researcher believes that religiosity will be able to prevent and to protect the people from the mental disorder as well as to decrease the sufferings of the mental disorder patients in order to improve the process of adaptation and recovery. Objective: The researcher is to understand the relationship between religiosity and recurrent in idence within the schizophrenia patients of Mental Policlinic of Soedjarwadi Hospital.

Method: The research made use of analityc descriptive technique by means of cross-sectional approach. For the data gathering, the researcher made use of accidental sampling metode. The number of the sample was bivariate analysis, the researcher made use of Kendal Tau technique. Results: The results of Kendal Tau correlation test in the religiosity and recurrent incidence showed that p = 0,837 > p-value (0.05)

Conclution: Based on the corrrelation test, the reseacher found that there has not been any significant correlation between religiosity and recurrent incidence within the schizophrenia patients of the Mental Polyclinic of Soedjarwadi Hospital in the central Java

Keyword: religiosity, recurrent incidence, schizophrenia PENDAHULUAN

Perubahan sosial ekonomi yang amat cepat dan situasi sosial politik yang tidak menentu menyebabkan semakin tingginya angka pengangguran, kemiskinan, dan kejahatan, situasi ini dapat meningkatkan angka kejadian krisis dan gangguan jiwa dalam kehidupan manusia. Kondisi lingkungan sosial yang semakin keras, dapat menjadi penyebab meningkatnya jumlah masyarakat yang mengalami gangguan kejiwaan, apalagi untuk individu yang rentan terhadap kondisi lingkungan dengan tingkat kemiskinan terlalu menekan (Yosep, 2011).

Gangguan jiwa berat adalah gangguan jiwa yang ditandai oleh terganggunya kemampuan menilai realitas atau tilikan (insight) yang buruk. Gejala yang menyertai gangguan ini antara lain berupa halusinasi, ilusi, waham, gangguan proses pikir, kemampuan berpikir serta tingkah laku aneh, misalnya agresivitas atau katatonik. Gangguan jiwa berat dikenal dengan sebutan psikosis dan salah satu contoh psikosis adalah skizofrenia (Riskesdas, 2013).

Skizofrenia merupakan suatu penyakit otak persisten dan serius yang mengakibatkan perilaku psikotik, pemikiran konkret, dan kesulitan dalam memproses informasi, hubungan interpersonal, serta memecahkan masalah (Stuart & Sundeen, 2006).

(2)

Angka Prevalensi seumur hidup skizofrenia di dunia bervariasi berkisar 4 permil sampai dengan 1,4 persen. Di Amerika Serikat, prevalensi seumur hidup skizofrenia sekitar 1 persen, yang berarti bahwa kurang lebih 1 dari 100 orang akan mengalami skizofrenia selama masa hidupnya (Riskesdas, 2013). Pasien skizofrenia menempati hampir 50 persen dari seluruh tempat tidur di rumah sakit jiwa dan mencakup kurang lebih 16 persen dari semua pasien psikiatri yang menjalani pengobatan (Kaplan & Sadock, 2010).

Salah satu bentuk gangguan jiwa yang banyak terjadi di Rumah Sakit Jiwa di Indonesia adalah Skizofrenia. Skizofrenia adalah gangguan mental yang sangat berat. Gangguan ini ditandai dengan gejala-gejala positif seperti pembicaraan yang kacau, delusi, halusinasi, gangguan kognitif, persepsi dan gejala negatif seperti avolition (menurunnya minat dan dorongan), berkurangnya keinginan berbicara, afek yang datar, serta terganggunya relasi personal (Arif, 2006).

Diperkirakan bahwa 2 sampai 3% dari jumlah penduduk Indonesia menderita gangguan jiwa berat. Bila separuh dari mereka memerlukan perawatan di rumah sakit dan jika penduduk Indonesia berjumlah 120 juta orang maka ini berarti bahwa 120 ribu orang dengan gangguan jiwa berat memerlukan perawatan di rumah sakit (Yosep, 2011).

Prevalensi gangguan jiwa berat di Indonesia adalah berjumlah 1, 7 per mil. Untuk wilayah provinsi Jawa Tengah didapatkan prevalensi 2,3 per mil yaitu dalam kategori urutan ketiga tertinggi di Indonesia. Dari sudut pandang pemerintah, gangguan ini menghabiskan biaya pelayanan kesehatan yang besar. Sampai saat ini masih terdapat pemasungan serta perlakuan salah pada pasien gangguan jiwa berat di Indonesia. Hal ini akibat pengobatan dan akses ke pelayanan kesehatan jiwa belum memadai. Salah satu upaya yang dilakukan pemerintah melalui Kementerian Kesehatan adalah menjadikan Indonesia bebas pasung oleh karena tindakan pemasungan dan perlakukan salah merupakan tindakan yang melanggar hak asasi manusia (Riskesdas, 2013).

Kekambuhan merupakan hal yang biasa selama perjalanan penyakit skizofrenia. Pasien dengan diagnosa skizofrenia akan mengalami kekambuhan 50% pada tahun pertama dan 70% pada tahun kedua (Kaplan dan Sadock, 2010).

Kesehatan Jiwa adalah kondisi dimana seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Upaya kesehatan jiwa yang dilakukan oleh pemerintah melalui kegiatan promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif (Undang-Undang RI No 18 Tahun 2014).

Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat negara maju telah kehilangan aspek spiritual yang merupakan kebutuhan dasar bagi setiap manusia, apakah ia seorang yang beragama atau yang sekuler sekalipun. Kekosongan spiritual, kerohanian, dan rasa keagamaan inilah yang menimbulkan permasalahan psikososial dibidang kesehatan jiwa. Religiusitas mampu mencegah dan melindungi dari penyakit kejiwaan, mengurangi penderitaan meningkatkan proses adaptasi dan penyembuhan. Komitmen agama dapat mencegah dan melindungi seseorang dari penyakit, meningkatkan kemampuan mengatasi penyakit dan mempercepat pemulihan penyakit yang dipadukan dengan terapi kedokteran, agama lebih bersifat protektif daripada problem producing. Salah

(3)

satu tindakan keagamaan yang penting adalah berdoa, yakni memanjatkan permohonan kepada Allah supaya memperoleh sesuatu kehendak yang diridhoi (Yosep, 2011).

Berdasarkan studi pendahuluan di RSJD dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah pada tanggal 22 Desember 2014, didapatkan data selama enam bulan terakhir terdapat 480 klien skizofrenia yang dirawat inap dengan riwayat kekambuhan berjumlah 274 jiwa atau sekitar 57 % kejadian kekambuhan skizofrenia. Menurut perawat yang bertugas di Poliklinik Jiwa dalam sehari rata-rata terdapat 1 sampai 3 klien skizofrenia yang mengunjungi poliklinik Jiwa. Selama klien skizofrenia dirawat inap, klien mendapatkan terapi religiusitas yang rutin dilaksanakan setiap hari kamis dan dipandu oleh petugas rehabilitasi. Menurut perawat yang bertugas di Instalasi Rehabilitasi, terapi religiusitas berdampak positif terhadap perkembangan klien skizofrenia, bahkan untuk perkembangan pemulihan klien skizofrenia menjadi lebih cepat dengan adanya terapi religiusitas. Berdasarkan wawancara dengan 3 orang klien yang mengunjungi Poliklinik Jiwa, klien mengatakan sewaktu dirawat di Instalasi Rawat Inap RSJD dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah rutin mengikuti terapi religiusitas dan setelah mengikuti terapi merasa lebih tenang dan lebih sehat, namun 2 dari 3 orang klien mengatakan religiusitasnya berkurang ketika berada di rumah.

METODE

peneliti menggunakan jenis penelitian descriptif analitik dengan pendekatan

crossectional. Teknik pengambilan sampel yang digunakan peneliti adalah accidental sampling. Jumlah Sampel dalam penelitian ini 74 pasien, pengumpulan data dengan cara

membagikan angket ke responden. Analisa data menggunakan uji korelasi kendal tau.

HASIL PENELITIAN

1. Karakteristik Responden

Responden dalam penelitian ini adalah klien skizofrenia yang berada di Poliklinik Jiwa RSJD dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah yang berjumlah 74 orang. Tabel 1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden berdasarkan Jenis Kelamin, Usia,

Agama, Pendidikan dan Pekerjaan di Poliklinik Jiwa RSJD dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah April - Mei 2015

Karakteristik Responden f Persentase (%)

1. Jenis Kelamin o Laki – laki 34 45,9 o Perempuan 40 54,1 Total 74 100 2. Usia o < 15 tahun 0 0 o 15 – 24 tahun 12 16,2 o 25 – 44 tahun 47 63,5 o 45 – 55 tahun 13 17,6 o > 55 tahun 2 2,7 Total 74 100

(4)

Karakteristik Responden f Persentase (%) 3. Agama o Islam 67 90,5 o Protestan 4 5,4 o Katolik 3 4,1 o Budha 0 0 o Hindu 0 0 o Konghucu 0 0 Total 74 100 4. Pendidikan o SD 9 12,2 o SMP 17 22,9 o SMA 40 54,1 o Diploma 3 4,1 o Sarjana 5 6,7 Total 74 100 5. Pekerjaan o PNS 1 1,4 o Wiraswasta 15 20,2 o Petani 3 4,1 o Pedagang 6 8,1 o Buruh 26 35,1 o Tidak Bekerja 23 31,1 Total 74 100

Sumber : data primer bulan April – Mei 2015

Berdasarkan Tabel 2 di atas menunjukkan bahwa sebagian besar responden adalah perempuan (54,1%), berusia 25-44 tahun (63,5%), beragama Islam (90,5%), berpendidikan SMA (54,1%) dan pekerjasan yang paling banyak adalah buruh (35,1%). 2. Religiusitas

Tabel 3 Distribusi Frekuensi Dimensi Religiusitas berdasarkan Jawaban Responden di Poliklinik Jiwa RSJD dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah April – Mei 2015

Kategori

Dimensi Religiusitas

Keyakinan Peribadatan Pengalaman Pengetahuan Agama Konsekuensi

F % f % F % f % f %

Rendah 1 1,3 1 1,3 1 1,3 0 0 1 1,3

Sedang 5 6,7 7 9,5 9 12,2 18 24,3 14 18,9

Tinggi 68 92 66 89,2 64 86,5 56 75,7 59 79,8

Total 74 100 74 100 74 100 74 100 74 100

Berdasarkan Tabel 3 di atas, diketahui secara keseluruhan dimensi religiusitas klien skizofrenia di Poliklinik Jiwa RSJD dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah

(5)

dalam kategori tinggi, yaitu dimensi keyakinan sebanyak 92%, dimensi peribadatan sebanyak 89,2%, dimensi pengalaman sebanyak 86,5%, dimensi pengetahuan agama sebanyak 75,7% dan dimensi konsekuensi sebanyak 79,8%.

Tabel 4 Distribusi Religiusitas Klien Skizofrenia di Poliklinik Jiwa RSJD dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah April – Mei 2015

No. Kategori Religiusitas Frekuensi (f) Persentase (%)

1 Rendah 1 1,4

2 Sedang 22 29,7

3 Tinggi 51 68,9

Total 74 100

Sumber: data primer bulan April - Mei 2015

Berdasarkan hasil dari perhitungan distribusi religiusitas klien skizofrenia pada Tabel 4, dapat diketahui sebagian besar responden berada dalam kategori religiusitas tinggi yang berjumlah 51 orang dengan persentase 68,9 %

3. Kekambuhan klien Skizofrenia

Tabel 5 Distribusi Kekambuhan Klien Skizofrenia di Poliklinik Jiwa RSJD dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah April – Mei 2015

No Kategori Kekambuhan Frekuensi (f) Persentase (%)

1 Rendah (≤ 2 kali dalam setahun) 52 70,3

2 Tinggi (≥ 3 kali dalam setahun) 22 29,7

Total 74 100

Sumber: data primer bulan April – Mei 2015

Hasil dari Tabel 5 diatas menunjukkan bahwa klien skizofrenia yang mengalami kekambuhan di Poliklinik Jiwa RSJD dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah paling banyak dalam kategori rendah ≤ 2 kali dalam setahun yang berjumlah 52 orang (70,3 %).

4. Hubungan religiusitas dengan kekambuhan klien skizofrenia

Tabel 6 Tabel Silang Religiusitas terhadap Kekambuhan Klien Skizofrenia di Poliklinik Jiwa RSJD dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah April – Mei 2015

Religiusitas RendahKekambuhan Klien SkizofreniaTinggi Total p - value

f % f % f %

Rendah 0 0 1 1,4 1 1,4

Sedang 16 21,6 6 8,1 22 29,7 0,837

Tinggi 36 48,6 15 20,3 51 68,9

Total 52 70,3 22 29,7 74 100

(6)

Hasil dari tabel 6 menunjukkan bahwa tabel silang antara religiusitas terhadap kekambuhan klien skizofrenia di Poliklinik Jiwa RSJD dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah didapatkan hasil dari 51 responden (68,9%) dengan religiusitas tinggi maka kekambuhan pada klien skizofrenia dengan kategori kekambuhan tinggi sebanyak 15 orang (20,2%) dan kekambuhan rendah 36 orang (48,7%), kemudian dari 22 responden (29,7%) dengan religiusitas sedang maka kekambuhan pada klien skizofrenia dengan kategori kekambuhan tinggi sebanyak 6 orang (8,1%) dan kekambuhan rendah 16 orang (21,6%), sedangkan dari 1 responden (1,4%) dengan religiusitas rendah maka mengalami kekambuhan dalam kategori tinggi (1,4%).

Pada Tabel 6 di atas juga menunjukkan bahwa berdasarkan uji korelasi kendal

tau pada dua variabel religiusitas dan kekambuhan klien skizofrenia dengan nilai

p-value = 0,837 > 0,05, dengan demikian berarti Ho diterima yang artinya tidak adanya hubungan antara religiusitas dengan kekambuhan pada klien skizofrenia di Poliklinik Jiwa RSJD dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah.

PEMBAHASAN

1. Karakteristik Responden

Jenis kelamin terbanyak pada klien skizofrenia di Poliklinik Jiwa RSJD dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah adalah berjenis kelamin perempuan sebanyak 54,1%. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Wibowo (2003), jumlah klien skizofrenia terbanyak di RSJ Grhasia berjenis kelamin perempuan. Pada penelitian lainnya secara umum jenis kelamin yang lebih banyak ditemukan pada klien skizofrenia adalah laki-laki, namun dalam penelitian ini ternyata yang terbanyak adalah perempuan, hal ini dikarenakan perbandingan onset, onset untuk perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki, yaitu sampai umur 36 tahun, yang perbandingan onsetnya menjadi terbalik, sehingga lebih banyak perempuan yang mengalami skizofrenia pada usia yang lebih lanjut bila dibandingkan dengan laki-laki (Durand, 2007).

Usia terbanyak klien skizofrenia adalah 25-44 tahun (63,5%). Usia ini termasuk dalam kategori usia produktif bagi seseorang untuk bekerja, menurut Kaplan (2010) menyebutkan bahwa kira-kira 90% klien dalam pengobatan skizofrenia berada antara usia 15-55 tahun.

Secara umum agama yang terbanyak adalah beragama islam sebanyak 90,5%. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Safira (2014) di RSJD Sungai Bangkong Pontianak yang menunjukkan agama yang paling banyak adalah beragama islam. Hal ini dikarenakan secara umum mayoritas penduduk yang ada beragama islam.

Pendidikan tertinggi klien skizofrenia di Poliklinik Jiwa RSJD dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah adalah berpendidikan terakhir SMA sebanyak 54,1%. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Sira (2011) di RSK Alianyang Pontianak yang menunjukkan data bahwa klien memiliki jenjang pendidikan terbanyak dengan lulusan SMA. Hal ini dapat dikaitkan dengan onset dari skizofrenia, usia pertama kali terkena skizofrenia antara 15-25 dan 25-35 tahun sehingga pendidikan yang dapat diraih klien juga tidak dapat tinggi bila terkena skizofrenia pada usia tersebut.

(7)

Pekerjaan yang paling banyak adalah buruh sebanyak 35,1%. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hidayati (2011) yang menunjukkan pekerjaan terbanyak pada klien skizofrenia di RSJ dr. Amino Gondohutomo Semarang adalah sebagai buruh.

2. Religiusitas

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, ditemukan religiusitas klien skizofrenia di Poliklinik Jiwa RSJD dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah dalam kategori religiusitas tinggi dengan persentase sebesar 68,9%.

Religiusitas merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan pada klien skizofrenia. Macam-macam penatalaksanaan pada klien skizofrenia adalah psikofarmaka, psikoterapi, psikososial, psikoreligiusitas. Untuk religiusitas masuk dalam penatalaksanaan psikoreligius yang didefinisikan sebagai terapi keagamaan sebagai upaya mengobati klien dengan melakukan ritual keagamaan seperti sholat, berdoa, memanjatkan puji-pujian kepada Tuhan, ceramah keagamaan, dan kajian kitab suci (Hawari, 2007).

Thouless (2000) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi sikap keagamaan seseorang adalah pendidikan dan berbagai tekanan sosial, pengalaman, kehidupan serta intelektual. Hasil yang peneliti dapatkan pendidikan klien skizofrenia sebagian besar berpendidikan Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 54,1%. Berdasarkan informasi yang peneliti dapatkan, religiusitas klien diperoleh dari keluarga yaitu pendidikan tentang agama yang diberikan oleh orang tua kepada anak-anaknya.

Setiap orang memiliki beragam kebutuhan yang dapat mempengaruhi religiusitas. Secara garis besar kebutuhan-kebutuhan tersebut terbagi menjadi empat yaitu kebutuhan akan keamanan dan keselamatan, kebutuhan akan cinta kasih, kebutuhan untuk memperoleh harga diri dan kebutuhan yang timbul karena adanya ancaman kematian (Thouless, 2000).

Glock dan Stark (dalam Ancok, 2011) membagi dimensi religiusitas ke dalam 5 macam dimensi yaitu dimensi keyakinan/ideologik, dimensi praktik agama/ peribadatan, dimensi pengalaman, dimensi pengetahuan agama, dan dimensi konsekuensi.

Secara keseluruhan dimensi religiusitas klien skizofrenia di Poliklinik Jiwa RSJD dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah dalam kategori tinggi, yaitu dimensi keyakinan sebanyak 92%, dimensi peribadatan sebanyak 89,2%, dimensi pengalaman sebanyak 86,5%, dimensi pengetahuan agama sebanyak 75,7% dan dimensi konsekuensi sebanyak 79,8%.

3. Kekambuhan Klien Skizofrenia

Peneliti menemukan kekambuhan klien skizofrenia di Poliklinik Jiwa RSJD dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah Pada bulan April sampai dengan Mei tahun 2015 paling banyak dalam kategori rendah (kekambuhan ≤ 2 kali dalam setahun) dengan persentase sebesar 70,3 %. Kambuh merupakan kondisi dimana pasien kembali menunjukkan gejala-gejala skizofrenia setelah remisi dari rumah sakit.

(8)

Kekambuhan pada klien skizofrenia bisa disebabkan oleh faktor dari klien sendiri yaitu kegagalan meminum obat secara teratur (Keliat, 1996).

Informasi yang peneliti dapatkan bahwa kekambuhan klien akan kembali muncul apabila tidak teratur minum obat. Secara keseluruhan kekambuhan klien skizofrenia di Poliklinik Jiwa RSJD dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah dalam kategori rendah (kekambuhan ≤ 2 kali dalam setahun), hal ini dikarenakan klien teratur meminum obat dan teratur kontrol setiap bulannya ke Poliklinik Jiwa. Seperti halnya dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Raharjo (2014), ada beberapa hal yang bisa memicu kekambuhan skizofrenia, antara lain penderita tidak minum obat dan tidak kontrol ke dokter secara teratur. Keliat (1996) menjelaskan kekambuhan klien skizofrenia juga dipengaruhi oleh dokter sebagai pemberi resep, pemberian obat neuroleptik yang lama dapat menimbulkan efek samping yang dapat mengganggu hubungan sosial seperti gerakan yang tidak terkontrol. Untuk itu perlu diidentifikasi dosis terapi yang dapat mencegah kekambuhan dan efek sampingnya. Dengan demikian berarti klien skizofrenia memang seharusnya teratur kontrol ke dokter. 4. Hubungan Religiusitas dengan Kekambuhan Klien Skizofrenia

Berdasarkan uji statistik didapatkan hasil p = 0,837 > 0,05 dengan demikian berarti Ho diterima yang artinya tidak adanya hubungan antara religiusitas dengan kekambuhan pada klien skizofrenia di Poliklinik Jiwa RSJD dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah, walaupun yang didapatkan peneliti secara umum klien skizofrenia yang ada di Poliklinik Jiwa RSJD dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah memiliki religiusitas yang tinggi dan kekambuhan dalam kategori yang rendah. Hal ini tidak sesuai dengan hasil uji statistik yang didapatkan karena dipengaruhi oleh beberapa faktor yang lain, seperti hasil penelitian yang dilakukan oleh Raharjo (2014) menyebutkan faktor-faktor yang mempengaruhi kekambuhan pada pasien skizofrenia adalah ketidakpatuhan minum obat, keteraturan kontrol dokter, dukungan keluarga, dan dukungan sosial.

Informasi yang peneliti dapatkan bahwa klien mengatakan kekambuhan yang dirasakan akan muncul apabila tidak teratur minum obat. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kaunang (2015) yang menunjukkan terdapat hubungan antara kepatuhan minum obat dengan prevalensi kekambuhan klien skizofrenia, kepatuhan minum obat klien skizofrenia yang berobat jalan di poliklinik jiwa, membawa dampak yang baik bagi klien sehingga prevalensi kekambuhan selama 1 tahun menjadi tidak pernah kambuh. Keliat (1996) menjelaskan bahwa kekambuhan pada klien skizofrenia dipengaruhi oleh faktor kegagalan meminum obat secara teratur, kegagalan ini karena adanya gangguan orientasi realita dan ketidakmampuan pengambilan keputusan.

Secara umum klien skizofrenia yang ada di Poliklinik Jiwa RSJD dr. RM Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah sudah teratur kontrol ke dokter, hal ini dibuktikan dengan setiap bulannya klien skizofrenia kontrol di Poliklinik Jiwa RSJD dr. RM Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah.

Dukungan keluarga adalah salah satu usaha untuk mengurangi angka kekambuhan klien skizofrenia, mengingat keluarga merupakan sistem pendukung

(9)

utama yang memberikan perawatan langsung pada setiap keadaan sehat sakit klien. Keliat (1996) menjelaskan bahwa kekambuhan klien skizofrenia tergantung dari lingkungan emosi yang diciptakan oleh keluarga. Klien skizofrenia dengan keluarga yang memiliki ekspresi emosi yang tinggi (bermusuhan, mengkritik), diperkirakan akan kambuh dalam waktu 9 bulan meskipun menggunakan pengobatan neuroleptik. Penelitian yang dilakukan oleh Nurdiana (2007) menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara peran serta keluarga terhadap tingkat kekambuhan klien skizofrenia. Demikian pula dengan keadaan klien skizofrenia di Poliklinik Jiwa RSJD dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah terlihat adanya peran serta keluarga untuk mengurangi angka kekambuhan, hal ini dibuktikan dengan adanya keluarga yang mengantarkan klien untuk rutin kontrol setiap bulannya di Poliklinik Jiwa.

Dukungan sosial dapat juga berpengaruh terhadap kekambuhan klien skizofrenia terutama lingkungan sosial klien. Stuart dan Sundeen (2006) menyebutkan salah satu faktor penyebab kekambuhan adalah lingkungan yang meliputi suasana rumah yang tidak nyaman, adanya tekanan (hilangnya kemandirian), sulit melakukan hubungan interpersonal, isolasi sosial, kurangnya dukungan sosial keluarga, tekanan pekerjaan serta adanya stigma dan pengangguran. Sebagian besar klien skizofrenia yang ada di Poliklinik Jiwa RSJD dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah bekerja sebagai buruh sebanyak 61,9%. Hal ini berarti klien mendapatkan dukungan sosial dari lingkungan kerja, klien mampu mengalihkan rasa kekambuhan terhadap pekerjaannya.

KESIMPULAN

1. Karakteristik klien skizofrenia di Poliklinik Jiwa RSJD dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah adalah sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan, berusia 25 – 44 tahun, beragama Islam, berpendidikan SMA dan pekerjaan yang paling banyak adalah bekerja sebagai buruh.

2. Religiusitas klien skizofrenia di Poliklinik Jiwa RSJD dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah dalam kategori tinggi.

3. Kekambuhan klien skizofrenia di Poliklinik Jiwa RSJD dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah dalam kategori rendah (kekambuhan ≤ 2 kali dalam setahun).

4. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak terdapat hubungan antara religiusitas dengan kekambuhan klien skizofrenia di Poliklinik Jiwa RSJD dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah dengan nilai p = 0,837 dimana p > 0,05.

SARAN

1. Bagi Perawat Jiwa RSJD dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah

Diharapkan perawat tetap memperhatikan aspek religiusitas klien skizofrenia melalui program rehabilitasi spiritual di RSJD dr. RM. Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah.

2. Bagi Keluarga Klien

Keluarga sebagai orang terdekat klien diharapkan tetap memperhatikan aspek religiusitas klien ketika berada di rumah serta terus memberikan dukungan kepada klien seperti mengingatkan untuk teratur meminum obat dan teratur kontrol ke dokter

(10)

serta menciptakan lingkungan sosial yang nyaman bagi klien demi mengurangi kekambuhan yang dialami oleh klien.

3. Bagi Peneliti Selanjutnya

Diharapkan adanya penelitian lebih lanjut untuk kemajuan perkembangan ilmu keperawatan terutama ilmu keperawatan jiwa. Untuk itu disarankan kepada peneliti selanjutnya agar dapat meneliti berdasarkan tipe dari skizofrenia. Selain itu dapat pula dilakukan penelitian mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kekambuhan pada klien skizofrenia, seperti keteraturan minum obat, keteraturan kontrol dokter, dukungan keluarga dan dukungan sosial.

RUJUKAN

1. Ancok, D dan Suroso, F. N. (2011). Psikologi Islami. Pustaka Pelajar: Yogyakarta. 2. Arif, I.S. (2006). Skizofrenia Memahami Dinamika Keluarga Klien. Refika Aditama:

Bandung.

3. Arikunto, S. (2008). Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka Karya: Jakarta.

4. Ayu, R.A. (2012). Hubungan Religiusitas dengan Resiliensi pada Ibu yang Memiliki Anak Retardasi Mental dalam http://repository.library.uksw.edu. Diakses tanggal 20 November 2014.

5. Durand, V.M dan Barlow, D.H. (2007). Intisari Psikologi Abnormal. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.

6. Fajarwati, K. (2013). Hubungan Kunjungan Keluarga terhadap Kekambuhan Klien Gangguan Jiwa di Ruang Intermediate Rumah Sakit Khusus Daerah Provinsi Sulawesi Selatan. Jurnal Ilmiah Kesehatan STIKes Nani Hasanuddin Makassar. 3 (1). 122-128. 7. Hawari, D. (2007). Pendekatan Holistic pada Gangguan Jiwa Skizofrenia. Fakultas

Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.

8. Hidayati, E. (2011). Pengaruh Terapi Kelompok Supportif terhadap Kemampuan Mengatasi Perilaku Kekerasan pada Klien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa dr. Amino Gondohutomo Semarang dalam http://lib.ui.ac.id. Diakses tanggal 5 Juni 2015. 9. Isaac. (2005). Keperawatan Kesehatan Jiwa Psikiatri. EGC: Jakarta.

10. Jalaluddin. (2004). Psikologi Agama. Raja Grafindo Persada: Jakarta

11. Kaplan, H.I dan Sadock, B.J. (2010). Buku Ajar Psikiatri Klinis. EGC: Jakarta. 12. Kaunang, I. (2015). Hubungan Kepatuhan Minum Obat dengan Prevalensi

Kekambuhan pada Pasien Skizofrenia yang Berobat Jalan di Ruang Poliklinik Jiwa Rumah Sakit Prof. dr. V. L. Ratumbuysang Manado dalam http://ejournal.unsrat.ac.id. Diakses tanggal 7 Juni 2015.

13. Keliat, B. A. (1996). Peran Serta Keluarga dalam Perawatan Gangguan Jiwa, Edisi

2. EGC: Jakarta.

14. Lumbantobing, S. M. (2007). Skizofrenia Gila. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia: Jakarta.

15. Maslim, R. (2001). Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa-III. Fakultas Kedokteran Unika Atma Jaya: Jakarta.

(11)

16. Notoatmodjo, S. (2012). Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta. 17. Nurdiana. (2007). Korelasi Peran Serta Keluarga terhadap Tingkat Kekambuhan

Klien Skizofrenia. Jurnal Ilmiah Kesehatan Keperawatan STIKes Muhammadiyah

Gombong. 3 (1). 1-10.

18. Raharjo, A.B. (2014). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kekambuhan pada Pasien Skizofrenia di RSJD dr. Amino Gondohutomo Semarang dalam http://pmb. stikestelogorejo.ac.id. Diakses tanggal 7 Juni 2015.

19. Republik Indonesia. (2014). Undang-Undang No. 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan

Jiwa. Sekretariat Negara: Jakarta.

20. Riskesdas. (2013). Riset Kesehatan Dasar (Kesehatan Jiwa) dalam http://www. riskesdas.litbang.depkes.go.id. Diakses tanggal 20 November 2014.

21. Riyanto, A. (2011). Pengolahan dan Analisis Data Kesehatan. Nuha Medika: Yogyakarta.

22. Safira, F. (2014). Hubungan antara Gangguan Bipolar dengan Risiko Bunuh Diri pada Pasien Rawat Inap di Rumah Sakit Jiwa Daerah Sungai Bangkong Pontianak Tahun 2014 dalam http://jurnal.untan.ac.id. Diakses tanggal 7 Juni 2015.

23. Sira, I. (2011). Karakteristik Skizofrenia di Rumah Sakit Khusus Alianyang Pontianak Periode 1 Januari – 31 Desember 2009 dalam http://jurnal.untan.ac.id. Diakses tanggal 7 Juni 2015.

24. Stuart, G.W dan Sundeen, S.J. (2006). Buku Saku Keperawatan Jiwa. EGC: Jakarta 25. Sugiyono. (2012). Statistika untuk Penelitian. Alfabeta: Bandung.

26. Thouless, R.H. (2000). Pengantar Psikologi Agama. Rajawali Press: Jakarta. 27. Videbeck, S. L. (2008). Buku Ajar Keperawatan Jiwa. EGC: Jakarta.

28. Wahyuningrum, I. (2013). Hubungan Dukungan Keluarga dengan Durasi Kekambuhan Pasien Skizofrenia di Rumah Sakit Jiwa Daerah Dr. Amino Gondohutomo Semarang.

Jurnal Ilmiah Keperawatan dan Kebidanan STIKes Telogorejo. 1 (3). 1-5.

29. Wibowo, M. (2003). Karakteristik Penderita Skizofrenia di RSJ Grhasia dalam http:// rac.uii.ac.id. Diakses tanggal 8 Juni 2015.

Gambar

Tabel 1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden berdasarkan Jenis Kelamin, Usia,  Agama, Pendidikan dan Pekerjaan di Poliklinik Jiwa RSJD dr
Tabel 3 Distribusi Frekuensi Dimensi Religiusitas berdasarkan Jawaban Responden  di Poliklinik Jiwa RSJD dr
Tabel 4 Distribusi Religiusitas Klien Skizofrenia di Poliklinik Jiwa RSJD dr. RM. Soedjarwadi  Provinsi Jawa Tengah  April – Mei 2015

Referensi

Dokumen terkait

Lingkungan terdekat dari klien Skizofrenia adalah keluarga, dengan demikian keluarga turut berperan penting untuk kesembuhan, pencegahan kekambuhan bahkan memperburuk

Kendala yang dihadapi dalam pelaporan keuangan RSJD Dr RM Soedjarwadi Pemerintah Provinsi Jawa Tengah adalah masih minimnya kebijakan yang menguatkan pelaporan

8 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Rumah Sakit Umum Daerah dan Rumah Sakit Jiwa Daerah Provinsi Jawa Tengah, RSJD Dr.. Soedjarwadi merupakah salah satu

Wawancara secara mendalam terhadap pasien yang dirawat kembali maupun yang baru pertama kali masuk rumah sakit jiwa peneliti mendapat hasil dari 20 orang sampel

Berdasarkan hasil wawancara dengan partisipan didapatkan hasil bahwa didalam merumuskan sebuah diagnosa keperawatan Klien Skizofrenia dengan Kebutuhan Personal

Berdasarkan hasil wawancara dengan partisipan didapatkan hasil bahwa didalam merumuskan sebuah diagnosa keperawatan Klien Skizofrenia dengan Kebutuhan Personal

Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah untuk diakses masyarakat yaitu dengan memberikan pelayanan (sesuai jadwal) atas setiap permintaan/permohonan Informasi Publik oleh

Soedjarwadi Provinsi Jawa Tengah dalam mengatasi permasalahan yang terjadi pada maintenance server ketika pelaksanaan pengajuan klaim seperti adanya server error maka langkah awal yang