• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1.1 Latar Belakang

Secara empiris Indonesia merupakan negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia. Sebagai masyarakat yang religius, agama di kalangan masyarakat Indonesia sangat penting bahkan menjadi tuntunan dalam bertindak. Geertz, misalnya, menyebut agama sebagai pola untuk melakukan tindakan serta menjadi hal yang berarti dan mengejawantah dalam kehidupan sehari-hari (Sutiyono 2010).

Selain sebagai pola bagi tindakan (pattern for behaviour), yaitu agama sebagai pedoman yang dijadikan sebagai kerangka interpretasi tindakan manusia, agama juga merupakan pola dari tindakan, yaitu sesuatu yang hidup dalam diri manusia yang tampak dalam kehidupannya. Di sini, dalam pandangan Geertz, agama dianggap sebagai bagian sistem budaya. Ignas Kleden (dalam Syam 2005) menyebut bahwa pola bagi tindakan terkait dengan sistem nilai dan pola dari tindakan terkait dengan sistem kognitif atau pengetahuan manusia. Hubungan keduanya terletak pada sistem simbol yang memungkinkan pemaknaan dilakukan. Dalam perspektif sosiologis, agama dipandang sebagai sistem kepercayaan yang diwujudkan dalam perilaku sosial tertentu. Menurut Tischler (dalam Kahmad 2009) sistem kepercayaan itu diwujudkan dalam bentuk sistem ritual, emosi keagamaan, kepercayaan dan kelembagaan agama. Dengan demikian, setiap perilaku individu yang beragama akan terkait dengan sistem keyakinan dari ajaran agama yang dianutnya.

Ibnu Khaldun (1986) juga menyatakan bahwa perilaku manusia sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial dan budaya suatu masyarakat. Bagi Ibnu Khaldun, perilaku manusia sangat ditentukan oleh struktur sosial budayanya. Oleh karena itu, secara sosiologis, perilaku keislaman masyarakat Maroko dan keislaman masyarakat Jawa (Indonesia) sangatlah berbeda (Geertz 1968).

Menurut Glock dan Stark, seperti yang dikutip Kahmad (2009), ada lima dimensi manusia beragama. Pertama, dimensi keyakinan. Dimensi ini berisi pengharapan sambil berpegang teguh pada nilai-nilai teologis tertentu. Kedua,

(2)

dimensi praktis agama yang meliputi perilaku simbolik dari makna-makna keagamaan yang terkandung di dalamnya. Ketiga, dimensi pengalaman keagamaan yang merujuk pada seluruh keterlibatan subyektif dan individual dengan hal-hal yang suci dari agama. Keempat, dimensi pengetahuan agama dimana orang yang beragama memiliki pengetahuan tentang keyakinan, ritual, kitab suci dan tradisi. Kelima, dimensi konsekuensi yang mengacu kepada identifikasi akibat-akibat keyakinan, praktik, pengalaman dan pengetahuan seseorang akan agama.

Jika dalam pandangan Geertz, agama dinilai sebagai bagian dari sistem kebudayaan, Peter L. Berger (1966) berpendapat bahwa kebudayaan merupakan konstruksi manusia, dan agama sebagai bagian dari sistem kebudayaan juga merupakan konstruksi manusia. Menurut Berger (1966), terdapat proses dialektik ketika melihat hubungan antara manusia, masyarakat dan agama dimana agama sebagai sesuatu yang obyektif karena agama berada di luar diri manusia atau agama mengalami proses obyektivasi.

Proses obyektivasi ini terjadi ketika agama menjadi doktrin, tata nilai, hukum, aturan dan sebagainya. Doktrin ini kemudian mengalami proses internalisasi ke dalam diri individu sebab agama telah diinterpretasikan oleh manusia untuk menjadi pedoman dalam kehidupannya. Di sini agama mengalami proses internalisasi. Akan tetapi agama juga mengalami proses eksternalisasi, yaitu ketika agama menjadi sesuatu yang termanifestasi dalam masyarakat dan menjadi norma yang berfungsi mengontrol tindakan masyarakat.

Perjalanan sejarah keberagamaan di Indonesia pascareformasi salah satunya menunjukkan potret kekerasan atas nama agama. Padahal setiap agama dan keyakinan menolak segala bentuk kekerasan dengan alasan apa pun. Pendorong timbulnya perilaku kekerasan agama adalah pemahaman agama dari hasil pemikiran yang termanifestasi dalam bentuk tindakan nyata. Di sini, meminjam konsep Berger, proses dialektika obyektivasi, internalisasi dan eksternalisasi agama dan lingkungannya terjadi.

Gambaran agama dan masyarakat yang menganut agama (Islam) seperti yang dijelaskan di atas juga ditemukan dalam masyarakat Jawa. Mengacu kepada kategorisasi yang ditulis Geertz, masyarakat Jawa terdiri dari tiga varian utama,

(3)

yaitu abangan, santri dan priyayi. Istilah abangan (Robertson 1988) merujuk pada penekanan pada aspek animistis dari sinkretisme1 Jawa dan secara luas dihubungkan dengan golongan petani. Istilah santri menekankan pada aspek Islam dari sinkretisme itu dan pada umumnya dihubungkan dengan aspek dagang (dan juga kepada unsur tertentu di kalangn petani). Sementara itu, istilah priyayi menekankan pada aspek-aspek Hindu dan dihubungkan dengan elemen birokratik. Islam santri menggambarkan sekelompok muslim saleh yang memeluk agama Islam dengan sungguh-sungguh, menjalankan perintah agama dan berusaha membersihkan akidahnya dari perilaku takhayul, bid`ah dan khurafat. Sedangkan Islam abangan menggambarkan sekelompok muslim yang cara hidupnya masih banyak dikuasai oleh tradisi Jawa pra-Islam, yaitu suatu tradisi yang menitik beratkan pada pemaduan unsur-unsur Islam, Budha-Hindu, dan unsur-unsur asli sebelumnya. Kelompok pertama ini oleh Sutiyono (2010) disebut juga dengan muslim atau masyarakat puritan, sementara kelompok kedua disebut juga dengan muslim atau masyarakat sinkretis.

Berdasarkan partisipasi ritualnya, Islam santri lebih berorientasi menjalankan ritual yang diajarkan Islam seperti shalat, puasa dan ibadah haji. Sementara Islam abangan lebih berorientasi pada ritual-ritual yang tidak diajarkan secara baku seperti slametan, nyadran, nyewu, uahan, brokohan, sesajen dan sebagainya. Perilaku religius ini bisa dibedakan berdasarkan sistem kepercayaan kelompok dan partisipasinya dalam kegiatan ritual keagamaan. Sistem kepercayaan dan praksis ritual di antara kedua kelompok religius ini menampakkan kecenderungan yang relatif berbeda.

Koentjaraningrat (1984) menyebut religiusitas Islam abangan dengan istilah Agami Jawi dan Islam santri dengan Agama Islam Santri. Kategori ini nampaknya untuk membedakan dua varian religius dan bukan varian sosial seperti yang digambarkan oleh Geertz sebagai santri, priyayi dan abangan. Menurut Koentjaraningrat, Agami Jawi adalah suatu kompleks keyakinan dan

1

Sinkretisme adalah upaya memadukan berbagai unsur yang terdapat di dalam nilai-nilai agama atau budaya yang berbeda tanpa memecahkan perbedaan dasar dari prinsip-prinsip yang ada di dalamnya. Misalnya, masyarakat Jawa mencampur praktek-praktek keagamaan asli mereka dengan Hinduisme, Budhisme dan Islam (lihat Syam 2005, bandingkan juga dengan Sutiyono 2010). Dengan adanya proses sinkretis tersebut, maka kebenaran tidak hanya diyakini berasal dari kepercayaan sebelumnya tetapi juga ada dari kepercayaan lain.

(4)

konsep Hindu-Budha yang cenderung ke arah mistik, yang bercampur menjadi satu dan diakui sebagai agama Islam. Sementara itu, Agama Islam santri lebih dekat pada dogma-dogma Islam. Dengan kata lain, Islam abangan atau Agami Jawi lebih bersifat sinkretis karena menyatukan unsur-unsur pra-Hindu, Hindu-Budha dan Islam.

Koentjaraningrat kemudian berpendapat, bahwa hal itu tidak berarti Islam abangan tidak beragama atau sangat sedikit memikirkan agama, atau menjalankan kehidupan tanpa kegiatan agama. Waktu-waktu mereka justru banyak tersita oleh aktivitas agama. Mereka juga percaya adanya Allah, percaya kenabian Muhammad, percaya dengan kebenaran kitab Al-Quran dan percaya bahwa orang baik akan masuk surga. Tetapi di samping itu mereka juga meyakini konsep dan pandangan keagamaan tertentu, percaya akan makhluk gaib dan kekuatan sakti, dan melakukan ritus-ritus dan upacara keagamaan yang sangat sedikit kaitannya dengan doktrin-doktrin Islam.

Sikap sinkretisme, dalam pandangan Simuh (1988), adalah suatu sikap atau pandangan yang tidak mempersoalkan benar salahnya suatu agama, atau suatu sikap yang tidak mempersoalkan murni atau tidak murninya suatu agama. Bagi orang yang berpaham sinkretis, semua agama dipandang baik dan benar. Penganut paham sinkretisme, suka memadukan unsur-unsur dari berbagai agama dan budaya lokal, yang pada dasarnya berbeda atau bahkan berlawanan. Dengan demikian, Islam sinkretisme merupakan gambaran sikap keagamaan yang sudah jauh dari sifatnya yang murni.

Sebaliknya, sikap puritanisme sangat mengedepankan apa yang disebut sebagai autentifikasi ajaran Islam sebagaimana yang terdapat dalam teks suci. Ajaran Islam harus bebas dari unsur-unsur takhayul, bid`ah dan khurafat seperti yang sering dilakukan oleh Islam sinkretisme. Kelompok ini tidak toleran dengan pemahaman kontekstual dan sinkretis. Islam puritan sangat tekstual-formalis dan tidak ramah dengan budaya lokal. Kelompok Islam puritan berusaha meningkatkan penggalian teks-teks suci (al-Quran dan Hadits) dalam rangka pemurnian syariat. Praktek syariat semacam ini oleh Woodword (1999) disebut sebagai kesalehan normatif, yaitu seperangkat praktek keagamaan yang telah dijelaskan Allah melalui utusan-Nya Muhammad SAW, yang diperuntukkan

(5)

untuk seluruh umat Islam. Islam puritan, mengacu pada hasil penelitian Sutiyono (2010) di Senjakarta, Klaten, dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu Islam puritan moderat dan Islam puritan radikal2.

Pluralisme keberagamaan ini merupakan fakta sosial yang tidak dapat dihindari. Kondisi ini kerapkali menimbulkan sekat-sekat sosial yang berakhir dengan perbedaan-perbedaan bahkan menimbulkan konflik sosial. Akibatnya, pada tingkat ekstrim benturan budaya (sistem kepercayaan atau agama) menjadi konsekuensi negatif, dan aspek-aspek simbolik dari masing-masing individu yang berlainan sikap dan perilaku keberagamaannya dapat berfungsi menjadi faktor disintegrasi dalam kehidupan sosial.

Kekerasan keagamaan yang terjadi di pedesaan Jawa kerapkali dapat digolongkan kepada mereka yang santri (puritan radikal). Kelompok ini seringkali tidak toleran terhadap kelompok keagamaan yang lain. Kondisi ini sesungguhnya berbanding terbalik dengan kondisi Jawa yang secara umum dikenal sebagai masyarakat yang paling majemuk di Indonesia dan toleran serta, meminjam istilah Hefner (2005), kaya akan pluralist endowments.

Asumsi ini didasarkan pada kenyataan bahwa banyak pedesaan di Jawa adalah daerah yang memiliki basis pesantren dan mayoritas beragama Islam, yang dikenal dengan sikap toleransi keberagamaannya. Kenyataan ini seharusnya menjadi fondasi dan kekuatan utama dalam rangka membangun kehidupan keberagamaan yang saling menghormati.

Dalam kaitan ini, ada dua fenomena yang mengindikasikan tantangan pluralisme keberagamaan. Pertama, maraknya aksi kekerasan secara fisik maupun psikis, berupa penyesatan, pembubaran, dan pengusiran terhadap beberapa kelompok keyakinan, seperti kekerasan yang dialami oleh kelompok Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI), yaitu organisasi keagamaan yang mempercayai

2

Islam puritan radikal adalah sekelompok umat Islam yang menginginkan kembalinya sistem kehidupan beragama yang serba otentik dengan berpedoman pada sistem yang berasal dari teks suci yang bersifat skriptural, literal dan doktrinal serta disertai dengan tindakan keras dalam menyebarkan ajaran agama atau merespon praktek keagamaan yang berseberangan. Sementara bedanya dengan Islam puritan moderat terletak pada tindakan dalam menyebarkan ajaran agama atau merespon praktek keagamaan yang berseberangan yang tidak disertai dengan tindakan keras. Dalam masyarakat Jawa, misalnya, Islam puritan radikal dapat dilihap pada sekelompok umat Islam yang melarang secara keras praktek-praktek keagamaan yang bercampur dengan takhayul,

(6)

Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi. Kedua, menguatnya sikap intoleransi dan memudarnya sikap pluralisme di kalangan masyarakat di pedesaan.

Tabel 1 Kekerasan Massa terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)

No Kasus Tempat/Waktu Pelaku Korban

1 Pengusiran, penganiayaan, dan pembakaran mesjid

Desa Bayan, Lombak Barat (1999)

Massa 1 meninggal,

1 luka parah 2 Penyerangan dan pengrusakan dua mesjid Desa Manis lor,

Kuningan (2002)

Massa -

3 Penyerangan atas penganut JAI Kota Selong, Lombok Timur (2002)

Massa 4 Penyerangan dan pengrusakan kampus

dan rumah JAI

Parung, Bogor (2005) Gerakan Umat Islam (GUI), FPI

-

5 Pengrusakan mesjid Desa Sadasari,

Majalengka (2005)

Massa -

6 Pembakaran mesjid Parakansalak,

Sukabumi (2005)

Massa -

7 Penyerangan dan perusakan mesjid, kantor, rumah

Desa Badakpaeh, Tasikmalaya (2007)

Massa 200 orang -

8 Pembakaran masjid Kebayoran Lama,

Jak-Sel (2009)

Dua orang Tak dikenal

- 9 Penyerangan atas penganut JAI Praya, Lombok

Tengah (2010)

Massa -

10 Pengrusakan dan pembakaran 22 rumah Desa Gegerung, Lombok Barat (2010)

Massa -

11 Pemaksaan pembongkaran mesjid Desa Warnasari, Kec. Sukabumi (2010)

Santri -

12 Penyerangan dan pengrusakan mesjid Ciputat, Tangerang Selatan (2010)

Sekelompok orang bersepeda motor

-

13 Pengrusakan paksa papan nama mesjid Surabaya (2010) FPI dan GUIB -

14 Pengrusakan dan pembakaran bangunan Desa Ciampea Udik, Bogor (2010)

Ratusan warga -

15 Pembakaran madrasah dan mushalla Desa Sukadana, Cianjur (2010)

Massa -

16 Pemaksaan meninggalkan kegiatan di mesjid

Makassar (2011) FPI -

17 Perusakan rumah tokoh JAI dan pusat kegiatan keagamaan

Desa Sukagalih, , Tasikmalaya (2011)

Massa 50 orang -

18 Penyerangan dan pembunuhan pengikut JAI

Desa Umbulan, Cikeusik, (2011)

Massa 3 orang meninggal,

puluhan luka-luka

19 Pengrusakan mesjid Singaparna,

Tasikmalaya (2012)

Massa

20 Pengrusakan mesjid Manislor, Kuningan

2012

Massa

Sumber: Hasil Pengolahan Data Sekunder (Media Massa)

Fenomena maraknya aksi kekerasan secara fisik maupun psikis serta menguatnya sikap intoleransi di pedesaan tidaklah berdiri sendiri. Fenomena ini merupakan cerminan apa yang terjadi secara nasional dan merambah ke pedesaan. Berbagai krisis seperti krisis kepercayaan terhadap pemerintah, krisis sosial-ekomomi, krisis hukum hingga krisis integritas dan krisis keteladanan yang tidak kunjung selesai memberikan tekanan psikologis terhadap masyarakat. Berbagai

(7)

kekerasan dan sikap-sikap intoleransi yang marak terjadi pasca jatuhnya rejim Orde Baru tentu sangat memprihatinkan di tengah berbagai persoalan bangsa, seperti penataan ekonomi, pengentasan kemiskinan dan pemberantasan korupsi. Kondisi ini tentu saja sudah mengarah pada melemahnya ikatan kebangsaan masyarakat Indonesia (Muttaqin et. al 2006).

Dalam kasus Ahmadiyah, misalnya, persoalan dan penanganan Ahmadiyah yang sudah berada pada tingkat nasional juga memberikan tekanan tersendiri pada gejala-gejala kekerasan dan intoleransi di tingkat pedesaan. Hal ini didukung oleh banyak faktor, di antaranya adalah keluarnya berbagai regulasi yang berkaitan dengan Ahmadiyah, ekses reformasi yang tidak lagi mengandung restriksi-restriksi seperti pada masa Orde Baru (Azra 2002), lemahnya penegakan hukum dan menguatnya sikap-sikap fundamentalisme keberagamaan.

Maarif Institute (2010) mencatat bahwa kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah banyak terjadi di Jawa Barat. Jawa Barat dianggap sebagai lumbung kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah dengan 117 kasus hingga pertengahan September 2010. Kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah meningkat dibandingkan pada tahun 2009 yang berjumlah 114 kasus. Melonjaknya angka kekerasan berbasis sentimen keagamaan pada 2010 ini menjadi fakta yang tak terbantahkan bahwa toleransi dan kerukunan dalam masyarakat mulai pudar.

Senada dengan laporan Maarif Institute, The Wahid Institute (2009) melaporkan bahwa kasus intoleransi keagamaan dan keyakinan yang terjadi pada tahun 2009, Jawa Barat menempati posisi paling atas dengan 32 kasus. Setelah itu Jakarta 15 kasus, Jawa Timur 14 kasus, dan Jawa Tengah 13 kasus. Di Jawa Barat, isu yang paling menghantui kehidupan keberagamaan adalah isu yang masuk dalam kategori penyebaran kebencian yang ditujukan kepada agama tertentu seperti Yahudi, Kristen, atau kelompok atau individu yang diduga sesat.

Hasil penelitian Setara Institute (Kompas, 3 Agustus 2012) juga menunjukkan peningkatan peristiwa dan tindakan intoleransi dari tahun 2007 hingga 2011 seperti yang terlihat dalam Gambar 1.

(8)

Gambar 1 Jumlah Peristiwa dan Tindakan Intoleransi Tahun 2007-2011.

Dari gambar tersebut menunjukkan bahwa sikap masyarakat cenderung intoleransi dan ada indikasi pluralisme keberagamaan memudar di Indonesia. Masyarakat Indonesia yang dulu dikenal dengan masyarakat yang santun, toleran dan menghargai perbedaan. Namun, nilai-nilai tersebut kini terlihat memudar bahkan cenderung tidak menghargai perbedaan. Mengutip pendapat Anderson (dalam Roibin 2008) mengatakan bahwa masyarakat Jawa dikenal dengan sikap relativisme, sinkritisisme dan toleransinya. Sikap-sikap ini menunjukkan keterbukaan dan lapang dada orang jawa terhadap perbedaan.

1.2. Perumusan Masalah

Indonesia dikenal sebagai salah satu negara yang paling majemuk di dunia. Kemajemukan ini disadari oleh para pendiri bangsa (founding fathers) kita, sehingga mereka merumuskan konsep pluralisme ini dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika. Bhinneka Tunggal Ika merupakan suatu pengakuan terhadap pluralisme etnik, budaya, agama, ras, dan bahasa, namun menuntut adanya persatuan dan komitmen untuk membangun Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Keragaman yang dimiliki Indonesia bisa menjadi kelebihan sekaligus sebagai kekurangan. Potensi keberagaman ini jika terjalin dengan baik akan menjadi suatu kekuatan besar sekaligus kekayaan budaya yang tak ternilai

0 50 100 150 200 250 300 350 400

Tahun 2007 Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011

Peristiwa Tindakan 135 185 265 367 291 200 216 286 244 299

(9)

harganya. Akan tetapi perbedaan ini juga berpotensi menjadi pemicu konflik dan disintegrasi sosial.

Meski dari sudut pandang agama Indonesia adalah bangsa Muslim terbesar di dunia, namun secara religio-politis dan ideologis Indonesia bukanlah “negara Islam”. Indonesia adalah negara yang didasarkan kepada ideologi resmi yang disebut Pancasila. Nur Kholis Madjid (1998) menyebut bahwa Soekarno menawarkan Pancasila sebagai modus vivendi antara nasionalisme sekular yang disuarakan kelompok nasionalis dan gagasan negara Islam yang dituntut oleh para politisi berorientasi Islam.

Meskipun merupakan salah satu bangsa Muslim terbesar di dunia, Indonesia adalah bangsa yang paling sedikit mengalami Arabisasi dibandingkan dengan bangsa-bangsa Muslim lainnya. Di samping itu, Indonesia merupakan satu di antara sedikit negara dimana Islam tidak menggantikan agama-agama yang ada sebelumnya. Hal ini disebabkan karena proses islamisasi di Indonesia berlangsung dalam cara yang sering disebut Pénétration pacifique (penetrasi secara damai) terutama oleh para pedagang dan pendakwah (Madjid 1998).

Dalam suatu negara yang majemuk seperti Indonesia sangat dibutuhkan suatu kondisi yang dapat menjamin keberlangsungan kehidupan bermasyarakat. Kondisi ini menuntut adanya suatu sifat toleransi yang tinggi dalam masyarakat. Perbedaan etnik, budaya, ras, bahasa dan agama dan keyakinan yang kita peluk bukan untuk dipertentangkan, melainkan harus diserasikan untuk mencapai cita-cita bersama sebagai anak bangsa.

Karena itu, jelas Madjid (1998) masalah Islam vis-à-vis pluralisme adalah masalah bagaimana kaum muslim mengadaptasikan diri dengan dunia modern. Dan ini, pada gilirannya, melibatkan masalah bagaimana mereka memandang dan menilai sejarah Islam, dan bagaimana mereka melihat dan menilai perubahan dan keharusan membawa masuk nilai-nilai Islam yang normatif dan universal ke dalam dialog dengan realitas ruang dan waktu.

Secara konstitusi peraturan perundang-undangan sudah mengakomodir kebebasan beragama dan berkeyakinan warga negara. Dalam konstitusi Indonesia, jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan terdapat dalam beberapa pasal. Pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 1945 hasil amandemen disebutkan: 1) “Setiap

(10)

orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkannya, serta berhak kembali”; 2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nuraninya”. Sementara itu,

Pasal 29 ayat 2 menyatakan: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk

untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”.

Indonesia juga memiliki UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) yang mengatur kebebasan beragama dan berkeyakinan khususnya pada pasal 22. Hal ini selaras dengan isi Deklarasi Universal PBB 1948 tentang HAM terutama pasal 18. Dalam perjalanannya, Indonesia juga mengeluarkan kebijakan berupa TAP MPR tahun 1998 No. XVII tentang HAM yang mengakui hak beragama sebagai hak asasi manusia yang tertera pada pasal 13. Indonesia juga memutuskan untuk meratifikasi Konvensi Internasional Hal Sipil dan Politik melalui UU No.12 Tahun 2005 yang diatur dalam Pasal 18.

Pasal-pasal dalam konstitusi di atas secara tegas memberi jaminan kebebasan beragama dan berkeyakinan sebagai bagian hak dasar warga negara. Bahkan dalam pasal 28I (4) lebih ditegaskan: “Perlindungan, pemajuan,

penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”.

Kebijakan-kebijakan negara dan pemerintah secara faktual telah menjadikan Jemaat Ahmadiyah sebagai kelompok minoritas yang harus bubarkan dalam kehidupan kenegaraan dan keagamaan di Indonesia. Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri yang berkaitan dengan Ahmadiyah merupakan kebijakan utama yang dijadikan landasan pemerintah dan kelompok garis keras (muslim puritan radikal) untuk menegasikan hak-hak dan perlindungan terhadap Jemaat Ahmadiyah (The Wahid Institute 2011).

Menurut Bagir (2011), SKB tiga menteri berpengaruh terhadap interaksi perkembangan hubungan masyarakat dengan Jemaat Ahmadiyah. Di antara pengaruh tersebut adalah adanya klaim beberapa pihak bahwa Jemaat Ahmadiyah telah melanggar SKB. Klaim tersebut lebih pada klaim-klaim kasual, atau

(11)

merupakan masalah perbedaan penafsiran tentang apa makna 12 butir kesepakatan yang dibuat pada Januari 2008 dan SKB yang dikeluarkan pada Juni 2008, dan apa yang dituntut dari keduanya.

Tabel 2 Peraturan Daerah tentang Pelarangan Kegiatan Keagamaan Jemaat Ahmadiyah

No Surat Wilayah Dikeluarkan

1 Surat Keputusan Bersama No. Kep.11/IPK.32.2/L-2.III.3/11/83

Lombok Barat Kepala Kejaksaan Negeri Selong (21-11 1983)

2 Surat Keputusan Bersama Kuningan MUSPIDA, Pimpinan DPRD, MUI, dan

pimpinan pondok pesantren dan ormas Islam Kabupaten Kuningan (3-11-2002)

3 Surat Keputusan Bersama Bogor Bupati, Ketua DPRD, Dandim 0621,

Kepala Kejaksaaan Negeri Cibinong, Kapolres, Ketua PN, DANLANUD ARS, Departemen Agama dan MUI Bogor (20-7-2005).

4 Surat Keputusan Bersama No. 450/Kep. 225 – PEM/2005

Garut Bupati Garut H. Agus Supriadi (9-8-2005)

5 Surat Keputusan Bersama No. 21 tahun 2005

Cianjur Bupati, Kepala Kejaksaaan Negeri dan Kepala Kantor Depag Kab.Cianjur (17-10-2005)

6 Surat Keputusan Bersama No. 143 tahun 2006

Sukabumi Bupati, Kajari Cibadak, Kapolres, Depag dan Ketua MUI Sukabumi (20-3-2006) 7 Peraturan Gubernur No.

563/KPT/BAN.KESBANGPOL & LINMAS/2008

Sumatera Selatan Gubernur Sumatera Selatan Mahyudin N.S, (1-9-2008)

8 SK Walikota No. 450/BKBPPM/749

Pekanbaru Walikota Pekanbaru Herman Abdullah (16-10-2010)

9 Surat Edaran Gubernur No. 223.2/803/kesbang

Sulawesi Selatan Gubernur Sul-Sel H. Syahrul Yasin Limpo (10-2-2011)

10 Peraturan Bupati No. 5 tahun 2011 Kab.Pandeglang Pj. Bupati Pandeglang Asmudji HW (21-2-2011)

11 Surat Keputusan Walikota No. 200/160/BKPPM.I/II/2011

Samarinda Walikota Samarinda H. Syahrie Ja'ang (25-2-2011)

12 Peraturan Gubernur No. 188/94/KPTS/013/2011

Jawa Timur Gubernur Jawa Timur Soekarwo (28-2-2011)

13 Peraturan Gubernur No. 12 Tahun 2011

Jawa Barat Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan (3-3-2011)

14 Surat Keputusan Walikota No. 300.45-122/2011

Bogor Walikota Bogor Diani Budiarto (3-3-2011)

15 Peraturan Bupati No. 450/PUM/2011/68

Kampar Bupati Kampar Buruanuddin Husin (16-2-2011)

16 Peraturan Gubernur No. 5 tahun 2011

Banten Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah (1-3-2011)

17 Peraturan Gubernur No. 17 Tahun 2011

Sumatera Barat Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno (24-3-2011)

18 Peraturan Bupati Kab. Bogor Bupati Bogor Rachmat Yasin

(21-3-2011) 19 Peraturan Walikota No. 09 Tahun

2011

Depok Wali Kota Depok Nur Mahmudi Ismail

Sumber: Hasil Pengolahan Data Sekunder (Media Massa)

Fatwa MUI yang dikeluarkan pada Juni 1980 dan Juli 2005 dinilai sebagian kalangan ikut memicu ketegangan antara umat Islam dan munculnnya sikap intoleransi. Bahkan bagi kelompok muslim puritan radikal seperti Front Pembela

(12)

Islam (FPI) menganggap fatwa MUI sebagai pernyataan hukum Islam (Assyaukanie 2009; Budiwanti 2009).

Indikasi relasi antara kebijakan negara atau pemerintah dengan penyerangan dan kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah ini semakin kentara memasuki tahun 2011. Penyerangan dan pembunuhan terhadap pengikut Jemaat Ahmadiyah di Cikeusik pada 6 Februari 2011 dan dikeluarkannya berbagai Peraturan Gubernur dan Bupati (lihat Tabel 2) di beberapa wilayah Indonesia semakin menunjukkan bahwa peristiwa-peristiwa penyerangan dan kekerasan terhadap kelompok Jemaat Ahmadiyah ini tidak bisa dilepaskan dari adanya kebijakan negara atau pemerintah yang tidak adil terhadap warganya.

Negara sesungguhnya memiliki otoritas dan kewenangan untuk menjamin pelaksanaan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Lemahnya kapasitas pemerintah untuk bertindak tegas dan menjamin pelaksanaan kebebasan beragama dan berkeyakinan seringkali membuat negara berpihak pada kelompok tertentu dan bertindak intoleran dan diskriminatif terhadap kelompok tertentu dengan melakukan pembatasan terhadap kebebasan tersebut melalui kebijakan yang dikeluarkan (Soegiharti 2009).

Berdasarkan uraian di atas, maka dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana tokoh agama, pemerintahan desa dan masyarakat merespon keberadaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia?

2. Bagaimana proses konflik dan proses akomodasi terjadi antara masyarakat dan Jemaat Ahmadiyah Indonesia?

3. Mengapa nilai-nilai toleransi dan pluralisme memudar di kalangan masyarakat pedesaan?

1.3. Tujuan Penelitian

Berkaitan dengan masalah yang telah dikemukakan di atas, maka secara umum penelitian ini bertujuan menemukan gambaran umum tentang kehidupan toleransi dan pluralisme di pedesaan sebagai konsekuensi dari adanya pluralitas keberagamaan di Desa Cikeukeuh, Propinsi Jawa Barat. Secara lebih rinci tujuan khusus yang ingin dicapai adalah:

(13)

1. Mengetahui dan menganalisa respon tokoh agama, pemerintahan desa dan masyarakat atas keberadaan Jemaat Ahmadiyah Indonesia

2. Mengetahui dan menganalisa proses munculnya konflik dan proses akomodasi antara masyarakat dan Jemaat Ahmadiyah Indonesia

3. Menganalisa penyebab memudarnya nilai-nilai toleransi dan pluralisme di kalangan masyarakat pedesaan

1.4. Manfaat Penelitian

Kajian tentang pluralisme di pedesaan tidak saja ingin melihat adanya pluralitas yang terdapat di tengah masyarakat, melainkan juga melihat semakin menguatnya resistensi akan pluralitas tersebut di kalangan masyarakat yang mengarah pada tindakan kekerasan. Sikap seperti ini tentu saja bertentangan dengan konstitusi yang mendukung perbedaan apa pun.

Manfaat dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi analisis terhadap bagaimana respon masyarakat terhadap kelompok Jemaat Ahmadiyah bagi terciptanya kehidupan keberagamaan yang pluralis. Secara akademis, penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan pengetahuan baru tentang hubungan sosial Jemaat Ahmadiyah (minoritas) dengan non Jemaat Ahmadiyah (mayoritas) di tengah pluralisme keberagamaan. Sementara itu, secara praktis, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi atau masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan untuk menyusun kebijakan hubungan antarumat yang berbeda keyakinan dan pencegahan konflik dalam kerangka Pancasila dan UUD 1945.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini fokus pada kajian tentang bagaimana kehidupan pluralisme di pedesaan. Penelitian ini tidak hanya melihat bagaimana pluralisme itu ada, melainkan juga bagaimana proses pluralisme itu memudar seiring dengan perjalanan kehidupan keberagamaan di pedesaan. Pluralisme yang dimaksud di sini adalah pluralisme keberagamaan antara Jemaat Ahmadiyah dan non Jemaat Ahmadiyah. Sementara yang di maksud dengan Ahmadiyah dalam penelitian ini adalah Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) atau Ahmadiyah Qadian.

Gambar

Tabel 1 Kekerasan Massa terhadap Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)
Gambar 1 Jumlah Peristiwa dan Tindakan Intoleransi Tahun 2007-2011.
Tabel 2   Peraturan Daerah tentang Pelarangan Kegiatan Keagamaan Jemaat  Ahmadiyah

Referensi

Dokumen terkait

Pedoman Persyaratan dan Tindakan Karantina Sarang Walet, serta Registrasi Karantina terhadap Tempat Pemrosesan dan Tempat Produksi Sarang Walet untuk Pengeluaran Sarang

Berbagi linkmelalui note dapat dilakukan oleh guru Anda, kawan-kawan Anda, maupun Anda sendiri. Apabila Anda ingin berdiskusi atau menanyakan sesuatu melalui

7.4.1 Laksana pelepasan, rujuk buku Panduan Ternakan Ikan Air Tawar (OPR/TPU/BP/TERNAKAN/Ikan Air Tawar) atau Modul AFS2001 Siri 6 – Penternakan Hidupan Akuatik dan rekodkan

Perbedaan muatan kurikulum di SMA dan MA, masalah-masalah yang dihadapi remaja pada jenjang sekolah menengah serta perbedaan hasil penelitian dari Rosemary (2008) yang menyebutkan

Berikut merupakan salah satu contoh pengujian yang dilakukan pada aplikasi ARMIPA yaitu pengujian ketepatan titik lokasi pada peta dan kamera dengan markerless

Komunikasi dan Informatika, yang mencakup audit kinerja atas pengelolaan keuangan negara dan audit kinerja atas pelaksanaan tugas dan fungsi Kementerian Komunikasi dan

dimana analisis mutu dilakukan pengujian dilaboratorium yang meliputi uji kuat tarik untuk material baja ringan benda uji dibuat menjadi spesimen berdasarkan standar ASTM

Pada Ruang Baca Pascasarjan perlu dilakukan pemebersihan debu baik pada koleksi yang sering dipakai pengguna maupun