• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Stres kerja merupakan sebuah fenomena gunung es. Kasus-kasus yang muncul

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Stres kerja merupakan sebuah fenomena gunung es. Kasus-kasus yang muncul"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Stres kerja merupakan sebuah fenomena gunung es. Kasus-kasus yang muncul di masyarakat hanya sebagian kecil dari kasus-kasus yang sebenarnya ada. Banyaknya kasus yang tidak terlaporkan berisiko makin meluasnya masalah stres kerja dengan segala dampaknya.

The Fourth European Working Condition Survey menunjukkan bahwa di tahun 2005, 20% pekerja dari 15 Negara Eropa dan 30% pada 10 negara anggota baru Uni Eropa lainnya mengalami work-related stress (Mansyur, 2011). Tuntutan beban tugas yang semakin kompleks disertai relationship yang tidak harmonis di tempat kerja merupakan sumber utama timbulnya stres pada pekerja (Kawakami, 2010a).

Stres kerja dapat mempengaruhi kualitas kehidupan kerja karena berdampak kepada penurunan work ability (WA) atau kemampuan kerja (Susy-Purnawati, 2009a; Kumashiro, 2003), menurunkan kemampuan kognitif (Chebykin dan Maksumenko, 2008), dan dapat memicu risky behavior (Borrins, 2011).

Untuk mengantisipasi masalah stres kerja diperlukan penerapan program manajemen stres yang dapat menurunkan stresor, menurunkan distres psikologis maupun gangguan muskuloskeletal, serta menurunkan kortisol darah dan meningkatkan WA dan kepuasan kerja. Program tersebut pada akhirnya diharapkan mampu meningkatkan quality of work life (Edimansyah dkk., 2008; Caple, 2009; Susy-Purnawati, 2009b; Ilmarinen, 2003). Isu tentang program manajemen stres di

(2)

bidang kesehatan kerja dimulai populer pada era tahun 1970-an di Amerika, setelah U.S. Department of Health and Human Services yang dilaksanakan pada tahun 1985, 1992, dan 1999 menemukan bahwa prevalensi dari program (termasuk konseling tentang stres kerja di sektor swasta) pada tahun tersebut hanya berkisar 27%, 37%, dan 48% (Richardson dan Rothstein, 2008). Kemudian barulah isu ini membuat negara-negara maju lainnya termasuk negara-negara uni Eropa dan Asia termasuk Jepang menaruh perhatian yang serius untuk melakukan strategi penanggulangan.

Meskipun dengan latar belakang atau alasan yang berbeda, Negara Jepang misalnya, mulai sangat serius mengantisipasi masalah kesehatan mental di industri akibat tingginya biaya klaim kasus-kasus penyakit mental akibat kerja yang harus dibayarkan oleh perusahaan ketika pengadilan dapat membuktikan bahwa penyakit mental ataupun kematian (akibat bunuh diri yang dikenal dengan istilah karoshi atau dead by work) terjadi karena berhubungan dengan pekerjaannya (Kawakami, 2010a). Saat ini, penerapan praktis maupun studi-studi tentang program manajemen stres di tempat kerja masih sangat jarang di Indonesia. Di Indonesia, seperti juga di negara berkembang lainnya, perhatian pelaku-pelaku industri masih dominan pada masalah-masalah pengendalian bahaya pajanan faktor fisik dan kimia. Faktor risiko lainnya termasuk masalah stres kerja dan gangguan kesehatan mental pekerja belum banyak dikaji secara mendalam (Den dkk., 2011). Belum ada aturan-aturan maupun program khusus yang diterapkan di perusahaan sebagai tindak lanjut dari regulasi pemerintah sehubungan dengan masalah stres kerja ataupun masalah kesehatan

(3)

mental pekerja secara umum. Tampaknya ketertarikan tentang penanggulangan masalah stres kerja hanya baru tumbuh di kalangan akademisi dan sebagian kecil dokter perusahaan, kemudian eksplorasi tentang isu stres kerja mulai menjadi topik-topik penelitian, meskipun masih sangat terbatas (Soemarko, 2003; Ambarwati, 2004).

Penelitian tentang stres kerja yang sudah dilakukan di Indonesia, di antaranya dilakukan oleh Prayitno pada tahun 1993(dalam Ambarwati, 2004), yang meneliti 52 orang staf di perusahaan minyak lepas pantai. Hasilnya, didapatkan bahwa pekerja dengan stres kerja yang terpapar stresor berat ditemukan 40,38%. Zackya (2008) menemukan stresor dominan (83%) pada karyawan redaksi surat kabar di Jakarta yang mengalami stres kerja akibat beban kerja kuantitatif yang dirasakan berlebihan. Penelitian-penelitian lainnya mengungkap kondisi gangguan mental pada pekerja sehubungan dengan kondisi stres kerja yang dialami, diantaranya: (1) yang dilakukan terhadap perawat wanita di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusuma Jakarta yang menemukan prevalensi gejala gangguan mental emosional sebesar 17,7%; (2) penelitian terhadap pilot dan kopilot sipil suatu perusahaan penerbangan di Jakarta yang mendapatkan prevalensi gangguan status emosional sebesar 39,4% (Ambar, 2004).

Di antara berbagai industri, industri perbankan merupakan industri jasa yang dituntut dapat memberi layanan yang memuaskan bagi pelanggan. Dalam era persaingan bisnis dewasa ini, berbagai upaya dilakukan industri perbankan agar mampu menjadi pemenang dalam persaingan secara berkesinambungan.

(4)

Pemberdayaan sumber daya manusia tentunya merupakan prioritas dalam program perbaikan di tempat kerja (Manuaba, 2008; Manothum dkk., 2008) selain upaya penguasaan teknologi tinggi dan terbaru serta strategi merebut pasar. Tingginya target penampilan kerja di suatu industri tentunya harus didukung oleh kapasitas kerja dan perilaku organisasi yang positif (organizational citizenship behavior) dari karyawannya (Utomo, 2002; Inoue, 2010). Sesuai dengan tuntutan tugas yang kompleks dalam pekerjaan perbankan, pengetahuan dan keterampilan terbaru penerapan teknologi perbankan harus dapat dikuasai dengan cepat oleh karyawan. Idealnya, tuntutan tugas atau beban kerja harus seimbang dengan kapasitas kerja karyawan. Jika terjadi ketidakseimbangan dapat berdampak timbulnya stres kerja.

Berdasarkan studi pendahuluan (Susy-Purnawati, 2009b) yang dilakukan terhadap 12 orang karyawan sebuah bank di Bali, didapatkan informasi bahwa kondisi stres dirasakan oleh karyawan yang ditandai dengan tanda-tanda gelisah, uring-uringan, temperamental dan gangguan konsentrasi. Studi lainnya (Susy-Purnawati, 2010) dalam bentuk plan survey dan metode focus group discussion (Corlet, 2005) pada sebuah bank swasta di Bali, menemukan beberapa stresor baik yang bersumber dari faktor tugas (task), organisasi, maupun faktor lingkungan kerja. Adanya hubungan interpersonal yang kurang harmonis pada beberapa karyawan, kebingungan akan peran, belum adanya rincian yang jelas tentang tugas-tugas dan alur kerja, target kerja atau beban kerja kuantitatif dan kualitatif yang tinggi tanpa sistem dukungan yang memadai, ketidak-amanan kerja, peluang dan kesempatan karir yang belum jelas bagi pekerja. Selain itu, tuntutan tugas yang berhadapan langsung

(5)

dengan uang berakibat karyawan harus bertindak sangat hati-hati dan teliti pada saat yang bersamaan dengan tuntutan kecepatan kerja yang tinggi. Berdasarkan data laporan Bagian Personalia didapatkan data angka merokok karyawan sebesar 40% (yang dapat merupakan perilaku maladaptasi akibat adanya masalah psikologis), serta terdapat karyawan yang mangkir kerja karena merasakan tekanan di tempat kerja dan saat ini masih dalam pembinaan staf personalia. Angka absen sakit karyawan rerata dalam dua bulan sebanyak delapan orang dari 40 orang karyawan, dengan biaya berobat dua bulan terakhir yaitu pada bulan Januari s.d. Februari sebesar Rp. 7.325.000. Biaya berobat ini tergolong cukup besar bagi perusahaan yang menanggung 80% biaya berobat karyawan.

Masalah lainnya adalah sistem perekrutan karyawan dilakukan tanpa grading system serta masalah layout area kerja dan stasiun kerja yang belum ergonomis. Posisi penempatan monitor dan desain meja mengakibatkan pengguna komputer harus melakukan kerja dengan sikap kerja yang tidak alamiah, yaitu posisi badan memutar ke samping sekitar 30 derajat karena ruang kaki yang tidak memadai, kepala merunduk lebih dari 20 derajat akibat posisi monitor yang terlalu rendah, dan lengan teregang dengan siku menjauhi sumbu badan dalam waktu kerja yang lama. Beberapa pekerja yang pendek (misalnya pekerja-pekerja dengan ukuran tinggi lutut posisi duduk sekitar 53 cm), tidak memanfaatkan injakan kaki untuk mencegah posisi kaki yang menggantung yang berakibat terganggunya aliran darah sehingga mempercepat timbulnya kelelahan.

(6)

Pengukuran antropometri menunjukkan rerata tinggi lutut posisi duduk adalah 57,16 cm (SB 2,38), dan pengukuran ruang kaki di bawah meja kerja adalah 65,3 cm. Faktor kondisi kerja yang mempercepat timbulnya kelelahan dan ketidakpuasan kerja, berkombinasi dengan faktor-faktor distres psikologis di tempat kerja akan berakibat stres kerja pada karyawan.

Pengukuran pada 15 orang karyawan dalam studi pendahuluan (Susy-Purnawati, 2010) yang dilakukan pada sebuah bank di Denpasar didapatkan rerata skor stres memakai kuesioner indeks stres didapatkan sebesar 66,07 (yang termasuk kategori sedang). Rerata skor keluhan muskuloskeletal 32, 4 yang mengindikasikan keluhan-keluhan rasa sakit pada bagian-bagian tubuh terutama pada bahu dan pinggang, dan nilai rerata kadar kortisol darah didapatkan sebesar 12,6 µg/dl. Nilai kortisol ini lebih tinggi dari rerata kadar kortisol penderita post traumatic stress disorders yang ditemukan dalam penelitian Flory dkk., (2009) yaitu sebesar 11,6 µg/dl, serta lebih tinggi dari kadar kortisol darah mahasiswa yang mengalami stres akademik yaitu sebesar 9,90 µg/dl (Ariwangsa, 2006).

Program manajemen stres kerja tidak saja penting bagi produktivitas dan moral maupun image perusahaan, tetapi juga penting bagi individu atau karyawan sendiri dan masyarakat pada umumnya. Jenis program manajemen stres kerja yang dibahas dalam penelitian ini merupakan pencegahan stres kerja yang bersifat pencegahan primer. Pencegahan primer stres kerja dikategorikan berdasarkan pendekatan dalam fokus program tersebut, yaitu: (1) Pendekatan organisasi (improvement of psychosocial environment); (2) Education/training of managers and

(7)

supervisors; (3) Individual-oriented stress management (Shimazu dkk., 2006; Kawakami, 2010a). Laporan studi meta analisis oleh Richardson dan Rothstein (2008) menemukan effect size studi intervensi manajemen stres menggunakan metode cognitive-behavioral terhadap distres psikologis dapat mencapai sebesar 1,26. Sedangkan studi intervensi metode lainnya mendapatkan effect size yang lebih kecil.

Dalam penelitian ini, jenis intervensi yang ingin dibuktikan melalui hipotesis penelitian adalah program manajemen stres kerja berbasis ergonomi yang diberi nama Ergo-JSI yang merupakan singkatan dari ergonomics job stress intervention. Pemberian nama Ergo-JSI mengacu pada alasan bahwa program ini disusun dengan pendekatan ergonomi partisipatori, mencakup pendekatan organisasi dan berorientasi individu. Pendekatan individu dalam penelitian ini merupakan metode yang juga mengacu kepada metode cognitive-behavioral, yaitu upaya menata kembali pola pikir, emosi dan perilaku menjadi lebih positif dalam merespon stresor (Smith, 2002; Montgomery, 2008). Selain itu, Ergo-JSI juga mempertimbangkan faktor sosial budaya yang sesuai dengan kondisi pekerja di tempat penelitian dilakukan.

Dalam paparan ergonomi, studi tentang stres kerja berawal dari konsep teori the person-environment fit, yaitu teori tentang penyesuaian antara individu dengan lingkungannya (lingkungan dalam arti luas tidak hanya lingkungan fisik tetapi juga sosial) (Kroemer dan Grandjean, 2000). Pendekatan ini lebih menonjolkan faktor organisasi yaitu aspek seleksi pekerja dan pelatihan-pelatihan bagi individu termasuk faktor lingkungan. Perbaikan kondisi kerja dan pendekatan individu (Kroemer, 2009; Shimazu, 2010) sebagai aplikasi ergonomi sangat dibutuhkan untuk mengantisipasi

(8)

berbagai faktor yang berdampak pada kesehatan mental pekerja, produktivitas (Kroemer dan Grandjean, 2000; Meloni dkk., 2009) dan kepuasan kerja (Merwe, 1988; Croon dkk., 2002). Termasuk di dalamnya adalah segala upaya perbaikan kondisi kerja termasuk faktor psikososial dan pemberdayaan mekanisme coping pekerja dalam mengatasi stres kerja (Cooper dan O‟Driscoll, 2009; Kroemer, 2009; Jannati dkk., 2011). Menurut Bridger (2003), kegagalan-kegagalan penerapan ergonomi selama ini terjadi karena diabaikannya faktor psikososial di tempat kerja. Karena faktor psikososial merupakan perantara perubahan persepsi maupun perilaku pekerja ke arah kecenderungan terkena ataupun terhindar dari penyakit akibat kerja (Bridger, 2003).

Beberapa bukti manfaat penerapan program manajemen stres terhadap kondisi kesehatan mental karyawan telah dilaporkan di Negara Inggris (Kompier dan Cooper, 2008), Negara Uni Eropa dan juga di Negara Jepang (Kawakami, 2010a; Shimazu, 2010). Metode yang diterapkan dalam program berbeda-beda. Perusahaan Manhattan Finance and Advertising mencoba menerapkan yoga, sedangkan Perusahan Glaxo Wellcome, Railtrack, dan Smith Kline Beecham menerapkan regular massage breaks. Program-program tersebut dominan merupakan program yang hanya berorientasi individu tanpa memperhitungkan stresor eksternal atau faktor kondisi kerja dan lingkungannya. Sedangkan Negara Jepang menerapkan program yang lebih lengkap dari program-program yang telah diaplikasikan oleh beberapa perusahaan di atas. Kelebihannya, program dilakukan selain berorientasi individu dan pelatihan supervisor, juga mencoba mengaplikasikan pendekatan organisasi melalui perbaikan

(9)

kondisi kerja (Kawakami, 2010a). Mengingat perbedaan program-program yang diterapkan, tentunya masih dibutuhkan adanya studi-studi tentang program stres kerja yang aplikatif di tempat kerja yang nantinya bisa dipakai untuk acuan bagi praktisi di bidang kesehatan kerja.

Di Indonesia, sampai saat ini upaya-upaya penerapan strategi manajemen stres kerja dalam bentuk penelitian maupun aplikasi langsung di masyarakat industri tampak belum populer. Beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia, seperti yang diuraikan di atas, masih terbatas pada penemuan fakta-fakta tentang kejadian stres kerja pada karyawan dalam bentuk studi cross-sectional (Ambarwati, 2004). Belum sampai kepada penelitian intervensi penerapan program manajemen stres kerja yang efektif sebagai solusi dari kondisi stres kerja di industri. Sehingga masih diperlukan penelitian-penelitian eksperimen untuk menemukan jenis intervensi atau program manajemen stres kerja yang aplikatif dan bermanfaat bagi kesehatan pekerja maupun perusahaan. Dalam penelitian ini, efek aplikasi program manajemen stres Ergo-JSI dalam menurunkan stres kerja dinilai dengan beberapa parameter yaitu: stresor, distres psikologis, keluhan muskuloskeletal, work ability indeks (WAI), kadar kortisol darah dan kepuasan kerja.

1.2 Rumusan Masalah Penelitian

Mengacu dari latar belakang permasalahan di atas, maka dalam penelitian ini dapat dirumuskan masalah-masalah sebagai berikut:

(10)

1. Apakah aplikasi program menajemen stres kerja berbasis ergonomi (Ergo-JSI) menurunkan stresor karyawan pada Bank Swasta Nasional ”X” di Denpasar Bali?

2. Apakah aplikasi program menajemen stres kerja berbasis ergonomi (Ergo-JSI) menurunkan distres psikologis karyawan pada Bank Swasta Nasional ”X” di Denpasar Bali?

3. Apakah aplikasi program menajemen stres kerja kerja berbasis ergonomi (Ergo-JSI) menurunkan keluhan muskuloskeletal karyawan pada Bank Swasta Nasional ”X” di Denpasar Bali?

4. Apakah aplikasi program menajemen stres kerja berbasis ergonomi (Ergo-JSI) meningkatkan WAI karyawan pada Bank Swasta Nasional ”X” di Denpasar Bali?

5. Apakah aplikasi program menajemen stres kerja berbasis ergonomi (Ergo-JSI) menurunkan kadar kortisol darah karyawan pada Bank Swasta Nasional ”X” di Denpasar Bali?

6. Apakah aplikasi program menajemen stres kerja berbasis ergonomi (Ergo-JSI) meningkatkan kepuasan kerja karyawan pada Bank Swasta Nasional ”X” di Denpasar Bali?

(11)

1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan umum

Melalui aplikasi program manajemen stres kerja berbasis ergonomi (Ergo-JSI) diharapkan insiden stres kerja pada pekerja dapat diturunkan. Selain itu juga dapat dilakukan upaya-upaya pencegahan stres kerja secara dini di tempat kerja.

1.3.2. Tujuan khusus

Tujuan utama penelitian adalah untuk mengetahui efek aplikasi program manajemen stres kerja berbasis ergonomi (Ergo-JSI) terhadap penurunan stres kerja karyawan Bank Swasta Nasional ”X” di Denpasar Bali. Secara lebih khusus penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui aplikasi program manajemen stres kerja berbasis ergonomi (Ergo-JSI) menurunkan stresor karyawan pada Bank Swasta Nasional “X” di Denpasar Bali.

2. Mengetahui aplikasi program manajemen stres kerja berbasis ergonomi (Ergo-JSI) menurunkan distres psikologis karyawan pada Bank Swasta Nasional “X” di Denpasar Bali.

3. Mengetahui aplikasi program manajemen stres kerja berbasis ergonomi (Ergo-JSI) menurunkan keluhan muskuloskeletal karyawan pada Bank Swasta Nasional “X” di Denpasar Bali.

(12)

4. Mengetahui aplikasi program manajemen stres kerja berbasis ergonomi (Ergo-JSI) menurunkan kadar kortisol darah karyawan pada Bank Swasta Nasional “X” di Denpasar Bali.

5. Mengetahui aplikasi aplikasi program manajemen stres kerja berbasis ergonomi (Ergo-JSI) meningkatkan WAI karyawan pada Bank Swasta Nasional “X” di Denpasar Bali.

6. Mengetahui aplikasi aplikasi program manajemen stres kerja berbasis ergonomi (Ergo-JSI) meningkatkan kepuasan kerja karyawan pada Bank Swasta Nasional “X” di Denpasar Bali.

1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat teoritis

Dapat menjelaskan secara teoritis dampak penerapan program manajemen stres terhadap perubahan kondisi psikofisiologis tubuh berdasarkan kajian aspek ergonomi.

1.4.2 Manfaat praktis a. Bagi Perusahaan:

Dengan mengetahui efektivitas program manajemen stres kerja diharapkan pada masa mendatang dapat dilakukan upaya-upaya pencegahan / pengendalian stres kerja secara dini dan lebih terarah. Sehingga karyawan Bank Swasta Nasional ”X” di Denpasar Bali dapat melakukan pekerjaannya

(13)

dalam kondisi kerja yang lebih baik, terhindar dari penyakit-penyakit sebagai dampak stres kerja, lebih produktif, serta memiliki kepuasan kerja yang tinggi. Dengan demikian maka image perusahaan dan produktivitas kerja menjadi lebih baik.

b. Bagi Peneliti:

Meningkatkan wawasan keilmuan dalam hal menemukan solusi atas permasalahan ergonomi di perusahaan, serta memiliki pengalaman merancang dan menilai aplikasi program manajemen stres di perusahaan dan di masyarakat pada umumnya.

c. Bagi Keilmuan:

Memperkaya referensi sebagai hasil kajian secara mendalam tentang landasan teori manajemen stres kerja dan menyumbangkan temuan sebuah program manajemen stres kerja berbasis ergonomi yang aplikatif.

Referensi

Dokumen terkait

Ketika peneliti yang sedang berbelanja di Pasar Majenang pada tanggal 2 Januari 2012, peneliti melihat pemilik sebuah toko sedang berbicara dengan karyawannya

Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa Tidak adanya pemerataan dalam pengadaan SDM Kesehatan melalui jumlah formasi yang masih minim yang diberikan oleh

Impor produk jagung yang didistribusikan didalam maupun diluar Jawa Timur baik untuk konsumsi maupun industri sampai dengan tahun bulan Januari tahun 2014

[r]

Sebagai konsep, active learning adalah suatu proses kegiatan belajar mengajar yang subyek didiknya terlibat secara intelektual dan emosional sehingga ia betul-betul

Sludge biogas merupakan pupuk organik yang dapat memperbaiki kandungan hara di lahan kering, dimana dapat memperbaiki dan menaikan keseuburan tanah tersebut sehingga

Pondok Pesantren Al-Hikmah 2 diteliti dalam hal bagaimana model pendidikan Islam anti radikalisme yang dilakukan, yang meliputi kegiatan pesantren, kurikulum,