• Tidak ada hasil yang ditemukan

Qath i dan Zhanni Al-Qur an dan Al-Sunnah dalam Proses Pengembangan Dakwah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Qath i dan Zhanni Al-Qur an dan Al-Sunnah dalam Proses Pengembangan Dakwah"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

Diterima: Juli 2018. Disetujui: Agustus 2018. Dipublikasikan: September 2018 1

https://jurnal.fdk.uinsgd.ac.id/index.php/tamkin

Qath’i dan Zhanni Al-Qur’an dan Al-Sunnah dalam Proses

Pengembangan Dakwah

Khoirizi H Dasir

1Jurusan Manajemen Dakwah, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Sunan Gunung Djati,

Bandung * khoirizy@gmail.com

ABSTRAK

Tulisan ini mencoba mengkaji pembahasan satu hal penting terkait kajian ushul fiqh yaitu qath’i dan zhanni. Qath’i dan zhanni menurut pandangan Ulama ushuliyyun salaf (era klasik) sebagai konsepsi umum yang wajar dipakai dan dianggap final, tetapi di era modern ini konsep ini menjadi perbincangan yang serius. Gugatan dan kegelisahan ulama ushulliyun khalaf (era kontemporer) mencoba membuka peluang untuk terjadinya ijtihad dan interpretasi terhadap ayat-ayat qath’i. Penulisan ini mengambil mentode normatif-analitis, dimana teks-teks ayat al-Quran dicoba dibedah beradasarkan pemilahan ayat-ayat qath’i dan zhanni, dimana didapatkan kesimpulan ayat-ayat qath’i jumlahnya sangat minim sekali dibanding dengan ayat-ayat zhanni. Dan perbedaan pandangan ulama Ushul melihat sebuah eksistensi qath’i apakah berdiri berdiri atau harus ada penguat (qarinah) lain dan semakin berkembangnya dinamika kehidupan sosiokultural pada saat ini dibandingkan kondisi pada saat turunnya nash. Hal ini pula yang menyebabkan sebagian ulama kontemporer menganggap perlu adanya ijtihad dan interpretasi terhadap nash-nash yang qath’i.

Kata Kunci : qath’i, zhanni, interpretasi

ABSTRACT

This paper tries to examine the discussion of one important thing related to the study of ushul fiqh, namely qath'i and zhanni. Qath'i and zhanni according to the views of the Ulama ushuliyyun salaf (classical era) as general conceptions that are reasonable to use and considered final, but in this modern era this concept has become a serious topic of discussion. The complaints and anxiety of the ushulliyun khalaf (contemporary era) scholars tried to open up opportunities for ijtihad and interpretation of qath'i verses. This writing takes a normative-analytical method, in which the texts of the Qur'anic verses are tried to be dissected based on the division of qath'i and zhanni verses, where it is concluded that the number of qath'i verses is very minimal compared to zhanni verses. And the different views of Ushul scholars see the existence of qath'i whether standing or there must be other reinforcement (qarinah) and the development of the dynamics of socio-cultural life at this time compared to the conditions at the time of the decline of the texts. This also causes some contemporary scholars to consider the need for ijtihad and interpretation of qath'i texts.

(2)

2 Tamkin: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam Vol. 3 No. 3 (2018) 01-16 PENDAHULUAN

Al-Qur’an adalah kitab Samawi yang terakhir diturunkan oleh Allah Swt kepada Nabi Muhammad Saw untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan sampai saat ini yang begitu terang benderang, melalui perantaraan Jibril, berisi pedoman dan petunjuk kepada umat manusia, agar manusia dapat memperoleh kehidupan yang Bahagia di Dunia dan Akhirat.

Sebagai kitab Samawi yang merupakan Kalam Allah, tidak terdapat perbedaan pendapat di kalangan umat Islam menyangkut kebenaran sumbernya. Dalam kajian terhadap al Qur’an, ada dua hal penting yang mutlak diperhatikan, yaitu al tsubut (kebenaran sumber) dan al dalalah (kandungan makna). Dari sisi al subut al qur’an, tidak ada perbedaan pandangan di kalangan umat islam tentang kebenaran sumbernya (qath’i tsubut) berasal dari Alloh karena sampai kepada umat islam secara mutawatir sehingga memfaedahkan yakin.

Sementara dari sisi dalalah atau kandungan redaksi ayat ayat al quran yang berkaitan dengan hukum, dapat dibedakan atas ayat ayat yang qath’i dan zhanni. Kajian mendalam terhadap ayat ayat al quran menunjukan bahwa adanya ayat ayat yang qath’i dan zhanni merupakan ciri al quran tersendiri dalam menjelaskan hukum (ahkam). Atas dasar ini, yang menjadi pertimbangan dalam pengkajiannya adalah tabi’at ayat itu sendiri. Dalam hal ini, alloh memang secara sengaja menempatkan suatu ayat qath’i dan yang lain zhanni dengan maksud dan makna tertentu.

Pembahasan qath’i dan zhanni hanya dapat ditemukan di kalangan ahli ushul fiqh ketika mereka menganalisis kebenaran sumber suatu dalil atas tiga bentuk, yaitu nas, zahir, dan mujmal. Dalil dalam kategori nas diartikan oleh oleh jumhur ushul fiqh sebagai dalil yang tidak memiliki kemungkinan makna lain. Sedangkan dalil dalam kategori zahir dan mujmal termasuk dalil yang bersifat zhanni, karena makna dalil dalam kategori ini masih mengandung kemungkinan makna lain.

Ulama Ushul Fiqh ada yang menegaskan bahwa sifat dalil itu adalah menunjukan kepada hukum syar’i secara konklusif (qath’i), kalau tidak menunjukan kepada hukum syar’i secara konklusif (qath’i), melainkan hanya dugaan kuat (zhanni) maka disebut dengan amarah (tanda tanda hukum). Akan tetapi pengertian yang umum di kalangan para ulama Ushul Fiqh adalah bahwa dalil dalil itu meliputi semua sumber hukum (Mashadir al ahkam) yang menunjukan kepada hukum syar’i, baik secara qath’I maupun secara zhanni.

Konsep Qath’I dan Zhanni menurut pandangan Ulama ushuliyyun salaf (era klasik) sebagai konsepsi umum yang wajar dipakai dan dianggap final, tetapi di era modern ini konsep ini menjadi perbincangan yang serius. Gugatan dan kegelisahan ulama ushulliyun khalaf (era kontemporer) dengan lebih banyak mereka mendasarkan pada penolakan terhadap cara berpijak atas teks yang

(3)

Tamkin: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam Vol. 3 No. 3 (2018) 01-16 3

mengabaikan substansi dari suatu teks. LANDASAN TEORITIS

Pengertian Qath’I dan Zhanni, Secara Bahasa yang dimaksud dengan qath’i adalah putus, pasti, atau diam. Qath’I dan Zhanni merupakan salah satu bahasan yang cukup rumit di kalangan Ushuliyun atau ulama ahli ushul fiqh ketika mereka berhadapan dengan kekuatan suatu hukum (hujjah suatu dalil) atau sumber suatu dalil. Menurut Muhammad Hasim Kamali , Qath’i secara etimologi bermakna yang definitive (pasti). Sedangkan Zhanni bermakna yang spekulatif (sangkaan).

Menurut Abdul Wahab Khallaf , qath’I adalah sesuatu yang menunjukan kepada makna tertentu dari suatu teks (ayat atau hadits). Qath’i tidak mengandung kemungkinan ta’wil serta tidak dapat memaknai selain makna dari teks tersebut.

Seperti firman Allah SWT:

ْ مُكَل َو ُْف صِن اَم َْك َرَت مُكُجا َو زَأ نِا مَّل نُكَي َّْنُهَّل ْ دَل َو

“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kamu jika mereka tidak mempunyai anak”.

Penunjukkan makna (al-dalalah) ayat tersebut adalah qath’i, yaitu jelas dan pasti, sehingga tidak boleh dita’wil dan dipahami selain yang ditunjukkan oleh ayat tersebut. Dengan demikian, bagian seorang suami dalam mewarisi harta peninggalan istrinya yang meninggal dengan tanpa ada anak adalah setengah dari harta peninggalannya.

Menurut Muhammad Hashim Kamali, Nash qath’i adalah nash yang jelas dan tertentu yang hanya memiliki satu makna dan tidak terbuka untuk makna lain, atau hanya memiki satu penafsiran dan tidak terbuka untuk penafsiran lain. Dalil Qath’i yang dirumuskan Asy Syatibi adalah suatu dalil yang asal usul historisnya (al wurud), penunjukkan kepada makna (ad dalalah) atau kekuatan argumentatif maknanya itu sendiri (al hujjiyah) bersifat pasti dan meyakinkan, seperti kepastian kita tentang adanya seseorang yang bernama Hatim, yang kita ketahui dari banyaknya kejadian kejadian dan laporan laporan mengenainya . Atau seperti kepastian kita tentang adanya Kota Makkah dan Negara Mesir karena kemutawattiran berita berita mengenainya sehingga seakan akan kita melihatnya langsung .

Menurut Asy Syatibi, ke qath’i an makna yang ditunjukkan oleh dalil tidak selalu lahir dari kekuatan dalil itu sendiri. Dengan kata lain, suatu dalil tidak secara berdiri sendiri menunjukkan kepada makna qath’I, sebagaimana yang disebutkan oleh Asy Syatibi; ..adanya ke qath’i an , dalam pengertian yang umum dipakai pada dalil dalil syar’I secara satu persatu adalah mustahil atau amat langka . Ketidak qath’i an itu dapat disebabkan oleh kemungkinan kemungkinan historis, misalnya asal usul dalil tersebut secara historis (al-wurud) memang belum meyakinkan, dan apabila asal usul historisnya telah terbukti shahih dan qath’I, dalil tersebut masih

(4)

4 Tamkin: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam Vol. 3 No. 3 (2018) 01-16

akan diliputi oleh kemungkinan kemungkinan gramatikal dan semantic, misalnya da perbedaan bacaan (qira’ah) yang disebabkan oleh perbedaan analisis sintaksis, adanya makna ganda (musytarak), dan lain lain.

Menurut Muhammad Hashim Kamali ayat al-Qur’an yang bersifat zhanni (spekulatif) adalah kebalikan dari ayat yang bersifat qath’i (definitif), ia terbuka bagi pemaknaan, penafsiran dan ijtihad. Penafsiran yang terbaik adalah penafsiran yang dijumpai secara keseluruhan dalam al-Qur’an dan mencari penjelasan penjelasan yang diperlukan pada bagian yang lain dalam konteks yang sama atau bahkan berbeda.

Adapun zhanni menurut kesepakatan ulama adalah dalil (ayat atau hadis) yang menunjuk kepada suatu makna yang mengandung pengertian lain.

Dalil Zhanni adalah suatu dalil yang asal-usul historisnya (al-wurud), penunjukkan kepada maknanya (al-dalalah), atau kekuatan argumentatif maknanya itu sendiri (al-hujjiyah) diduga kuat sebagai benar, seperti keputusan hakim yang didasarkan atas keterangan para saksi yang tidak mustahil melakukan kekeliruan.

Menurut asy-Syatibi, Dalil zhanni ini dibagi dalam 3 (tiga) kategori:

Pertama, Dalil zhanni yang dinaungi oleh suatu prinsip universal yang qath'i (Ashl Qath'i). Dalil ini tidak diragukan lagi keabsahannya untuk dipegangi, sebagaimana hadits:

نع نبا سابع ىضر الله ونع لاق: لاق لوسر الله ىلص الله ويلع ملسو : لا ررض رارضلاو ( اوره دمحا نباو وجام)

Hadits ini adalah Zhanni karena keshahihan asal-usul historisnya (alwurud) tidak mencapai derajat mutawatir, akan tetapi hadits ini dinaungi oleh prinsip universal (syari'ah), yaitu segala yang merugikan (madlarat) dihindari. Prinsip ini disimpulkan dalil sejumlah dalil juz'i atau kasus-kasus detail, seperti larangan bertindak merugikan dan berbuat madharat terhadap istri (QS. Al-Thalaq, [65]: 6), terhadap mantan istri yang dirujuk (QS. Al-Baqarah [2]: 233), larangan bertindak merugikan dalam penulisan dan pemberian saksi hutang piutang (QS. Al-Baqarah [2]: 282), dan larangan agar ibu dan ayah jangan sampai menderita karena anaknya (QS. Al-Baqarah [2]: 233). Dari sinilah disimpulkan prinsip di atas dan prinsip tersebut memperkuat dan menaungi hadits zhanni di atas.

Kedua, dalil zhanni yang bertentangan dengan suatu prinsip yang qath 'i. Dalil ini secara umum ditolak, karena segala yang bertentangan dengan dasar-dasar syari'ah adalah tidak sah dan tidak dapat dipegangi. Contoh yang biasanya dikemukakan mengenai hal ini adalah penggunaan pertimbangan mashlahah oleh beberapa ulama untuk memberi fatwa seorang raja yang menggauli istrinya di siang hari bulan Ramadlan, bahwa hukumnya adalah membayar kifarat berupa puasa 2 (dua) bulan berturut-turut. Sebenarnya menurut hadits Rasulullah saw , hukuman tersebut bersifat fakultatif , yaitu orang yang menggauli istrinya di siang hari bulan Ramadlan harus membayar kifarat berupa; membebaskan budak, jika tidak ada

(5)

Tamkin: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam Vol. 3 No. 3 (2018) 01-16 5

budak, maka berpuasa 2 (dua) bulan berturut-turut, dan jika tidak mampu maka memberi makan 60 (enam puluh) orang miskin.

Para ulama tersebut mempertimbangkan kemashlahatan, yaitu tujuan hukuman yang dimaksud adalah untuk mencegah seseorang agar jangan mengulangi perbuatannya. Menurut para ulama tersebut, apabila seorang raja dihukum dengan kifarat' membebaskan budak, hal itu tidak memenuhi tujuan hukuman, yaitu mencegah pengulangan perbuatan, sebab raja itu kaya dan berapapun harga budak dapat dibelinya, untuk kemudian dibebaskannya. Oleh karena itu, demi kemashlahatan raja tersebut diberi hukuman kifarat puasa 2 (dua) bulan berturut-turut agar dia merasa jera dan tidak mengulangi perbuatannya karena puasa 2 (dua) bulan berturut-turut adalah berat. Cara berargumentasi (istidlal) demikian, menurut al-Ghazali, adalah bathal, karena bertentangan dengan nash yang menegaskan bahwa hukumannya adalah membebaskan budak, baru kalau tidak ada, kifarat puasa 2 (dua) bulan berturut-turut diterapkan.

Argumentasi para ulama yang diwakili oleh As-syatiby dengan menghukum raja tersebut dengan puasa 2 bulan berturut-turut berlandaskan kemaslahatan untuk pribadi raja itu sendiri, karena kalau hukumannya membebaskan budak itu dapat mudah dilaksanakan oleh seorang raja. Sedangkan argumentasi Al-Ghazali terlihat sangat tradisionalis (tektual) terhadap pemahaman nash, sehingga ia membatalkan seandainya hukuman bagi raja itu puasa selama 2 bulan berturut-turut menurutnya karena tidak mengikuti ururtan hukuman dalam nash tersebut di atas.

Ketiga, Dalil Zhanni yang tidak bertentangan dengan suatu prinsip yang qath'i, tetapi tidak pula dinaungi oleh suatu prinsip yang qath'i. Menurut ay-Syatibi, dalil ini dapat diterima atas dasar bahwa pada dasamya segala yang berada pada tingkat Zhanni dalam syari'ah dapat diterima.

Macam dan Syarat Qath’i dan Zhanni Dalam pembahasan ushul fiqh, dalil yang qath’i dan dalil yang Zhanni masing terbagi atas dua bentuk, yaitu: Qath’i Ats-tsubut (kebenaran sumber) dan qath’i al-dalalah (kepastian kandungan makna. Yang dimaksud dengan qath’i as-subut adalah suatu dalil yang secara pasti bersumber dari Allah Swt. atau Rasulullah Saw. dan dapat dibuktikan dari segi periwayatannya. Adapun yang dimaksud dengan qath’i al-dalalah adalah suatu dalil yang hanya mempunyai satu makna dan tidak mungkin diartikan lain.

Zhanni as-tsubut dan zhanni ad-dalalat, Zhanni as-tsubut adalah suatu dalil yang bersumber dari hadis ahad, diduga keras datangnya dari Rasulullah SAW. Zhanni ad-dalalah adalah suatu dalil yang menunjukan kepada arti yang masih dapat dita’wil atau dialihkan kepada arti yang lain.

Umat Islam meyakini sepenuhnya bahwa al-Quran itu datang dari Allah SWT. Hadis-hadis Rasulullah Saw. yang bersifat qath’i assubut adalah hadis-hadis mutawattir. Adapun hadis-hadis ahad (tidak mencapai tahap mutawattir) mayoritas

(6)

6 Tamkin: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam Vol. 3 No. 3 (2018) 01-16

hadis yang tercakup dalam katagori ini bersifat Zhanni as-subut. Dalam menjadikannya sebagai hujjah, hadis seperti ini menjadi penyebab munculnya perbedaan pendapat di kalangan ulama apabila bertentangan dengan ayat-ayat al Qur’an. Pertentangan ini bisa dalam bentuk umum dan khusus atau mutlak dan bersyarat. Imam Abu Hanifah misalnya, tidak mau menerima riwayat yang bersifat ahad, kecuali dengan syarat-syarat yang cukup ketat seperti hadis itu tidak menyangkut kepentingan semua atau mayoritas umat dan rawi hadisnya tidak melakukan suatu pekerjaan yang bertentangna dengan kandungan hadis yang diriwayatkannya.

Menurut para ahli hadis, qath’i ad-dalalah tidak terdapat dalam al-Quran karena tidak satu ayat pun yang berdiri sendiri mengacu kepada satu kandungan makna. Berkaitan dengan hal ini, Abdullah Darraz (Ulama besar al-Azhar) mengatakan bahwa apabila ayat-ayat al-Quran dibaca untuk pertama kali maka maknanya akan jelas, akan tetapi apabila ayat yang sama dibaca sekali lagi maka akan ditemukan pula maksud lain yang berbeda dengan makna yang terdahulu. Demikian seterusnya, sampai-sampai ditemukan kalimat atau kata yang mempunyai arti yang bermacam-macam. Pendapat Abdullah Darraz tersebut menunjukkan bahwa dari segi kandungan maknanya, ayat alQuran semakin digali semakin banyak makna yang ditemukan. Lebih lanjut beliau mengatakan ayat al-Quran itu ibarat sebutir intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda-beda.

Adapun yang berhubungan dengan syarat-syarat qath’i, Dalam kaitan ini, Imam asy-Syatibi mengemukakan sepuluh premis yang harus dipenuhi agar satu dalil yang berdiri sendiri dapat dikatakan bersifat qath’i, yaitu; Riwayat kebahasaan, Riwayat yang berkaitan dengan tata bahasa /gramatika (nahwu) , Riwayat yang mengandung perubahan kata (sharf); Redaksi yang dimaksud bukan kata yang bersifat ganda (musytarak); Tidak mengandung peralihan makna (takwil); Redaksinya bukan kata metaforis (majas); Bukan sisipan (idmar); Bukan awalan dari akhiran; Bukan pembatalan hukum (naskh); dan Tidak mengandung penolakan logis.

Jika kesepuluh premis ini bersifat qath’i, menurut beliau, barulah dalil tersebut dinamakan qath’i. Akan tetapi, apabila tiga premis yang pertama jelas tidak qath’i, sedang tujuh lainnya hanya diketahui melalui istiqra tamm (metode induktif yang sempurna), maka hasilnya tetap qath’i ad-dalalah. Oleh sebab itu, dengan pandangan ini asy-Syatibi sependapat dengan para mufassir yang mengatakan bahwa satu dalil (ayat atau hadis) tidak bisa dikatakan Qath’i apabila ia berdiri sendiri. Kepastian hanya didapatkan apabila suatu dalil didukung oleh dalil-dalil lain dalam topik yang sama.

HASIL DAN PEMBAHASAN Ayat Qath’i

(7)

Tamkin: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam Vol. 3 No. 3 (2018) 01-16 7

مِقَأ ة َلََّصلا “ Dirikanlah Shalat” (QS Al-Ankabut:45) Jika perhatian hanya ditunjukkan kepada nash Al-Qur’an yang berbunyi Aqimu Al-Shalah, maka nash ini tidak pasti menunjuk kepada wajibnya shalat, walaupun redaksinya berbentuk perintah, sebab banyak ayat Al-Qur’an yang menggunakan redaksi perintah tapi dinilai bukan sebagai perintah wajib. kepastian tersebut datang dari pemahaman terrhadap nash-nash lain (yang walaupun dengan redaksi atau konteks berbeda-beda, disepakati bahwa kesemuanya mengandung makna yang sama. Dalam contoh diatas, ditemukan selaan banyak ayat atau hadits yang menjelaskan antara lain hal-hal berikut : pujian kepada orang-orang yang shalat celaan dan ancaman bagi yang meremehkan atau meninggalkannya. perintah kepada mukallaf untuk melaksanakannya dalam keadaan sehat atau sakit, damai atau perang dalam keadaan berdiri atau –bila udzur– duduk atau berbaring atau bahkan dengan isyarat. Pengalaman-pengalaman yang telah diketahui secara turun temurun dari Rasulullah saw, sahabat beliau, dan generasi sesudahnya, yang tidak pernah meninggalkannya.

Kumpulan nash yang memberikan makna-makna tersebut, yang kemudian disepakati oleh umat melahirkan pendapat bahwa penggalan ayat Aqimu al-Shalah secara pasti atau qath’iy mengandung makna wajibnya shalat. juga disepakati bahwa tidak ada kemungkinan arti lain yang dapat ditarik darinya. Di sini, kewajiban shalat yang ditarik dari aqimus shalah, menjadi aksioma. Di sini berlaku ma’lum min al-din al-dharurah. Biasanya, ulama-ulama Ushul Fiqh menunjuk kepada ijma’ untuk menetapkan sesuatu yang bersifat qath’i. Sebab jika mereka menunjuk kepad nash (dalil naqli) secara berdiri sendiri, maka akan dapat terbuka peluang –bagi mereka yang tidak mengetahui ijma’ itu- untuk mengalihkan makna yang dimaksud dan telah disepakati itu ke makna yang lain. Maka, guna menghindari hal inilah mereka langsung menunjuk kepada ijma’.

QS. An-Nisa’ : 12 ْ مُكَل َو ُْف صِن اَم َْك َرَت مُكُجا َو زَأ نِا مَّل نُكَي َّْنُهَّل ْ دَل َو

“Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istri kamu jika mereka tidak mempunyai anak”. (QS. An Nisa’ : 12).

Ayat ini adalah qath’i dalalahnya bahwa bagian suami (bila ditinggal mati istri) adalah seperdua atau separuh, tidak bisa lainnya. (yakni yang lain dari seperdua) atau dipahami dengan versi lain.

QS. An-Nisa’ : 11

ُْمُكي ِصوُي ُْالله ىِف ْ مُكِدلا وَأ ِْرَكَّذلِل ُْل ثِم ِْ ظَح ِْن يَيَث نُلآا نِاَف َّْنُك ْ ءاَسِن َْق وَف ِْن يَتَن ثُا َّْنُهَلَف اَثُلُث اَم َْكا َرَت نِا َو ْ تَناَك ْ ةَد ِحا و اَهَلَف ُْف صِ نلا

“ Allah mensyariatkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu yaitu, bagian seorang anak lelaki sama dengan dua bagian anak perempuan dan jika anak itu semuannya perempuan lebih dari dua orang, maka bagi mereka dua per tiga dari harta yang ditinggalkan; dan jika anak perempuan itu seorang saja maka ia memperoleh separuh harta”. (QS An

(8)

8 Tamkin: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam Vol. 3 No. 3 (2018) 01-16

Nisa:11)

Menurut ulama’ ushul fiqh ayat diatas mengandung hukum yang qath’i dan tidak bisa dipahami dengan pengertian lain.

QS. An-Nur : 2

ُْةَيِنا َّزلا ىِن َّزلا َو اوُدِل جاَف َّْلُك ْ د ِحا َو اَمُه نِم ْ ةَئ اِم ْ ةَد لَج

“ Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap orang dari keduannya seratus kali dera”. (QS An Nur : 2)

Kata “seratus kali” tidak mengandung kemungkinan ta’wil atau pemahaman lain. Dengan demikian ayat ini bersifat qath’i al-dalalah maksudnya bahwa had zina itu seratus kali dera, tidak lebih, dan tidak kurang.

Dalam kafarat sumpah, Allah berfirman ُْماَي ِصَف ِْةَثَلَث ْ ماَّيَأ

“ Maka berpuasalah selama tiga hari “. (QS. Al Maidah : 89)

Puasa tiga hari untuk kafarat sumpah, menurut para ulama’ ushul fiqh mengandung hukum yang qath’i dan tidak bisa dipahami dengan pengertian lain.

QS. An Nur : 4

َْن يِذَّلا َو َْن وُم رَي ِْتاَنَص حُم لا َّْمُث ْ مَل ْ اوَت أَي ِْةَعَب رَأِب َِِْءاَدَهُش ُْدِل جاَفْ مُهو َْن يِنمَث ْ ةَد لَج َْلا َو اوُلَب قَت ْ مهل ْ ةداَهَش ا دَبَأ َْكِئلوُأ َو ُْمُه َْنوُقِساَفلا

“Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya. dan mereka Itulah orang-orang yang fasik.” (QS An-Nur :4)

Bahwa seorang yang menuduh wanita baik-baik berbuat zina, sedangkan ia tidak memiliki 4 orang saksi maka ia didera sebanyak 80 kali deraan sebagai hukuman telah menuduh. Kata “delapan puluh” merupakan kata yang sudah jelas dan tidak mungkin kata tersebut dita’wil menjadi kalimat lain, dengan demikian ayat ini bersifat qath’i al-dalalah.

Beberapa Contoh Ayat Zhanni QS. Al Baqarah : 228

ُْتاَقَّلَطُم لا َو رَتَي َْن صب َّْنِهِسُف نَأِب َْةَثَلَث ْ ء و ُرُق

“Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”. (QS. Al Baqarah : 228).

Lafadz quru dalam bahasa arab adalah musytarak (satu kata dua artinya atau lebih). Di dalam ayat tersebut bisa berarti bersih (suci) dan kotor (masa haidh) pada nash tersebut memberitahukan bahwa wanita-wanita yang ditalak harus menunggu tiga kali quru’. dengan demikian, akan timbul dua pengertian yaitu tiga kali bersih atau tiga kali kotor. jadi adanya kemungkinan itu, maka ayat tersebut tidak dikatakan qath’i. karena itu dalam hal ini para imam mujtahid berbeda pendapat tentang masa menunggu (‘iddah) bagi wanita yang dicerai, ada yang

(9)

Tamkin: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam Vol. 3 No. 3 (2018) 01-16 9

mengatakan tiga kali bersih dan ada yang mengatakan tiga kali haidh. QS. Al Maidah : 3

ْ تَم ِ رُح ُْمُك يَلَع ُْةَت يَملا ُْمَّدلا َو

“ Diharamkan bagimu (memakan) bangkai dan darah”. (QS. Al-Maidah : 3). Lafadz Al-Maitatu di dalam ayat tersebut ‘am, yang mempunyai kemungkinan mengharamkan setiap bangkai atau keharaman itu dikecualikan selain bangkai binatang laut/air. karenanya nash yang dimaksud ganda atau lafadz ‘Am mutlak dan yang seperti itu maka disebut zhanni dalalahnya. hal ini disebabkan karena lafadz tersebut mempunyai suatu arti tetapi juga mungkin berarti lain.

QS. Al Maidah : 38

َْو َْق ِراَّسلا َْو ُْةَق ِراَّسلا اوُعَط قاَف اَمُهَيِد يأ َْءا َزَج اَمِب اَبَسَك ْ لاَاكَن َْنِم ِْالله ُْالله َو ُْز ي ِزَع ْ م يِكَح

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan”. (QS. Al Maidah : 38).

Kata tangan dalam ayat ini mengandung kemungkinan yang dimaksudkan adalah tangan kanan atau kiri, disamping juga mengandung kemungkinan tangan itu hanya sampai pergelangan saja atau sampai siku.

Penjelasan untuk yang dimaksud tangan ini ditentukan dalam hadits Rasulullah saw. kekuatan hukum kata-kata yang seperti ini menurut para ulama’ usul fiqh bersifat zhanni (relatif benar) oleh sebab itu para mujtahid boleh memilih pengertian yang terkuat menurut pandangannya serta yang didukung oleh dalil lain.

Contoh Ayat Yang Qath’i Dan Zhanni

Suatu ayat dapat menjadi qath’iy dan zhanniy pada saat yang sama firman Allah yang berbunyi :

اوُحَس ما َو ْ مُكسوُئ ُرِب

“ Dan basuhlah kepalamu ”

Adalah qath’i al-dalalah menyangkut wajibnya membasuh kepala dalam berwudhlu. tetapi ia zhanni al-dalalah dalam hal batas atau kadar kepala yang harus dibasuh. ke qath’iyan dan ke zhanniyan tersebut disebabkan karena seluruh ulama’ ber-ijma’ (sepakat) menyatakan kewajiban membasuh kepala dalam berwudhlu berdasarkan berbagai argumentasi. namun mereka berbeda pendapat tentang arti dan kedudukan ba’ pada lafadz biru’usikum. dengan demikian, kedudukan ayat tersebut menjadi qath’iy bi i’tibar wa zhanniy bi i’tibar akhar (disuatu sisi qot’iy dan disisi lain zhanni). di suatu sisi ia menunjuk kepada makna yang pasti dan disisi lain ia memberi berbagai alternatif makna.

(10)

10 Tamkin: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam Vol. 3 No. 3 (2018) 01-16 Qath’i Dan Zhanni Dalam Al-Sunnah

Kata qath’i dan zhanni dalam berbagai literatur yang dirujuk adalah kata-kata yang digunakan untuk menyatakan tingkat kebenaran (validitas) sesuatu. Istilah qath’I dan zhanni masing-masing terdiri dari dua bagian yaitu menyangkut wurud (kedatangan) atau tsubut (penetapan) dan menyangkut dalalah (petunjuk) atau pengertian makna. Pembagian status qath’I dan zhanni terhadap dalil al-Quran dan al-Sunnah dilakukan dalam upaya merumuskan dan menentukan wilayah ajaran Islam yang tidak dapat lagi dilakukan ijtihad dan wilayah yang boleh dilakukan ijtihad.

Sebuah dalil dikatakan qath’i dari segi dalalah artinya dalil-dalil yang menunjukkan satu pengertian tertentu dan tidak mengandung kemungkinan takwil maupun peluang untuk memberikan pengertian yang lainnya. Adapun dalil yang berstatus zhanni al-dalalah adalah dalil yang menunjukkan satu pengertian namun terhadap dalil itu masih dimungkinkan dilakukan takwil yang menghasilkan pengertian lain.

Ketika berbicara qath’i dan zhanni dalam al-Sunnah akan berbeda dengan al-Qur’an, dimana disepakati status wurud/tsubutnya bersifat qath’i. Dalam Sunnah status wurudnya dapat bernilai qath’i dan zhanni. Hal tersebut karena adanya pembedaan Sunnah dilihat dari segi periwayatannya, ada yang mutawatir dan ada sebagian lain yang ahad .

Status Wurud Sunnah

Wurud Sunnah dapat berstatu qath’i apabila Sunnah tersebut diriwayatkan secara mutawatir, yakni suatu Sunnah yang diriwayatkan oleh jamaah yang karena kualitas dan kuantitas Jemaah itu secara logika mustahil akan bersekongkol untuk berdusta. Dan kondisi tersebut terpelihara semenjak diterimanya hadis tersebut dari Rasul sampai sanad yang terakhir. Sunnah Mutawatir dinilai qath’I wurudnya dari rasul, karena kemutawatiran periwayatan menunjukkan kepastian shahihnya Sunnah tersebut. Sebagian ulama berpendapat bahwa sunnah yang berkategori ahad yang berkualitas shahih itu berstatus qath’i, dengan alasan :

Sesuatu yang berstatus zhanni mempunyai kemungkinan mengandung kesalahan. Sunnah yang telah diteliti dengan cermat dan ternyata berkualitas shahih terhindar dari kesalahan. Karenanya sunnah yang berkualitas shahih, walaupun berkategori ahad, memiliki status qath’i wurud.

Nabi Muhammad Saw pernah mengutus sejumlah muballigh ke berbagai daerah. Jumlah mereka tidak mencapai kategori mutawatir. Sekiranya penjelasan tentang agama harus berasal dari berita yang berkategori mutawatir, niscaya masyarakat tidak dibenarkan menerima dakwah dari muballigh yang diutus Rasulullah Saw.

Umar bin Khattab pernah membatalkan hasil ijtihadnya ketika ia mendengar hadis Nabi yang disampaikan oleh al-Dhahhak bin Sufyan secara ahad.

(11)

Tamkin: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam Vol. 3 No. 3 (2018) 01-16 11

tidak memenuhi persyaratan mutawatir, yakni sunnah ahad. Karena sunnah ahad tidak menjamin kepastian, sehingga ada juga para ulama yang mempermasalahkan bahkan menolak kehujjahan sunnah ahad.

Status Dalalah Sunnah

Apabila kita perhatikan dari sudut dalalah, maka sunnah baik yang mutawatir maupun yang ahad dapat bernilai qath’i juga dapat bernilai zhanni.

Dalalah suatu sunnah dapat bernilai qath’i, apabila matan hadis tersebut menunjukkan makna tertentu yang tidak bisa ditakwilkan atau ditafsirkan dengan makna lain.

Dalalah sunnah juga dapat bernilai zhanni, apabila pengertian matan sunnah tersebut masih mengandung kemungkinan untuk ditakwilkan pada makna lain. Seperti pada umumya sunnah yang mengandung khilafiyah atau perbedaan dalam memahaminya.

Sebenarnya keseluruhan sunnah, baik yang mutawatir maupun yang ahad, kesemuanya marupakan hujjah yang wajib diikuti dan diamalkan. Sunnah mutawatir wajib diikuti dan diamalkan karena sumber periwayatannya diyakini dari Rasul. Sedangkan sunnah ahad sekalipun wurudnya bernilai zhanni, tetapi kezhanniannya tersebut tertutupi dan diperkuat oleh kualitas rawi yang memiliki sifat tertentu seperti adil dan kedhabitannya. Kualitas perawi yang demikian, dapatlah dijadikan alasan bagi wajibnya mengikuti dan mengamalkan apa yang diriwayatkannya. Sebagaimana seorang hakim dapat memutuskan suatu perkara atas dasar pengakuan seorang saksi, bilamana memang saksi itu patut dipercaya.

Dan kenyataannya, banyak hukum Islam yang dibangun di atas dalil yang zhanni. Hal tersebut mengandung hikmah agar manusia menjadi ringan dan dapat melaksanakannya. Sebab bilamana semua dalil bernilai qath’i dalam setiap amal perbuatan, niscaya manusia menjadi keberatan dan kesulitan dikarenakannya. Qath’iyyah al-wurûd wa al-dilâlah

Qath’iyyah al-wurûd wa al-dilâlah merupakan salah satu pertimbangan utama dalam berhujjah dan mengambil petunjuk dari Hadits. Suatu Hadits yang qath`iyy al-wurûd wa al-dilâlah wajib diterima dan diamalkan sesuai dengan makna tekstualnya. Kekuatan Hadits ini sejajar dengan Al-Quran yang qath`iyy dl-dilâlah. Sedangkan Hadits yang tidak mencapai tingkat qath`i, melainkan zhanniyy al-wurûd wa qath`iyy al-dilâlah, qath`iyy al-al-wurûd wa zhanniyy al-dilâlah, atau zhanniyy al-wurûd wa zhanniyy al-dilâlah tidak memiliki kekuatan tersebut sehingga diperlukan sejumlah pertimbangan untuk menerima atau mengamalkannya . Dari aspek wurudnya seluruh ayat Al-Quran wajib diterima, tapi ayat yang zhanniyy al-dilâlah memerlukan ijtihad yang mendalam untuk mengungkap petunjuknya.

(12)

12 Tamkin: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam Vol. 3 No. 3 (2018) 01-16

membagi lafal menjadi dua, yaitu lafal yang jelas petunjuknya (wâdhih al-dilâlah) dan lafal yang tidak jelas petunjuknya (ghayr wâdhih al-dilâlah). Selanjutnya, berdasarkan kategorisasi madzhab Hanafi, masing-masing dari kedua jenis lafal tersebut terbagi menjadi empat tingkat yang saling berlawanan. Lafal yang jelas petunjuknya terbagi menjadi zhâhir, nashsh, mufassar, dan muhkam. Sedangkan lafal yang tidak jelas petunjuknya terbagi menjadi khafiy, musykil, mujmal, dan mutasyâbih. Urutan penyebutan ini menunjukkan urutan tingkat kejelasan dan ketidakjelasannya.

Lafal yang qath`iyy al-dilâlah adalah lafal muhkam, mufassar, dan sebagian nashsh. Lafal yang demikian tidak bisa terganggu oleh otoritas ijtihad para ulama. Akan tetapi lafal nashsh yang mengandung dua petunjuk atau lebih (musytarak) boleh jadi bukan ma`na azhhar-nya yang dimaksudkan, melainkan makna lainnya. Inilah yang disebut ta’wil, dan ta’wil dapat terjadi terhadap lafal nashsh, meskipun jarang.

Apabila suatu Hadits tidak memenuhi kriteria sebagai Hadits yang qath`iyy wurûd, melainkan hanya memenuhi kriteria sebagai Hadits yang zhanniyy al-wurûd, tapi matannya termasuk qath`iyy al-dilâlah, maka para ulama berbeda pendapat; sebagian mereka menyatakan sebagai hujjah yang mutlak, sebagian yang lain menolaknya dan menganggapnya bukan sebagai hujjah yang mutlak. Hadits dha`if yang menjadi kuat karena sanadnya banyak atau sebab lain termasuk dalam zhanniyy al-wurûd. Adapun Hadits dha`if yang tidak ada faktor penguatnya atau dha`if sanad cukup parah dapat disebut sebagai kelompok Hadits syakkiyy al-wurûd sama sekali bukan hujjah karena hukum Islam tidak mungkin dibangun atas pondasi yang diragukan. Maka Hadits yang demikian disikapi dengan tawaqquf hingga didapatkan alasan hukum yang menghilangkan keraguan terhadapnya.

Oleh karena itu apabila suatu Hadits yang termasuk kategori Hadits zhanniyy al-wurûd berkenaan dengan masalah yang menuntut penyelesaian hukum dan alasan hukumnya atau aspek kemaslahatannya sesuai dengan petunjuk Hadits itu, maka hal itu menjadi indikasi keshahihan matan Hadits tersebut apabila redaksinya termasuk qath`iyy al-dilâlah.

Hal tersebut di atas merupakan salah satu fenomena bahwa teori yang dalam kajian ushul fiqh terkesan final, namun dalam aplikasinya tidak sederhana. Oleh sebab itu, suatu Hadits tidak dapat dianggap sebagai dalil tunggal untuk masalah yang bersangkutan sebelum dikaji dalil-dalil yang berkaitan dengan masalah tersebut, karena dalil-dalil mengenai suatu masalah merupakan satu kesatuan, sehingga semuanya harus dikaji secara bersama-sama sekaligus untuk diselesaikan perbedaan petunjuk-petunjuknya. Oleh karena itu, perlu diteliti bagaimanakah para pensyarah Hadits memaknai lafal-lafal Hadits dan mengungkap petunjuk kalimatnya, lalu bagaimanakah pemaknaan dan pengungkapan petunjuk tersebut bila dikaitkan dengan teori qath’iyyah al-wurûd wa al-dilâlah.

(13)

Tamkin: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam Vol. 3 No. 3 (2018) 01-16 13 Mengkaji Ulang Dikursus Pembatasan Ijtihad pada Nash Qath’i

Dikotomi nash qath’i dan nash zanni dewasa ini menjadi sorotan dikalangan pemikir hukum Islam, bagi mereka perlu dikaji ulang karena dengan adanya dikotomi tersebut lapangan ijtihad menjadi terbatas dan bersifat parsial, sehingga menjadi penghalang bagi pembaharuan hukum Islam secara universal. Menurut mereka kaidah “La ijtihad fima fih nash” sebuah kaidah yang menjadi senjata bagi ulama ushuliun dalam melarang ijtihad pada nash qath’i sifatnya sangat subjektif dan tanpa dasar yang kuat serta mengingkari realitas. Sebenarnya nash sangat dipengaruhi oleh sosio-kultural masyarakat Arab, jadi anggapan ayat qath’i tidak boleh disentuh ijtihad karena telah menafikan adanya unsur historisitas al-Quran. Beberapa ayat yang dianggap qath’i selama ini dikaji ulang serta diberi penjelasan sampai nash tersebut tidak lagi menjadi qath’i. sebagai contoh ayat hukuman untuk pelaku pencurian sebagaimana tersebut di dalam QS al Maidah ayat 38

َْو َْق ِراَّسلا َْو َْق ِراَّسلاُْة اوُعَط قاَف اَمُهَيِد يأ َْءا َزَج اَمِب اَبَسَك ْ لاَاكَن َْنِم ِْالله ُْالله َو ُْز ي ِزَع ْ م يِكَح

“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan”. (QS. Al Maidah : 38).

Menurut mereka yang menolak adanya dikotomi dalil qath’i dan dalil zanni, maka ayat di atas masih bisa diijtihadkan, karena ayat tersebut adanya pengaruh sosio-kultural masyarakat Arab pada waktu itu. Secara geografis, jazirah Arab merupakan tanah tandus dan gersang, yang berupa lembah yang dikelilingi gunung (QS. 14:37), karena kondisi seperti itu, maka pekerjaan masyarakat Arab lebih cenderung kepada perdagangan.Harta yang melimpah ruah dalam bentuk barang dagangan tersebut, tentunya membangkitkan gairah para pembegal dan perampok yang menjadi kebanggan masyarakat Arab pada waktu itu. Oleh karena itu ayat yang memberi hukuman potong tangan kepada pencuri sangat tepat pada waktu itu, karena kejahatan yang merajalela hanya dapat ditanggulangi dengan hukuman yang berat. Namun dalam kondisi yang berbeda dengan kondisi masyarakat Arab sebagaimana yang telah disebutkan di atas, maka ayat tersebut masih bisa diijtihadkan sehingga hukuman yang diberikan kepada pencuri juga akan berbeda. Untuk menguatkan argumentasinya, mereka mengambil ijtihad para sahabat khususnya Umar Bin Khattab yang secara terang-terangan berani menyimpang dari bunyi verbal nash yang selama ini dianggap qath’i al-dalalahnya.

Berbeda dengan al-Musawi, Sardar dan Syahrur yang menolak dikotomi nash qath’i dan nash zanni, Asy-Syatibi masih mengakui adanya nash qath’i dan nash zanni, namun nash tersebut tidak berdiri sendiri sebagaimana yang dikutip oleh Ilyas dalam Muwafaqat, bahwa jarang sekali ada sesuatu yang qath’i sesuai dengan istilah yang “popular” menurutnya bila dalil-dalil syara‟ tersebut berdiri sendiri (bersifat Ahad), maka tidak dapat memberi kepastian. Karena ahad bersifat zanni.Apabila dalil tersebut mutawatir lafadhnya, maka untuk menarik maknanya

(14)

14 Tamkin: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam Vol. 3 No. 3 (2018) 01-16

yang pasti dibutuhkan premis-premis yang qath’i, dalam hal ini premis-premis tersebut harus bersifat mutawatir.Padahal ini sulit ditemukan, karena kenyataan membuktikan bahwa premis tersebut kesemuanya atau sebagian besarnya bersifat zanni. Sesuatu yang bersandar kepada zanni, akan menghasilan yang zanni. Premis-premis yang dimaksud Asy-Syatibi tersebut adalah: Riwayat-riwayat kebahasaan, Gramatika (nahwu), Perubahan kata, Bukan kata musytarak, Bukan kata metaforis, Tidak mengandung peralihan makna, Sisipan, Pendahuluan dan pengakhiran, Pembatalan hukum, Tidak mengandung penolakan dari sudut akal. PENUTUP

Asy-Syatibi menegaskan bahwa munculnya kepastian makna (qath’I ad-dalalah) suatu nash adalah dari sekumpulan dalil zanni, yang semua mengandung kemungkinan makna yang sama. Berkumpulnya makna yang sama dari dalil-dalil yang beraneka ragam itu menambah kekuatan sendiri, yang pada akhirnya menjadikan tidak bersifat zanni lagi, ia telah berubah menjadi semacam mutawatir ma’nawi, dan dengan demikian baru dapat disebut qath’i al dalalah.

Penolakan adanya dikotomi dalil qath’idan dalil zanni untuk memperluas lapangan ijtihad sebagaimana yang dijelaskan di atas dapat mengakibatkan terlalu bebas dan tidak terkontrol dalam memahami teks suci (al-Qur‟an dan Hadis), hal-hal yang sudah jelas disebutkan dalam nash khususnya menyangkut dengan masalah aqidah dan ibadah juga dijadikan lapangan ijtihad, sehingga aqidah (menyangkut dengan masalah keimanan) dan Ibadah berbeda antara satu tempat dengan tempat yang lain, berbeda antara kondisi social masyarakat yang berbeda, berbeda karena berbeda waktu.Dengan demikian tidak ada lagi standar yang jelas, semuanya menjadi benar dan pada akhirnya semua agama menjadi benar.

DAFTAR PUSTAKA

Al Qathan, Manna’ Khaliil, Mabahits Fii ‘Uluumi Al Qur’an, Daar Al ‘Ilmi Wa Al Imaan

Al Ghazali, Abu Hamid, Al-Mustashfa min 'Ilm al-Ushul tt.p.:Dar al-Fikr Al-Khudhari, Syaikh Muhammad, Ushul al-Fiqh, Dar al-Fikr, t.t., 1981

Al-Syahrur, Al-Kitâb wa al-Qur’ân (Terj. Mathori Al-Wustho, Dialektika Kosmos dan Manusia, Dasar-dasar Epistemologi Qur’ani), Nuansa Cendekia, Bandung, Cet. I, 2004.

Asqalani, Ahmad bin Ali bin Hajar Al-, Fath al-Bari Syarh Shahih Al-Bukhari, Ri’asat Idarat al-Buhuts Al-`Ilmiyyah wa Al-Ifta’ wa Al-Da`wah, Saudi Arabia, t.t.

Asy Syatibi, Abu Ishaq Ibrahim Al-Muwqfaqat fl Ushul al-Ahkam. Edisi Muhammad al-Khadar Husain at-Tusi dan Muhammad Hasanain Makhluf.Dar alFikr, 1341 H

(15)

Tamkin: Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam Vol. 3 No. 3 (2018) 01-16 15

Al Basri,.Abu al-Hasan, Kitab al-Mu'tamad. Damaskus: Lnstitut Francais de Damas, 1964.

Fathurrahman, Dasar-dasar pembinaan hukum islam, PT. Al-Ma’arif, Bandung 1986

Firdaus, “Konsep Qath’i dan Zhanni Al Dalalah dan Pengaruhnya Terhadap Penafsiran Al Qur’an”, Jurnal Hukum Diktum, Volume 11, Nomor 1, Januari 2013

Haika, Ratu “Konsep Qath’I dan Zhanni Dalam Hukum Kewarisan Islam”, Mazahib,Vol XV, No. 2 (Desember 2016)

Khallaf, Abdul Wahhab, 'Ilm Ushul al-Fiqh. Cet XII. Kuwait: Dar al-Fikr, 1398 H./1978M

Kamali, Muhammad Hashim, Principles of Islamic Jurisprudence. Diterjemahkan oleh Noorhaidi dengan judul: “Prinsip dan Teori-Teori Hukum Islam” (Cet. I; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996)

Ichtiar Baru Van Hoeve, Ensiklopedia Islam, Jil. II, Jakarta 1993

Ismail, M. Syuhudi, Hadis Nabi Menurut Pembela Pengingkar dan Pemalsunya, Gema Insani Press, Jakarta, 1995

`Itr, Nuruddin, Manhaj al-Naqd fi `Ulûm al-Hadîts, Dar al-Fikr, Damaskus, 1988 Mas’ud, Muhammad, Dalil Qath’i dan Zhanni, h.96 dikutip dari, Kitab Ushul Fiqh karangan Muhammad Abu Zahrah , Jakarta: PT. Pustaka Firdaus, 1994 Cet II

Sulaiman, Abdullah, Sumber Hukum Islam Permasalahan dan Fleksibilitasnya, Sinar Grafika, Cet. II 2004

Shihab. Quraisy, Membumikan al-Qur’an, Mizan, Bandung, 1999, cet XIX Subhan, Klasifikasi Ayat Ayat Hukum (Dari Segi Qath’I dan Zhanni)

Supena, Ilyas dan M. Fauzi, Dekontruksi dan Rekontruksi Hukum Islam, Yogyakarta, Gema Media, 2002

(16)

Referensi

Dokumen terkait

Dokumentasi yang dibutuhkan peneliti berupa media pembelajaran yang digunakan, silabus, dan RPP (Rencana Pelaksanaan Pembelajaran) beserta sarana yang mendukung proses

Dari keseluruhan uji tersebut dapat disimpulkan bahwa Media Pembelajaran Mobile Learning Berbasis Android Pada Materi Sifat Koligatif Larutan telah sesuai dengan

Perlakuan jarak tanam 40 x 30 cm 2 pada kedelai merupakan jarak tanam yang cukup baik terhadap pertumbuhan dan produksi tanaman kedelai dan tanaman jagung

Berdasarkan uraian di atas, Peneliti tertarik untuk meneliti lebih lanjut mengenai Hubungan Indeks Massa Tubuh dengan Derajat Nyeri Haid (Dismenorea) pada Remaja

1. Kesatuan merupakan prinsip yang utama di mana unsur-unsur seni rupa saling menun+ang satu sama lain dalam mementuk k$mp$sisi yang agus dan serasi. !ntuk

Strategi merupakan pola atau taktik yang dilakukan oleh seorang pengajar dalam proses belajar bahasa, sehingga siswa dapat lebih leluasa dalam berpikir dan dapat

Salah satu cara untuk mengatasi hal itu dibuat pengembangan di sisi perangkat lunak dengan membuat suatu sistem virtual dimana beberapa perangkat keras atau komputer dihubungkan

Melihat pemuda itu begitu teguh pendiriannja, biarpun djiwanja terantjam, tapi sedikitpun tidak gentar, bahkan malah memaki orang anak kura2 terus menerus, Bok Wan-djing