• Tidak ada hasil yang ditemukan

PELAKSANAAN PENETAPAN BATAS LUAS MAKSIMUM DAN MINIMUM TANAH PERTANIAN DI KECAMATAN NATAR KABUPATEN LAMPUNG SELATAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PELAKSANAAN PENETAPAN BATAS LUAS MAKSIMUM DAN MINIMUM TANAH PERTANIAN DI KECAMATAN NATAR KABUPATEN LAMPUNG SELATAN"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

PELAKSANAAN PENETAPAN BATAS LUAS MAKSIMUM DAN MINIMUM TANAH PERTANIAN DI KECAMATAN NATAR

KABUPATEN LAMPUNG SELATAN Adji Styawan, FX. Sumarja, Ati Yuniati

Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum, Universitas Lampung Jalan Prof. Dr. Ir. Soemantri Brojonegoro No.1 Bandar Lampung

E-mail: styawanadji@gmail.com

Abstrak: Kepadatan penduduk di Kabupaten Lampung Selatan adalah 479

jiwa/Km2, sehingga batas maksimum kepemilikan tanah menurut Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah pertanian adalah 5 hektar tanah sawah dan 6 hektar tanah kering. Permasalahan yang disaji adalah bagaimana pelaksanaan penetapan batas luas maksimum dan minimum tanah pertanian? dan apasaja yang menjadi faktor penghambat pelaksanaan penetapan batas maksimum dan minimum tanah pertanian?

Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif dan pendekatan empiris. Data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Data yang diperoleh, diolah dan disajikan dalam bentuk uraian, kemudian dianalisis secara kualitatif, selanjutnya ditarik simpulan.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa pelaksanaan penetapan batas luas maksimum dan minimum tanah pertanian di Kecamatan Natar tidak terlaksana dengan baik. Hal ini dibuktikan dengan data bahwa 12 orang yang dijadikan responden, terdapat 3 orang memiliki tanah melebihi batas maksimum. Faktor penghambat terlaksananya penetapan batas maksimum dan minimum tanah pertanian adalah masyarakat awam dengan aturan yang ada, dorongan untuk memecah tanah pertanian, tidak adanya sistem untuk mengawasi penguasaan tanah dari Kantor Pertanahan.

Pemerintah perlu mengkaji ulang Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960. Kantor pertanahan perlu melakukan pengawasan terhadap penguasaan tanah pertanian sehingga kedepan pelaksanaan penetapan batas luas maksimum dan minimum tanah pertanian dapat terlaksana dengan baik dan dapat dipantau dengan baik oleh kantor pertanahan.

(2)

IMPLEMENTATION IN DETERMINING THE MAXIMUM AND MINIMUM BOUNDARY OF FARMLAND IN NATAR SUBDISTRICT,

SOUTH LAMPUNG REGENCY Adji Styawan, FX. Sumarja, Ati Yuniati

Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum, Universitas Lampung Jalan Prof. Dr. Ir. Soemantri Brojonegoro No.1 Bandar Lampung

E-mail: styawanadji@gmail.com

Abstract: The population density in South Lampung Regency is 479

inhabitants/Km2, making it the maximum limit of land ownership according to Constitution No. 56 Prp in 1960 about the determination of agricultural Land is a 5 acre field and 6 hectares of dry land. The problems are: (1) How is the implementation in determining the maximum and minimum boundary of farmland? (2) What factors do inhibit the implementation in determining the maximum and minimum boundary of farmland?

The approaches used in this research are normative approach and empirical approach. The data used are primary and secondary data. The collected data are processed and served in description form, and then the data are analyzed qualitatively and last, we can take conclusion.

Based on the research, the implementation in determining the maximum and minimum boundary of farmland in Natar Subdistrict does not run well. This is proven with the data that the 12 people who were respondents, there were 3 people own the land exceeds the maximum limit. That data cannot represent a subdistrict. The inhibiting factors in determining the maximum and minimum boundary of farmland are the society itself with their existing rule, motivation to split farmland, and there is no system to monitor the farmland governance from Land Affairs Office.

The Government need to review the Constitution No. 56 Prp in 1960. Land affairs office should monitor the farmland governance so that in the future the implementation in determining the maximum and minimum boundary of farmland can run well and can be monitored well by land affairs office.

(3)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan negara agraris yang mayoritas penduduk Indonesia bermata pencaharian sebagai petani. Sehingga tanah pertanian sangat penting nilainya, maka tanah pertanian perlu diatur keberadaannya agar tidak dikuasai secara besar-besaran oleh sebagian pihak saja. Tanah pertanian berhubungan erat dengan landreform. Landreform merupakan pengaturan pemilikan tanah pertanian oleh masyarakat. Landreform meliputi perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah.

Tujuan landreform di Indonesia dapat diklasifikasikan menjadi dua bagian, yaitu tujuan secara umum dan tujuan secara khusus. Secara khusus landreform bertujuan untuk mempertinggi taraf hidup dan penghasilan petani penggarap, sebagai landasan pembangunan ekonomi menuju masyarakat adil dan makmur.

Berdasarkan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Kemudian sebagai pelaksana dari ketentuan diatas dipertegas dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang selanjutnya disebut UUPA. Berkaitan dengan kewenangan negara di Pasal 2 tersebut, maka pemanfaatan tanah harus dikelola dan dimanfaatkan secara optimal bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan makmur.

Selanjutnya dalam Pasal 7 UUPA, diatur untuk tidak merugikan kepentingan umum maka pemilikan tanah dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan. Kemudian Pasal 17 ayat (1) UUPA menentukan tentang batas maksimum dan minimum tanah pertanian yang boleh dimiliki dan dikuasai oleh seseorang atau suatu keluarga, baik dengan hak milik, hak gadai, hak sewa dan hak-hak lainnya. Ketentuan ini di

maksudkan agar seseorang dapat memiliki atau menguasai tanah pertanian tidak melebihi atau kurang dari ketentuan luas maksimum dan minimum, sehingga dapat meningkatkan taraf hidup bagi para petani.

Dengan adanya pengaturan yang telah disebutkan diatas dan berdasarkan permasalahan yang ada dimasyarakat pemerintah menyusun Undang-Undang No. 56 (Prp) tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Dalam undang-undang ini pemerintah menetapkan batas minimum dan maksimum kepemilikan tanah pertanian. Ditetapkannya batas maksimum kepemilikan tanah pertanian, supaya tidak terjadi monopoli penguasaan tanah pertanian pada satu orang.

Ditetapkannya luas minimum kepemilikan tanah pertanian oleh pemerintah memiliki tujuan seperti tercantum dalam pasal 8 Undang-Undang No. 56 (Prp) tahun 1960 yakni setiap petani sekeluarga supaya memiliki tanah pertanian minimum dua hektar. Penetapan batas minimum ini memiliki tujuan supaya tiap keluarga petani mempunyai tanah yang cukup luasnya untuk mencapai taraf penghidupan yang layak.

Sehubungan adanya penetapan batas minimum dua hektar maka berdasarkan Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang No. 56 (Prp) Tahun 1960 menyatakan bahwa “pemindahan hak atas tanah pertanian, kecuali pembagian karena pewarisan, dilarang apabila hak itu mengakibatkan timbulnya atau berlangsungnya pemilikan tanah yang lusanya kurang dari dua hektar. Larangan tersebut tidak berlaku jika penjual hanya memiliki bidang tanah yang luasnya kurang dari dua hektar dan tanah itu dijual sekaligus”. Penetapan batas minimum ini tidak berarti, bahwa orang-orang yang mempunyai tanah kurang dari batas yang ditetapkan akan dipaksa untuk melepaskan tanahnya, karena penetapan tersebut dilakukan untuk mencegah pemecahan tanah lebih lanjut sehingga hal tersebut menjauhkan dari usaha untuk mempertinggi taraf hidup petani.

Berdasarkan Undang-Undang No. 56 (Prp) Tahun 1960, pada pasal 1 ayat 2 mengatur tentang batas

(4)

maksimum kepemilikan tanah yang berbunyi “dengan memperhatikan jumlah penduduk, luas daerah dan faktor-faktor lainnya, maka luas maksimum ditetapkan adalah jika di daerah tidak padat maka batas maksimumnya yaitu 15 hektar pada persawahan dan 20 hektar pada tanah kering, di daerah kurang padat batas maksimumnya yaitu 10 hektar pada persawahan dan 12 hektar pada tanah kerin, di daerah cukup padat batas maksimumnya yaitu 7.5 hektar pada persawahan dan 9 hektar pada tanah kering, di daerah sangat padat batas maksimumnya yaitu 5 hektar pada persawahan dan 6 hektar pada tanah kering. Jika tanah pertanian yang dikuasai itu merupakan sawah dan tanah kering, maka untuk menghitung luas maksimum tersebut, luas sawah dijumlah dengan luas tanah kering dengan menilai tanah kering sama dengan sawah ditambah 30% di daerah-daerah yang tidak padat dan 20% di daerah-daerah yang padat dengan ketentuan, bahwa tanah pertanian yang dikuasai seluruhnya tidak boleh lebih dari 20 hektar.

Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) PP No. 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian yang menyatakan bahwa pemilik tanah yang melebihi batas maksimum diberi kesempatan untuk mengajukan usul kepada Mentri Agraria, mengenai bagian-bagian mana dari tanahnya yang ia inginkan tetap menjadi miliknya. Kemudian berdasarkan Pasal 6 ganti kerugian yang diberikan kepada bekas pemilik tanah tersebut besarnya ditetapkan oleh Panitia Landreform Daerah Tingkat II yang bersangkutan, atas dasar perhitungan hasil bersih rata-rata selama 5 tahun terakhir yang ditetapkan tiap hektarnya menurut golongan kelas tanahnya.

Kepadatan penduduk tiap kilometer persegi untuk menentukan penguasaan tanah pertanian ditiap daerah yaitu: untuk kepadatan sampai 50 orang/Km2 tergolong daerah tidak padat, untuk 51 sampai 250 orang/Km2 tergolong daerah kurang padat, untuk 251 sampai 400 orang/Km2 tergolong daerah cukup padat, dan untuk 401 orang/Km2 keatas tergolong daerah yang sangat padat.

Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang No. 56 (Prp) Tahun 1960 mengatur bahwa pihak-pihak yang memiliki tanah pertanian yang jumlah luasnya melebihi batas maksimum dilarang untuk memindahkan hak miliknya atas seluruh atau sebagian tanah tersebut kecuali dengan izin Kepala Agraria Daerah Kabupaten/Kota yang bersangkutan. Namun setelah tahun 1967 terjadi perubahan pengenaan izin dan ruang kebebasan memindahkan hak atas tanah, yaitu izin pemindahan hak sudah tidak berfungsi lagi sebagai instrumen kesuksesan program landreform, namun dikaitkan dengan kepentingan politis dan ekonomi pemerintah. Kemudian pemerintah cenderung melonggarkan kontrolnya dengan memberi kebebasan terjadinya pemindahan hak atas tanah tanpa izin, terutama yang mempunyai pengaruh terhadap pembangunan ekonomi.1

Jika sebelumnya, setiap pemindahan hak atas tanah apapun statusnya harus ada izin pemindahan hak, namun berdasarkan Surat Edaran Direktur Jendral Agraria Departemen Dalam Negri No.BA.11/38/70 tertanggal 7 November 1970 prihal Permendagri No.Sk.59/DDA1/1970, tidak setiap pemindahan hak atas tanah diperlukan izin. Di sini pemerintah telah melonggarkan izin pemindahan hak sehingga tidak ada kontrol dari pemerintah terhadap pemindahan hak atas tanah yang mengakibatkan banyak pemindahan hak atas tanah yang tidak di ketahui pemerintah sehingga banyak penguasaan tanah besar-besaran sehingga tidak berjalannya program landreform.

Sekarang ini luas lahan pertanian semakin sedikit namun jumlah manusia yang semakin banyak yang mengakibatkan kebutuhan akan tanah meningkat. Sehingga membuat semakin bertambahnya lahan pertanian yang di jadikan sebagai pemukiman. Selain itu penguasaan lahan pertanian secara besar-besaran di Indonesia masih ada sampai dengan saat ini. Akibatnya harga tanah meningkat, hal ini membuat pihak-pihak yang mempunyai tingkat kesejahteraan lebih akan menginvestasikan

1

FX. Sumarja.2015. Politik Hukum Larangan Kepemilikan

Tanah Hak Milik Oleh Orang Asing Untuk Melindungi Hak-Hak Atas Tanah Warga Negara Indonesia.

(5)

kekayaannya dengan mempunyai lahan pertanian. Disinilah terjadi penguasaan tanah pertanian besar-besaran. Selain itu bagi masyarakat yang tingkat kesejahteraannya rendah, tidak mempunyai kesempatan untuk menguasai lahan pertanian atau tanah pertanian sesuai batas minimum tanah pertanin.

Di Kecamatan Natar saja saat ini banyak sekali pihak-pihak yang menguasai lahan pertanian di bawah batas minimum kepemilikan tanah pertanian dan ada juga pihak-pihak yang menguasai lahan pertanian di atas batas maksimum yang telah ditetapkan sesuai peraturan yang berlaku. Hal tersebut terlihat dari kepadatan penduduk Kabupaten Lampung Selatan pada tahun 2014 mencapai 479 jiwa/Km2. Kepadatan tersebut jika didasarkan pada Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 56 (Prp.) Tahun 1960 tergolong wilayah yang sangat padat sehingga batas maksimum untuk sawah 5 hektar dan untuk tanah kering adalah 6 hektar. Kemudian fakta di masyarakat di Kecamatan Natar terdapat beberapa pihak yang menguasai lebih dari 6 hektar tanah kering baik dengan hak milik, hak gadai, hak sewa, ataupun hak lainnya. Hal tersebut bertentangan dengan pengaturan yang berlaku terutama dalam Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 8 Undang-Undang No. 56 (Prp) 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Sedangkan tujuan di keluarkannya Undang-Undang tersebut untuk mengatasi supaya tidak terjadi monopoli penguasaan tanah di masyarakat sehingga tidak merugikan kepentingan umum dan dapat terselenggaranya pemerataan kesejahteraan.

Berdasarkan uraian di atas saya tertarik untuk melakukan penelitian sekripsi yang berjudul “Pelaksanaan Penetapan Batas Luas Maksimum

Dan Minimum Tanah Pertanian Di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan”

B. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang tersebut diatas maka beberapa pokok permasalahan yang dirumuskan sebagai berikut:

a. Bagaimana pelaksanaan penetapan batas luas maksimum dan minimum tanah pertanian di

Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan?

b. Apasaja yang menjadi faktor penghambat pelaksanaan penetapan batas maksimum dan minimum tanah pertanian di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan?

C. Metode Penelitian

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan normatif-empiris. Data yang dikumpulkan diperoleh dengan metode pengumpulan data yaitu, studi pustaka dilakukan untuk memperoleh data sekunder dengan melakukan kegiatan membaca, mencatat, mengutip, dan menelaah hal-hal yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini, selanjutnya studi lapangan Dilakukan untuk memperoleh data primer yang dilakukan dengan metode wawancara yang dilakukan dengan mengajukan pertanyaan langsung kepada narasumber. Pengolahan data umumnya dilakukan melalui tahap-tahap berikut ini pemeriksaan data, penandaan data , penyusunan/sistematisasi data.

II. PEMBAHASAN

A. Pelaksanaan Penetapan Batas Luas Maksimum dan Minimum Tanah Pertanian di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan

1. Pengaturan tentang Penetapan Batas Maksimum dan Minimum Tanah Pertanian UUPA merupakan pelaksanaan dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 2, Pasal 6, Pasal 7, dan Pasal 17 yang merupakan dasar pengaturan tentang penetapan batas maksimum dan minimum penguasaan tanah pertanian.

Ketentuan dalam UUPA tersebut diatas merupakan ketentuan pokok yang mengatur secara garis besarnya saja, dan untuk melaksanakannya diperlukan peraturan pelaksanaan dengan ketentuan bahwa peraturan-peraturan yang dibentuk ini tidak

(6)

bertentangan dengan ketentuan yang ditetapkan dalam UUPA. Peraturan peraturan tersebut adalah:2

a. Ketetapan MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam

Ketetapan ini merupakan pedoman dalam melakukan pembaharuan hukum pertanahan di Indonesia. Ketentuan dalam Tap MPR ini dapat dijadikan sebagai arahan dan landasan bagi peraturan perundang-undangan mengenai perombakan hukum pertanahan di Indonesia. Seperti dalam Pasal 5 Tap MPR Nomor IX/MPR/2001, arah kebijakan pembaharuan agraria ini mencakup suatu proses yang berkesinambungan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah, yang dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.

Akan tetapi sampai saat ini belum ada pembaharuan peraturan perundang-undangan terkait dengan penataan kembali penguasaan dan pemilikan tanah pertanian. Hal ini dibuktikan dari hasil wawancara dengan Jeje Fahrudin yang menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai batas luas maksimum dan minimum hanya Undang-Undang No. 56 Prp 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian dan belum ada aturan lain yang mengatur hal tersebut.

b. Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian

Undang-undang ini merupakan tindak lanjut dari ketentuan Pasal 7 dan Pasal 17 UUPA. Berdasarkan pada penjelasan umum undang-undang tersebut, dinyatakan bahwa perlunya penetapan luas tanah pertanian tersebut didasarkan pada kenyataan:

2Ni Nyoman Mariadi.2011.Kewenangan Pemerintah dalam

Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertanian.Tesis.Denpasar:Universitas Udayana. hlm 122

a. Keadaan masyarakat tani Indonesia saat ini ialah bahwa kurang lebih 60% dari para petani adalah petani tidak bertanah. Sebagian dari mereka adalah buruh tani dan sebagian lagi mengerjakan tanah orang lain sebagai penyewa atau penggarap dalam hubungan perjanjian bagi hasil. Sedangkan petani yang mempunyai tanah, hanya menguasai tanah kurang dari satu hektar. Disamping itu sebagian masyarakat menguasai tanah yang luasnya berpuluh-puluh hektar. Tanah-tanah tersebut sebagian dikuasai dengan hak gadai atau sewa. Sehingga hal tersebut bertentangan dengan usaha produktifitas petani.

b. Bahwa terdapat orang yang memiliki tanah berlebihan, sedangkan sebagian besar masyarakat tidak mempunyai tanah yang cukup. Hal ini bertentangan dengan asas sosialisme yang di junjung tinggi bangsa Indonesia yang menghendaki pembagian yang merata atas penghidupan rakyat. Agar ada pembagian yang adil atas hasil tanah, maka perlu ditetapkan batas maksimum dan minimum penguasaan tanah pertanian. Disamping itu, UUPA juga memandang perlu adanya penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dengan tujuan dapat tercapainya taraf penghidupan yang layak, dan juga bertujuan untuk mencegah dilakukan pemecahan tanah lebih lanjut. Undang-Undang ini sudah berlaku lebih dari 55 tahun akan tetapi di Indonesia khususnya di Kecamatan Natar asas sosialisme masih belum dapat diterapkan. Ketentuan didalam undang-undang ini berdasarkan kepadatan penduduk batas maksimum di Kecamatan Natar adalah 6 hektar. Fakta dilapangan dari hasil wawancara dengan masyarakat menunjukkan masih terdapat sebagian pihak yang menguasai tanah pertanian melebihi batas maksimum yang di tetapkan undang-undang ini, seperti pengakuan Warsito menguasai tanah pertanian 9 hektar, Samin menguasai tanah pertanian 12 hektar, dan Salamun menguasai tanah pertanian 10 hektar. Sedangkan di lain pihak masih terdapat penguasaan dibawah batas minimum 2 hektar

(7)

sesuai dengan Pasal 8 undang-undang ini, seperti pengakuan Saifudin menguasai tanah pertanian 0,5 hektar, dan Sardi menguasai tanah pertanian 0,75 hektar.

Akan tetapi menurut pernyataan dari Jeje Fahrudin dari pihak kantor pertanahan sulit untuk mengawasi kepemilikan tanah pertanian satu keluarga supaya tidak melebihi batas maksimum kepemilikan tanah pertanian. Akan tetapi pernah ada sengketa terkait dengan penguasaan tanah pertanian yang melebihi batas maksimum di Lampung Selatan yaitu kepemilikan Pulau Sembesi olah satu keluarga yang akhirnya menjadi tanah objek landreform. Namun tanah tersebut sampai dengan sekarang ini belum ada ganti kerugian dari pemerintah kepada pemilik tanah yang melepaskan tanahnya akibat kelebihan batas maksimum tersebut. Dari sengketa tersebut pihak pertanahan enggan untuk menerapkan Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960.

c. Keputusan Mentri Agraria Nomor Sk. 978/Ka/1960 tentang Penegasan Luas Maksimum Tanah Pertanian

Ditetapkan batas maksimum pada peraturan ini didasarkan pada klarifikasi jenis wilayah dan jenis tanah yang dikuasai. Penetapan daerah tingkat dua ini sengaja menggunakan patokan daerah tingkat II dengan memperhatikan keadaan daerah masing-masing dan mempertimbangkan faktor-faktor tersedianya tanah yang masih dapat dibagi, juga kepadatan penduduk, jenis-jenis tanaman dan kesuburan tanah. Akan tetapi aturan ini sudah tidak sesuai dengan keadaan di masing-masing daerah sehingga di cabut dengan Peraturan Kepala BPN No. 10 Tahun 2014 tentang Pencabutan Peraturan Perundang-Undangan mengenai Pertanahan. Dalam Pasal 1 Peraturan Kepala BPN No. 10 Tahun 2014 menyatakan: “mencabut dan menyatakan tidak berlaku Peraturan Mentri Agraria,Peraturan Mentri Negara Agraria, Peraturan Mentri Pertanian dan Agraria, Peraturan Kepala BPN Republik Indonesia, Peraturan Direktorat Jenderal

Agraria, Peraturan Direktorat Jenderal Agraria dan Transmigrasi, Keputusan Mentri Negara Agraria, Keputusan Direktorat Jenderal Agraria, Keputusan Kepala BPN Republik Indonesia, Instruksi Panitia Landreform Pusat, dan Surat Edaran Mentri Agraria/Kepala BPN Republik Indonesia, sebagaimana tercantum pada lampiran peraturan ini.”

d. Peraturan Pemerintah Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian

Peraturan pemerintah ini merupakan aturan pelaksana dari Undang-Undang No. 56 Prp. Tahun 1960. Peraturan pemerintah ini mengatur pemberian ganti kerugian kepada masyarakat yang tanahnya diambil pemerintah akibat dari kepemilikan tanah yang melebihi batas maksimum yang telah ditetapkan Undang-Undang No. 56 Prp. Tahun 1960. Berdasarkan hasil wawancara dengan Jeje Fahrudin, proses redistribusi tanah pertanian yang diambil pemerintah dari kelebihan batas maksimum tidak dapat dialihkan selama 10 tahun kecuali pemilik memiliki izin. Sedangkan proses ganti kerugian terhadap tanah yang melebihi batas maksimum, seperti contohnya kepemilikan pulau sembesi oleh satu orang yang menjadi objek landreform. Proses ganti kerugian sampai saat ini belum dibayarkan. e. Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1964

tentang Perubahan dan Tambahan PP No. 224 Tahun 1961

Peraturan pemerintah ini merupakan perubahan dan tambahan PP No. 224 Tahun 1961. Peraturan pemerintah ini mengatur larangan pemilikan tanah pertanian secara absentee atau guntai, yang disebabkan pemilik tanah pertanian meninggalkan tempat kediaman keluar kecamatan tanah hak miliknya.

f. Peraturan Mentri Dalam Negri Nomor 15 Tahun 1974 tentang Pedoman Tindak Lanjut Pelaksanaan Landreform.

(8)

Pasal 2 Peraturan Mentri Dalam Negri No. 15 Tahun 1974 menyebutkan bahwa penguasaan tanah yang melebihi batas maksimum dan belum dikuasai oleh pemerintah, wajib dilaporkan oleh pihak yang menguasainya dalam waktu 6 bulan terhitung sejak berlakunya peraturan ini kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Selanjutnya kepada pemilik yang menguasai tanah melebihi batas maksimum, selambat-lambatnya dalam waktu satu tahun sejak berlakunya peraturan ini diharuskan mengakhiri penguasaan tanah kelebihannya tersebut.

Dari fakta yang ada di masyarakat dari hasil wawancara dengan masyarakat di Kecamatan Natar menyatakan bahwa tidak ada masyarakat yang mengetahui adanya aturan terkait dengan batas maksimum kepemilikan tanah pertanian. Sehingga masyarakat yang menguasai tanah batas maksimum tidak melaporkan tanahnya, dan pihak Kantor Pertanahan tidak melakukan tindakan.

g. Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1980 tentang Organisasi dan Tata Kerja penyelenggaraan Landreform.

Didalam keputusan presiden ini terdapat peran camat dan kepala desa dalam mewujudkan pelaksanaan landreform. Sesuai dengan Pasal 6 salah satu tugas dari camat dan kepala desa adalah untuk mengawasi terlaksananya peraturan perundang-undangan landreform. Akantetapi fakta yang ada dari hasil wawancara pihak kecamatan dan kepala desa tidak ada yang mengetahui adanya aturan terkait dengan landreform yang salah satu programnya tercantum dalam Undang-Undang No. 56 Prp. Tahun 1960 yaitu penetapan batas maksimum tanah pertanian.

Selain itu menurut Jeje Fahrudin memang tidak pernah diadakan koordinasi dengan pihak kecamatan dan desa, karena walaupun diadakan koordinasi dan didapati penguasaan yang melebihi batas maksimum, pemerintah tidak

dapat memberikan ganti kerugian kepada pemilik tanah yang tanahnya diambil akibat kelebihan batas maksimum.

2. Pelaksanaan Penetapan Batas Luas Maksimum dan Minimum Tanah Pertanian di Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan

Pelaksanaan merupakan aktifitas atau usaha-usaha yang dilaksanakan untuk melaksanakan semua rencana dan kebijakan yang telah dirumuskan dan ditetapkan dengan segala kebutuhan, alat-alat yang diperlukan, siapa yang melaksanakan, dimana tempat pelaksanaan, dan bagaimana cara yang harus dilaksanakan. Batas luas maksimum dan minimum adalah batas luas yang ditetapkan oleh Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 dalam Pasal 1 ayat (2) dan Pasal 8 sesuai dengan kepadatan penduduk tiap daerah.

Pengaturan batas luas maksimum dan minimum tanah pertanian berawal dari ditetapkannya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA) sebagai perwujudan dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, dan salah satu aspek penting diundangkannya UUPA adalah dengan dicantumkannya program landreform di Indonesia.

Landreform di Indonesia merupakan perombakan struktur pertanahan baik mengenai pemilikan ataupun penguasaan tanah serta dalam rangka memperbaiki hubungan-hubungan hukum yang bersangkutan dengan penguasaan tanah. Landreform diharapkan dapat memperkuat dan memperluas pemilikan tanah untuk seluruh rakyat Indonesia, terutama kaum petani. Pelaksanaan landreform adalah untuk melakukan penertiban dan pengaturan serta penguasaan tanah pertanian yang melebihi batas maksimum dan pemilikan tanah secara absentee.

Pasal 17 ayat (1 dan 2) UUPA yang merupakan pelaksanaan dari ketentuan Pasal 7 menyatakan, bahwa di dalam waktu yang singkat perlu diatur luas maksimum tanah yang boleh dipunyai suatu hak oleh satu keluarga atau badan hukum. Sebagai tindak lanjut dari ketentuan-ketentuan Pasal 7 dan Pasal 17 tersebut, pemerintah telah mengeluarkan

(9)

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian pada tanggal 29 Desember 1960. Undang-undang ini pada dasarnya bertujuan untuk mengatur batas maksimum dan/atau batas minimum tanah pertanian yang boleh dikuasai dan dimilki. Luas tanah pertanian yang boleh dimiliki di masing-masing daerah berbeda-beda, hal ini disesuaikan dengan keadaan daerah, luas daerah, dan jumlah penduduk daerah yang bersangkutan. Perpu Nomor 56 Tahun 1960 inilah yang kemudian ditetapkan menjadi Undang-Undang Nomor 56 Prp tahun 1960, penjelasannya dimuat dalam Tambahan Lembaran Negara Nomor 5117 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian. Undang-Undang Nomor 56 Prp. Tahun 1960, undang-undang ini yang kemudian dikenal merupakan induk pelaksanaan landreform di Indonesia. Undang-Undang ini mengatur tiga masalah yang pokok yaitu sebagai berikut:3

1. Penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian

2. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah itu menjadi bagian-bagian yang sangat kecil

3. Pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan.

Penetapan luas maksimum tanah pertanian yang dapat dimiliki oleh keluarga petani ditetapkan untuk tiap-tiap kabupaten/kota dengan memperhatikan keadaan daerah masing-masing dan faktor-faktor seperti:

a. ketersediaan tanah-tanah yang masih dapat dibagi;

b. kepadatan penduduk;

c. jenis dan kesuburan tanahnya (diadakan perbedaan antara sawah dan tanah kering, diperhatikan apakah ada pengairan yang teratur atau tidak);

3Boedi Harsono.1995. Undang-Undang Pokok Agraria,

Hukum Tanah Indonesia. Jakarta:Djambatan. hlm 355

d. besarnya usaha tani yang sebaik-baiknya menurut kemampuan satu keluarga, dengan mengerjakan beberapa buruh tani;

e. serta kemajuan teknologi pertanian.

Untuk itu diadakan daftar penggolongan daerah antara daerah yang tidak padat dengan daerah yang padat, untuk daerah yang padat dibedakan lagi menjadi: sangat padat, cukup padat, dan kurang padat, yang disertai dengan jenis tanahnya yaitu antara tanah sawah dan tanah kering.Lebih jelasnya dapat dilihat dalam tabel sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, sebagai berikut:

Tabel 2. Kriteria Kepadatan Penduduk dan Golongan Daerah Kepadatan Penduduk Tiap Km2 Golongan Daerah >50 Tidak Padat 51-250 Kurang Padat 251-400 Cukup Padat 401< Sangat Padat Sumber: Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 Pasal 1 ayat (2) UU No. 56 Prp Tahun 1960 yang menentukan bahwa seseorang atau orang-orang yang dalam penghidupannya merupakan satu keluarga, bersama-sama haknya diperbolehkan menguasai tanah pertanian, baik miliknya sendiri atau kepunyaan orang lain, ataupun miliknya sendiri bersama orang lain, yang jumlah luasnya tidak melebihi maksimum yang disebut dalam tabel berikut ini:

Tabel 3. Kepadatan Penduduk dan Luas Maksimum Pemilikan dan Penguasaan Tanah Pertanian

Golongan Daerah

Sawah atau Tanah Kering (Ha)

Tidak Padat 15 20

Kurang Padat 10 12

Cukup Padat 7,5 9

Sangat Padat 5 6

Sumber: Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 Dalam hal yang demikian, dalam Pasal 1 ayat (2) tersebut menetapkan bahwa untuk menghitung luas

(10)

maksimum jika yang dikuasai merupakan sawah dan tanah kering yaitu luas sawah dijumlahkan dengan luas tanah kering dengan menilai tanah kering sama dengan tanah sawah ditambah 30% di daerah yang tidak padat dan 20 % di daerah-daerah yang padat, dengan ketentuan bahwa tanah pertanian yang dikuasai seluruhnya tidak boleh lebih dari 20 hektar.

Selanjutnya yang menentukan apakah luas maksimum itu dilampaui atau tidak bukanlah terbatas pada tanah-tanah miliknya sendiri melainkan keseluruhan tanah pertanian yang dikuasainya, jadi termasuk juga tanah-tanah kepunyaan orang lain yang dikuasainya dalam hubungan gadai, sewa (jual tahunan), dan sebagainya. Tetapi tanah-tanah yang dikuasai dengan hak guna usaha atau hak-hak lainnya yang bersifat sementara dan terbatas yang diperoleh dari pemerintah serta tanah-tanah yang dikuasai oleh badan hukum tidak terkena ketentuan mengenai luas maksimum tersebut.4

Untuk menghindari keraguan dalam melaksanakan ketentuan Pasal 1 UU No. 56 Prp Tahun 1960, di dalam Instruksi Bersama Mentri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah dengan Mentri Agraria dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan keluarga adalah sekelompok orang-orang yang merupakan kesatuan penghidupan dengan mengandung unsur pertalian darah atau perkawinan. Sedangkan untuk satu keluarga yang beristri lebih dari satu, dalam peraturan tersebut tidak dijelaskan.

Pasal 3 Undang-Undang No. 56 Prp. Tahun 1960 menyebutkan, orang-orang dan kepala-kepala keluarga yang anggota-anggota keluarganya menguasai tanah pertanian yang jumlah luasnya melebihi luas maksimum, wajib melaporkan hal itu kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota di dalam waktu 3 bulan sejak mulai berlakunya peraturan ini, kalau dipandang perlu maka jangka waktu tersebut dapat diperpanjang lagi.

Dengan demikian, apabila seseorang memiliki tanah yang melampaui batas maksimum, maka tanah

4Chidir Ali.1979. Yurisprudensi Indonesia tentang Hukum

Agraria. Bandung:Bina Cipta. hlm. 9

kelebihannya akan diambil oleh pemerintah dengan memberi ganti kerugian kepada bekas pemilik tanah. Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 13 Tahun 1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pembayaran Ganti Kerugian dan Harga Tanah Kelebihan Maksimum dan Guntai (Absentee) Obyek Redistribusi Landreform, ditetapkan pembayaran ganti kerugian kepada bekas pemilik tanah kelebihan maksimum adalah dilaksanakan sebagai berikut:

a. Pemerintah memberikan dalam bentuk uang tunai sebesar nilai dari hasil perhitungan besarnya ganti kerugian sebagaimana diatur dalam Pasal 6 PP No. 224 Tahun 1961, yakni yang besarnya ditetapkan oleh Panitia Landreform Daerah Tingkat II yang bersangkutan.

b. Pembayaran secara langsung dari petani penerima redistribusi kepada bekas pemilik tanah sesuai dengan ketentuan tersebut dalam huruf a.

Berdasarkan fakta yang didapat penulis dari hasil wawancara dengan masyarakat bahwa masih terdapat beberapa pihak yang menguasai tanah pertanian melebihi batas maksimum. Di Kabupaten Lampung Selatan yang memiliki kepadatan penduduk 479 jiwa/Km2 berdasarkan Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960merupakan wilayah yang sangat padat sehingga batas maksimum kepemilikan tanah pertanian adalah 6 hektar. Sebagai contoh pihak yang menguasai tanah melebihi batas maksimum adalah Warsito menguasai tanah pertanian 9 hektar, Samin menguasai tanah pertanian 12 hektar, dan Salamun menguasai tanah pertanian 10 hektar. Menurut pernyataan pihak yang menguasai tanah yang melebihi batas maksimum mereka tidak mengetahui adanya aturan mengenai penguasaan tanah pertanian, hal tersebut dikarenakan tidak pernah ada sosialisasi tentang undang-undang yang membatasi tanah pertanian. Selain itu sejauh ini tidak pernah ada tindakan dari pemerintah untuk mengambil tanah yang melebihi batas maksimum yang telah ditetapkan.

Sedangkan menurut Jeje Fahrudin pihak pertanahan tidak mengetahui adanya kepemilikan tanah

(11)

pertanian yang melebihi batas maksimum. Akan tetapi walaupun mengetahui menurutnya pihak pertanahan tidak dapat mengambil tanah yang berlebih tersebut karena seperti pada kasus pulau sembesi bahwa pemilik tanah sampai saat ini belum mendapatkan ganti kerugian dari pemerintah.

Dari fakta diatas dapat kita ketahui bahwa peraturan perundang-undangan yang ditetapkan pemerintah terkait dengan penguasaan tanah pertanian yang memiliki tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidup keluarga petani tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan atau tidak terlaksana di masyarakat khususnya di Kecamatan Natar. Menurut penulis penggolongan daerah tidak padat, kurang padat, cukup padat, dan sangat padat berdasarkan kepadatan penduduk sesuai dengan Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 sudah tidak sesuai lagi. Karena pertumbuhan penduduk yang semakin bertambah dan luas tanah yang tetap. Seperti contoh daerah tingkat II di Provinsi Lampung, berdasark`an tabel:

Tabel 4. Kepadatan Penduduk menurut Kabupaten di Provinsi Lampung

Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Lampung 2014

Berdasarkan tabel diatas Kabupaten Lampung Selatan yang menjadi objek penelitian memiliki kepadatan penduduk 479 Jiwa/Km2 apabila didasarkan pada Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 tergolong daerah yang sangat padat. Tetapi fakta saat ini seperti yang digambarkan pada tabel jika di bandingkan dengan

Kota Metro dan Kota Bandar Lampung maka Kabupaten Lampung Selatan dengan kepadatan penduduk 479 Jiwa/Km2 seharusnya masuk golongan daerah yang cukup padat. Berdasarkan hal tersebut menurut penulis Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian sudah tidak relevan lagi di masyarakat saat ini, sehingga pemerintah perlu mengkaji ulang undang-undang ini.

Selain penetapan batas maksimum, dalam pasal 17 UUPA juga menyatakan perlu ditetapkannya batas minimum. Dalam Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 tersebut ditentukan juga penetapan luas minimum tanah pertanian dengan tujuan supaya tiap keluarga petani mempunyai tanah yang cukup luasnya untuk mencapai taraf penghidupan yang layak dan meningkatkan kesejahteraan keluarga. Luas minimum ditetapkan 2 hektar, baik untuk sawah maupun tanah kering. Batas 2 hektar itu merupakan tujuan yang akan diusahakan tercapainya secara bertahap, sehubungan dengan itu maka ditetapkan larangan pemecahan pemilikan tanah pertanian menjadi bagian-bagian yang kecil yang tertuang dalam Pasal 9 Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960.

Dalam Pasal 8 Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 yang menyatakan “Pemerintah mengadakan usaha-usaha agar supaya setiap petani sekeluarga memiliki tanah pertanian minimum 2 hektar”, jelas ini berarti Pemerintah berharap agar petani sekeluarga dapat memiliki tanah pertanian baik berupa tanah sawah atau tanah kering minimal 2 hektar sebagai pemilik bukan sebagai penggarap atau sebagai penyewa. Maksud dari penetapan luas minimum tanah pertanian ini ialah untuk meningkatkan kesejahteraan dan menambah gairah bekerja para petani kecil, yang semula tidak memiliki tanah sendiri lalu mendapatkan pembagian tanah untuk dimiliki sendiri dengan suatu hak. Adanya Penetapan batas minimum ini ditujukan agar setiap keluarga petani dapat mempunyai tanah yang luasnya cukup layak untuk digunakan sebagai sandaran hidup keluarganya. Pembatasan penguasaan tanah minimum bertujuan untuk mencegah dilakukannya pemecahan lebih lanjut,

No. Kabupaten/Kota Jumlah Penduduk Luas Km2 Penduduk /Km2 1. Pesisir Barat 148.412 2907,23 51,05 2. Lampung Barat 290.388 3368,14 86,22 3. Mesuji 194.282 2184 88,96 4. Way Kanan 428.097 3921,63 109,16 5. Tulang Bawang 423.710 3347 126,59 6. Lampung Timur 998.720 5300 188,44 7. Tanggamus 567.172 2731,61 207,63 8. Tulang Bawang Barat 262.316 1201 218,41 9. Lampung Utara 602.727 2725,63 221,13 10. Lampung Tengah 1.227.185 4789,87 256,2 11. Pesawaran 421.497 1173,77 359,1 12. Lampung Selatan 961.897 2007,01 479,27 13. Pringsewu 383.101 625 612,96 14. Metro 155.992 68,74 2269,3 15. Bandar Lampung 960.695 169,21 5677,53

(12)

yang dapat menghambat usaha-usaha untuk mempertinggi taraf hidup petani.

Fakta yang ada di Kecamatan Natar masih terdapat pihak-pihak yang menguasai tanah pertanian dibawah batas maksimum seperti Saifudin menguasai tanah pertanian 0,5 hektar, dan Sardi menguasai tanah pertanian 0,75 hektar. Selain itu menurut warsito banyak masyarakat menjual tanah pertanian sehingga mengakibatkan penguasaan dibawah batas minimum akibat dari kebutuhan yang mendesak seperti untuk berobat dan untuk kebutuhan ekonomi lainnya. Dari fakta tersebut nampak jelas bahwa penetapan batas minimum tanah pertanian tidak dapat dilaksanakan di masyarakat.

B. Faktor Penghambat Pelaksanaan Penetapan Batas Maksimum dan Minimum Tanah Pertanian

1. Faktor-Faktor yang mempengaruhi Terlaksananya Penetapan Luas Tanah Pertanian Tanah erat hubungannya dengan kehidupan manusia. Setiap manusia pasti memerlukan tanah bahkan ketika meninggal manusia masih memerlukan tanah. Jumlah luas tanah yang tetap tidak seimbang dengan jumlah manusia yang semakin bertambah. Kebutuhan akan tanah meningkat tetapi tidak seimbang dengan percepatan pertambahan penduduk. Undang-Undang No. 56 (Prp) Tahun 1960 mengatur mengenai pembatasan luas tanah pertanian yang dimiliki oleh suatu keluarga supaya terjadi pemerataan kepemilikan dan tidak terjadi ketimpangan kepemilikan tanah pertanian.

Seperti yang sudah dijelaskan di atas, Undang-Undang No. 56 (Prp) Tahun 1960 tidak dilaksanakan dengan baik dan tidak sesuai dengan keadaan di masyarakat Kecamatan Natar. Hal tersebut dikarenakan kondisi tanah semakin sempit dan pemecahan tanah pertanian yang tidak bisa dihindari karena kebutuhan akan ekonomi. Pemecahan tanah pertanian biasanya melalui peralihan hak atas tanah yang pada akhirnya membuat semakin jauhnya dari usaha untuk melaksanakan Undang-Undang No. 56 (Prp) Tahun

1960. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi terlaksananya Undang-Undang No. 56 (Prp) Tahun 1960 terhadap kondisi kepemilikan tanah pertanian di Kecamatan Natar antara lain :

a. Percepatan Pertumbuhan Penduduk

Jumlah manusia setiap tahunnya pasti bertambah namun luas tanah tetap. Kebutuhan akan tanah meningkat sehingga tidak seimbang dengan percepatan pertambahan penduduk yang akhirnya mendesak keberadaan tanah pertanian. Di Kabupaten Lampung Selatan, angka kepadatan penduduk tiap Km2 berkisar 479 jiwa dengan luas 2007 Km2 dan total penduduk 961897 jiwa. Bertambahnya penduduk tidak dapat diimbangi dengan luas tanah yang tetap dan akibatnya kebutuhan akan tanah meningkat. Tidak heran jika tanah pertanian semakin menyusut. Tanah pertanian yang dulunya dimiliki oleh satu orang kemudian menjadi milik beberapa orang karena memang kebutuhan tanah sudah sangat mendesak.

Pertambahan penduduk dan ketersediaan tanah adalah kenyataan yang harus dihadapi saat ini. Sedangkan Undang-Undang No. 56 (Prp) Tahun 1960 menyatakan pada Pasal 8, setiap petani atau keluarga petani memiliki tanah pertanian minimal dua hektar luasnya. Hal ini tentu tidak sesuai jika melihat tingkat kepadatan penduduk di Kecamatan Natar. Terlepas dari kepemilikan tanah pertanian, seseorang pasti juga memerlukan tanah untuk tempat tinggal sehingga secara otomatis tanah pertanian akan semakin terdesak keberadaannya. Pertambahan penduduk yang cepat merupakan akar permasalahan sudah tidak sesuainya Undang-Undang No. 56 (Prp) Tahun 1960. Pertambahan penduduk yang cepat mengakibatkan ketersediaan tanah pertanian semakin terbatas dan akhirnya juga mempengaruhi adanya pemecahan tanah pertanian. Yang akhirnya mengakibatkan kepemilikan tanah pertanian dibawah batas minimum dua hektar dan diatas batas maksimum oleh setiap petani. Sehingga undang-undang tersebut tidak terlaksana dengan baik dan perlu adanya pengawasan supaya Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 dapat dilaksanakan dengan baik.

(13)

b. Jual Beli

Jual beli tanah menurut hukum adat adalah suatu perbuatan pemindahan hak atas tanah yang bersifat terang dan tunai. Terang berarti perbuatan pemindahan hak harus dilakukan dihadapan kepala adat. Tunai berarti bahwa perbuatan pemindahan hak dan pembayaran harganya dilakukan secara bersamaan walaupun baru dibayar sebagian.5 Namun jual beli menurut hukum nasional juga memiliki sifat terang dan riil. Jual beli dilakukan oleh para pihak di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), itulah yang dimaksud dengan bersifat terang. Akta jual beli yang ditandatangani oleh para pihak memenuhi sifat riil.

Undang-Undang No. 56 (Prp) Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian memuat hal pokok yang salah satunya adalah larangan melakukan perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah-tanah itu menjadi bagian yang terlampau kecil. Pasal 9 menyebutkan sebagai berikut :

“Pemindahan hak atas tanah pertanian, kecuali pembagian warisan, dilarang apabila pemindahan hak itu mengakibatkan timbulnya atau berlangsungnya pemilikan tanah yang luasnya kurang dari dua hektar. Larangan termaksud tidak berlaku kalau sipenjual hanya memiliki bidang tanah yang luasnya kurang dari dua hektar dan tanah itu dijual sekaligus.” Pemecahan tanah pertanian yang luasnya di bawah batas minimum dua hektar kecuali karena pembagian melalui pewarisan adalah dilarang. Namun pada kenyataannya di Kecamatan Natar, masih banyak terjadi pemecahan tanah pertanian di bawah minimum 2 hektar melalui jual beli. Yang mengakibatkan kepemilikan tanah kurang dari 2 hektar dan melebihi batas maksimum 6 hektar sesuai yang ditetapkan dalam Undang-Undang No 56 Prp Tahun 1960.

Kebutuhan ekonomi adalah persoalan tiada habisnya dan menjadi alasan mendasar seseorang

5 Andrian Sutedi.2009.Peralihan Hak Atas Tanah dan

Pendaftarannya. Jakarta:Sinar Grafika. hlm 72

untuk melepaskan tanahnya. Perbuatan hukum peralihan hak atas tanah melalui jual beli yang dapat mengakibatkan kepemilikan tanah pertanian di bawah 2 hektar dan melebihi batas maskimum 6 hektar hal ini tidak akan terjadi jika dalam hal peralihan hak atas tanah terorganisir dengan baik. Berdasarkan Pasal 4 Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 mengatur bahwa pemindahan hak milik atas tanah harus mendapatkan izin dari pejabat yang berwenang. Dalam hal ini yang berwenang mengeluarkan izin pemindahan hak adalah Kantor Pertanahan. Pihak penjual mendasarkan alasan jual beli sebagian tanah pertanian adalah karena keterdesakan ekonomi. Hal tersebut mengakibatkan Kantor Pertanahan mengeluarkan izin pemindahan hak atas dasar kemanusiaan. Seseorang yang menjual tanahnya karena alasan ekonomi tentu tidak bisa dilarang oleh pihak Kantor Pertanahan. Kemudian berdasarkan Peraturan Kepala BPN No 3 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2011 tentang Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah Dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu, dalam peraturan tersebut menyatakan bahwa izin pemindahan hak terhadap hak milik, hak guna bangunan dan hak pakai tidak berlaku lagi. Disamping itu kemudian pemerintah membentuk Self-Control System. Self-Control System adalah kontrol yang dijalankan oleh masyarakat terutama oleh penerima hak dengan cara cukup membuat pernyataan bahwa peralihan tersebut tidak akan menimbulkan pemilikan tanah melampaui batas maksimum, tanah absentee atau subjek hak yang tidek berhak.

Akibat dari tidak berlakunya izin pemindahan hak, maka kontrol dari pemerintah untuk mengawasi kepemilikan tanah yang melebihi batas maksimum tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Walaupun pemerintah membentuk Self-Control System akan tetapi itu hanya membuat sebuah pernyataan bahwa peralihan tersebut tidak akan menimbulkan pemilikan tanah melampaui batas maksimum. Fakta yang ada dilapangan, adanya penguasaan tanah pertanian yang melebihi batas maksimum tanah pertanian menunjukan bahwa

(14)

Self-Control System tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya.

2. Faktor Penghambat dalam Pelaksanaan Penetapan Batas Luas Maksimum dan Minimum Tanah Pertanian

Undang-Undang No. 56 (Prp) Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian membahas beberapa hal pokok yaitu masalah penetapan luas maksimum dan minimum tanah pertanian, larangan melakukan perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah menjadi bagian yang terlampau kecil serta persoalan yang mengakibatkan pemilikan tanah pertanian yang melebihi batas maksimum yang telah ditetapkan. Penetapan luas maksimum dan minimum tanah pertanian yang dimaksud dalam Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 bertujuan supaya tiap keluarga petani mempunyai tanah yang cukup luasnya untuk dapat mencapai taraf penghidupan yang layak. Akan tetapi, dalam penerapannya hingga sekarang menemui beberapa kendala antara lain :

a. Masyarakat Awam akan Undang-Undang No. 56 (Prp) Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Lahan Pertanian

Hasil penelitian yang dilakukan peneliti, di dalam masyarakat Kecamatan Natar sebagian besar tidak mengetahui adanya undang-undang yang menetapkan batasan luas tanah-tanah pertanian yang dimiliki. Sebagian besar petani di Kecamatan Natar tidak tahu bahwa luas tanah pertanian yang mereka miliki diatur dalam sebuah undang-undang. Pemerintah sendiri tidak pernah melakukan sosialisasi ataupun kegiatan yang berkaitan dengan pembatasan luas tanah pertanian. Pihak Kecamatan dan Kelurahan sebagai wakil Pemerintah yang paling dekat dengan masyarakat tidak pernah diberikan dan memberikan sosialisasi ataupun kegiatan yang berkaitan dengan pembatasan luas tanah pertanian. Hal tersebut dikarenakan pihak kecamatan dan kelurahan juga tidak tahu akan pembatasan tanah pertanian yang di tetapkan oleh Undang-Undang No 56 Prp Tahun 1960. Pernyataan tersebut didapat dari hasil wawancara

dengan pihak kecamatan dan kelurahan di tiga desa tempat penelitian peneliti, yaitiu:

1. Wawancara dengan Suridari Kepala Bidang Pertanahan Kecamatan Natar (Kamis, 10 Desember 2015 Pukul 10.00 WIB)

Suridari menyatakan pihak Kecamatan Natar tidak tahu adanya Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 yang mengatur batas maksimum dan minimum tanah pertanian. Selain itu berdasarkan pemberitahuan dari Kantor Pertanahan Lampung Selatan batas maksimum untuk satu orang adalah dua hektar. Sehingga apabila ada pendaftaran tanah yang melebihi batas dua hektar maka tanah yang lebihnya dialihkan atas nama keluarganya yang lain. 2. Wawancara dengan Suwardi Kepala Desa

Sukadamai (Selasa, 03 November 2015 Pukul 19.15 WIB)

Suwardi menyatakan tidak mengetahui adanya Undang-Undang No. 56 Prp 1960. Ia juga menyatakan belum pernah mendapatkan pengarahan terkait dengan pembatasan tanah pertanian sehingga ia tidak dapat memberikan sosialisasi terhadap masyarakat di Desa Sukadamai.

3. Wawancara dengan Sularto Kepala Desa Bandarejo (Kamis, 03 Desember 2015 Pukul 08.45 WIB)

Sularto menyatakan tidak mengetahui adanya Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960. Ia juga menyatakan bahwa dari pihak kecamatan belum pernah memberitahukan terkait dengan pembatasan tanah pertanian sehingga ia tidak dapat memberi tahukan kepada masyarakat di Desa Bandarejo.

4. Wawancara dengan Sutoyo Sekertaris Desa Pancasila (Sabtu, 21 November 2015 Pukul 13.00 WIB)

Sutoyo menyatakan tidak mengetahui adanya Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960. Menurutnya belum pernah ada sosialisasi terkait dengan undang-undang tersebut.

Setelah melihat fakta diatas, ternyata bukan hanya masyarakat yang awam dengan Undang-Undang

(15)

No. 56 (Prp) Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian akan tetapi aparat pemerintahan juga awam akan undang-undang ini. Batas maksimum dua hektar yang dibicarakan kepala bidang pertanahan tersebut adalah batas kepemilikan satu orang dalam pemberian hak atas tanah sesuai dengan Pasal 3 Peraturan Kepala BPN No. 1 Tahun 2011 tentang Pelimpahan Kewenangan Pemberian Hak Atas Tanah dan Kegiatan Pendaftaran Tanah Tertentu. Dengan demikian dapat diketahui bahwa inilah kendala mengapa Undang-Undang No. 56 (Prp) Tahun 1960 tidak berjalan di masyarakat terutama di Kecamatan Natar.

b. Dorongan untuk Memecah Tanah Pertanian Percepatan pertumbuhan penduduk yang cepat dan tidak dapat diimbangi dengan jumlah tanah membuat kebutuhan tanah sebagai tempat tinggal semakin meningkat. Tanah yang terbatas ini yang mengakibatkan tanah pertanian pada akhirnya dilepas dan dialihfungsikan. Faktor ekonomi menjadi pertimbangan mengapa seorang petani menjual sebagian tanah pertanian yang dimilikinya. Sedangkan orang yang membeli tanah-tanah dari petani itu sebagian tidak membutuhkan tanah pertanian yang dibutuhkan adalah tempat tinggal dan sebagian yang membeli adalah masyarakat yang memiliki tingkat kesejahteraan lebih dengan tujuan memiliki tanah yang banyak guna menginvestasikan kekayaannya.

c. Sistem untuk Memantau Penguasaan Tanah oleh Kantor Pertanahan yang Kurang Memadai Dalam Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 memuat ketentuan mengenai pembatasan penguasaan dan pemilikan tanah pertanian oleh satu keluarga. Yang termasuk anggota suatu keluarga adalah yang masih menjadi tanggungan sepenuhnya dari keluarga itu yakni suami, istri dan anak-anaknya. Berapa luas tanah yang dikuasai oleh masing-masing anggota suatu keluarga itu yang menjadi pedoman berapa luas tanah yang mereka miliki.

Sedangkan Kantor Pertanahan tidak mempunyai sistem untuk mengawasi atau memantau apakah suatu keluarga telah memiliki tanah sesuai dengan batas minimum dua hektar atau justru sebaliknya sudah melebihi batas maksimum yang ditetapkan. Dari pernyataan Jeje Fahrudin, sangat sulit untuk mengetahui apakah suatu keluarga petani telah memiliki tanah pertanian sesuai dengan luas minimum tanah pertanian yang ditetapkan oleh undang-undang ini atau justru melebihi luas maksimum dari apa yang ditetapkan oleh undang-undang ini. Kondisinya, tanah pertanian yang tersedia semakin terbatas tetapi Kantor Pertanahan belum memiliki data pertanahan yang akurat untuk mengetahui tanah yang berlebihan atau tanah-tanah pertanian yang terlalu kecil.

Kantor Pertanahan mempunyai peranan yang sangat penting dalam penerapan Undang-Undang No. 56 (Prp) Tahun 1960 karena harus mengetahui berapa luas tanah yang dimiliki oleh satu keluarga petani supaya dapat mengetahui apakah petani tersebut telah mempunyai tanah pertanian yang cukup luasnya atau melampaui batas maksimum yang di tetapkan dengan undang-undang ini. Akan tetapi Kantor Pertanahan sampai saat ini belum memiliki data yang akurat seperti yang dijelaskan di atas. Sehingga semakin sulit melaksanakan Undang-Undang No. 56 (Prp) Tahun 1960 ini.

III SIMPULAN

Berdasarkan uraian pembahasan yang telah dikemukakan dalam bab-bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan yang mendasar pada kedua pokok permasalahan, sebagai berikut:

1. Pelaksanaan penetapan batas luas tanah maksimum dan minimum tanah pertanian tidak terlaksana dengan baik. Hal ini dikarenakan batas maksimum di Kecamatan Natar yang ditetapkan dalam Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 sesuai dengan kepadatan penduduk adalah 6 hektar, akantetapi masih terdapat masyarakat yang menguasai tanah pertanian melebihi batas maksimum 6 hektar yang telah ditetapkan tersebut.

(16)

2. Faktor penghambat pelaksanaan penetapan batas luas maksimum dan minimum tanah pertanian adalah ketidak tahuan aparat pemerintah dan masyarakat akan Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960, dorongan untuk memecah tanah menjadi bagian yang terlampau kecil, dan tidak adanya sistem untuk memantau kepemilikan tanah pertanian dalam satu keluarga oleh Kantor Pertanahan sehingga penetapan batas luas maksimum dan minimum tanah pertanian tidak terlaksana dengan baik.

(17)

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Chidir.1979. Yurisprudensi Indonesia tentang Hukum Agraria. Bandung:Bina Cipta

FX Sumarja.2015. Politik Hukum Larangan Kepemilikan Tanah Hak Milik Oleh Orang Asing Untuk Melindungi Hak-Hak Atas Tanah Warga Negara Indonesia.Disertasi. Semarang: Universitas Diponegoro.

Harsono, Boedi.1995. Undang-Undang Pokok Agraria, Hukum Tanah Indonesia. Jakarta:Djambatan

Mariadi, Ni Nyoman.2011.Kewenangan Pemerintah dalam Menetapkan Penguasaan dan Pemilikan Luas Tanah Pertanian.Tesis.Denpasar:Universitas Udayana

Sutedi, Adrian.2009. Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya. Jakarta:Sinar Grafika Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian

Gambar

Tabel 3. Kepadatan Penduduk dan Luas Maksimum  Pemilikan dan Penguasaan Tanah Pertanian
Tabel  4.  Kepadatan  Penduduk  menurut  Kabupaten  di Provinsi Lampung

Referensi

Dokumen terkait

Analisis sperma yang dimaksud meliputi pemeriksaan jumlah milt yang dapat distriping dari seekor ikan jantan masak kelamin, kekentalan sperma, warna, bau,  jumlah

Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara penuh untuk dapat menemukan materi

Alergi susu sapi merupakan salah satu alergi makanan yang sering dijumpai pada anak dengan riwayat atopik. Pada tahun pertama kehidupan, sistem imun seorang anak masih imatur dan

Dari hasil pengamatan setelah biakan yang diinkubasi selama 5 hari ditetesi Methyl Red terlihat pada Gambar 11 menunjukkan bahwa isolat 1R, 2R, dan 8R

Data dalam penelitian ini terdiri dari data realisasi PAD, realisasi Total Pendapatan Daerah, realisasi Total Belanja Daerah, target PAD, realisasi

Pada tahap verifikasi nilai tertinggi berdasarkan Nash-suctliffe dan koefisien korelasi yang ditampilkan dari pemodelan GR4J terletak pada 1 tahun verifikasi dengan

Sebaiknya Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Toba Samosir dalam hal jumlah dan pengadaan fasilitas baik sarana dan prasarana penunjang lainnya yang ada perlu

Ini penting bagi mewujudkan proses pengajaran dan pembelajaran (P&amp;P) yang berkesan. Dalam pemerhatian pengkaji, kebanyakan pensyarah politeknik tidak menggunakan kaedah