• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV PEMBAHASAN. merupakan hal yang paling esensial dalam proses pembangunan. Hal ini harus

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV PEMBAHASAN. merupakan hal yang paling esensial dalam proses pembangunan. Hal ini harus"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

22

Kedaulatan pangan menyangkut hajat hidup orang banyak. Pangan merupakan kebutuhan pokok dan kebutuhan dasar setiap manusia untuk dapat melangsungkan kehidupannya. Perlunya pemenuhan kebutuhan pangan merupakan hal yang paling esensial dalam proses pembangunan. Hal ini harus terus dilakukan agar suatu negara tidak terjerat dalam kerawanan pangan yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan jumlah penduduk yang menderita kelaparan. Pangan sangat erat kaitannya dengan proses pembangunan. Makanan dalam jumlah yang cukup dan bergizi sangat diperlukan untuk meningkatkan kecerdasan, vitalitas serta menentukan produktivitas manusia. Sumber daya manusia yang berkualitas dan produktif menjadi penentu utama produktivitas suatu perekonomian negara.

Era pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, cita-cita kedaulatan pangan tertuang di poin ketujuh agenda prioritas Nawa Cita, yaitu mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis ekonomi domestik. Kedaulatan pangan berarti hak suatu negara yang secara mandiri menentukan kebijakan pangan dan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal (UU No. 18 Tahun 2012 pasal 1 ayat 2 tentang Pangan). Hal ini menunjukkan bahwa agenda Nawa Cita sesuai dengan UU No. 18 Tahun 2012 pasal 1 ayat 2 tentang pangan, yaitu Indonesia harus dapat menentukan seluruh kebijakan dan sistem pangan yang berbasis sumber daya lokal dan tidak

(2)

bergantung oleh negara lain. Tidak hanya berkaitan dengan pembenahan sektor manajemen sumber daya alam dan sumber daya manusia, namun lebih dari itu bahwa konsep kedaulatan pangan juga menyangkut peningkatan taraf kesejahteraan hidup manusia yang menjamin ketersediaan pangan secara mudah dan murah (Sudirja, 2008). Oleh sebab itu, program ini perlu ditindaklanjuti secara serius agar tercapai pembangunan yang lebih baik.

Pandangan Sumarwoto (2007 dalam Sudirja 2008) menyatakan bahwa kebijakan pangan harus diubah melalui Hukum Ekologi Stabilitas Populasi yaitu semakin beragamnya suatu komoditas pangan, semakin menciptakan stabilitas populasi. Kedaulatan pangan mencakup berbagai macam keragaman komoditas. Oleh sebab itu, perlu adanya diversifikasi pangan untuk mewujudkan kedaulatan pangan. Namun demikian, selama ini pemerintah cenderung hanya berfokus pada satu jenis komoditas pangan saja, yaitu padi sehingga kebijakan pangan di Indonesia bersifat monophogous. Oleh sebab itu, Indonesia sangat rentan terhadap krisis pangan. Perlu adanya perubahan mindset pemerintah dan penduduk Indonesia yang masih menganggap komoditas padi merupakan satu-satunya makanan pokok. Kenyataannya, masih banyak keanekaragaman komoditas pangan yang ada di Indonesia seperti jagung, ketela, ubi, sagu, dll. Oleh karena itu, perlu adanya kebijakan yang bersifat poliphagous yang berbasis pada kebudayaan pangan lokal yang sesuai dengan kondisi lingkungan lokal dan memperhatikan semua jenis pangan secara berimbang.

Di negara berkembang termasuk Indonesia, telah terjadi perubahan pola konsumsi dari pangan penghasil energi ke pangan penghasil protein baik hewani

(3)

maupun nabati. Pola perubahan ini disebabkan oleh meningkatnya pendapatan dan pengetahuan masyarakat tentang gizi (Kementerian Perdagangan 2014). Oleh sebab itu, hingga tahun 2050 akan terjadi gap yang semakin besar antara permintaan dan penawaran, dimana tingkat permintaan kedelai lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat penawarannya (Masuda and Goldsmith 2009). Hal inilah yang menyebabkan ketergantungan impor yang semakin tinggi. Menurut Masuda and Goldsmith (2009), sejak tahun 2000 hasil pertanian tidak hanya dibutuhkan untuk kebutuhan pangan dan pakan namun juga untuk energi. Akan tetapi hasil pertanian yang digunakan untuk pangan dan pakan akan tetap dominan hingga sepuluh tahun ke depan.

Kedelai merupakan salah satu komoditas pangan penghasil protein nabati yang populer di Indonesia. Menurut Supadi (2009) terdapat tiga alasan mengapa komoditi kedelai menjadi salah satu indikator dalam mencapai kedaulatan pangan. Pertama, kedelai merupakan komoditas pangan terpenting setelah padi dan jagung. Kedelai sangat dibutuhkan dalam industri pangan dan bungkil kedelai dibutuhkan untuk industri pakan unggas. Kedua, kedelai merupakan komoditas strategis yang unik tapi kontradiktif dalam sistem usaha tani di Indonesia (Sumarno et al, 1989 dalam Supadi 2009). Luas areal tanam kedelai kurang dari lima persen dari seluruh luas areal tanaman pangan, namun komoditas ini memegang posisi sentral dalam seluruh kebijakan pangan nasional. Kedelai telah dikenal sejak awal sebagai sumber protein nabati bagi penduduk Indonesia, namun komoditas ini tidak pernah menjadi tanaman pangan utama seperti padi, jagung atau ubikayu (Sumarno et al, 1989 dalam Supadi 2009). Ketiga, kedelai

(4)

sebagai tanaman palawija tradisional telah berubah dari tanaman sampingan menjadi tanaman strategis dalam perekonomian. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya permintaan kedelai sebagai bahan pangan, bahan pakan unggas dan bahan baku industri.

Hasil laporan Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi (2014) menjelaskan bahwa rata-rata kebutuhan kedelai setiap tahunnya mencapai 2,3 juta ton. Akan tetapi, produksi dalam negeri belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri. Menteri Pertanian pun menyebutkan bahwa impor kedelai Indonesia mencapai 70% dari kebutuhan dalam negeri (Dhany 2013 dalam Kementerian Perdagangan 2014). Oleh sebab itu, pemerintah telah menetapkan kedelai sebagai salah satu komoditas prioritas dan diharapkan tercapai swasembada pada 2017. Dalam penelitian ini membahas mengenai gambaran potensi dan kendala yang dihadapi Indonesia dalam mencapai kedaulatan pangan komoditas kedelai serta mengkaji dan menganalisis kebijakan terkait yang mengaturnya. Oleh sebab itu, secara rinci akan dijelaskan sebagai berikut.

4.1 Potensi Perkembangan Komoditas Kedelai di Indonesia

Dalam upaya untuk mewujudkan kedaulatan pangan komoditas kedelai perlu dilakukan penambahan jumlah areal lahan pertanaman untuk meningkatkan produksi kedelai. Seperti dilansir oleh Agribisnis (2014), Kementerian Agraria sedang mempersiapkan lahan pertanian kedelai yang lokasinya dekat dengan waduk agar mudah mendapatkan pengairan. Kementerian Agraria bekerjasama

(5)

dengan pemerintah mempersiapkan pengadaan lahan untuk membangun 49 waduk guna irigasi sawah.

Selain itu, munculnya jenis varietas baru kedelai merupakan upaya pemerintah dalam mencapai program swasembada pangan. Batan sebagai badan penelitian dan pengembangan tanaman pangan telah menghasilkan bibit unggul kedelai (Haryadi 2015). Tahun 2014 Batan telah menghasilkan 8 varietas unggul kedelai kuning, yaitu Mutiara, Tengger, Rajabasa, Mitani, Mutiara 1, Gamsugen 1 dan 2. Dan pada akhir 2014 telah dirilis varietas kedelai hitam yang diberi nama Mutiara 2 yang memiliki potensi hasil 3,0 ton per hektar dengan rata-rata hasil 2,4 ton per hektar. Selain itu, Batan juga merilis varietas Mutiara 3 dengan potensi hasil 3,2 ton per hektar dan rata-rata hasil 2,4 ton per hektar. Dengan dilepasnya dua varietas unggul kedelai hitam itu, diharapkan dapat berkontribusi dalam meningkatkan produksi kedelai nasional untuk menuju swasembada kedelai.

4.2 Kendala Perkembangan Komoditas Kedelai di Indonesia

Selain potensi yang dimiliki Indonesia dalam mewujudkan kedaulatan pangan untuk komoditas kedelai, ternyata masih banyak kendala atau hambatan yang dihadapi. Nainggolan dan Nunung (2006) menjelaskan bahwa ada beberapa faktor yang menghambat pencapaian swasembada kedelai yaitu produktivitas yang rendah, adanya kompetisi lahan, anggapan petani bahwa mengelola usaha tani kedelai relatif lebih rumit dibandingkan dengan komoditas lainnya, serta adanya kebijakan harga pangan murah dan insentif harga yang rendah bagi petani

(6)

menyebabkan tidak adanya rangsangan yang kuat bagi petani untuk mengembangkan kedelai. Adapun penjelasan dari beberapa faktor di atas yaitu:

Produktivitas kedelai yang rendah disebabkan oleh keterbatasan petani dalam memanfaatkan teknologi dan peralatan mulai dari benih unggul, pemupukan, sistem irigasi dan pengendalian organisme pengganggu tanaman. Oleh sebab itu, rata-rata produktivitas kedelai nasional hanya satu ton per hektar. Pada Tabel 4.1 dapat dilihat tingkat produksi dan produktivitas kedelai Indonesia.

Tabel 4.1

Perkembangan Areal, Produksi dan Produktivitas Kedelai Indonesia 2009-2012

Tahun Areal (ha) Produksi (ton) Produktivitas (ton/ha)

2009 723.000 975.000 1,35

2010 661.000 907.000 1,37

2011 622.000 851.000 1,37

2012 568.000 843.000 1,49

Sumber: Kementerian Perdagangan, 2014, diolah (2016)

Data pada Tabel 4.1 menunjukkan bahwa areal tanam kedelai semakin menurun dari tahun 2009 ke 2012 dan tingkat produksi kedelai juga mengalami penurunan. Produktivitas yang tergolong cukup rendah menyebabkan biaya per unit output menjadi tinggi sehingga harga pokok penjualan kedelai menjadi mahal dan kalah bersaing dengan harga kedelai impor. Sejalan dengan penelitian Nainggolan dan Nunung (2006), berkurangnya lahan pertanian untuk komoditas kedelai dan rendahnya harga jual kedelai di tingkat petani menjadi faktor signifikan yang menghambat peningkatan produksi kedelai (Khairul 2015). Dalam Laporan Kementerian Perdagangan (2014) menyebutkan bahwa kendala lain yang menyebabkan penurunan areal panen kedelai yaitu rendahnya keterampilan petani

(7)

dalam menanam kedelai, belum berkembangnya pola kemitraan karena sektor swasta belum tertarik untuk melakukan agribisnis kedelai, serta kebijakan perdagangan pasar bebas dengan tarif impor nol persen menyebabkan harga kedelai impor lebih murah dari kedelai domestik.

Adanya kompetisi lahan pertanian menjadi salah satu hambatan untuk mengembangkan produksi kedelai, karena lahan merupakan faktor produksi utama bagi pertanian. Adanya konversi atau alih fungsi lahan pertanian di Indonesia menyebabkan terhambatnya peningkatan produksi komoditas pertanian. Oleh sebab itu, pertanian yang bersifat land base agricultural, ketersediaan lahan merupakan syarat mutlak bagi sektor pertanian yang berkelanjutan terutama dalam perannya mewujudkan kebijakan pangan nasional yang menjamin ketersediaan pangan, ketahanan pangan, akses pangan, kualitas pangan dan keamanan pangan. Alih fungsi lahan pertanian menjadi sektor industri dan perumahan tidak hanya berdampak pada penurunan kapasitas produksi pangan, namun juga menyebabkan degradasi agroekosistem, degradasi budaya pertanian dan terhambatnya kesejahteraan petani (Sudirja 2008 dan Sumaryanto 2009).

Dalam mengelola usaha tani kedelai memang relatif lebih rumit dibandingkan dengan komoditas lain seperti jagung, kacang-kacangan dan palawija. Bahkan tidak semua petani familiar menanam kedelai sehingga terjadi kesulitan untuk menambah petani baru yang fokus untuk mengembangkan kedelai. Pendapat ini sejalan dengan penelitian Erythrina (2014) yang menjelaskan bahwa kurangnya minat petani dalam menanam kedelai dikarenakan

(8)

tanaman kedelai kurang menguntungkan dibandingkan dengan tanaman pangan lainnya.

Harga suatu komoditas merupakan pertimbangan utama bagi petani untuk mengembangkan atau tidak, suatu komoditas di lahan yang dimilikinya. Kebijakan harga pangan murah dan insentif harga yang rendah bagi petani menyebabkan mereka tidak bergairah untuk menanam kedelai. Petani kedelai masih diperhadapkan dengan ketidakpastian harga karena tidak ada harga dasar yang menjadi insentif seperti pada tanaman padi. Selama ini, pemerintah hanya berfokus pada program pengembangan tanaman padi. Sehingga alokasi perhatian, sarana dan prasarana, anggaran, sumber daya dan tenaga pembina bagi pengembangan tanaman pangan lainnya seperti kedelai juga terbatas. Selain itu, rendahnya akses petani terhadap lembaga keuangan formal memaksa mereka untuk menjual hasil panennya kepada tengkulak yang telah memberikan pinjaman modal usaha tani (Sudirja 2008). Nilai ekonomi kedelai yang rendah inilah yang menyebabkan demotivasi bagi petani untuk mengembangkan kedelai.

Hingga saat ini, harga kedelai masih diserahkan ke dalam mekanisme pasar bebas (Supadi 2009). Akibatnya, pedaganglah yang menguasai cadangan paling besar dibandingkan dengan pemerintah dan rumah tangga. Dalam era globalisasi pasar bebas, arus barang akan sangat ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran masing-masing negara. Negara pengekspor yang mampu bersaing di pasar internasional adalah negara yang mampu memproduksi secara efisien. Sedangkan negara pengimpor yang mampu bersaing untuk memperoleh barang dari pasar internasional adalah negara yang sanggup

(9)

membayar lebih mahal atau minimal sama dengan harga internasional. Hal ini berarti bahwa untuk memperoleh barang dari pasar internasional, masyarakat suatu negara harus memiliki daya beli yang memadai. Jika daya beli masyarakat lemah, maka kemampuan untuk membeli bahan pangan impor juga lemah, sehingga kedaulatan pangan menjadi rentan. Ketergantungan pada impor pangan akan mengancam stabilitas sosial, ekonomi dan politik (Baharsjah 2004 dalam Supadi 2009).

Dalam kajian yang dilakukan oleh Kementerian Keuangan (2015) mengenai kebijakan kedelai, rendahnya produksi kedelai dalam negeri dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu: (i) penurunan daya saing antar komoditas dalam negeri (dibandingkan padi, jagung, dan tebu) yang menyebabkan usaha tani komoditas kedelai kurang menguntungkan; (ii) penurunan daya saing internasional (harga kedelai impor lebih murah dibanding harga kedelai lokal); (iii) tidak ada dukungan kebijakan harga dan jaminan pasar kedelai lokal; dan (iv) kebijakan tarif dan non tarif kedelai masih kurang, sehingga produk impor terus meningkat.

Tercatat bahwa harga kedelai impor selalu lebih murah dibandingkan harga kedelai lokal. Pada November 2012, harga kedelai impor Rp 9.366/kg sedangkan harga kedelai lokal Rp 9.669/kg. Harga kedelai impor tersebut meningkat pada November 2013 menjadi Rp 10.613/kg dan harga kedelai lokal menjadi Rp 10.628/kg (Kementerian Perdagangan 2013). Hal inilah yang menjadi salah satu faktor mengapa kedelai tidak menjadi komoditas yang menguntungkan bagi usaha tani. Secara rasional, konsumen kedelai dalam hal ini pengrajin

(10)

tahu/tempe lebih memilih menggunakan kedelai impor. Harga yang lebih murah dan kualitas bijinya yang besar menyebabkan mereka untuk lebih memilih kedelai impor. Kualitas kedelai impor memang lebih baik dibandingkan kedelai lokal. Kadar air yang terlalu banyak menyebabkan kedelai lokal lebih cepat busuk karena proses pengeringannya masih menggunakan cara tradisional yaitu dijemur (Zakiah 2011). Bahkan seringkali kedelai yang masih basah langsung dijual karena petani perlu ingin segera mendapatkan uang. Selain itu, stok kedelai lokal juga tidak mampu mencukupi untuk memenuhi kebutuhan perajin.

Sebagai bahan baku pembuatan tahu, kedelai lokal sebenarnya lebih unggul dibanding kedelai impor, yaitu rasa tahunya lebih lezat dan risiko terhadap kesehatan cukup rendah, karena bukan berasal dari benih transgenik, sementara kedelai impor adalah yang sebaliknya. Walaupun lebih unggul sebagai bahan baku tahu, kedelai lokal mempunyai banyak kelemahan jika digunakan sebagai bahan baku tempe, yaitu ukuran bijinya kecil, tidak seragam dan kurang bersih; kulit ari kedelai sulit terkelupas pada saat proses pencucian; serta proses peragiannya lebih lama (Hariyadi 2011).

Sudirja (2008 dan Kementerian Perdagangan 2014) juga menjelaskan bahwa masalah yang sering dihadapi oleh petani adalah ketersediaan benih dan belum berkembangnya industri perbenihan. Rumitnya birokrasi menambah permasalahan dalam penyediaan benih (Kementerian Perdagangan 2014). Oleh sebab itu, ketersediaan benih dan pupuk menjadi masalah yang berulang tiap tahunnya. Selain itu, adanya perubahan iklim dan cuaca juga menjadi penyebab meningkatnya volatilitas harga pangan dunia (Kementerian Perdagangan 2014).

(11)

Efek pemanasan global yang menyebabkan perubahan iklim diperkirakan akan menghambat produktivitas sektor pertanian. Dampak langsung perubahan iklim yang sudah dirasakan sektor pertanian adalah penurunan produktivitas lahan karena terganggunya siklus air, perubahan pola hujan, dan peningkatan frekuensi anomali cuaca ekstrem yang mengakibatkan pergeseran musim tanam. Selain itu, salah satu faktor penyebab kenaikan harga kedelai di Indonesia yaitu terjadinya kekeringan di Amerika Serikat sebagai negara penghasil utama kedelai yang berdampak pada naiknya harga kedelai impor dan juga kedelai domestik. Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO), fenomena El Nino akan berlangsung hingga 2016 dan akan berdampak terhadap negara-negara di Asia dan Amerika Serikat yang berdampak pada menurunnya produksi pangan dunia.6

6

Harian Kompas edisi 2 Desember 2015, halaman 37 dengan judul "Kedaulatan di Atas Data yang Rapuh".

(12)

4.3 Gambaran Ekspor-Impor Tanaman Pangan di Indonesia dan Permasalahan Lainnya

Indonesia melakukan perdagangan internasional dalam komoditas pertanian sub sektor tanaman pangan, namun hampir seluruh komoditas pangan mengalami defisit, kecuali ubi jalar. Hal ini dapat dilihat di Tabel 4.2 sebagai berikut.

Tabel 4.2

Nilai Ekspor, Impor dan Neraca Perdagangan Komoditas Pertanian Sub Sektor Tanaman Pangan, Januari – Desember 2014

No Komoditas Nilai (US$ 000) Neraca (US$ 000) Ekspor Impor 1 Beras 1.264 375.220 -373.956 2 Jagung 16.047 854.044 -837.997 3 Kedelai 44.210 3.367.977 -3.323.767 4 Gandum 43.932 2.509.682 -2.465.750 5 Ubi Kayu 35.985 160.491 -124.506 6 Kacang Tanah 15.527 287.683 -272.156 7 Ubi Jalar 8.371 40 8.331 8 Lainnya 40.838 103.718 -62.880 Sumber: Pusdatin (2015)

Andalan ekspor utama komoditas tanaman pangan bulan Januari hingga Desember 2014 adalah kedelai. Komoditas ini merupakan komoditas tanaman pangan yang menyumbang ekspor dan impor terbesar dalam perdagangan internasional selama periode tersebut. Ekspor komoditas kedelai pada bulan Januari hingga Desember 2014 mencapai US$ 44,21 juta sedangkan dari sisi impor, kedelai memberikan kontribusi sebesar US$ 3,37 milyar. Oleh sebab itu, neraca perdagangan komoditas kedelai mengalami defisit terbesar yaitu US$ 3,32

(13)

milyar. Dari Tabel 4.2 juga menunjukkan bahwa ubi jalar merupakan komoditas tanaman pangan yang mengalami surplus terbesar di tengah terjadinya defisit pada neraca perdagangan hampir seluruh tanaman pangan.

Tabel 4.3

Impor Komoditas Pertanian Sub Sektor Tanaman Pangan Indonesia dari Amerika Serikat, Januari-Desember 2014

No Komoditas Volume (Ton) Nilai (US$ 000)

1 Kedelai 1.904.295 1.140.895

2 Gandum 981.765 340.092

3 Jagung 114.432 40.425

4 Lainnya 2.422 10.343

Sumber: Pusdatin (2015)

Dominasi kedelai impor, khususnya yang diimpor dari Amerika Serikat, benar-benar membuktikan bahwa tidak ada kedaulatan pangan di negeri ini. Pangsa produksi kedelai di Indonesia kurang dari satu persen dari produksi kedelai dunia. Produksi kedelai dunia dikuasai oleh lima negara produsen utama yaitu Amerika Serikat, Brasil, Argentina, Cina dan India dengan proporsi 92% produksi total kedelai dunia yang besarnya 143,2 juta ton (Supadi 2009). Di Amerika Serikat, kedelai memainkan peran yang sangat strategis bagi perekonomian negara tersebut. Aktivitas perdagangan kedelai mulai dari proses tanam hingga ekspor sangat mendapat perhatian serius dari pemerintah Amerika Serikat.

Menurut Masuda and Goldsmith (2009), pangsa kedelai dan turunannya mencapai 41 persen dari seluruh nilai ekspor hasil pertanian Amerika Serikat. Hasil penelitiannya juga mengungkapkan bahwa setiap satu miliar dollar dari hasil ekspor pertanian menciptakan lapangan pekerjaan bagi 8.000 tenaga kerja dan

(14)

97.07 95.09 97.78 102.83 104.71 104.62 98.89 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 Nilai Tukar Petani Tanaman Pangan

Tahun 2008-2014 Nilai Tukar Petani

berkontribusi sebesar 1,36 miliar dollar bagi aktivitas ekonomi negara tersebut. Oleh sebab itu, komoditas pertanian yang paling banyak diimpor dari negara tersebut pada Januari hingga Desember 2014 adalah komoditas tanaman pangan sebesar US$ 1,53 milyar. Dari jumlah tersebut, sebesar US$ 1,14 milyar disumbang oleh kedelai impor dari Amerika Serikat (Tabel 4.3).

Sebagai komoditas strategis dalam perekonomian, pemerintah Amerika Serikat secara serius memberikan bantuan bagi sistem produksi dan perdagangan kedelai terutama untuk ekspor. Agar komoditas kedelai dan produk turunannya dapat kompetitif dalam hal harga dan kualitas di pasar internasional, maka pemerintah Amerika Serikat membentuk American Soybean Association (ASA) yang memfasilitasi petani dan eksportir dalam menjalankan usahanya.

Gambar 4.1. Nilai Tukar Petani Tanaman Pangan Tahun 2008-2014

Nilai Tukar Petani (NTP) menunjukkan kemampuan menukar produk pertanian yang dihasilkan petani dengan barang/jasa yang diperlukan untuk

(15)

kebutuhan konsumsi rumah tangga dan keperluan dalam memproduksi produk pertanian. NTP digunakan sebagai indikator untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani. Dari tahun 2009 hingga 2013, terdapat tren kenaikan nilai tukar petani tanaman pangan yang menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan kesejahteraan di kalangan petani (Gambar 4.1). Akan tetapi, nilai tukar petani ini masih di kisaran angka 100 yang berarti tingkat kesejahteraan petani masih tergolong rendah dan daya beli yang juga rendah. Pada tahun 2014 terjadi penurunan yang sangat drastis mencapai enam persen.

Kartel merupakan isu yang tidak pernah lepas dari kegiatan usaha khususnya dalam pasar berstruktur oligopoli. Kartel adalah kesepakatan formal antar perusahaan-perusahaan yang berkompetisi. Perusahaan-perusahaan yang bersaing tersebut terdiri dari penjual yang berjumlah sedikit dan hanya mengusahakan produk-produk homogen, sehingga konsumen tidak mempunyai pilihan lain untuk dibeli (Kementerian Perdagangan 2014). Hal inilah yang menyebabkan praktek kartel semakin marak terjadi di dalam perdagangan komoditas, termasuk kedelai. Selain kedelai, komoditas pangan strategis lain yang masih menjadi mainan kartel adalah daging sapi, gula, daging ayam, jagung dan beras. Nilai kartel kedelai menempati peringkat ketiga yang mencapai Rp 1,6 triliun setelah komoditas gula dengan nilai kartel mencapai Rp 4,6 triliun dan jagung mencapai Rp 2,2 triliun (Purwanto 2013). Hal ini disebabkan oleh masih lemahnya penataan manajemen pangan nasional dari aspek produksi, distribusi dan perdagangan.

(16)

Praktek kartel sangat melawan hukum karena dilarang oleh UU No. 5 Tahun 1999 tentang Persaingan Usaha dan menjadi strategi pencapaian keuntungan maksimal dengan cara menutup persaingan dan mengambil keuntungan ekonomi. Dalam praktek perdagangan kedelai dunia, struktur pasarnya adalah oligopoli, dimana terdapat beberapa penjual yang menguasai pasar. Dalam hal ini, yang menjadi penjual dalam pasar kedelai adalah Amerika Serikat dan Brasil, karena merekalah yang menjadi produsen terbesar komoditas kedelai.

Struktur pasar kedelai di Indonesia kurang kompetitif karena adanya praktek kartel. Bidang-bidang yang menjadi kesepakatan misalnya penentuan harga, jumlah pasokan, pangsa pasar, pembagian pembeli, dan pembagian laba (Kementerian Perdagangan 2014). Maraknya praktek kartel menyebabkan harga kedelai lokal kalah bersaing dengan kedelai impor. Kebijakan impor pangan hanya akan memberikan keuntungan bagi para mafia pangan karena mereka turut bermain dalam kegiatan impor bahan pangan. Apabila Indonesia dapat mencapai swasembada pangan, para mafia akan menjadi terganggu bisnisnya karena merekalah yang selalu menikmati keuntungan dari impor pangan (Kompas, 26 Mei 2015).

Laporan dari Kementerian Perdagangan (2014) menyatakan hanya ada tiga importir Indonesia yang mampu melakukan impor kedelai dari AS, yaitu PT Gerbang Cahaya Utama, PT Cargil Indonesia, dan PT. Alam Agri Adiperkasa dengan pangsa volume impor masing-masing 47%, 28% dan 10%. Praktek kartel ini dilakukan dengan cara menaikkan harga jual melalui pembatasan pasokan di

(17)

pasar dengan cara menimbun barang untuk meningkatkan keuntungan. Hal inilah yang selalu mengakibatkan kerugian konsumen karena melonjaknya harga komoditas yang diperdagangkan.

Permasalahan mendasar yang menyebabkan praktek kartel di Indonesia tumbuh subur antara lain adalah UU tentang Persaingan Usaha yang tidak efektif karena pengawasan oleh KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) tidak berjalan sebagaimana mestinya dan ada kekuatan kepentingan pejabat publik (Pusat dan Daerah) yang dengan sengaja melindungi praktek-praktek kartel (KPPU 2013). Namun pernyataan tersebut ditentang oleh Ratnasari (2013) yang menyebutkan bahwa penguasaan pasar oleh ketiga importir tersebut tidak melanggar ketentuan pasal 4 ayat 2 Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 karena penguasaan tersebut tidak menimbulkan persaingan usaha.

4.4 Kesesuaian Kebijakan Pangan, Pertanian dan Perdagangan

Kebijakan pembangunan pertanian nasional diarahkan untuk mencapai empat target utama yaitu pencapaian swasembada komoditas kedelai, daging, gula dan swasembada berkelanjutan untuk komoditas beras dan jagung, peningkatan diversifikasi pangan, peningkatan nilai tambah, daya saing dan ekspor, serta peningkatan kesejahteraan petani. Oleh sebab itu, pemerintah menargetkan pencapaian kedaulatan pangan komoditas kedelai pada 2017. Kedaulatan pangan secara lebih khusus diatur oleh Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan yang disahkan pada tanggal 16 November 2012 di Jakarta oleh Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono yang menjabat sebagai Presiden Republik Indonesia

(18)

kala itu. UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan merupakan ganti atas UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan yang sudah tidak lagi sesuai dengan dinamika perkembangan kondisi eksternal dan internal, demokrasi, globalisasi dan penegakan hukum yang ada di Indonesia.

UU No. 18/2012 dikeluarkan atas dasar bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan merupakan hak asasi manusia yang dijamin dalam UUD RI 1945 untuk mewujudkan sumber daya manusia yang berkualitas. Suatu negara wajib mewujudkan ketersediaan, keterjangkauan dan pemenuhan konsumsi pangan yang cukup, aman, bermutu dan bergizi seimbang bagi setiap individu di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan memanfaatkan sumber daya dan budaya lokal. Dalam pasal 18 UU No.18/2012 menjelaskan bahwa pemerintah berkewajiban mengalokasikan lahan pertanian, memberikan penyuluhan dan menghilangkan kebijakan yang berdampak pada penurunan daya saing.

Penyelenggaraan pangan bertujuan untuk meningkatkan kemampuan memproduksi pangan secara mandiri, terutama pangan pokok dengan harga yang terjangkau sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakatnya, meningkatkan nilai tambah dan daya saing komoditas pangan lokal, meningkatkan kesejahteraan petani, nelayan dan pelaku usaha pangan, serta melindungi dan mengembangkan kekayaan sumber daya pangan nasional.

Dalam kedaulatan pangan hak atas pangan dijamin sebagai hak konstitusional rakyat dan negara berkewajiban untuk menjamin pemenuhan hak tersebut. Artinya ada mekanisme realisasi dari hak atas pangan ini. Namun bisa

(19)

kita lihat dalam UU ini sama sekali tidak membahas soal hak atas pangan. Padahal dalam UU disebutkan bahwa “Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Aspek kewajiban Negara untuk memenuhi hak atas pangan warga negaranya justru tidak diatur dalam UU ini. Karena tidak adanya konsep hak atas pangan dalam UU ini maka tidak ada juga mekanisme tanggung gugat Negara jika Negara gagal memenuhi hak atas pangan rakyatnya.

Dalam hal tugas dan tanggung jawab Kementerian Pertanian diatur secara khusus oleh Presiden yang tertuang dalam Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2015 tentang Kementerian Pertanian. Selain melakukan fungsinya dalam perumusan dan penetapan kebijakan di bidang penyediaan sarana dan prasarana pertanian guna meningkatkan produksi dan nilai tambah komoditas pertanian seperti padi, jagung, kedelai dan daging, Kementerian Pertanian juga bertugas dalam pelaksanaan penelitian dan inovasi bidang pertanian, serta melakukan koordinasi pelaksanaan diversifikasi dan pemantapan program kedaulatan pangan.

Secara lebih khusus, badan Kementerian Pertanian yang bertugas dalam pengelolaan dan pengembangan komoditas kedelai adalah Direktorat Jenderal Tanaman Pangan yang telah diatur dalam pasal 13. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan bertugas dalam perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang perbenihan, peningkatan pascapanen, pengolahan dan pemasaran hasil produksi tanaman pangan seperti padi, jagung dan kedelai; menyusun norma, standar dan

(20)

prosedur dalam bidang pertanian tanaman pangan; serta memberikan bimbingan teknis dan pengawasan dalam bidang pertanian tanaman pangan.

Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mengamanatkan Negara mempunyai tanggung jawab untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa serta mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dalam sila kelima Pancasila dan pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, secara jelas dinyatakan bahwa keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia menjadi salah satu dasar pembangunan bangsa. Oleh karena itu, setiap warga Negara Indonesia berhak dan wajib ikut serta dalam pengembangan usaha untuk meningkatkan kesejahteraan, khususnya di bidang pertanian.

Sejalan dengan amanat Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tersebut, salah satu tujuan pembangunan pertanian diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Selama ini petani telah memberikan kontribusi yang nyata dalam pembangunan pertanian dan pembangunan ekonomi pedesaan. Petani sebagai pelaku pembangunan pertanian perlu diberi perlindungan dan pemberdayaan untuk mendukung pemenuhan kebutuhan pangan yang merupakan hak dasar setiap orang guna mewujudkan kedaulatan pangan, kemandirian pangan, dan ketahanan pangan secara berkelanjutan.

Dalam menyelenggarakan pembangunan pertanian, petani mempunyai peran sentral dan memberikan kontribusi besar. Pelaku utama pembangunan

(21)

pertanian adalah para petani, yang pada umumnya berusaha dengan lahan skala kecil, yaitu rata-rata luas lahan kurang dari 0,5 hektare, dan bahkan sebagian dari petani tidak memiliki lahan atau disebut petani penggarap, bahkan juga buruh tani (BAPPENAS 2013). Pada umumnya petani mempunyai posisi yang lemah dalam memperoleh sarana produksi, pembiayaan usaha tani, dan akses pasar. Selain itu, petani dihadapkan pada kecenderungan terjadinya perubahan iklim, kerentanan terhadap bencana alam dan risiko usaha, globalisasi dan gejolak ekonomi global, serta sistem pasar yang tidak berpihak kepada petani. Oleh karena itu, diperlukan upaya untuk melindungi dan sekaligus memberdayakan petani.

Pada tanggal 6 Agustus 2013, Presiden Republik Indonesia kala itu yakni Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono mengesahkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Sesuai dengan UU tersebut, yang dimaksud dengan perlindungan petani adalah segala upaya untuk membantu petani dalam menghadapi kesulitan memperoleh sarana dan prasarana produksi, kepastian usaha, risiko harga, kegagalan panen, praktik ekonomi biaya tinggi, dan perubahan iklim. Sedangkan pemberdayaan petani merupakan segala upaya untuk meningkatkan kemampuan petani dalam melaksanakan usaha tani yang lebih baik melalui pendidikan dan pelatihan, penyuluhan dan pendampingan, pengembangan sistem dan sarana pemasaran hasil pertanian, konsolidasi dan jaminan luasan lahan pertanian, kemudahan akses ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, serta penguatan kelembagaan petani.

Perlindungan dan pemberdayaan petani yang dilakukan oleh pemerintah bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraannya, serta meningkatkan kemampuan

(22)

dan kapasitas petani dalam melakukan usaha tani yang produktif dan berkelanjutan. Adapun strategi yang dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut antara lain pemerintah memberikan kepastian untuk stabilitas harga komoditas pertanian, penghapusan praktik ekonomi biaya tinggi, ganti rugi gagal panen akibat bencana alam, memberikan asuransi pertanian, kemudahan akses ilmu pengetahuan dan teknologi informasi, serta penyediaan fasilitas permodalan.

Pola penguasaan dan jumlah kepemilikan lahan yang sempit menjadi masalah klasik yang tidak terpecahkan hingga saat ini. Petani sering dihadapkan dengan para kapitalis pemilik modal, terutama alih fungsi lahan untuk industri dan permukiman (Sudirja, 2008). Kenyataan ini sangat kontras dengan yang tertulis di pasal 63 UU No. 19/2013 yang melarang siapapun pelaku usaha mengalihfungsikan lahan pertanian. Tentunya hal ini kian menambah masalah karena praktek di lapangan tidak sesuai dengan UU.

UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan pasal 44 ayat 1 menjelaskan bahwa “Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan.” Akan tetapi, pada prakteknya petani pangan masih dihadapkan dengan masalah terkait luas lahan yang semakin sempit yang dimiliki petani, konflik agraria antara petani dengan perusahaan swasta perkebunan dan pertambangan. Petani terus dihadapkan dengan penangkapan, penggusuran, penembakan serta berbagai tindak kekerasan dan kriminalisasi. Badan Pertanahan Nasional (2011) mencatat 2.791 kasus pertanahan pada tahun 2011 (SPI 2011). Padahal alih fungsi lahan pertanian yang tidak terkendali dapat mengancam

(23)

kapasitas penyediaan pangan dan bahkan dalam jangka panjang dapat menimbulkan kerugian sosial. di sisi lain, implementasi peraturan pengendalian alih fungsi lahan selama ini belum berjalan optimal seiring pertumbuhan populasi di Indonesia. Lahan yang semula berfungsi sebagai media bercocok tanam atau pertanian, berangsur-angsur berubah menjadi lahan nonpertanian.

Di tengah kelesuan petani Indonesia dalam menanam kedelai, petani kedelai AS justru mendapat jaminan harga dari pemerintah AS yaitu memberikan subsidi ekspor yang menjamin hasil panen petani selalu terserap pasar dengan haga yang layak. Menurut Pakpahan (2004 dalam Supadi 2009), para petani pangan di negara maju memperoleh subsidi yang besar dan dilindungi oleh pemerintah. Sedangkan yang terjadi di negara berkembang adalah tidak adanya kredit lunak, dihapuskannya subsidi sarana pertanian dan bantuan modal sehingga menyebabkan petani tidak mampu untuk meningkatkan produktivitas. Kondisi ini sangat tidak sesuai dengan UU No. 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani yang juga mengatur bahwa pemerintah memberikan penugasan bagi BUMN bidang perbankan dan Lembaga Pembiayaan Pemerintah agar secara aktif memberikan bantuan bagi petani untuk memperoleh kredit permodalan. Hal ini yang juga dapat menurunkan minat petani menanam kedelai karena tidak adanya intensif dari pemerintah.

Pada bulan Mei 2013, pemerintah mengeluarkan berbagai kebijakan, diantaranya Perpres Nomor 32 Tahun 2013 tentang Penugasan Perum Bulog untuk Pengamanan Harga dan Penyaluran Kedelai. Selain itu, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan juga mengeluarkan Permendag Nomor

(24)

23/M-DAG/PER/5/2013 tentang Program Stabilitas Harga Kedelai; Permendag Nomor 24/M-DAG/PER/5/2013 tentang Ketentuan Impor Kedelai Dalam Rangka Stabilitas Harga Kedelai.

Sebagai upaya untuk mendukung dan meningkatkan ketahanan pangan dan kedaulatan pangan, perlu dilakukan pengamanan harga dan penyaluran kedelai. Oleh sebab itu, pada bulan Mei 2013 telah ditetapkan Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2013 tentang Penugasan kepada Perusahaan Umum BULOG untuk Pengamanan Harga dan Penyaluran Kedelai. Dalam Perpres Nomor 32 Tahun 2013, pemerintah menugaskan kepada Perum Bulog untuk melaksanakan pengamanan harga dan penyaluran kedelai kepada pengrajin tahu/tempe. Tata cara pelaksanaan pengamanan harga dan penyaluran kedelai diatur oleh Menteri Perdagangan dengan memperhatikan pertimbangan dari Menteri Pertanian, Menteri Perindustrian, dan Menteri Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. Dalam melaksanakan tugasnya, Perum Bulog dapat bermitra dengan badan usaha milik negara (BUMN) dan/atau badan usaha lainnya dengan mengikuti tata kelola perusahaan yang baik. Perpres ini merupakan rintisan sekaligus payung hukum bagi upaya stabilisasi harga kedelai (SHK) yang diluncurkan pemerintah.

Masalah lain yang terjadi dalam perdagangan kedelai di Indonesia adalah ketidakpastian harga. Ketidakpastian harga menjadi salah satu kendala kurangnya minat petani untuk menanam kedelai, sehingga Indonesia masih sangat tergantung pada kedelai impor. Salah satu perhatian yang diberikan pemerintah untuk mengatasi impor kedelai yang semakin deras yaitu dikeluarkannya regulasi mengenai stabilitas harga kedelai. Regulasi ini menjelaskan mengenai harga jual

(25)

kedelai (HJK) sampai harga beli kedelai di tingkat petani (HBP) dalam rangka stabilisasi harga kedelai (SHK). HBP merupakan harga acuan pembelian kedelai di tingkat petani.

Dalam Permendag Nomor 23/M-DAG/PER/5/2013 tentang Program Stabilisasi Harga Kedelai dinyatakan bahwa program stabilisasi harga kedelai mencakup pengaturan pembelian kedelai dari petani, impor kedelai, dan penjualan kedelai kepada pengrajin tahu/tempe. Namun dalam Permendag tersebut belum dinyatakan secara tegas dan jelas berapa harga pembelian kedelai di tingkat petani (HBP) dan berapa harga jual kedelai (HJK) kepada pengrajin tahu/tempe. Apabila Permendag tersebut hanya menyatakan HBP kedelai adalah harga acuan pembelian di tingkat petani dalam program SHK, pelaksana di lapangan yaitu Perum Bulog, Koperasi dan Swasta yang terdaftar sebagai peserta program SHK, akan menghadapi kesulitan dalam menentukan harga beli di tingkat petani, karena tidak ada ketentuan harga dari pemerintah melalui Permendag.

Meskipun terdapat Tim Stabilitas Harga Kedelai yang bertugas menetapkan besaran HBP dan HJP (Harga Jual di Pengrajin), tetap masih menyulitkan pelaksana pembelian kedelai di tingkat petani, karena masih memerlukan birokrasi dan koordinasi yang di Indonesia masih tergolong tidak baik (Kemendag, 2014). Kondisi ini pada akhirnya akan membuka peluang bagi pelaksana pembelian kedelai petani untuk menentukan harga yang menguntungkan koperasi atau swasta yang merupakan importir terdaftar kedelai (IT-Kedelai), terlebih lagi kalau pembeliannya melalui pedagang pengumpul.

(26)

Selanjutnya pada tanggal 28 Mei 2013, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan mengeluarkan Permendag Nomor 24/M-DAG/PER/5/2013 tentang Ketentuan Impor Kedelai dalam Rangka Program Stabilisasi Harga Kedelai. Dalam peraturan ini yang diijinkan melakukan impor kedelai adalah Perum Bulog, Koperasi, dan swasta yang memiliki IT-Kedelai. Untuk mendapatkan izin impor kedelai dari Menteri Perdagangan, maka koperasi dan swasta pemilik IT-Kedelai tidak hanya harus melampirkan bukti penetapan sebagai IT-Kedelai, tetapi juga harus melampirkan bukti pembelian kedelai dari petani yang disahkan oleh Perum BULOG. Persyaratan ini merupakan salah satu bentuk perlindungan pada petani kedelai. Namun karena belum ada penetapan harga yang pasti, petani belum mendapat kepastian insentif untuk meningkatkan produksi kedelai.

Isi Permendag Nomor 24/M-DAG/PER/5/2013 tentang Ketentuan Impor Kedelai dalam Rangka Program Stabilisasi Harga Kedelai tidak relevan dengan UU Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, yakni di pasal 18 huruf (c) tertulis bahwa pemerintah wajib menghilangkan berbagai kebijakan yang berdampak pada penurunan daya saing. Jelas bahwa diijinkannya impor kedelai dari luar negeri menyebabkan kedelai lokal menjadi tidak kompetitif. Di satu sisi Permendag mengijinkan impor kedelai, tapi di sisi lain keputusan untuk impor akan secara perlahan mematikan sumber daya pangan lokal sekaligus pelaku usaha pangan. Sehingga hal ini tidak sesuai dengan UU yang berlaku.

Pada tanggal 20 September 2013, Menteri Perdagangan Gita Irawan Wirjawan menetapkan dan mulai memberlakukan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 52/M-DAG/PER/9/2013 tentang Pengamanan Harga Kedelai di Tingkat

(27)

Petani dan Penyaluran Kedelai di Tingkat Pengrajin Tahu/Tempe. Pengamanan harga kedelai di tingkat petani dilakukan melalui pembelian kedelai dari kelompok tani, gabungan kelompok tani, atau koperasi tani dengan harga yang sudah ditetapkan. Peraturan ini ditetapkan dalam rangka menjamin ketersediaan kedelai dalam negeri sehingga perlu untuk mengatur pelaksanaan pengamanan harga dan penyaluran kedelai. Dalam peraturan ini menjelaskan bahwa penyaluran kedelai impor oleh swasta wajib dilaporkan oleh importir kepada Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri.

Berdasarkan hal tersebut, terdapat dua peraturan yang kontradiktif. Di satu sisi, Kementerian Perdagangan memberikan perlindungan bagi petani dan pengrajin tahu/tempe dalam hal pengamanan harga kedelai yang bertujuan agar usaha tani kedelai menjadi lebih kompetitif, sedangkan di sisi lain dengan adanya peraturan tersebut, secara implisit Kementerian Perdagangan masih mengijinkan praktek impor karena dalam pasal 6 peraturan tersebut menjelaskan bahwa penyaluran kedelai sebagian besar masih dilakukan oleh importir swasta. Selain itu, Permendag ini juga tidak sejalan dengan Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun 2013 tentang Penugasan kepada Perusahaan Umum BULOG untuk Pengamanan Harga dan Penyaluran Kedelai, karena pada Perpres tersebut yang bertugas dalam penyaluran kedelai adalah Perum BULOG dan bukan importir swasta. Inilah yang menjadi masalah karena di dalam satu kebijakan pun masih terdapat kontradiksi dan tidak terarah dalam mencapai cita-cita pembangunan, apakah Indonesia akan mencapai kedaulatan pangan komoditas kedelai atau tidak.

(28)

Di tengah situasi harga dan pasokan kedelai yang tidak kondusif, Kementerian Perdagangan berupaya mencari kesepakatan harga jual kedelai kepada pengrajin tahu dan tempe. Berdasarkan hasil kesepakatan tersebut, maka pada tanggal 9 September 2013 pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 49/M-DAG/PER/9/2013 tentang Penetapan Harga Penjualan Kedelai di Tingkat Pengrajin Tahu/Tempe dalam Rangka Program Stabilisasi Harga Kedelai. Dalam Permendag tersebut, harga penjualan kedelai (HJP) di tingkat pengrajin tahu/tempe ditetapkan Rp 8.490/kg. Terbitnya peraturan tersebut membuat para importir terikat dengan program Stabilisasi Harga Kedelai (SHK). Menurut Kemendag (2014), poin penting dalam SHK ialah bahwa untuk mendapatkan izin impor kedelai, importir wajib menjual kedelai impor kepada pengrajin tahu/tempe dengan harga sesuai Permendag. Selain itu, pemerintah juga mewajibkan importir menyerap kedelai dari petani dalam negeri. Tiap importir yang mengajukan izin impor kedelai harus melampirkan bukti serap kedelai dalam negeri yang disahkan oleh Kementerian Pertanian.

Dalam melaksanakan ketentuan yang termuat dalam pasal 4 Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 52/M-DAG/PER/9/2013 tentang Pengamanan Harga Kedelai di Tingkat Petani dan Penyaluran Kedelai di Tingkat Pengrajin Tahu/Tempe diperlukan kebijakan yang menetapkan harga pembelian kedelai petani. Oleh karena itu pada tanggal 7 Juli 2015, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan mengeluarkan Permendag Nomor 49/M-DAG/PER/7/2015 tentang Penetapan Harga Pembelian Kedelai Petani dalam Rangka Pengamanan Harga

(29)

Kedelai di Tingkat Petani. Kebijakan ini menetapkan harga beli kedelai di tingkat petani sebesar Rp 7.700/kg.

Kementerian Perdagangan (2014) mengungkapkan bahwa harga beli kedelai belum menguntungkan petani. Ironisnya, kenaikan harga kedelai impor dari Rp 5.000 menjadi Rp 7.500 per kilogram pada tahun 2013 yang lalu juga menjadi pukulan berat bagi pengrajin tahu/tempe. Kondisi ini menyulitkan pemerintah dalam mengambil kebijakan yang tidak merugikan petani dan juga tidak merugikan konsumen kedelai dalam negeri, termasuk para pengrajin tahu dan tempe.

Berdasarkan penelusuran di atas, masih lebih banyak terdapat kendala daripada potensi dalam perkembangan komoditas kedelai di Indonesia. Hal inilah yang menghambat Indonesia dalam mencapai tujuan kedaulatan pangan khususnya komoditas kedelai. Swasembada kedelai yang ditarget tahun 2017 hanya akan menjadi angan-angan semata apabila pemerintah tidak secara tegas memperbaiki seluruh aspek pertanian kedelai.

(30)

TOPIK UU No. 18/2012 tentang Pangan UU No. 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Permendag No. 24/M-DAG/PER/5/2013 tentang Ketentuan Impor Kedelai dalam

Rangka Program Stabilisasi Harga Kedelai Permendag No. 52/M-DAG/PER/9/2013 tentang Pengamanan Harga Kedelai di Tingkat Petani dan Penyaluran Kedelai di

Tingkat Pengrajin Tahu/Tempe

Peraturan Presiden No. 32 Tahun 2013 tentang Penugasan kepada Perusahaan Umum BULOG untuk Pengamanan Harga dan Penyaluran Kedelai Pengesahan Jakarta, 16 November 2012, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono Jakarta, 6 Agustus 2013, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono Jakarta, 14 Oktober 2009, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono Jakarta, 28 Mei 2013, Gita Irawan Wirjawan

Jakarta, 20 September 2013, Gita Irawan Wirjawan Jakarta, 8 Mei 2013, Dr. H. Susilo Bambang Yudhoyono Dampak terhadap Daya Saing Komoditas Lokal Pasal 18 huruf (c): “Pemerintah dan Pemerintah Daerah dalam memenuhi kebutuhan Pangan berkewajiban menghilangkan berbagai kebijakan yang berdampak pada penurunan daya saing.”

Pasal 4 ayat 1 dan 2:

“Impor kedelai oleh Perum Bulog, Koperasi,

dan swasta dapat dilakukan setelah mendapat penugasan

dan penetapan dari Menteri.”

Keterangan:

Terlihat bahwa terdapat perbedaan antara dua peraturan tersebut. Kementerian Perdagangan mengijinkan bahkan memberikan penugasan untuk melakukan impor. Padahal UU Pangan

dengan jelas melarang kebijakan yang menurunkan daya saing produk lokal. Diijinkannya impor kedelai dari luar negeri

menyebabkan kedelai lokal menjadi tidak kompetitif.

Penyaluran Kedelai

Impor

Keterangan:

Isi mengenai penyaluran kedelai yang berasal dari impor dalam Permendag No.

Pasal 6 ayat 1 :

“Penyaluran kedelai

Pasal 1:

“Pemerintah

Tabel 4.4

(31)

Dalam Perpres tertulis bahwa yang bertugas dalam penyaluran kedelai adalah Perum BULOG, namun dalam Permendag justru yang melakukan penyaluran kedelai adalah importir swasta yang kemudian wajib dilaporkan kepada Dirjen Perdagangan. Inilah yang

menjadi masalah karena di dalam satu pemerintahan masih terdapat kontradiksi antar kebijakan sehingga tidak terarah dalam mencapai cita-cita pembangunan, apakah

Indonesia akan mencapai kedaulatan pangan komoditas kedelai atau tidak.

wajib dilaporkan oleh importir swasta kepada Dirjen Perdagangan." Perusahaan Umum BULOG untuk melaksanakan pengamanan harga dan penyaluran kedelai” Praktek Impor Pasal 15 ayat 1: “Pemerintah berkewajiban mengutamakan produksi Pertanian dalam negeri untuk

memenuhi kebutuhan pangan

nasional.”

Keterangan:

Dalam Permendag No.

52/M-DAG/PER/9/2013 tentang Pengamanan Harga Kedelai di Tingkat Petani dan Penyaluran Kedelai di Tingkat Pengrajin Tahu/Tempe

tidak menjelaskan apakah prioritas dalam penyediaan kedelai dalam negeri adalah melalui produksi lokal atau impor, padahal dalam UU No. 19/2013 tentang Perlindungan

dan Pemberdayaan Petani dengan jelas menerangkan bahwa pemerintah wajib mengutamakan produksi lokal untuk

memenuhi kebutuhan dalam negeri.

Pasal 3 ayat 1:

“Pembelian kedelai diperoleh dari produksi dalam negeri

atau impor.”

Tabel 4.5

Matriks Kesesuaian Undang-Undang Pangan dan Pertanian

(32)

Kebijakan Isi Kesesuaian/Praktek

UU No. 18/2012 tentang Pangan

a) Pasal 1 ayat 2:

“Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal.”

Dalam UU ini sama sekali tidak membahas soal hak atas pangan. Padahal

didalamnya disebutkan bahwa “Pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling utama dan pemenuhannya merupakan bagian dari hak asasi manusia yang dijamin di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Aspek kewajiban Negara untuk memenuhi hak atas pangan warga negaranya justru tidak diatur dalam UU ini. Karena tidak adanya konsep hak atas pangan dalam UU ini maka tidak ada juga mekanisme tanggung gugat Negara jika Negara gagal memenuhi hak atas pangan rakyatnya.

b) Pasal 15 ayat 2:

”Dalam hal Ketersediaan Pangan untuk kebutuhan konsumsi dan cadangan Pangan sudah tercukupi, kelebihan Produksi Pangan dalam negeri dapat digunakan untuk keperluan lain.”

Yang dimaksud dengan “untuk keperluan lain” adalah penggunaan kelebihan

Produksi Pangan selain untuk konsumsi, antara lain, untuk pakan, bahan baku energi, industri, dan/atau ekspor. Terlihat disini pemerintah menyiapkan dalam UU ini penggunaan pangan untuk bahan baku energi sebagai landasan hukum

pengembangan agrofuel. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya pelanggaran hak asasi petani. Dalam roadmap pembangunan Pemerintah, pengembangan agrofuel pada tahun 2025 mencapai 22,26 juta kiloliter. Hal itu artinya membutuhkan banyak lahan untuk dikonversi menjadi perkebunan-perkebunan monokultur sehingga menyebabkan terusirnya petani-petani kecil dari lahannya.

c) Pasal 36 ayat 1:

“Impor Pangan hanya dapat dilakukan apabila

Produksi Pangan dalam negeri tidak mencukupi dan/atau tidak dapat diproduksi di dalam negeri.”

Seharusnya kata “tidak dapat diproduksi di dalam negeri” diganti dengan “impor hanya untuk mengatasi masalah pangan atau krisis pangan”. Hal ini untuk menjamin produk impor pangan tidak menyebabkan persaingan dengan pangan produk lokal.

UU No. 19/2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani a) Pasal 63 ayat 1:

“Petani dilarang mengalihfungsikan lahan pertanian menjadi lahan non pertanian.”

Petani sering dihadapkan dengan para kapitalis pemilik modal, terutama alih fungsi lahan untuk industri dan permukiman (Sudirja, 2008).

b) Pasal 90 ayat 1:

(33)

Pembiayaan berperan aktif membantu dan memudahkan Petani dalam memperoleh fasilitas kredit dan/atau pembiayaan.”

subsidi sarana pertanian dan bantuan modal sehingga menyebabkan petani kedelai tidak mampu untuk meningkatkan produktivitas.

UU No. 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan Pasal 44 ayat 1 :

“Lahan yang sudah ditetapkan sebagai Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dilindungi dan dilarang dialihfungsikan.”

Petani pangan masih dihadapkan dengan masalah terkait luas lahan yang semakin sempit yang dimiliki petani, konflik agraria antara petani dengan perusahaan swasta perkebunan dan pertambangan. Petani terus dihadapkan dengan penangkapan, penggusuran, penembakan serta berbagai tindak kekerasan dan kriminalisasi. Badan Pertanahan Nasional (2011) mencatat 2.791 kasus pertanahan pada tahun 2011 (SPI 2011)

Gambar

Gambar 4.1. Nilai Tukar Petani Tanaman Pangan  Tahun 2008-2014

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil analisis data penelitian dapat disimpulkan bahwa kelayakan pengembangan buku cerita anak berbasis teori perkembangan moral Kohlberg pada mata

1 Siti Marfiatun B.211.12.1055 Cucian Motor Dari tiga pesaing ternyata jasa cuci motor tidak menyediakan bisnis pendamping seperti scotlate dan stiker motor.Harga yang

pilih tidak terdaftar dalam pemilu terdaftar dalam daftar pemilih

Dari hasil pengamatan diketahui bahwa semua sampel minyak dalam keadaan cair pada suhu ruang (±27ºC) namun ketika pada suhu rendah (±5ºC) terjadi perubahan fase pada beberapa

Mengenal teks cerita diri/personal tentang keberadaan keluarga dengan bantuan guru atau teman dalam bahasa Indonesia lisan dan tulis yang dapat diisi dengan kosakata bahasa

Dati penjelasan di atas bahwa hadis ini merupakan seruan kepada hamba Allah yang saat berpuasa manusia tidak hanya sekedar berpuasa dari makan dan minum saja, “ tapi

Akhir dari desain yang telah diperbaiki adalah sebuah buku yang diberi nama Buku Saku Konselor Islam (Pembentukan Kepribadian) memiliki judul „Sudah Layakkah Aku