• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2.1 Anatomi ginjal (Cheuck, 2013).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Gambar 2.1 Anatomi ginjal (Cheuck, 2013)."

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ginjal

2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Ginjal

Gambar 2.1 Anatomi ginjal (Cheuck, 2013).

Ginjal adalah sepasang organ yang terletak di daerah retroperitonial (Mc Phee et al, 2014). Ginjal merupakan organ yang berbentuk kcang dengan permukaan luar yang halus dan berwarna cokelat kemerahan (Shier et al., 2016). Posisi ginjal di dalam tubuh manusia terletak pada dinding abdomen posterior, yang masing-masing terdapat di sisi kiri dan kanan dari kolum vertebra, berada di belakang peritonium dan di bawah diagfragma. Posisi ginjal sebelah kanan cenderung sedikit lebih rendah dibandingkan dengan ginjal sebelah kiri, karena pada ginjal sebelah kanan terdapat organ hati (Ross & Wilson, 2011). Pada laki-laki ginjal memiliki berat sekitar 125-175 g dan 115-155 g pada wanita. Ginjal memiliki panjang sekitar 11-14 cm, lebar 6 cm, dan tebal 4 cm, ditutup langsung oleh kapsul berserat yang terdiri dari jaringan ikat padat dan tidak beraturan yang fungsinya membantu menahan bentuk dan untuk melindungi (Betts et al., 2017).

(2)

Jika ginjal dibelah menjadi dua bagian utama dimana korteks pada bagian luar dan medula pada bagian dalam. Medula dibagi menjadi 8-10 massa yang berbentuk kerucut disebut sebagai piramida ginjal. Setiap piramida tersebut berasal dari perbatasan antara korteks dan medula dimana berakhir di papila dan di proyeksikan ke dalam ruang pelvis ginjal. Batas luar dari pelvis ginjal dibagi menjadi kantong terbuka yang disebut calyx mayor yang membentang ke bawah dan membelah menjadi calyx minor (Guyton and Hall, 2011).

Gambar 2.2 Struktur nefron ginjal (Cheuck, 2013).

Setiap ginjal manusia memiliki unit fungsional yaitu berupa nefron. Nefron merupakan sebuah struktur yang terdiri dari kumpulan kapiler yang disebut glomerulus. Glomerulus merupakan tempat dimana darah disaring, sedangkan tubulus ginjal merupakan tempat dimana air dan garam di saring. Setiap ginjal manusia memiliki paling tidak satu juta nefron (Mc Phee et al, 2014). Setiap nefron berisi sejumlah kapiler glomerular yang disebut glomerulus dan di dalam tubulus dimana cairan disaring dan diubah menjadi urin selama perjalanan ke pelvis ginjal (Hall, 2016).

Glomerulus terdiri dari arteriol afferen, arteriol efferen dan beberapa kapiler yang dilapisi oleh sel endotel dan ditutupi oleh sel epitel sehingga membentuk lapisan kontinyu disebut podosit. Podosit meliliti kapiler glomerulus dengan kapsula bowman dan tubulus ginjal (Mc Phee et al, 2014). Sedangkan pada tubulus,

(3)

ginjal memiliki beberapa bagian struktural yang berbeda yaitu tubulus kontortus proksimal, tubulus kontortus distal, lengkung henle yang dapat menghubungkan tubulus kontortus proksimal dan tubulus distal, dan tubulus kolektivus (Perlman et al., 2014).

2.1.2 Fungsi Ginjal

Fungsi ginjal yaitu mensekresi sebagian besar produk sisa dari metabolisme. Produk sisa dari metabolisme ini berupa urin, yang mengalir melalui ureter menuju ke vesica urinaria (kandung kemih), kandung kemih terletak didalam pelvis (Snell, 2011). Ginjal dapat mengatur darah yang masuk, dimana aliran darah menuju ke dua ginjal biasanya sekitar 20% dari curah jantung, atau 1100 ml/menit (Hall, 2016). Ginjal dapatt mempertahankan homeostasis dengan cara mengatur konsentrasi konstituen plasma, terutama elektrolit, air dan dengan mengestimasi zat-zat yang tidak diperlukan oleh tubuh atau urin (Lukman et al., 2013).

2.1.2.1 Pembentukan Urin

Tiga proses utama pembentukan urin yang terjadi pada ginjal, yaitu proses filtrasi glomerulus, proses reabsorbsi zat dari tubulus ginjal ke dalam darah, dan proses sekresi zat dari darah ke dalam tubulus ginjal. Proses pembentukan urin dimulai ketika cairan yang hampir bebas dari protein disaring dari kapiler glomerulus ke kapsula bowman. Sebagian besar zat dalam plasma, kecuali protein secara bebas disaring sehingga konsentrasi pada filtrat glomerulus dalam kapsula bowman hampir sama dengan plasma (Guyton and Hall, 2011).

2.1.2.2 Pengaturan Asam dan Basa

Ginjal merupakan satu-satunya organ pada tubuh yang dapat mengeliminasi beberapa jenis asam, seperti asam sulfat dan asam fosfat, dihasilkan dari metabolisme protein ditubuh (Guyton and Hall., 2016). Pada pasien dengan CKD kapasitas dari ginjal berkurang dalam mensintesis ammonia (NH3) dan mensekresi ion hidrogen (H+). Kompensasi umumnya terdiri dari kombinasi mekanisme respiratorik dan ginjal, ion hidrogen berinteraksi dengan ion bikarbonat yang membentuk molekul CO2 yang kemudian dieliminasi di paru-paru, ginjal juga mengupayakan ekskresi ion hidrogen ke urin dan memproduksi ion bikarbonat yang

(4)

dilepaskan ke cairan ekstrasel. Dimana kadar normal dari ion HCO3- adalah 24 mEq/L dan kadar normal dari ion PCO2 adalah 40 mmHg (Ortega, 2012).

2.1.2.3 Keseimbangan Elektrolit

Ginjal berfungsi tidak hanya untuk mengeliminasi hasil metabolisme tubuh tetapi dapat juga berfungsi untuk mencegah kehilangan cairan yang berlebihan, dengan demikian dapat menopang keseimbangan elektrolit pada tubuh (Saladin et al., 2018). Ada beberapa contoh kation yang terdapat di dalam tubuh, meliputi Natrium (Na+), Kalium (K+), Kalsium (Ca2+), Magnesium (Mg2+). Sedangkan untuk anion sendiri meliputi, Klorida (Cl-), HCO3-, HPO4-, dan SO4-. Tubuh dalam keadaan normal terdapat kadar ion kation dan anion seimbang, sehingga potensial listrik pada cairan tubuh bersifat netral. Kation utama pada cairan ekstrasel (cairan diluar sel) adalah Natrium (Na+) dan untuk anionnya adalah Klorida (Cl-). Sedangkan kation utama yang terdapat di intra sel (cairan di dalam sel) adalah Kalium (K+). Disamping sebagai penghantar listrik, elektrolit juga mempunya banyak manfaat tergantung dari jenisnya, misalkan Natrium (Na+) yang berfungsi sebagai pemeran utama pada osmolaritas dalam darah dan mengatur volume ekstra sel. Sedangkan untuk Kalium sendiri (K+) dapat berfungsi untuk mempertahankan tekanan osmotik, distribusi air dan keseimbangan elektrolit dalam cairan ektrasel (The College of Emergency Medicine & Doctors.net.uk, 2008).

2.1.2.4 Mengatur Tekanan Darah

Ginjal berperan penting dalam regulasi tekanan darah melalui pengaturan Natrium (Na+) dan keseimbangan elektrolit pada tubuh (Joachim and Lingappa, 2010). Renin merupakan protease yang dibuat pada sel aparantus juxtaglomerular, yang dapat membelah angiotensinogen dalam darah untuk menghasilkan angiotensin I, yang kemudian dibelah menjadi angiotensin II oleh Angiotensin Converting Enzyme (ACE). Angiotensin II dapat meningkatkan tekanan darah dengan memicu vasokonstriksi secara langsung dan merangsang produksi aldosteron sehingga terjadi proses sekresi di korteks adrenal yang menghasilkan Natrium (Na+) dan retensi cairan oleh collecting duct (Mc Phee et al, 2014).

(5)

2.1.2.5 Mengatur Produksi Eritrosit

Ginjal orang dewasa dapat memproduksi hormon eritropoetin yang dapat merangsang produksi sel darah merah oleh hematopoetik yang terdapat di sumsum tulang belakang. Ginjal biasanya memperhitungkan hampir semua eritropoetin yang akan disekresi ke dalam sirkulasi darah. Pada pasien dengan penyakit CKD yang telah menjalani hemodialisis, akan mengalami anemia berat yang diakibatkan oleh menurunnya produksi eritropoetin (Guyton and Hall, 2011).

2.2 Tinjauan Tentang Chronic Kidney Disease (CKD) 2.2.1 Definisi CKD

Chronic Kidney Disease (CKD) dapat didefinisikan sebagai suatu abnormalitas dari struktur ataupun fungsi ginjal yang berlangsung selama >3 bulan dengan ditandai adanya gangguan fisiologis pada tubuh (KDIGO, 2013). CKD didefinisikan berdasarkan persentase kerusakan ginjal (seperti albuminuria), atau penurunan fungsi ginjal seperti (Glumerular Filtration Rate) GFR <60 ml/min 1,73 m2) selama 3 bulan atau lebih terlepas dari diagnosa klinis (Levey dan Coresh, 2012). Pada CKD dikatakan stadium akhir atau End Stage Renal Disease (ESRD), ketika GFR menurun hingga dibawah 15 mL/menit/1,73 m2 atau pasien menerima terapi penggantian ginjal seperti dialisis (Dipiro et al., 2015).

Tabel 2.1 Kriteria CKD (KDIGO, 2013)

Kerusakan fungsi atau struktur ginjal yang berlangsung lebih dari 3 bulan Indikator Kerusakan Ginjal Albuminuria (AER) ≥30 mg/24jam;

(ACR) ≥30 mg/g (≥3 mg/mmol). Kelainan pada sedimen urin.

Kelainan pada elektrolit dan kelainan lain pada gangguan tubular ginjal.

Kelainan struktur pada jaringan atau histology.

Kelainan struktur yang terlihat pada imaging.

Riwayat transplantasi ginjal.

Berkurangnya GFR GFR <60 ml/min/ 1,73 m2 (Kategori GFR G3a-G5).

Keterangan :

GFR (Glomerular Filtration Rate atau laju filtrasi glomerulus) AER (Albumin Excretion Rate)

(6)

2.2.2 Klasifikasi CKD

Menurut KDIGO Clinical Practice Guideline for the Evaluation and Management of Chronic Kidney Disease (2013), penyakit CKD dapat diklasifikasikan berdasarkan Causa (penyebab), kategori nilai glomerular filtration rate (GFR) (G1-G5), dan kategori albuminuria (A1-A3). Sehingga dapat disingkat menjadi CGA.

Tabel 2.2 Kategori Nilai GFR dalam CKD Kategori GFR KDIGO GFR (ml/min/1,73m2) Keterangan Menurut kategori KDOQI

G1 ≥90 Normal atau tinggi Stadium 1

G2 60-89 Sedikit menurun* Stadium 2

G3a 45-59 Sedikit menurun hingga

cukup menurun

Stadium 3

G3b 30-44 Cukup menurun hingga

sangat menurun

Stadium 3

G4 15-29 Sangat menurun Stadium 4

G5 <15 Gagal ginjal Stadium 5 (ESRD)

Keterangan :

GFR (glomerular filtration rate atau laju filtrasi glomerulus) ESRD (end-stage renal disease)

*Relatif terhadap tingkat dewasa muda

Jika tidak ada evidence (bukti) kerusakan ginjal, maka kategori GFR G1 atau G2 tidak memenuhi kriteria untuk CKD

Klasifikasi CKD menurut derajat penyakit di kelompokan menjadi 5 stage berdasarkan penurunan faal ginjal atau nilai GFR yang dihitung dengan mempergunakan rumus Cockcroft-Gault sebagai berikut (Suwitra, 2014):

GFR (ml/mnt/1,7m2) = (140−𝐴𝑔𝑒) 𝑥 𝑤𝑒𝑖𝑔ℎ𝑡 (𝑘𝑔)

72 𝑥 𝑘𝑟𝑒𝑎𝑡𝑖𝑛𝑖𝑛 𝑝𝑙𝑎𝑠𝑚𝑎 (𝑚𝑔/𝑑𝐿)

*pada perempuan dikalikan 0.85

Perhitungan GFR menurut At A Glance Medicine (Faiz et al., 2010) GFR = GFR = (UrinCr × volume urin) / Pcr

Dimana:

UrinCr : nilai kreatinin urin Pcr : nilai kreatinin plasma

(7)

Tabel 2.3 Kategori Albuminuria dalam CKD Kategori AER (mg/24 jam) ACR (perkiraan equivalent) Keterangan (mg/mmol) (mg/g)

A1 <30 <3 <30 Normal himgga sedikit

meningkat

A2 30-300 3-30 30-300 Cukup meningkat*

A3 >300 >30 >300 Sangat meningkat** Keteranga:

AER (Albumin Excretion Rate) ACR (Albumin Creatinin Rasio) * Relatif terhadap tingkat dewasa muda

** Termasuk sindrom nefrotik (ekskresi albumin biasanya 42.200 mg/24 jam [ACR 42.200 mg/g; 4220 mg/mmol ]).

2.2.3 Epidemiologi CKD

Di Amerika Serikat diperkirakan 13% dari total populasi atau lebih dari 25 juta jiwa mengalami CKD. Chronic Kidney Disease (CKD) umumnya dialami oleh individu dengan usia diatas 60 tahun dan yang mengalami diabetes, hipertensi serta penyakit kardiovaskular lainnnya (Hudson & Wazny, 2014). Di Indonesia sendiri prevalensi penyakit CKD mengalami peningkata dari tahun 2013 sebesar 2% kini menjadi 3,8% di tahun 2018. Prevalensi tertinggi di Indonesia sendiri terdapat di Provinsi Kalimantan Utara dan terendah berada di Provinsi Sulawesi Barat. Penyakit CKD terus mengalami peningkatan seiring dengan bertambahnya usia, peningkatan yang signifikan terjadi pada kelompok usia 35-44 tahun (3,31%), diikuti usia 45-54 tahun (5,64%) dan pada usia 55-64 tahun (7,21%), tertinggi pada kelompok usia 65-74 tahun (8,23%), sedangkan usia ≥70 tahun (7,48%). Prevalensi pada laki-laki lebih tinggi (4,17%) dari perempuan (3,52%), prevalensi lebih tinggi terjadi juga pada masyarakat perkotaan (3,85%), tidak bersekolah (5,73%), tidak bekerja, petani/buruh tani (4,79%) (Riskesdas, 2018).

2.2.4 Etiologi Klinik CKD

Kebanyakan penyebab Chronic Kidney Disease (CKD) yaitu diabetes mellitus, diikuti paling banyak selanjutnya hipertensi dan glomerulonefritis. Penyakit ginjal polikistik, obstruksi dan infeksi termasuk dari beberapa penyebab penyakit ginjal kronik dengan prevalensi yang rendah (McPhee, 2014).

(8)

Salah satu yang menjadi faktor kerentanan meningkatnya resiko penyakit ginjal tapi tidak secara langsung menyebabkan kerusakan pada ginjal diantaranya yaitu pada usia lanjut, berkurangnya massa ginjal dan kelahiran dengan berat badan yang rendah, ras atau etnis, riwayat keluarga, pendapatan atua pendidikan yang rendah, peradangan sistemik dan dislipidemia. Sedangkan untuk faktor inisasi meliputi diabetes mellitus, hipertensi, glomerulonefritis, penyakit ginjal polikistik, Wegener granulomatosis, penyakit pembuluh darah dan Human Immunodeficiency Virus (HIV) nefropati. Faktor inisiasi ini dapatt langsung mengakibatkan kerusakan ginjal dan dapat dimodifikasi oleh terapi obat. Faktor progresif dapat mempercepat penurunan fungsi ginjal setelah inisasi dari kerusakan ginjal. Diantaranya ialah glikemia pada penderita diabetes mellitus, hipertensi, hiperlipidemia, proteinuria, obesitas dan merokok (Wells et al., 2014).

Tabel 2.4 Faktor Resiko CKD (Dipiroet al., 2015)

Faktor Resiko Faktor Insiasi Faktor progesif Usia lanjut Diabetes mellitus Glikemia pada diabetes Berkurangnya massa ginjal

dan rendahnya berat kelahiran

Hipertensi Hipertensi

Ras atau etnis Glomerulonefritis Proteinuria

Riwayat keluarga Merokok

Rendahnya pendapatan dan pendidikan

Obesitas

Inflamasi sistemik Dislipidemia

2.2.5 Manifestasi CKD

Menurut Longo dkk (2013) manifestasi CKD meliputi mual, munah, anorexia, dysgeusia, berkurangnya berat badan, insomnia, lemas, paresthesia, pendarahan, anemia, pruritus, serositis (khas pada perikarditis), hiperkalemia, hiperfosfatemia, dan hipokalsemia. Perkembangan dan progresifitas dari CKD bersifat tidak terlihat namun berbahaya. Pasien CKD stadium 1 atau 2 biasanya gejalanya tidak terlihat atau terjadi gangguan pada metabolik. Pasien CKD setelah memasuki stadium 3 hingga stadium 5 muncul tanda-tanda seperti anemia, hiperparatiroidisme sekunder, malnutrisi, penyakit kardiovaskuler, serta

(9)

terganggunya keseimangan cairan dan elektrolit yang mengakibatkan memburuknya fungsi ginjal (Wells et al., 2014).

Pasien CKD dengan anemia terjadi karena penurunan sekresi endogen yaitu hormon Glikoprotein Eritropoetin (EPO). Eritropoetin dapat menstimulus sel erythroid prosenitor pada sumsum tulang belakang untuk meningkatkan produksi sel darah merah. Pasien dengan anemia kronik dapat ditandai dengan adanya rasa lelah, lemas, gangguan tidur, gangguan kardiovaskular dan fungsi kognitif, serta terjadinya peningkatan kebutuhan transfusi darah (Hermanson et al., 2016). Hal lain yang menyebabkan terjadinya anemia meliputi, defisiensi zat besi (Fe) dan asam folat, defisiensi eritropoetin, kehilangan darah misalnya terjadi karena pendarahan saluran cerna serta hematuria, massa hidup eritrosit yang pendek akibat hemolisis, dan terjadi penekanan sumsum tulang oleh substansi uremik dan proses inflamasi akut maupun kronik (Suwitra, 2014).

2.2.6 Patofisiologi CKD

Gambar 2.3 Patofisiologi CKD (Dipiro et al., 2015).

Patofisiologi Chronic Kidney Disease (CKD) awalnya tergantung pada penyakit yang mendasarinya. Pengurangan massa ginjal dapat mengakibatkan hipertrofi struktural dan fungsional nefron yang masih tersisa (surviving nephrons)

(10)

sebagai upaya kompensasi, yang diperantarai oleh molekul vasoaktif seperti sitokin dan growth factors. Hal ini mengakibatkan terjadinya hiperfiltrasi yang diikuti oleh peningkatan tekanan kapiler dan aliran darah glomerulus. Proses adaptasi ini berlangsung singkat yang selanjutnya diikuti oleh proses maladaptasi berupa sklerosis nefron yang masih tersisa. Proses ini kemudian diikuti dengan penurunan fungsi nefron yang progresif. Adanya peningkatan aktivitas renin-angiotensin- aldosteron intrarenal ikut memberikan konstribusi terhadap terjadinya hiperfiltrasi, sklerosis dan progresivitas pada ginjal. Aktivasi dari renin-angiotensin-aldosteron tersebut diperantarai oleh growth factor seperti transforming growth factor β (TGF- β). Beberapa faktor juga berperan terhadap terjadinya progresivitas penyakit CKD antara lain ialah albuminuria, hipertensi, hiperglikemia dan disllipidemia. Terdapat variabilitas antar individual untuk terjadinya sklerosis dan fibrosis glomerulus maupun tubulointerstitial (Hudson & Wazny, 2014).

Pada stadium awal penyakit CKD terjadi kehilangan daya cadang ginjal (renal reserve), dimana nilai dari GFR masih normal atau meningkat. Kemudian secara perlahan terjadi penurunan fungsi nefron yang progresif, yang ditandai dengan meningkatnya kadar urea dan serum kreatinin. Sehingga nilai GFR sebesar 60-89%, pasien belum merasakan keluhan (asimtomatik), tetapi sudah mulai terjadi peningkatan kadar urea dan serum kreatinin. Ketika nilai GFR sebesar 30-59% pasien mulai mengeluhkan kondisi seperti nokturia, badan lemas, mual, nafsu makan berkurang dan terjadinya penurunan berat badan. Hingga nilai GFR mencapai 15-29% pasien memperlihatkan gejala dan tanda uremia seperti anemia, meningkatnya tekanan darah, gangguan metabolisme fosfor dan kalsium, pruritus dan muntah. Pasien juga mudah terkena infeksi seperti infeksi saluran kencing, infeksi saluran cerna, maupun infeksi saluran nafas. Pada pasien CKD terjadi gangguan keseimbangan cairan seperti hipovolemia atau hipervolemia serta gangguan keseimbangan elektrolit seperti natrium dan kalium. Pada saat nilai GFR <15% akan terjadi gejala dan komplikasi yang lebih serius dan pasien memerelukan terapi pengganti ginjal (renal replacement therapy) antara lain yaitu dialisis atau transplantasi ginjal. Pada keadaan ini pasien dikatakan sampai pada Penyakit Ginjal Kronik stadium 5 (Hudson & Wazny, 2014).

(11)

2.2.7 Diagnosa CKD

Langkah awal dalam mendiagnosis diferensial dari CKD yaitu dengan cara menentukan kronisitasnya. Tiga cara yang paling umum dilakukan untuk menentukan kronissitas dari penyakit CKD yaitu, dilihat dari riwayat (penyakit yang diderita), data laboratorium (jika tersedia) dan USG organ ginjal yang dilakukan untuk melihat ukuran ginjal. Secara umum, ginjal yang mnegalami penurunan massa (<10-11,5 cm, tergantung dari ukuran tuubuh), kemungkinan besar akan mengalami penyakit kronis. Pengurangan dari massa ginjal menjadi salah satu penanda yang cukup sensitif untuk CKD. Dilakukannya biopsi ginjal, meskipun cara ini jarang dilakukan pada pasien CKD, tetapi biopsi ini merupakan salah satu cara yang dapat diandalkan unutk membuktikan kronisitas; lazimnya glomerulosklerosis atau fibrosis intersitial menjadi alasan kuat terjadinya penyakit kronis. Anemia, hiperfosfatemia dan kelainan laboratorium lainnya yang terdapat tidak dapat dijadikan sebagai indikator yang dapat diandalkan dalam membedakan penyakit akut atau kronis (Longo et al., 2013).

Setelah kroisitas dari suatu penyakit telah ditetapkan, petunjuk seperti pemeriksaan fisik, hasil laboratorium dan evaluasi sedimen urine dapat digunakan untuk menentukan etiologi dari penyakit. Riwayat yang terperinci dapat mengidentifikasikan kondisi komorbiditas seperti diabetes millius, seropositif HIV atau penyakit pembuluh darah perifer. Adapun riwayat keluarga merupakan salah satu hal yang penting dalam pemeriksaan autosomal dominan polikistik pada penyakit ginjal atau nefritis herediter (sindrom Alport). Data riwayat dapat mengungkapkan paparan toxin dari lingkungan atau obat (termasuk over-the-counter agen, seperti analgesik atau ramuan dari Cina) (Longo et al., 2013).

Pemeriksaan fisik yang dilakukan dapat menunjukan massa abdomen yaitu polikistik ginjal, denyut nadi berkurang atau bruit femoralis/karotid yaitu penyakit pembuluh darah atherosclerotic perifer atau abdominal/femoral yaitu penyakit renovaskuler. Dilihat dari riwayat dan beberapa uji yang dilakukan dapat menghasilkan data penting tentang keparahan suatu penyakit. Tanda-tanda progresif CKD seperti Excoritions (pruritus uremik), pucat (anemia), fetor nitrogen dan kehilangan massa otot, seperti juga perikarditis, pleuritis dan asteriksis, terjadi

(12)

juga komplikasi yang perlu perhatian khusus yang biasanya membutuhkan inisiasi dialisis (Longo et al., 2013).

Hasil temuan pada serum dan laboratorium spesimen urine biasanya membrikan informasi tambahan terkait daalam menentukan etiologgi dan keparahan dari CKD. Dilakukannya studi serial dapat menentukan perkembangan apakah penyakit ginjal yang terjadi sebenarnya akut. Beberapa hal yang dapat mendorong terjadinya sindrom nefroti yaitu proteinuria berat (>3,5 g/dL), hipoalbuminemia, hiperkolesterolemia dan edema. Namun pada nefropati diabetik, nefropati membranosa, glomerulosklerosis fokalsegmental, amiloid dan nefropati terkait HIV merupakan menjadi penyebab utama. Proteinuria dapat menurun bila terjadi penurunan GFR. Sedangkan untuk hiperkalemia dan asidosis metabolik merupakan komplikasi pada CKD, tetapi lebih menonjol pada pasien dengan penyakit ginjal interstitial. Serum dan elektroforesis protein urine harus diperoleh disemua pasien usia >35 tahun dengan CKD untuk menghindari penyakit ginjal terkait dengan paraprotein. Jika glomerulonefritis diduga menjadi penyebab mendasar terjadinya gangguan autoimun seperti lupus dan infeksi hepatitis B dan hepatitis C harus dinilai. Untuk mengevaluasi penyakit tulang metabollik yang harus diukur yaitu,, konsentrasi serum kalsium, fosfat, vitamin D, dan PTH. Sedangkan untuk mengevaluasi anemia perlu diukur hemoglobin, vitami B12, asam folat dan zat besi (Longo et al., 2013).

2.2.8 Data Laboratorium CKD

Pemeriksaan laboratorium dilakukan dengan mengecek nilai GFR, Blood Urea Nitrogen (BUN), kreatinin, biokimiawi darah, serta urinalisasi. GFR merupakan volume plasma yang difiltrasi oleh glomerulus per satuan waktu dan biasanya diukur dengan memperkirakan tingkat klirens substansi dari plasma. GFR bervariasi berdasarkan ukuran tubuh dan luas permukaan tubuh. Penurunan GFR dihitung dengan menggunakan rumus Kockroft-Gault (Effendi dan Markum, 2014). BUN akan mengalami peningkatan seiring terjadi penurunan GFR. Laju produksi urea tidak stabil dan meningkat dengan diet protein, adanya luka pada jarngan seperti terjadinya pendarahan, trauma otot dan pemberian steroid (Lopez-Giacoman dan Madero, 2015).

(13)

Pemeriksaan biokimiawi darahdan urinalisasi juga dilakukan pada pasien CKD. Kelainan biokimiawi darah meliputi penurunan kadar hemoglobin, pengingkatan kadar asam urat, hiperkalemia atau hipokalemia, hiponatremia, hiperfosfatemia, hipokalsemia dan asidosis metabolik. Kelainan urinalisasi meliputi proteinuria, hematuria, leukosuria, cast, isotenuria (Suwitra, 2014). Tabel 2.5 Data Laboratorium pada Kondisi Normal dan GGK (Pagana et al., 2015).

No. Data Indikasi Nilai Normal GGK

1. Blood Urea Nitrogen (BUN)

BUN merupakan produk akhir dari metabolisme protein, dibuat oleh hati. Pada orang normal ureum dikeluarkan melalui urin.

Dewasa: 10-20 mg/dL

2. Serum Kreatinin (Scr)

Kreatinin digunakan untuk diagnosa penurunan fungsi ginjal Dewasa Wanita: 0,5-1,1 mg/dL Pria: 0,6-1,2 mg/dL Muda: 0,5-1,0 mg/dL 3. Creatinine Clearance (Clcr)

Untuk mengukur laju filtrasi glomerulus (GFR) Dewasa (<40 tahun) Pria: 107-139 mL/menit Wanita: 87-107 mL/menit Egfr: >60/mL/menit/ 1,73 m2

4. Natrium darah Untuk mengevaluasi dan memonitor keseimbangan cairan dan elektrolit

Dewasa: 136-145 mEq/L

5. Kalium darah Untuk pemeriksaan kadar kalium pasien gagal ginjal kronik. Untuk mengetahui terjadinya hiperkalemi Dewasa: 3,5-5,0 mEq/L 6. Blood gases pH HCO3 Untuk mengetahui terjadinya asidosis metabolik 7,35-7,45 22-26 mEq/L 7. Hemoglobin (Hb) Untuk mengetahui kadar

hemoglobin dan terjadinya anemia

Pria: 14-18 g/dL Wanita: 12-16 g/dL

2.2.9 Komplikasi CKD

Kemunduran fungsi ginjal menyebabkan produksi dan kandungan urin tidak normal. Pada CKD, kemunduran tersebut dapat mengakibatkan terjadinya proteinuria akibat permeabilitas kapiler glomerulus yang meningkat sehingga ditemukannya protein di dalam urin. Selain itu, terjadinya uremia akibat

(14)

penumpukan metabolisme protein dalam darah karena tidak dapat diekskresi. Kondisi uremia dapat dilihat dari kadar BUN dan serum kreatinin yang tinggi.

Menurut Dipiro et all (2015) penurunan fungsi ginjal dapat dikaitkan dengan sejumlah komplikasi, antara lain:

a. Gangguan homeostasis natrium dan air

Keseimbangan natrium dan air terutama diatur oleh ginjal. Penururnan massa nefron dapat menurunkan filtrasi glomerulus dan selanjutnya reabsorbsi natrium dan air, sehingga dapat menyebabkan edema.

b. Gangguan homeostasis kalium

Kesimbangan kalium juga diatur oleh ginjal melalui sel tubulus distal. Pengurangan massa nefron dapat menurunkan sekresi tubular kalium, sehingga menyebabkan hiperkalemia. Hiperkalemia diperkirakan mempengaruhi lebih dari 50% pasien CKD stadium V.

c. Hiperparatiroidisme sekunder dan osteodistrofi ginjal

Ketika fungi ginjal pada pasien CKD menurun, hal ini menyebabkan terjadinya penurunan ekskresi fosfor yang dapat mengganggu keseimbangan kalsium dan homeostasis fosfor. Kelenjar paratiroid merilis PTH sebagai respon dari penurunan kalsium dalam serum dan peningkatan kadar fosfor dalam serum.

d. Asidosis metabolik

Ginjal memainkan peran penting sebagai kunci dalam pengelolaan homeostasis asam-basa dalam tubuh dengan mengatur ekskresi ion-ion hidrogen. Ketika fungsi ginjal normal, bikarbonat yang disaring bebas melalui glomerulus dan diserap oleh tubulus ginjal. Ion hidrogen dihasilkan sebanyak 1 mEq/kg (1 mmol/kg) per hari selama metabolisme dari makanan dicerna dan yang diekskresikan oleh ginjal (melalui buffer diurin yang dibuat dari turunan amonia dan ekskresi fosfat) adalah memiliki jumlah yang sama. Akibatnya pH cairan tubuh dipertahankan dalam rentang yang sangat sempit.

Pada kondisi penurunan fungsi ginjal, reabsorbsi bikarbonat dipertahankan, tetapi ekskresi hidrogen menurun karena kemapuan ginjal untuk menghasilkan amonia terganggu. Keseimbangan hidrogen positifdapat

(15)

menyebabkan asidosis metabolik, yang ditandai dengan tingkat serum bikarbonat 15-20 mEq/L (15-20 mmol/L). Kondisi ini umumnya terlihat ketika nilai GFR menurun di bawah 20-30 mL/menit.

e. Anemia

Sel-sel progenitor pada ginjal menghasilkan 90% dari hormon eritropoetin, yang merangsang produksi sel darah merah. Pengurangan massa nefron yang terjadi pada ginjal dapat menggurangi produksi EPO sehingga dapat menyebabkan anemia pada pasien CKD. Perkembangan anemia pada pasien CKD terjadi akibat dari penurunan transport dan pemanfaatan oksigen. Hal ini menginduksi peningkatan curah jantung dan hipertropi vertikal kiri, yang dapat meningkatkan resiko kardiovaskular hingga kematian pada pasien CKD.

f. Hipertensi

Hipertensi merupakan peningkatan tekanan darah ≥140/90 mmHg. Hipertensi diklasifikasikan atas hipertensi primer (esensial) (90-95%) dan hipertensi sekunder (5-10%). Dikatakan hipertensi primer bila tidak ditemukan penyebab dari hipertensi tersebut sedangkan hipertensi sekunder apabila disebabkan oleh penyakit/keadaan tertentu yang mendukung (Bakri, 2008). Menurut The Seventh Report of The Joint National Committee on Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC, 2014) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi kelompok normal, prehipertensi, hipertensi derajat 1 dan derajat 2 seperti yang dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 2.6 Klasifikasi Hpertensi (JNC, 2014) Klasifikasi Tekanan Darah Tekanan Darah Sistolik (mmHg) Tekanan Darah Diastolik (mmHg) Normal < 120 < 80 Prehipertensi 120 – 139 80 – 89 Hipertensi 1 140 – 159 90 – 99 Hipertensi 2 ≥ 160 ≥ 100

(16)

2.2.10 Penatalaksanaan Terapi pada CKD 2.2.10.1 Terapi Konservatif

Tahap pertama pada pengobatan CKD yaitu tahap konservatif yang ditujukan untuk memperlambat progresifitas gangguan fungsi ginjal (Dipiro et al., 2015). Pada tahap ini dilakukan penyelidikan terhadap faktor yang masih reversibel seperti:

- Penurunan volume cairan ekstrasel akibat dari penggunaan diuretik berlebihan atau pembatasan garam yang terlalu ketat.

- Obstruksi saluran kemihi akibat batu, pembesaran prostat atau fibrosis retroperitoneal.

- Infeksi, terutama infeksi saluran kemih.

- Obat yang memperberat penyakit ginjal: aminoglikosida, obat antitumor, obat antiinflamasi nonsteroid.

- Hipertensi berat atau maligna. a. Pengaturan diet protein

Pengaturan asupan protein dapat mempengaruhi progresifitas dari CKD. Selain mengurangi kadar Blood Urea Nitrogen (BUN) namun dapat juga mengurangi asupan kalium, fosfat dan produksi ion hidrogen yang berasal dari protein. Asupan rendah protein dapat juga menguurangi beban ekskresi sehingga menurunkan hiperfiltrasi glomerulus, tekanan intraglomerulus dan cedera sekunder pada nefron intak. Status nutrisi pasien harus diamati unuk memastikan bahwa berat badan dan indikator lainnya seperti albumin serum tetap stabil (≥3 g/dL) (Kandarini, 2018).

b. Pengaturan diet kalium

Hiperkalemia merupakan komplikasi yang terjadi pada kondisi ESRD. Sehingga pengaturan asupan kalium menjadi peran penting terkait hal tersebut. Adapun rekomendasi klinik terkait jumlah kalium yang diperolehkan untuk pasien CKD yaitu 40-80 mEq/hari. Tidak memberikan obat-obatan atau makanan yang tinggi kalium juga dapat membantu menghindari pasien dari kondisi hiperkalemia (Hall, 2016).

(17)

c. Pengaturan diet natrium dan cairan

Asupan natrium yang tinggi dapat menyebabkan terjadinya retensi cairan, edema perifer, edema paru, hipertensi dan gagal jantung kongestif. Selain itu, asupan natrium yang kurang akan mengakibatkan terjadinya hipokalemia, penurunan GFR dan memperburuk fungsi ginjal. Rekomendasi klinik terkait jumlah natrium yang diperbolehkan untuk pasien CKD yaitu 40-90 mEq/hari (1-2 g natrium). Sehingga penting untuk menentukan asupan natrium yang optimal bagi pasien (Kandarini, 2018). 2.2.10.2 Terapi Terhadap Komplikasi

1. Hipertensi

Kontrol tekanan darah secara optimal merupakan tindakan yang dapat dilakukan untuk menurunkan laju progresivitas PGK. KDIGO (2012) merekomendasikan jika ekskresi albumin urin setara atau <30 mg/24 jam maka target tekanan darah adalah 140/90 mmHg untuk mengurangi perkembangan PGK dan morbiditas mortalitas penyakit kardiovaskular. Sedangkan jika ekskresi albumin urin >30 mg/24 jam atau setara (albuminuria) maka target tekanan darah adalah 130/80 mmHg (Lukela et al., 2014).

Pada kondisi hipertensi dengan GFR >20 mL/min/1,73m2, terapi lini pertama yang dapat dilakukan yaitu dengan pemberian obat anti hipertensi golongan Angiotensin Converting Enzim Inhibitor (ACEI) atau Angiotensin II Receptor Blocker (ARB). ACEI dan ARB memiliki mekanisme yang sama yaitu bekerja dengan cara memblokade RAAS untuk mencegah dan menurunkan laju progresivitas PGK ke tahap stadium akhir (ESRD). Terapi kombinasi ACEI dan ARB harus dipertimbangkan kembali, hanya untuk pasien dengan kondisi albuminuria berat (>1 g/hari) (Lukela et al., 2014). Jika diperlukan, ARB atau ACEI dapat dikombinasikan dengan golongan thiazide untuk mengurangi proteinuria. Selain itu, dapat juga diberikan obat anti hipertensi golongan Non Dihydropyridine Calcium Channel Blocker (CCB) yang digunakan sebagai obat antiproteinurik lini kedua. Pengobatan harus dimulai dengan dosis serendah mungkin kemudian diikuti dengan peningkatan secara bertahap untuk mencapai target tekanan darah dan untuk

(18)

meminimalkan proteinuria (Dipiro et al., 2015). Selain itu, tekanan darah pasien PGK dapat juga dikontrol dengan hemodialisis (Ali, 2017).

2. Asidosis Metabolik

Faktor utama terjadinya asidosis metabolik adalah penurunan ekskresi asam pada ginjal yang ditambah dengan pengurangan produksi bikarbonat. Penurunan serum bikarbonat ada kaitannya dengan penurunan pH darah (asidosis metabolik) sering terjadi namun tidak dapat dielakkan dalam penyakit ginjal kronis yang progresif (CKD) (Raghavan and Eknoyan, 2014). Pada kebanyakan pasien, asidosis metabolik ringan; pH umumnya <7,35 dan biasanya dapat dikoreksi dengan suplementasi natrium bikarbonat oral, dosis oral natrium bikarbonat 1-6 g / hari. Jika asidosis parah dan persisten maka diperlukan dialysis, asidosis dapat mempercepat penurunan fungsi ginjal (Marriott et al., 2012).

Pemberian natrium bikarbonat secara IV, tujuannya adalah untuk meningkatkan, tidak menormalkan, pH menjadi 7,2 dan HCO3 sampai 8-10 mEq / L (8-10 mmol / L) (Dipiro et al, 2015). Sediaan natrium bicarbonat yang tersedia di Indonesia, infus intravena natrium bicarbonat dengan kadar 7% dan 8,4% (BPOM RI, 2015).

3. Anemia

Menurut KDIGO anemia merupakan keadaan dimana hemoglobin (Hb) kurang dari 13 g / dL (130 g / L; 8.07 mmol / L) untuk pria dewasa dan kurang dari 12 g / dL (120 g / L; 7,45 mmol / L) untuk wanita dewasa. Anemia terutama disebabkan oleh penurunan produksi erythropoietin dan dengan demikian menurunkan eritropoiesis. Suplementasi zat besi diperlukan oleh sebagian besar pasien CKD untuk melengkapi persediaan besi yang habis oleh kehilangan darah yang terus berlanjut dan meningkatnya kebutuhan zat besi (Dipiro et al., 2015). Untuk terapi anemia pada CKD dapat digunakan asam folat, zat besi, vitamin B12 dan eritropoetin. Untuk pasien CKD yang belum menjalani dialisis atau pasien yang diobati dengan dialisis peritoneal, suplementasi zat besi oral dapat digunakan, namun pada pasien yang meiliki gangguan GI maka pemberian secara IV dapat digunakan (Kasper et al., 2015).

(19)

4. Mineral Bone Disease dan Ostreodistrofi Ginjal

Gangguan metabolisme mineral dan tulang (CKD-MBD) umum terjadi pada populasi CKD dan termasuk kelainan pada hormon paratiroid (PTH), kalsium, fosfor, produk kalsium-fosfor, vitamin D, dan perputaran tulang, serta kalsifikasi jaringan lunak (Dipiro et al., 2015). Cholecalciferol merupakan prekursor dari vitamin D, yang keduanya di absorbsi di GIT dan di produksi pada kulit dengan adanya sinar matahari. 1,25-dihydroxycholecalciferol di hasilkan dari hidroksilasi molekul colecalciferol 1 alpa dan 25. Hidroksilasi posisi pada 25 terjadi di liver sedangkan 1 alpa terjadi di ginjal yang mana proses ini terganggu dengan adanya CKD. Kekurangan vitamin D dengan konsentrasinya mengurangi penyerapan kalsium dari usus yang dikombinasikan dengan penurunan reabsorpsi tubulus ginjal menyebabkan hipokalsemia. Hipokalsemia, hyperfosfataemia dan penurunan tindakan penekanan langsung 1,25-dihidroksikolekalosaol pada kelenjar paratiroid menghasilkan sekresi hormon paratiroid (PTH) yang meningkat (Marriott et al., 2012).

Terapi dengan diet fosfor, penggunaan agen pengikat fosfat yang tepat, terapi vitamin D, kalkimimetik, dan dialysis (Allderedge et al., 2013). Terapi pengikat fosfat dapat mengguanakan kaslium karbonat. Lantanum adalah polimer yang tidak mengandung kalsium yang juga berfungsi sebagai pengikat fosfat, dan tidak memengaruhi pasien CKD terhadap hiperkalsemia dan dapat mengurangi deposisi kalsium di vascular. Terapi kalsitriol dapat menyebabkan hiperkalsemia dan / atau hipofosfatemia melalui peningkatan penyerapan GI pada mineral ini. Beberapa analog calcitriol tersedia (misalnya; Paricalcitol) yang menekan sekresi PTH dengan hiperkalsemia jarang terjadi (Bragman et al., 2015). Paricalcitol adalah analog vitamin D sintetis dan aktif secara biologis yang secara selektif menaikkan reseptor vitamin D di kelenjar paratiroid yang mengurangi sintesis dan sekresi PTH (Marriott et al., 2012). Sediaan paricalcitiol yang tersedia di Indonesia dengan dosis awal maksimal 40 mcg, dengan dosis sediaan 5 mcg/ ml, serta sediaan oral 1, 2, dan 4 mcg dalam bentuk kapsul. Lanthanum karbonat hidrat sebagai

(20)

pengikat fosfat 250 mg, 500 mg, 750 mg, dan 1000 mg tablet kunyah (BPOM RI, 2015).

2.3 Anemia pada CKD

2.3.1 Definisi Anemia pada CKD

Anemia merupakan sekelompok gangguan yang dikarakterisasi dengan penurunan hemoglobin atau sel darah merah yang berakibat pada penurunan kapasitas pengangkutan oksigen oleh darah (Sukandar dkk.,2009). Hemoglobin adalah komponen yang berfungsi sebagai alat transportasi oksigen (O2) dan karbondioksida (CO2). Hb tersusun dari globin (empat rantai protein yang terdiri dari dua unit alfa dan unit beta) dan heme (mengandung atom besi dan porphyrin: suatu pigmen merah). Pigmen besi hemoglobin bergabung dengan oksigen.

Hemoglobin yang mengangkut oksigen darah (dalam arteri) berwarna merah terang sedangkan hemoglobin yang kehilangan oksigen (dalam vena) berwarna merah tua. Satu gram hemoglobin mengangkut 1,34 mL oksigen. Kapasitas angkut ini berhubungan dengan kadar Hb bukan jumlah sel darah merah, sehingga pada penetapan status anemia jumlah total hemoglobin lebih penting daripada jumlah eritrosit (Kemenkes RI, 2011).

Menurut Guideline Anemia KDOQI 2006, kadar hemoglobin (Hb) pada anemia adalah <13.5 g/dL untuk laki-laki dan <12.0 g/dL untuk wanita. Target Hb yang diharapkan pada anemia karena GGK adalah ≥ 11 g/dL dengan TSat >20% untuk terapi menggunakan ESAs (KDOQI, 2006).

2.3.2 Epidemiologi Anemia pada CKD

Anemia pada CKD sering disebabkan karena defisiensi relatif dari eritropoetin, namun adapun fakto-faktor lain yang dapat mempermudah terjadinya anemia, anatra lain yaitu usia sel darah merah yang pendek, inhibisi sumsum tulang dan yang paling sering terjadi yaitu defisiensi zat besi dan asam folat. Anemia yang terjadi pada pasien CKD dapat emnyebabkan menurunnya kualitas hidup pasien. Selain itu anemia juga dapat meningkatnya terjadi morbiditas dan morbilitas (Ismatullah, 2015).

Anemia dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori etiologi, yaitu menurunnya produksi sel darah merah, meningkatnya kerusakan pada RBC (red

(21)

blood cell) dan yang terakhir kehilangan banyak darah. Anemia penyakit kronis maupun anemia pada CKD, keduanya termasuk dalam kategori memingkatnya kerusakan pada RBC. Bila diklasifikasikan berdasarkan morfologi sel darah merah, baik anemia penyakit kronis maupun anemia pada CKD biasanya termasuk dalam klasifikasi normokromik dan normositik (Lerma, 2017).

2.3.3 Etiologi Anemia pada CKD

Kejadian anemia pada CKD sering terjadi pada 80-90% pasien. Menurut Kidney Early Evaluation Program (KEEP) and National Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) 1999-2004 diperoleh prevalensi kejadian anemia pada CKD sekitar 73,8% (Hidayat R, 2010). Pada tahun 2007-2010 prevalensi sekitar 14,0% dari polpulasi orang dewasa di AS yang ditemukan dengan status CKD. Umumnya populasi anemia pada CKD dua kali lipat (15,4%) dari pada populasi anemia tanpa CKD (7,6%). Prevalensi anemia dengan CKD secara bertahap mengalami peningkatan dari 8,4% pada stage 1 sampai 53,4% pada stage 5. Pasien CKD dengan anemia sebanyak 22,8% dilaporkan dirawat karena anemia selama 3 bulan ,sebelumnya 14,6% pasien pada CKD stage 1-2 dan 26,4% pasien pada CKD stage 3-4 (Stauffer dan Fan, 2014). Secara umum prevalensi dan keparahan anemia lebih tinggi pada ras Afrika-Amerika daripada ras kulit putih, terjadinya peningatan umur, jenis kelamin pria, dan adanya penyakit hipertensi (Joy dkk., 2005; McFarlane, 2008).

2.3.4 Manifestasi Anemia pada CKD

Tanda dan gejala anemia tergantung pada onset, penyebab, dan individu. Anemia pada CKD memiliki gejala sebagai berikut: rasa lelah, letih, pusing, nafas pendek, intoleransi dingin (Ineck dkk., 2008; Sukandar dkk.,2009; Macdougall, 2011). Anemia yang terjadi dalam jangka waktu yang lama akan berakibat pada banyak hal. Diantaranya menyebabkan kenaikan cardiac output untuk mengimbangi turunnya kapasitas oksigen yang dibawa darah yang akan menyebabkan naiknya stroke volume dan denyut jantung, terjadinya penurunan fungsi kognitif, hiperprolaktinemia, defisiensi hormon pertumbuhan, kerusakan pada hormon seks, dan terjadinya pendarahan (Macdougall, 2011).

(22)

2.3.5 Ptofisiologi Anemia pada CKD

Gambar 2.4 Skema mekanisme anemia pada CKD (Babitt dan Lin, 2012). Anemia pada CKD dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu, defisiensi asam folat, defisiensi zat besi, defisiensi eritropoetin, vitamin B12, terjadi perdarahan pada gastrointestinal, inflamasi iskemik, hiperparatiroidisme yang berat dan usia eritrosit yang pendek. Terjadinya penurunan sintesis eritropoetin merupakan etiologi yang paling penting dan spesifik penyebab anemia pada CKD. Eritropoetin adalah glikoprotein yang disekresi oleh fibroblas interstitial ginjal dan sangat penting untuk pertumbuhan dan diferensiasi sel eritrosit pada sumsum tulang. Pada pasien CKD atrofi tubular dapat menghasilkan fibrosis tubulointerstitial, yang dapat menghambat terjadinya sintesis eritropoetin pada ginjal dan menyebabkan terjadinya anemia (Thomas et al., 2008).

Zat besi dan eritropoetin sangat penting untuk produksi sel darah merah (eritrosit) yang berada didalam sumsum tulang. Ketersediaan zat besi dapat dikendalikan oleh hormon hepcidin yang terdapat di hati, hormon tersebut dapat mengatur penyerapan zat besi dan daur ulang zat besi di dalam sel eritrosit yang sudah tua dan dihancurkan oleh makrofag. Adanya umpan balik dari siklus untuk mengontrol hepcidin termasuk juga zat besi dan eritropoetin. Kadar hepcidin ditemukan sangat tinggi pada pasien CKD stadium akhir yang menjalani

(23)

hemodialisis, hal ini diduga karena terjadi penurunan klirens ginjal dan induksi akibat inflamasi, yang dapat mengarah pada terbatasnya eritropoesis besi. Pada pasien CKD dapat menghambat produksi eritropoetin pada ginjal dan juga dapat menyebabkan sirkulasi inhibitor eritropoiesis yang dipicu urin, umur sel eritrosit yang memendek dan meningkatnya hilangannya darah (Babitt and Lin, 2012). 2.3.6 Diagnosa Anemia

Pasien CKD dengan GFR <60 mL/min/1.73 m2 harus dievaluasi terhadap kemungkinan terjadinya anemia dengan melihat pada level hemoglobin. Menurut Guideline Anemia KDOQI 2012, kadar hemoglobin (Hb) pada anemia adalah <13.5 g/dL untuk laki-laki dan <12.0 g/dL untuk wanita.

Tes laboratorium yang diperlukan dalam penegakan diagnosis anemia pada CKD: 1) Pemeriksaan darah lengkap (Complete Blood Count/ CBC)

Pemeriksaan ini meliputi konsentrasi Hb, indeks sel darah merah (mean corpuscular hemoglobin [MCH], mean corpuscular volume [MCV], mean corpuscular hemoglobin consentration [MCHC]), jumlah sel darah putih, dan jumlah platelet.

2) Reticulosyte count

Retikulosit dilepaskan ke sirkulasi darah kira-kira dua hari sebelum matang menjadi sel darah merah. Reticulosyte count dapat memperkirakan jumlah dan persentase retikulosit di sirkulasi darah.

Normalnya, reticulosyte count berkisar 1-2% dari sel darah merah di sirkulasi darah. Ketika terjadi anemia, retikulosit dalam jumlah yang lebih besar dilepaskan ke darah sehingga menaikkan jumlah dan persentasenya. 3) Level feritin serum

Feritin merupakan parameter untuk menilai cadangan besi tubuh. Jika kurang dari 100 μg/L menandakan butuh suplemen besi. Pada ACD (anemia chronic disease) konsentrasinya normal atau meningkat.

4) Saturasi transferin serum (TSAT)

Jika terjadi penurunan menjadi <20% maka menunjukkan adanya kekurangan besi.

(24)

5) Kadar besi

Pada IDA (iron deficiency anemias/ anemia karena kekurangan besi) dan ACD (anemia chronic disease/ anemia penyakit kronik) konsentrasinya rendah. (Ineck dkk., 2008; Lankhorst dan Wish, 2010; Macdougall, 2011; KDIGO, 2012)

Pasien anemia dengan CKD sebaiknya rutin melakukan pengecekan anemia, demikian juga pasien CKD yang tidak menderita anemia. Frekuensi pemeriksaan anemia:

1) Pada pasien CKD tanpa anemia: satu tahun sekali pada pasien CKD stadium 3, dua kali dalam setahun untuk pasien CKD non dialisis stadium 4-5, dan setiap tiga minggu pada pasien CKD stadium 5 dengan hemodialisis atau peritoneal dialysis.

2) Pada pasien CKD dengan anemia yang tidak sedang mendapatkan terapi ESA: setiap tiga bulan pada pasien dengan CKD non dialisis stadium 3-5 dan pada CKD dengan peritoneal dialisis stadium 5, setiap bulan pada pasien CKD dengan hemodilisis stadium 5.

3) Pasien CKD dengan anemia yang menggunakan terapi ESA: pemeriksaan Hb setiap bulan saat fase inisisasi ESA, setiap tiga bulan sekali pada pasien tahap pemeliharaan dengan CKD non dialisis, dan setiap bulan pada pasien tahap pemeliharaan untuk CKD dengan dialisis stadium 5 (KDIGO, 2012). 2.3.7 Data Laboratorium Anemia pada CKD

Pada pasien dengan CKD keadaan anemia yang terjadi tidak sepenuhnya berkaitan dengan penyakit ginjal itu sendiri. Anemia pada CKD dapat dijadikan diagnosis setelah melakukan eksklusi adanya defisiensi zat besi dan kelainan pada eritrosit. Evaluasi dari anemia dimulai saat kadar hemoglobin ≤10%, hematokrit ≤30% (Lubis A, 2016). Beberapa tindakan yang dilakukan unutk mengetahui penyebab dari anemia meliputi pemeiksaan hemoglobin, ketersediaan zat besi dan hematokrit. Pemeriksaan diukur secara langsung oleh biopso sumsum tulang atau secara tidak langsung dengan mengukur ferritin, tingkat kejenuhan dari transferrin dan presentase eritrosit hipokromik atau retikulosit (NKF-DOQI, 2010).

(25)

Tabel 2.7 Nilai Parameter Hematologi Normal (Sukandar, 2009)

Tes Rentang refrensi

2-6 6-12 12-18 18-49 Hemoglobin (R/dL 11,5-15,5 11,5-15,5 M 13,0 – 16,0 F 12,0 – 16,0 M 13,5 -17,5 F 12,0 – 16,0 Hematocrit (%) 34 – 40 35 – 45 M 37 – 49 F 36 – 46 M 41 - 53 F 36 – 46 MVC (fL) 75 – 87 77 – 95 M 78 - 98 F 78 – 102 80 – 100 MCHC (%) 31 – 37 31 – 37 31 – 37 MCH (pg) 24 – 30 25 – 33 25 – 35 26 – 34 SDM (juta/mm3) 3,9 – 5,3 4,0 – 5,2 M 4,5 – 5,3 M 4,5 - 5,9 Jumlah retikulosit, absolute (%) 0,5 – 1,5 Besi serum (mcg/dL) 50 – 120 50 – 120 M 50 – 160 F 40 – 150 TIBC (mcg/dL) 250 – 400 250 – 400 250 – 400 250 – 400 RDW (%) 11 – 16 Ferritin (ng/mL) 7 -140 7 -140 7 -140 M 15 -200 F 12 -150 Folat (ng/mL) 1,8 – 16,0 Vitamin B12 (pg/mL) 100 – 9003 Eritropoietin (mU/mL) 0 – 19 Serum MMA 75 – 270 Mm Hemosistein total 5 – 14 MCM Keterangan:

F (female); M (male); MCHC (mean cospularvolume); MCH (mean corpuscular hemoglobin); MCV (mean corpuscular volume); MMA (methylamonic acid); RBD (red blood distribution); TIBC (total iron binding capasity)

2.3.8 Penatalaksanaan Anemia

Penatalaksnaan dari anemia dilakukan untuk menangani penyebab primer dan jika ditemukan penyebab lainnya. Anemia normokromik dan normositik menjadi tipe untuk anemia yang terjadi pada CKD, dimana hal ini disebabkan oleh menurunnya produksi hormon eritroopoetin di ginjal (Jocelyn, 2010). Pada CKD suplementasi zat besi diperlukan untuk melengkapi persediaan zat besi yang berkurang akibat kehiilnagan darah yang terus berlanjut dan untuk meningkatkan kebutuhan zat besi (Dipiro et al., 2015). Untuk terapi anemia pada CKD dapat digunakan asam folat, zat besi, vitamin B12 dan eritropoetin. Pasien CKD yang belum menjalani hemodialisis maupun pasien yang diterapi dengan dialisis

(26)

peritoneal, suplementasi zat besi oral dapat digunakan, namun pada pasien yang memiliki gangguan GI maka pemberian secara IV dapat digunakan (Kasper et al., 2015).

2.3.8.1 Terapi Besi a. Interaksi

Terapi zat besi digunakan atau untuk mencegah anemia defisiensi besi. Hal ini, bermanifestasi sebagai anemia hipokromik mikrositik, ketika volume sel rerata eritrosit (MCV) dan konsentrasi rerata hemoglobin (MCHC) rendah yaitu, MCV <80 fL dan MCHC <30% (Masters et al., 2013). Kadar ferritin dibawah 200 ng/L dapat menandakan seseorang mengalami defisiensi besi (National Institute of Diabetis and Digestive and Kidney Disease, 2014).

b. Kontraindikasi

Hemakromatosis, hemosidorosis, anemia hemolitik, reaksi hipersensitivitas (Sukandar, 2009).

c. Mekanisme Kerja

Besi membentuk inti dari cincin hem besi-porffirin dan bersama dengan rantai globin dan membentuk hemoglobin. Hemoglobin dapat mengikat oksigen secara reversibel yang merupakan mekanisme penting untuk menyalurkan oksigen dari paru-paru ke jaringan lain. Defisiensi besi dapat membentuk eritrosit yang kecil dengan hemoglobin yang kurang memadai sehingga menimbulkan anemia hipokromik mikrositik. Hem yang mengandung besi juga merupakan komponen yang penting pada miglobin, sitokrom, dan protein lain dengan beragam fungsi biologis (Masters et al., 2013).

d. Farmakokinetika

Absorpsi : Dalam keadaan normal besi dapat diabsorpsi pada deudenum dan jeujenum proksimal. Normalnya manusia dapat mengabsopsi 5-10% zat besi. Besi paling banyak terdapat di dalam daging yang akan diabsorpsi lebih efisien. Hal ini, dikarenakan besi heme di dalam hemoglobin daging dan mioglobin dapat diabsorpsi tanpa merubah menjadi hemi (bentuk feri

(27)

dari heme). Besi pada makanan selain daging sering terikat pada phytates sehingga menurunkan absorpsi besi sebesar 50% (Katzung, 2012).

Distribusi : Besi yang diangkut plasma mengikat pada trasnferin, suatu B-globin yang khusus mengikat ion feri. Besi dapat diangkut melalui sel mukosa intstinal.

Ekskresi : sejumlah kecil besi dapat diekskresi bersamaan dengan lepasnya sel mukosa intestinal ke dalam feses dan sejumlah kecil lainnya di ekskresi di dalam empedu, urin dan keringat. Kehilangan normal harian sekitar 0,5-1 mg dan pada wanita menstruasi 0,5-1-2 mg (Katzung, 200,5-12).

e. Interaksi

Tertasiklin : mengurangi reabsorpsi karena terjadi pembentukan kompleks yang tidak larut, pemberian dosis dilakukan dengan interval 3 jam. Begitupula dengan antasida, garam kalsium da fosfat.

Mmetildopa, penisilin, probenesid, dan senyawa fenotiazin : dapat menyebabkan anemia hemolitis akibat reaksi hipersensitivitas.

Vitamin C : meningkatkan reapsorpsi senyawa ferro. f. Efek Samping

Dapat menyebabkan iritasi saluran cerna yang mungkin timbul akibat garam besi. Keluhan mual dan nyeri epigastrik tergantung dari dosis. Sediaan besi oral, khususnya sediaan lepas lambat dapat memperburuk diare pada pasien dengan inflammatory bowel disease. Hati-hati pada pasien dengan striktur dan divertikulum usus (BPOM, 2015).

g. Peringatan

Individu dengan keseimbangan besi normal tidak boleh mengkonsumsi besi secara kronis. Pada anak-anak berumur <6 tahun dapat menyebabkan keracunan jika mengkonsumsi overdosis produk yang mengandung besi (Sukandar, 2009).

h. Sediaan dan Dosis

Sediaan besi yang beredar di Indonesia ialah Ferro Sulfat (Generik) tablet 200mg, 300mg; sirup 150mg/5ml, Ferro Rumarat (Generik) tablet 200mg, 300mg; kaplet 200mg, Ferro Glukonat (Generik) 300mg (Sukandar, 2009).

(28)

Untuk mengatasi defisiensi besi umumnya dibutuhkan sekitar 200-400 mg elemen besi selama kurang lebih 3-6 bulan (Syarif, et al., 2012).

2.3.8.2 Terapi Asam Folat a. Indikasi

Anemia megaloblastik yang disebabakan defisiensi folat (Sukandar, 2009). Defisiensi asam folat ditegakan bila kadar serum asam folat <3 mg/ml (Tangklisan dan Rumbajan, 2002). Menurut Alvionita et al., (2016) asam folat berperan dalam pemulihan dan pemeliharaan hematopoiesis normal pada pasien penyakit ginjal kronik.

b. Mekanisme Kerja

Folat eksogen diperlukan untuk sintesis nukleoprotein dan pemeliharaan eritropoiesis normal (Sukandar, 2009). Untuk reaksi biokimia esensial yang menghasilkan prekursor untuk sintesis asam amino, purin dan DNA diperlukan bentuk asam folat tereduksi (Masters et al., 2013).

c. Farmakokinetik

Sebagian besar asam folat dari makanan masuk dalam bentuk poliglutamat. Absorpsi terjadi sepanjang usus halus, terutama di duodenum dan jejunum proksimal dan 50-80% di antaranya dibawa ke hati dan sumsum tulang. Folat diekskresi melalui empedu dan urin. Di mukosa usus halus, poliglutamat dari makanan akan dihidrolisis oleh enzim pteroil poliglutamathidrolase menjadi monoglutamat yang kemudian mengalami reduksi atau metilasi sempurna menjadi 5 metil tetrahidrofolat (5-metil THF). nMetil THF masuk ke dalam sel dan mengalami demetilasi dan konjugasi. Dengan bantuan enzim metil transferase, 5- metil THF akan melepaskan gugus metilnya menjadi tetrahidrofolat (THF). Metilkobalamin akan memberikan gugus metil tersebut kepada homosistein untuk membentuk asam amino metionin (Tangkilisan H, 2002).

d. Kontraindikasi

Pengobatan anemia perniosiosa dan anemia megaloblastik lainya dimana vitamin B12 tidak cukup (tidak efektif) (Sukandar dkk, 2009).

(29)

e. Efek Samping

Asam folat relatif tidak toksik terhadap manusia. Efek samping yang umum terjadi adalah perubahan pola tidur, sulit berkonsentrasi, iritabilitas, depresi mental, anoreksia, mual-mual, distensi abdominal, dan flatulensi (Sukandar, 2009).

f. Interaksi

Asam aminosalisilat : penurunan kadar folat serum dapat terjadi selama penggunaan konkuren

Kontrasepsi oral : Kontrasepsi oral dapat mempengaruhi metabolisme folat dan menyebabkan kekurangan folat, tetapi efeknya ringan dan tidak menyebabkan anemia atau perubahan anemia megaloblastik.

Dihydrofolate reductase inhibitor : defisiensi dihydrofolate reductase yang disebabkan pemberian antagonis asam folat dapat mempengaruhi penggunaan asam folat.

Sulfasalazin : terjadi tanda-tanda defiiensi folat

Fenitoin : menurunkan kadar serum folat (Sukandar, 2009). g. Peringatan

Jangan diberikan secara tunggal untuk anemia pernisiosa Addison dan penyakit defisiensi vitamin B12 lainnya karena dapat menimbulkan degenerasi majemuk dari medula spinalis. Jangan digunakan untuk penyakit ganas kecuali bila anemia megaloblastik karena defisiensi folat merupakan komplikasi penting (beberapa tumor ganas adalah folate dependent) (IONI, 2008).

h. Sediaan dan Dosis

Sediaan yang beredar di Indonesia adalah asam folat (Generik) tablet 1 mg (Sukandar et al., 2008). Menurut Dipiro et al., (2015) pada pasien anemia defisiensi asam folat biasanya cukup dengan pemberian terapi asam folat 1 mg perhari selama 4 bulan, kecuali etiologinya tidak diketahui.

2.3.8.3 Terapi Vitamin B12 a. Indikasi

Defisiensi vitamin B12 karena sindrom malabsorpsi seperti pada anemia pernisiosa. Peningkatan kebutuhan vitamin B12 seperti pada saat kehamilan

(30)

tirotoksikosis, anemia hemolitik, pendarahan, dan penyakit hati dan ginjal (Sukandar, 2009).

b. Kontraindikasi

Hipersensitivitas terhadap kobal, vitamin B12, atau komponen-komponen pada produk (Sukandar, 2009)

c. Mekanisme Kerja

Vitamin B12 penting untuk pertumbuhan, reproduksi sel, hematopoiesis dan sintesis nukleoprotein dan mielin. Vitamin B12 berperan dalam pembentukan sel darah merah melalui aktivitas koenzim asam folat (Sukandar, 2009).

d. Farmakokinetik

Absorpsi vitamin B12 tergantung pada adanya faktor intrinsik dan kalsium yang cukup. Secara umum, absorpsi vitamin B12 tidak mencukupi pada keadaan malabsorpsi dan pada anemia pernisiosa (kecualu faktor intrinsik diberikan secara bersamaan) (Sukandar, 2009).

e. Efek Samping

Pemberian vitamin B12 secara parenteral dapat menyebabkan edema pulmonari, gagal jantung kongestiv, trombosis vaskuler perifer, rasa gatal, shock anafilaktik, perasaan bengkak pada seluruh tubuh, diare ringan, atropi saraf optik (Sukandar, 2009).

f. Interaksi

Asam aminosalisilat: menurunkan kerja terapeutik dan biologi vitamin B12 Kloramfenikol: menurunkan efek hematologi vitamin B12 pada pasien dengan anemia pernisiosa

g. Peringatan

Pemberian parenteral dipilih untuk anemia pernisiosa. Hindari rute pemberian IV.

Defisiensi vitam B12 yang dibiarkan >3 bulan dapat menyebabkan ledi degenertive permanen pada tulang belakang.

Hipokalemia dan kematian mendadak dapat terjadi pada anemia megaloblastik parah yang diobati secara intens.

(31)

h. Sediaan dan Dosis

Sianokobalamin (generik) Tablet 25 mcg, 50 mcg, 100 mcg. Sianokobalamin (Indofarma) Cairan injeksi 500 mcg/mL, 1000 mcg/mL. Kalbion (Kalbe Farma) Tablet salut gula. Probion (Promedrahardjo Farmasi Industri) Tablet salut selaput. Hemobion (Merck Indonesia Tbk) Kapsul. Vitacalc (Global Multi Pharmalab) Sirup. Zyfort Cairan injeksi. Viron (Yarindo Farmatama) Kaptabs salut selaput. Vitazym (Kalbe Farma) Tablet salut gula.

Dosis sianokobalamin oral, defisiensi vit B12 karena kekurangan gizi, 50- 150 mcg atau lebih diberikan diantara makan. ANAK 35-50 mcg dua kali sehari. Pemberian i.m., awalnya, 1 mg diulangi 10 kali dengan interval 2-3 hari, dosis pemeliharaan 1 mg setiap bulan (IONI, 2008).

2.3.8.4 Terapi Eritropoietin a. Indikasi

Sebagai stimulasi eritropoiesis (erythropoiesis-stimulating agent, ESA) dan sebagai pengobatan anemia akibat penyakit ginjal kronik (Masters et al., 2013). Terapi ESA diberikan ketika kadar hemoglobin pasien <10 g/dL (Henry For Health Systems, 2011).

b. Mekanisme Kerja

Eritropoietin menstimulasi proliferasi dan diferensiasi eritroid dengan berinteraksi dengan reseptor eritropoietin di progenitor sel darah merah. Reseptor eritropoietin berperan dalam pengaktifan faktor transkripsi dan fosforilasi protein untuk mengatur fungsi sel. Eritropoietin juga menginduksi pelepasan retikulosit dari sumsum tulang (Masters et al., 2013).

c. Sediaan dan Dosis

Sediaan yang beredar di Indonesia yaitu Eprex (Janssen) mengandung recombinant human erythropoietin 2000 UI; 4000 UI. Hemapo (Kalbe farma) mengandung recombinant human erythropoietin alfa 3000 IU; 10.000 IU/mL. Recormon (Roche Indonesia) mengandung epoetin 2000 IU; 5000 IU/0,3 mL prefilled syringe; 10000 IU/0,6 mL prefilled syringe (ISO, 2014). Dosis eritropoietin yang dapat diberikan ialah 50-150 IU/kg secara

(32)

intravena atau subkutan sebanyak tiga kali seminggu (Syarif et al., 2012). Dosis ESA disesuaikan untuk mempertahankan kadar hemoglobin target hingga tidak melebih 10-12 g/dL. Berdasarkan data hasil uji klinis pada pasien gagal ginjal kronik, menunjukkan bahwa meningkatnya angka kematian dan penyulit kardiovaskular (Hipertensi, stroke, infark miokardium, dan memburuknya gagal jantung kongestif) pada pasien yang diberi terapi ESA dengan kadar hemoglobin sasaran 12-16 g/dL. Sehingga direkomendasikan bahwa kadar hemoglobin pasien gagal ginjal kronik yang mendapat terapi ESA tidak melebihi 12 g/dL (Masters et al., 2012).

2.3.8.5 Transfusi Packed Red Cell (PRC)

Transfusi sel darah merah merupakan lini ketiga dalam terapi anemia pada CKD (Ineck dkk., 2008). Untuk pengobatan anemia yang bersifat kronik, penggunaan transfusi darah ini sebaiknya dihindari untuk meminimalisasi resiko terkait penggunaannya (KDIGO, 2012).

a. Indikasi

Terganggunya restorasi oksigenasi jaringan yang disebabkan dengan hilangnya hemoglobin dan daya dukung oksigen. Tujuan transfusi bukan untuk pemulihan atau meningkatkan hemoglobin secara spesifik. Transfusi harus mencerminkan penerapan terapi yang menargetkan sasaran yang dapat diidentifikasi secara fisiologis dan dapat dicapai (Kaplan L, 2015). b. Kontraindikasi

Tidak diberikan untuk mengobati anemia yang dapat dikoreksi dengan terapi non-transfusi misalnya terapi zat besi. Tidak ditunjukkan semata-mata untuk memberikan volume darah dan/atau tekanan osmotik, rasa aman, atau untuk memperbaiki penyembuhan luka (Medscape).

c. Mekanisme Kerja

Meningkatkan daya dukung oksigen darah. Mengembalikan volume intravaskular pada pendarahan aktif akut meskipun tidak boleh digunakan semata-mata untuk tujuan ini. Meningkatkan fungsi trombosit pada penderita perdarahan uremik (Medscape).

(33)

d. Farmakologi

Umur normal RBC adalah ~ 120 hari. Setengah umur sel darah merah transfusi adalah ~ 30 hari karena tidak ada perdarahan atau hemolisis yang sedang berlangsung. Setiap unit (~ 350-400mL) mengandung ~ 200-250mL sel darah merah dan dengan demikian ~ 200-250mg besi (Medscape). e. Efek Samping

PRC pada anemia dapat meningkatkan pengiriman oksigen, meningkatkan massa sel, dan berpotensi mengatasi gejala anemia; Namun, transfusi dapat menyebabkan kelebihan cairan, demam, reaksi, imunomodulasi, disfungsi beberapa organ, hipotermia, dan koagulopati. PRC sebagai transplantasi jaringan allogeneic, yang terkait dengan risiko infeksi. Pasien dan penyedia layanan medis sering kali sangat khawatir dengan transmisi infeksi atau reaksi transfusi. PRC memperkenalkan antigen asing ke pasien, dan respons inang bervariasi dengan modifikasi pada sel T intrinsik, respons limfosit, fungsi sel pembunuh alami, produksi sitokin, dan fungsi fagosit. Efek ini dikenal sebagai imunomodulasi transfusi, yang mungkin terkait dengan peningkatan efek samping transfusi (Long B, 2016).

f. Peringatan

Jika dugaan transfusi dicurigai, transfusi harus dihentikan, pasien dinilai dan distabilkan, bank darah diberitahu, dan penyelidikan reaksi transfusi dimulai. Transfusi besar atau cepat dapat menyebabkan aritmia, hipotermia, hiperkalemia, hipokalsemia, dyspnea, dan / atau gagal jantung.

Semua transfusi harus diberikan melalui alat pengatur darah yang mengandung filter 170 sampai 260 mikron atau filter mikroagregat 20 sampai 40 mikron. Tidak ada obat lain atau cairan selain cairan normal yang harus diberikan bersamaan melalui jalur yang sama tanpa konsultasi terlebih dahulu dengan direktur medis bank darah.

Pasien harus dimonitor untuk tanda-tanda reaksi transfusi termasuk tanda pra, selama, dan pasca transfusi.

Risiko infeksi non septik termasuk penularan HIV (~ 1: 2 mill), HCV (~ 1: 1,5 mill), HBV (1: 300k), HTLV, WNV, CMV, parvovirus B19, penyakit lyme, babesiosis, malaria, chaga's penyakit, CKD.

(34)

Kelebihan zat besi pada pasien yang ditransfusikan secara kronis karena hemoglobinopati atau talasemia.

g. Sediaan dan Dosis

Sediaan Packed Red Cells (PRC)

Dosis : Transfusi PRC lazimnya digunakan untuk mengobati anemia pada pasien CKD dengan kadar hematokrit <24% (Price and Wilson, 2005). Terapi PRC dapat diberikan ketika kadar hemoglobin pasien <7 g/dL, terutama jika terjadi gejala hipoksia berat. Pada pemberian transfusi darah untuk orang dewasa tanpa perdarahan dapat menaikkan tingkat Hb sebanyak 1 g/dL dimana diperlukan PRC 4 mL/kgBB atau 1 unit dapat menaikkan kadar hematokrit 3-5%, durasi pemberian dilakukan selama 2-4 jam dengan kecepatan antara 1-2 mL/mnt (Indayani dan Rachmawati, 2015).

Pada pasien CKD yang mendapat terapi PRC, target peningkatan hemoglobin yaitu 7-9 g/dl, tidak sama dengan target terapi eritropoietin. Hal ini, disebabkan karena adanya bukti klinis yang menunjukkan bahwa pemberian transfusi darah sampai dengan 10-12 g/dl tidak terbukti bermanfaat dan berhubungan dengan peningkatan mortalitas (Lukito, 2008).

2.4 Asam Folat

2.4.1 Struktur Kimia Asam Folat

Gambar 2.5 Struktur kimia asam folat

Nama kimia : N-[4-(2-Amino-4-Hydroxypteridin-6- ylmethylamino)benzoyl]-L(+)-glutamic acid

(35)

Berat molekul : 441,4 g/mol (Sweetman et al., 2009). 2.4.2 Sifat Fisika Kimia Asam Folat

Pemerian : serbuk kristalin, berwarna kuning, kuning kecoklatan atau kekuningan dan tidak berbau harum.

Kelarutan : sangat sukar larut dalam air; tidak larut dalam alkohol, aseton, kloroform, dan eter. Mudah larut dalam larutan encer alkali hidroksida dan karbonat; larut dalam panas, asam hidroklorida 3 N dan asam sulfat panas 2 N; larut dalam asam klorida dan asam sulfat.

Penyimpanan : simpan pada tempat yang terlindungi dari cahaya (Sweetman et al., 2009).

2.4.3 Aktivitas Farmakologi Asam Folat 2.4.3.1 Mekanisme Kerja Asam Folat

Asam folat dapat direduksi menjadi dihidrofolat oleh enzim dihidrofolat reduktase dan karenanya asam folat berfungsi sebagai sumber tetrahidrofolat yang diperlukan untuk sintesis purin dan dTMP (deoksitimidilat). Tetrahidrofolat kemudian diubah menjadi kofaktor folat yang memiliki unit-unit satu-karbon yang melekat pada 5-nitrogen, 10-nitrogen, atau di ke kedua posisi. Enzim timidilat sintase mengkatalisis pemindahan unit satu-karbon N5, N10-metilen-tetrahidrofolat ke deoksiurdin monofosfat (dUMP) untuk membentuk dTMP yang dibutuhkan dalam pembentukan DNA dan pemeliharaan eritropoiesis normal (Sukandar et al., 2008; Maters et al., 2013).

Pada jaringan yang berproliferasi cepat, maka jumlah tetrahidrofolat yang digunakan dalam reaksi ini cukup besar dan sintesis DNA yang berkelanjutan memerlukan regenerasi tetrahidrofolat secara terus menerus melalui reduksi dihidrofolat, yang dikatalisis oleh enzim dihidrofolat reduktase. Dalam reaksi ini, terjadi regenerasi tetrahidrofolat yang dapat masuk kembali ke dalam kompartemen kofaktor tetrahidrofolat (Masters et al., 2013). Sehingga ketika terjadi defisiensi folat maka akan menyebabkan kegagalan sintesis DNA dan hambatan mitosis sel, kemudian pada darah akan menimbulkan gangguan maturasi sel darah merah yang dapat menimbulkan pembentukan sel darah dengan bentuk dan ukuran yang tidak normal (Syarif et al., 2012).

(36)

Gambar 2.6 Reaksi enzimatik folat (Masters, 2013)

Bagian 1 menunjukkan reaksi dependen-vitamin B12 yang memungkinkan sebagian besar folat dalam makanan untuk masuk ke kompartemen kofaktor tetrahidrofolat dan menjadi “jebakan folat” pada defisiensi vitamin B 12. Bagian 2 memperlihatkan siklus dTMP . Bagian 3 menunjukkan jalur-jalur dengan tidak lebih dari satu langkah antara(Masters, 2013).

2.4.3.2 Farmakokinetika Asam Folat

Asam folat dapat cepat dicerna, terutama pada duodenum dan jejunum (Sweetman et al., 2009). Dalam keadaan normal, 5-20 mg folat disimpan di hati dan jaringan lain (Masters, 2013). Folat disimpan di dalam sel sebagai bentuk poliglutamat (Goodman and Gilman, 2012). Folat diekskresikan melalui urin dan tinja serta dihancurkan melalui katabolisme sehingga kadar serum turun dalam beberapa hari jika asupan dihentikan. Asam folat yang belum diubah dapat diserap dengan mudah di jejunum proksimal. Namun, folat dalam makanan terutama terdiri dari bentuk fitoglutamat N5-metiltetrahidrofolat. Sebelum diserap semua kecuali satu dari residu glutamil pada poliglutamat harus dihidrolisis oleh enzim α-1-glutamil transferase (“konjugase”) di dalam brush border mukosa usus. Monoglutamat N5-metiltetrahidrofolat kemudian diangkut ke dalam aliran darah

(37)

oleh transport aktif dan pasif, lalu disebarkan ke seluruh tubuh. Di dalam sel, N5- metiltetrahidrofolat diubah dengan reaksi demetilasi yang memerlukan vitamin B12 menjadi tetrahidrofolat (Masters et al., 2013).

Asam folat terdapat di plasma sekitar 15 sampai 30 menit setelah pemberian secara oral, kadar puncak biasanya dicapai dalam 1 jam. Setelah pemberian secara intravena asam folat secara cepat dibersihkan dari plasma (Sukandar et al., 2008). Metabolit folat dieliminasi di dalam urin dan folat yang melebihi persyaratan tubuh dapat diekskresikan dalam bentuk tidak berubah oleh urin. Sebagian besar produk metabolitnya muncul di urin setelah 6 jam, ekskresi lengkap dicapai dalam 24 jam. Asam folat dihilangkan dengan hemodialisis (Sukandar et al., 2008; Sweetman et al., 2009).

2.4.4 Permasalahan pada Penggunaan Terapi Asam Folat 2.4.4.1 Efek Samping Asam Folat

Asam folat umumnya dapat dikonsumsi dengan baik karena reaksi hipersensitivitas dan gangguan gastrointestinal jarang terjadi (Sweetman at el., 2009). Laporan mengenai reaksi terhadap penggunaan asam folat secara injeksi parenteral jarang terjadi. Perhatian yang harus diberikan ketika pasien memberitahukan riwayat reaksi sebelum obat diberikan. Asam folat oral biasanya tidak toksik. Bahkan pada dosis tinggi 15 mg/hari, belum pernah ada laporan yang membenarkan terjadinya efek samping. Asam folat dalam jumlah besar dapat menghilangkan efek antiepilepsi fenobarbital, fenitoin dan primidon. Meskipun beberapa penelitian belum mendukung pernyataan ini, Food and Drug Administration USA menganjurkan untuk membatasi kekuatan sediaan oral asam folat hingga 1 mg atau kurang (Goodman and Gilman, 2012).

2.4.4.2 Interaksi Asam Folat

Dalam penggunaan, jika dilakukan bersamaan dengan obat lain, diketahui bahwa beberapa obat lain dapat berpotensi menimbulkan interaksi dengan asam folat, seperti:

1. Fenobarbital: asam folat dapat menurunkan konsentrasi serum fenobarbital. Sehingga harus dilakukan pemantauan terapi.

2. Fenitoin: asam folat dapat menurunkan konsentrasi serum fenitoin. Sehingga harus dilakukan pemantauan terapi.

Gambar

Gambar 2.1 Anatomi ginjal (Cheuck, 2013).
Gambar 2.2 Struktur nefron ginjal (Cheuck, 2013).
Tabel 2.1 Kriteria CKD (KDIGO, 2013)
Tabel 2.2 Kategori Nilai GFR dalam CKD  Kategori
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jika dikelompokkan, karakter yang memiliki heritabilitas rendah adalah umur panen, karakter dengan heritabilitas sedang adalah diameter batang, lebar kanopi tanaman, panjang

Empirialuvun alaluvut muodostuvat hyvin pitkälle haastattelurungon mukaan: nuorten tilan yleisestä kuvauksesta ja työelämään pääsyn tuesta, sosiaaliturvan roolista ja

Assalaamu'alaikum Warrahmatullaahi Wabarakatuh. Pimpinan dan Anggota Komisi V yang saya hormati dan muliakan,.. Pak Sekjen, Pak Irjen dan Pak Kepala Badan SDM Kementerian

Dengan sasaran seramai 3000 orang penerima sumbangan untuk BKR tahun 2018, Yayasan Ikhlas bersedia untuk menggerakkan para sukarelawan di lokasi-lokasi terpilih ini dalam

Dalam penelitian ini digunakan beberapa perangkat dengan spesifikasi yang berbeda untuk menguji apakah aplikasi ini dapat berjalan dengan baik di setiap perangkat

 Instruksi untuk mendapatkan sejumlah Saham Baru hasil pelaksanaan HMETD ke dalam rekening khusus yang telah disediakan oleh KSEI. 4) Segera setelah BAE Perseroan

Pemetan Spot Banjir Berbasis Masyarakat Sebagai Upaya Pengendalian Banjir di Kota Malang (Desa Dinoyo). Pemetan Spot Banjir Berbasis Masyarakat Sebagai Upaya Pengendalian Banjir

Jenis penelitian ini adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK),yang dilakukan pada siswa kelas VII C SMP Negeri 1 Kota Ternate berjumlah 32 siswa. Model pengumpulan data