• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGANN TEKNIK NHT (NUMBER HEAD TOGETHER) SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KOMPETENSI BERBICARA MENYAMPAIKAN LAPORAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGANN TEKNIK NHT (NUMBER HEAD TOGETHER) SEBAGAI UPAYA PENINGKATAN KOMPETENSI BERBICARA MENYAMPAIKAN LAPORAN"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN TEKNIK

NHT (NUMBER HEAD TOGETHER) SEBAGAI UPAYA

PENINGKATAN KOMPETENSI BERBICARA

MENYAMPAIKAN LAPORAN

LAPORAN

Penelitian Tindakan Kelas IX Semester 1 SMPN 2 Darma

Tahun Pelajaran 2011/2012

DISUSUN OLEH

DEDI HERNADI, S.Pd

NIP. 19700820 199212 1 002

SMP NEGERI 2 DARMA

DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA

KABUPATEN KUNINGAN

PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN TEKNIK

NHT (NUMBER HEAD TOGETHER) SEBAGAI UPAYA

PENINGKATAN KOMPETENSI BERBICARA

MENYAMPAIKAN LAPORAN

LAPORAN

Penelitian Tindakan Kelas IX Semester 1 SMPN 2 Darma

Tahun Pelajaran 2011/2012

DISUSUN OLEH

DEDI HERNADI, S.Pd

NIP. 19700820 199212 1 002

SMP NEGERI 2 DARMA

DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA

KABUPATEN KUNINGAN

PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN TEKNIK

NHT (NUMBER HEAD TOGETHER) SEBAGAI UPAYA

PENINGKATAN KOMPETENSI BERBICARA

MENYAMPAIKAN LAPORAN

LAPORAN

Penelitian Tindakan Kelas IX Semester 1 SMPN 2 Darma

Tahun Pelajaran 2011/2012

DISUSUN OLEH

DEDI HERNADI, S.Pd

NIP. 19700820 199212 1 002

SMP NEGERI 2 DARMA

DINAS PENDIDIKAN PEMUDA DAN OLAHRAGA

KABUPATEN KUNINGAN

(2)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pendidikan nasional yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendidikan nasional bertujuan pula untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mengemban fungsi tersebut, pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan nasional sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Kemdikbud RI, 2011).

Sekolah sebagai sistem pendidikan formal tersusun atas beberapa unsur, diantaranya unsur guru selaku tenaga pendidik dan siswa selaku peserta didik yang berjalan dengan norma tertentu dalam bentuk kurikulum. Salah satu implementasi kurikulum yang digunakan adalah proses belajar-mengajar yang berlangsung di dalam kelas. Agar proses belajar-mengajar bermakna, maka perlu adanya interaksi yang sinergis antara guru dan siswa (Senjaya, 2008).

Sebagai seorang manajer dalam proses belajar-mengajar di kelas, guru harus mampu mendesain kelas agar terbentuk masyarakat belajar (learning

(3)

community). Desain kelas yang didukung oleh pemilihan metode dan strategi pembelajaran yang tepat dapat menciptakan kondisi kelas sehingga siswa akan lebih termotivasi untuk belajar. Untuk mendesain kelas dengan baik, seorang guru harus mampu memahami karakteristik kelas, terutama karakteristik siswa. Keberagaman yang terdapat pada siswa dapat dijadikan sebagai landasan untuk memilih metode dan strategi pembelajaran yang tepat (Budinigsih, 2005; dan Senjaya, 2008).

Fenomena yang ada pada siswa, khususnya pada jenjang SMP (Sekolah Menengah Pertama), adalah adanya keberagaman motivasi yang dimiliki oleh siswa. Siswa SMP yang baru memasuki usia remaja, secara psikologis, merupakan masa pencarian jati diri dengan penggalian bakat-bakat yang dimiliki, sehingga mudah sekali menerima perubahan, terutama yang bersifat negatif (Maliki, 2008). Dalam hal ini peran seorang guru, selaku orang tua kedua bagi siswa, sangat diperlukan untuk membimbing dan memotivasi siswa dalam mencari jati dirinya dengan cara mengembangkan potensi yang dimiliki oleh anak (kecerdasan dan bakat) sehingga siswa tidak terjerumus ke dalam hal-hal yang negatif.

Penggunaan metode pembelajaran yang monoton, dengan komunikasi searah, tidak dapat memacu siswa untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya. Paradigma baru menuntut guru untuk mengembangkan pola pembelajaran yang memacu siswa berpikir dengan menemukan dan mengkonstruksi pengalaman belajarnya. Proses berpikir dengan cara mengkonstruksi pengalaman belajar ini dapat diawali dengan mengembangkan

(4)

kemampuan bertanya pada siswa. Sebagai salah satu kemampuan dasar, kemampuan bertanya yang baik akan menunjang siswa untuk berpikir kritis dan kreatif dalam melihat fenomena di lingkungannya (Ibrahim et al., 2004; dan Prayogi, 2008).

Belajar bahasa bukanlah belajar terhadap sesuatu yang abstrak, tetapi bahasa merupakan mata pelajaran yang dekat dengan kehidupan nyata yang dialami oleh siswa (Depdiknas RI, 2001). Karena merupakan suatu mata pelajaran yang berkaitan dengan kehidupan nyata siswa, mempelajari bahasa membutuhkan ketajaman pikiran dan kemampuan logika verbal seorang siswa sehingga pemahaman terhadap fakta-fakta kebahasaan menjadi lebih baik.

SMP (Sekolah Menengah Pertama) Negeri 2 Darma Kabupaten Kuningan termasuk salah satu SMP Negeri dengan lokasi yang cukup jauh dari pusat ibukota kabupaten tetapi mudah dijangkau karena hanya berjarak kurang lebih 500 meter dari jalan raya Cikijing-Kuningan. Dalam pembelajaran Bahasa Indonesia khususnya terkait dengan kompetensi dasar ‘Melaporkan secara lisan berbagai peristiwa dengan menggunakan kalimat yang jelas’, tingkat motivasi belajar siswa secara klasikal dari tahun ke tahun relatif sama, yaitu berkisar 50% -65%, sehingga berdampak pada pencapaian kompetensi yang disyaratkan dalam KKM (Ketuntasan Kelulusan Minimal). Hal ini mendorong guru bahasa Indonesia untuk berupaya menerapkan pendekatan, metode, model, dan teknik pembelajaran yang tepat untuk meningkatkan motivasi belajar siswa secara klasikal.

Dalam pembelajaran bahasa Indonesia, guru tidak cukup terfokus hanya pada satu model dan metode tertentu saja. Guru perlu mencoba menerapkan

(5)

berbagai model dan metode yang sesuai dengan tuntutan materi pembelajaran, termasuk dalam penerapan model pembelajaran kooperatif dengan teknik NHT (Number Head Together). Pemilihan model dan metode yang tepat tersebut dapat meningkatkan motivasi belajar sesuai dengan yang diharapkan. Metode pembelajaran, termasuk teknik NHT, merupakan variasi guru dalam melaksanakan pembelajaran selain yang konvensional dalam bentuk ceramah. Guru perlu secara cermat memilih materi yang tepat untuk menggunakan metode belajar ini, sehingga motivasi dan hasil belajar siswa lebih optimal.

Model pembelajaran kooperatif dengan teknik NHT (Number Head Together) sangat tepat dalam membantu siswa untuk memecahkan masalah yang dihadapi bersama, sehingga pemahaman setiap siswa menjadi merata. Teknik NHT perlu diterapkan dan dikembangkan oleh guru dengan terlebih dahulu menguasai strategi atau langkah-langkahnya (Sudrajat, 2008a).

Penerapan teknik NHT untuk mata pelajaran bahasa Indonesia khususnya terkait dengan KD ‘‘Melaporkan secara lisan berbagai peristiwa dengan menggunakan kalimat yang jelas’di kelas IX diharapkan dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa. Siswa dapat saling sharing pengetahuan dalam pengambilan keputusan untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi bersama. Keadaan tersebut memberikan manfaat sebagai pengalaman belajar yang nyata bagi para siswa, apalagi mata pelajaran bahasa Indonesia secara keseluruhan lebih menekankan kepada kompetensi (performance) dibandingkan dengan hanya memahami kaidah-kaidah bahasa secara abstrak saja.

(6)

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah ‘Bagaimanakah peningkatan motivasi dan hasil belajar bahasa Indonesia siswa kelas IX SMP Negeri 2 Darma Tahun Pelajaran 2011/2012 pada kompetensi dasar ‘Melaporkan secara lisan berbagai peristiwa‘melalui pembelajaran kooperatif dengan teknik NHT (Number Head Together)?”.

Secara rinci permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai-berikut : 1) Apakah penerapan model pembelajaran Kooperatif dengan teknik NHT

(Number Head Together) dapat meningkatkan minat dan motivasi belajar bahasa Indonesia siswa kelas IX SMPN 2 Darma tahun pelajaran 2011/2012 pada kompetensi dasar ‘Melaporkan secara lisan berbagai peristiwa’?

2) Apakah penerapan model pembelajaran Kooperatif dengan teknik NHT (Number Head Together) dapat meningkatkan aktivitas belajar bahasa Indonesia siswa kelas IX SMPN 2 Darma tahun pelajaran 2011/2012 pada kompetensi dasar ‘Melaporkan secara lisan berbagai peristiwa’?

3) Apakah penerapan model pembelajaran Kooperatif dengan teknik NHT (Number Head Together) dapat meningkatkan hasil belajar bahasa Indonesia siswa kelas IX SMPN 2 Darma tahun pelajaran 2011/2012 pada kompetensi dasar ‘Melaporkan secara lisan berbagai peristiwa’?

(7)

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1) Meningkatkan minat dan motivasi belajar bahasa Indonesia siswa kelas IX SMPN 2 Darma tahun pelajaran 2011/2012 pada kompetensi dasar ‘Melaporkan secara lisan berbagai peristiwa’?

2) Meningkatkan aktivitas belajar bahasa Indonesia siswa kelas IX SMPN 2 Darma tahun pelajaran 2011/2012 pada kompetensi dasar ‘Melaporkan secara lisan berbagai peristiwa’?

3) Meningkatkan prestasi hasil belajar bahasa Indonesia siswa kelas IX SMPN 2 Darma tahun pelajaran 2011/2012 pada kompetensi dasar ‘Melaporkan secara lisan berbagai peristiwa’?

D. Manfaat Penelitian

Penelitian Tindakan Kelas (PTK) ini diharapkan dapat memberikan manfaat, baik perseorangan maupun institusi. Berdasarkan tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, manfaat yang diharapkan adalah sebagai berikut: (1) Pentingnya motivasi belajar dalam peningkatan nilai atau prestasi belajar bahasa Indonesia siswa di sekolah; (2) Penerapan teknik Number Head Together untuk meningkatkan motivasi belajar siswa yang berdampak positif terhadap pencapaian ketuntasan belajar siswa pada mata pelajaran bahasa Indonesia kompetensi dasar ‘Melaporkan secara lisan berbagai peristiwa’ ; (3) Memperbaiki teknik Number Head Together mata pelajaran bahasa Indonesia pada kompetensi dasar ‘Melaporkan secara lisan berbagai peristiwa’ yang telah

(8)

ada secara lebih menarik, merangsang kreativitas, dan menambah motivasi bagi siswa; serta (4) Memperkaya khasanah pendidikan yang berhubungan dengan proses kegiatan belajar-mengajar Bahasa Indonesia di sekolah.

Sedangkan manfaat bagi siswa adalah untuk meningkatan ketuntasan belajar, nilai kreativitas, motivasi belajar, kedisiplinan, dan tanggung jawab. Manfaat bagi guru adalah agar menjadi peka dan tanggap terhadap dinamika pembelajaran di kelasnya, meningkatkan kinerja yang lebih profesional dan penuh inovasi, serta memperbaiki proses pembelajaran melalui suatu kajian yang mendalam terhadap apa yang terjadi di kelasnya. Akhirnya, manfaat bagi sekolah adalah untuk mengembangkan kualitas sekolah yang lebih kondusif, penuh dengan daya inovasi, dan kreativitas.

(9)

BAB II

LANDASAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS

A. Landasan Teori

1. Penelitian Tindakan Kelas (PTK)

Salah satu ciri guru yang berhasil (efektif) adalah bersifat reflektif. Guru yang demikian selalu belajar dari pengalaman, sehingga dari hari ke hari kinerjanya menjadi semakin baik (Arends, 2002). Di dalam melakukan refleksi, guru harus memiliki kemandirian dan kemampuan menafsirkan serta memanfaatkan hasil-hasil pengalaman membelajarkan, kemajuan belajar mengajar, dan informasi lainnya bagi penyempurnaan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan belajar mengajar secara berkesinambungan.. Di sinilah letak arti penting penelitian tindakan kelas bagi guru. Kemajuan dan perkembangan IPTEKS yang demikian pesat harus diantisipasi melalui penyiapan guru-guru yang memiliki kemampuan meneliti, sekaligus mampu memperbaiki proses pembelajarannya.

Beberapa alasan lain yang mendukung pentingnya penelitian tindakan kelas sebagai langkah yang tepat untuk memperbaiki atau meningkatkan mutu pendidikan, antara lain: (1) guru berada di garis depan dan terlibat langsung dalam proses tindakan perbaikan mutu pendidikan; (2) guru terlibat dalam pembentukan pengetahuan yang merupakan hasil penelitiannya, dan (3) melalui PTK guru menyelesaikan masalah, menemukan jawab atas masalahnya, dan dapat segera diterapkan untuk melakukan perbaikan.

(10)

1) Pengertian PTK

Berdasarkan berbagai sumber seperti Mettetal (2003); Kardi (2000), dan Nur (2001) Penelitian tindakan kelas (PTK) atau classroom action research (CAR) didefinisikan sebagai penelitian yang dilakukan oleh guru di dalam kelasnya sendiri melalui refleksi diri, dengan tujuan untuk memperbaiki kinerjanya sebagai guru, sehingga hasil belajar siswa menjadi meningkat. Dalam model penelitian ini, si peneliti (guru) bertindak sebagai pengamat (observer) sekaligus sebagai partisipan.

Dengan demikian PTK tidaklah sekedar penyelesaian masalah, melainkan juga terdapat misi perubahan dan peningkatan. PTK bukanlah penelitian yang dilakukan terhadap seseorang, melainkan penelitian yang dilakukan oleh praktisi terhadap kinerjanya untuk melakukan peningkatan dan perubahan terhadap apa yang sudah mereka lakukan. PTK bukanlah semata-mata menerapkan metode ilmiah di dalam pembelajaran atau sekedar menguji hipotesis, melainkan lebih memusatkan perhatian pada perubahan baik pada peneliti (guru) maupun pada situasi di mana mereka bekerja.

Dengan mengikuti alur berpikir itu, PTK menjadi penting bagi guru karena membantu mereka dalam hal: memahami lebih baik tentang pembelajarannya, mengembangkan keterampilan dan pengetahuan, sekaligus dapat melakukan tindakan untuk meningkatkan belajar siswanya.

Saat seorang guru melaksanakan PTK berarti guru telah menjalankan misinya sebagai guru professional, yaitu (1) membelajarkan, (2) melakukan pengembangan profesi berupa penulisan karya ilmiah dari hasil PTK, sekaligus

(11)

(3) melakukan ikhtiar untuk peningkatan mutu proses dan hasil pembelajaran sebagai bagian tanggungjawabnya.

2) Prinsip-Prinsip PTK

Prinsip-prinsip yang mendasari pelaksanaan PTK adalah sebagai berikut.

a. PTK merupakan kegiatan nyata yang dilaksanakan di dalam situasi rutin. Oleh karena itu peneliti PTK (guru) tidak perlu mengubah situasi rutin/alami yang terjadi. Jika PTK dilakukan di dalam situasi rutin hasil yang diperoleh dapat digunakan secara langsung oleh guru tersebut.

b. PTK dilakukan sebagai kesadaran diri untuk memperbaiki kinerja peneliti (guru) yang bersangkutan. Guru melakukan PTK karena menyadari adanya kekurangan di dalam kinerja dan karena itu ingin melakukan perbaikan.

c. Pelaksanaan PTK tidak boleh mengganggu komitmennya sebagai pengajar. Oleh karena itu, guru hendaknya memperhatikan tiga hal. Pertama, guru perlu menyadari bahwa dalam mencobakan sesuatu tindakan pembelajaran yang baru, selalu ada kemungkinan hasilnya tidak sesuai dengan yang dikehendaki. Kedua, siklus tindakan dilakukan dengan selaras dengan keterlaksanaan kurikulum secara keseluruhan, khususnya dari segi pembentukan kompetensi yang dicantumkan di dalam Standar Isi, yang sudah dioperasionalkan ke dalam bentuk silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran. Ketiga, penetapan siklus tindakan dalam PTK mengacu pada penguasaan kompetensi yang ditargetkan pada tahap perencanaan. Jadi pedoman siklus PTK bukan ditentukan oleh ketercukupan data yang diperoleh peneliti, melainkan mengacu

(12)

kepada seberapa jauh tindakan yang dilakukan itu sudah dapat memperbaiki kinerja yang menjadi alasan dilaksanakan PTK tadi.

d. PTK dapat dimulai dengan melakukan analisis SWOT, yang dilakukan dengan menganalisis kekuatan (S=Strength) dan kelemahan (W=Weaknesses) yang dimiliki, dan factor eksternal (dari luar) yaitu peluang atau kesempatan yang dapat diraih ( O=Opprtunity), maupun ancaman (T=Treath). Empat hal tersebut bisa dipandang dari sudut guru yang melaksanakan maupun siswa yang dikenai tindakan.

e. Metode pengumpulan data yang digunakan tidak menuntut waktu yang berlebihan dari guru sehingga berpeluang mengganggu proses pembelajaran. PTK sejauh mungkin menggunakan prosedur pengumpulan data yang dapat ditangani sendiri oleh guru dan ia tetap aktif berfungsi sebagai guru yang bertugas secara penuh. Oleh karena itu, perlu dikembangkan teknik-teknik perekaman yang cukup sederhana, namun dapat menghasilkan informasi yang cukup berarti dan dapat dipercaya.

f. Metode yang digunakan harus cukup reliabel, sehingga memungkinkan guru mengidentifikasi serta merumuskan hipotesis secara cukup meyakinkan, mengembangkan strategi yang dapat diterapkan pada situasi kelasnya, serta memperoleh data yang dapat digunakan untuk menguji hipotesis yang dikemukakannya. Oleh karena itu, meskipun pada dasarnya memperbolehkan kelonggaran, namun penerapan asas-asas dasar tetap harus dipertahankan.

(13)

g. Masalah penelitian yang dipilih guru seharusnya merupakan masalah yang cukup merisaukannya. Pendorong utama pelaksanaan PTK adalah komitmen profesional untuk memberikan layanan yang terbaik kepada siswa.

h. Dalam menyelenggarakan PTK, guru harus selalu bersikap konsisten, memiliki kepedulian tinggi terhadap prosedur etika yang berkaitan dengan pekerjaannya. Hal ini penting ditekankan karena selain melibatkan anak-anak manusia, PTK juga hadir dalam suatu konteks organisasional, sehingga penyelenggaraannya harus mengindahkan tata-krama kehidupan berorganisasi.

i. Meskipun kelas merupakan cakupan tanggung jawab seorang guru, namun dalam pelaksanaan PTK sejauh mungkin harus digunakan classroom-exceeding perspective, dalam arti permasalahan tidak dilihat terbatas dalam konteks kelas dan/atau mata pelajaran tertentu, melainkan dalam perspektif misi sekolah secara keseluruhan.

3) Karakteristik PTK

Karakteristik PTK dapat diidentifikasi, yaitu sebagai berikut.

a. Self-reflective inquiry, PTK merupakan penelitian reflektif, karena dimulai dari refleksi diri yang dilakukan oleh guru. Untuk melakukan refleksi, guru berusaha bertanya kepada diri sendiri, misalnya dengan mengajukan pertanyaan berikut.

1) Apakah penjelasan saya terlampau cepat?

2) Apakah saya sudah memberi contoh yang memadai?

3) Apakah saya sudah memberi kesempatan bertanya kepada siswa? 4) Apakah saya sudah memberi latihan yang memadai?

(14)

5) Apakah hasil latihan siswa sudah saya beri balikan? 6) Apakah bahasa yang saya gunakan dapat dipahami siswa?

Dari pertanyaan-pertanyaan tersebut, guru akan dapat memperkirakan penyebab dari masalah yang dihadapi dan akan mencoba mencari jalan keluar untuk memperbaiki atau meningkatkan hasil belajar siswa.

b. Penelitian tindakan kelas bertujuan untuk memperbaiki proses dan hasil pembelajaran secara beretahap dan bersiklus. Pola siklusnya adalah: perencanaan-pelaksanaan-observasi-refleksi-revisi, yang dilanjutkan dengan perencanaan-pelaksanaan-observasi-refleksi (yang sudah direvisi) dan seterusnya secara berulang.

4) Perbedaan Penelitian Tindakan Kelas dan Penelitian Kelas

Penelitian tindakan kelas berbeda dengan penelitian kelas (classroom research). PTK termasuk salah satu jenis penelitian kelas karena penelitian tersebut dilakukan di dalam kelas. Penelitian kelas adalah penelitian yang dilakukan di dalam kelas, mencakup tidak hanya PTK, tetapi juga berbagai jenis penelitian yang dilakukan di dalam kelas, misalnya penelitian tentang bentuk interaksi siswa atau penelitian yang meneliti proporsi berbicara antara guru dan siswa saat pembelajaran berlangsung. Jelas dalam penelitian kelas seperti ini, kelas dijadikan sebagai obyek penelitian. Penelitian dilakukan oleh orang luar, yang mengumpulkan data. Sementara itu PTK dilakukan oleh guru sendiri untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di kelas yang menjadi tugasnya. Perbedaan Penelitian Tindakan Kelas dan penelitian kelas ditunjukkan pada Tabel 1.Pada

(15)

Tabel 2 ditunjukkan pula perbedaan PTK dengan penelitian formal atau penelitian pada umumnya yang biasa dilakukan oleh peneliti.

Tabel 1. Perbandingan PTK dan Penelitian Kelas No. Aspek Penelitian Tindakan

Kelas

Penelitian Kelas

1 Peneliti Guru Orang luar

2 Rencana penelitian

Oleh guru (mungkin dibantu orang luar)

Oleh peneliti

3 Munculnya masalah

Dirasakan oleh guru Dirasakan oleh orang luar/peneliti

4 Ciri utama Ada tindakan untuk perbaikan yang berulang

Belum tentu ada tindakan perbaikan

5 Peran guru Sebagai guru dan peneliti

Sebagai guru (subyek penelitian)

6 Tempat penelitian Kelas Kelas

7 Proses

pengumpulan data

Oleh guru sendiri atau bantuan orang lain

Oleh peneliti

8 Hasil penelitian Langsung dimanfaatkan oleh guru, dan

dampaknya dapat dirasakan oleh siswa

Menjadi milik peneliti, belum tentu

dimanfaatkan oleh guru

Tabel 2. Perbedaan Karakteristik PTK dan Penelitian Formal No Dimensi Penelitian Tindakan Kelas Penelitian Formal

1 Motivasi Perbaikan Tindakan Kebenaran 2 Sumber

masalah

(16)

menyelesaikan masalah lokal teori, menghasilkan pengetahuan

4 Peneliti yang terlibat

Pelaku dari dalam (guru) memerlukan sedikit pelatihan untuk dapat melakukan

Orang luar yang berminat, memerlukan pelatihan yang intensif untuk dapat

melakukan

5 Sampel Kasus khusus Sampel yang representatif 6 Metode Longgar tetapi berusaha

obyektif-jujur-tidak memihak (impartiality)

Baku dengan obyektivitas dan ketidakberpihakan yang terintegrasi (build in

objectivity andimpartiality)) 7 Penafsiran

hasil Penelitian

Untuk memahami praktek melalui refleksi oleh praktisi

pendeskripsian,

mengabstraksi, penyimpulan dan pembentukan teori oleh ilmuwan.

8 Hasil Akhir

Siswa belajar lebih baik (proses dan produk)

Pengetahuan, prosedur atau materi yang teruji

9. Generalisa si

Terbatas atau tidak dilakukan Dilakukan secara luas pada populasi

Sumber : Fraenkel, 2011,p.595

5) Manfaat dan Keterbatasan PTK

Penelitian tindakan kelas mempunyai manfaat yang cukup besar, baik bagi guru, pembelajaran, maupun bagi sekolah. Manfaat PTK bagi guru antara lain sebagai berikut. a) PTK dapat dijadikan masukan untuk memperbaiki pembelajaran yang dikelolanya; b) Guru dapat berkembang secara profesional, karena dapat menunjukkan bahwa ia mampu menilai dan memperbaiki pembelajaran yang dikelolanya melalui PTK; c) PTK meningkatkan rasa percaya

(17)

diri guru; d) PTK memungkinkan guru secara aktif mengembangkan pengetahuan dan keterampilan.

Manfaat bagi pembelajaran/siswa, PTK bermanfaat untuk meningkatkan proses dan hasil belajar siswa, di samping guru yang melaksanakan PTK dapat menjadi model bagi para siswa dalam bersikap kritis terhadap hasil belajarnya. Bagi sekolah, PTK membantu sekolah untuk berkembang karena adanya peningkatan/kemajuan pada diri guru dan proses pendidikan di sekolah tersebut.

Keterbatasan PTK terutama terletak pada validitasnya yang tidak mungkin melakukan generalisasi karena sasarannya hanya kelas dari guru yang berperan sebagai pengajar dan peneliti. PTK memerlukan berbagai kondisi agar dapat berlangsung dengan baik dan melembaga. Kondisi tersebut antara lain, dukungan semua personalia sekolah, iklim yang terbuka yang memberikan kebebasan kepada para guru untuk berinovasi, berdiskusi, berkolaborasi, dan saling mempercayai di antara personalia sekolah, dan juga saling persaya antara guru dengan siswa. Birokrasi yang terlampau ketat merupakan hambatan bagi PTK.

1. Perencanaan dan Pelaksanaan Penelitian Tindakan Kelas

PTK dilaksanakan melalui proses pengkajian berdaur, yang terdiri atas 4 tahap, yaitu perencanaan, pelaksanaan tindakan, pengamatan, dan refleksi (Gambar 1). Hasil refleksi terhadap tindakan yang dilakukan akan digunakan kembali untuk merevisi rencana, jika ternyata tindakan yang dilakukan belum berhasil memperbaiki praktek atau belum berhasil menyelesaikan masalah yang menjadi kerisauan guru.

(18)

Gambar 1. Tahap-tahap dalam Pelaksanaan PTK

Setelah menetapkan focus penelitian, selanjutnya dilakukan perencanaan mengenai tindakan apa yang akan dilakukan untuk perbaikan. Rencana akan menjadi acuan dalam melaksanakan tindakan. Pelaksanaan tindakan adalah merupakan realisasi dari rencana yang telah dibuat. Tanpa tindakan, rencana hanya merupakan angan-angan yang tidak pernah menjadi kenyataan. Selanjutnya, agar tindakan yang dilakukan dapat diketahui kualitas dan keberhasilannya perlu dilakukan pengamatan. Berdasarkan pengamatan ini akan dapat ditentukan hal-hal yangharus segera diperbaiki agar tujuan yang telah dirumuskan dapat tercapai. Pengamatan dilakukan selama proses tindakan berlangsung. Langkah berikutnya adalah refleksi, yang dilakukan setelah tindakan berakhir. Pada tahap refleksi, peneliti: (1) merenungkan kembali apa yang telah dilakukan dan apa dampaknya bagi proses belajar siswa, (2) merenungkan alasan melakukan suatu tindakan dikaitkan dengan dampaknya,dan (3) mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan dari tindakan yang dilakukan.

Perencanaan Pengamatan Refleksi dan revisi Pelaksanaan Tindakan

(19)

2. Mengidentifikasi Masalah

Suatu rencana PTK diawali dengan adanya masalah yang dirasakan atau disadari oleh guru. Guru merasa ada sesuatu yang tidak beres di dalam kelasnya, yang jika tidak segera diatasi akan berdampak bagi proses dan hasil belajar siswa. Masalah yang dirasakan guru pada tahap awal mungkin masih kabur, sehingga guru perlu merenungkan atau melakukan refleksi agar masalah tersebut menjadi semakin jelas. Setelah permasalahan-permasalahan diperoleh melalui proses identifikasi, selanjutnya guru melakukan analisis terhadap masalah-masalah tersebut untuk menentukan urgensi penyelesaiannya. Dalam hubungan ini, akan ditemukan permasalahan yang sangat mendesak untuk diatasi, atau yang dapat ditunda penyelesaiannya tanpa mendatangkan kerugian yang besar. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam memilih permasalahan PTK adalah sebagai berikut: (1) permasalahan harus betul-betul dirasakan penting oleh guru sendiri dan siswanya, (2) masalah harus sesuai dengan kemampuan dan/atau kekuatan guru untuk mengatasinya, (3) permasalahan memiliki skala yang cukup kecil dan terbatas, (4) permasalahan PTK yang dipilih terkait dengan prioritas-prioritas yang ditetapkan dalam rencana pengembangan sekolah.

Agar mampu merasakan dan mengungkapkan adanya masalah seorang guru dituntut jujur pada diri sendiri dan melihat pembelajaran yang dikelolanya sebagai bagian penting dari pekerjaannya. Berbekal kejujuran dan kesadaranguru dapat mengajukan pertanyaan berikut pada diri sendiri.

1) Apa yang sedang terjadi di kelas saya?

(20)

3) Apa pengaruh masalah tersebut bagi kelas saya?

4) Apa yang akan terjadi jika masalah tersebut tidak segera diatasi?

5) Apa yang dapat saya lakukan untuk mengatasi masalah tersebut atau memperbaiki situasi yang ada?

Jika setelah menjawab pertanyaan tersebut guru sampai pada kesimpulan bahwa ia memang menghadapi masalah dalam bidang tertentu, berarti ia sudah berhasil mengidentifikasi masalah. Langkah berikutnya adalah menganalisis dan merumuskan masalah.

3. Menganalisis dan Merumuskan Masalah

Setelah masalah teridentifikasi, guru perlu melakukan analisis sehingga dapat merumuskan masalah dengan jelas. Analisis dapat dilakukan dengan refleksi yaitu mengajukan pertanyaan kepada diri sendiri, mengkaji ulang berbagai dokumen seperti pekerjaan siswa, daftar hadir, atau daftar nilai, atau bahkan mungkin bahan pelajaran yang telah disiapkan. Semua ini tergantung pada jenis masalah yang teridentifikasi.

Sebuah masalah pada umumnya dirumuskan dalam bentuk kalimat tanya, yang menggambarkan sesuatu yang ingin diselesaikan atau dicari jawabannya melalui penelitian tindakan kelas. Contoh rumusan masalah: Apakah pendekatan CTL dapat meningkatkan prestasi belajar siswa SMPN 2 Darma dalam kompetensi mengarang drama?

Selanjutnya, masalah perlu dijabarkan atau dirinci secara operasional agar rencana perbaikannya dapat lebih terarah. Sebagai misal untuk masalah: Tugas

(21)

dan bahan belajar yang bagaimana yang dapat meningkatkan motivasi siswa? dapat dijabarkan menjadi sejumlah pertanyaan sebagai berikut.

a. Bagaimana frekuensi pemberian tugas yang dapat meningkatkan motivasi siswa?;

b. Bagaimana bentuk dan materi tugas yang memotivasi?; c. Bagaimana syarat bahan belajar yang menarik?;

d. Bagaimana kaitan materi bahan belajar dengan tugas yang diberikan?; Dengan terumuskannya masalah secara operasional, guru sudah mulai dapat membuat rencana perbaikan atau rencana PTK.

4. Merencanakan Perbaikan

Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan, guru perlu membuat rencana tindakan atau yang sering disebut dengan rencana perbaikan. Langkah-langkah dalam menyusun rencana perbaikan adalah sebagai berikut.

a. Rumuskan cara perbaikan dalam bentuk hipotesis tindakan

Hipotesis tindakan adalah dugaan guru tentang cara yang terbaik untuk mengatasi masalah. Dugaan atau hipotesis ini dibuat berdasarkan kajian dari berbagai teori, kajian hasil penelitian yang pernah dilakukan dalam masalah yang serupa, diskusi dengan teman sejawat atau dengan pakar, serta refleksi pengalaman sendiri sebagai guru. Berdasarkan hasil kajian tersebut, guru menyusun berbagai alternatif tindakan. Contoh hipotesis tindakan: Penggunaan model pembelajaran dengan teknik IHT dapat meningkatkan kemampuan mendengarkan syair Siswa Kelas IX SMPN 2 Darma.

(22)

b. Analisis kelayakan hipotesis tindakan

Setelah menetapkan alternatif hipotesis yang terbaik, hipotesis ini masih perlu dikaji kelayakannya dikaitkan dengan kemungkinan pelaksanaannya. Kelayakan hipotesis tindakan didasarkan pada hal-hal berikut.

1) Kemampuan dan komitmen guru sebagai pelaksana. Guru harus bertanya pada diri sendiri apakah ia cukup mampu melaksanakan rencana perbaikan tersebut dan apakah ia cukup tangguh untuk menyelesaikannya?

2) Kemampuan dan kondisi fisik siswa dalam mengikuti tindakan tersebut; Misalnya jika diputuskan untuk memberi tugas setiap minggu, apakah siswa cukup mampu menyelesaikannya.

3) Ketersediaan prasarana atau fasilitas yang diperlukan. Apakah sarana atau fasilitas yang diperlukan dalam perbaikan dapat diadakan oleh siswa, sekolah, ataukah oleh guru sendiri.

4) Iklim belajar dan iklim kerja di sekolah. Dalam hal ini, guru perlu mempertimbangkan apakah alternatif yang dipilihnya akan mendapat dukungan dari kepala sekolah dan personil lain di sekolah.

5. Melaksanakan PTK

Setelah meyakini bahwa hipotesis tindakan atau rencana perbaikan sudah layak, kini guru perlu mempersiapkan diri untuk pelaksanaan perbaikan.

a. Menyiapkan Pelaksanaan

Ada beberapa langkah yang perlu disiapkan sebelum merealisasikan rencana tindakan kelas.

(23)

1. Membuat rencana pelaksanaan pembelajaran dalam bentuk skenario tindakan yang akan dilaksanakan. Skenario mencakup langkah-langkah yang dilakukan oleh guru dan siswa dalam kegiatan tindakan atau perbaikan.

Terkait dengan rencana pelaksanaan pembelajaran, guru tentu perlu menyiapkan berbagai bahan seperti tugas belajar yang dibuat sesuai dengan hipotesis yang dipilih, media pembelajaran, alat peraga,dan buku-buku yang relevan.

2. Menyiapkan fasilitas atau sarana pendukung yang diperlukan, misalnya gambar-gambar, meja tempat mengumpulkan tugas, atau sarana lain yang terkait.

3. Menyiapkan cara merekam dan menganalisis data yang berkaitan dengan proses dan hasil perbaikan. Dalam hal ini guru harus menetapkan apa yang harus direkam, bagaimana cara merekamnya dan kemudian bagaimana cara menganalisisnya. Agar dapat melakukan hal ini, guru harus menetapkan indikator keberhasilan. Jika indikator ini sudah ditetapkan, guru dapat menentukan cara merekam dan menganalisis data.

4. Jika perlu, untuk memantapkan keyakinan diri, guru perlu mensimulasikan pelaksanaan tindakan. Dalam hal ini, guru dapat bekerjasama dengan teman sejawat atau berkolaborasi dengan dosen LPTK.

b. Melaksanakan Tindakan

Setelah persiapan selesai, kini tiba saatnya guru melaksanakan tindakan dalam kelas yang sebenarnya.

(24)

Oleh karena itu, metode penelitian yang sedang dilaksanakan tidak boleh mengganggu komitmen guru dalam mengajar. Ini berarti, guru tidak boleh mengorbankan siswa demi penelitian yang sedang dilaksanakannya. Tambahan tugas guru sebagai peneliti harus disikapi sebagai tugas profesional yang semestinya memberi nilai tambah bagi guru dan pembelajaran yang dikelolanya.

2) Cara pengumpulan atau perekaman data jangan sampai terlalu menyita waktu pembelajaran di kelas. Esensi pelaksanaan PTK memang harus disertai dengan observasi, pengumpulan data, dan interpretasi yang dilakukan oleh guru.

3) Metode yang diterapkan haruslah reliabel atau handal, sehingga memungkinkan guru mengembangkan strategi pembelajaran yang sesuai dengan situasi kelasnya.

4) Masalah yang ditangani guru haruslah sesuai dengan kemampuan dan komitmen guru.

5) Sebagai peneliti, guru haruslah memperhatikan berbagai aturan dan etika yang terkait dengan tugas-tugasnya, seperti menyampaikan kepada kepala sekolah tentang rencana tindakan yang akan dilakukan, atau menginformasikan kepada orang tua siswa jika selama pelaksanaan PTK, siswa diwajibkan melakukan sesuatu di luar kebiasaan rutin.

(25)

c. Observasi dan Interpretasi

Pelaksanaan tindakan dan observasi/interpretasi berlangsung simultan. Artinya, data yang diamati saat pelaksaanaan tindakan tersebut langsung diinterpretasikan, tidak sekedar direkam. Jika guru memberi pujian kepada siswa, yang direkam bukan hanya jenis pujian yang diberikan, tetapi juga dampaknya bagi siswa yang mendapat pujian. Apa yang harus direkam dan bagaimana cara merekamnya harus ditentukan secara cermat terlebih dahulu.

Salah satu cara untuk merekam atau mengumpulkan data adalah dengan observasi atau pengamatan. Hopkins (1993) menyebutkan ada lima prinsip dasar atau karakteristik kunci observasi, yaitu:

1) Perencanaan Bersama

Observasi yang baik diawali dengan perencanaan bersama antara pengamat dengan yang diamati, dalam hal ini teman sejawat yang akan membantu mengamati dengan guru yang akan mengajar. Perencanaan bersama ini bertujuan untuk membangun rasa saling percaya dan menyepakati beberapa hal seperti fokus yang akan diamati, aturan yang akan diterapkan, berapa lama pengamatan akan berlangsung, bagaimana sikap pengamat kepada siswa, dan di mana pengamat akan duduk.

2) Fokus

Fokus pengamatan sebaiknya sempit/spesifik. Fokus yang sempit atau spesifik akan menghasilkan data yang sangat bermanfaat begi perkembangan profesional guru.

(26)

3) Membangun Kriteria

Observasi akan sangat membantu guru, jika kriteria keberhasilan atau sasaran yang ingin dicapai sudah disepakati sebelumnya.

4) Keterampilan Observasi

Seorang pengamat yang baik memiliki minimal 3 keterampilan, yaitu: (1) dapat menahan diri untuk tidak terlalu cepat memutuskan dalam menginterpretasikan satu peristiwa; (2) dapat menciptakan suasana yang memberi dukungan dan menghindari terjadinya suasana yang menakutkan guru dan siswa; dan (3) menguasai berbagai teknik untuk menemukan peristiwa atau interaksi yang tepat untuk direkam, serta alat/instrumen perekam yang efektif untuk episode tertentu. Di dalam suatu observasi, hasil pengamatan berupa fakta atau deskripsi, bukan pendapat atau opini.

Dilihat cara melakukan kegiatannya, ada empat jenis observasi yang dapat dipilih, yaitu: observasi terbuka, pengamat tidak menggunakan lembar observasi, melainkan hanya menggunakan kertas kosong untuk merekam proses pembelajaran yang diamati. Observasi terfokus secara khusus ditujukan untuk mengamati aspek-aspek tertentu dari pembelajaran. Observasi terstruktur menggunakan instrumen observasi yang terstruktur dengan baik dan siap pakai, sehingga pengamat hanya tinggal membubuhkan tanda cek (V) pada tempat yang disediakan. Observasi sistematikdilakukan lebih rinci dalam hal kategori data yang diamati.

(27)

Hasil observasi yang direkam secara cermat dan sistematis dapat dijadikan dasar untuk memberi balikan yang tepat. Syarat balikan yang baik: (i) diberikan segera setelah pengamatan, dalam berbagai bentuk misalnya diskusi; (ii) menunjukkan secara spesifik bagian mana yang perlu diperbaiki, bagian mana yang sudah baik untuk dipertahankan; (iii) balikan harus dapat memberi jalan keluar kepada orang yang diberi balikan tersebut.

d. Analisis Data

Agar data yang telah dikumpulkan bermakna sebagai dasar untuk mengambil keputusan, data tersebut harus dianalisis atau diberi makna.Analisis data pada tahap ini agak berbeda dengan interpretasi yang dilakukan pada tahap observasi. Analisis data dilakukan setelah satu paket perbaikan selesai diimplementasikan secara keseluruhan. Jika perbaikan ini direncanakan untuk enam kali pembelajaran, maka analisis data dilakukan setelah pembelajaran tuntas dilaksanakan. Dengan demikian, pada setiap pembelajaran akan diadakan interpretasi yang dimanfaatkan untuk melakukan penyesuaian, dan pada akhir paket perbaikan diadakan analisis data secara keseluruhan untuk menghasilkan informasi yang dapat menjawab hipotesis perbaikan yang dirancang guru.

Analisis data dapat dilakukan secara bertahap. Pada tahap pertama, data diseleksi, difokuskan, jika perlu ada yang direduksi karena itu tahap ini sering disebut sebagai reduksi data. Kemudian data diorganisaskan sesuai dengan hipotesis atau pertanyaan penelitian yang ingin dicari jawabannya. Tahap kedua, data yang sudah terorganisasi ini dideskripsikan sehingga bermakna, baik dalam bentuk narasi, grafik, maupun tabel. Akhirnya, berdasarkan paparan atau deskripsi

(28)

yang telah dibuat ditarik kesimpulan dalam bentuk pernyataan atau formula singkat.

e. Refleksi

Saat refleksi, guru mencoba merenungkan mengapa satu kejadian berlangsung dan mengapa hal seperti itu terjadi. Ia juga mencoba merenungkan mengapa satu usaha perbaikan berhasil dan mengapa yang lain gagal. Melalui refleksi, guru akan dapat menetapkan apa yang telah dicapai, serta apa yang belum dicapai, serta apa yang perlu diperbaiki lagi dalam pembelajaran berikutnya.

f. Perencanaan Tindak Lanjut

Sebagaimana yang telah tersirat dalam tahap analisis data dan refleksi, hasil atau kesimpulan yang didapat pada analisis data, setelah melakukan refleksi digunakan untuk membuat rencana tindak lanjut. Jika ternyata tindakan perbaikan belum berhasil menjawab masalah yang menjadi kerisauan guru, maka hasil analisis data dan refleksi digunakan untuk merencanakan kembali tindakan perbaikan, bahkan bila perlu dibuat rencana baru. Siklus PTK berakhir, jika perbaikan sudah berhasil dilakukan. Jadi, suatu siklus dalam PTK sebenarnya tidak dapat ditentukan lebih dahulu berapa banyaknya.

(29)

Perencanaan Pelaksanaan Pengamatan Refleksi Berhasil Gagal Simpulan

Kemmis dan Mc. Taggart dikutip Wardani dkk, 2004, p.4.9) 2. Motivasi dan Pembelajaran

Motivasi berasal dari bahasa Latin, movere, yang berarti “dasarnya” atau “penggerak”. Motivasi yang ada pada seseorang akan mewujudkan suatu perilaku untuk memenuhi keinginan atau kebutuhannya. Motivasi ditimbulkan oleh tenaga-tenaga, baik yang berasal dari dalam maupun dari luar diri seseorang. Tenaga-tenaga tersebut dapat dibedakan dalam berbagai istilah, yaitu desakan (drive), motif (motive), kebutuhan (need), dan keinginan (wish). ”Desakan” diartikan sebagai dorongan yang mengarah kepada pemenuhan kebutuhan jasmani. ”Motif” merupakan suatu dorongan yang mengarah pada pemenuhan kebutuhan rohani. ”Kebutuhan” merupakan suatu keadaan yang dirasakan oleh individu karena terdapat kekurangan. Sedangkan ”keinginan” merupakan harapan seseorang untuk memiliki sesuatu yang dibutuhkan (Siagian, 2004).

(30)

Motivasi juga merupakan dorongan dalam diri manusia yang mengaktifkan, menggerakkan, dan mengarahkan perilaku untuk mencapai tujuan. Seberapa kuat motivasi yang dimiliki individu akan banyak menentukan terhadap kualitas perilaku yang ditampilkannya, baik dalam konteks belajar, bekerja, maupun dalam kehidupan lainnya. Kajian tentang motivasi telah sejak lama memiliki daya tarik tersendiri bagi kalangan pendidik, manajer, dan peneliti, terutama dikaitkan dengan kepentingan upaya pencapaian kinerja dan prestasi seseorang (Siagian, 2004; dan Hasibuan, 2007).

Motivasi yang ada pada seseorang akan mewujudkan suatu perilaku untuk memenuhi suatu keinginan atau kebutuhannya. Jadi, perilaku manusia pada dasarnya berorientasi pada tujuan, yaitu dimotivasi oleh keinginan untuk mencapai tujuan tertentu. Motivasi meliputi pengarahan perilaku, berkaitan dengan perilaku dan kinerja, pengarahan kepada tujuan, faktor-faktor fisiologis, psikologikal, dan lingkungan (Wibowo, 2010).

Untuk memahami motivasi individu dapat dilihat dari beberapa indikator, diantaranya: (1) durasi kegiatan; (2) frekuensi kegiatan; (3) persistensi atau ketekunan pada kegiatan; (4) ketabahan, keuletan, dan kemampuan dalam mengahadapi rintangan dan kesulitan; (5) devosi atau mencurahkan perhatian dan pengorbanan untuk mencapai tujuan; (6) tingkat aspirasi yang hendak dicapai dengan kegiatan yang dilakukan; (7) tingkat kualifikasi prestasi atau out put yang dicapai dari kegiatan yang dilakukan; serta (8) arah sikap terhadap sasaran kegiatan (Siagian, 2004; dan Hasibuan, 2007).

(31)

Untuk memahami tentang motivasi, ada beberapa teori yang secara ringkas dapat dikemukakan sebagai berikut:

Pertama, Teori Kebutuhan dari Abraham H. Maslow. Teori motivasi yang dikembangkan oleh Abraham H. Maslow pada intinya berkisar pada pendapat bahwa manusia mempunyai lima tingkat atau hierarki kebutuhan, yaitu : (1) Kebutuhan fisiologi atau physiological needs, seperti rasa lapar, haus, istirahat, dan seks; (2) Kebutuhan rasa aman atau safety needs, tidak dalam arti fisik semata akan tetapi juga mental, psikologi, dan intelektual; (3) Kebutuhan akan kasih-sayang atau love needs; (4) Kebutuhan akan harga diri atau esteem needs, yang pada umumnya tercermin dalam berbagai simbol-simbol status; dan (5) Kebutuhan akan aktualisasi diri atau self actualization, dalam arti tersedianya kesempatan bagi seseorang untuk mengembangkan potensi yang terdapat dalam dirinya sehingga berubah menjadi kemampuan nyata (dalam Koeswara, 1991; dan Siagian, 2004).

Abraham H. Maslow memisahkan tingkat kebutuhan menjadi tingkat tinggi dan tingkat rendah. Kebutuhan tingkat tinggi adalah kebutuhan yang dipenuhi secara internal, yaitu kebutuhan sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri. Sedangkan kebutuhan tingkat rendah adalah kebutuhan yang dipenuhi secara eksternal yaitu kebutuhan fa’ali dan keamanan. Kekuatan suatu motivasi sangat tergantung dari kekuatan dasar suatu motif, besarnya harapan atau keinginan yang akan dipenuhi dengan suatu motif, dan besarnya kepuasan yang diantisipasi oleh individu.

(32)

Dengan demikian, motivasi dapat berfungsi dalam mengaktifkan atau meningkatkan kegiatan.

Kedua, Teori Kebutuhan Berprestasi dari David Clarence McClelland. Dari David Clarence McClelland dikenal tentang teori kebutuhan untuk mencapai prestasi atau Need for Achievement (N.Ach), yang menyatakan bahwa motivasi berbeda-beda, sesuai dengan kekuatan kebutuhan seseorang akan prestasi. Kebutuhan akan prestasi adalah keinginan untuk: (1) Melaksanakan sesuatu tugas atau pekerjaan yang sulit; (2) Menguasai, memanipulasi, atau mengorganisasi objek-objek fisik, manusia, atau ide-ide serta melaksanakan hal-hal tersebut secepat mungkin dan seindependen mungkin sesuai kondisi yang berlaku; (3) Mengatasi kendala-kendala, mencapai standar tinggi, serta mencapai performa puncak untuk diri sendiri; (4) Mampu menang dalam persaingan dengan pihak lain; serta (5) Meningkatkan kemampuan diri melalui penerapan bakat secara berhasil (dalam Basuki, 2007).

Menurut David Clarence McClelland, karakteristik orang yang berprestasi tinggi, atau high achievers, memiliki tiga ciri umum yaitu: (1) Sebuah preferensi untuk mengerjakan tugas-tugas dengan derajat kesulitan moderat; (2) Menyukai situasi-situasi dimana kinerja mereka timbul karena upaya-upaya mereka sendiri dan bukan karena faktor-faktor lain, seperti kemujuran misalnya; serta (3) Menginginkan umpan-balik tentang keberhasilan dan kegagalan mereka, dibandingkan dengan mereka yang berprestasi rendah (dalam Thoha, 2007).

Ketiga, Teori Harapan dari Victor H. Vroom. Victor H. Vroom mengetengahkan suatu teori yang disebutnya sebagai “Teori Harapan”. Menurut

(33)

teori ini, motivasi merupakan akibat suatu hasil dari yang ingin dicapai oleh seorang, dan perkiraan yang bersangkutan bahwa tindakannya akan mengarah kepada hasil yang diinginkannya itu. Artinya, apabila seseorang sangat menginginkan sesuatu, dan jalan tampaknya terbuka untuk memperolehnya, maka yang bersangkutan akan berupaya mendapatkannya (dalam Sudrajat, 2008b). Dengan kata lain, Teori Harapan berkata bahwa jika seseorang menginginkan sesuatu dan harapan untuk memperoleh sesuatu itu cukup besar, maka yang bersangkutan akan sangat terdorong untuk memperoleh hal yang diinginkannya itu. Sebaliknya, jika harapan memperoleh hal yang diinginkannya itu tipis, motivasinya untuk berupaya juga akan menjadi rendah.

Di kalangan ilmuwan dan para praktisi manajemen sumber daya manusia, Teori Harapan ini mempunyai daya tarik tersendiri karena penekanan tentang pentingnya bagian kepegawaian membantu para pegawai dalam menentukan hal-hal yang diinginkan serta menunjukkan cara-cara yang paling tepat untuk mewujudkan keinginannya itu (Siagian, 2009; dan Soetopo, 2010). Penekanan ini dianggap penting karena pengalaman menunjukkan bahwa para pegawai tidak selalu mengetahui secara pasti apa yang diinginkan, apalagi cara untuk memperolehnya.

Keempat, Teori Penguatan dan Modifikasi Perilaku. Berbagai teori atau model motivasi yang telah dibahas di muka dapat digolongkan sebagai ”model kognitif motivasi” karena didasarkan pada kebutuhan seseorang berdasarkan persepsi orang yang bersangkutan, dan berarti sifatnya sangat subjektif. Perilakunya pun ditentukan oleh persepsi tersebut. Padahal dalam kehidupan organisasional

(34)

disadari dan diakui bahwa kehendak seseorang ditentukan pula oleh berbagai konsekuensi eksternal dari perilaku dan tindakannya (Dimyati & Mudjiono, 2006; dan Sudrajat, 2008b). Artinya, berbagai faktor di luar diri seseorang turut berperan sebagai penentu dan pengubah perilaku. Dalam hal ini berlakulah apaya yang dikenal dengan “hukum pengaruh” yang menyatakan bahwa manusia cenderung untuk mengulangi perilaku yang mempunyai konsekuensi menguntungkan dirinya dan mengelakkan perilaku yang mengibatkan timbulnya konsekwensi yang merugikan (Koeswara, 1991; dan Maliki, 2008). Penting juga untuk diperhatikan bahwa agar cara-cara yang digunakan untuk modifikasi perilaku tetap memperhitungkan harkat dan martabat manusia yang harus selalu diakui dan dihormati, maka cara-cara tersebut perlu ditempuh dengan “gaya” yang manusiawi pula (Juliani, 2007).

3. Pembelajaran Kooperatif Tipe “Number Head Together” (NHT)

Pembelajaran kooperatif, atau cooperative learning, mengharuskan siswa belajar dan bekerja secara kelompok. Belajar kooperatif adalah kegiatan sekelompok siswa yang biasanya berjumlah kecil, yang diorganisir untuk kepentingan belajar dimana keberhasilan kelompok ini menuntut kegiatan yang saling bekerjasama dari individu anggota kelompok tersebut (Budiningsih, 2005). Sedangkan Dimyati dan Mudjiono (2006:34) mengemukakan bahwa pembelajaran kooperatif, yang menghendaki kerja kelompok, berarti bahwa kerja kepemimpinan dan keterpimpinan yang perlu dipelajari oleh siswa untuk bekal dalam kehidupannya nanti. Selain itu, pembelajaran kooperatif juga dapat

(35)

sosial siswa; (2) Membantu siswa dalam memahami konsep-konsep yang sulit; dan (3) Mengembangkan keterampilan kerjasama dan kolaborasi (Dimyati & Mudjiono, 2006).

Pembelajaran kooperatif, dengan demikian, merupakan suatu model pengajaran dimana siswa belajar dalam kelompok-kelompok kecil yang memiliki tingkat kemampun berbeda. Dalam menyelesaikan tugas kelompok, setiap anggota saling bekerja sama dan membantu untuk memahami suatu bahan pembelajaran. Belajar belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan pembelajaran. Ciri-ciri yang menonjol dalam pembelajaran kooperatif adalah: (1) Siswa sadar sebagai anggota kelompok; (2) Siswa memiliki tujuan bersama; (3) Siswa memiliki rasa saling membutuhkan; (4) Interaksi dan komunikasi antar anggota; (5) Ada tindakan bersama; dan (6) Guru bertindak sebagai fasilitator, pembimbing, dan pengendali ketertiban kerja (Budiningsih, 2005; dan Dimyati & Mudjiono, 2006).

Sementara itu, bentuk pembelajaran kooperatif dengan tipe Number Head Together (NHT) yaitu anggota kelompok diberi nomor kepala berbeda dengan tugas yang berbeda satu dengan lainnya dari satu pokok bahasan. Agar masing-masing tetap mengetahui keseluruhan pokok bahasan yang dibahas dalam kelompoknya, tes diberikan secara menyeluruh dengan penilaian didasarkan pada rata-rata skor tes kelompok (Sudrajat, 2008a).

Langkah-langkah pembelajaran kooperatif dengan tipe NHT adalah sebagai berikut: (1) Siswa dibagi dalam kelompok, setiap siswa dalam setiap kelompok mendapat nomor; (2) Penugasan diberikan kepada setiap siswa

(36)

berdasarkan nomor terhadap tugas yang berangkai. Misalnya, siswa nomor satu bertugas mencatat soal, siswa nomor dua mengerjakan soal, dan siswa nomor tiga melaporkan hasil pekerjaan, dan seterusnya; (3) Jika perlu, guru bisa menyuruh kerja sama antar kelompok. Siswa disuruh keluar dari kelompoknya dan bergabung bersama beberapa siswa bernomor sama dari kelompok lain. Dalam kesempatan ini siswa dengan tugas yang sama bisa saling membantu atau mencocokkan hasil kerja sama mereka; (4) Laporkan hasil dan tanggapan dari kelompok yang lain; dan (5) Penarikan kesimpulan dengan bimbingan guru (Wartono et al., 2004; Dimyati & Mudjiono, 2006; dan Sudrajat, 2008a).

B.

Penelitian yang Relevan

Terkait dengan efektivitas penggunaan model pembelajaran Kooperatif dengan teknik NHT (Number Head Together) ini, dapat kita lihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Abdul Fatah dan Sri R. Rosdianti terhadap 32 siswa kelas IX SMPN 1 Gunung Jati Cirebon Tahun 2010. Hasil penelitian menunjukkan bahwa berdasarkan learning logs yang diberikan siswa setelah penggunaan pembelajaran kooperatif dengan tipe Number Head Together (NHT) dapat dikatakan bahwa sebagian besar dari siswa merasa senang dengan proses pembelajaran yang dilakukan. Hal ini karena mereka dapat belajar bekerja sama, saling menghargai dalam mengungkapkan pendapat dan menanggapi pendapat orang lain, meskipun masih ada yang merasa terganggu dengan kehadiran kolaborator/guru secara bersama.

Pada akhir siklus ketiga dilakukan evaluasi untuk mengetahui pemahaman konsep siswa tentang materi pembelajaran yang dipelajari. Dari hasil ulangan

(37)

harian tersebut terlihat bahwa secara klasikal, pembelajaran dikatakan tuntas karena lebih dari 95% siswa melebihi KKM (Kriteria Ketuntasan Minimum) yang ditetapkan, yaitu sebesar 60. Namun demikian, dari hasil tersebut juga terlihat bahwa rata-rata nilai hasil ulangan hanya 82.78 dan itu berarti masih diperlukan upaya lain untuk meningkatkan hasil belajar siswa. Dengan demikian, penggunaan pembelajaran kooperatif dengan tipe Number Head Together (NHT) dapat meningkatkan motivasi dan hasil belajar siswa secara signifikan.

C.

Kerangka Berpikir

Berdasarkan kajian teori sebagaimana dijelaskan di atas, penulis berkeyakinan bahwa untuk memecahkan permasalahan dalam pembelajaran bahasa Indonesia kompetensi dasar ‘Melaporkan secara lisan berbagai peristiwa’ perlu melakukan penelitian tindakan kelas. Perbaikan proses pembelajaran dan peningkatan pencapaian kompetensi siswa adalah tujuan dasar penelitian ini. Untuk itu hal itu, penulis dengan mempertimbangkan masukan dari rekan kolaborasi merumuskan kerangka berpikir secara jelas sebagai gambaran langkah dan tindakan lanjutan.

Kerangka berpikir terkait dengan penelitian tindakan kelas ini dapat digambarkan di bawah ini

(38)

KONDISI

AWAL

Guru : Belum menggunakanmodel NHT (Number Head Together) Siswa: Hasil belajar kompetensi dasar melaporkan secara lisan berbagai peristiwa

TINDAKAN

MENGGUNAKAN MODEL NHT (Number Head Together) Siklus I Model pembelajaran NHT (Number Head Together)yang abstrak Siklus II Model pembelajaran NHT (Number Head Together) yang abstrak dan konkret Hasil belajar kompetensi melaporkan secara lisan berbagai peristiwa KONDISI AKHIR C. Hipotesis Tindakan

Hipotesis tindakan merupakan jawaban sementara terhadap masalah yang diajukan. Hipotesis tindakan menyatakan dengan tegas bahwa tindakan yang dilakukan dapat membawa perbaikan pada pembelajaran. Terkait dengan penelitian tindakan kelas ini, rumusan hipotesis tindakannya adalah sebagai berikut:

(39)

1) Penerapan model pembelajaran Kooperatif dengan teknik NHT (Number Head Together) meningkatkan minat dan motivasi belajar siswa kelas IX SMPN 2 Darma tahun pelajaran 2011/2012 pada kompetensi dasar ‘Melaporkan secara lisan berbagai peristiwa’;

2) Penerapan model pembelajaran Kooperatif dengan teknik NHT (Number Head Together) dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa kelas IX SMPN 2 Darma tahun pelajaran 2011/2012 pada kompetensi dasar ‘Melaporkan secara lisan berbagai peristiwa’;

3) Penerapan model pembelajaran Kooperatif dengan teknik NHT (Number Head Together) dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas IX SMPN 2 Darma tahun pelajaran 2011/2012 pada kompetensi dasar ‘Melaporkan secara lisan berbagai peristiwa’;

Gambar

Tabel 1. Perbandingan PTK dan Penelitian Kelas No. Aspek Penelitian Tindakan
Gambar 1. Tahap-tahap dalam Pelaksanaan PTK

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan hasil perkalian bobot X rating faktor lingkungan internal untuk memperoleh letak kuadran dalam pengembangan strategi pemasaran usaha Sa’adah Agency dalam

Hasil skor yang diperoleh PPL 1 dalam peran komunikasi penyuluhan yang dilakukan pada kelompok tani Desa Raringis, Desa Raringis Selatan, Desa Noongan dan Desa

Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan terjun langsung ke lapangan untuk meneliti pengaruh keaktifan siswa dalam

Berdasarkan hasil penelitian telah terjadi perubahan lingkungan pengendapan yang berdasarkan pada tingkat kepadatan fosil jejak yaitu terjadi sebanyak 6 kali yang

Empat puluh enam biopsi dari 23 pasien kanker serviks jenis karsinoma serviks epitel skuamosa dianalilis dengan pewarnaan AgNOR, MIB-1 sebelum dan setelah radiasi 10 Gy dan

Maka diketahui bahwa penerapan kedua metode pembelajaran (Team Game Tournament dan Think Pair Shared) mempunyai pengaruh yang sangat berarti bagi hasil

a) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dan pertimbangan dalam memberikan kualitas pelayanan yang memuaskan konsumnen bagi PT. Tunggal Tour

Menurut SNI 01-7111.2-2005 tentang Syarat mutu MP-ASI biskuit bayi menyebutkan bahwa kandungan Zinc tidak boleh kurang dari 2,5 mg/100 g, hasil analisa menunjukkan bahwa