• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

5 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Remaja

WHO mendefinisikan remaja (adolescent) sebagai individu berusia 10 sampai 19 tahun dan dewasa muda (youth) 15 sampai 24 tahun. Dua kelompok usia yang saling tumpang tindih mencakup usia 10 sampai 24 tahun digolongkan sebagai pemuda (young people).Secara garis besar, fase remaja dibagi menjadi tiga periode penting, yaitu fase awal, pertengahan dan lanjut. Masing-masing fase tersebut memiliki karakteristik tersendiri dalam hal biologis, psikologis, dan isu sosial.5

2.2 Pola Tidur Normal Pada Remaja

Tidur merupakan salah satu cara untuk melepaskan kelelahan fisik dan kelelahan mental. Walaupun belum sepenuhnya dimengerti, namun tidur memegang proses penting dalam konsolidasi ingatan serta proses penyembuhan. Dengan tidur, semua keluhan hilang atau berkurang sehingga akan kembali mendapatkan tenaga serta semangat untuk melakukan aktivitas sehari-hari dengan produktif. Semua makhluk hidup mempunyai irama kehidupan berbeda-beda, sesuai dengan beredarnya waktu dalam siklus 24 jam. Irama ini disebut sebagai irama sirkadian, yang mana pusat kontrol irama sirkadian terletak pada bagian ventral anterior hipotalamus di otak.2

Setiap malam seseorang mengalami dua tipe tidur yang saling bergantian yaitu: tipe

Non Rapid Eye Movement (NREM) dan tipe Rapid Eye Movement (REM). Fase awal

tidur didahului oleh fase NREM yang terdiri dari 4 tahap, lalu diikuti oleh fase REM. Berdasarkan studi pola gelombang otak, NREM terbagi menjadi beberapa tingkat dimulai dari keadaan mengantuk sampai tidur nyenyak. Tingkat awal (tingkat I dan II) adalah mudah terbangun dan bahkan tidak menyadari bila sedang tertidur. Tingkat lanjutan (tingkat III dan IV) sangat sulit dibangunkan dan apabila dibangunkan, orang tersebut akan disorientasi dan bingung. Keadaan tidur normal antara fase NREM dan REM terjadi secara bergantian antara 4 sampai 7 kali siklus semalam.3

Pola tidur remaja perlu perhatian lebih karena berhubungan pada performa sekolah. Dalam dua deckde terakhir ini, para peneliti menyadari perbedaan perubahan pola tidur pada remaja. Pada permulaan masa pubertas, fase tidurnya menjadi telat. Remaja

(2)

6 umumnya mulai tidur lebih malam dan bangun lebih telat di pagi hari. Menurut penelitian remaja membutuhkan waktu 9 sampai 10 jam untuk tidur dalam sehari. Namun pada kenyataan, remaja hanya tidur sekitar 8 jam sehari karena pengaruh waktu dan tugas sekolah. Waktu tidur dan bangun berdasarkan waktu sekolah dan kehidupan sosial akan berkontribusi dalam pengurangan waktu tidur pada remaja.10

2.3 Gangguan Tidur

Gangguan tidur merupakan suatu kumpulan kondisi yang dicirikan dengan adanya gangguan dalam kualitas dan kuantitas tidur pada seorang individu. Pada kelompok remaja, kurangnya durasi tidur juga dapat terjadi akibat adanya perubahan gaya hidup. Kualitas tidur inadekuat adalah fragmentasi dan terputusnya tidur akibat periode singkat terjaga di malam hari yang sering dan berulang.1

Menurut Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia III WHO (PPDGJ III), gangguan tidur secara garis besar dibagi dua, yaitu dissomnia dan parasomnia. Dissomnia merupakan suatu kondisi psikogenik primer dengan ciri gangguan utama pada jumlah, kualitas, atau waktu tidur yang terkait faktor emosional. Termasuk dalam golongan ini antara lain adalah insomnia, hipersomnia, dan gangguan jadwal tidur. Parasomnia merupakan peristiwa episodik abnormal yang terjadi selama masa tidur. Termasuk dalam golongan ini adalah somnabulisme, teror tidur, dan mimpi buruk.2,4

2.4 Etiologi dan Faktor Resiko Gangguan Tidur

Gangguan tidur pada remaja dipengaruhi berbagai faktor baik medis maupun nonmedis. Penelitian di Jepang oleh Ohida pada tahun 2004 menunjukkan beberapa faktor resiko terjadinya gangguan tidur, yaitu jenis kelamin perempuan, siswa tingkat SMA, dan gaya hidup yang tidak sehat (stres psikologis, merokok dan minum alkohol).11

Remaja perempuan mengalami gangguan tidur dan kelelahan di siang hari lebih tinggi dari remaja laki-laki. Hal ini diperkirakan karena perempuan memiliki resiko lebih tinggi dalam mengalami kelelahan terkait pubertas, prevalensi gangguan mental yang

(3)

7 lebih tinggi serta lebih sensitif terhadap masalah keluarga, dan tingginya tuntutan dalam kehidupan keluarga dan pergaulan.5

Kualitas tidur juga dapat dipengaruhi berbagai hal di lingkungan sekitar. Rangsangan sensorik dari lingkungan seperti bunyi, cahaya, pergerakan, dan bau dapat mempengaruhi inisiasi dan kualitas tidur. Lokasi tidur juga mempengaruhi kualitas tidur seperti di kamar atau pada transportasi umum. Hal lain yang juga perlu dipertimbangkan adalah keadaan sosial ekonomi dan lingkungan sekitar seperti kelembaban, suhu dingin, kekumuhan, kepadatan dan tingkat kebisingan. Berbagai keadaan medis juga dapat menyebabkan timbulnya gangguan tidur. Sebanyak 35-50% individu dengan kelainan neuropsikiatri mengalami gangguan tidur.8,10

2.5 Patofisiologi Insomnia

Patofisiologi insomnia belum bisa dijelaskan secara pasti, akan tetapi insomnia dihubungkan dengan hipotesis peningkatan arousal yang dikaitkan dengan struktur yang memicu kesiagaan di ARAS (Ascending Reticular Activating System), hipotalamus, basal forebrain yang berinteraksi dengan pusat-pusat pemicu tidur pada otak di anterior hipotalamus dan thalamus.4

Hyperarousal merupakan keadaan yang ditandai dengan tingginya tingkat kesiagaan

yang merupakan respon terhadap situasi spesifik seperti lingkungan tidur. Data psikofisiologi dan metabolik dari hyperarousal pada pasien insomnia meliputi peningkatan suhu tubuh, peningkatan denyut nadi dan penurunan variasi periode jantung selama tidur. Kecepatan metabolik seluruh tubuh dihitung melalui penggunaan oksigen persatuan waktu ternyata lebih tinggi pada pasien insomnia dibandingkan pada orang normal.4,8

Data elektrofisiologi hyperarousal menunjukkan peningkatan frekuensi gelombang beta pada EEG selama tidur NREM. Aktivitas gelombang beta dikaitkan dengan aktivitas gelombang otak selama terjaga. Penurunan dorongan tidur pada pasien insomnia dikaitkan dengan penurunan aktivitas gelombang delta. Sedangkan data neuroendokrin tentang hyperarousal menunjukan peningkatan level kortisol dan adrenokortikoid (ACTH) sebelum dan selama tidur, terutama pada setengah bagian

(4)

8 pertama tidur pada pasien insomnia. Penurunan level melatonin tidak konsisten ditemukan.3,4

Pada pasien yang mengalami insomnia yang karena depresi berat terjadi peningkatan gelombang beta yang berkaitan dengan peningkatan aktivitas metabolik di kortek orbita frontal dan mengeluhkan kualitas tidur yang buruk, hal ini juga mendukung hipotesis mengenai hyperarousal. Pada pasien insomnia primer, selama tidur NREM terjadi hipoperfusi di berbagai tempat dan yang paling jelas ada pada basal ganglia.4

2.6 Tata Laksana Insomnia

Insomnia merupakan suatu masalah yang sering terjadi dan sangat mengganggu aktivitas sehari-hari apabila tidak tertangani dengan baik. Kombinasi antara penanganan farmakologi dan nonfarmakologi pada penanganan insomnia dapat memberikan hasil yang lebih maksimal. Secara farmakologi obat-obat yang dapat digunakan untuk menangani insomnia kronik yaitu benzodiasepin reseptor agonis, antihistamin, antidepresan. Benzodiazepin reseptor agonis dibagi menjadi 2 kategori yaitu benzodiazepine (estazolam, flurazepam, quazepam, temazepam, triazolam) dan baru-baru ini diperkenalkan obat yang bekerja pada reseptor benzodiazepine tetapi strukturnya bukan benzodiazepine (zaleplon, zolpidem, eszopiklon). Delapan jenis obat tersebut disetujui oleh FDA sebagai penanganan insomnia dan efektif untuk menangani insomnia yang akut.8,12

Pada kondisi insomnia kronik kenyataannya hanya ada satu obat yaitu eszopiklon yang disetujui digunakan tanpa batasan waktu yang spesifik, sedangkan obat-obat lainnya yang disetujui penggunaannya terbatas selama 35 hari atau kurang. Penelitian baru-baru ini menyebutkan ezopiklon mempunyai efektivitas selama 6 bulan untuk mengobati insomnia kronik primer. Efek samping yang berhubungan dengan penanganan meliputi: residual daytime sedation, gangguan kognitif, gangguan motorik, ketergantungan dan rebound insomnia.8

Penanganan nonfarmakologi seperti interfensi perilaku untuk insomnia memberikan hasil yang signifikan dalam mengurangi latensi tidur, menurunkan waktu terbangun di malam hari, dan memperbaiki waktu total untuk tidur. Sebanyak 70-80% pasien insomnia mendapat keuntungan dari terapi ini dan perbaikan tersebut meningkat saat

(5)

9 dilakukan evaluasi kembali. Pada terapi kontrol stimulus pasien diminta menggunakan tempat tidur dan kamar tidur hanya untuk tidur apabila dia merasa mengantuk. Apabila terjaga terlalu lama lebih dari 20 menit di tempat tidur sebaiknya pergi dulu, kemudian setelah merasa ngantuk baru kembali ke tempat tidur.2,8

Restriksi tidur meliputi pembatasan waktu di tempat tidur dengan mengatur jam tidur yang ketat dan membentuk jadwal tidur yang sesuai dengan jumlah tidur yang dilaporkan pasien. Pada awalnya akan membuat kekurangan tidur yang ringan sampai sedang sehingga rasa mengantuk akan meningkat dan menambah kemampuan untuk tidur dan mempertahankan tidur.2

Teknik relaksasi bertujuan untuk menurunkan tegangan otot dan kognitif arousal yang tidak sesuai untuk tidur. Olahraga, relaksasi sore secara rutin, menghindari tidur siang, dan membatasi minum alkohol merupakan contoh-contoh prilaku yang dapat meningkatkan kualitas tidur. Kognitif intervensi meliputi identifikasi, perubahan, penggantian dari keyakinan awal yang tidak rasional tentang tidur atau ketakutan kekurangan tidur. Perubahan mengenai keyakinan atau ketakutan tentang tidur bisa dilakukan dengan diskusi dan edukasi melalui psikoterapi. Sleep hygiene mengacu pada instruksi yang bertujuan untuk menguatkan pola prilaku yang memacu tidur dan mengurangi frekuensi prilaku yang mengganggu tidur. Walaupun sleep hygiene terbatas kemampuannya mengurangi insomnia terapi ini biasanya dikombinasi dengan terapi perilaku lain.2,3,8

2.7 Dampak Gangguan Tidur pada Remaja

Tidur berhubungan dengan kualitas dan kuantitas morbiditas serta mortalitas. Menurut data epidemiologi dimana individu yang tidur kurang dari 6 jam atau tidur yang lebih dari 9 jam perhari, erat hubungannya dengan peningkatan mortalitas.4

Kualitas dan kuantitas tidur yang kurang pada anak dapat mengakibatkan terjadinya rasa kantuk yang berlebihan di siang hari dan penurunan tingkat atensi di siang hari. Gangguan pola tidur dapat menimbulkan efek negatif pada performa di sekolah, fungsi kognitif dan mood sehingga dapat menimbulkan konsekuensi lainnya seperti membolos, penurunan prestasi siswa di sekolah, peningkatan angka kejadian kecelakaan lalu lintas, hingga keterlibatan dalam obat-obatan dan zat terlarang.5,6

(6)

10 2.8 Perkembangan Kognitif Remaja

Selama masa remaja, manusia mulai terikat oleh sebuah kelompok sosial yang lebih besar dan memahami poengaruh sosial. Pada saat yang bersamaan juga, remaja berkembang secara signifikan dalam fungsi kognitif, mempelajari kekuatan intelek dan emosi. Perubahan kognitif pada remaja usia sekolah adalah pada kemampuan untuk berpikir dengan cara logis dan sudah tidak didominasi oleh persepsinya. Di usia ini, remaja dapat menggunakan kemampuan kognitif yang baru dikembangkannya untuk memecahkan suatu masalah.13,14,15

Beberapa individu lebih baik daripada orang lain dalam hal memecahkan permasalahan karena faktor intelegensia, tingkat pendidikan dan pengalaman alami. Namun tidak semua remaja dapat memanfaatkan dan meningkatkan kemampuan kognitif dengan baik oleh karena terdapat faktor-faktor yang menghambat perkembangan kemampuan kognitif mereka. Asupan nutrisi makanan yang tidak adekuat, riwayat penyakit organik hingga kualitas dan kuantitas tidur yang buruk memegang peranan dalam penurunan kemampuan kognitif seseorang.16

Referensi

Dokumen terkait

Peran dan Fungsi Tenaga Kesehatan Pada Home Care.. Kondisi

Larva turun ke dasar dan mencari substrat untuk menempatinya sebagai respons terhadap kehadiran substrat, banyak larva yang mengalami kegagalan dalam menyelesaikan

Proporsi seroproteksi anti-HBs pada 100 anak usia 10– 12 tahun pasca imunisasi dasar hepatitis B lengkap 38%, dengan hasil seropositif 68,7% subjek respons rendah, 26,3% respons

 Prinsip: memeriksa berat jenis urine dengan alat urinometer  Tujuan: mengetahui kepekatan urine.  Alat

 Nyeri, menyebabkan pasien sangat menderita, tidak mampu bergerak, tidak mampu bernafas dan batuk dengan baik, susah tidur, tidak enak makan5dan minum, !emas, gelisah,

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan mengenai kinerja dan harapan pasien terhadap kualitas pelayanan jasa di Rumah Sakit Bhakti Wira Tamtama Semarang, maka

Kemudian Mahasiswa melanjutkan proses dengan cara klik bayar pada tabel kolom konfirmasi, dilanjutkan dengan mengisi pada masing-masing kolom yang wajib di isi di dalam

Dasar hukum pelaksanaan program penyediaan jasa akses telekomunikasi perdesaan KPU/USO Tahun 2009 umumnya juga mengacu kepada beberapa peraturan perundang-undangan yang