• Tidak ada hasil yang ditemukan

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KABUPATEN ROKAN HULU PROVINSI RIAU"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

POTENSI DAN PELUANG PENGEMBANGAN SISTEM

INTEGRASI SAWIT-SAPI DI KABUPATEN ROKAN HULU

PROVINSI RIAU

MARZUKI HUSEIN Dinas Peternakan Provinsi RIAU

Jl. Pattimura No 2 Pekanbaru ABSTRAK

Sebagai usaha sampingan dalam skala pemilikan sapi potong yang kecil dan disertai dengan pola pemeliharaan yang belum intensif menyebabkan tingkat produktifitas sapi potong di Provinsi Riau masih rendah. Sementara dilain sisi permintaan pasar akan produk peternakan terus meningkat sejalan dengan pertambahan populasi penduduk Riau dan semakin tingginya kesadaran masyarakat akan pentingnya produk peternakan. Dilihat dari potensi sumber daya alam, sumber daya manusia dan peluang pasar lokal yang sangat terbuka maka Provinsi Riau sangat berpeluang untuk mengembangkan usaha peternakan sapi potong. Salah satu upaya untuk dapat meningkatkan produktifitas sapi potong tersebut adalah dengan menerapkan pola integrasi sapi potong dengan sub sektor pertanian lainnya. Sumber daya alam yang belum dimanfaatkan secara optimal dan tersedia sepanjang tahun adalah sumber pakan alternatif asal perkebunan kelapa sawit. Pada tulisan ini akan diuraikan potensi perkebunan kelapa sawit yang tersedia untuk dapat dipergunakan sebagai landasan untuk mengembangkan usaha sapi potong lokal.

Kata Kunci: Sapi Potong, Sumberdaya Alam, Limbah Kelapa Sawit

PENDAHULUAN

Salah satu tujuan utama pembangunan adalah meningkatkan kualitas sumberdaya manusia. Untuk menghasilkan sumberdaya manusia yang berkualitas, peran gizi khususnya kecukupan protein hewani sangat menentukan. Ada korelasi yang tinggi antara kecukupan konsumsi protein hewani dengan tingkat kemajuan suatu bangsa.

Sebagai gambaran, tingkat konsumsi protein asal ternak per kapita penduduk bangsa Indonesia tahun 1993 baru mencapai sekitar 3,74 g/kapita/hari (daging 2,45; telur 0,82 dan susu 0,47), sementara Singapura, jepang dan Amerika Serikat pada tahun 1987 masing-masing sudah mencapai 22,69; 53,50 dan 73 g/kapita/hari. Adanya perbedaan konsumsi protein hewani tersebut berdampak pada perbedaan kualitas SDM yang sangat mencolok. Oleh karena itu, tidak perlu diragukan lagi betapa besar dan vitalnya peranan protein hewani dalam mencerdaskan setiap individu manusia.

Konsumsi protein hewani yang rendah disebabkan oleh harga yang relatif lebih mahal, sehingga tidak terjangkau oleh daya beli masyarakat yang sebagian besar berpenghasilan menengah ke bawah. Harga

yang tinggi ini disebabkan oleh biaya produksi sapi potong yang tinggi dan cenderung tidak ekonomis. Khusus untuk Daerah RIAU hingga saat ini masih mendatangkan kebutuhan produksi daging dari provinsi tetangga.

Untuk itu, peluang usaha pengembangan ternak sapi potong di Provinsi Riau sangat terbuka lebar dilihat dari aspek potensi sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan peluang pemasaran. Sampai saat ini, produksi sapi potong lokal sangat terbatas jumlahnya, sebagai akibat skala usaha yang kecil dengan lokasi terpencar, pola pemeliharaan belum intensif dan hanya sebagai usaha sampingan (subsisten).

Pola yang demikian mengakibatkan tingkat produktivitas ternak rendah dan berdampak pula terhadap rendahnya pertumbuhan populasi ternak. Untuk menanggulangi kondisi ini, perlu dilakukan upaya yang serius dalam memanfaatkan sumberdaya yang ada khususnya sumberdaya alam yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan peternakan.

Salah satu pola pengembangan peternakan yang dapat diterapkan dalam usaha ternak sapi adalah pola integrasi dengan kebun sawit. Dalam pola ini peternak dapat memanfaatkan secara optimal hijauan vegetasi alam yang

(2)

tersedia di areal kebun sawit serta memanfaatkan limbah sawit seperti daun sawit, pelepah sawit dan lumpur sawit. Dari luas kebun sawit yang ada di Kabupaten Rokan Hulu (163.747 ha) bisa menampung lebih kurang 44.862 ekor sapi potong per tahun. Jumlah ternak sapi dapat ditingkatkan lagi dengan memanfaatkan hasil ikutan atau limbah berupa pelepah daun sebanyak 94.749 ekor per tahun.

Tujuan kegiatan

Tujuan dari integrasi ternak sapi dengan kebun sawit adalah untuk meningkatkan produksi daging dengan memanfaatkan potensi hijauan makanan ternak.

Sasaran kegiatan

Sasaran kegiatan adalah perkebunan sawit yang ada di Kabupaten Rokan Hulu, baik milik perusahaan swasta maupun masyarakat.

PROFIL PETERNAKAN SAPI

Pembangunan peternakan Provinsi Riau merupakan hasil dari akumulasi pembangunan peternakan di semua kabupaten/kota dengan beberapa program yang menjadi prioritas. Dalam perkembangannya telah dilakukan beberapa upaya diantaranya untuk pencapaian

sasaran peningkatan populasi ternak, produksi ternak dan konsumsi hasil ternak baik daging maupun telur.

Berikut ini akan digambarkan bagaimana profil peternakan, khususnya perkembangan ternak sapi di kabupaten/kota meliputi sebaran lokasi, populasi, produksi dan konsumsi, perdagangan ternak dan pola pemeliharaan ternak.

Perkembangan populasi ternak sapi per kabupaten/kota

Perkembangan ternak sapi di masing-masing kabupaten/kota se-provinsi Riau selama 5 tahun (2000-2004), menunjukkan angka yang bervariasi. Dari Tabel 1. terlihat bahwa perkembangan ternak rata-rata per tahun di Kabupaten Siak dan Kota Dumai mencapai angka tertinggi yaitu masing-masing 37,84 dan 35,02%; sedangkan perkembangan ternak di Kabupaten Rokan Hulu mencapai 10,7%. Tingginya perkembangan ternak di Kabupaten Siak dan Kota Dumai karena ada pemasukan ternak bibit baru, sedangkan perkembangan ternak di Kabupaten Rokan Hulu dicapai melalui perkembangbiakan ternak yang telah ada di masyarakat. Tingkat perkembangan ternak sapi rata-rata per tahun masing-masing kabupaten dan kota dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Perkembangan ternak sapi di kabupaten/kota se-Provinsi Riau tahun 2000-2004

Populasi ternak sapi Kabupaten/kota 2000 2001 2002 2003 2004 Rata-rata (%) Kuansing 13.954 13.540 15.262 15.262 16.217 4,00 Indragiri Hulu 22.226 22.226 22.413 22.601 23.105 0,98 Indragiri Hilir 9.432 10.617 11.678 10.992 11.269 4,80 Pelalawan 1.547 1.546 1.572 1.875 2.018 7,13 Siak 4.288 5.352 5.966 11.760 13.874 37,84 Kampar 15.843 4.998 5.132 7.742 7.989 (2,93) Rokan Hulu 12.115 12.388 14.616 16.110 18.101 10,70 Bengkalis 21.801 9.851 10.344 9.989 10.373 (12,35) Rokan Hilir 6.301 2.129 2.161 2.232 2.305 (14,54) Pekanbaru 2.994 2.114 2.349 2.442 2.969 1,82 Dumai 896 1.956 3.100 1.956 1.960 35,02 Jumlah 111.397 86.717 94.593 102.961 110.180 0,71

(3)

Untuk lebih jelasnya sebaran populasi ternak sapi per kabupaten/kota se-Provinsi Riau dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Sebaran populasi ternak sapi di

kabupaten/kota se-Provinsi Riau tahun 2004

Kabupaten/kota Populasi Persentase (%)

Dumai 1.960 1,78 Pelalawan 2.018 1,83 Rokan Hilir 2.305 2,09 Pekanbaru 2.969 2,69 Kampar 7.989 7,25 Bengkalis 10.373 9,41 Indragiri Hilir 11.269 10,23 Siak 13.874 12,59 Kuansing 16.217 14,72 Rokan Hulu 18.101 16,43 Indragiri Hulu 23.105 20,97 Jumlah 110.180 100,00

Dari data tersebut, tampak bahwa dari 11 kabupaten/kota yang ada di Provinsi Riau populasi ternak sapi terpadat terdapat di Indragiri Hulu dengan jumlah 23.105 ekor (20,97%) dan populasi terendah terdapat di Dumai dengan jumlah hanya mencapai 1.960 ekor (1,78%).

Posisi Kabupaten Rokan Hulu yang merupakan kabupaten baru, dalam populasi ternak ternyata menduduki posisi ke-2 setelah Kabupaten Indragiri Hulu. Hal ini memang sudah sejak lama Kabupaten Indragiri Hulu dan Kabupaten Rokan Hulu merupakan kantong ternak sapi dan menjadi andalan dalam penyediaan daging ternak sapi di Provinsi Riau.

Sebaran penyediaan daging sapi per kabupaten/kota

Sebaran daging sapi per kabupaten/kota tahun 2004 menunjukkan angka yang bervariasi tergantung kepada jumlah populasi ternak di wilayah tersebut. Dari beberapa jenis komoditi ternak potong, produksi daging sapi terhadap kebutuhan daging secara keseluruhan masih relatif kecil jika dibandingkan dengan daging ternak lainnya, yaitu lebih kurang 10%.

Perkembangan sebaran daging sapi per kabupaten/kota selama 5 tahun dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Sebaran penyediaan daging sapi di kabupaten/kota se-Provinsi Riau tahun 2004

Kabupaten/kota Daging (kg) Persentase (%)

Rokan Hulu 44.885 1,12 Dumai 62.610 1,56 Bengkalis 82.314 2,05 Indragiri Hilir 202.432 5,03 Kuansing 243.341 6,05 Kampar 297.040 7,38 Siak 313.057 7,78 Pelalawan 323.635 8,04 Pekanbaru 325.545 8,09 Rokan Hilir 627.472 15,59 Indragiri Hulu 1.502.754 37,33 Jumlah 4.025.085 100,00

Dari data tersebut ternyata posisi Kabupaten Rokan Hulu dalam menghasilkan produksi ternak sapi berada pada posisi paling bawah dan hanya mampu memberikan 1,12% dalam menghasilkan produksi ternak di Kabupaten Riau. Hal ini terjadi paradoks dengan populasi yang ada, dimana Kabupaten Rokan Hulu mempunyai populasi yang tinggi (nomor dua di Provinsi Riau) dan merupakan andalan bagi Provinsi Riau. Logikanya dengan populasi yang tinggi akan menghasilkan produksi yang tinggi pila, akan tetapi hal ini tidak terjadi di Kabupaten Rokan Hulu. Untuk mengetahui penyebabnya perlu ditelusuri mekanisme dan sistem pencatatan perkembangan ternak, pemasukan dan pengeluaran ternak dari dan ke daerah tersebut. Kondisi ini terjadi lebih karena lemahnya dalam pencatatan data yang dilakukan oleh instansi berwenang dan bukan karena masalah teknis peternakan. Hal ini terbukti tingkat pertumbuhan ternak sapi rata-rata per tahun cukup tinggi yaitu mencapai 10,7%.

Pola pengembangan ternak sapi

Pada umumnya, usaha peternakan sapi potong di daerah Riau sebagian besar (± 99%)

(4)

merupakan usaha ternak rakyat dengan skala usaha 1-5 ekor per rumah tangga peternak. Pemeliharaan ternak sapi oleh peternak masih merupakan usaha pelengkap bagi kegiatan usahataninya. Pada umumnya ternak dipelihara sebagai usaha sambilan dengan tujuan untuk tabungan, dimana pada saat peternak memerlukan uang kontan, ternak yang dimilikinya akan dijual. Pada kondisi ini, peternak berada pada posisi rebut tawar yang lemah, sehingga harga riil yang diterima peternak relatif rendah dan di lain pihak umumnya pedagang perantara lebih banyak menikmati keuntungan dengan resiko yang kecil.

Berdasarkan kondisi peternakan rakyat tersebut, maka karakteristik peternakan sapi potong dapat dikelompokkan ke dalam beberapa pola usaha, yaitu: peternak yang hanya memelihara ternak sapi, beternak sapi, usahaternak sapi dan agribisnis peternakan sapi potong.

Memelihara ternak sapi atau peternakan sapi potong tradisional, dimana ternak sapi

baru bersifat dimiliki belum diusahakan. Pada usaha seperti ini biasanya ternak merupakan status sosial bagi pemiliknya. Pada umumnya ternak tidak digunakan untuk tenaga kerja, tetapi digembalakan. Penjualan ternak dilakukan oleh pemiliknya apabila ada kebutuhan yang mendesak bagi kepentingan yang bersifat sosial, budaya maupun keagamaan, sehingga harga yang diperoleh sangat rendah.

Beternak sapi atau peternakan sapi potong usaha keluarga, adalah usahaternak

yang dilakukan untuk membantu kegiatan usahatani keluarga atau usahatani lainnya, seperti pupuk kandang, tabungan dan tenaga kerja. Pada kondisi ini nilai jual ternak berada di bawah harga pasar, tetapi lebih baik daripada nilai jual pada peternakan tradisional. Pada usaha ini, skala kepemilikan ternak berkisar antara 1-5 ekor.

Usahaternak sapi atau peternakan sapi potong skala kecil, adalah usahaternak sapi

potong yang mulai berorientasi ekonomi. Pada usaha tersebut perhitungan rugi laba dan input teknologi sudah mulai diterapkan walaupun masih relatif sederhana. Pada usaha ini, ternak umumnya diarahkan kepada produksi daging dengan skala pemilikan ternak berkisar antara 6-10 ekor per rumah tangga.

Agribisnis sapi potong atau peternakan sapi skala menengah/besar, adalah

usahaternak sapi potong yang diusahakan sepenuhnya menggunakan teknologi yang berorientasi produksi daging dan kebutuhan pasar dengan jaminan kualitas dan kontinuitas.

Berdasarkan kondisi tersebut, usaha peternakan rakyat dapat ditingkatkan dan dikembangkan menjadi usahaternak sapi potong yang efisien. Masalahnya sekarang bagaimana usahaternak sapi yang diusahakan oleh rakyat tersebut mampu menjadi peternakan sapi potong yang lebih efisien sesuai dengan tuntutan konsumen.

Upaya untuk memperbaiki dan meningkatkan skala usaha tersebut bukan tidak pernah dicoba oleh pemerintah, namun sangat lambat hasilnya. Upaya pemerintah dalam meningkatkan skala usaha yaitu dengan cara memberikan bibit ternak sebanyak 5 ekor per kepala keluarga, demikian pula untuk membekali pengetahuan dan keterampilan dilakukan melalui pelatihan-pelatihan sebelum dan sesudah peternak menerima ternak sapi.

Dengan pola yang selama ini digunakan untuk menghasilkan daging sapi, ternyata kesenjangan antara supply dan demand semakin lama semakin lebar. Oleh karena itu, ke depan perlu diupayakan mendorong pihak swasta agar dapat menanamkan investasinya dalam bentuk usahaternak sapi baik untuk penyedia bakalan maupun penggemukan. Hal tersebut didasarkan pada pertimbangan bahwa pasar di Riau masih terbuka lebar untuk menerima daging sapi.

POTENSI HIJAUAN PAKAN DAN LIMBAH SAWIT

Luas areal kebun sawit di Kabupaten Rokan Hulu mencapai 163.747 ha terdiri dari perkebunan rakyat seluas 65.510 ha, perkebunan besar swasta (PBS) seluas 64.852 ha dan perkebunan besar negara (PBN) seluas 33.385 ha.

Dengan luasan tersebut, diprediksi bisa menyediakan hijauan pakan ternak sejumlah 491.241 ton per tahun atau dapat menampung lebih kurang 44.852 ekor ternak sapi serta dari limbah sawit berupa pelepah sawit tersedia 1.037.500 ton per tahun dan dapat menampung sapi lebih kurang sebanyak 94.749 ekor.

(5)

Dengan demikian potensi kebun kelapa sawit yang tersebar di Kabupaten Rokan Hulu seluruhnya dapat menampung lebih kurang 139.611 ekor sapi, saat ini populasi sapi yang ada baru mencapai 18.101 ekor atau hanya 13%, sehingga masih tersedia potensi pakan ternak untuk kebutuhan ternak sapi sejumlah 121.510 ekor.

POLA INTEGRASI TERNAK SAPI DENGAN KEBUN SAWIT

Untuk memanfaatkan potensi hijauan pakan ternak dari areal kebun sawit, baik berupa rumput yang tumbuh di sela-sela tanaman sawit maupun berupa pelepah sawit telah dikenal beberapa pola pengembangan yang pernah dilakukan oleh daerah lain bahkan negara lain seperti Malaysia. Pola dimaksud antara lain:

Pola penggembalaan ternak sapi dengan cara rotasi

Pola ini dilakukan oleh negara Malaysia, yaitu ternak sapi langsung digembalakan pada kebun sawit yang telah berumur lebih dari 3 tahun. Setiap hektar kebun sawit hanya dapat menampung 2-3 ekor ternak dan ternak-ternak yang digembalakan setiap harinya berpindah-pindah. Dengan kata laian ternak akan kembali pada areal yang sama setelah 30 hari kemudian. Dengan pola ini berarti dari luasan kebun sebanyak 163.747 ha hanya dapat menampung lebih kurang sebanyak 1.819 ekor ternak sapi dengan asumsi seluruh kebun dimanfaatkan sebagai tempat gembala ternak.

Kebaikan pola ini adalah kotoran ternak sapi yang tersebar dapat langsung berfungsi sebagai pupuk tanaman. Berdasarkan hasil

penelitian di Malaysia, ternyata dapat meningkatkan berat TBS (tandan buah segar) rata-rata 1-2 kg per tandannya serta tingkat kelahiran ternak yang relatif tinggi mencapai diatas 70% per tahun dibandingkan dengan pola pemeliharaan dikandangkan (20%).

Pola penggemukan ternak

Pada pola ini ternak-ternak yang dipelihara dikandangkan dengan intensif. Seluruh kebutuhan hijauan pakan ternak disediakan oleh petani dari kebun sawit, baik berupa rumput yang hidup di sela-sela tanaman maupun berupa limbah daun sawit. Dengan pola ini, kandang ternak sapi akan mengikuti pemukiman penduduk pada setiap areal kebun.

Apabila ternak sapi yang akan dikembangkan menggunakan pola ini, maka akan ada dua sub pola.

Pola penggemukan menggunakan hijauan makanan ternak (rumput)

Pemeliharaan ternak sapi dengan pola ini sudah biasa dilakukan oleh petani di beberapa wilayah Provinsi Riau yang memiliki kebun sawit, yaitu ternak-ternak dikandangkan dan pakannya diaritkan dari areal kebun sawit. Pola penggamukan menggunakan pakan pelepah sawit

Pola ini di Provinsi Riau belum pernah dilakukan, tetapi di Provinsi lain (Bengkulu) sudah berjalan dengan lebih kurang 3 tahun. Dampaknya lebih menguntungkan dibandingkan dengan pola penggembalaan system rotasi maupun pola penggemukan yang pakannya dari rumput.

Tabel 4. Luas kebun sawit dan potensi pakan ternak di Kabupaten Rokan Hulu tahun 2004

Jenis perkebunan Luas (ha) Pelepah sawit

(kg/tahun) hijauan (kg) Potensi pakan (kg/tahun) Jumlah potensi Daya tampung ternak (ekor) Perkebunan rakyat 65.510 415.071.360 196.530.000 611.601.360 55.854 Perkebunan besar swasta 64.852 410.902.272 194.556.000 605.458.272 55.293 Perkebunan besar negara 33.385 211.527.360 100.055.000 311.682.360 28.464 Jumlah 163.747 1.037.500.992 491.241.000 1.528.741.992 139.611

(6)

Dalam menerapkan pola ini perlu adanya penambahan peralatan pengolah limbah daun sawit dengan harga per unit termasuk pelatihan operator dan pemeliharaan purna jualnya lebih kurang Rp. 150 juta.

POLA PENGEMBANGAN DAN PERKIRAAN BIAYA

Untuk mengimplementasikan pola-pola pemeliharaan ternak sapi yang diintegrasikan dengan kebun sawit, maka perlu disusun rencana kegiatan yang meliputi:

Pola penggembalaan sistem rotasi

Apabila pola ini yang akan digunakan, berarti sumberdaya yang diperlukan adalah kebun sawit, ternak sapi, conventer, mono

electric wayer, accu, penggembala (tenaga)

dan kendaraan operasional.

Tahapan kegiatannya meliputi penentuan lokasi kebun, sosialisasi program, pengadaan peralatan dan bahan serta pengaturan sistem integrasi yang meliputi: kesepakatan pemilik kebun dan pemilik sapi, sistem bagi hasil, pembiayaan dan lain-lain.

Sebenarnya pola ini dapat dilaksanakan dengan komitmen pemilik kebun khususnya perusahaan perkebunan negara yang ada di Kabupaten Rokan Hulu. PBN dapat menyediakan areal penggembalaan dan pembelian bibit sapi yang pengelolaannya diserahkan kepada koperasi. Biaya yang diperlukan untuk pemeliharaan ternak sapi dengan pola ini lebih kurang mencapai Rp. 2 milyar untuk setiap 500 ekor ternak sapi.

Pola penggemukan dengan pakan rumput alam

Dalam pola ini, sumberdaya yang diperlukan berupa ternak sapi, kandang, rumput dan peternak. Dengan asumsi setiap KK memelihara 10 ekor sapi, maka biaya yang diperlukan lebih kurang Rp. 50 juta untuk setiap peternak.

Pola penggemukan pakan pelepah sawit

Pola penggemukan ternak sapi dengan memanfaatkan pelepah sawit memerlukan sumberdaya berupa ternak sapi, kandang, rumput dan peternak serta peralatan pemroses pelepah sawit seharga Rp. 150 juta untuk kapasitas 75 kg per jam. Apabila setiap hari akan beroperasi selama 8 jam berarti akan menghasilkan 600 kg yang dapat memberi makan ternak sapi sebanyak 200 ekor dengan asumsi per ekor ternak memerlukan 3 kg/hari.

KESIMPULAN

Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan penerapan integrasi ternak sapi dengan kebun sawit di Kabupaten Rokan Hulu

LAYAK UNTUK DILAKSANAKAN,

dengan alasan utama:

1. Tersedia peternak trampil dan berpengalaman dalam beternak sapi

2. Potensi kebun sawit seluas 163.747 ha dapat menampung 121.510 ekor sapi dengan hanya memanfaatkan rumput yang tumbuh di sela-sela kebun dan limbah berupa pelepah daun sawit

3. Teknologi tepat guna (TGU) pengolahan pelepah daun sawit telah tersedia.

Gambar

Tabel 1. Perkembangan ternak sapi di kabupaten/kota se-Provinsi Riau tahun 2000-2004  Populasi ternak sapi
Tabel 3.  Sebaran penyediaan daging sapi di  kabupaten/kota se-Provinsi Riau tahun  2004
Tabel 4. Luas kebun sawit dan potensi pakan ternak di Kabupaten Rokan Hulu tahun 2004  Jenis perkebunan  Luas (ha)  Pelepah sawit

Referensi

Dokumen terkait

Uji minyak atsiri menunjukkan bahwa jumlah lesio yang terbentuk di permukaan daun pada perlakuan minyak serai wangi konsentrasi 1.2%, minyak cengkih konsentrasi 1.2%, Tween 80,

Berdasarkan pemaparan konsep-konsep kunci Difusi Inovasi dan dari hasil pemetaan proses tahapan inovasi-keputussan kedua belah pihak sebagaimana yang terlihat dalam Gambar 1

Hal ini membuktikan bahwa PGV- 0 memiliki kemampuan lebih baik dibanding kurkumin pada penghambatan daur sel untuk memasuki fase sintesis, atau PGV-0 mampu menghambat

Micro Teaching/ pengajaran mikro merupakan pengajaran yang dilaksanakan dengan membagi mahasiswa ke dalam kelompok- kelompok kecil. Pengajaran ini bertujuan untuk

Bila tenggelam terjadi pada air asin, maka cairan yang hipertonis dalam alveoli akan menarik air dari dalam pembuluh darah.. Darah mengalami hemokonsentrasi, kadar ion

amplikon fragmen DNA genom EBV dengan teknik PCR konvensional adalah konsentrasi DNA virus yang rendah pada sampel penelitian yang digunakan, karena konsentrasi

Berdasarkan hasil uji mann whitney terhadap efek akut dan kronis menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan pengaruh yang signifikan antara jalan kaki dan senam