thanks
KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA
BADAN KEBIJAKAN FISKALPUSAT KEBIJAKAN PENDAPATAN NEGARA
GEDUNG R. M. NOTOHAMIPRODJO LANTAI 6, JALAN DR. WAHIDIN NOMOR 1, JAKARTA 10710 Telepon (021) 3840151,3842542; FAKSIMILE (021) 3840151, 3842542 SITUS www.fiskal.depkeu.go.id
KAJIAN PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN KAKAO NASIONAL PASCA PENGENAAN BEA KELUAR BIJI KAKAO
1. KEBIJAKAN PENGENAAN BEA KELUAR TERHADAP EKSPOR BIJI KAKAO
Kebijakan pengenaan bea keluar terhadap ekspor biji kakao dengan PMK No. 67/PMK.011/2010 bertujuan untuk menjamin pasokan bahan baku biji kakao bagi industri pengolahan kakao di dalam negeri serta mendorong berkembangnya industri pengolahan kakao di Indonesia. Indonesia berdasarkan data ICCO (International Cocoa Organization) merupakan produsen biji kakao nomor tiga dunia setelah Pantai Gading dan Ghana. Tahun 2009 produksi biji kakao Pantai Gading sebesar 1.270.226 ton, Ghana 830.790 ton dan Indonesia sebesar 737.989 ton. Namun kenyataannya industri pengolahan kakao dan industri cokelat justru berada di negara-negara Eropa (Belgia, Inggris, dan Swiss), Amerika Serikat, serta Singapura dan Malaysia sehingga nilai tambah tidak dinikmati Indonesia sebagai penghasil biji kakao. Oleh karena itu pengenaan bea keluar atas biji kakao dimaksudkan untuk merangsang tumbuhnya industri pengolahan kakao di Indonesia yang pada gilirannya ekspor kakao meningkat nilai tambahnya.
2. PERKEMBANGAN PEREKONOMIAN KAKAO NASIONAL PASCA PENGENAAN BEA KELUAR BIJI KAKAO
Untuk memberikan gambaran lengkap mengenai kebijakan bea keluar atas biji kakao serta pengaruhnya bagi pengembangan industri agro dan peranannya dalam perekonomian nasional dapat diuraikan sebagai berikut:
A. Sektor Hulu (baik On Farm maupun Off Farm)
Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao (Gernas Kakao)
• Tingkat produksi biji kakao Indonesia tengah dipacu untuk mencapai tingkat optimalmelalui Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Mutu Kakao (Gernas Kakao). Gernas Kakao ini urgent untuk dilaksanakan karena tanaman kakao di Indonesia rata-rata telah berumur tua dan tidak produktif. Gernas Kakao yang mulai dilaksanakan tahun 2009 bertujuan melakukan perbaikan tanaman kakao seluas 450.000 dari total areal kakao Indonesia sekitar 1,65 juta hektar. Gerakan ini diharapkan mampu melakukan peremajaan dan rehabilitasi karena tanaman kakao Indonesia tergolong sudah tua umurnya sehingga hasilnya tidak optimal. Pasca Gernas Kakao, produksi biji kakao Indonesia diharapkan mencapai 1,5 juta dalam tiga sampai lima tahun mendatang.
• Gernas Kakao terdiri dari tiga kegiatan utama yaitu :
a. Peremajaan, upaya peningkatan produktivitas tanaman kakao melalui
penggantian tanaman kakao yang tua/rusak/tidak produktif dengan bibit unggul yang berasal dari teknik perbanyakan/kloning Somatic Embryogenesis (SE). Target peremajaan tanaman kakao direncanakan seluas 70.000 hektar (ha).
b. Rehabilitasi, upaya peningkatan produktivitas tanaman kakao melalui perbaikan potensi genetik tanaman dengan menggunakan teknik sambung samping bagi tanaman yang produktivitasnya sangat rendah atau rusak dengan umur lebih dari 15 tahun. Target rehabilitasi tanaman kakao direncanakan seluas 235.000 ha. c. Intensifikasi, upaya peningkatan produktivitas tanaman kakao melalui penerapan
budidaya tanaman kakao sesuai standar. Target intensifikasi tanaman kakao direncanakan 145.000 ha.
• Saat ini Gernas Kakao memasuki tahun keempat, namun mengingat kakao adalah tanaman tahunan maka hasilnya belum tampak secara nyata karena bibit kakao yang ditanam butuh waktu 3 tahun untuk menghasilkan buah yang bagus. Gernas diperlukan karena pangsa kepemilikan kebun kakao 89% merupakan perkebunan rakyat yang tidak memiliki akses pendanaan memadai untuk memperbaiki tanaman kakao, sisanya 6% adalah perkebunan negara dan 5% perkebunan swasta.
• Pada tahun 2011 terjadi penurunan produksi kakao dibanding tahun 2010, hal ini disebabkan antara lain umur tanaman kakao yang telah tua, kondisi tanaman yang rusak, tanaman kakao terkena penyakit pembuluh kayu kakao atau Vascular Streak
Dieback (VSD) serta beberapa jenis Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) kakao
lainnya. Di samping itu kondisi iklim dimana terjadi hujan lebih lama dibanding tahun 2010 menyebabkan penurunan produksi kakao.
• Kegiatan peremajaan adalah mengubah areal tanaman kakao yang tergolong tanaman tua/tanaman rusak menjadi tanaman muda melalui bibit unggul Somatic
Embryogenesis (SE). Dalam tiga tahun pertama tanaman muda ini masih dalam
proses pertumbuhan sampai pembungaan dan pembuahan. Menurut data Kementerian Pertanian kegiatan peremajaan di suatu wilayah telah dilakukan pemilihan dan diperhitungkan tidak akan menurunkan produksi kakao dalam kawasan tersebut lebih dari 5%. Setelah tiga tahun dilakukan peremajaan (ditanam akhir 2009), tanaman muda dari bibit SE telah memasuki awal masa pembungaan dan pembuahan dimana hal ini lebih cepat daripada bibit non-SE.
• Pemilihan bibit unggul Somatic Embryogenesis dilandasi oleh pemikiran bahwa program Gernas Kakao membutuhkan gerakan peremajaan secara cepat dengan kualitas bibit yang unggul. Somatic Embryogenesis adalah teknologi perbanyakan tanaman (kloning) melalui pemilihan inti tanaman yang unggul kemudian dilakukan proses perbanyakan dalam waktu singkat. Dalam tiga tahun Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslitkoka) mampu menyiapkan benih Somatic Embryogenesis sebanyak 70 juta bibit, dimana hal in tidak mampu dilakukan dengan teknik pembibitan yang lain. Berdasarkan informasi dari Puslitkoka, benih Somatic
Embryogenesis lebih tahan terhadap berbagai macam penyakit khususnya penyakit
VSD.
Fermentasi Kakao
• Berdasarkan hasil penelitian lapangan BKF, permasalahan utama kualitas biji kakao Indonesia adalah enggannya petani kakao melakukan fermentasi sehingga biji kakao Indonesia harganya rendah. Menurut Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka) 70% produksi biji kakao belum memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) karena petani tidak memfermentasi kakao terlebih dulu. Akibatnya rasa serbuk kakao kurang enak dan masih banyak bercampur kotoran, sisa kulit, sampah dan kerikil. Padahal biji kakao difermentasi harganya bisa mencapai 3.000-5.000 rupiah per kilogram lebih mahal. Tujuan ekspor biji kakao Indonesia sebagian besar ke Amerika serikat dan Malaysia karena pasar mereka masih mau menerima biji kakao non-fermentasi, sementara pasar Eropa lebih menginginkan biji kakao fermentasi. Kesediaan pasar ekspor menerima biji kakao non-fermentasi mendorong petani semakin enggan melakukan fermentasi karena ternyata masih ada pasar yang mau menerima meskipun harganya rendah. Petani kakao yang didominasi petani rakyat (small holder) seringkali terjebak dalam jeratan rentenir yang menawarkan pinjaman uang kepada petani ketika mereka membutuhkan dana untuk membiayai sekolah anak ataupun persiapan menghadapi lebaran dengan menjual biji kakao non-fermentasi. Untuk mengatasi ini pemerintah harus melakukan pembenahan secara menyeluruh mengingat tiadanya insentif memadai bagi petani untuk melakukan fermentasi biji kakao maka sulit melepaskan mereka dari ketergantungan rentenir. Pemerintah juga harus mampu mengubah pola pikir (mindset) petani bahwa fermentasi dengan menunda penjualan biji kakao 3-5 hari akan menaikkan tingkat pendapatan petani serta mengangkat taraf hidup mereka. Pekerjaan ini menjadi tugas seluruh instansi pembina yang menginginkan sektor kakao menjadi unggulan Indonesia di masa datang.
• Karena 90% biji kakao Indonesia belum difermentasi, industri mengimpor biji kakao dari Pantai Gading dan Ghana karena kualitas biji kakao dari kedua negara tersebut lebih baik dibanding Indonesia. Biji kakao Pantai Gading dan Ghana merupakan hasil fermentasi sehingga kualitas dan harganya juga lebih mahal. Industri membutuhkan biji kakao impor sebagai bahan pencampur produk olahan kakao untuk memperkuat
taste produk cokelat. Produk cokelat adalah produk makanan olahan dimana
harganya tergantung pada kualitas dan taste, sehingga kualitas bahan baku signifikan peranannya bagi industri pengolahan kakao. Impor biji kakao Indonesia dari beberapa negara dapat dilihat pada tabel berikut :
Negara Asal 2007 2008 2009 2010
Ghana 3.569 932 32.259 30.750
Pantai Gading 22.230 33.904 10.093 22.300
Papua New Guinea 9.885 9.351 21.971 15.560
Sumber : Kementerian Perindustrian & Kementerian Perdagangan, diolah
Kondisi ini menjadi tantangan pemerintah agar Gernas Kakao mampu meningkatkan produktivitas dan kualitas biji kakao Indonesia sehingga impor biji kakao dapat diganti dengan biji kakao domestik yang sudah difermentasi.
B. Sektor Hilir
• Industri pengolahan kakao mengalami masa berat ketika kapasitas terpakainya mencapai titik terendah yakni 54% pada tahun 2009 dimana hanya 5 dari 15 perusahaan yang beroperasi pada tahun 2009. Kebijakan bea keluar biji kakao melalui PMK No. 67/2010 mampu mendorong industri pengolahan kakao kembali bergerak, 6 perusahaan kembali beroperasi, 3 pabrik menambah kapasitas terpasang, 5 pabrik kembali beroperasi secara normal serta terdapat satu investasi baru dari Malaysia. Pasca kebijakan bea keluar terdapat peningkatan kapasitas industri pengolahan kakao dari 130.000 ton pada tahun 2009 menjadi 150.000 ton pada tahun 2010 dan 280.000 ton pada tahun 2011. Kapasitas industri olahan kakao ini diproyeksikan mencapai 400.000 ton pada tahun 2014. Adapun rincian perkembangan kapasitas industri pengolahan kakao adalah sebagai berikut :
2009 2010 2011
Nama Perusahaan KAPASITAS KAPASITAS KAPASITAS
TERPASANG TERPAKAI TERPASANG TERPAKAI TERPASANG TERPAKAI
1 PT.General Food Industry 80,000 65,000 80,000 65,000 105,000 80,000 2 PT.Bumitangerang Mesindotama 48,000 34,000 48,000 37,000 80,000 65,000 3 PT.Davomas Abadi 40,000 ‐ 40,000 5,000 40,000 10,000 4 PT.Industri Kakao Utama 35,000 ‐ 35,000 ‐ 35,000 ‐ 5 PT.Maju Bersama Kakao Industry 24,000 ‐ 24,000 3,000 24,000 10,000 6 PT.Kopi Jaya Kakao 24,000 ‐ 24,000 ‐ 24,000 3,000 7 PT.Effem Indonesia 17,000 5,000 17,000 8,000 17,000 10,000 8 PT.Budidaya Kakao Lestari 15,000 ‐ 15,000 ‐ 15,000 5,000 9 PT.Jaya Makmur Hasta 15,000 ‐ 15,000 ‐ 15,000 5,000 10 PT.Teja Sekawan 15,000 8,000 15,000 8,000 15,000 8,000 11 PT.Unicom Kakao Makmur 10,000 ‐ 10,000 3,000 10,000 5,000 12 PT.Kakao Ventures Indonesia 7,000 7,000 7,000 7,000 14,000 14,000 13 PT.Kakao Mas Gemilang 6,000 6,000 6,000 6,000 6,000 6,000 14 PT.Mas Ganda 5,000 5,000 5,000 5,000 5,000 5,000 15 PT.Poleko / PT.Hope Indonesia 4,000 ‐ 4,000 3,000 4,000 4,000 16 PT.Asia Cocoa Indonesia ‐ ‐ ‐ ‐ 60,000 50,000 Total 345,000 130,000 345,000 150,000 469,000 280,000 Sumber : AIKI & BPS diolah
PT. Asia Cocoa Indonesia, merupakan perusahaan asal Malaysia (Guan Chong Bhd) yang berinvestasi di tahun 2010 pasca kebijakan pengenaan bea keluar dan baru beroperasi pada bulan Maret 2011 dengan kapasitas produksi sementara 50.000 ton yang akan ditambah sesuai kondisi pasokan biji kakao yang tersedia di Indonesia. • Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), volume ekspor produk olahan kakao
Indonesia terus meningkat sejak pengenaan bea keluar pada April 2010, sedangkan ekspor biji kakao mengalami penurunan cukup signifikan. Ini menunjukkan bahwa bea keluar biji kakao mampu mendorong industri maupun eksportir untuk bergeser
menjadi eksportir kakao olahan sehingga nilai tambah dapat dinikmati di dalam negeri. Tahun 2010 komposisi pemanfaatan biji kakao untuk ekspor dan konsumsi domestik adalah 72% dibanding 28%, tahun 2015 diproyeksikan komposisi ekspor dan konsumsi domestik menjadi 50% : 50%. Berikut data ekspor biji kakao dan kakao olahan Indonesia :
Komoditi Ekspor (ton) 2008 2009 2010 2011 (Jan-Nov) Biji kakao 380.512 439.300 432.426 192.820 Kakao Olahan 132.862 82.539 103.055 156.450
Sumber : Kementerian Perdagangan dan BPS, diolah
• Kebijakan bea keluar bermaksud mendorong ekspor kakao dalam bentuk olahan, sayangnya ekspor kakao olahan Indonesia ke Uni Eropa mendapat perlakuan diskriminatif. Impor kakao olahan dari Indonesia dikenai bea masuk antara 7% - 9% sementara negara produsen lainnya seperti Pantai Gading dan Ghana tidak dikenai bea masuk. Saat ini pemerintah melalui Kementerian Perdagangan sedang memperjuangkan agar Uni Eropa menghapus diskriminasi tarif bea masuk kakao olahan sehingga Indonesia, Pantai Gading, dan Ghana berada dalam level persaingan yang sama.
• Kebijakan bea keluar Indonesia juga dimaksudkan untuk mengkompensasi perlakuan diskriminatif tarif bea masuk Uni Eropa terhadap impor kakao dari Indonesia, dimana atas impor biji kakao Indonesia dikenakan bea masuk 0% sementara atas impor kakao olahan dikenakan 7% - 9% sebagaimana tabel di bawah ini. Struktur tarif ini “mendorong” Indonesia tetap mengekspor dalam bentuk mentah (biji kakao) daripada produk olahannya. Bea keluar atas biji kakao diharapkan mampu menghambat ekspor bahan mentah dan mendorong ekspor kakao olahan. Dengan struktur bea keluar yang berlaku sekarang, pada tingkat tarif 15% ekspor biji kakao tidak lagi menguntungkan dibanding ekspor kakao olahan.
K
KooddeeHHSS JJeenniiss PPrroodduukk TTaarriiff BBeeaa MMaassuukkUUnniiEErrooppaaaattaass i
immppoorr kkaakkaaoo IInnddoonneessiia a((%%))
1801.00.00 Cocoa Beans biji kakao 0
1803.10.00 Cocoa Liquor kakao olahan 9,6 1803.20.00 Cocoa Cake 9,6 1804.00.00 Cocoa Butter 7,7 1805.00.00 Cocoa Powder 8 Sumber : Kemendag
• Selain PT Asia Cocoa Indonesia yang telah mendirikan pabriknya di Batam, beberapa produsen cokelat internasional mulai membangun pabrik di Indonesia, yakni Barry Callebout dari Swiss dan Archer Daniels Midland Cocoa (ADM Cocoa) dari Singapura. Tersedia insentif fiskal dalam rangka investasi baru di sektor kakao khusus yang dibangun di luar Pulau Jawa yaitu tax allowance (PP 52/2011) dan
fasilitas pembebasan bea masuk atas barang modal (PMK 176/2009). Tax allowance merupakan skema keringanan PPh atas industri/sektor tertentu di daerah tertentu khususnya wilayah di luar pulau Jawa. Investasi yang direalisasikan PT Barry Callebout Comextra Indonesia di Makassar dapat memanfaatkan fasilitas tax
allowance. Atas barang modal (mesin) yang diimpor untuk pabrik pengolahan kakao
dapat menggunakan fasilitas pembebasan bea masuk sesuai PMK 176/2009. Berikut ini data investasi baru dan perluasan industri pengolahan kakao:
NO. NAMA PERUSAHAAN
PERKIRAAN NILAI INVESTASI (USD) PERKIRAAN KAPASITAS PRODUKSI (TON) LOKASI KETERANGAN
1. Guan Chong Bhd (PT. Asia
Kakao Indonesia 27 juta 60.000 Batam Sudah beroperasi awal 2011
2. Barry Callebout (Swiss) & Comextra Majora (PT. Barry Callebout Comextra Indonesia)
33 juta 28.000 Makasar Perkiraan operasi awal
2013
3. Nestle (perluasan pabrik) 4 juta 10.000 Karawang Sedang membangun
pabrik. 4. Archer Daniels Midland Cocoa
(ADM Cocoa Singapura)
100 juta 60.000 Cikarang Sedang membangun pabrik
5. Cargill 100 juta 65.000 Makasar Perkiraan operasi 2013
6. JB Cocoa 50 juta 30.000 Surabaya Sedang membangun pabrik
C. Kebijakan Tarif Progresif Bea Keluar Biji Kakao
• Sesungguhnya tarif bea keluar progresif dimaksudkan untuk mengendalikan ekspor biji kakao karena permintaan dan harga komoditi kakao ditentukan di pasaran internasional. Kenaikan harga kakao di pasaran internasional menjadi stimulus bagi pedagang/eksportir untuk memilih menjual biji kakao ke luar negeri dibanding memasok untuk industri di dalam negeri. Berdasarkan data harga kakao ICCO (International Cocoa Organization) periode Januari 2007 s.d. Februari 2012 terjadi fluktuasi pada kisaran harga 1.600 USD/Mt s.d. 3.700 USD/Mt sebagaimana grafik di bawah ini. Oleh karena itu tarif bea keluar progresif masih relevan sepanjang harga komoditi kakao masih ditentukan oleh permintaan dan penawaran di pasaran internasional, karena meskipun Indonesia produsen utama namun belum menjadi pihak yang mampu mempengaruhi harga internasional (price taker).
Sumber : ICCO 1,500 2,000 2,500 3,000 3,500 4,000 03/01/2007 03/03/2007 03/05/2007 03/07/2007 03/09/2007 03/11/2007 03/01/2008 03/03/2008 03/05/2008 03/07/2008 03/09/2008 03/11/2008 03/01/2009 03/03/2009 03/05/2009 03/07/2009 03/09/2009 03/11/2009 03/01/2010 03/03/2010 03/05/2010 03/07/2010 03/09/2010 03/11/2010 03/01/2011 03/03/2011 03/05/2011 03/07/2011 03/09/2011 03/11/2011 03/01/2012 USD / MT Halaman 6 dari 8
• Sistem tarif bea keluar progresif atas ekspor biji kakao menggunakan harga referensi dalam penentuan besaran tarifnya, sehingga pergerakan harga kakao di pasaran internasional sangat berpengaruh terhadap tingkat tarif yang berlaku setiap bulan. Berikut ini struktur tarif bea keluar biji kakao :
HARGA (USD/TON) TARIF BK
2000 - 2750 5%
> 2750 - 3500 10%
> 3500 15%
• Berdasarkan teori pengenaan pajak atas ekspor, semestinya pihak eksportir mampu menegosiasikan transaksinya agar beban bea keluar ditanggung oleh importir bukan dialihkan kepada petani. Meskipun belum semua transaksi tampaknya pelaku ekspor sudah mulai mampu menggeser beban bea keluar kepada importir di luar negeri.
3. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
A. Kesimpulan
• Pasca pemberlakuan kebijakan bea keluar biji kakao, tampak jelas adanya kebangkitan industri pengolahan kakao di Indonesia baik industri domestik maupun investasi baru dari perusahaan pengolahan kakao multinasional. Industri domestik kapasitas produksinya meningkat dari 130.000 ton pada tahun 2009 menjadi 280.000 ton tahun 2011. Tambahan investasi baru yang diperkirakan mulai beroperasi pada tahun 2013 dapat meningkatkan kapasitas produksi industri pengolahan kakao hingga mencapai 400.000 ton pada tahun 2014 sesuai proyeksi pemerintah.
• Namun capaian positif di atas masih menyisakan catatan mengenai peningkatan kualitas di sektor hulu, di mana sampai saat ini tingkat fermentasi biji kakao Indonesia belum sesuai harapan. Oleh karena itu dibutuhkan strategi komprehensif dari pemerintah dan peran aktif dari seluruh pemangku kepentingan kakao untuk meningkatkan kualitas biji kakao Indonesia yang pada gilirannya dapat memberikan nilai tambah bagi petani.
B. Rekomendasi
• Momentum masuknya investasi baru di bidang industri pengolahan kakao tidak boleh disia-siakan. Sebaiknya saat ini pemerintah tidak melakukan perubahan kebijakan khususnya mengenai tarif bea keluar biji kakao. Karena setiap perubahan mengenai kebijakan tarif bea keluar biji kakao dapat menimbulkan perbedaan persepsi di kalangan investor serta muncul kesan pemerintah tidak konsisten sehingga tidak mendukung kepastian usaha.
Halaman 8 dari 8
• Investasi baru di sektor industri pengolahan kakao telah mendorong bergeraknya ekonomi setempat. Untuk itu pemerintah perlu menyiapkan dukungan dalam bentuk perbaikan infrastruktur, ketersediaan energi serta insentif fiskal agar diperoleh manfaat ekonomi secara berkelanjutan.