• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB VI PENUTUP. Meskipun perpustakaan oleh masyarakat secara umum disadari sebagai

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB VI PENUTUP. Meskipun perpustakaan oleh masyarakat secara umum disadari sebagai"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

BAB VI PENUTUP

A. Simpulan

Meskipun perpustakaan oleh masyarakat secara umum disadari sebagai lembaga yang mengalami proses interaksi sosial, baik secara pribadi maupun kolektif, tetap saja dipahami sebagai lembaga yang hanya beroperasi pada tataran teknis dan manajerial semata, tanpa kaitan dengan ideologi dan kepentingan tertentu. Fenomena ini menarik peneliti untuk melihat lebih jauh tentang apakah pemahaman tersebut memang seperti itu adanya atau karena perpustakaan dengan pustakawannya berada dalam bingkai suatu struktur organisasi dan sistem sosial yang menempatkannya sebagai aktor yang tidak menyadari proses interaksi tersebut sebagai arena penjelmaan ideologi dan kepentingan oleh individu atau kelompok terhadap individu atau kelompok lainnya. Pada titik itulah, penelitian ini dimulai menelusuri tentang implikasi dan representasi kuasa dalam pengelolaan perpustakaan yang berpijak pada relasi antaraktor perpustakaan, baik bersifat internal maupun eksternal.

Berdasarkan asumsi tersebut, teori sosial kritis dijadikan sebagai pisau analisis alternatif dalam mengungkapkan fenomena praktik-diskursif perpustakaan. Melalui teori kritis yang diterapkan ditemukan bahwa praktik perpustakaan tidak sekadar bersifat teknis dan manajerial, tetapi juga mengandung pertarungan ideologi dan kuasa oleh individu atau kelompok melawan individu atau kelompok lainnya. Dalam konteks ini, misalnya, signifikasi (pemaknaan)

(2)

istilah (terminologi) kebijakan perpustakaan kadang kala berbeda antara satu individu dan individu lainnya. Ini menunjukkan bahwa praktik perpustakaan merupakan produk budaya yang sarat dengan kepentingan dan ideologi karena komunikasi antar pustakawan dan/ataupun dengan aktor lainnya terlibat dalam interaksi sosial yang mengandung subjektivitas individu sebagai makhluk sosial. Proses pada taraf ini oleh individu dan kelompok membawa subjektivitas, termasuk kepentingan ideologinya, masing-masing. Interaksi tersebut tercipta oleh individu, kelompok, dan/atau organisasi yang bersifat formal, namun sarat dengan pola interaksi sosial yang bersifat diskursif. Interaksi ini saling terkait satu sama lainnya sehingga harus dibaca secara bersama untuk menghindari dikotomisasi pengetahuan sehingga konsep habitus, modal, dan ranah Pierre Bourdieu menjadi penting sebagai upaya mengatasi dikotomi antara aktor dan organisasi, agensi dan struktur, serta objektivisme dan subjektivisme dalam membaca fenomena yang terjadi di perpustakaan.

Dengan menggunakan kerangka konseptual di atas, peneliti menemukan bahwa pengelolaan perpustakaan perguruan tinggi Islam di Yogyakarta sarat dengan permainan kepentingan dan ideologi di kalangan aktor yang kemudian terepresentasi dalam praktik manajerial dan pelayanan perpustakaan. Pada praktik manajerial dapat dilihat, misalnya, dalam setiap pemilihan pimpinan perpustakaan yang hampir selalu dipengaruhi oleh ideologi dan politik kampus. Implikasi ideologi ini merupakan upaya representasi kelompok ideologi dan politik tertentu yang menempatkan perpustakaan sebagai situs ideologi dan ruang negosiasi bagi kelompok yang sedang bertarung. Sebagai situs ideologi, perpustakaan dijadikan tempat sebagai elemen kekuatan bagi kelompok ideologi tertentu, sementara

(3)

sebagai ruang negosiasi, perpustakaan dijadikan sebagai ruang akomodasi terhadap aktor dari kelompok pesaing. Praktik ini memperlihatkan proses politis dan ideologis yang kuat terhadap aspek manajerial perpustakaan yang jauh dari sekadar teknis dan profesionalitas semata.

Sebagai implikasi dari proses politis dan ideologis di atas, masih tampak sisa-sisa permasalahan yang menempatkan perpustakaan sebagai situs profesi dinastik. Profesi ini didasarkan pada kolusi dan nepotisme karena pegawai diangkat berdasarkan kedekatan, baik secara ideologis maupun kekeluargaan, bukan kompetensi kepustakawanan. Melalui proses seperti ini, pertahanan dominasi ideologi dan politik kelompok tertentu mendapatkan jaminan karena aktor dari kelompok dinastik menjadi kekuatan yang pasti untuk membela dan mempertahankan ideologi yang diusung oleh kelompoknya. Dengan mengacu pada situasi ini, perpustakaan menjadi situs representasi ideologi dan politik sekaligus menjadi arena kontestasi antarkelompok, mulai dari aktor level atas hingga aktor level bawah.

Sementara itu, temuan pada aspek pelayanan dapat dilihat dalam pengembangan koleksi perpustakaan, baik dalam kaitan dengan pembelian koleksi secara internal maupun eksternal. Internal dimaksudkan sebagai koleksi yang dibeli perpustakaan, sementara eksternal dipahami sebagai koleksi perpustakaan melalui upaya kerjasama, seperti pendirian korner. Kedua jenis pengembangan koleksi tersebut mengandung implikasi politik dan ideologi berbagai aktor. Pada jenis pertama, pengembangan koleksi perpustakaan secara signifikan dipengaruhi oleh ideologi pasar. Ideologi pasar ini terlihat dalam intensitas promosi koleksi penerbit dan vendor, baik mereka yang berskala lokal maupun nasional, dan

(4)

bahkan internasional, yang sama-sama memainkan perannya untuk mendorong perpustakaan membeli produk mereka. Pendekatan penerbit dan vendor tersebut terjadi melalui kerjasama dan promosi, baik secara periodik maupun secara insidentil. Kerjasama dan promosi ini berhasil memberikan informasi yang intensif dan berkesinambungan kepada perpustakaan, yang secara eksplosif, berhasil mewarnai pengetahuan pustakawan tentang koleksi yang tersedia di pasaran. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika temuan menunjukkan bahwa koleksi yang diadakan di perpustakaan hampir semuanya merupakan masukan penerbit dan vendor, sementara penelusuran koleksi oleh para pustakawan sendiri tidak signifikan. Akhirnya, pembelian koleksi dilakukan lebih banyak, jika tidak semuanya, didasarkan pada informasi penerbit dan vendor ini, bukan pada informasi komprehensif atas penelusuran pustakawan dan informasi penerbit tersebut. pada titik inilah, ekonomi politik menjadi dominan ketimbang profesionalitas pustakawan.

Sementara pada jenis kedua, perpustakaan melalui kerjasama dengan berbagai pihak berhasil mendatangkan sejumlah korner, yaitu: korner Kanada, Amerika, Arab Saudi, dan Iran. Kerjasama pengadaan tersebut tampak merupakan praktik manajerial semata, padahal dimotivasi oleh kekuatan politik dan kepentingan kelompok yang kemudian menjelma menjadi praktik ideologis dan kontestatif dalam pengelolaan korner tersebut. Penjelmaan dan kontestasi ideologi ini dapat dilihat dalam sejumlah bentuk, di antaranya, simbol politik negara menjadi isu penting kontestasi sebagaimana terlihat pada protes aktor negara tertentu karena kornernya disandingkan dengan korner negara lain. Di sisi lain, upaya dominasi kelompok tertentu melalui simbolisasi berupa korner dapat

(5)

diduga kuat menjadi salah satu bentuk kontestasi antar aktor dengan perpustakaan sebagai situsnya. Bentuk lain dari kontestasi tersebut dapat juga dilihat dalam ranah ideologi keagamaan, seperti pluralisme versus nonpluralisme, yang terutama muncul ketika proses kerjasama korner tertentu, yang dari awal, menjadi kelompok pesaing untuk menghadapi arus pluralisme yang berkembang di UIN Sunan Kalijaga.

Pertarungan di atas merupakan upaya dominasi oleh kelompok tertentu melalui koleksi agar ideologi mereka menyebar dan dominan. Tampaknya, sejak awal, disadari bahwa koleksi sebagai sumber informasi dan pengetahuan memiliki kekuatan yang mampu mempengaruhi individu dan kelompok jika dibaca. Hal ini terbukti bahwa koleksi dominan dan bermuatan ideologi tertentu yang terdapat di perpustakaan mengindikasikan adanya hubungan kecenderungan ideologis yang sama antara ideologi dominan koleksi dan ideologi pemustaka serta karya skripsi mahasiswa sebagai pemustaka. Hubungan kecenderungan ideologis tersebut dapat dilihat, misalnya, pada perpustakaan UIN Sunan Kalijaga yang menyediakan koleksi bermuatan ideologi pluralis dan nonpluralis sebanyak 77,2% dari total perolehan ketiga kasus yang diteliti menunjukkan adanya hubungan kecenderungan ideologi yang sama terhadap karya skripsi mahasiswa, sementara perpustakaan UII dan UMY yang keduanya hanya memiliki koleksi semacam itu dengan angka yang tidak signifikan yaitu 22,8% di satu sisi juga memperlihatkan adanya hubungan kecenderungan ideologis yang sama yaitu tidak adanya karya skripsi yang sejalan dengan isu pluralis di kedua perpustakaan tersebut.

Di samping itu, hubungan serupa juga terlihat pada persepsi pemustaka, yaitu pemustaka UIN Sunan Kalijaga menempati posisi 83% terhadap pluralisme,

(6)

sementara pemustaka UII dan UMY masing-masing memperoleh 76% dan 76,6%. Hal ini sejalan dengan persentase keterpakaian koleksi bermuatan ideologi pluralis dan nonpluralis tersebut pada ketiga kasus penelitian. Perpustakaan UIN Sunan Kalijaga memperlihatkan keterpakaian koleksinya dengan nilai rata-rata 30,1 kali penggunaan perjudul koleksi, sedangkan perpustakaan UII hanya memperoleh rata-rata 3,1 kali penggunaan perjudul koleksi. Sementara, keterpakaian koleksi perpustakaan UMY, menurut informasi dari pengelola perpustakaan, bisa lebih rendah lagi dibandingkan dengan perpustakaan UII, namun sayangnya data keterpakaian koleksi tersebut tidak dapat diakses.

Hasil penelitian di atas dapat dilihat dalam tiga kerangka persoalan utama yaitu representasi kuasa, ideologi, dan kontestasi kekuasaan. Representasi kuasa terbentuk dalam paham keagamaan, khitah organisasi, perspektif temporer, senioritas, gender, budaya permisif, dan otoritas profesi. Sementara, ideologi aktor mewujud dalam tradisionalisme, modernisme, liberalisme, fundamentalisme, golongan moderat, pluralisme dan nonpluralisme, serta munculnya kecenderungan yang dipengaruhi oleh unsur industrialisasi ekonomi perbukuan. Sedang kontestasi kekuasaan tampak dalam bentuk pertarungan antara kaum pluralis yang diwakili oleh kelompok liberal dan sebagian kelompok moderat dan kaum nonpluralis yang diwakili oleh kelompok fundamentalis dan radikal serta sebagian lainnya mereka yang moderat tetapi cenderung untuk mendukung kaum fundamentalis.

Kerangka persoalan ini, secara konseptual, dapat diformulasikan dalam sebuah konstruksi teoretik yang menempatkan aktor perpustakaan sebagai pusat struktur relasi yang berpijak pada habitus dan modal untuk memasuki ranah

(7)

permainan. Habitus ini merupakan posisi dan disposisi perilaku aktor yang dihasilkan dari kebijakan, etika, dan budaya organisasi perpustakaan yang dialaminya. Proses posisi dan disposisi aktor ketiga kasus perpustakaan terdapat sejumlah kecenderungan berupa praktik dan pemikiran keagamaan yang beragam, pluralis dan nonpluralis, ideologi organisasi yang kontestatif, budaya aktor yang permisif, kesadaran asosiasi profesi yang lemah, dan sebagainya. Proses pembentukan habitus aktor perpustakaan dalam lingkungan seperti itu memperlihatkan sebuah kecenderungan aktor yang kurang kontestatif dalam ranah permainan. Akibatnya, kecenderungan ini berimplikasi pada melemahnya modal pendukung yang memungkinkan aktor untuk memiliki kemampuan dalam memenangi sebuah permainan.

Modal adalah kekuatan yang dapat menambah tingkat perolehan produksi aktor yang memungkinkan memenangi dominasi dalam sebuah lingkaran permainan yang disebut sebagai ranah. Kepemilikan modal oleh aktor perpustakaan di atas dapat dikatakan rendah karena basis kepemilikan habitusnyapun rendah. Modal ekonomi, misalnya, mereka tertutup karena modal budayanyapun rendah berupa pengetahuan dan pendidikan yang terbatas sehingga modal simboliknyapun tidak dapat diandalkan, seperti prestise dan lencana profesi. Demikian juga, modal sosialnyapun rendah sebagaimana tampak dalam kesadaran dan keterlibatan mereka dalam asosiasi lemah sebagai bukti lemahnya keterampilan komunikasi dan kerjasama yang dimiliki. Modal-modal ini saling mengait dan, bahkan, boleh jadi terimplikasi oleh tingkat habitus yang dimiliki oleh aktor sebagaimana terlihat pada habitus aktor perpustakaan di atas.

(8)

Akibatnya, keterlibatan aktor perpustakaan dalam situasi kepemilikan habitus dan modal seperti terlihat di atas akan menghadapi kesulitan dalam setiap memasuki arena permainan. Mereka tidak memiliki kekuatan dan kesiapan untuk terlibat dalam setiap bentuk permainan sehingga keterlibatan mereka dalam situasi seperti itu dipastikan akan mengalami kekalahan, “marginalisasi” aktor. Oleh karena itu, kesadaran aktor perpustakaan tersebut harus dibangun kembali untuk memiliki sebuah habitus baru yang memperhatikan elemen modal yang menjadi kekuatan dalam memasuki arena permainan yang tidak satupun aktor dapat menghindarinya. Ketika kesadaran ini diwujudkan, keterlibatan mereka dimungkinkan sampai pada tahap tertinggi, “keberdayaan,” dalam pertarungan baru pada arena yang sama sebagaimana terlihat pada model penampang berikut ini.

Pertarungan baru pada model tersebut berbeda pada pertarungan ala Bourdieu yang memimpikan dominasi untuk memperoleh posisi sosial dalam setiap proses kontestasi. Pada model ini, kemenangan yang diimpikan adalah sebuah keberdayaan yang memungkinkan perpustakaan memiliki kekuatan

AKTOR R A N A H AKTOR

Modal

Habitus

Keberdayaan

Marginalisasi

(9)

melalui modal ekonomi, budaya, simbolik, dan sosial dalam pengelolaan perpustakaan. Tingkat dominatif pada konsep keberdayaan ini diandaikan berada pada level profesionalitas, sebuah perjuangan yang tujuannya untuk mencapai keseimbangan kuasa dalam menjalankan organisasi perpustakaan. Begitu juga, keberdayaan ini memiliki karakter hegemonis dalam pengertian Gramscian, yaitu sebuah upaya mendapatkan pengakuan dari berbagai aktor yang dilakukan secara berkesinambungan, bukan dengan pemaksaan (force), seperti gerakan sosial lainnya, melainkan sebuah pendekatan melalui modal ala Bourdieu.

Di samping itu, model kontestasi Bourdieu yang menempatkan arena (field) pertarungan sebagai ruang untuk mencapai posisi semata telah mengabaikan dan, bahkan, mendistorsi banyak perjuangan real aktor, misalnya kerjasama, solidaritas, kasih sayang, dan semacamnya. Munculnya kelemahan seperti ini memberikan peringatan kepada peneliti untuk tidak menerapkannya secara apa adanya kepada setiap praktik perpustakaan. Dalam konteks perpustakaan, unsur senioritas kultural, bukan hirarkis, misalnya, ketika dibaca dengan model kontestasi Bourdieu secara kaku akan menempatkan setiap aktor sebagai orang yang memperjuangkan posisi semata yang kemudian menutup kemungkinan melihat lebih jauh tentang praktik senioritas tersebut. Demikian halnya, konsep amanah di satu sisi oleh aktor tertentu dapat dilihat sebagai sarana dominasi ideologis, namun di sisi lain oleh aktor lainnya justru dapat dibaca sebagai suatu perjuangan real. Oleh karena itu, peneliti berusaha melampaui model tersebut ketika melihat sebuah praktik yang sama sekali tidak menyentuh lingkaran diskursif. Pada titik inilah signifikasi melalui pendekatan konstruktivis

(10)

digunakan untuk membedakan mana perjuangan untuk mendapatkan posisi dan mana yang merupakan perjuangan real aktor.

B. Rekomendasi

Berdasarkan hasil penelitian di atas, terdapat sejumlah rekomendasi yang patut untuk diajukan sebagai berikut.

1. Aktivitas yang dilakukan dalam perpustakaan bukan semata-mata bersifat teknis dan manajerial, sebagaimana pandangan banyak orang, yang lepas sama sekali dari proses relasi kuasa yang terjadi dalam interaksi antaraktor melainkan juga mengandung elemen ideologis dan politis yang mewarnai hampir setiap proses aktivitas pengelola perpustakaan, khususnya pustakawan, dalam menjalankan tugasnya sebagai pekerja perpustakaan. Berangkat dari pemahaman ini, pengembangan perpustakaan harus dilihat secara komprehensif yang mampu menjangkau bukan sekedar pada elemen teknis dan manajerial, melainkan juga pada potensi elemen ideologis yang menjadi aspek penting dan menentukan dinamika organisasi perpustakaan. 2. Berkaitan dengan persoalan di atas, perpustakaan sebagai produk budaya

menjadi penting untuk dilihat dalam kerangka pendekatan budaya yang menggunakan kajian multidisiplin untuk mengungkapkan fenomena praktik-diskursif yang terjadi dalam aktivitas perpustakaan. Kajian multidisiplin ini diharapkan dapat membuka seterang-terangnya tentang proses kuasa, baik yang bersifat relasional maupun dominatif, yang mempengaruhi hampir setiap lini perpustakaan, mulai dari pengelolaan manajemen sumber daya

(11)

manusia dan pengembangan koleksi sampai pada pelayanan perpustakaan kepada pemustaka.

3. Perpustakaan sebagai lembaga publik yang karakter dasar organisasinya dikenal sebagai lembaga nirlaba dalam pengertian tidak mencari untung kepada penggunanya secara langsung, seperti toko buku dan perbankan. Namun, keuntungan yang diharapkan adalah dengan membaca dan memanfaatkan perpustakaan diyakini akan melahirkan manusia yang memiliki keunggulan yang kompetitif dalam pendidikan dan pengetahuan yang kemudian dari mereka akan lahir kemajuan. Oleh karena itu, perlu ada kesadaran khusus di tingkat manajer lini atas agar memberikan keleluasaan dan perhatian kepada pengelola perpustakaan, khususnya pada masalah pendidikan dan pelatihan agar keterampilan dan pengetahuan mereka bisa selalu terbaharui dalam melaksanakan tugas perpustakaan dan kepustakawanan.

4. Terakhir, mengingat berbagai keterbatasan yang dimiliki oleh peneliti, kajian ini mustahil untuk dapat menyelesaikan semua persoalan kuasa dalam pengelolaan perpustakaan karena begitu banyaknya isu-isu perpustakaan yang bisa ditarik masuk ke dalam wacana ini. Oleh karena keterbatasan itu, penelitian ini merekomendasikan dua hal, yaitu, objek dan lokus yang perlu diteliti lebih lanjut. Pertama, objek itu adalah relasi kuasa dalam arsitektur bangunan perpustakaan, lokasi gedung, desain interior, pembagian ruangan, penggunaan klasifikasi tertentu, dan juga pemustaka, terutama mereka yang difabel. Semua ini dapat dilihat dalam kaitannya dengan praktik diskursif-perpustakaan, namun dalam penelitian ini tidak disinggung sama sekali

(12)

sehingga penelitian serupa harus dilakukan untuk dapat membongkar isu kuasa dalam pengelolaan perpustakaan secara komprehensif. Kedua, lokus penelitian ini masih terbatas pada perpustakaan perguruan tinggi Islam sehingga kajian serupa yang bahkan mungkin lebih menarik dan memiliki signifikansi ideologi keagamaan yang kental adalah perpustakaan perguruan tinggi umum, seperti UGM (Universitas Gadjah Mada) dan UNY (Universitas Negeri Yogyakarta) ataupun di luar wilayah Yogyakarta. Oleh karena itu, kesempurnaan penelitian ini perlu dilengkapi dengan penelitian lanjutan dengan mengambil lokus yang lebih luas sehingga variasi representasi kuasa dapat ditemukan secara komprehensif.

Referensi

Dokumen terkait

Adapun tujuannya penelitiannya adalah untuk mengetahui dan menganalisa pengaruh dari kualitas pelayanan (service quality) yang terdiri dari reliability dan

Penulis memilih divisi Media karena Media merupakan salah satu komonen yang penting di dalam sebuah agency periklanan.. Divisi Media lah yang akan memilih media mana

lingkungannya maka free body diagramnya hanya menunjukkan 2 gaya saja yang bekerja pada. ujungnya Yaitu

Faktor sosial ekonomi petani responden yang berhubungan nyata dengan persepsi petani terhadap peran Kelompok Tani Fa Masa dalam usahatani kopi di Desa Beiwali

Dari penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa skor persepsi media pembelajaran berbasis IT pada bagi guru Sekolah Dasar di wilayah Kecamatan Cisaat Kabupaten Sukabumi

sebelum dilakukan senam lulus dan sesudah dilakukan senam meningkat menjadi 16 responden, dari hasil tersebut ada 6 responden yang sebelumnya gagal menjadi lulus,