• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ENDAPAN BATUBARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB IV ENDAPAN BATUBARA"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

32

BAB IV

ENDAPAN BATUBARA

4.1 Pembahasan Umum

Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, terbentuk dari sisa tumbuhan purba, berwarna coklat sampai hitam, yang sejak pengendapannya mengalami proses fisika dan kimia dan mengakibatkan pengayaan pada kandungan karbon. (Wolf, 1984 op. cit. Anggayana, 2002). Pembentukan batubara diawali dengan proses peatification (penggambutan) dari sisa-sisa tumbuhan yang terakumulasi pada lingkungan reduksi, yang berlanjut pada proses coalification (pembatubaraan) secara biologi, fisika maupun kimia yang terjadi karena pengaruh beban sedimen yang menutupinya (over burden), temperatur, tekanan, dan waktu (Gambar 4.1).

Gambar 4.1. Proses terbentuknya batubara (Anggayana, 2002).

Faktor tumbuhan purba yang jenisnya berbeda-beda sesuai dengan zaman geologi dan lokasi tempat tumbuh dan berkembangnya, ditambah dengan lingkungan pengendapan (sedimentasi) tumbuhan, pengaruh tekanan batuan dan panas bumi serta perubahan geologi yang berlangsung kemudian, akan menyebabkan terbentuknya batubara yang jenisnya bermacam-macam. Oleh karena itu, karakteristik batubara berbeda-beda sesuai dengan lapangan batubara (coal field) dan lapisannya (coal seam).

Pembentukan batubara dimulai sejak Periode Karbon (periode pembentukan karbon atau batubara) sehingga dikenal sebagai zaman batubara pertama yang berlangsung antara 360 juta sampai 290 juta tahun yang lalu. Mutu dari setiap

(2)

33 endapan batubara ditentukan oleh suhu dan tekanan serta lama waktu pembentukan, yang disebut sebagai maturitas organik. Proses awalnya gambut berubah menjadi lignit (batubara muda) atau brown coal (batubara coklat), ini adalah batubara dengan jenis maturitas organik rendah. Dibandingkan dengan batubara jenis lainnya, batubara muda agak lembut dan warnanya bervariasi dari hitam pekat sampai kecoklat-coklatan. Mendapat pengaruh suhu dan tekanan yang terus menerus selama jutaan tahun, batubara muda mengalami perubahan yang secara bertahap.

4.1.1 Pembentukan Batubara Dan Lingkungan Pengendapannya 4.1.1.1 Proses Pembentukan Batubara

Ada dua proses utama dalam pembentukan endapan batubara, yaitu: 1. Proses pembentukan gambut dari tumbuhan (peatification) 2. Proses pembentukan batubara dari gambut (coalification)

4.1.1.1.1 Proses Pembentukan Gambut (Peatification)

Gambut adalah batuan sedimen organik yang dapat terbakar, berasal dari tumpukan, hancuran, atau bagian tumbuhan yang terhumifikasi dan dalam keadaan tertutup dari udara (di bawah air), tidak padat, kandungan air lebih dari 70 % berat dan kandungan mineral lebih kecil dari 50 % dalam kondisi kering (Wolf, 1984 op. cit. Anggayana, 2002)

Jika ada tumpukan sisa tumbuhan berada pada kondisi basah (di bawah air, tidak seluruhnya berhubungan dengan udara) dan kandungan oksigennya sangat rendah, sehingga tidak memungkinkan bakteri aerob hidup, sisa tumbuhan tersebut tidak akan mengalami proses pembusukan dan penghancuran sempurna. Pada kondisi tersebut hanya bakteri anaerob yang melakukan proses dekomposisi membentuk gambut (peat).

Moor merupakan lapisan gambut dengan ketebalan minimum 30 cm (Anggayana, 2002). Berdasarkan morfologi permukaannya, moor dapat dikelompokan menjadi dua jenis yaitu:

(3)

34 1. Lowmoor, jenis moor ini terbentuk pada lingkungan yang kaya akan bahan makanan. Morfologi permukaannya datar dan atau cekung. Pasokan air untuk gambut ini berasal dari lingkungan sekitarnya (sungai dan air tanah), tidak tergantung pada air hujan. Biasanya tumbuh rumput – rumputan dengan daun lebar dan tumbuhan perdu dengan pH berkisar antara 4,8 sampai 6,5.

2. Highmoor, lapisan gambut ini dapat mencapai ketinggian beberapa meter dari permukaan tanah dengan bentuk cembung. Jenis moor ini tidak tergantung pada air tanah atau sungai, karena mempunyai sistem air tersendiri yang tergantung pada air hujan. Jumlah penguapan yang lebih kecil dari curah hujan menyebabkan air hujan tersimpan dalam gambut. Bahan makanan untuk tumbuhan jauh lebih sedikit dibandingkan dengan lowmoor, sehingga jenis tanaman terbatas pada lumut, rumput dengan daun yang kecil. Untuk daerah beriklim sedang, highmoor ditumbuhi Sphagnum dan di daerah tropis ditumbuhi hutan local dengan bermacam jenis tumbuhan pH pada highmoor berkisar antara 3,3 sampai 4,6.

4.1.1.1.2 Proses Pembentukan Batubara (Coalification)

Batubara adalah batuan sedimen (padatan) yang dapat terbakar, berasal dari tumbuhan, berwarna coklat sampai hitam yang sejak pengendapannya terkena proses fisika dan kimia, serta mengakibatkan pengayaan kandungan karbonnya (Wolf, 1984, op. cit. Anggayana, 2002). Sementara itu, proses pembatubaraan merupakan perkembangan gambut melalui lignit, sub-bituminous, dan bituminous menjadi antrasit serta meta-antrasit (Anggayana, 2002).

Jika lapisan gambut yang telah terbentuk kemudian ditutupi oleh lapisan sedimen, bakteri anaerob akan mati, maka lapisan gambut akan mengalami peningkatan tekanan seiring penambahan beban dari bertambahnya ketebalan lapisan sedimen. Tekanan yang besar mengakibatkan peningkatan temperatur. Selain itu, temperatur juga dapat meningkat dengan pertambahan kedalaman, kehadiran intrusi magma, proses vulkanisme, dan proses tektonisme.

Kenaikan tekanan dan temperatur pada lapisan gambut akan mengubahnya menjadi batubara, seiring terjadinya proses pengurangan kandungan lengas (moisture), pelepasan gas (CO2, H2O,CO,CH4) peningkatan kepadatan dan kekerasan

(4)

35 serta peningkatan kadar kalori. Reaksi pembentukan batubara dapat dijelaskan sebagai berikut:

5 (C6H10O5) C20H22O4 + 3CH4 + 8 H20 + 6CO2 + CO cellulose lignit gas metan

Keterangan:

 Cellulose (zat organik) yang merupakan zat pembentuk batubara.

 Semakin tinggi tingkat pembatubaraan maka kadar karbon (C) akan meningkat sedangkan oksigen dan hidrogen akan berkurang.

 Semakin banyak CH4 lignit semakin baik kualitasnya.

Berdasarkan asal tumbuhan pembentuk gambut, terdapat dua macam batubara (Sudarsono, 2000) yaitu :

1. Batubara Autochtone, lapisan gambut terbentuk dari tumbuhan yang tumbang di tempat tumbuhnya. Dengan demikian maka setelah tumbuhan tersebut mati, belum mengalami proses transportasi segera tertutup oleh lapisan sedimen dan mengalami proses coalification. Jenis batubara yang terbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran luas dan merata, kualitasnya lebih baik karena kadar abunya relatif kecil.

2. Batubara Allochtone, lapisan gambut yang terbentuk berasal dari bagian tumbuhan yang terbawa aliran sungai, serta terendapkan di daerah hilir sungai. Dengan demikian tumbuhan yang telah mati diangkut oleh media air dan berakumulasi di suatu tempat, tertutup oleh batuan sedimen dan mengalami proses coalification. Jenis batubara yang terbentuk dengan cara ini mempunyai penyebaran tidak luas, tetapi dijumpai di beberapa tempat, kualitas kurang baik karena banyak mengandung material pengotor yang terangkut bersama selama proses pengangkutan dari tempat asal tanaman ke tempat sedimentasi.

(5)

36 4.1.1.2 Lingkungan Pengendapan Batubara

Batubara terbentuk pada lingkungan pengendapan tertentu, dan sangat berpengaruh pada penyebaran lateral, ketebalan, komposisi, serta kualitasnya. Analisa lingkungan pengendapan menggunakan pendekatan yang dikemukakan oleh Horne (1978). Horne (1978) memberikan kriteria cara untuk mengenali lingkungan pengendapan antara lain barier, back-barier, lower delta plain, transitional lower delta plain, dan upper delta plain – fluvial.

Berdasarkan karakteristik endapan batubara, ada empat lingkungan pengendapan utama batubara di daerah coastal menurut Horne (1978) yaitu:

1) Lingkungan back barrier : lapisan batubaranya tipis, pola sebarannya memanjang sejajar sistem penghalang atau sejajar jurus perlapisan, bentuk lapisan melembar karena dipengaruhi tidal channel setelah pengendapan atau bersamaan dengan proses pengendapan, kandungan sulfur tinggi, sehingga tidak dapat ditambang. Urutan stratigrafi pada lingkungan back barier dicirikan oleh batulempung dan batulanau berwarna abu – abu gelap yang kaya akan material organik, kemudian ditutupi oleh lapisan tipis batubara yang tidak menerus atau zona sideritik dengan burrowing. Semakin ke arah laut akan ditemukan batupasir kuarsitik sedangkan kearah daratan terdapat batupasir greywacke dari lingkungan fluvial – deltaik.

2) Lingkungan lower delta plain : lapisan batubaranya tipis, kandungan sulfur bervariasi, pola sebarannya umumnya sepanjang channel atau jurus pengendapan, bentuk lapisan ditandai oleh hadirnya splitting oleh endapan creavase splay, tersebar meluas cenderung memanjang jurus pengendapan tetapi kemenerusan secara lateral sering terpotong channel bentuk lapisan batubara. Endapan pada daerah ini didominasi oleh urutan butiran mengasar ke atas yang tebal. Pada bagian atasnya terdapat batupasir dengan struktur sediment ripple mark.

3) Lingkungan transitional lower delta plain : lapisan batubaranya tebal, kandungan sulfur rendah. Ditandai oleh perkembangan rawa yang ekstensif. Lapisan batubara tersebar meluas dengan kecenderungan agak memanjang sejajar dengan jurus pengendapan. Splitting juga berkembang akibat channel kontemporer dan washout oleh aktivitas channel subsekuen. Batuan sedimen berbutir halus pada bagian bay fill sequences lebih tipis daripada di bagian

(6)

37 lower delta plain. Pada zona ini terdapat fauna air payau sampai laut dan banyak ditemui burrowing.

4) Lingkungan upper delta plain – fluvial : lapisan batubaranya tebal, kandungan sulfur rendah, lapisan batubara terbentuk sebagai tubuh-tubuh pod-shaped pada bagian bawah dari dataran limpahan banjir yang berbatasan dengan channel sungai bermeander. Sebarannya meluas cenderung memanjang sejajar kemiringan pengendapan, tetapi kemenerusan secara lateral sering terpotong channel atau sedikit yang menerus, bentuk batubara ditandai hadirnya splitting akibat channel kontemporer dan washout oleh channel subsekuen. Urutan stratigrafinya didominasi oleh tubuh batupasir yang menerus dan untuk lingkungan backswamp, terdiri dari urutan batubara, batulempung dengan banyak fosil tumbuhan dan sedikit moluska air tawar, batulanau, batulempung serta batubara.

Berdasarkan kendali lingkungan pengendapannya, maka lingkungan back barrier dan lower delta plain cenderung tipis batubaranya. Sebaliknya pada lingkungan transitional lower delta plain dan upper delta plain - fluvial, lapisan batubaranya relatif tebal. Sedangkan lingkungan pengendapan batubara daerah penelitian diinterpretasikan berada di bagian back barrier atau lower delta plain.

4.1.2 Kualitas dan Klasifikasi Endapan Batubara 4.1.2.1 Analisis Kualitas Batubara

Terdapat dua jenis analisis kualitas batubara yang utama, yaitu analisis proksimat dan analisis ultimat. Analisis proksimat umumnya dilakukan oleh perusahaan pertambangan dan pembeli batubara. Analisis proksimat digunakan untuk menentukan kelas (rank) batubara. Analisis proksimat terdiri atas empat parameter utama, yaitu kadar lengas (moisture), kadar abu (ash), zat terbang (volatile matter), dan karbon tertambat (fixed carbon).

Lengas yang terdapat pada batubara dapat menempel di permukaan partikel batubara. Ada tiga jenis kadar lengas, yaitu bebas (free moisture), kadar lengas inheren (inheren moisture) dan kadar lengas total (total moisture).

Kehilangan berat yang terjadi setelah sampel batubara digerus sampai ukuran 3 mm, lalu dipanaskan dalam tungku dengan suhu 105 o – 110 oC disebut kadar lengas total. Lengas bebas akan terlepas ke udara apabila batubara dibiarkan di dalam ruangan pada suhu kamar. Kehilangan berat selama sampel berada dalam ruangan

(7)

38 tersebut disebut kadar lengas bebas. Kadar lengas inheren diporoleh dari kehilangan berat yang terjadi setelah sampel batubara tanpa lengas bebas dipanaskan di dalam tungku pada suhu 105 o – 110 oC.

Kadar abu didefenisikan sebagai residu anorganik yang terjadi setelah batubara dibakar pada suhu 815oC dan dialirkannya udara secara lambat ke dalam tungku. Makin banyak mineral, makin tinggi kadar abunya. Zat terbang adalah bagian dari batubara yang menguap pada saat batubara dipanaskan tanpa udara (dalam tungku tertutup) pada suhu 900oC. Karbon tertambat (fixed carbon) diperoleh dari 100% dikurangi dengan jumlah kadar lengas, kadar abu dan zat terbang.

Analisis ultimat merupakan cara sederhana untuk menunjukkan unsur pembentuk batubara dengan mengabaikan senyawa kompleks yang ada dan hanya dengan menentukan unsur kimia pembentuk yang penting. Ada lima unsur utama pembentuk batubara yaitu karbon, hidrogen, sulfur, nitrogen, oksigen, dan fosfor.

Kandungan sulfur sangat umum dijumpai dalam endapan batubara, yaitu: 1. Pirit (FeS2), terjadi dalam bentuk makrodeposit (lensa, vein, joint)

2. Sulfur Organik, jumlahnya 20% - 80% dari sulfur total. Secara kimia terikat dalam batubara

3. Sulfur Sulfat, umumnya berupa kalsium sulfat dan besi sulfat dengan jumlah yang kecil.

4.1.2.2 Klasifikasi Batubara

Rank (peringkat) digunakan untuk menyatakan tahapan yang telah dicapai oleh batubara dalam urutan proses pembatubaraan. Hampir setiap negara penghasil batubara dengan jumlah besar mempunyai istilah sendiri untuk menyatakan rank.

Sebagai contoh, rank batubara di Amerika menggunakan standarisasi dari ASTM (America Society for Testing Material) dan di Jerman menggunakan standarisasi dari DIN. Berdasarkan rank yang dicapai, batubara dapat diklasifikasikan. Di Indonesia, umumnya digunakan klasifikasi ASTM (Tabel 4.1).

(8)

39 Tabel 4.1. Klasifikasi Rank Batubara (ASTM, 1981 op.cit. Wood et al, 1983).

4.2 Endapan Batubara Daerah Penelitian 4.2.1 Keberadaan dan Penyebaran Batubara

Berdasarkan hasil pemetaan geologi yang telah dilakukan pada daerah penelitian, endapan batubara berada pada Satuan Batulempung atau dengan kata lain satuan batuan ini merupakan satuan pembawa batubara (coal bearing) yang merupakan bagian atas dari Formasi Tanjung. Batubara ditemukan sebagai sisipan, berwarna hitam, goresnya (bila digores dengan logam) berwarna hitam - hitam kecoklatan, kilap dari vitreous–bright, kekerasan brittle–friable, dan belahan conchoidal–irregular.

Penyebaran batubara pada daerah penelitian ini sangat terbatas, cenderung tidak menerus dan relatif tidak terlalu tebal dengan kemiringan lapisan yang tergolong cukup terjal. Struktur geologi daerah penelitian yang kompleks sangat mempengaruhi penyebaran endapan batubara dan kualitas batubara itu sendiri. Endapan batubara pada daerah penelitian telah mengalami deformasi tektonik yang intensif baik berupa pensesaran maupun perlipatan. Pensesaran dan perlipatan yang ditimbulkan oleh aktivitas tektonik menjadikan penyebaran lapisan batubara sukar dikorelasikan. Perlipatan yang kuat yang terjadi pada daerah penelitian juga mengakibatkan kemiringan lapisan yang cukup terjal. Selain itu aktifitas vulkanisme dari intrusi Satuan Andesit semakin menambah kerumitan dalam penyebarannya Dari rekonstruksi data lapangan diketahui bahwa lapisan batubara mengikuti pola struktur yang ada berupa struktur perlipatan.

(9)

40 Pada daerah penelitian ditemukan 14 titik singkapan batubara dengan ketebalan yang berkisar 32 cm – 165 cm dan pola jurus lapisan relatif berarah Timurlaut - Baratdaya dengan kisaran kemiringan lapisan antara 12o – 65o (Tabel 4.2). Singkapan batubara terdapat pada daerah Sungai Lunai, Sungai Pasuang, Sungai Tutui, dan sepanjang jalan logging (Lampiran D-1).

Tabel 4.2. Data singkapan batubara daerah penelitian.

Berdasarkan pola penyebaran singkapan batubara dan karakter lapisan batubara yang dapat diamati di lapangan disimpulkan bahwa di daerah penelitian ditemukan dua lapisan (seam) batubara (Lampiran D-4) dengan variasi ketebalan antara 32 – 165 cm dengan urutan tua ke muda yaitu Seam A dan Seam B (Gambar 4.3).

4.2.1.1 Seam Batubara A

Batubara pada seam ini ditemukan pada lima singkapan yaitu lokasi LNI-04, LNI-06, LNI-09, LNI-10 dan PSG-02 yang berada pada satuan batulempung dengan jarak yang tidak berjauhan di dinding Sungai Lunai kecuali lokasi PSG-02 yang berada di di hulu Sungai Pasuang. Pola penyebaran dari seam sangat sulit dikorelasikan karena tidak ditemukan data dari singkapan batubara lainnya.

Secara umum ketebalan batubara pada seam ini hanya mencapai 65 cm dengan ciri berwarna hitam, gores hitam–hitam kecoklatan, kilap vitreous–bright, kekerasan

(10)

41 hard-friable, dan belahan yang irregular. Seam ini memiliki kontak atas dan bawah lapisan berupa batulempung dengan ketebalan 10 – 40 cm (Lampiran E).

Foto 4.1 menunjukkan singkapan batubara seam A di lokasi LNI-10 di Sungai Lunai. Batubara di lokasi ini memiliki belahan irregular, hal ini terjadi dikarenakan pengaruh sesar yang berkembang di Sungai Lunai.

4.2.1.2 Seam Batubara B

Seam batubara B merupakan seam yang lebih muda dan masih berada pada satuan yang sama yaitu satuan batulempung. Seam ini berada di sembilan lokasi singkapan pada daerah penelitian, yaitu pada lokasi LNI-05, LNI-07, LNI-09, LNI-11, JPL-03, JPL-18, JPL-21, PSG-16, dan TTI-06. Pada seam ini ditemukan lapisan batubara yang memiliki ketebalan 90-165 cm. Data singkapan yang cukup menyebar, sehingga korelasi penyebaran lapisan pada seam ini tidak terlalu sulit dilakukan.

Ciri dari kenampakan di lapangan batubara ini memiliki warna hitam, gores coklat kehitaman, kilap bright–dull, kekerasan hard–brittle, belahan irregular– conchoidal dengan cleat berupa batulempung dan impurity berupa amber dan pirit. Di beberapa lokasi juga terlihat sulfur pada dinding singkapan seperti yang terlihat di lokasi JPL-03 pada Foto 4.2.

Foto 4.1. Singkapan LNI-10.

Seam A, berwarna hitam, gores coklat kehitaman, kilap vitreous, kekerasan brittle, belahan irregular,

(11)

42 Hubungan dari masing-masing seam batubara dan posisinya pada stratigrafi daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 4.3.

Gambar 4.2. Hubungan seam batubara dengan stratigrafi daerah penelitian. Foto 4.2. Singkapan JPL-03.

Seam B, berwarna hitam, gores coklat kehitaman, kilap bright , kekerasan brittle, belahan concoidal,

(12)

43 4.2.2 Analisis Kualitas Batubara

Analisis proksimat untuk menentukan kualitas batubara dilakukan pada seluruh sampel dari masing-masing seam batubara di daerah penelitian. Hasil analisis yang dilakukan dilakukan pada laboratorium berada dalam basis pelaporan adb (air dried basis). Untuk klasifikasi rank ASTM digunakan basis pelaporan dmmf (dry mineral matter free). Pada basis adb, sampel batubara ditempatkan di udara terbuka, kadar lengasnya secara perlahan akan mencapai kesetimbangan dengan kelembaban udara. Analisis basis dmmf dapat memberikan gambaran mengenai komposisi organik murni.

Rumus untuk mengubah basis adb menjadi basis dmmf, yaitu:

{( FC – 0,15 x S) 100} FC (dmmf) = [100 – (M + 1,08 x A+055 x S)] VM (dmmf) = 100 – FC (dmmf) {( BTU – 50 x S) 100} CV (dmmf) = [100 – (M + 1,08 x A + 055 x S)] Keterangan:

FC = Fixed Carbon (Karbon Tertambat) %(adb) VM = Volatile Matter (Zat terbang) % (adb) M = Moisture (Kadar Lengas) % (adb) A = Ash (Abu) % (adb)

S = Sulphur (Sulfur) % (adb)

(13)

44 Tabe l 4.3 . H as il an al is is pr oks im at unt uk pe ne nt ua n rank b at ub ar a da er ah pe n el it ian .

(14)

45 Hasil analisis proksimat tercantum dalam Tabel 4.3, dapat disimpulkan bahwa rank batubara daerah penelitian menurut klasifikasi ASTM adalah High Volatile B Bituminuous Coal dan High Volatile C Bituminuous Coal.

4.3 Sumberdaya Batubara Daerah Penelitian

Sumber daya merupakan kekayaan alam yang diharapkan dapat dimanfaatkan dan dengan menggunakan parameter geologi tertentu dapat berubah menjadi cadangan apabila memenuhi kriteria layak tambang. Cadangan batubara merupakan sumberdaya yang telah diakui bentuk ukuran, penyebarannya, kuantitas, kualitas dan ekonomis untuk ditambang.

Dalam menghitung sumberdaya batubara ada empat metode yang umum digunakan, yaitu:

1. Metode Penampang 2. Metode Circular USGS 3. Metode Blok

4. Metode Poligon

Pemakaian metode di atas disesuaikan dengan kualitas data, jenis data yang diperoleh dan kondisi lapangan serta metode penambangan (misalnya sudut penambangan). Karena minimnya yang diperoleh pada daerah penelitian, yakni data yang digunakan dalam perhitungan hanya berupa data singkapan, maka metode yang digunakan untuk perhitungan sumberdaya penelitian adalah metode circular USGS.

Secara umum, langkah-langkah yang dilakukan untuk menghitung sumberdaya batubara dengan menggunakan metoda circular USGS (Wood et. al, 1983) adalah sebagai berikut:

1. Pembuatan Peta Sebaran Batubara.

2. Pembuatan lingkaran di setiap titik singkapan batubara (Gambar 4.3) dimana:

a. Daerah yang berada pada radius 0 - 400 m merupakan sumberdaya terukur (measured resouces).

b. Daerah yang berda pada radius 400 - 1200 m merupakan sumberdaya tertunjuk (indicated rsources).

c. Daerah yang berada pada radius 1200 - 4800 m merupakan sumberdaya terkira (inferred resouces).

(15)

46 3. Berdasarkan radius lingkaran yang telah dibuat berdasarkan metoda circular USGS (Wood et al, 1983) sebelumnya, maka akan didapat titik pepotongan pada tiap lingkaran, dimana hasil dari titik perpotongan tersebut akan menghasilkan luas daerah yang akan dihitung jumlah sumberdayanya.

4. Rumus perhitungan jumlah sumberdaya batubara daerah penelitian mengacu pada metoda circular USGS (Wood et al, 1983) dimana aturan perhitungan di atas berlaku untuk kemiringan lapisan batubara lebih kecil atau sama dengan 300, sedangkan untuk batubara dengan kemiringan lapisan lebih dari 300 aturannya adalah harga proyeksi radius lingkaran tersebut ke permukaan (Gambar 4.4).

5. Adapun rumus peritungan adalah:

a. Untuk dip (α̉) < 300

Sumberdaya = Luas area (m2) x Tebal (m) x Berat Jenis (Ton/m3).

b. Untuk dip (α) > 300

Sumberdaya = Luas area (m2) x Tebal (m) x cos α x Berat Jenis (Ton/m3).

Gambar 4.3. Pembagian daerah sumberdaya dengan metode circular USGS (Wood et al, 1983).

(16)

47 Gambar 4.4. Pengaruh kemiringan lapisan batubara pada perhitungan sumberdaya

(Wood et al, 1983).

Dengan menggunakan metode circular USGS tersebut, perhitungan sumberdaya dari daerah penelitian hanya dilakukan hingga perhitungan sumberdaya tertunjuk dikarenakan struktur geologi daerah penelitian yang cukup kompleks, kemiringan lapisan dari singkapan batubara yang dipakai berubah-ubah sebelum mencapai radius 1200 – 4800 m. Dari perhitungan yang telah dilakukan (Lampiran F) terhadap Seam A dan Seam B diperoleh sumberdaya batubara terukur (measured resources) sebesar 3.625.660,212 Ton.dan sumberdaya batubara tertunjuk (indicated resources) sebesar 10.433.328,65 Ton (Lampiran D-5).

4.4 Prospek dan Pengembangan Batubara

Dari hasil penyelidikan pada daerah penelitian, ditemukan 15 singkapan batubara dan dibagi dalam 2 seam yaitu Seam A dan Seam B dengan ketebalan berkisar 32 – 165 cm. Batubara tersebut merupakan sisipan tipis pada Satuan Batulempung. Daerah yang prospek untuk pengembangan batubara di daerah penelitian adalah daerah Sungai Pasuang, karena pada lokasi ini kemiringan lapisan batubara cenderung lebih landai dan berada dekat dengan pelabuhan pengiriman kayu

(17)

48 logging milik PT.Aya Yayang Indonesia. Namun ada beberapa hal lagi yang harus dipertimbangkan, seperti ketebalannya relatif tipis dan sebarannya yang terbatas.

Selain itu, berdasarkan pertimbangan parameter untuk dapat ditambang suatu cadangan batubara yang dikenal dengan Stripping Ratio, yaitu perbandingan antara volume insitu endapan batubara (dalam Ton) dan volume insitu overburden (dalam m3), nilai Stripping Ratio (S.R) daerah penelitian sangat kecil.

Stripping Ratio (S.R) =

Volume Overburden (m3) Volume Batubara x BJ (Ton / m3)

Hal ini didukung oleh kenampakan morfologi yang berbukit-bukit dengan kemiringan cukup terjal serta keberadaan endapan batubara yang berada di bawah batuan gamping yang masif di beberapa tempat cukup menjelaskan besarnya volume overburden bila dilakukan penambangan. Dengan demikian, semakin kecil harga S.R berarti volume overburden yang akan dikupas semakin besar yang berarti memperbesar biaya produksi.

Namun dari segi infrastruktur yang telah ada berupa jalan logging yang sudah menjangkau dan dekat dengan beberapa singkapan batubara dapat dijadikan pertimbangan lain bila selanjutnya dilakukan penambangan yang memudahkan dan dapat menurunkan biaya produksi. Selain itu nilai kalori untuk Seam A dan Seam B di sekitar Sungai Missim yang cukup tinggi di kisaran 6000 – 7000 Cal/gr (adb) dengan morfologi cukup landai mengindikasikan harga S.R yang cukup besar sangat berbeda dengan harga S.R yang sangat kecil bila dilihat secara keseluruhan daerah penelitian. Kecilnya harga S.R ini juga dapat dijadikan pertimbangan lain bila selanjutnya dilakukan eksploitasi.

Gambar

Gambar 4.1. Proses terbentuknya batubara (Anggayana, 2002).
Tabel 4.2. Data singkapan batubara daerah penelitian.
Foto 4.1 menunjukkan singkapan batubara seam A di lokasi LNI-10 di Sungai  Lunai. Batubara di lokasi ini memiliki belahan irregular, hal ini terjadi dikarenakan  pengaruh sesar yang berkembang di Sungai Lunai
Gambar 4.2. Hubungan seam batubara dengan stratigrafi daerah penelitian.
+3

Referensi

Dokumen terkait

Perbedaan komposisi pada titik 1 (lapisan permukaan coating ) tersebut disebabkan karena ketebalan coating pada sampel baja galvanis Depok lebih tipis dari sampel baja

Validasi data analisis proksimat batubara dilakukan untuk menentukan rank batubara daerah penelitian; di mana berdasarkan klasifikasi rank batubara ASTM dan DIN akan dapat

Keanekaragaman serangga yang cenderung sedang juga dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan yang menjadi salah satu daya dukung keberadaan serangga, jika dilihat

Jelaslah bahwa kenakalan remaja sangat dipengaruhi oleh keluarga walaupun faktor lingkungan juga sangat berpengaruh Faktor keluarga sangatlah penting karena merupakan

Edible film adalah lapisan tipis yang dibuat dari bahan yang dapat dimakan, dibentuk pada komponen makanan yang berfungsi sebagai penghalang, baik gas dan uapp air

Data yang dikumpulkan kemudian dirata-ratakan sebagai perkiraan nilai properti untuk lapisan batubara Z5, Z5-4, dan Z5-8 dengan asumsi lapisan batubara tersebut berada pada

Daun tumbuhan yang hidup di bawah naungan yang dalam akan lebih lebar dan tipis, memiliki sedikit lapisan sel palisade dari pada daun yang berada pada

59 Dari hasil pengeboran yang dilakukan, dapat diketahui jika arah perlapisan batuan pada lokasi penelitian memiliki besar N 330º E sedangkan untuk kemiringan lapisan pada tiap